BAB 3 RIWAYAT HIDUP HAMKA 3.1 Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka adalah salah satu sastrawan sekaligus ulama yang cukup populer dalam kesusastraan Indonesia pada tahun 1920—1940. Dalam karya-karya yang dihasilkannya banyak pengetahuan Islam yang dapat digali oleh pembaca. Hal itu disebabkan oleh pengetahuan yang dimilikinya cukup beragam. Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan apa saja yang dilakukan dan dialami Hamka semasa hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi Hamka dalam menghasilkan karya-karyanya. Nama Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dalam nama tersebut tercantum nama ayah dan kakeknya. Ayahnya bernama Muhammad Rasul / Abdul Karim Amrullah dan kakeknya bernama Muhammad Amrullah (Hamka, 1967: 57—58). Hamka sengaja menggabungkan nama kedua laki-laki yang sangat dihormati dalam hidupnya. Ia berharap dapat melakukan apa pun sama baiknya, seperti ayah dan kakeknya. Sebenarnya, nama pemberian kedua orang tua Hamka adalah Abdul Malik. Pemilihan nama tersebut karena ayah Hamka sangat menghormati salah satu gurunya sewaktu belajar Islam di Mekah, yaitu Sjech Ahmad Chatib (Hamka, 1967: 66). Oleh karena itu, ayahnya memberi nama yang sama dengan putra dari gurunya, yaitu Abdul Malik. Selain dikenal dengan Hamka, ia juga memiliki beberapa nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki (Hamzah, 1996:3). Hamka adalah putra dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Safiah (Hamka, 1967: 65). Dia dilahirkan di Sungai Batang, Maninjau, pada tanggal 16 Februari 1908. Ia merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah ulama terkenal di Sumatera Barat karena membawa paham-paham pembaruan Islam di Minangkabau, sedangkan Ibu Hamka yang bernama Safiah adalah istri kedua bagi ayahnya. Kehidupan masa kecil Hamka sangat dipengaruhi oleh keinginan dan harapan ayahnya. Salah satu harapan ayahnya adalah menjadikan Hamka sebagai ulama (Ali, 1983: 465). Oleh karena itu, ketika Hamka berumur enam tahun, ia 18 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
19
dibawa ayahnya ke Padang Panjang karena di sana menjadi tempat berkumpul orang-orang mempelajari agama Islam. Setelah itu, saat Hamka berumur tujuh tahun sudah belajar di sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Al-quran pada ayahnya hingga tamat. Setelah itu dari tahun 1916— 1923, ia belajar agama Islam di Diniyah School dan Sumatra Thawalib di
Padang Panjang dan Parabek.
Sumatra Thawalib adalah suatu sistem pendidikan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Selain itu, Sumatra Thawalib juga dikenal sebagai julukan bagi golongan yang memperoleh pendidikan Islam (Jassin, 1987: 121) Pada tahun 1924, Hamka pergi ke Yogyakarta. Saat itu ia baru berumur 15 tahun. Ia mulai tertarik mempelajari gerakan Islam. Di sana, ia mengikuti kursuskursus yang diadakan oleh Sarekat Islam (SI) di Yogyakarta. Dalam kursus yang diikutinya, ia mendengar ceramah dari H.O.S Cokroaminoto mengenai Sosialisma Islam, H. Fachrudin, tokoh Muhammadiyah, tentang keislaman, dan R.M Suryopranoto yang membahas sosiologi (Hamzah, 1993: 5). Pelajaran baru yang diperoleh Hamka menimbulkan semangat kesadaran Islam yang murni dalam dirinya. Oleh karena itu, ia turut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial politik dan agama di Yogyakarta. Pada waktu yang sama, ia juga pergi ke Pekalongan. Di sana, Hamka tinggal dengan A.R. Sutan Mansyur, menantu ayahnya, untuk memperkuat gerakan Islam yang baru tumbuh dalam dirinya. Hamka mulai rajin berpidato untuk melancarkan gerakan Islam yang dipelajarinya sewaktu di Yogyakarta. Setelah dari Pekalongan, Hamka pulang ke Padang Panjang pada tahun 1925. Di Padang Panjang, Hamka tetap melanjutkan pergerakan Islamnya melalui berpidato di berbagai tempat, antara lain Muhammadiyah dan Tabligh Muhammadiyah. Kedua tempat tersebut didirikan oleh ayahnya, Abdul Karim Amrullah. Selain senang membagi pengetahuan yang didapatnya, Hamka juga rajin memperluas pengetahuannya melalui beberapa bacaan, seperti jurnal Seruan Azhar yang terbit di Mesir. Berdasarkan bacaan tersebut, ia memperoleh informasi tentang gerakan-gerakan Islam internasional, perjuangan Mustafa Kamal dan Ismed dalam membangun Turki baru, dan pemberontakan Hijaz oleh Ibnu Saud (Ali, 1983:472). Selain itu, ia juga berlangganan surat kabar Hindia Baru dan Bendera Islam. Bacaannya itu juga memperluas pengetahuan tentang gerakan
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
20
Islam di Indonesia. Pengetahuan luas yang dimiliki Hamka membuat dirinya semakin berkembang menjadi pribadi yang berkualitas.
3.2 Hamka dan Kegiatan Tulis-Menulis Pada tahun 1925, Hamka menulis majalah pertama yang bernama Khatib ul Ummah. Majalah tersebut berisi kumpulan pidato anak muda yang mengikuti kursus pidato di surau ayahnya (Ali, 1983: 471). Pada waktu yang sama, Hamka juga menerbitkan majalah Tabligh Muhammadiyah. Pada tahun 1927, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang pertama. Selama di Mekah, Hamka menjadi koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan. Semasa hidupnya, Hamka sudah menjalani naik haji sebanyak tujuh kali. Pulang dari Mekah, ia menulis pada majalah Seruan Islam di Tanjung Pura (Langkat). Selain itu, ia juga menulis pada Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Setahun kemudian, Hamka menjadi pemimpin redaksi majalah Kemajuan Zaman. Dua tahun setelah naik haji, Hamka menikah dengan Siti Ramah, tunangannya semasa kecil, pada tanggal 5 April 1929. Ketika menikah, usia Hamka 21 tahun dan istrinya berusia 15 tahun. (Poeradisastra, 1996: 51). Pernikahan Hamka dengan Siti Ramah mendapatkan sepuluh orang anak, tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Sejak pernikahan dan gelar hajinya, Hamka mulai mendapatkan tempat sebagai ulama terpandang di Minangkabau hampir menyamai nama ayahnya. Pada kenyataannya, sebelum Hamka menunaikan ibadah haji, sering kali ia mendapatkan kritik sebagai tukang pidato yang tidak berijasah (Ali, 1983: 471). Hal itu tidak dapat ditutupi karena Hamka mendapatkan berbagai macam pengetahuan tidak menempuh pendidikan formal, seperti sekolah. Ia mendapatkan pengetahuan secara otodidak dengan senang membaca berbagai jenis buku, belajar apa pun saat ia berpindah-pindah tempat tinggal, dan menimba ilmu kepada orang-orang yang pengetahuannya lebih luas daripada dirinya. Sebelum pindah ke Medan, Hamka sempat mengajar di Makasar dan menerbitkan majalah Al-Mahdi selama tiga tahun. Pada tahun 1935, ia bersama kawan-kawannya menerbitkan mingguan Islam di Medan, yaitu Pedoman
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
21
Masyarakat. Majalah itu dipimpinnya dari tahun 1936—1943. Pada waktu itu, karangan yang diterbitkan dalam majalah tersebut, antara lain agama, filsafat, tasawuf, novel, roman, dan cerita pendek. Namun, kedatangan Jepang di Medan membuat Pedoman Masyarakat dibredel karena tidak sejalan dengan keinginan Jepang. Semasa penjajahan Jepang, Hamka diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Syu Sangi Kai) untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun 1944. Jabatan ini membuat posisi Hamka terpojok karena dianggap sebagai mata-mata penjajah dalam pribumi oleh teman-temannya. Pada kenyataannya, Hamka menerima tawaran tersebut karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Kepolosan Hamka dalam menanggapi janji semu tersebut dapat membuktikan bahwa jiwa politikus Hamka tidak lebih tajam dari jiwa berdakwah dan menulis dalam dirinya. Setelah pecah revolusi, Hamka kembali ke Sumatera Barat pada tahun 1945. Di sana, ia menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Melalui karya-karyanya, ia menyampaikan pemikiran tentang perubahan ke arah yang lebih baik. Buku-buku yang dihasilkan, antara lain Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Setelah berkecimpung dengan situasi revolusi di Sumatera Barat, Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Jakarta, Hamka semakin giat menulis untuk mendokumentasikan apa yang sudah dialaminya. Pada waktu itu, orang banyak sudah mengakui kepiawaian Hamka dalam menulis, baik karya sastra maupun berbagai artikel keagamaan. Dengan keahliannya tersebut, pada tahun 1951—1960, Hamka diangkat menjadi anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementrian P.P dan K serta menjadi penasehat kementrian Agama. Di lingkungan pemerintahan, Hamka juga menjabat sebagai anggota Majelis Perhimpunan Haji (Jamil, 1983: 63). Pada waktu yang sama, Hamka menjabat sebagai dosen luar biasa pada perguruan tinggi Islam dan Universitas Islam di Makasar. Di samping itu, Hamka menjabat sebagai direktur periodik majalah Panji Masyarakat pada tahun 1955—1958.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
22
Pada tahun 1958, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir atas inisiatif mantan Duta Besar Mesir di Indonesia, Sajid Ali Fahmi Al-Amrousi. Gelar tersebut diberikan karena pidatonya yang berjudul “ Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”. Selain sebagai pengarang, Hamka juga ulama yang pandai berpidato. Keahliannya tersebut diwariskan oleh kakek dan ayahnya. Pada tahun 1959, Hamka memimpin majalah tengah bulanan, Panji Masyarakat. Majalah tersebut berisi tentang pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, majalah tersebut dihentikan penerbitannya oleh penguasa perang Jakarta Raya pada tahun 1960 karena memuat tulisan Mohammada Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” (Hamzah, 1993: 6). Berbagai peristiwa penghentian penerbitan majalah yang pernah dipimpinnya tidak membuat Hamka jera untuk memimpin majalah kembali. Pada tahun 1962, Hamka kembali mendirikan majalah Gema Islam, majalah pengetahuan dan kebudayaan Islam. Namun, pada tahun 1964, majalah tersebut dihentikan penerbitannya karena Hamka dituduh melanggar Penpres Anti Subversif oleh pemerintahan Soekarno (Hamzah, 1993: 6). Hal itu menyebabkan Hamka ditahan di penjara sampai tahun 1966. Meskipun menjadi tahanan, tidak menyurutkan keinginan Hamka untuk tetap menulis. Semasa menjadi tahanan, Hamka menghasilkan satu buku yang berjudul Tafsir Al-Azhar. Setahun setelah keluar dari penjara, Hamka menerbitkan dan memimpin majalah Panji Masyarakat. Ia tidak gentar dengan kepemimpinan Soekarno yang telah membuat dirinya masuk ke dalam penjara selama dua tahun. Menurutnya, menulis adalah kegiatan yang harus tetap dilakukan agar dapat menyuarakan pemikirannya. Hamka kembali mendapatkan kepahitan dalam hidup ketika istrinya, Siti Rahmah, meninggal pada tanggal 1 Januari 1972. Namun, kesedihan Hamka ditinggalkan istri tidak terlalu lama dirasakannya. Pada tanggal 19 Agustus 1973, ia menikah kembali dengan Hajjah Siti Khadijah dari Cirebon. Setahun kemudian Hamka mendapatkan kembali gelar Doctor Honoris Causa. Gelar kedua yang diterimanya tersebut berasal dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Keaktifannya
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
23
berperan dalam masalah-masalah sosial dan keagamaan di Indonesia sebagai salah satu faktor penting atas pemberian gelar tersebut. Tahun berikutnya, 1975, Hamka menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia menjabat dari tahun 1975—1981 (Hamzah, 1993: 7). Jabatan ini adalah jabatan terakhir yang dipegang sebelum akhir hayatnya. Hamka meninggal pada tanggal 24 Juli 1981 di rumah sakit Pertamina karena serangan jantung.
3.3 Hamka dan Kegiatan Politik Semasa hidup, Hamka tidak hanya disibukkan dengan kegiatan tulismenulis, tetapi ia juga turut serta berpolitik. Namun, aksi politiknya tidak terlalu tajam
dibandingkan
dihasilkannya.
dengan
Setahun
aksi
setelah
berdakwah menikah,
dan
Hamka
untaian
cerita
mendirikan
yang cabang
Muhammadiyah di Bengkalis dan menghadiri kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta (Ali, 1983: 472). Sejak saat itu, ia semakin sering menghadiri kongres Muhammadiyah ke berbagai daerah, antara lain Semarang dan Makasar. Pada tahun 1934, Hamka menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada awal tahun 1950-an, Hamka telah menjadi tokoh Muhammadiyah tingkat nasional. Ia terpilih sebagai anggota pimpinan pusat Muhammadiyah pada kongres Muhammadiyah ke-32. Jabatan tersebut dijalaninya sampai dengan tahun 1971. Hamka juga pernah menjadi ketua sekretariat Front Pertahanan Nasional (Ali, 1983: 476). Front tersebut beranggotakan seluruh partai politik dan perkumpulan sosial-ekonomi di Sumatera Barat. Front ini menginginkan keadaan yang lebih baik untuk masyarakat Minangkabau. Tidak hanya itu, Hamka juga pernah bergabung dengan partai Masyumi. Keikutsertaan Hamka di partai tersebut karena adanya keterkaitan dengan Muhammadiyah. Dalam partai tersebut, Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi. Keikutsertaan Hamka dalam partai tersebut cukup berarti karena ia sering ikut serta dalam perundinganperundingan dengan Soekarno dan Hatta. Namun, ketika Hamka pindah ke Jakarta kegiatan politiknya semakin berkurang. Hal ini senada dengan yang telah diungkapkan sebelumnya, karir
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
24
politik Hamka tidak seindah ketika ia berdakwah dan menghasilkan karya. Dalam dirinya sangat kuat keinginan untuk berdakwah dengan berbagai cara, salah satunya menulis.
3.4 Hamka dan Karya-karyanya Karya-karya yang dihasilkan Hamka cukup beragam. Semasa hidupnya, sekitar 118 tulisan sudah dihasilkannya, karya sastra yang ditulisnya antara lain Merantau Ke Deli (1938), Didjemput Mamaknja (1930), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Menunggu Bedug Berbunji (1950), Kenang-Kenangan Hidup I, II, III (1951-1952), Di Bawah Lindungan Kabah (1938), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Cemburu (1961), Cermin Penghidupan (1962), dan Lembah Nikmat (1959). Selain itu, ada tulisannya yang bernuansa Islam, antara lain Tasawuf Modern, Tafsir Al-Azhar (30 jilid), agama, filsafat, dan esai-esainya di majalah yang dipimpinnya. Banyak faktor yang mempengaruhi Hamka dalam menghasilkan karyanya, antara lain kehidupan baru yang ditemuinya ketika ia tinggal di berbagai tempat, pengalaman hidup yang dialaminya, dan bahan bacaannya. Hamka senang membaca berbagai jenis buku, salah satunya literatur kebudayaan Minangkabau. Bahan bacaan tentang kebudayaan Minangkabau yang dibaca olehnya, antara lain pantun, bakaba, dan pidato adat. Tidak hanya itu, Hamka pun menggemari berbagai buku terbitan Balai Pustaka dan cerita-cerita Tionghoa (Hamzah, 1993:4). Ia memanfaatkan berbagai bacaan tersebut dalam berkarya sehingga penyampaian ceritanya dapat mudah dipahami oleh pembaca. Di samping mempelajari kesusastraan Minangkabau, Hamka mendalami kesusastraan Arab karena hanya bahasa Arab yang dikuasainya dengan baik. Melalui bahasa Arab, Hamka membaca karya-karya Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinos, Ptilemaios, dan lain-lain (Poeradisastra, 1996: 123). Sewaktu menetap di Medan, Hamka pun membaca karya sastra barat, seperti karya Goethe, Shakespeare, Guy du Paupassant, Maxim Gorki, Anton, dan lainlain.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
25
Karya pertama yang dihasilkan Hamka adalah Si Sabariah pada tahun 1928. Karya pertamanya ini mengambil ide cerita dari kampung halamannya, yaitu Maninjau. Bahasa yang digunakan dalam karya tersebut adalah bahasa Minangkabau. Karya tersebut menggambarkan rasa simpati yang mendalam kepada pihak yang lemah, miskin, dan teraniaya (Poeradisastra, 1984: 125). Dalam novel tersebut, digambarkan ada sepasang suami istri yang miskin. Keadaan yang serba susah mendorong tokoh yang bernama si Pulai, suami Sabariah, untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ia merasa tidak kuat lagi untuk menjalani hidup miskin. Kisah dalam cerita ini memberikan dorongan agar pembaca peduli dengan lingkungan sekitarnya. Selain mengambil ide cerita dari kampung halamannya, Hamka juga sering menuangkan pengalaman di tempat yang dikunjungi melalui sebuah karya sastra. Pengalaman naik haji memberi ilham yang sangat kuat bagi Hamka. Ketika pertama kali ke sana, ia merasakan bahwa manusia sama kedudukannya ketika menemui Allah. Oleh karena itu, ia menulis novel yang berjudul Di Bawah Lindungan Kabah. Masalah yang diangkat dalam novel ini adalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan yang membuat kedua anak manusia tidak dapat menikah (Hamzah, 1993: 23—24). Hamid dan Zainab tidak dapat menyatukan cintanya karena status mereka berdua berbeda jauh. Keluarga Zainab berstatus lebih tinggi daripada keluarga Hamid, baik dalam harta maupun keturunan. Karya tersebut adalah salah satu cara Hamka mengkritik adat Minangkabau yang sering membeda-bedakan orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan. Menurutnya, adat itu bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Hal yang membedakan adalah ketakwaan dan keimanan seseorang kepada Allah. Gambaran itu pun tidak dapat dinilai dari luar saja, seperti cara berpakaian karena itu adalah hubungan manusia dengan Allah yang bersifat lebih kompleks. Penekanan agama Islam pada cerita yang ditulis Hamka menjadi faktor penting dalam ceritanya. Hal tersebut menjadi salah satu ciri Hamka dalam tiap karya sastra dengan menyampaikan sesuatu yang seharusnya sejalan dengan agama Islam.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
26
Hal itu pun kembali terulang dalam novel Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ide cerita dalam novel tersebut muncul dari pergaulan Hamka dengan masyarakat Makasar. Ia banyak mendengar cerita mengenai kasih tak sampai karena perbedaan suku, terutama orang Minangkabau yang berusaha menjaga keasliannya. Kisah ini membahas nasib cinta dua anak manusia yang berakhir tragis. Zainudin memiliki darah Makasar dari ibunya, sedangkan Hayati adalah anak Minangkabau asli. Oleh karena itu, keluarga Hayati tidak mengijinkannya untuk menikah dengan orang dari luar daerah. Ketika Hayati dinikahkan dengan orang lain, Zainudin pergi dari kampung halaman menuju Surabaya untuk melupakan Hayati. Pada akhirnya, rumah tangga Hayati tidak bertahan lama kemudian ia menyusul Zainudin ke Surabaya. Namun, kedatangannya tidak mendapatkan tanggapan positif dari Zainudin. Akhirnya, Hayati pulang ke kampung halamannya dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Tanpa diduga, kapal tersebut tenggelam dan Hayati menjadi salah satu korbannya. Zainudin menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya kepada Hayati sebelum ia meninggal. Kali ini, Hamka kembali mengangkat adat Minangkabau
yang
bertentangan dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau. Ia mengkritik adat Minangkabau yang mencegah perkawinan dengan orang dari luar daerah Minangkabau (Ali, 1994: 88). Kebanyakan masyarakat Minangkabau berusaha menjaga keaslian keturunannya dengan mengawinkan anaknya dengan orang yang satu suku atau satu kampung. Menurut mereka, dengan cara tersebut dapat mengurangi terjadinya hal-hal buruk pada perkawinan anaknya. Sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau, Hamka menginginkan adanya perubahan dalam pelaksanaan perkawinan yang baik bagi masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, usahanya tidak berhenti dengan mengandalkan suara ketika ia berceramah. Namun, ia menuangkan gagasan tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang absolut melalui tulisannya. Dalam berkarya, Hamka sebagai pengarang memiliki otoritas dalam menulis ceritanya. Dapat saja, tokoh dan tema yang dibahas adalah rekaan semata di pikirannya. Namun, ada satu hal yang tidak dapat dilepaskan dalam diri Hamka sewaktu menulis. Ia bertekad tetap berdakwah dalam keadaan apa pun juga.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
27
Meskipun yang dikritik dalam karyanya adalah masyarakatnya sendiri, ia tidak goyah untuk melaksanakannya. Sama dengan karya-karya sebelumnya, Merantau Ke Deli juga mengkritik adat Minangkabau mengenai perkawinan dan budaya merantau. Tokoh yang bernama Leman, pemuda asli Minangkabau, merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan. Di sana, ia menikah dengan perempuan bernama Poniem yang berasal dari Jawa. Saat mereka mengunjungi Minangkabau, timbul keinginan keluarga Leman untuk menikahinya dengan perempuan asli Minangkabau. Keluarganya menganggap belum lengkap jika Leman tidak memiliki istri dari kampung sendiri (Ali, 1994: 93). Akhirnya, pernikahan terjadi dan Poniem ditinggalkan oleh Leman. Dengan karya tersebut, Hamka mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu suku atau daerah saja. Pada kenyataannya, asal daerah yang sama, bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama. Di samping itu, Hamka juga menggambarkan penilaian budaya merantau dari sudut pandang orang Minangkabau. Kebanyakan masyarakat Minangkabau beranggapan bahwa orang merantau yang pulang ke kampung pasti memiliki uang banyak dan jabatan tinggi. Jadi, harta yang banyak adalah ciri yang harus dimiliki orang merantau. Dalam kenyataannya, harta adalah bukan satu-satunya jaminan kehidupan akan menjadi bahagia. Hamka pun menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau yang dilihat dari jumlah kekayaan. Dapat terlihat dari beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh Hamka menginginkan perubahan masyarakat Minangkabau dalam melaksanakan adatnya. Ia tidak ingin masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang percaya bahwa adat itu baik selamanya digunakan dalam keadaan apa pun dan berbagai waktu. Selain itu, ia juga menginginkan adat itu dilaksanakan sesuai dasar adat Minangkabau, yaitu Al-quran.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
BAB 4 ANALISIS HUBUNGAN MAMAK TERHADAP KEMENAKAN DALAM DIDJEMPUT MAMAKNJA Seperti telah disinggung dalam bab-bab sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan intrinsik dan sosiologi sastra. Oleh karena itu, bab ini berisi analisis tema dan tokoh dalam Didjemput Mamaknja. Setelah itu, dikaitkan dengan pemikiran Hamka dan kondisi sosial Minangkabau pada saat karya dihasilkan. Oleh karena itu, permulaan bab ini akan dibahas mengenai hubungan mamak dengan kemenakan di Minangkabau. Pembahasan tersebut akan menjadi dasar dalam menilai hubungan mamak dan kemenakan dalam Didjemput Mamaknja.
4.1 Awal Mula Hubungan Mamak dan Kemenakan di Minangkabau Sejarah mengenai hubungan mamak dan kemenakan dalam adat Minangkabau sudah banyak dibicarakan oleh peneliti lain, seperti Edwar Djamaris (1991), A.A. Navis (1984), M.Nasroen (1957), dan Idrus Hakimy (1984). Namun, tidak ada salahnya penulis memaparkan kembali hal itu karena berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Aturan hubungan mamak dan kemenakan di Minangkabau dipercaya bermula dari kejadian yang dialami Datuak Katumanggungan, Datuak Parpatih Sabatang, dan Datuak Suri Dirajo5. Ketiga datuak ini dipercaya sebagai orang yang menemukan Luhak Nan Tigo6, yaitu 5
Datuak Suri Dirajo adalah mamak dari Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Sabatang. Datuak ini digambarkan sebagai orang yang bijaksana, tempat orang bertanya, dan meminta nasihat. Datuak ini memberikan petunjuk tentang teka-teki kayu tataran dan unggas yang diberikan oleh orang di seberang Minangkabau. Keberhasilan datuak menebak teka-teki tersebut membuat orang seberang itu merasa malu dan tidak berani lagi datang ke Minangkabau. Oleh karena itu, masyarakat Minangkabau sangat menghormati dirinya. Hal 62-63. Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Sabatang adalah kemenakan dari Datuak Suri Dirajo. Mereka berdua adalah orang yang membagi negeri Minangkabau ke dalam dua sistem adat, yaitu Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago. Sistem pemerintahan Laras Bodi Caniago bersifat demokratis dengan ciri-ciri sekata, semufakat, sedangkan Laras Koto Piliang bersifat aristokratis dengan ciri-ciri beraja. Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau, (Jakarta: 1991), hlm., 62—68.
6
Luhak adalah pembagian wilayah di Minangkabau berdasarkan pemimpinnya. Luhak bapanghulu, rantau barajo yang artinya pemerintahan luhak diatur oleh penghulu, sedangkan wilayah rantau diatur oleh raja yang berpusat di Pagaruyung. Pada dasarnya, wilayah luhak terletak di nagarinagari yang berada di selingkar Gunung Merapi, sedangkan wilayah rantau terletak di wilayah pelabuhan bagian timur atau bagian barat Minangkabau. Luhak dibagi menjadi tiga, yaitu 1. Luhak Agam, buminya hangat, airnya keruh, dan ikannya liar. 2. Luhak Tanah Datar, buminya lembang, airnya tawar,dan ikannya banyak. 28 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
29
Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluah Koto. Oleh karena itu, apa pun yang mereka sampaikan selalu diikuti sebagai bentuk penghormatan terhadap keberadaannya. Pada suatu hari, ketiga datuak tersebut bermusyawarah di Balairung Panjang, tempat orang membicarakan undang-undang hukum dan adat lembaga di tiap-tiap nagari, untuk membahas sesuatu. Akhirnya, mereka bermufakat untuk pergi ke Aceh (Djamaris, 1991: 53). Dalam perjalanannya, perahu yang mereka tumpangi terhalang oleh gunungan pasir ketika air laut surut. Setelah itu, para datuak menyuruh anak dan kemenakan mereka untuk memindahkan perahu tersebut. Namun, tak satu pun anak-anak mereka turun untuk menuruti permintaannya karena takut terbawa arus. Akhirnya, semua kemenakan dari para datuak, baik laki-laki maupun perempuan, memindahkan perahu tersebut agar mereka dapat meneruskan perjalanan.
Maka perahu itu pun takalang di tepi pasir sebab pasang 10(lah sudah)10, menyintak surut11. Maka berkata datuak12 nan baduo itu kepada segala 13anak kemenakan “Kamu sekalian13, 14( maukah engkau akan jadi kalang14 perahu karena ‘lah sudah takalang di tepi pasir)15 16serta kita bangkitkan perahu16.” 17(Maka sahut segala anak tadi, “Takut aku akan jadi kalangan perahu itu.” Maka berkata pula)17 18(kepada segala kemenakan laki-laki dan perempuan,)18 19(“Maukah engkau akan jadi kalang perahu?” Maka sahut segala kemenakan itu, “Jikalau demikian kata segala niniak moyang kami, mau kami jadi kalang perahu itu.” Maka berjalanlah segala kemenakan itu ke tepi pasir.)19 20Maka kemenakan sajolah nan membangkitkan perahu itu, serta menghela dia20. (Maka perahu itu bangun dari atas kalangnya.)21 (Djamaris, 1991: 227). Melihat kejadian tersebut, Cati Bilang Pandai7, penasihat para datuak, mengatakan agar jangan memberikan semua hartanya kepada anak, berikan juga
3. Luhak Lima Puluah Koto, buminya sejuk, airnya jernih, dan ikannya jinak. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: 1984), hlm.104—105 7
Cati Bilang Pandai adalah bapak dari Datuak Parpatih Sabatang. Ia digambarkan sebagai orang yang pandai, terampil, dan banyak ilmunya. Ia berjasa membuatkan kembali mahkota raja yang jatuh ke laut. Ia pun turut berperan dalam menetapkan adat harta pusaka diwariskan kepada kemenakan.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
30
kepada kemenakan. Menurutnya, peristiwa tadi menunjukkan bahwa kemenakan para datuak lebih rela mengorbankan nyawa untuk mamaknya dibandingkan anak kandungnya sendiri. 26
“Hai Cati Bilang Pandai, apa sebabnya demikian?”26 27Maka berkata Cati Bilang Pandai, “Ampun 28beribu kali ampun, sekali28 gawa beribu kali29 ampun, karena 30 lah sudah dicobai30 segala anak 31ka mahelo perahu tiada mau anak31. Itulah sebabnya maka 32pindah *adat yang teradat*, eloklah kembalikan di datuak pusyaka sawah ladang32 kepada kemenakan, karena baik 33saja nan suka33 pada anak dan jahat tiada suka pada anak.” (Djamaris, 1991:227). Setelah mendengar alasan Cati Bilang Pandai tersebut, ketiga datuak setuju untuk menyebarkan kesepakatan tersebut ke Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluah Koto serta Laras Nan Dua. Laras atau lareh artinya aliran dari sistem pemerintahan. Di Minangkabau ada dua sistem, yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Sistem Koto Piliang digagas oleh Datuak Katumanggungan, sedangkan Bodi Caniago dipelopori oleh Datuak Parpatih Sabatang (Navis: 1984: 55).
Sosok mereka bertiga sebagai keturunan yang menerapkan sistem pemerintahan pertama kali di Laras Nan Dua memberikan nilai tersendiri dalam membuat aturan warisan baru dalam adat Minangkabau. Penyebaran aturan warisan tersebut tidak menemui kesulitan karena sosok ketiga datuak tersebut sangat dihormati dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Berdasarkan hal tersebut, hubungan mamak dan kemenakan mempunyai aturan sendiri dalam adat Minangkabau. Seiring berjalannya waktu, aturan hubungan mamak dan kemenakan berkembang dengan bertambahnya tanggung jawab yang dimiliki oleh mamak kepada kemenakan. Selain memberikan warisannya, mamak juga harus menjaga harta pusaka keluarga, mendidik kemenakan, serta melindungi saudara perempuan dan kemenakannya. Oleh karena itu, hubungan mamak dengan kemenakan dianggap lebih kuat dibandingkan hubungan ayah dan anak (Samin, 1997: 59). Hal itu disebabkan kedudukan ayah dalam masyarakat Minangkabau termasuk ke dalam anggota keluarga asalnya sebelum menikah, sedangkan mamak termasuk ke dalam anggota keluarga ibunya
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
31
(samande8). Oleh karena itu, mamak ikut bertanggung jawab terhadap kehidupan saudara perempuan dan kemenakannya.
4.1.1 Pengertian Mamak dan Kemenakan Masyarakat Minangkabau memakai sistem matrilineal dalam garis keturunan. Dalam sistem tersebut, anak-anak masuk ke dalam suku ibunya, bukan suku ayahnya. Namun, dalam sistem tersebut yang berkuasa adalah laki-laki dari pihak ibu. Kekuasaan tersebut selalu didasarkan pada mufakat, seperti bunyi pepatah Minangkabau, kamanakan ba rajo ka mamak, mamak ba rajo ka mufakat9. Mamak adalah pemimpin dalam kaum atau sukunya atau saudara lakilaki dari pihak ibu (Samin, 1997:57). Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya bahwa kekuasaan keluarga Minangkabau berada di tangan mamak. Oleh karena itu, setiap kemenakan diwajibkan untuk patuh kepada mamak. Setiap perkataan yang diperintahkan mamak wajib dilakukan oleh kemenakan. Perintah mamak yang diikuti oleh kemenakan menunjukkan dirinya dihormati sebagai pemimpin keluarga besar dan sukunya. Seorang mamak berkewajiban mewakili keluarganya dalam pemilihan datuak10 (kepala kaum). Keinginan dan harapan keluarganya dapat terwakili oleh keberadaan mamak dalam pemilihan tersebut. Hal itu semakin menegaskan bahwa kedudukan mamak cukup tinggi dan dihormati (Elfira, 2000: 14). Terlebih lagi, ada yang menggambarkan kedudukan mamak dengan menempatkan perintahnya di atas perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat (Samin, 1997: 39). Gambaran tersebut juga dapat menunjukkan bahwa zaman dahulu adat Minangkabau memegang peranan penting dalam setiap sisi kehidupan masyarakatnya.
8
Mandèh—má, iboe. Moehammad Thaib& Soetan Pamoentjak, Kamoes Bahasa Minangkabau Bahasa Melajoe, (Department Van Onderwijs En Eerdienst:1934), hlm. 149
9
kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada mufakat. Dapat diartikan, kemenakan selalu mendengar apa pun yang dikatakan mamak, sedangkan mamak dalam mengambil keputusan untuk hal apa pun harus dimusyawarahkan terlebih dahulu untuk mencapai mufakat. 10
Datuak adalah kepala suku yang dipilih oleh beberapa nagari. Biasanya pemilihan datuak tersebut berdasarkan nama baik keluarga, pendidikan, dan jabatannya. Selain itu, Datuak bisa juga gelar yang diberikan kepada orang luar Minangkabau yang telah berjasa kepada Minangkabau. Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
32
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan adat setelah disesuaikan dengan situasi saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan tersebut, antara lain pendidikan, tempat tinggal, dan pola pikir. Namun, perubahan tersebut tidak membuat adat hilang begitu saja karena sudah mengakar pada masyarakat adat tersebut. Gejala perubahan sosial tersebut merupakan gambaran masyarakat adatnya yang dinamis dan terbuka terhadap pandangan lain. Berdasarkan hubungan kekerabatan dengan saudara perempuannya, mamak meliputi mak adang11 dan mak etek12. Mak adang adalah panggilan bagi saudara laki-laki ibu yang lebih tua, sedangkan mak etek adalah panggilan bagi saudara laki-laki ibu yang lebih muda (Elfira, 2000:13). Selain itu, berdasarkan cakupan wilayahnya, mamak dalam masyarakat Minangkabau diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu 1. mamak rumah adalah saudara sekandung laki-laki ibu atau garis ibu “serumah gadang” yang terpilih menjadi wakil pembimbing anggota garis ibu terdekat. Tugasnya adalah memelihara, membina, dan memimpin kehidupan jasmaniah maupun rohaniah kemenakan-kemenakannya. 2. mamak kaum adalah seseorang yang dipilih di antara beberapa rumah atau tungganai yang terikat dalam hubungan darah (geneologis) yang disebut kaum. Mamak kaum bertugas mengurusi kepentingan-kepentingan kaum. 3. mamak suku adalah orang yang menjadi pimpinan suku. Orang-orang yang sesuku adalah satu keturunan menurut garis ibu dan satu sama lainnya merasakan dirinya berdusanak (bersaudara) ( Samin, 1997: 41). Jadi, mamak di Minangkabau mempunyai tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan tingkatannya.Walaupun berbeda tingkatan, ia tetap menjadi pembimbing bagi kemenakan. Di sisi lain, hubungan mamak dengan kemenakan di Minangkabau tidak dibatasi oleh hubungan darah. Dalam struktur kebudayaan Minangkabau ada 4 jenis kemenakan, yaitu 1. kamanakan di bawah daguak (dagu), yakni kemenakan yang ada hubungan darah dengan mamak, baik yang dekat maupun yang jauh. Dalam hal ini, pengertian jauh dan dekat ditujukan pada jarak tempat tinggal mamak dan kemenakan. Selain itu, kemenakan tersebut berhak menerima warisan gelar dan harta pusaka dari kemenakannya.
11 12
Kata adang merupakan kependekan dari kata gadang, yang memiliki pengertian besar. Kata etek merupakan kependekan dari kata ketek, yang memiliki pengertian kecil. Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
33
2. kamanakan di bawah dado (dada), yakni kemenakan yang ada hubungan dengan mamak karena suku sama, tetapi penghulunya13 lain. Contohnya, si mamak dan kemenakan berasal dari suku Caniago tetapi pemimpin sukunya berasal dari suku Piliang. 3. kamanakan di bawah pusek (pusar), yakni kemenakan yang ada hubungan dengan mamak karena sukunya sama, tetapi berbeda nagarinya. Contohnya, si kemenakan bersuku Piliang tinggal di Tanah Datar namun mamaknya yang bersuku sama tinggal di Agam. Kemenakan golongan ini tak berhak menerima warisan gelar namun terbuka kemungkinan mendapatkan warisan harta pusaka. 4. kamanakan di bawah lutuik (lutut), yakni kemenakan yang berbeda suku dan nagari tetapi meminta perlindungan di tempatnya. Mamak bersedia menerima orang tersebut karena dapat membantu dan mendidiknya menjadi yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, kemenakan tidak berhak mendapatkan warisan gelar maupun harta pusaka. Namun, ia dapat memperoleh banyak pelajaran dari mamaknya (Navis, 1984: 136). Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat hubungan mamak dengan kemenakan di Minangkabau tidak hanya dibatasi oleh pertalian darah. Peran mamak terhadap kemenakan kandung sama saja dengan perannya kepada kemenakan angkat. Hal itu disebabkan tidak ada pembedaan bagi mamak menjalankan perannya dalam membimbing kemenakan. Selain itu, penggolongan kemenakan di atas juga berkaitan dengan pembagian warisan keluarga secara matrilineal.
4.1.2 Peran Mamak dalam Kehidupan Kemenakan Dulu dan Kini Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mamak berperan penting bagi kehidupan kemenakannya karena ikut bertanggung jawab dalam membimbing kemenakan. Dalam sistem matrilineal, pihak laki-laki di Minangkabau mempunyai peran ganda dalam kehidupannya, yaitu pelindung untuk anak dan kemenakannya. Oleh karena itu, adat mengumpamakan mamak sebagai payung yang akan dipakai di kala hujan dan ayah adalah payung yang akan dipakai di kala panas ( Nasroen, 1971: 156). Jadi, anak yang lahir di Minangkabau mempunyai pelindung kedua, selain kedua orang tuanya. Mereka dapat bergantung pada mamaknya dalam hal apa pun, seperti rasa takut dan sedih. Kemenakan berhak
13
Penghulu berasal dari kata hulu dengan awalan peng. Penghulu ialah pemimpin suku. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: 1984), hlm. 131 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
34
mendapatkan perlindungan dari mamak karena hal tersebut merupakan salah satu tanggung jawab mamak. Selain sebagai pelindung, mamak juga berperan dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi saudara perempuan dan kemenakannya. Masalah yang terjadi dapat dicari jalan keluarnya oleh mamak. Salah satu contohnya adalah masalah keuangan yang dihadapi kemenakan. Mamak akan berusaha menyelesaikan
masalah
tersebut
dengan
memberikan
pekerjaan
atau
mengikutsertakannya dalam mengelola sawah dan ladang sebagai harta pusaka. Jika kedua penyelesaian tersebut belum mampu menolong kemenakannya, beberapa bagian harta pusaka dapat dijadikan modal usaha bagi kemenakannya. Berdasarkan hal tersebut, dapat terlihat mamak tidak akan memberikan penyelesaian jangka pendek karena akan merugikan kehidupan kemenakannya di masa datang. Oleh karena itu, mamak memikirkan penyelesaian yang dapat menolong kemenakannya dalam jangka waktu lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa mamak berusaha selalu memberikan solusi untuk masalah yang muncul dalam kehidupan kemenakan. Pemecahan masalah yang diberikan oleh mamak selalu mengutamakan kepentingan kemenakan. Mamak juga bertanggung jawab dalam mengurusi warisan keluarga. Warisan dibagi dua, yaitu sako dan pusako. Sako adalah jabatan atau gelar, sedangkan pusako adalah harta benda (Navis, 1984: 159). Biasanya, sako diwariskan kepada kemenakan laki-laki, sedangkan pusako diberikan kepada kemenakan perempuan. Selain memberikan warisan keluarga, ia tetap berkewajiban untuk mengembangkan harta pusaka demi kesejahteraan keluarga besarnya. Pengelolaan harta pusaka keluarganya berada di bawah kendali mamak. Semua kegiatan yang menggunakan harta pusaka pun harus seizin mamak dan hasil mufakat keluarga besar. Hal itu disebabkan peran mamak sebagai pemimpin dalam keluarganya. Jadi, mamak harus mempertimbangkan segala aspek kehidupan yang baik bagi kemenakan, termasuk pengelolaan harta untuk kehidupan kemenakan yang akan datang. Pendidikan yang dijalani oleh kemenakan pun tidak luput dari peran mamak. Ia bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan formal dan pendidikan agama bagi kemenakan (Samin, 1997: 61). Sistem kekerabatan yang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
35
matrilineal menyebabkan seorang suami berada di luar keluarga istrinya. Hal tersebut memungkinkan kurangnya kewajiban dan peran ayah dalam pendidikan anaknya karena anak yang lahir dari perkawinan tersebut langsung masuk ke dalam anggota suku istrinya. Jadi, sudah menjadi kewajiban mamak untuk mendidik kemenakannya. Kewajiban
mamak
terhadap
pendidikan
kemenakannya,
termasuk
menangani masalah keuangan dalam proses pendidikan. Jika orang tua kemenakan kurang mampu melengkapi kebutuhan sekolahnya, mamak akan membantu sesuai dengan kebutuhan kemenakan. Jadi, mamak wajib membantu kemenakannya yang berada dalam kesusahan dengan segala daya upayanya. Mamak juga berkewajiban memberikan pengetahuan lain di luar pendidikan formal, seperti tata cara dalam upacara adat Minangkabau dan strategi menghadapi kehidupan pada waktu yang akan datang. Mamak memberikan kesempatan kemenakan ikut berperan aktif dalam pelajaran tersebut. Salah satunya, mengikutsertakan kemenakan dalam acara perundingan antarnagari dan perkawinan adat agar mendapatkan pengetahuan secara langsung. Mamak berharap kemenakannya berwawasan luas mengenai adat dan dapat menggantikan dirinya jika dirinya sudah tiada. Ketika kemenakan sudah dewasa, mamak juga bertanggung jawab untuk mencarikan jodoh bagi kemenakannya. Mamak mempunyai berbagai macam pertimbangan dalam memilih jodoh bagi kemenakannya, antara lain agama, keluarga, dan pendidikan. Jumlah kekayaan tidak menjadi pertimbangan dalam mencari jodoh kemenakannya karena itu dapat dicari dengan kerja keras. Pilihan yang diberikan mamak harus diterima oleh kemenakan dengan lapang dada. Hal itu terjadi dengan pertimbangan bahwa pilihan mamak adalah sesuatu yang terbaik bagi kemenakannya. Sama dengan pendidikan dan perlindungan, mamak pasti akan mengutamakan kepentingan kemenakan dalam calon jodoh. Selain itu, keputusan mamak tentang jodoh bagi kemenakannya sudah melalui musyawarah dengan golongan tua lainnya. Jadi, sudah dibicarakan baik dan buruknya bagi kehidupan perkawinan kemenakan. Tidak hanya itu, mamak juga ikut membantu menangani masalah perekonomian rumah tangga kemenakan. Mamak ikut mencarikan tempat tinggal
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
36
yang baik bagi kemenakan dan keluarganya, serta membantu mencarikan pekerjaan bagi suami kemenakan yang belum mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut membuktikan bahwa mamak tidak lepas tanggung jawab sewaktu kemenakannya sudah menikah. Mamak masih bertanggung jawab kepada kemenakannya semasa hidupnya. Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa peran mamak dalam kehidupan kemenakan cukup besar. Ia berperan sebagai ayah bagi keluarga Minangkabau karena ikut bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakan sejak kecil hingga dewasa. Meskipun mamak ikut bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakan, ia berusaha untuk tidak menggantikan peran ayah dalam kehidupan anaknya. Hal ini senada dengan istilah, anak dipangku, kamanakan dibimbing. Kewajiban ayah memenuhi kebutuhan sandang dan pangan keluarganya, serta mendidik keluarganya, sedangkan mamak ikut membantu memenuhi kebutuhan saudara perempuan dan kemenakannya, serta mendidiknya dengan tata kelakuan adat Minangkabau. Hal itu dilakukan agar kemenakan tidak lupa dengan ajaran adat asalnya. Selain itu, ia juga berperan dalam menjaga harta pusaka. Pemeliharaan harta pusaka ini dilakukan agar dapat digunakan sebaik-baiknya ketika dibutuhkan oleh kemenakan dan keluarga besar. Harta pusaka ini dapat digunakan bagi saudara perempuan yang membutuhkan dan memenuhi keperluan kemenakan, serta anggota keluarga yang sedang mengalami kesusahan. Saat ini, peran mamak dalam keluarga Minangkabau sudah berkurang dibandingkan dahulu. Hal itu dapat terlihat dari hubungan ayah dan anak yang lebih kuat daripada hubungan mamak dan kemenakan. Ayah berperan besar dalam membesarkan dan mendidik anaknya daripada mamaknya. Contoh lainnya, terlihat dari peran mamak dalam menentukan jodoh bagi kemenakan yang tidak terlalu besar. Saat ini, peran mamak hanya sebagai penasehat bagi kemenakan dalam memilih jodoh. Pandangan itu berlandaskan bahwa kemenakanlah yang akan menjalani kehidupan rumah tangga, tentu ia akan mencari seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan anak-anaknya nanti. Ada berbagai faktor yang menyebabkan berkurangnya peran mamak dalam kehidupan kemenakan, antara lain semakin kuatnya hubungan keluarga
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
37
batih (inti) daripada keluarga samande (seibu). Jadi, kedua orang tua memegang peranan penting dalam membesarkan anaknya, terutama ayahnya. Dulu, ayah kandung hanya bertanggung jawab dalam pengasuhan anak ketika kecil. Setelah itu, tanggung jawab mamaklah untuk mendidik dan membimbing kemenakannya. Namun, sekarang tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik diserahkan sepenuhnya kepada ayahnya. Hal ini mengakibatkan perubahan kedudukan ayah dalam masyarakat Minangkabau, dulu dianggap sebagai orang lua (luar) bagi istri dan anaknya, namun sekarang sudah memiliki otoritas penuh sebagai kepala keluarga. Budaya merantau juga turut serta dalam perubahan peran mamak terhadap kemenakan. Sistem patrilineal yang berbeda dengan sistem matrilineal di Minangkabau memberikan pandangan lain tentang peran ayah dan mamak dalam kehidupan kemenakan bagi keluarga Minangkabau yang merantau. Kebanyakan masyarakat Minangkabau di perantauan menempatkan peran ayah di atas peran mamak dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Perubahan tersebut dapat membuktikan bahwa adat Minangkabau sejalan dengan agama Islam. Oleh karena itu, peran mamak saat ini meliputi menjaga nama baik suku dan kaumnya serta mengikuti upacara adat Minangkabau. Meskipun perannya berkurang, tidak menghilangkan keberadaannya di keluarga Minangkabau. Hal itu disebabkan dengan sistem matrilineal yang masih dianut oleh Minangkabau. Di samping itu, perubahan peran ini dapat memperjelas batas kewajiban masingmasing pihak dalam kehidupan kemenakannya. Ayah adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam membesarkan dan mendidik anaknya dibandingkan mamaknya. Begitu pula saat kemenakan sudah menikah, suami adalah orang yang wajib dipatuhi oleh istrinya.
4.2 Sinopsis Didjemput Mamaknja Sebelum memasuki analisis tema dan tokoh Didjemput Mamakanja, penulis memberikan sinopsis Didjemput Mamaknja agar dapat memudahkan pembaca memahami bahasan selanjutnya. Bahasan ini sengaja diletakkan sebelum memasuki analisis tema dan tokoh, bukan pada lampiran agar memudahkan pembaca dalam membacanya. Selain itu, penulis menjadikan sinopsis menjadi
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
38
subbab sendiri agar tidak menimbulkan kerancuan jika digabungkan dalam subbab yang lain. Cerita Didjemput Mamaknja diawali dengan pertemuan seorang penjual kulit kasur dengan pengguna jasanya. Penjual kulit kasurnya bernama Musa dan pengguna jasanya adalah Engku. Suatu hari, Engku ingin mengganti kulit kasur yang sudah lama rusak. Engku ini digambarkan sebagai seorang penulis. Sebenarnya, pagi hari itu, ia harus pergi ke kantor namun hatinya lebih memilih untuk melihat tukang kasur yang sedang mengganti kulit kasur anak-anaknya. Ternyata, Engku dan Musa terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang kehidupan Musa. Ia mendengarkan dengan jelas setiap peristiwa yang diingat kembali oleh Musa. Kejadian tersebut sudah cukup lama dialami oleh Musa. Meskipun lelah melakukan pekerjaannya, Musa terlihat semangat untuk menceritakan apa yang telah dialaminya. Kilas balik kehidupan Musa diawali dengan gambaran kerja kerasnya untuk mencari nafkah bagi keluarga kecilnya. Selama dua tahun di perantauan, Musa dan istrinya, Ramah, mendapatkan seorang putra yang bernama Fauzi. Ia tidak kenal lelah menjajakan jualannya meskipun kadang-kadang pulang tanpa membawa hasil. Namun, ketidakberhasilan dan kelelahan Musa dapat terobati oleh kehadiran istri dan anak yang selalu mendukungnya. Ramah, sebagai istri, menerima dengan tulus apa pun yang didapatkan Musa dari usahanya. Namun, ketulusan istrinya yang menerima kehidupan sulit di rantau menimbulkan kekhawatiran dalam diri Musa. Ia takut Ramah akan tersiksa hidup dalam kemiskinan karena ia berasal dari keluarga yang kaya. Selain itu, kekhawatiran Musa juga ditimbulkan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi keinginan keluarga besar Ramah. Mereka menginginkan Ramah dapat hidup lebih baik secara materi setelah menikah dengan Musa. Ramah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya menikah dengan laki-laki yang dapat memenuhi kebutuhan materi dengan baik bagi keluarga Ramah. Suami kakak Ramah adalah saudagar besar di Bengkulu, sedangkan suami adiknya seorang saudagar barang hutan di kampung. Pernikahan Musa dengan Ramah sudah melalui aturan adat yang berlaku. Musa adalah suami pilihan mamak dan Ramah menerima apa pun yang telah ditetapkan mamaknya.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
39
Pada awal pernikahan Musa dan Ramah sudah timbul konflik yang diakibatkan oleh kedua saudara Ramah. Musa dan Ramah tinggal di rumah keluarga Ramah pada awal pernikahan. Kedua saudara Ramah selalu menyindir ketidakmampuan Musa dalam memberikan yang sama baiknya dengan suami mereka. Keadaan tersebut dihadapi Ramah dengan tenang dan berusaha menguatkan hati suaminya. Ia pun tidak menunjukkan rasa kesal dan marah terhadap ulah kedua saudaranya. Ramah tetap menghormati suaminya dan tidak mengacuhkan perkataan saudaranya. Hal yang sebaliknya terjadi pada diri Musa, ia semakin merasa rendah diri dan tertekan dengan perkataan dan tingkah laku yang dilakukan oleh keluarga besar Ramah. Pada akhirnya, ia sempat berhari-hari tidak pulang ke rumah tersebut. Selama tidak pulang ke rumah tersebut, ia tinggal di rumah ibunya. Setelah itu, muncul keinginannya untuk merantau agar dapat menyelesaikan masalah yang ada. Ia meminta izin kepada ibunya untuk mengupas batang kayu manis yang ditanamnya sembilan tahun yang lalu untuk dijadikan ongkos merantau. Saat membayangkan harga batang kayu manis yang akan dijualnya, Musa melihat Ramah berjalan menuju rumah ibunya dengan muka sedih. Ramah langsung menuangkan kesedihannya kepada Musa. Ia meminta Musa untuk pulang bersamanya sambil menangis. Melihat keadaan tersebut, Musa pun menyampaikan isi hatinya kepada Ramah. Ia merasa tertekan dengan keadaan di rumah
gadang,
ditambah
lagi
dengan
ketidakhadiran
mamak
dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Musa pun mengungkapkan bahwa perasaan sayangnya kepada Ramah tidak berubah sedikit pun. Mendengar pernyataan Musa tersebut, Ramah meminta maaf dan memintanya kembali tinggal di rumah keluarganya demi keutuhan rumah tangga mereka. Namun, Musa menyatakan keinginannya untuk merantau kepada Ramah. Tanpa diduga oleh Musa, Ramah menyatakan keinginannya untuk ikut serta merantau meskipun Musa sudah menggambarkan kehidupan sulit yang akan ditempuh selama merantau. Oleh karena itu, Musa merasa senang karena istrinya setia mendampingi apa pun keadaannya. Keinginan merantau pun mereka sampaikan kepada keluarga
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
40
Ramah. Tanggapan negatif yang diberikan oleh keluarga Ramah tidak menyurutkan keinginan Ramah merantau bersama suaminya. Akhirnya, Musa dan Ramah merantau ke Deli. Di Deli, Ramah hidup dalam keadaan yang berbeda dengan di kampung. Ia tinggal di rumah yang kecil dan hidup dalam kekurangan. Namun, keadaan tersebut tidak menimbulkan masalah untuknya. Ia lebih mementingkan kebebasan dalam mengatur rumah tangganya dan hal tersebut menimbulkan kebahagiaan untuknya. Begitu pula dengan Musa, ia merasakan kebahagiaan rumah tangga selama di rantau. Setelah lelah berkeliling menjajakan jualannya, ia selalu disambut dengan senyuman oleh istrinya. Pada saat di kampung, ia selalu menjadi pusat perhatian keluarga Ramah setelah pulang mencari nafkah, mereka ingin melihat apa yang dapat diberikan Musa kepada Ramah. Dapat dikatakan, selama di rantau Ramah dan Musa baru menemukan kebahagiaan sebenarnya dari berumah tangga. Di rantau pula, mereka mendapatkan seorang anak yang diimpik an selama berumah tangga. Kebahagiaan Ramah dan Musa tidak berlangsung lama karena mamak datang ke Deli untuk membawa pulang Ramah dan Fauzi ke kampung. Keluarga besar Ramah dan mamak mendengar kabar dari orang kampung yang pulang dari Deli bahwa Ramah tersiksa dalam perantauannya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membawa Ramah kembali ke kampung sebagai bentuk pertolongan. Keputusan ini menemui perlawanan dari Ramah. Ia menolak pulang ke kampung dan menjelaskan keadaan rumah tangganya yang sebenarnya kepada mamak. Ia tidak merasa kesulitan hidup dalam kekurangan. Baginya, kebahagiaan rumah tangga tidak dapat dilihat dan dinilai secara materi. Mamak pun melakukan segala upaya agar Ramah dapat pulang bersamanya. Namun, Ramah tetap menolaknya karena keinginannya menjaga kebahagiaan dan keutuhan rumah tangganya. Perlawanan Ramah kepada keinginan mamaknya tidak diikuti oleh Musa. Ia mengizinkan mamak membawa Ramah dan Fauzi kembali ke kampung. Tidak hanya itu, Musa pun menolak keinginan mamak untuk membiayai kepulangan Ramah dan Fauzi pulang ke kampung. Ia menyatakan kesanggupannya untuk
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
41
membiayai kepulangan istri dan anaknya, serta mamak. Musa pun mencari pinjaman kepada temannya untuk membiayai ongkos pulang kampung ketiganya. Dengan kesedihan yang mendalam, Ramah mengikuti keinginan suaminya. Ramah meminta kepada Musa untuk tidak menceraikannya. Musa pun langsung mengiyakan permintaan istrinya karena ia pun tersiksa jauh dari istri dan anaknya, apalagi jika mereka bercerai. Selama Ramah di kampung, ia mengirim kabar kepada Musa melalui surat. Ia menyatakan keinginannya lagi agar tidak diceraikan oleh Musa. Selain itu, ia juga menceritakan penilaian orang-orang di kampung tentang mereka berdua selama di rantau. Musa juga merasakan kesedihan saat dipisahkan dari istri dan anaknya oleh mamak. Namun, dia tidak berdaya untuk menjemput kembali istrinya yang berada di kampung. Terlebih lagi, ia sempat berpikir untuk menceraikan Ramah, sama seperti yang diinginkan keluarga besarnya. Pikiran buruk tersebut cepat dihilangkan dari kepalanya. Ia menyadari tidak ada yang salah dalam rumah tangganya. Oleh karena itu, ia tetap mempertahankan rumah tangganya tanpa ada perjuangan untuk menjemput anak dan istrinya di kampung. Ia tetap mengirimkan uang kepada Ramah sebagai bentuk tanggung jawabnya. Perjuangan Musa belum dirasa cukup oleh keluarga Ramah. Oleh karena itu, mereka meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Ramah pun menolak untuk mengabulkan permintaan tersebut. Namun, keluarga besar Ramah dan mamak tidak henti-hentinya memaksakan keinginan tersebut. Akhirnya, Ramah menuruti keinginan mamak dan ibunya. Ia diantarkan oleh ibunya ke musola untuk meminta taklik kepada kadi. Saat meminta taklik kepada kadi, Ramah berurai air mata mengucapkan keinginannya tersebut. Tak lama kemudian, ada wakil dari kampung yang mengantarkan surat taklik kepada Musa. Saat membaca surat tersebut, Musa menyadari bahwa Ramah dan dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan mamak dan keluarga besar Ramah dalam rumah tangganya. Musa pun merasakan kehilangan karena ia tidak dapat lagi melihat buah hatinya bersama Ramah, Fauzi. Di akhir ceritanya kepada Engku, Musa menitikkan air mata sebagai wujud kesedihannya. Engku pun terlihat bersimpati terhadap keadaan Musa. Ia pun membayar upah Musa melebihi bayaran yang seharusnya diterima.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
42
4.3 Analisis Tema dalam Didjemput Mamaknja Seperti yang telah diungkapkan dalam tujuan, penulis akan menganalisis dua unsur intrinsik dalam Didjemput Mamaknja, yaitu tema dan tokoh. Dalam subbab ini, akan dibahas mengenai definisi tema dan mengaitkannya dengan Didjemput Mamaknja. Saat membaca sebuah novel, terlebih dahulu kita mengikuti apa yang disampaikan pengarang untuk mengetahui isi ceritanya. Kadang-kadang kita larut ke dalam ceritanya dan ikut bersimpati dengan apa yang dialami oleh tokoh ciptaan pengarang. Namun, dapat terjadi hal yang sebaliknya, pembaca tidak mengerti apa yang disampaikan oleh pengarang. Oleh karena itu, kewenangan pengarang dalam menciptakan suatu karya juga ikut mempengaruhi keberhasilan penyampaian pesannya kepada pembaca. Pesan yang ingin disampaikan pengarang berdasarkan pemikiran yang ingin dituangkannya dalam suatu karya. Pemikirannya tersebut dapat terinspirasi dari kehidupan pribadi atau masalah yang sedang dialami oleh orang lain. Hal tersebut dapat memunculkan suatu gagasan yang akan mengikat keseluruhan ceritanya. Hal itu dilakukan agar pesan yang ingin disampaikan pengarang dapat dimengerti oleh pembaca. Gagasan yang mendasari suatu cerita itulah yang dinamakan tema dari karya sastra. Tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988:50). Dalam penciptaan karya sastra, pengarang mempunyai kewenangan besar menentukan apa yang ingin disampaikannya. Oleh karena itu, setiap pengarang mempunyai alasan tertentu membahas tema yang diinginkannya dalam karyanya. Menurut penulis, tema dalam Didjemput Mamaknja adalah kesewenangwenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawabnya kepada kemenakan. Dalam novel ini, mamak digambarkan sebagai sosok pemimpin yang keras dalam menentukan apa yang terbaik Ramah, kemenakannya. Ia tidak memikirkan apa yang sebenarnya dibutuhkan Ramah, tetapi sibuk menjaga citra baiknya kepada orang-orang sekitar tempat tinggalnya. Selain menjadi pemimpin yang otoriter, mamak juga digambarkan sebagai pemimpin yang tidak konsisten dengan apa yang telah dipilih sebelumnya. Ia adalah orang yang bertanggung jawab saat menjodohkan Musa dengan Ramah,
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
43
kemenakannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pula yang menyebabkan rumah tangga Ramah dan Musa berakhir. Di matanya, Musa tidak dapat memenuhi harapannya untuk membahagiakan Ramah secara materi.
Sudah sekian lama merantau, sebuahpun tidak ada jang dapat. Sudah melarat dan sengsara di rantau orang, menurutkan suami jang rupanya tidak sanggup mentjarikan nafkah dan makan minum. Padahal dikampung sendiri bukanlah engkau terhitung orang miskin. Ada kau berninik bermamak, bukanlah kau anak terbuang. Ada kau berumah tangga, mengapa engkau pergi tinggal dirumah petak buruk jang tidak tentu ekor kepalanja ini. Lapang rumahmu, beruang tengah, berserambi bukan sempit, bukan sehingga tidak masuk tjahaja matahari seperti ini”. (Hamka, 1962: 17—18). Mamak terlihat begitu mudah mengubah keputusannya yang berkaitan dengan kehidupan Ramah. Ia terlihat hanya mengandalkan kekuasaannya untuk mengubah kehidupan Ramah yang miskin di rantau. Menurutnya, dengan membawa Ramah pulang ke kampung untuk hidup dalam keadaan berkecukupan adalah jalan keluar yang baik bagi kelangsungan hidup Ramah ke depan. Meskipun telah mendengar pendapat dari Ramah mengenai kebahagiaan dan ketenangan yang didapatkannya selama di rantau, mamak tetap pada pendiriannya. Tindakan itu terjadi karena menganggap dirinya adalah pemimpin yang sudah mengerti kemauan Ramah. Jadi, pernyataan Ramah tidak didengar olehnya. Kekuasaan mamak yang besar dalam kehidupan rumah tangga Ramah menimbulkan berbagai konflik yang merugikan Ramah sebagai kemenakan. Dalam adat Minangkabau, mamak wajib memberikan sesuatu yang terbaik dan menjamin kebahagiaan kepada kemenakan. Hal itu berdasarkan tanggung jawabnya sebagai pelindung dalam kehidupan kemenakan dan saudara perempuannya. Namun, hal tersebut tidak didapatkan Ramah selama menjalani rumah tangga dengan Musa. Kehadiran mamak dalam rumah tangga Ramah menyebabkan kebahagiaan yang telah didapatkannya hilang begitu saja. Hal itu disebabkan oleh cara pandang mamak dalam menilai sesuatu yang hanya terfokus pada dirinya.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
44
,,Apa jang engkau susahkan? Bukankah anakmu itu bermamak, beradat, bersuku,berlembaga, berkampung halaman? Biar ajahnya bertukar, dia ada bermamak, ada berharta tua. Minangkabau negeri beradat, kemenakan dibela oleh harta benda pusaka. Gelar jang akan dipakainya gelar mamaknja. Adapun suamimu itu, walaupun kemana dia diturutkan, namun sukunja berlain djuga dengan suku anakmu. (Hamka, 1962: 21). Hal itulah yang menimbulkan berbagai konflik dalam kehidupan rumah tangga Ramah. Kekuasaan mamak yang begitu besar menciptakan berbagai konflik, seperti rumah tangga Ramah dengan Musa, konflik saat Musa tinggal di rumah gadang, dan keluarga Musa dan Ramah yang saling memojokkan. Menurut Nurgiyantoro (1995), tema adalah hal yang mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, situasi, dan konflik, serta unsur intrinsik lainnya. Kejadian dan konflik yang terjadi dalam Didjemput Mamaknja bersumber pada hal yang sama, yaitu kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pembimbing dan pelindung bagi kemenakan. Ia merasa berhak untuk turut campur dalam kehidupan rumah tangga Ramah tanpa menghiraukan posisi Musa yang telah menjadi suami dan pemimpin bagi Ramah, istrinya. Dalam menemukan tema sebuah karya sastra harus diamati berdasarkan keseluruhan cerita, tidak hanya berlandaskan sebagian cerita. Hal itu dapat dilihat dari elemen-elemen pendukung sebuah cerita. Dialog-dialog antara tokoh yang satu dengan yang lain menjadi media pengarang untuk menyelipkan temanya. Selain itu, ada unsur intrinsik yang perlu diperhatikan dalam menentukan tema, seperti latar, tokoh, alur, penokohan, dan plot. Menurut penulis, menemukan tema pada Didjemput Mamaknja lebih mudah ditelusuri dengan gambaran tokoh. Hal tersebut berdasarkan karakter tokoh dan dialognya menggambarkan dengan jelas kekuasaan mamak yang terlalu kuat dalam kehidupan Ramah yang sudah menikah. Dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah kritik terhadap salah satu adat Minangkabau yang ingin disampaikan oleh Hamka, sebagai kaum muda. Pada tahun 1920-an banyak terjadi pertentangan mengenai pelaksanaan adat Minangkabau yang dianggap tidak sejalan dengan agama Islam di Sumatra Thawalib. Hamka menjadi bagian dari pergolakan tersebut karena ia bersekolah di Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
45
Sumatra Thawalib pada masa itu. Ia pun ikut menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan adat melalui berbagai buku dan karya sastra yang ditulisnya. Tidak hanya Hamka, tetapi ada Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Sutan Pamuntjak dan Abdul Moeis yang menggunakan karya sastra pula sebagai wadah untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap kondisi pelaksanaan adat saat itu (Ali, 1994:109—130). Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan tanggung jawab mamak terhadap kemenakan yang dinilai sewenangwenang saat itu. Seorang pengarang memilih dan membahas peristiwa kehidupan dan berbagai masalah hidup menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan (Nurgiyantoro, 1995: 71). Oleh karena itu, tema yang dibahas dalam Didjemput
Mamaknja
berkaitan
dengan
kehidupan
Hamka,
yaitu
adat
Minangkabau dan Islam. Pengarang karya fiksi tidak mungkin mencipta tanpa didasari pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap realitas. Oleh karena itu, dalam novel tersebut terlihat Hamka mengkritik tindakan mamak yang sewenang-wenang kepada Ramah. Ia menilai tindakan mamak tersebut sudah tidak sejalan dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau. Di samping kehidupan pengarang, ada faktor lain yang mempengaruhi tema dari karya sastra, salah satunya keinginan pasar. Karya sastra yang dinikmati oleh pembaca membuat keberadaannya berarti di masyarakat. Salah satu ciri karya sastra yang baik adalah mendapatkan banyak apresiasi dari masyarakat. Pengarang pun tentu menginginkan karya sastra yang ditulisnya dibaca oleh orang banyak (Sudjiman, 1988: 54). Oleh karena itu, keinginan pasar pada masa tertentu dapat mempengaruhi pengarang dalam menghasilkan karyanya. Hal itu pun dilakukan Hamka saat menghasilkan karya sastranya yang bertemakan masalah adat. Pada tahun 1920—1940, banyak kaum muda Minangkabau yang mengkritik adat Minangkabau lewat tulisannya (Ali, 1994: 13—14). Banyaknya novel yang dihasilkan pada masa itu, tentu mempengaruhi apresiasi pembaca terhadap tulisan tersebut. Sepertinya, Hamka tergerak pula untuk menyampaikan pemikirannya tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
46
tidak sejalan dengan Islam. Hal itu sejalan dengan keinginan Hamka untuk tetap berdakwah dalam tulisannya. Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat dalam berbagai karya sastranya, Hamka memasukkan pemikiran mengenai menjalani hidup harus berdasarkan Alquran dan sunnah rasul. Hal itu dipengaruhi oleh pola mendidik orang tua dan sekolah yang sempat diikutinya menganut pemahaman agama Islam yang murni. Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan bahwa mamak tidak berhak lagi memimpin Ramah karena ia sudah menikah dengan Musa. Perannya sudah digantikan oleh Musa sebagai kepala keluarga. Hal itu sejalan dengan pandangan Islam mengenai suami adalah kepala keluarga yang wajib dipatuhi oleh istrinya. Selain itu, Hamka menunjukkan kekuasaan mamak yang terlalu besar dapat mendorong dirinya bertindak sewenang-wenang kepada kemenakan. Oleh karena itu, dalam novel ini tidak disebutkan mamak dari Ramah tersebut ada hubungan darah atau tidak dengannya. Hal itu juga didukung dari penyebutan tokoh mamak tanpa nama yang jelas. Sepertinya, Hamka sengaja tidak menyebutkan nama untuk memperluas jangkauan kritikannya. Dalam bab sebelumnya, telah dipaparkan mamak di Sumatera Barat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan wilayah kekuasaannya, yaitu mamak rumah, suku, dan kaum. Meskipun wilayah yang menjadi kekuasaannya berbeda-beda, ketiga jenis mamak tersebut tetap bertanggung jawab terhadap kehidupan kemenakan. Hal ini dapat menjadi dasar pemikiran Hamka memilih menggunakan kata mamak saja agar kaum tua yang pernah berlaku, seperti mamak dalam novelnya dapat melihat kembali akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya. Tindakan mamak yang menjemput Ramah, kemenakannya, dari Musa adalah gambaran kesewenang-wenangannya sebagai pelindung bagi Ramah. Mamak bertindak sebagai pihak yang aktif karena memaksakan kehendaknya untuk membawa Ramah kembali ke kampung dan meninggalkan suaminya di perantauan. Ditambah lagi, perannya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah menimbulkan kepercayaan diri yang sangat kuat untuk memaksakan keinginannya tersebut. Selain dari tindakan mamak tersebut, judul dari Didjemput Mamaknja juga turut menggambarkan mamak berperan sebagai pihak aktif. Berdasarkan kata
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
47
‘dijemput’ terlihat mamak yang terlebih dahulu melakukan tindakan kepada kemenakan. Di lain pihak, Ramah, sebagai kemenakan, hanya dapat menerima apa yang dilakukan mamak. Oleh karena itu, Ramah berperan sebagai pihak yang pasif karena mamak berkuasa dalam dirinya. Kekuasaan mamak terhadap kemenakan digambarkan dengan proses satu pihak yang mempengaruhi pihak lain sehingga mengikuti keinginan pihak pertama. Pihak pertama maupun kedua dapat diwakili dengan orang atau sekumpulan orang. Pihak pertama dalam novel ini diwakili oleh mamak yang menunjukkan
kekuasaannya sebagai
pemimpin
dalam
keluarga
Ramah.
Kekuasaan dan kewenangan dalam suatu masyarakat mempunyai faktor penting sebagai pengikat atau pemersatu bagi masyarakat tersebut (Soekanto, 1992: 50). Penjemputan Ramah dari suaminya yang dilakukan mamak merupakan cara untuk menyelamatkan kemenakannya dari hidup miskin dan untuk menjaga nama baik keluarga Ramah. Mamak melakukan musyawarah dengan golongan tua untuk memutuskan sesuatu yang baik bagi Ramah. Hal ini memang dilaksanakan sesuai dengan aturan adat Minangkabau, yaitu musyawarah dalam memutuskan sesuatu14. Namun, saat mamak bermusyawarah tidak menggunakan pengalamannya selama mendidik Ramah sewaktu kecil hingga dewasa. Tentu, ia dapat memahami apa yang diinginkan Ramah daripada orang lain. Seharusnya, kekuasaan itulah yang digunakan dalam memutuskan apa yang baik untuk rumah tangga Ramah. Selain itu, penjemputan tersebut sebagai ajang pembuktian bagi mamak untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa dalam hidup Ramah. Mamak tidak ingin posisinya tergantikan oleh Musa. Pihak kedua dalam novel ini diwakili oleh Ramah dan Musa. Mereka digambarkan mengikuti keinginan pihak pertama, yaitu mamak dengan pasrah. Perlawanan sempat dilakukan oleh Ramah namun tidak mengubah keputusan mamak untuk membawanya kembali ke kampung. Kekuasaan mamak dalam 14
Kamanakan barajo ka mamak. Mamak barajo ka panghulu. Panghulu barajo ka mupakaik. Mupakaik barajo ka alua jo patuik.( Kemenakan beraja ke mamak. Mamak beraja ke penghulu. Penghulu beraja ke mufakat. Mufakat beraja ke alur dan patut) Di dalam ungkapan tersebut digambarkan alur pengambilan keputusan yang harus dilalui oleh tiap orang dalam tingkatannya di Minangkabau. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: 1984), hlm. 77 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
48
dirinya tidak memberikan peluang Ramah untuk berpendapat dan menentukan apa yang baik dalam rumah tangganya. Sebagai kemenakan, Ramah harus mematuhi mamak sebagai pemimpin dan orang yang mendidiknya sejak kecil hingga dewasa. Perlawanan yang sempat dilakukan Ramah tidak menimbulkan perubahan terhadap sikap mamak yang keras untuk membawanya pulang ke kampung. Dalam kenyataannya, pelaksanaan kekuasaan tersebut dapat diwujudkan dengan berbagai cara, antara lain dengan demokratis, bebas, dan otoriter. Tindakan yang dilakukan mamak terhadap Ramah dalam Didjemput Mamaknja termasuk ke dalam cara kepemimpinan yang otoriter. Ciri-ciri kepemimpian yang otoriter, seperti pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak, pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan kelompok, dan pemimpin terpisah dari kelompok dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi kelompok (Soekanto, 1992:52). Mamak mengambil keputusan menjemput Ramah beserta anaknya dari Musa, suaminya, berdasarkan mufakat golongan tua tanpa proses mendengarkan pendapat Ramah dan Musa. Keinginan Ramah dianggap sudah terwakili oleh pendapat mamaknya sebagai pemimpin keluarganya. Jadi, tidak diperlukan lagi kehadirannya dalam musyawarah yang membahas kehidupan rumah tangganya dengan Musa. Tema dari Didjemput Mamaknja juga dapat digolongkan ke dalam tema karya sastra yang bersifat tradisional. Dalam novel tersebut, penggambaran tokoh jahat dan tokoh baik tidak bertukar posisi dalam ceritanya. Hamka tetap mempertahankan hal tersebut agar pembaca dapat melihat akibat dari perbuatan masing-masing tokoh. Biasanya, tokoh baik akan mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalannya, sedangkan tokoh jahat akan mendapatkan kesusahan karena ulahnya. Namun, dalam novel ini yang terjadi sebaliknya, tokoh baik diatur kehidupannya oleh tokoh jahat. Kebahagiaan yang biasanya melekat pada tokoh baik, dalam novel ini dilekatkan pada tokoh jahat, yaitu mamak yang bahagia setelah berhasil membawa Ramah pulang ke kampung. Ramah sebagai tokoh baik mendapatkan kesedihan yang mendalam karena dipisahkan dari suaminya. Tema tradisional adalah tema yang bersifat universal dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, seperti kebenaran dan keadilan melawan kejahatan, cinta
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
49
sejati menuntut pengorbanan, kawan sejati adalah kawan di masa duka, dan tindakan kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Nurgiyantoro, 1995: 77). Tema tersebut digemari oleh orang banyak dari berbagai kalangan. Hal itu disebabkan keinginan dasar setiap orang mengenai kebaikan yang menang melawan kejahatan. Selain itu, tema tersebut mempunyai kedekatan emosi dengan pembaca karena harapan yang dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat menginginkan karya sastra dapat memotret apa yang terjadi dalam kehidupannya. Di sisi lain, karya sastra bertema nontradisional memiliki keluwesan dalam menyampaikan ceritanya, seperti tokoh jahat dapat berubah menjadi baik pada pertengahan cerita, begitu pula sebaliknya. Jika dihubungkan dengan kehidupan nyata, hal itu pun dapat terjadi pada orang-orang sekitar kita. Seringkali, kita temui orang yang sering melakukan kejahatan dapat hidup dalam kesenangan, sedangkan orang yang jalan hidupnya lurus-lurus saja sering menemui kesulitan. Keadaan itu dapat menjadi refleksi keadaan sosial yang sesungguhnya dibandingkan dengan situasi hitam-putih yang sering muncul dalam tema tradisional. Tema karya sastra yang bersifat tradisional maupun nontradisional mempunyai fungsi sastra yang sama dalam masyarakat, yaitu menghibur dan mendidik. Tema yang bersifat tradisional lebih memfokuskan pada harapan masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Diharapkan masyarakat dapat terpengaruh dengan kebaikan-kebaikan yang dimunculkan dalam cerita. Di sisi lain, karya sastra bertema nontradisional lebih menunjukkan adanya gejolak dalam kisahannya. Hal ini berkaitan dengan keinginan pengarang untuk menampilkan sesuatu yang lain agar karyanya nampak lebih nyata. Biasanya, akan dimunculkan tokoh baik dan tokoh jahat bertukar posisi dalam beberapa waktu. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa sesuatu dapat berubah karena dirinya sendiri yang melakukan tersebut. Oleh karena itu, pengarang berusaha memasukkan situasi nyata agar pembaca terdorong meniru perubahan baik yang ditampilkannya. Sebuah karya sastra dapat menggambarkan realitas melalui kemampuan imajinasi pengarang. Keterkaitan antara realitas dan imajinasi tidak dapat
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
50
dipisahkan karena saling dibutuhkan. Fiksi mengandung penciptaan dan kreativitas pengarang dengan meniru model realitas kehidupan (Nurgiyantoro, 1995:104). Oleh karena itu, kemiripan fiksi dengan kenyataan adalah sarana pengarang untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca. Begitu pula dengan Didjemput Mamaknja, Hamka menciptakan situasi dan konflik antara mamak dan kemenakan sesuai dengan pandangan keduanya namun tetap berada dalam situasi sosial Minangkabau tahun 1920-an agar mudah dipahami oleh pembaca. Dalam kehidupan nyata, mamak adalah orang yang bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakannya di Minangkabau. Tentu, pelaksanaan tanggung jawab tersebut untuk memberikan kebahagiaan bagi kemenakan. Namun, dalam novel ini, mamak kembali digambarkan sebagai orang yang memudahkan pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah. Keputusan yang diambilnya tidak mementingkan kebahagiaan Ramah.
Takut akan ditjeraikan suamimu? Apakah engkau suka djuga kepadanja? Seorang laki- laki yang tak patut ditumpang? Seribu laki-laki bisa kutjarikan. Kalau tidak dapat orang yang bergelar Datuk dan Sutan, tukang rumput pun kami sanggup tjarikan. Bukankah kami mamakmamakmu ini orang buta! Sebetulnja persangkaanmu itu tidak boleh engkau kemukakan!” (Hamka, 1962: 21). Kutipan di atas menunjukkan bahwa mamak bertanggung jawab untuk memberikan suami baru bagi Ramah setelah ia bercerai dengan Musa. Bentuk penyelesaian yang ditawarkannya semakin menegaskan bahwa dirinya tidak memikirkan perasaan Ramah yang sudah begitu mencintai Musa sebagai suaminya. Ditambah lagi, Ramah tidak akan kembali percaya terhadap ucapan mamaknya mengenai suami pilihannya. Hal itu didasarkan oleh keadaan yang sedang dihadapinya saat itu. Musa adalah suami pilihan yang terbaik oleh mamak namun sekarang mamak yang menghina Musa karena tidak mampu memberikan kelimpahan materi kepada Ramah. Lebih lanjut lagi, mamak pula yang berperan besar saat Ramah menceraikan Musa.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
51
Tidak berapa lama kemudian, jang saja tunggu itupun datanglah. Seorang kawan saja, nama si Samah, jang datang dari kampung, membawa seputjuk surat dari tuan Kadi, mengatakan bahwa saja tidak beristeri lagi,, bahwa Ramah telah datang kepada tuan Kadi meminta putus. Saja tersenjum menerima surat itu, tetapi Samah melihat djelas bahwa tanganku gemetar. Tiba-tiba dia berkata: ,,Engkau djangan menjesali si Ramah, Musa! Saja lihat sendiri waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, ,sehingga pintu surau dia diiringkan oleh ibunja. Orang kampung kita banjak jang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran paksaan. Saja lihat air matanja meleleh ketika mengutjapkan permintaan itu. (Hamka, 1962: 30). Tindakannya tersebut kembali menunjukkan kepemimpinannya yang otoriter. Ia hanya memikirkan kepentingan untuk menjaga nama baik dirinya sendiri. Dengan keputusan yang diambilnya, ia dapat menunjukkan bahwa dirinya dapat memberikan kehidupan yang layak bagi Ramah, sekaligus tetap mempertahankan citra keluarga Ramah yang baik kepada orang-orang di kampung. Dalam pengambilan keputusan tersebut, mamak menggunakan kekuasaannya terhadap kemenakan. Hal itulah yang berkali-kali dibahas Hamka dalam Didjemput Mamaknja. Ia menunjukkan kekuasaan tersebut melalui berbagai peristiwa yang dialami oleh Ramah dan Musa. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuasaan mamak yang berlebihan dapat menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang terhadap kemenakan. Dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut digambarkan merugikan kemenakan. Ramah hanya pasrah saat mamak membawa dirinya pulang kampung. Mamak melakukan tindakan tersebut agar Ramah berpisah dengan Musa dan lebih mudah mendesaknya untuk menceraikan Musa. Rasa sedih dan kehilangan yang dirasakan Ramah tidak diperhatikan oleh mamak saat memutuskan Ramah untuk bercerai dengan Musa. Gambaran peristiwa tersebut merupakan salah satu cara Hamka menyindir masyarakat Minangkabau pada masa itu. Ia berani mengungkapkan kepincangan adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan agama Islam. Dalam novel ini, Hamka mengkritik kesewenang-wenangan mamak dalam melaksanakan tanggung jawab kepada kemenakan. Rumah tangga Ramah dirugikan karena kuatnya kekuasaan pihak luar, seperti mamak dan keluarga besarnya. Selain itu, perceraian
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
52
yang terjadi bukan karena kemauan Ramah, melainkan untuk menuruti keinginan mamak. Kesewenang-wenangan mamak tersebut menunjukkan bahwa ia berusaha menjadi pemimpin dalam rumah tangga kemenakannya. Ia merasa dapat memberikan kehidupan yang layak daripada kehidupan yang telah dijalani Ramah dengan Musa. Hal tersebut tidak sejalan dengan falsafah adat Minangkabau yang menjadikan agama Islam sebagai dasar pelaksanaan adatnya. Pemikiran Hamka tersebut dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai ulama dan berbagai pengetahuan Islam yang dipelajarinya. Perubahan yang diinginkan Hamka tentang hubungan mamak dan kemenakan tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan. Dalam Didjemput Mamaknja, ia menginginkan setiap orang melaksanakan peran sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Dengan adanya batasan antara peran yang satu dengan yang lain kekuasaan yang berlebihan pada satu pihak tidak akan muncul. Selain itu, kritik yang disampaikan Hamka dalam Didjemput Mamaknja merupakan gambaran perubahan yang dapat menyempurnakan adat bermamakkemenakan yang sudah ada.
4.4 Analisis Tokoh dalam Didjemput Mamaknja Dalam penelitian ini, pengertian tokoh meminjam pemikiran Burhan Nurgiyantoro dan Panuti Sudjiman. Tokoh dalam cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2002: 165). Di sisi lain, menurut Sudjiman (1988:16), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa. Tokoh-tokoh dalam suatu cerita disesuaikan dengan relevansi pembaca. Dapat saja, tokoh tersebut adalah penggambaran diri yang ada pada pembaca atau orang yang dikenalnya. Oleh karena itu, penggambaran tokoh-tokoh dalam Didjemput Mamaknja disesuaikan dengan kondisi Sumatra Thawalib saat karya dihasilkan. Musa dan Ramah sebagai kaum muda digambarkan berusaha melakukan perubahan terhadap
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
53
kekuasaan mamak namun tidak berhasil. Di lain pihak, mamak berusaha mempertahankan kekuasaannya dalam kehidupan Ramah. Pada tahun 1920-an, terjadi banyak pertentangan antara pelaksanaan adat yang dianggap tidak sesuai dengan agama Islam di Sumatra Thawalib15. Menurut penulis, dari situlah Hamka terinspirasi untuk menciptakan tokoh-tokoh yang mempunyai watak yang sama dengan kondisi saat itu. Hal itu menjadi pendukung keinginan dasar Hamka untuk menyampaikan kritik terhadap kekuasaan mamak yang berlebihan terhadap kehidupan kemenakan. Tokoh dalam sebuah karya sastra adalah salah satu cara pengarang untuk menuangkan temanya. Dalam sebuah cerita, tokoh memiliki peran yang berarti sebagai pembawa gagasan pengarang dan penyampai pesan yang diinginkan pengarang kepada pembaca. Pengarang mempunyai kewenangan dalam menciptakan berbagai macam karakter tokoh untuk mendukung jalan cerita yang diciptakannya. Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menyampaikan karakter tokoh dengan jelas. Ia langsung menonjolkan watak tokoh yang menjadi penyebab konflik dan tokoh yang kalah dalam konflik tersebut.
Saja dituduh terlalu kasar terhadap isteriku, pelekatkan tangan, penempeleng, dan lain-lain. Anakku jang masih ketjil itu penuh kudis, badannja tidak berpalut dengan kain lagi. Gelang dan dukuh jang kubelikan untuk isteriku, keluar masuk rumah gadai. Mendengarkan kabar berita jang demikian itu, naik darahlah mamak-mamaknja, marah penghulunja, ketjewa mertua saja dan bertambah tersenjum suami saudara isteri saja masuklah fitnah, bahkan merekalah jang lebih banjak memasukkan kata-kata buruk kepada isteri mereka masing-masing, dan dari isteri itu disampaikan kepada ibunja atau mamaknja (Hamka, 1962: 16). Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Musa dituduh menyakiti istrinya oleh orang-orang sekitar. Kabar tersebut langsung dimanfaatkan oleh keluarga Ramah yang tidak menyukai Musa. Oleh karena itu, terlihat jelas keluarga Ramah
15
Pertentangan antara pelaksanaan adat Minangkabau dan agama Islam disuarakan oleh beberapa orang pendiri Sumatra Thawalib, antara lain Haji Rasul, Ahmad Khatib, dan Muhammad Thaib Umar. Ketiga tokoh ini adalah pendiri Sumatra Thawalib pada tahun 1916—1920. Hamka menjadi salah satu murid di Sumatra Thawalib. Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatra Thawalib,(Yogyakarta: 1990), hlm. 167 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
54
tidak menyukai Musa karena tidak dapat membahagiakan Ramah dengan limpahan materi. Hal itu pun menimbulkan konflik batin bagi Ramah. Oleh karena itu, penggambaran karakter berbagai tokoh dalam Didjemput Mamaknja termasuk kategori teknik tokoh analitis. Menurut Nurgiyantoro (1995: 195), teknik tokoh analitis atau ekspositori, yaitu pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Dalam cerita, tokoh langsung dihadirkan kepada pembaca dengan deskripsi sikap, watak, tingkah laku, dan ciri fisiknya. Hal tersebut dapat terlihat dari penggambaran tokoh-tokoh dalam Didjemput Mamaknja. Watak setiap tokoh digambarkan secara langsung melalui dialog antar tokoh dalam Didjemput Mamaknja. Selain itu, tokoh juga ditampilkan dengan penggambaran tingkah laku dan karakter masingmasing yang jelas. Menurut penulis, hal tersebut sengaja dilakukan Hamka agar pembaca dapat langsung menilai apa yang disuguhkannya dalam novel tersebut. Ia tidak ingin pembaca berimajinasi dengan tokoh-tokoh ciptaannya. Hal itu berkaitan dengan tema yang dibahas dalam karya tersebut cukup sensitif pada masa itu di Minangkabau. Ia ingin menyampaikan pesannya tersebut agar dapat menimbulkan perubahan yang baik dalam pelaksanaan adat bermamak-kemenakan saat itu. Dalam novel ini, Hamka menyampaikan keinginan perubahan dari kekuasaan mamak yang berlebihan dalam kehidupan kemenakan yang sudah menikah. Saat melaksanakan tanggung jawabnya, mamak harus lebih menyadari keberadaan Musa sebagai suami dari Ramah. Hamka juga menunjukkan kurangnya perjuangan yang gigih dari Musa dan Ramah untuk mempertahankan apa yang sudah dipilihnya. Oleh karena itu, Hamka lebih memilih untuk menggambarkan peran mamak terhadap kemenakan dari kedua belah pihak yang berhubungan. Pandangan kaum muda tentang adat bermamak-kemenakan dapat terwakili oleh apa yang dialami tokoh Ramah dan Musa, sedangkan pandangan kaum tua tentang adat tersebut dapat diwakili oleh tindakan mamak. Dalam subbab ini akan dibahas lima tokoh, yaitu mamak, Ramah, Musa, keluarga Ramah, dan keluarga Musa. Penjelasan berbagai tokoh dilihat dari intensitas hubungannya satu sama lain dan peranannya dalam cerita. Peristiwa dalam cerita
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
55
ini disampaikan oleh salah satu tokoh utama, yaitu Musa dengan kilas balik. Ia mengingat apa yang pernah dialaminya dengan Ramah kepada Engku, orang yang menggunakan jasanya untuk mengganti kulit kasur yang sudah usang di rumahnya. Selain
itu,
penulis
memilih
tokoh-tokoh
tersebut
agar
dapat
menggambarkan hubungan mamak dan kemenakan secara berimbang. Hamka menampilkan pemikiran adat Minangkabau yang baik melalui pemikiran kaum tua, seperti mamak. Di lain pihak, digambarkan keinginan kaum muda dalam pelaksanaan adat tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari reaksi yang dilakukan Musa dan Ramah saat mamak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelindung bagi kemenakan. Dapat dikatakan, Hamka menampilkan pemikiran dua pihak yang berseberangan agar dapat memandang suatu masalah dari berbagai sisi, tidak hanya terfokus pada satu pandangan.
4.4.1. Mamak Mamak adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam Didjemput Mamaknja. Dalam novel ini, digambarkan wataknya yang keras saat melaksanakan tanggung jawab sebagai pelindung dalam kehidupan kemenakan. Ia tidak ingin perannya digantikan oleh Musa, suami Ramah, dalam kehidupan kemenakannya. Selain itu, mamak tidak ingin pula nama baiknya dan keluarga Ramah dinodai oleh kehidupan Ramah dan Musa yang miskin di rantau. Oleh karena itu, ia bersikeras untuk membawa Ramah pulang ke kampung untuk kebaikan kedua pihak, yaitu Ramah dan Musa. Karakter mamak yang keras dalam melaksanakan perannya menimbulkan sikap arogan yang tidak memberikan kesempatan orang lain berpendapat. Ia menganggap Ramah sebagai kemenakan harus menuruti apa yang diinginkannya. Selain itu, ia begitu yakin bahwa keputusan apa pun yang diambilnya adalah yang terbaik bagi kepentingan Ramah. Penampilan watak mamak yang keras ditampilkan secara konsisten oleh Hamka. Hal ini dilakukan untuk menegaskan watak mamak yang keras dalam melaksanakan perannya. Dapat dikatakan, mamak berperan sebagai tokoh hitam
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
56
dalam cerita ini. Ia adalah orang yang menyebabkan konflik rumah tangga Ramah dan ikut bertanggung jawab dalam peristiwa perceraian Ramah dengan Musa. Penggambaran watak mamak yang keras dalam Didjemput Mamaknja terlihat jelas saat awal kehidupan pernikahan Ramah dan Musa. Kemunculan mamak pada awal cerita jarang ditemui karena hanya digambarkan melalui dialog tokoh lain. Kehadirannya baru terasa di tengah cerita namun saat masuk di akhir cerita kemunculannya semakin berkurang. Meskipun kemunculannya tidak sebanyak tokoh lain, ia termasuk jenis tokoh utama bersama dua tokoh utama lainnya, yaitu Ramah dan Musa. Berdasarkan tingkat pentingnya dalam cerita, tokoh terbagi dua jenis, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan (Nurgiyantoro, 1992: 176). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Pengutamaan tersebut bukan berdasarkan frekuensi kemunculannya, melainkan intensitas keterlibatan tokoh tersebut dalam berbagai peristiwa yang membangun cerita. Mamak adalah tokoh penting yang menyebabkan perubahan besar dalam hidup Ramah, baik sebelum dan sesudah menikah dengan Musa. Dalam novel ini, digambarkan mamak sebagai pemimpin dan pelindung bagi keluarga Ramah. Oleh karena itu, sosoknya sangat dihormati oleh Ramah sebagai mamak. Pada cerita ini, digambarkan mamak melaksanakan tanggung jawabnya dalam mencarikan jodoh bagi Ramah, saat dirinya sudah memasuki usia pernikahan. Setelah bermusyawarah dengan kaum tua keluarga Ramah, mamak memutuskan Musa adalah calon suami yang terbaik bagi Ramah. Keadaan Musa yang sederhana tidak dijadikan halangan memilihnya untuk suami Ramah. Hal tersebut sejalan dengan salah satu tanggung jawab mamak, yaitu mencarikan jodoh yang terbaik bagi kemenakan tanpa mempertimbangkan jumlah materi yang dimiliki calon suaminya.
,,Isteriku itu bersaudara perempuan bertiga. Suami kakaknja seorang saudagar besar di Bengkulu, suami adiknja seorang saudagar barang hutan dikampung. Tjuma nasib isteriku jang sial, aku jang diterima oleh mamaknja mendjadi suaminja. Pada sangkanja bermula akan selamat sentosa anak kemenakannja didalam tanganku. Rupanja kehidupanku kian lama kian susah.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
57
Lama saja dikampung sesudah kawin. Kian lama belandja kian kurang, dengan sajap jang singkat saja hendak mentjoba terbang, dengan serba miskin saja hendak ikut memasuki dunia orang lain. Ringgit pertaruhkan hanja satu, itu saja bawa kemedan pertaruhan hidup, sesudah saja ambil mendjadi taruh, rupanja ringgitku tidak kembali lagi, saja kalah. ( Hamka, 1962: 7). Berdasarkan kutipan di atas ditunjukkan mamak memilih Musa bukan berdasarkan kekayaannya, melainkan ada hal lain yang menjadi pertimbangannya. Menurut penulis, mamak memilih Musa karena dinilai dapat bertanggung jawab menjaga dan membahagiakan kemenakannya. Sepertinya di mata mamak, kekayaan bukan satu-satunya jaminan dari kebahagiaan seseorang karena hal tersebut dapat dicari dengan kerja keras. Oleh karena itu, ia memutuskan Musa sebagai teman hidup Ramah untuk selamanya. Dari kutipan di atas juga terlihat mamak memahami apa yang menjadi dasar keinginan Ramah tentang calon suami yang didambakannya. Meskipun Ramah tidak dapat berpendapat dalam keputusan tersebut namun ada mamak yang dapat mewakili keinginannya. Hal tersebut berdasarkan hubungan yang terjalin antara Ramah dan mamak cukup kuat dari Ramah kecil hingga dewasa. Kekuasaan mamak dalam menentukan calon suaminya diterima Ramah dengan lapang dada. Hal tersebut dilakukan untuk menghargai tanggung jawab mamak dalam mencarikan jodoh yang baik untuknya. Selain itu, dapat dilihat bahwa mamak mempunyai kekuasaan melebihi Ramah sendiri yang paling berhak untuk menentukan pilihan hidupnya. Hal tersebut memang sudah diatur dalam tanggung jawab mamak kepada kemenakan. Jadi, mamak melakukan tanggung jawab mencarikan jodoh tanpa halangan karena Ramah menerima pilihannya dan begitu mencintai Musa. Setelah Ramah menikah, digambarkan mamak melalaikan tanggung jawabnya sebagai tempat bertanya apa pun mengenai masalah yang sedang dihadapi Ramah. Pada awal kehidupan pernikahannya, Ramah sudah menemui masalah dari keluarganya sendiri. Kekayaan suami kedua saudaranya tidak dapat ditandingi oleh Musa. Hal tersebut menimbulkan cemoohan dari dua saudara Ramah dan suaminya karena Musa dipandang sebagai orang miskin yang beruntung menikah dengan Ramah yang kaya.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
58
Tiap-tiap hari pekan kenjataanlah bagaimana kurang hargaku. Kebetulan suami kakak isteriku sedang dikampung pula. Jang seorang melemparkan ringgit untuk belandja, jang seorang melemparkan uang kertas lima rupiah. Saja sendiri, apa jang saja lemparkan. Oleh sebab itu, adalah pagi-pagi hari pekan itu hari jang seburuk-buruknja buat saja selama dikampung. Isteriku tetap djuga menghidangkan nasi dengan hormatnja, walaupun hanja sambal dan ikan kering berbakar jang dia hidangkan. Tetapi kemana saja akan menjembunjikan makan, engku? Bukankah tudung sadji dan dulang harus diatur diruang rumah? Diruang jang satu kelihatan ikan pangat dan jang satu lagi rendang hati. Padahal dibawah tudung sadji saja hanja sambal lada itu sadja. Saja mendjadi gelisah, saja mendjadi tidak betah duduk dirumah. Mamak isteriku djarang datang melihat kemenakannja, ajahnja hanja gila membagi gelaran isteri-isterinja jang bertiga sadja. Kadang-kadang sehariharian saja tidak memperlihatkan diri kepada isteriku. Mula-mula masih teguh saja memulanginja, tetapi kian lama kian djarang. (Hamka, 1962: 7—8). Kutipan di atas menunjukkan mamak tidak berusaha ikut campur menghadapi situasi yang cukup menyulitkan bagi Ramah. Hal tersebut terjadi karena kurangnya intensitas hubungan mamak dan Ramah. Kejadian di atas dapat cepat
teratasi
jika
mamak
lebih
sering
mengunjungi
kemenakannya.
Kedatangannya untuk menjenguk para kemenakan dapat melihat gambaran situasi yang sebenarnya terjadi di rumah gadang16. Bukan berarti pula, mamak berhak selalu ikut campur dalam rumah tangga kemenakannya. Namun, mamak sebagai pembimbing berhak mengingatkan agar semua orang di rumah gadang tidak memandang sebelah mata kepada Musa. Oleh karena itu, kelalaian mamak dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut berpengaruh terhadap rumah tangga Ramah. Di satu sisi, Ramah sebagai
16
Rumah gadang berfungsi sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit. Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya iaakan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: 1984), hlm. 176—177 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
59
istri harus tetap menghormati Musa, suaminya. Namun, di sisi lain, ia mendapat tekanan yang cukup berat dari keluarganya sendiri mengenai kemiskinan yang dimiliki Musa. Menurut penulis, seharusnya mamak dapat menggunakan kekuasaannya sebagai pemimpin bagi keluarga Ramah dalam menghadapi masalah tersebut. Ia dapat meminta semua orang menghormati rumah tangga masing-masing keluarga yang tinggal di rumah gadang. Terlebih lagi, pemilihan Musa sebagai suami Ramah adalah hasil dari campur tangannya sendiri. Jadi, ia dapat memahami berbagai tanggapan yang akan muncul dari orang-orang sekitarnya mengenai sosok Musa. Selain itu, ia dapat membantu keadaan Musa yang dianggap lemah di mata keluarga besar Ramah. Salah satu bantuannya dengan memberikan pekerjaan atau memberikan modal usaha bagi Musa. Bukan berarti, bantuan tersebut dapat membuat Musa malas berusaha sendiri. Hal tersebut dilakukan setelah melihat berbagai peristiwa yang dialami oleh Ramah, kemenakannya. Dengan bantuannya tersebut, ia dapat memberikan ketenangan batin bagi Ramah. Namun, tindakan tersebut tidak ditemukan dalam sosok mamak dalam Didjemput Mamaknja. Dalam peristiwa selanjutnya, Hamka semakin menggambarkan mamak yang tidak melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan perannya. Mamak terlihat ikut campur terlalu jauh dalam rumah tangga Ramah dan Musa. Mamak yang berperan sebagai pelindung kemenakan berusaha menyelamatkan Ramah dari kehidupan yang serba kekurangan di rantau. Tindakan tersebut didorong oleh berbagai kabar yang didengar mamak dari orang-orang yang baru tiba dari Deli mengenai kesengsaraan yang dialami Ramah. Tentu saja, sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kehidupan kemenakannya, mamak tidak ingin hal-hal buruk menimpa Ramah di Deli.
Tiba pula fitnah bahwasanja pada masa jang achir ini; Kami sudah kerap kali berselisih dan berkelahi. Saja dituduh terlalu kasar terhadap isteriku, pelekatkan tangan, penempeleng, dan lain-lain. Anakku jang masih ketjil itu penuh kudis, badannja tidak berpalut dengan kain lagi. Gelang dan dukuh jang kubelikan untuk isteriku, keluar masuk rumah gadai. Mendengarkan kabar berita jang demikian itu, naik darahlah mamak-mamaknja, marah penghulunja, ketjewa mertua saja dan Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
60
bertambah tersenjum suami saudara isteri saja masuklah fitnah, bahkan merekalah jang lebih banjak memasukkan kata-kata buruk kepada isteri mereka masing-masing, dan dari isteri itu disampaikan kepada ibunja atau mamaknja. Menurut kabar jang saja terima dari pihak kaum kerabatku sendiri dikampung. Keadaan saja lama merantau itu telah mendjadi buah bibir. (Hamka, 1962: 16). Dari kutipan di atas terlihat mamak marah karena perbuatan Musa yang dinilai tidak berhasil mengurusi keluarganya. Oleh karena itu, mamak merasa harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Ramah. Hal itu pun sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai orang yang menjodohkan Ramah dengan Musa. Mamak ingin menunjukkan bahwa ia tidak lepas tangan saat Ramah mengalami masalah dengan suami yang ditentukannya. Selain itu, mamak dan keluarga Ramah sudah mempunyai pandangan lain tentang Musa di perantauan. Mamak menilai Musa sudah tidak mengikuti kebiasaan orang Minangkabau yang merantau. Ia tidak melihat adanya usaha Musa untuk tetap menjalin hubungan yang baik dengan keluarga di kampung. “Tidak, engkau mesti pulang,” djawab mamaknja pula, ,,walaupun apa jang akan terdjadi. Ibumu sendiri telah tua. Harta pusaka tua turun temurun, mesti dibagi dan dibulati dengan adil. Merantau boleh, tetapi merantau sebagai engkau ini tidaklah menurut adat jang biasa. Orang lain kalau merantau, di bulan raja mesti pulang memperlihatkan muka kepada famili!”(Hamka, 1962: 18). Dalam adat Minangkabau, orang yang merantau setidak-tidaknya mesti pulang ke kampung halaman saat hari raya agama Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Hal tersebut dilakukan agar anak Minangkabau tidak lupa dengan kampung halamannya dan menunjukkan keberhasilannya selama di rantau.
Pergi ke rantau atau lazim pula disebut merantau merupakan produk kebudayaan Minangkabau. Setiap orang, terutama anak muda akan senantiasa didorong dan ditarik agar pergi merantau oleh kaum kerabatnya dengan berbagai cara. Falsafah materialisme Minangkabau mendorong anak muda agar kuat mencari harta kekayaan guna memperkukuh atau meningkatkan martabat kaum kerabat agar setaraf dengan orang lain (Navis, 1984: 108—109).
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
61
Biasanya, masyarakat di kampung halaman akan menilainya dari segi materi, seperti perhiasan, pakaian, dan jumlah sawah yang dimiliki. Oleh karena itu, acara pulang ke kampung selama merantau tidak pernah dilakukan Ramah dan Musa. Meskipun mereka telah menerima banyak surat yang meminta berkunjung ke kampung, hal tersebut tetap diacuhkan Ramah karena keadaan materinya saat di rantau lebih buruk daripada mereka tinggal di kampung. Mereka sengaja melakukan hal tersebut agar tidak ada pihak yang tersakiti. Jika mereka pulang kampung, pasti keluarga Ramah dan para mamak akan merasa malu kepada masyarakat sekitarnya karena keadaan Ramah yang miskin selama di rantau. Tidak hanya itu, suaminya juga akan mendapat tekanan yang lebih berat dari penilaian keluarga Ramah sendiri dan orang-orang sekitar. Musa akan dianggap sebagai suami yang tidak menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Ditambah lagi, orang yang paling tersakiti adalah Ramah. Ia tidak ingin kehilangan dengan apa yang sudah didapatkannya selama merantau. Sebagai istri, ia merasa menemukan kebahagiaan berumah tangga sebenarnya ketika ia jauh dari campur tangan keluarganya. Meskipun Ramah hidup dalam keadaan serba kekurangan, ia dapat melakukan peran sebagai istri dan ibu dengan baik. Selain itu, ia adalah satu-satunya yang paling berhak dalam mengurusi rumah tangganya dengan Musa. Namun, mamak mempunyai pandangan lain tentang Ramah yang tidak pernah pulang kampung selama merantau. Ia tidak dapat terima melihat Ramah yang tunduk kepada suaminya. Hal tersebut didorong oleh sesuatu yang tidak didapatkannya lagi setelah Ramah menikah dengan Musa. Mamak merasa sosoknya telah digantikan oleh Musa dalam kehidupan Ramah. Ia menilai Ramah menjadi pemberontak saat mengikuti Musa merantau ke Deli. Pada akhirnya, setelah bermusyawarah dengan golongan tua, mamak memutuskan untuk membawa Ramah dan anaknya pulang ke kampung. Keputusan tersebut diambil berdasarkan apa yang dibicarakan orang sekitar tanpa mendengarkan penjelasan terlebih dulu dari Ramah.
Achirnja, kabarnja diperbuatlah kata mufakat dirumah mertuaku dipanggil beberapa orang mamak djauh dan mamak dekat, dibawa Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
62
musjawarat, sikap apakah jang akan dilakukan supaja kemenakan mereka dapat “ditjabutkan” dari pada kesengsaraan itu. Karena rupanja mereka telah tertumpang dibiduk tiris. Mereka tidak bersenang hati, mufakat telah putus bahwa kemenakan mereka, isteriku, dan anakku, akan mereka djemput, djemput terbawa. Dapat dengan lunak, tentu dengan lunak, dan kalau terpaksa dengan keras, tentu dengan keras. Darimana akan ditjari uang buat ongkos mendjemput itu? Mupakat putus pula, bahwa sawah jang bundar diBandar Buat perlu digadaikan dahulu kepada orang jang mampu. Sebab meskipun sawah itu harta tua jang harus didjaga dan dimuliakan tetapi kehilangan anak kemenakann, merantau bertahun-tahun adalah malu besar jang tidak dapat dipupuskan. Guna apa harta benda, sawah banjak, kalau sekiranja jang akan memakannja telah hilang tak tentu rimbanja dirantau orang, dibawa oleh suaminja. (Hamka, 1962: 16—17). Pelaksanaan penjemputan ini menemui perlawanan dari Ramah. Ia menolak untuk dibawa pulang ke kampung karena merasa bahagia dan nyaman dengan Musa selama di rantau. Terlebih lagi, tidak ada orang lain yang ikut campur dalam rumah tangganya. Di rantau, ia dapat merasakan bagaimana menjadi istri yang baik dan melihat Musa berusaha keras mencari nafkah untuk dirinya dan anaknya. Berdasarkan pengakuan Ramah tersebut, seharusnya mamak dapat memikirkan kembali keputusan yang telah diambilnya. Ia mendengar langsung pengakuan dari Ramah tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya, bukan orang lain yang hanya melihat rumah tangga Ramah dari luar dan dalam waktu tidak lama. Namun, mamak tetap mempertahankan keputusannya karena menilai Ramah sudah dikendalikan oleh suaminya. Ia kembali memakai alasan bahwa untuk apa tinggal dengan suami yang tidak dapat memberikan kebahagiaan secara materi.
Sudah sekian lama merantau, sebuahpun tidak ada jang dapat. Sudah melarat dan sengsara di rantau orang, menurutkan suami jang rupanya tidak sanggup mentjarikan nafkah dan makan minum. Padahal dikampung sendiri bukanlah engkau terhitung orang miskin. Ada kau berninik bermamak, bukanlah kau anak terbuang. Ada kau berumah tangga, mengapa engkau pergi tinggal dirumah petak buruk jang tidak tentu ekor kepalanja ini. Lapang rumahmu, beruang tengah, berserambi bukan sempit, bukan sehingga tidak masuk tjahaja matahari seperti ini”. (Hamka, 1962: 17—18).
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
63
Hal inilah
yang menunjukkan ketidakkonsistenan mamak dalam
mengambil keputusan. Dari awal perjodohan, ia sudah mengetahui keadaan Musa yang kekurangan dalam segi materi. Jadi, ia tidak dapat menggunakan alasan materi untuk menjemput Ramah dari sisi suaminya. Oleh karena itu, kedatangan mamak untuk menjemput Ramah dan anaknya dari perantauan menimbulkan konflik dalam rumah tangga Ramah dengan Musa. Ramah berada dalam keadaan yang dilematis antara istri dan kemenakan. Begitu pula dengan Musa, sebagai suami, ia tidak berani untuk mempertahankan istrinya karena ada kekuasaan adat Minangkabau yang lebih kuat dari perannya sebagai suami Ramah. Hal tersebut menunjukkan bahwa mamak juga termasuk tokoh antagonis dalam novel ini. Dalam sebuah cerita, tokoh antagonis dapat ditampilkan lebih dari satu orang. Hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan perannya dalam mendukung sebuah cerita. Dalam Didjemput Mamaknja terdapat dua orang yang berperan sebagai tokoh antagonis, yaitu mamak dan keluarga Ramah. Tokoh antagonis adalah penyebab terjadinya konflik dan beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tak langsung, baik secara fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 1995: 179). Dalam Didjemput Mamaknja, tokoh mamak digambarkan sebagai penyebab berpisahnya Ramah dengan Musa dan mempunyai pandangan yang berseberangan dengan Ramah mengenai rumah tangga yang baik. Perbedaan pandangan mamak dan Ramah dapat terlihat dari penolakan yang
dilakukan
Ramah.
Berbagai
alasan
dikemukakan
mamak
untuk
membawanya kembali ke kampung namun Ramah tetap pada pendiriannya untuk tetap tinggal bersama suaminya. Bagi Ramah, ia telah menjadi tanggung jawab suaminya, bukan tanggung jawab mamak lagi. Pernyataan tersebut semakin membuat mamak marah karena Ramah dinilai tidak patuh lagi kepadanya.
,,Ah . . . . rupanja engkau sudah kemasukan faham tjara kini. Tjelaka Engkau! Engkau rupanja sudah kena budjuk tjumbu. Memang sudah sampai kekampung kita, bahwa di Medan ini ada beberapa orang jang mengaku dirinja tjerdik pandai, tetapi ia hendak menghapuskan adat lembaga Perpatih-Ketemanggungan. Kemenakan tidak seperintah mamak lagi, anak buah tidak akan seperintah penghulu. Anak akan dibangsakan kepada ajahnya”. (Hamka, 1962: 21).
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
64
Dari kutipan di atas, terlihat mamak tidak dapat menerima pandangan lain, selain pendapatnya sendiri. Perubahan sikap yang dilakukan Ramah semakin membuat dirinya bertahan terhadap keputusan yang sudah diambilnya. Mamak tidak ingin mengubah apa yang sudah diyakininya karena dianggap sesuai dengan yang aturan adat Minangkabau. Menurut penulis, ucapan mamak tersebut adalah media Hamka untuk menyampaikan pesan bahwa kaum tua Minangkabau masih melaksanakan adat sebatas konsep tanpa penerapan yang disesuaikan dengan masalah yang dihadapi. Terlebih lagi, kutipan di atas menunjukkan adanya usaha mamak untuk menentang siapa yang sebenarnya berhak menjadi pemimpin dalam suatu rumah tangga. Dalam agama Islam, suamilah yang menjadi pemimpin dalam rumah tangganya. Jadi, apa yang dilakukan Ramah sudah benar namun belum baik di mata mamak karena melanggar perintah mamak sebagai pemimpin keluarga besarnya. Meskipun banyak perlawanan yang dilakukan Ramah, mamak tetap berusaha keras untuk membujuknya karena ia menginginkan sesuatu yang terbaik bagi Ramah.
Sudah sekian lama merantau, sebuahpun tidak ada jang dapat. Sudah melarat dan sengsara di rantau orang, menurutkan suami jang rupanya tidak sanggup mentjarikan nafkah dan makan minum. Padahal dikampung sendiri bukanlah engkau terhitung orang miskin. Ada kau berninik bermamak, bukanlah kau anak terbuang. Ada kau berumah tangga, mengapa engkau pergi tinggal dirumah petak buruk jang tidak tentu ekor kepalanja ini. Lapang rumahmu, beruang tengah, berserambi bukan sempit, bukan sehingga tidak masuk tjahaja matahari seperti ini”. (Hamka, 1962: 17—18). Berdasarkan kutipan di atas terlihat mamak ingin memberikan tempat tinggal yang lebih baik bagi kemenakannya. Hal ini memang sudah sewajarnya dilakukan oleh mamak jika melihat kemenakannya mengalami kesusahan. Tindakan tersebut menjadi tanggung jawabnya sebagai pelindung bagi kemenakan. Namun, hal tersebut menjadi tidak wajar karena tindakan mamak merenggut kebahagiaan yang telah didapatkan oleh Ramah. Dengan sekuat tenaga, Ramah telah menyatakan berkali-kali mengenai kebahagiaan yang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
65
diperolehnya selama menjalani hidup di rantau bersama Musa. Tidak hanya itu, Ramah pun menyatakan secara gamblang bahwa dirinya tersiksa ketika menjalani hidup rumah tangga sewaktu di kampung. Akan tetapi, hal tersebut tetap tidak didengarkan oleh mamak. Ia menginginkan Ramah juga mendapatkan kebahagiaan secara materi, tidak rohani saja. Namun, hal tersebut belum diwujudkan Musa saat itu. Pandangan mamak ini menunjukkan dirinya hanya berkaca terhadap kehidupan dua saudara Ramah yang hidup dalam serba ada. Ia menganggap Ramah harus memiliki kehidupan rumah tangga yang sama dengan kedua saudaranya. Ia ingin Ramah memiliki suami yang dapat mencukupi kebutuhannya dan membahagiakan keluarga besar Ramah. Oleh karena itu, ia bersikeras untuk melepaskan Ramah dari Musa agar dapat memberikan kehidupan yang lebih baik kepada Ramah. Sebenarnya, pertolongan yang diberikan mamak tidak sampai kepada sasarannya. Tindakan tersebut hanya didasarkan pada rasa malu yang tinggi si mamak melihat keadaan Ramah yang miskin di rantau, sedangkan di kampung rumah keluarga Ramah cukup besar dan bagus. Kebanyakan orang yang melihatnya, tentu akan menilai keluarga Ramah dan mamaknya menelantarkan Ramah di rantau. Terlihat sekali watak mamak yang keras dalam melaksanakan tanggung jawabnya kepada kemenakan. Penggambaran watak mamak yang sama dari awal hingga akhir cerita dapat dikategorikan ke dalam jenis tokoh datar. Tokoh datar adalah tokoh dalam cerita yang mengalami sedikit perubahan watak dan ada kalanya tidak berubah sama sekali (Sudjiman, 1988: 21). Oleh karena itu, tokoh mamak mudah diingat oleh pembaca karena wataknya tidak pernah berubah dalam Didjemput Mamaknja. Ia digambarkan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan rumah tangga Ramah. Hal tersebut berlanjut saat ia meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Mamak terlihat merendahkan Musa sebagai suami karena tidak bisa memberikan materi yang baik bagi Ramah. Pada kenyataannya, sikap mamak tersebut tidak sejalan dengan keputusan awalnya yang memilih Musa sebagai suami Ramah. Dari awal, ia sudah mengetahui Musa bukan berasal dari keluarga
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
66
yang berkecukupan. Untuk apa lagi, ia menuntut sesuatu yang tidak dimiliki Musa. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bahwa kekayaan bukan satusatunya jaminan kebahagiaan berumah tangga. Mamak tidak berhak lagi menentukan berapa besar yang harus diberikan Musa kepada Ramah. Tindakan tersebut tidak seharusnya dilakukan mamak karena sudah menjadi kewajiban Musa untuk menafkahi Ramah. Dalam kehidupan berumah tangga, suami adalah orang yang bertanggung jawab dalam menafkahi istrinya. Hal itu pun dilakukan Musa dengan baik dan Ramah pun selalu menghargai sekecil apa pun yang diberikan Musa. Oleh karena itu, pada kenyataannya tidak ada masalah dalam rumah tangga Ramah. Akhirnya, mamak berhasil membawa Ramah dan anaknya ke kampung dengan izin Musa. Ia pun merasa senang karena dapat membawa kemenakannya pulang kampung sesuai dengan keinginannya. Kesedihan yang dialami Ramah tidak dipedulikan oleh mamak. Menurutnya, hal tersebut dapat sirna setelah Ramah bertemu dengan keluarganya dan tinggal di tempat yang layak. Seiring berjalannya waktu, tidak terlihat perubahan yang baik dari diri Ramah sejak dibawa kembali kampung. Oleh karena itu, mamak dan ibu Ramah memutuskan untuk mengakhiri pernikahan Ramah dengan Musa. Mereka beranggapan bahwa Ramah akan tetap mengalami kesusahan jika bersuamikan Musa. Dalam keadaan tersebut, tidak banyak yang bisa dilakukan Ramah karena hidupnya sudah diatur oleh mamak, sama seperti saat dirinya muda. Ramah pun mengikuti permintaan tersebut dengan kesedihan mendalam. Ia menyadari sikapnya tersebut akan membuat dirinya tersiksa karena berpisah dengan suami yang dicintainya. Hamka kembali mengkritik bentuk penyelamatan yang dilakukan mamak dan ibu Ramah terhadap rumah tangga Ramah. Mereka tidak mempertimbangkan apa yang menjadi penyebab kesedihan Ramah tersebut. Terlihat mamak dan ibu Ramah memaksakan kehendaknya sebagai orang yang paling mengerti apa yang dibutuhkan Ramah saat itu. Namun, hasilnya berdampak buruk terhadap kehidupan Ramah dan anaknya. Ia dipisahkan dari suaminya karena masalah yang sebenarnya tidak ada.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
67
,,Apa jang engkau susahkan? Bukankah anakmu itu bermamak, beradat, bersuku, berlembaga, berkampung halaman? Biar ajahnya bertukar, dia ada bermamak, ada berharta tua. Minangkabau negeri beradat, kemenakan dibela oleh harta benda pusaka. Gelar jang akan dipakainya gelar mamaknja. Adapun suamimu itu, walaupun kemana dia diturutkan, namun sukunja berlain djuga dengan suku anakmu. (Hamka, 1962: 21). Kutipan di atas menunjukkan jika terjadi perceraian, Ramah dan anaknya akan menjadi tanggung jawab mamak. Hal tersebut menunjukkan adat Minangkabau benar-benar berusaha melindungi kemenakan dari segala sisi kehidupannya. Apa pun yang dibutuhkan kemenakan akan dipenuhi oleh mamaknya. Ditambah lagi, anak dari kemenakan tersebut juga mendapatkan tempat tersendiri dalam adat bermamak-kemenakan. Hal itu berkaitan dengan gelar yang akan dipakai oleh anak tersebut. Namun, mamak tidak dapat menggunakan pernyataan tersebut dalam memandang kehidupan rumah tangga Ramah. Sekeras dan sekuat apa pun pertolongan yang diberikan mamak kepada Ramah namun bukan itu yang dibutuhkan kemenakannya. Terlihat sekali, tidak ada kesempatan Ramah untuk menyuarakan isi hatinya kepada mamak. Dalam adat Minangkabau, kemenakan saparintah mamak (kemenakan wajib mengikuti perintah mamak), namun sebagai pembimbing dan pelindung bagi kemenakannya, seharusnya mamak lebih mengutamakan kepentingan Ramah daripada penilaian orang lain yang belum tentu benar adanya. Pertahanan mamak yang kuat terhadap pendiriannya menggambarkan wataknya yang keras. Hal ini juga dapat menggambarkan betapa kuatnya adat Minangkabau terpatri di dalam dirinya. Ia tidak ingin posisinya sebagai mamak tergantikan oleh Musa dalam kehidupan Ramah. Selain itu, mamak tetap menginginkan Ramah mengikuti apa yang telah diputuskan karena dianggap sesuatu yang terbaik bagi kemenakannya.
4.4.2 Ramah Dalam novel ini, Ramah digambarkan sebagai sosok kemenakan yang patuh di mata mamaknya. Ia menerima apa pun yang telah diputuskan mamak Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
68
dalam hidupnya. Selain itu, Ramah digambarkan sempat melakukan perlawanan ketika kebahagiaan sejatinya diganggu oleh orang lain. Ia merasa berhak untuk mendapatkan kehidupan yang didambakannya. Namun, keyakinan Ramah mengenai rumah tangganya dapat dikalahkan oleh pihak lain yang lebih kuat dan keras. Ia pun kembali menjadi kemenakan yang mematuhi keinginan mamaknya dengan pasrah. Tidak ada lagi perlawanan dari dirinya karena ia merasa tindakan tersebut akan sia-sia. Oleh karena itu, ia membiarkan semua terjadi sesuai dengan keinginan mamak dan keluarga besarnya. Pada awal cerita, tokoh Ramah sudah ditampilkan sebagai sosok yang patuh pada aturan adat Minangkabau. Saat mamak menjodohkan dirinya dengan Musa, ia menerima keadaan calon suaminya dengan tulus. Keyakinan Ramah didasarkan pada pilihan mamaknya. Hal tersebut berdasarkan tanggung jawab mamak mencarikan pilihan jodoh yang terbaik bagi kemenakannya. Oleh karena itu, Ramah menaruh kepercayaan yang besar kepada Musa sebagai suaminya. Ramah termasuk tokoh sentral karena kehidupan rumah tangganya dengan Musa menjadi peristiwa penting dalam cerita ini. Berawal dari kisah rumah tangga Ramah dimunculkan tokoh lain agar jalan cerita berjalan sesuai dengan keinginan pengarang. Tokoh sentral biasanya tokoh protagonis yang menjadi sorotan dalam kisahan (Sudjiman, 1988: 18). Tokoh protagonis biasanya menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Oleh karena itu, tokoh tersebut mewakili hal yang baik dan terpuji. Berbagai tindakan yang dilakukan Ramah menunjukkan nilai-nilai kebaikan yang dapat ditiru oleh pembaca. Oleh karena itu, Ramah termasuk tokoh protagonis dalam novel ini. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan kita, dan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal bagi kita (Nurgiyantoro, 1995: 178). Ramah menghormati mamak sebagai pelindung dan pembimbingnya meskipun dirinya tidak dihargai dalam berpendapat. Selain itu, ia menghargai kerja keras suaminya, Musa, dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah. Meskipun Ramah berasal dari keluarga mampu, ia dapat beradaptasi hidup miskin untuk memberikan semangat suaminya saat bekerja.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
69
Selain sebagai tokoh utama, Ramah termasuk tokoh yang mengalami perubahan watak dalam novel ini. Berbagai proses kehidupan dijalani Ramah dengan pasrah kepada mamaknya. Namun, Ramah mengalami perubahan pola pikir tentang posisi suami dan mamak saat sudah berumah tangga. Ia digambarkan sebagai istri yang berani mempertahankan rumah tangga dari gangguan mamak dan keluarganya. Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh datar dan tokoh bulat (Sudjiman, 1988: 20). Menurut Sudjiman, tokoh yang ditampilkan lebih dari satu wataknya dapat disebut tokoh bulat, sedangkan watak tokoh yang tidak mengalami perkembangan dalam cerita dapat disebut tokoh datar. Biasanya tokoh datar ini mudah dikenali oleh pembaca. Hal itu disebabkan dengan watak yang ditampilkan secara konsisten dari awal cerita hingga akhir cerita. Biasanya tokoh datar dapat ditemukan dalam cerita didaktis, seperti pewayangan. Pemilihan tokoh tersebut agar cerita dapat mudah dipahami oleh pembaca. Mereka sudah disuguhkan mana yang patut ditiru dan mana yang merugikan orang lain. Ramah termasuk tokoh bulat karena wataknya mengalami perubahan dalam cerita. Pada awal cerita, Ramah diperlihatkan sebagai sosok yang patuh kepada apa pun keinginan mamaknya. Pertengahan cerita, Ramah menunjukkan perubahan menjadi perempuan dewasa yang berani mengambil keputusan untuk keutuhan rumah tangganya. Pada akhir cerita, Ramah berubah menjadi perempuan yang lemah karena tidak berdaya melawan kekuasaan mamak dalam rumah tangganya. Pada awal cerita, dikisahkan Ramah sebagai perempuan yang penurut dan pasrah. Ia menuruti keinginan mamak yang memutuskan Musa sebagai suaminya. Meskipun Musa tidak berasal dari keluarga yang berkecukupan, Ramah menerimanya dengan tulus karena yakin akan pilihan mamak. Setelah menikah dengan Musa, Ramah pun tidak melakukan perlawanan dengan perbuatan yang dilakukan kedua saudaranya. Ia hanya dapat mendengar penilaian rendah terhadap sosok Musa oleh kedua saudaranya. Perlawanan tidak pernah dilakukan Ramah karena tidak ingin menimbulkan keributan dengan saudaranya dan untuk menjaga keberadaan Musa yang sudah terpojok.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
70
Terlebih lagi, saat Musa tidak pulang berhari-hari ke rumah gadang, Ramah rela meminta maaf dan mendatangi suaminya yang bersembunyi di rumah ibunya. Kerelaan Ramah meminta maaf adalah bentuk perjuangannya sebagai seorang istri untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Tindakan tersebut dapat membuktikan kesetiaan Ramah kepada Musa sudah tidak diragukan lagi. Perjuangan Ramah yang lain untuk keutuhan rumah tangganya adalah rela melepaskan kebiasaannya hidup dalam kesenangan. Saat Musa ingin merantau, Ramah bersikeras ikut bersamanya. Meskipun mereka pergi dengan modal yang minim, Ramah tidak takut untuk menghadapi hidup yang penuh dengan ketidakpastian di rantau. Ia yakin dapat bertahan hidup sederhana di rantau dibandingkan dengan hidup berkecukupan di kampung namun tidak ada kebebasan.
,,Pulanglah awak tidak.” Kataku pada suatu hari, ,,indak ka tahan diaku siko” (mari sadjalah kita pulang, agaknja adinda tidakkan tahan menunggu selama ini). Adinda tertompang dibiduk tiris, pengajuh bilah, entah bila akan terdjejak tanah tepi”. ,,Apa pula jang abang sebut?” Tanjanja kepadaku; ,,Seakan-akan abang masih belum tahu akan hati ketjilku. Aku kepadamua sepenuh hati. Sakit dan senang kita tanggungkan berdua, hidup sekali turun sekali naik. Kalau tak dapat pada masa kini, kita tidak boleh putus pengharapan, kita tunggu sampai lain hari. Abang djangan berpetjah hati.” Katanja pula, ,,petjah hati mendjadikan pekerdjaan abang petjah pula. Walau kita akan terbenam dirantau ini bertahun-tahun, inilah ni’mat didalam hidup”. (Hamka, 1962: 6—7). Terlihat dari kutipan di atas, Ramah mengalami perubahan cara pandang mengenai pemimpin bagi dirinya saat itu. Sebagai istri dari Musa, Ramah harus mendukung apa yang dilakukan suaminya untuk kebaikan rumah tangga mereka. Ramah menyadari bahwa suami adalah pemimpin bagi dirinya, bukan mamak lagi. Kesenangan dan kepahitan yang dialami dalam berumah tangga dijalani Ramah dengan tulus. Hal itu disebabkan dengan keyakinan Ramah terhadap Musa sebagai suami pilihan dari mamak. Ia yakin mamak berusaha memberikan yang terbaik kepada dirinya. Oleh karena itu, Ramah percaya dengan apa yang akan dijalaninya dengan Musa di masa datang.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
71
Selama hidup di Deli, Ramah menjalani hidup berbeda dengan yang selama ini dijalaninya di kampung. Ia mengurusi urusan rumah tangganya sendiri dan merasakan bagaimana kerja keras Musa dalam mencari nafkah. Oleh karena itu, Ramah semakin menghargai usaha suaminya yang bekerja keras menghidupi keluarganya. Ketika berada di kampung, ia dan suaminya selalu diusik oleh berbagai pendapat keluarganya yang membandingkan Musa dengan suami kedua saudaranya. Ramah menunjukkan hal itu bukan sesuatu yang penting dalam berumah tangga.
Hidup kami senang, kami beruntung. Kesenangan bukan karena kami kaja harta, keberuntungan bukan karena kami mampu. Kami senang walaupum pada penglihatan orang lain, kami orang jang amat sengsara. Kerapkali saja datang ke rumah orang kaja, berumah besar, berpekarangan tjukup, beradio didalam rumahnja, tetapi muka mereka kusut sadja, sebab rupanja terjadi perselisihan pikiran diantara suami dengan isteri. Saja dipanggilkannja ,,tukang kasur”nja, orang gadjiannya atau orang upahannja, djauh lebih besar penghasilannja dari pada kita. Tetapi kalau sekiranja mereka tahu, atau mereka lihat bagaimana keberuntungan kami didalam sebuah rumah petak buruk, bagaiman isteriku menjambut kedatanganku dari pergi berdjaja, bagaimana pula senjuman anakku, anak jang badannja dibungkus dengan kain belatju buruk. Kalau sekiranja mereka rasai apa jang kami rasai, tentulah mereka ingin hendak mengetjap itu. (Hamka, 1962:13—14). Pernyataan Musa di atas menunjukkan bagaimana Ramah seiya sekata dengan dirinya. Mereka berdua merasakan kebahagiaan saat hidup di rantau daripada hidup di kampung. Kehidupan rumah tangga mereka tidak dicampuri oleh orang lain. Setiap kerja keras yang dilakukan Musa selalu mendapatkan penghargaan dari istrinya. Hal itu dilakukan Ramah agar suaminya semakin bersemangat mencari nafkah dan yakin dengan apa yang telah dijalani oleh mereka berdua. Akan tetapi, kebahagiaan Ramah berubah saat mamak datang untuk menjemputnya beserta Fauzi, buah hatinya bersama Musa. Ramah menolak untuk pulang ke kampung karena ia merasa nyaman tinggal di perantauan. Ia pun menyangkal semua apa yang dikatakan orang-orang yang pernah ke Deli tentang kesusahan hidup yang dialaminya kepada mamak.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
72
Isteriku mendjawab: ,,Benar rumah tanggaku ada, tetapi aku tidak aman tinggal di sana, sedang dirumah petak buruk ini, walaupu dirumah bersewa merdeka hidup hamba dengan suami hamba!” Isteriku mendjawab: ,,Ini bukan perkara suku, mamak. Ini adalah perkara suami kampung, bersangai dengan bara jang panas, tidak boleh senang diam. Sebabnja ialah lantaran suamiku miskin, tidak hanja sebagai suami saudara-saudaraku. Kalau kami tinggal djuga dikampung, maulah kami bertjerai karena tidak tahan. Sedang mamak dan ninik, tidak mau perduli. Dia hanja hendak memenangkan mana jang beruang dan meninggikan uang djeputan. Adapun jang melarat, tinggalah didalam kemelaratannja. (Hamka, 1962: 18). Ramah menunjukkan perubahan dalam keberaniannya berpendapat. Selama ini apa yang dirasakannya cukup dipendam dalam hati. Ia tidak berani menyatakan secara gamblang karena tidak ingin ada orang yang kecewa. Namun, saat menghadapi peristiwa penjemputan terhadap dirinya, ia berani untuk menolaknya. Ia mengungkapkan kepahitan berumah tangga ketika tinggal di kampung dan menyatakan kebahagiaan yang dirasakannya selama di rantau. Hal tersebut didorong oleh keinginannya untuk mempertahankan rumah tangganya dengan Musa. Pada kenyataanya, tidak ada yang salah dengan pernyataan Ramah di atas karena ia sudah menerima apa pun keadaan Musa sebagai suami dengan tulus. Ditambah lagi, ia mendapatkan kebahagiaan selama berumah tangga dengan Musa. Hal tersebut mendorong Ramah untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya dari pengaruh buruk orang lain. Ia tidak ingin orang lain kembali mengungkit kemiskinan Musa sebagai alasan rumah tangganya tidak berjalan baik. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak menimbulkan konflik bagi dirinya dan Musa. Perlawanan Ramah yang cukup kuat tidak membuat mamak menyerah untuk membawanya. Mamak mencoba membangkitkan kelemahan Ramah yang menempatkan mamak sebagai pemimpin dalam keluarga besarnya. Isteriku mendjawab, sedang air matanja berlinang-linang: ,,Bukan main beratnja hal ini bagi hamba ! Hamba tidak sanggup bertjerai dengan kaum kerabat, hamba hendak berkaum, bersuku, berninik bermamak. Tetapi disamping itu, hamba sajang kepada suami hamba”. Mamaknja mendjawab: ,,Betul kamipun tahu engkau sajang kepadanja. Tetapi engkau harus berpikir ! apa gunanja seorang suami jang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
73
tidak tahu basa-basi, sopan santun. Tidak menghargai famili, tidak tahu bermanis muka. Anak orang dibawanja merantau, tetapi berlarat-larat. Kalau dia orang beradat, tentu tidaklah engkau akan ditahaninja. Bagaimana dia akan dapat menahani, padahal seorang kemenakan mesti seperintah mamak .....Gunung Merapi masih berdiri, adat lembaga mesti tegak”. (Hamka, 1962: 20). Dalam kutipan di atas ditunjukkan Ramah berada dalam posisi dilematis, antara memilih suami dan mengikuti keinginan mamaknya. Ramah menyadari mamak berperan penting dalam hidupnya selama ini. Namun, saat itu ia telah menjadi istri Musa yang seharusnya seiring sejalan dengan suami dalam keadaan apa pun. Kondisi inilah yang tidak dilihat mamak dengan jelas. Seharusnya, ia dapat memahami kondisi Ramah yang telah memiliki orang lain sebagai pemimpin dalam hidupnya. Jika mamak ingin membantu kesusahan hidup Ramah, tidak semestinya membuat Ramah memilih di antara dua pilihan yang seharusnya tidak ada. Berbagai tekanan yang didapatkan Ramah sempat membuat dirinya lepas kendali. Setiap pernyataan yang diungkapkan Ramah tidak ditanggapi oleh mamak dengan baik. Ditambah lagi, penyampaian keinginan mamak untuk membawanya ke kampung terjadi ketika Musa sedang berjualan kulit kasur keliling kampung. Ramah merasa sengaja dipojokkan agar tidak dapat melakukan perlawanan. ,,Apa jang engkau susahkan? Bukankah anakmu itu bermamak, beradat, bersuku, berlembaga, berkampung halaman? Biar ajahnya bertukar, dia ada bermamak, ada berharta tua. Minangkabau negeri beradat, kemenakan dibela oleh harta benda pusaka. Gelar jang akan dipakainya gelar mamaknja. Adapun suamimu itu, walaupun kemana dia diturutkan, namun sukunja berlain djuga dengan suku anakmu. ,,Isteriku masih mendjawab: ,,Mamak, agak-agak bitjara,djangan lupa bahwa rumah ini dia jang menjewa, disini dia jang berkuasa. Djanganlah mamak terlalu terlandjur” Disitu baru dia diam. Paling achir ditutup bitjaranja! ,,Engkau mesti terbawa pulang!” (Hamka, 1962: 21). Reaksi Ramah yang kurang sopan itu didorong oleh penilaian mamak yang memandang rendah suaminya. Ia tidak terima jerih payah suaminya tidak dihargai oleh mamak dan keluarganya. Bagi dirinya, Musa adalah suami dan pemimpin
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
74
yang baik dalam hidupnya. Oleh karena itu, Ramah merasa wajib untuk melakukan pembelaan karena tidak ada kesalahan yang dilakukan Musa. Selain itu, Ramah tidak terima dengan perlakuan mamak yang berusaha mengendalikan rumah tangganya. Kedatangan mamak untuk menjemputnya sebagai
bentuk
pertolongan
karena
dianggap
ada masalah
besar dan
membahayakan bagi dirinya. Pada kenyataannya, masalah itu tidak ada bagi Ramah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Ramah tidak bermasalah hidup sederhana di rantau. Jadi, sebenarnya peristiwa penjemputan tersebut adalah bentuk ketakutan keluarga Ramah dan mamak terhadap penilaian orang-orang sekitar yang melihat Ramah hidup dalam kesengsaraan. Ternyata, perlawanan Ramah yang kuat tidak sejalan dengan kerelaan Musa yang mengizinkan dirinya dan Fauzi pulang ke kampung bersama mamak. Ramah pun tidak dapat menolak permintaan suaminya karena menyadari posisi suaminya dapat semakin buruk di mata keluarganya. Dalam keadaan tertekan pun, Ramah masih memikirkan keadaaan Musa yang dipandang sebelah mata oleh keluarganya. Terlihat sekali, Ramah menanggung beban yang cukup berat karena melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya, sekaligus dipisahkan dari orang yang dicintainya. Dengan berat hati, Ramah meninggalkan Musa dan meminta dirinya agar tidak diceraikan oleh Musa. Ketakutan Ramah akan diceraikan Musa sangatlah wajar.
Dipegangnja tangan saja erat-erat, seakan tidak akan dilepaskannja lagi; ,,Kanda!. . . . .Ingat si Fauzi . . . . ! Adinda djangan ditjeraikan!” ,,Ah, apa jang engkau sebut ini,” djawabku dengan senjum, meskipun leherku bengkak. ,, Pulanglah dahulu, peliharalah si Fauzi baikbaik! Insja Allah tidak lama lagi kakanda pulang pula!” Otopun berangkat. Saja kembali pulang kerumah. . . . . (Hamka, 1962:24—25). Ia sudah merasakan kebahagiaan menjalani rumah tangga saat jauh dari pengaruh keluarganya. Bersama Musa, Ramah merasa dihargai sebagai seorang manusia karena pendapatnya didengar dan diaspirasikan sesuai dengan kebutuhan mereka berdua. Ia tidak lagi menjadi perempuan yang takut untuk menyuarakan
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
75
keinginannya. Dapat dikatakan, Ramah menemukan sesuatu yang baru dan lebih baik dalam rumah tangganya saat tinggal di Deli. Selama di kampung, Ramah tetap mengabarkan keadaan dirinya dan Fauzi kepada Musa melalui surat. Di dalam suratnya, Ramah berkali-kali meminta agar tidak diceraikan oleh Musa. Sebagai suami, Musa pun tidak akan melakukan hal tersebut karena tidak ada masalah dalam rumah tangganya. Selain itu, di dalam suratnya, Ramah juga menceritakan tekanan yang diterimanya dari orang-orang di kampung. Ia mendengar penilaian orang mengenai Musa yang tidak bertanggung jawab sebagai suami. Tidak hanya itu, Ramah juga mendengar hinaan orang kampung terhadap keluarga Musa yang tidak mampu menolong kesulitan hidup anaknya. Oleh karena itu, Ramah merasa dirinya adalah penyebab dari semua kejadian yang sedang terjadi.
Bagaimana fitnah, tjemooh, hinaan, dan sindiran jang dia terima. Berdjalan selama itu, sudah sampai tiga tahun, satupun tidak ada jang dibawa. Berdjalan menurutkan suami, harta benda bertambah. Subang, subang jang dibawa dari kampung djua, gelang tidak lebih dari pada gelang jang dibelikan ajahnja sebelum kawin dahulu. Pati besar, tetapi bukan pebuh dengan kain badju, hanjalah dengan kain buruk si Fauzi. Matjam-matjam ....!! (Hamka, 1962: 27). Dapat terlihat begitu banyak tekanan yang dialami Ramah. Hanya melalui surat, Ramah dapat menuangkan isi hatinya. Dalam kondisi tersebut, sebenarnya Ramah membutuhkan seseorang di sampingnya untuk berbagi cerita. Dengan berbagi apa yang sedang dialaminya, beban tersebut dapat dibagi dengan yang diajak bicara. Namun, hal itu tidak didapatkan oleh Ramah selama ia dekat dengan orang-orang yang menyayanginya. Kehadiran mamak dan ibu pun tidak dapat memberikan ketenangan bagi Ramah dalam menghadapi kekalutannya. Dalam kesendiriannya, Ramah merasakan hidupnya sudah dikendalikan orang lain. Ia tidak berhak lagi untuk memutuskan apa yang dibutuhkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, ia tidak berani berharap akan terjadi perubahan dalam hidupnya saat itu. Kesedihan Ramah pun bertambah saat keluarganya meminta untuk menceraikan Musa.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
76
Akan saja minta dia datang, tentu dia tak kuasa. Dia lemah, dia belum dapat melepaskan diri dari pada kungkungan kaum kerabatnja. Tentu sadja orang tidak mengizinkan dia berangkat. Akan terus saja bergaul dengan dia, pamili saja sendiri tidak suka lagi. Dalam pada itu, siang dan malam, petang dan pagi, isteriku dibudjuk ditjumbu djua oleh ibu dan mamaknja sendiri dan kalau perlu diantjam supaja segera meminta tjerai, meminta ta’lik dan meminta fascach. (Hamka, 1962: 29). Keinginan tersebut semakin membuat Ramah terpuruk dalam kesedihannya. Ia merasa tidak dapat berjuang lagi untuk keutuhan rumah tangganya karena begitu kuat kekuasaan mamak dan keluarga dalam hidupnya. Kondisi Ramah yang tertekan menyebabkan dirinya membiarkan semuanya terjadi sesuai dengan keinginan mamak dan keluarganya.
Saja tersenjum menerima surat itu, tetapi Samah melihat djelas bahwa tanganku gemetar. Tiba-tiba dia berkata: “Engkau djangan menjesali si Ramah, Musa! Saja lihat sendiri waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, sehingga pintu surau dia diiringkan oleh ibunja. Orang kampung kita banjak jang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran paksaan. Saja lihat air matanja meleleh ketika mengutjapkan permintaan itu ,,Benar-benarlah engkau hendak meminta ta’lik?”tanja Kadi. ,,Ja . . . .engku!” ,,Sudahkah engkau fikirkan? Sebab apabila uang chuluk ini telah saja singgung sadja dengan tangan saja, thalak itupun djatuhlah”. ,,Sudah . . . . . .” Demikian tjerita si Samah. Artinja Ramah telah memilih pamilinja . . . . . Si Ramah tidak salah! (Hamka, 1962 : 30—31). Berdasarkan kutipan di atas terlihat pengaruh mamak dan keluarga Ramah selama Ramah kembali ke kampung. Mereka tidak memberikan kesempatan Ramah untuk menentukan apa yang baik untuk dirinya. Terlebih lagi, mereka berani memaksa Ramah untuk menceraikan Musa. Dalam agama Islam, perceraian adalah hal yang paling dibenci Allah. Hal tersebut dapat dilakukan jika keadaan rumah tangga membahayakan salah satu pihak. Namun, kondisi tersebut tidak ditemui dalam rumah tangga Ramah dan Musa. Mereka saling mencintai dan menjalani rumah tangga dengan tulus. Ditambah lagi, saat Ramah berada di kampung Musa masih tetap mengirim uang Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
77
sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai suami yang menafkahi istri. Oleh karena itu, Ramah merasa tidak adanya penghargaan dari keluarganya terhadap usaha suaminya. Penghinaan tersebut membuat Ramah yakin untuk tidak melakukan perlawanan lagi. Setelah bercerai dengan Musa, Ramah kembali menjadi pribadi yang pasrah mengikuti keinginan mamak. Terlihat adanya perubahan watak Ramah yang kembali seperti awalnya. Ramah tidak berani menyuarakan pendapatnya, seperti yang sempat dilakukannya saat menolak untuk dibawa pulang ke kampung oleh mamak. Secara psikologi, Ramah mengalami penurunan dalam kepercayaan dirinya karena ada orang lain yang lebih berkuasa dalam menentukan apa yang terbaik dalam hidupnya. Keputusan yang pernah diambilnya
pun
dikalahkan
oleh
kesewenang-wenangan
mamak
yang
mengatasnamakan penyelamatan atas dirinya. Kepatuhan Ramah untuk menceraikan Musa juga dapat menjadi bentuk protes terhadap kekuasaan mamak dan keluarganya dalam rumah tangganya. Ramah ingin menunjukkan akibat yang ditimbulkan dari keinginan mereka. Salah satunya, Ramah tidak menikah lagi dengan lelaki lain. Hal itu dilakukan sebagai bentuk cintanya terhadap Musa yang tidak pernah hilang. Ramah terlihat tidak ingin mempunyai keinginan lagi karena sudah ada orang lain yang lebih berhak memutuskan dalam hidupnya. Ia lebih memilih untuk patuh daripada mempunyai keinginan namun dapat dicabut begitu saja oleh mamak. Selain itu, ia merasa tidak memiliki sesuatu yang wajib diperjuangkan untuk kebaikan dirinya.
4.4.3 Musa Musa adalah gambaran suami yang lemah dalam mempertahankan apa yang telah diperjuangkan bersama istrinya. Ia terlihat tidak percaya diri dengan kesederhanaan yang dimilikinya ketika berhadapan dengan keluarga Ramah, terutama mamak. Selain itu, jiwa pantang menyerah dalam dirinya dapat dikalahkan dengan kekuasaan orang lain dalam rumah tangganya. Selain itu, tokoh Musa dalam Didjemput Mamaknja dapat dikatakan representasi gambaran kaum muda Minangkabau pada tahun 1920-an.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
78
Kebanyakan dari mereka menginginkan adanya perubahan dalam pelaksanaan adat Minangkabau. Hamka pun menyampaikan hal yang sama dalam karya sastranya. Dalam novel ini, tokoh Musa digambarkan menginginkan adanya batasan antara pemimpin dalam rumah tangga Ramah dan kepemimpinan mamak bagi Ramah. Namun, perubahan yang diinginkan Musa tersebut tidak diiringi dengan perjuangan yang sungguh-sungguh agar menghasilkan yang baik baginya. Dalam novel ini, terlihat Musa dengan bantuan istrinya berani mencoba mengubah pandangan tentang berumah tangga yang baik kepada keluarga Ramah. Namun, ia tidak dapat mengakhiri perjuangan dengan membuktikan apa yang telah dijalaninya selama ini sudah berada di jalur yang benar. Seharusnya, ia tetap mempertahankan rumah tangganya karena tidak ada masalah di dalamnya dan tidak boleh ada orang lain yang mengendalikan. Pernikahan Musa dengan Ramah ditentukan oleh mamak dari Ramah. Hal tersebut tidak dapat ditentang oleh Musa karena itu sudah menjadi kewajiban mamak dalam mencarikan jodoh bagi kemenakan. Oleh karena itu, Musa berusaha untuk membahagiakan Ramah agar tidak mengecewakan mamak yang telah memilihnya. Selain itu, ia merasa beruntung memiliki istri, seperti Ramah. Kesederhanaan yang dimilikinya dapat diterima Ramah dengan tulus. Musa semakin berusaha melakukan perannya sebagai suami dengan baik. Namun, kerja keras Musa belum dirasa baik oleh keluarga besar Ramah. Hal itu disebabkan keterbatasan Musa yang tidak melebihi apa yang sudah didapatkan Ramah sebelum menikah dengannya.
Isteriku tetap djuga menghidangkan nasi dengan hormatnja, walaupun hanja sambal dan ikan kering berbakar jang dia hidangkan. Tetapi kemana saja akan menjembunjikan makan, engku? Bukankah tudung sadji dan dulang harus diatur diruang rumah? Diruang jang satu kelihatan ikan pangat dan jang satu lagi rendang hati. Padahal dibawah tudung sadji saja hanja sambal lada itu sadja. (Hamka, 1962: 7). Di sisi lain, Ramah mempunyai penilaian sendiri terhadap usaha Musa dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai pencari nafkah untuknya. Ia yakin dapat menjalani hidup yang lebih baik dengan Musa di masa datang. Hal itulah yang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
79
membuat Musa tetap bertahan tinggal bersama dengan keluarga besar Ramah. Kepercayaan dan kesetiaan Ramah merupakan energi terbesar bagi Musa untuk menekan rasa rendah dirinya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Musa yang manusia biasa tentu memiliki batas kesabaran atas berbagai tekanan yang telah diterimanya. Ia juga membutuhkan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan untuk istrinya. Oleh karena itu, ia sempat tidak pulang berhari-hari ke rumah keluarga besar Ramah. Saat itu, ia merasa gagal sebagai suami karena tidak dapat memenuhi tuntutan keluarga istrinya.
Benarlah engkau seorang perempuan jang setia, tidak engkau mengharapkan hartaku karena dahulupun engkau sudah tahu bahwa saja miskin. Tetapi....ah, bukankah sudah selalu kita perkatakan djuga, rupanja tidak djua akan terlepas kita ini dari tjobaan? Berkasih-kasihan awak, tetapi orang lain bentji melihatkan perkasihan kita itu. Kakanda diatas rumahmu sebagai terpidjak dibara panas, senantiasa digendeng disakiti, dan dipakuk dengan punggung laing, oleh kakakmu dan suaminja. Ibumu sendiri rupanja tidak dapat mendamaikan, mamak-mamakmu seakan-akan tidak perduli. Malahan djarang-djarang mereka datang kerumah, akan menjelesaikan jang kusut dan mendjernihkan jang keruh. Menahan lama keadaan jang demikian, tentu kakanda tidak tahan. Padahal engkau tetap setia. Itulah sebabnja maka saja terbenam sadja dirumah ibuku sendiri”. (Hamka, 1962: 9). Musa yang sudah lemah dari sisi materi semakin melemah saat mengetahui keluarga Ramah tidak menyukai kehadirannya secara jelas. Ia tidak dapat menemukan jalan keluar yang baik untuk masalah tersebut. Oleh karena itu, Musa memilih tinggal di rumah ibunya untuk menghindari hinaan yang biasa dilihat dan didengarnya selama di rumah gadang. Selain itu, kutipan di atas menunjukkan Musa sebagai suami yang lemah menghadapi rintangan di depannya. Seharusnya, ia dapat bertahan lebih kuat dari Ramah, istrinya, agar dapat mempertahankan rumah tangganya. Jika ia sedang menghadapi masalah, tidak sebaiknya ia meninggalkan istri dalam kesendirian. Ia dapat berbagi cerita kepada Ramah dan bersama-sama mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi masalah tersebut.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
80
,,Ramah . . . . . angkat kepalamu adik, djangan kau menangis djuga,”, ”kataku. ,,Ramah, mengapa menangis begitu?” Tanja ibuku pula, ,,sakit kepalamu nanti”. ,,Sudah hampir sepekan lamanja tidak pulang. Entah apa salahku agaknja. Maafkanlah kesalahanku, marilah kita pulang!” Katanja pula dengan tangisnja. ,,Engkau tidak salah Ramah, sedikitpun haram ada kesalahanmu kepadaku. Hanja saja jang salah, saja tidak dapat mentjukupkan hadjat dan keperluanmu. Engkau tertompang dibiduk petjah, ”kataku. (Hamka, 1962: 8).
Akhirnya, Ramah dapat bertindak lebih cepat dari dugaan Musa. Ia terlebih dahulu mendatangi Musa untuk menyelesaikan semuanya agar rumah tangga mereka tetap bertahan. Peristiwa tersebut menimbulkan semangat baru bagi Musa karena Ramah setia mendampingi dirinya untuk menghadapi kehidupan apa pun di depan. Keadaan inilah yang mendorong Musa untuk pergi merantau. Hal itu dilakukan agar mendapatkan peruntungan yang lebih baik daripada di kampung. Keinginan Musa pun didukung oleh Ramah yang setia mengikuti ke mana pun dirinya pergi. Akhirnya, mereka berdua merantau ke Deli dengan harapan dapat membangun rumah tangga yang lebih baik. Di Deli, Musa bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Keadaan yang serba kekurangan pun tidak mengurangi semangatnya untuk membahagiakan Ramah. Musa pun semakin percaya diri akan posisinya sebagai pemimpin keluarga bagi rumah tangganya.
Meskipun hidup dan berniaga tidak bermodal; meskipun pagi-pagi kita mengeluh dan sore kita menarik napas pandjang, ada pula waktunja kesusahan itu berbalas dengan gembira, jaitu seketika rumah kita kedatangan anggota jang baru itu. Waktu anakku telah lahir, hatiku bertambah giat mentjari nafkah, siang malam saja tidak mengenal lelah. Bila datang dari mendjaja kian kemari, sampai dirumah, saja hempaskan pikulan dari bahu dan terus sekali ketempat tidur melihat anakku. Wahai engku, ketika ia telah pandai tertawa, ketika ia telah pandai menghimbau ajah ! waktu itu, tidak ada diatas dunia ini orang jang sekaja saja rasanja. (Hamka, 1962: 13).
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
81
Di perantauan, ia tidak mendapatkan tekanan dari keluarga besar Ramah. Ia dan Ramah melaksanakan tanggung jawab sebagai suami istri dengan baik. Selain itu, ketulusan Ramah menerima keadaan di perantauan memberikan energi tambahan untuk Musa dalam bekerja. Ia pun harus kuat menghadapi sindiran orang-orang kampung yang berkunjung ke Deli mengenai kesusahan hidup yang dialaminya. Perubahan rasa percaya diri yang dialami tokoh Musa saat di kampung dengan di Deli dapat mengklasifikasikannya sebagai tokoh bulat. Sewaktu di kampung, rasa pesimis dan rendah dirilah yang menguasai pikirannya. Hal tersebut mendorong dirinya lebih mudah menyerah kepada keadaan atau sering berpikiran buruk kepada orang lain. Namun, ketika berada di perantauan muncul rasa optimis yang kuat dari dalam dirinya. Rasa tidak percaya diri Musa di kampung telah hilang saat ia berada di Deli. Ia berusaha memaksimalkan apa yang dimiliki dan dilakukannya saat di rantau. Ketika berada di kampung, hasil kerja kerasnya selalu mendapatkan penghinaan dari keluarga Ramah. Oleh karena itu, ia lebih merasa tenang dan bahagia ketika berada di rantau. Selain itu, ia mendapatkan kebebasan berumah tangga karena tidak ada orang lain yang selalu ikut campur. Akan tetapi, kebebasan yang didapatkan Musa selama di perantauan tidak berlangsung lama. Hal itu disebabkan dengan keinginan keluarga besar Ramah di kampung tentang kehidupan yang layak bagi Ramah di rantau. Akhirnya, mereka mengutus seorang mamak untuk membawa Ramah dan Fauzi, anaknya, pulang ke kampung. Mereka menggunakan alasan bahwa Musa tidak menjalankan tanggung jawab sebagai suami dengan baik dalam mencukupi kebutuhan Ramah dari segi materi. Ketidakmampuan Musa untuk membahagiakan Ramah secara materi ini menjadi penyebab dirinya dipisahkan dari Ramah. Oleh karena itu, kehadiran Musa dalam cerita ini dikatakan sebagai tokoh utama. Hal itu berkaitan dengan peristiwa penjemputan mamak dan perceraiannya dengan Ramah. Peristiwa tersebut adalah kejadian penting dalam novel ini. Berdasarkan hal tersebut dapat tergambar kesewenang-wenangan mamak dalam kehidupan kemenakannya. Pada kenyataannya, ketidakmampuan Musa memberikan materi yang banyak tidak menyulitkan bagi Ramah. Keadaan tersebut dilihat sendiri oleh ibu
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
82
Ramah, sewaktu ia datang untuk menjenguk cucunya yang baru lahir. Ia merasakan tanggung jawab Musa sebagai menantu yang baik. Musa bekerja keras untuk menafkahi istri dan anaknya. Meskipun kecil yang diberikan oleh Musa, Ramah merasakan bahagia saat menerimanya.
Setelah usia anakku empat bulan, mertuaku kembali pulang. Tentu sadja perlu disediakan bantuan ongkos buatnja, demikian djuga kain badjunja sesalin dua, beli sirihnja sampai dikampung. Itupun saja usahakan. (Hamka, 1962: 13). Kutipan di atas menunjukkan Musa berusaha mencukupi kebutuhan ibu Ramah untuk pulang kampung. Hal tersebut membuktikan bahwa Musa dapat memenuhi kebutuhan istri dan anaknya sama baiknya, saat ia memenuhi kebutuhan ibu mertuanya. Bagi Musa dan Ramah dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sudah dianggap cukup dalam rumah tangganya. Mereka lebih mementingkan kebersamaan dan kasih sayang dalam berumah tangga daripada hidup dengan limpahan materi. Oleh karena itu, tidak ada masalah bagi mereka hidup dalam keadaan sederhana. Keadaan itu pun telah dilihat dan dirasakan sendiri oleh ibu Ramah. Berdasarkan pengalamannya tersebut, ibu Ramah terlihat tidak menghargai usaha Musa untuk memenuhi kebutuhan dirinya saat kembali pulang ke kampung. Keluarga besar Ramah menganggap Musa tidak berhasil untuk membahagiakan Ramah sebagai istri. Oleh karena itu, ibu Ramah membiarkan mamak untuk menjemput Ramah di perantauan. Keesokan hari setelah kedatangannya di Deli, mamak mengungkapkan keinginan untuk membawa Ramah dan Fauzi ke kampung kepada Musa. Sebenarnya, Musa sudah mengetahui hal tersebut terlebih dahulu dari Ramah namun tidak dijelaskan secara terperinci. Saat itu, Musa pun sangat memahami keadaan istrinya yang bingung memilih antara dirinya dan mamak. Pembicaraan mamak dengan Musa tentang penjemputan Ramah berlangsung dalam keadaan tenang.
,,Begini Sutan . . . .!” Kata mamaknja dengan gugup, sebab susahnja nampaknja dia akan mengeluarkan perkataan. ,,Kedatangan saja Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
83
kemari diutus oleh orang dikampung, oleh segala mamak, dan keluarga, meminta Sutan dan anak isteri Sutan pulang dahulu. Sebab sesudah lebih tiga tahun merantau, djadi orang dirumah sudah teragak pula . . . .! tetapi, kalau ada perkataan saja jang salah susunnja, ma’afkanlah saja”. Djawab saja sudah sedia, saja berkata; ,,Kalaui itu maksud mamak, saja tidak keberatan. Tjuma permintaan mamak supaja kami pulang bersama, belumlah dapat rasanja saja kabulkan. Sebab banjak lagi piutang jang belum menerima bulan ini. Jang sebaiknya, supaja hati orang dikampung terobat, dan teragaknja lepas, mamak sadjalah dengan Ramah dan si Fauzi pulang lebih dahulu. Nanti kira-kira dua atau tiga bulan lagi, sajapun pulang pula,” djawab saja dengan senjum. (Hamka, 1962: 22). Ketenangan tersebut dipilih Musa untuk menutupi kelemahannya yang tidak sanggup berpisah dengan Ramah dan anaknya. Sebagai suami, ia harus tetap memikirkan apa yang terbaik untuk kepentingan istri dan anaknya, baik secara fisik maupun mental. Jika, ia melakukan perlawanan terhadap permintaan mamak, tentu Ramah adalah orang yang paling menderita akibat perbuatannya. Kondisi Ramah dapat semakin terpojok karena tidak kuat menghadapi dua orang laki-laki yang penting dalam hidupnya memperebutkan dirinya. Oleh karena itu, Musa memilih mengalah demi menjaga ketenangan batin istri dan mamaknya.
Engku . . . . saja laki-laki! Saja lahir dari ada emak saja, menguak bukan mengoak. Dalam hal ini isteriku tidak salah. Dia paling susah berdjuang,menanggung hati mamaknja, dan menanggung hati suaminja. Maka salah satu dari keduanja, mamak dan suami itulah jang mesti mengalah. Saja belum ada duit untuk ongkos pulang! Sebab itu biarlah dia pulang bersama mamaknja. Itulah keputusan saja dalam hati. Saja jang mesti mengalah. (Hamka, 1962: 22). Tindakan mengalah yang dilakukan Musa juga menggambarkan bahwa dirinya masih patuh kepada adat. Secara tidak langsung, ia masih memosisikan mamak sebagai pemimpin dalam rumah tangganya dengan Ramah. Ia tidak ingin Ramah dikucilkan dari keluarganya sendiri atau keluarga Ramah yang mendapat cemoohan dari orang lain karena tidak berhasil mendidik kemenakan untuk mengikuti perintah mamaknya. Keputusan Musa ini pun membuktikan dirinya masih lemah dalam memimpin rumah tangganya sendiri. Meskipun ia sempat memimpin, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Hal itu terjadi karena adanya kekuatan yang
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
84
lebih kuat dari posisinya sebagai suami Ramah. Ia pun menempatkan diri pada posisi yang kalah agar tidak lebih banyak lagi yang terluka. Musa yang berada dalam posisi kalah tetap dapat menunjukkan perannya sebagai suami yang baik bagi Ramah di mata mamak. Ia tetap bertanggung jawab atas kepulangan istri dan anaknya ke kampung.
Dia mendjawab pula: ,,Lebih baik kita pulang bersama-sama. Kalau sekiranja perkara hutang-hutang itu jang akan djadi halangan, djanganlah Sutan kemukakan. Untuk ongkos kita pulang berempat dengan si Fauzi, adalah tjukup hamba sediakan”. Hal ini bukan tergantung ongkos—kata saja pula— Sekedar buat ongkos saja sendiri, Ramah, dan Fauzi tidaklah perlu akan kita tjarikan dari kampung ! Malahan ongkos mamak sendiri, jang telah sudi menolong membawa isteriku pulang, hamba djua jang wajib membajarnja, kata saja sambil mengeraskan perkataan menolong itu. Dia terjengang mendengar perkataanku. Mulutnja tertutup. ,,Djadi . . . .Sutan?!” Katanja kemudian dengan gugup dan malu. (Hamka, 1962: 23). Selain mengurusi kepulangan mereka bertiga ke kampung, Musa pun tetap memberikan nafkah selama Ramah berada di kampung. Tindakannya tersebut menggambarkan bentuk tanggung jawabnya sebagai suami yang menafkahi istri. Perwujudan tanggung jawab Musa sebagai suami yang baik tidak menimbulkan perubahan penilaian mamak terhadap dirinya. Musa tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari mamak, baik melalui kabar maupun surat-surat yang dikirimi oleh Ramah. Musa pun merasa semakin tidak berhasil menjaga keutuhan rumah tangganya. Ia tidak berani datang ke kampung untuk menyelesaikan ketidakjelasan status rumah tangganya. Ketakutan Musa untuk gagal membawa Ramah kembali bersamanya lebih besar dibandingkan memperjuangkan haknya sebagai suami bagi Ramah dan ayah bagi Fauzi. Peristiwa penjemputan Ramah oleh mamak membuat Musa kembali menjadi lelaki yang lemah dan pasrah terhadap keadaan. Kepasrahan Musa sempat mendorong dirinya untuk menceraikan Ramah.
Mula_mula saja bermaksud sadja menurut kata pamiliku jakni akan saja kirimkan surat tjerai. Alasan mereka ialah supaja djangan dapat malu. Lebih baik dia ditjeraikan dahulu, dari pada dia sendiri jang Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
85
,,mentjeraikan” kita lantaran dia pergi kepada tuan Kadi meminta ta’lik. (Hamka, 1962: 30).
Dari kutipan di atas, terlihat Musa dapat dipengaruhi oleh orang lain dengan mudah. Tak dapat dipungkiri, seseorang yang dalam keadaan kalut dapat mengambil keputusan tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Musa pun sempat ingin menceraikan Ramah untuk memenuhi keinginan keluarganya dan tidak ingin terlihat kalah di mata keluarga Ramah. Akan tetapi, pikiran buruk itu cepat dihilangkannya mengingat tidak ada yang salah di antara mereka berdua. Ia pun berpikir kembali mengenai masalah yang sedang dihadapinya saat itu. Setelah itu, ia menyadari bahwa akan ada perjuangan panjang dalam mempertahankan rumah tangganya. Keberaniannya untuk mengubah keadaan hanya sebatas pikiran, tidak direalisasikan secara nyata. Oleh karena itu, Musa kembali menjadi pasrah dan menunggu aksi dari Ramah, sama seperti saat ia tidak pulang ke rumah gadang berhari-hari. Kenyataan pun berkata demikian, kejelasan status rumah tangga Musa datang dari pihak Ramah. Ia menerima surat yang berisi pernyataan Ramah menceraikan dirinya. Di dalam hatinya, Musa tidak terlalu terkejut menerima surat tersebut. Ia sudah memperkirakan sebelumnya karena berkaitan dengan peristiwa penjemputan istrinya yang sudah direncanakan oleh mamak. Tentu, hasil akhir hubungan mereka berdua ditentukan oleh mamak dari Ramah pula.
Demikian tjerita si Samah. Artinja Ramah telah memilih pamilinja . . . . .Si Ramah tidak salah! Memang,” djawabku, ,,Si Ramah tidak salah, dia seorang perempuan jang dapat mengeraskan hatinja dan melepaskan diri dari pada kungkungan pamili itu. Jang salah dalam perkara ini barangkali engkau sendiri, sebab engkau lemah. Alangkah baiknja kalau sekiranja engkau pulang kekampung dan engkau djeput dia dengan diam-diam dan bawa merantau . . . .” Mendengarkan perkataan itu air mata Musa berlinang. Itulah baru air matanja menepi, sedjak pagi kami bertjakap! Dia mendjawab; ,,Memang begitu engku . . . tetapi”. (Hamka, 1962: 31). Musa menyadari dirinya tidak sekuat dengan apa yang diharapkan Ramah. Sebagai suami yang masih mencintai istrinya, seharusnya Musa dapat Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
86
memperjuangkan keutuhan rumah tangganya. Namun, tindakan tersebut tidak dilakukannya karena ia tidak mempunyai kekuatan lagi untuk merebut kembali Ramah dari tangan mamaknya. Selain itu, kelemahan Musa tersebut merupakan gambaran akumulasi dari berbagai tekanan yang didapatnya selama menikah dengan Ramah. Pada awal pernikahan, ia mendapatkan tekanan dari kedua saudara Ramah dan suaminya. Saat mereka berdua merantau ke Deli, ia mendapatkan banyak penilaian negatif dari orang-orang kampung yang berkunjung ke Deli, dan ketika mamak datang untuk menjemput Ramah dan Fauzi, ia mendapatkan penghinaan secara tidak langsung atas perannya sebagai suami yang tidak berhasil. Oleh karena itu, Musa hanya dapat pasrah terhadap apa yang telah diperjuangkannya. Ia menyadari kekuatannya tidak terlalu besar untuk mempertahankan apa yang sudah dijalaninya. Hal tersebut disebabkan rasa rendah diri dan ketidakmampuannya untuk membuktikan kebahagiaan yang sudah dijalaninya selama ini dengan Ramah.
4.4.4 Keluarga Ramah Dalam Didjemput Mamaknja, digambarkan ada dua saudara Ramah dan ibu Ramah yang berusaha memberikan yang terbaik kepada Ramah. Hal tersebut adalah salah satu bentuk kepedulian mereka terhadap kehidupan Ramah setelah menikah dengan Musa. Namun, perhatian yang besar tersebut menjadi salah satu penyebab hilangnya kebahagiaan Ramah. Ibu dan kedua saudara Ramah selalu memandang kehidupan Ramah sesudah menikah sama harus sama dengan kehidupannya sebelum menikah. Mereka selalu mengomentari apa yang dilakukan Musa dan Ramah dalam urusan rumah tangganya. Hal tersebut cukup berpengaruh terhadap keutuhan rumah tangga Ramah ketika tinggal di rumah gadang. Pada awal pernikahannya, Ramah tinggal bersama keluarga besarnya di rumah gadang. Kenyataannya, bukan kerukunan yang muncul dari kebersamaan tersebut, melainkan pertentangan yang dimunculkan oleh keluarga Ramah. Mereka tidak percaya bahwa Musa yang miskin dapat membahagiakan Ramah setelah menikah dengannya.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
87
Mereka terheran, musjawarat apa pulakah jang akan timbul dari saja ? Adakah kesanggupan bagi saja untuk memperbaiki rumah, akan menambah dinding, akan menjisip atap, padahal mereka kenal bahwa belandja pekan sadja saja tak sanggup memenuhi kononlah memperbaiki rumah tempat tinggal. Mereka terkedjut lagi setelah mendengar dari mulut saja sendiri, bahwa pertemuan malam itu ialah sebagai saja meminta diri, sebab dua hari lagi saja akan berangkat bersama isteri saja, menudju tanah Deli. Kelihatan betul terbajang dimuka mereka masing-masing rasa bentji dan dengki melihat saja akan berangkat. Isteri mereka masingmasing tentulah menurutkan alun dan ombak suami mereka pula. Memang mereka tertjengang dan mereka bentji, sebab sebagai engki tahu djuga, dikampung kita pada umumnja, amatlah bangganja bagi satu mertua kalau sekiranja anak perempuan dibawa merantau, walaupun mertua itu, tidak akan tahu apa jang akan diderita, apa jang akan dimakan dan dimana rumah tempat anaknja menumpang diperantauan itu. (Hamka, 1962: 12). Oleh karena itu, mereka juga tidak percaya bahwa Musa dapat memberikan kenyamanan kepada Ramah ketika di perantauan. Hal itu berdasarkan kerja keras yang dilakukan Musa saat di kampung tetap menghasilkan kekurangan dalam segi materi. Keadaan tersebut membuat mereka semakin yakin kehidupan Ramah dapat menjadi lebih buruk saat di rantau. Keluarga Ramah tetap menginginkan Ramah hidup dalam kondisi yang serba ada, sama seperti yang dijalaninya sebelum menikah. Penilaian negatif mereka kepada Musa turut mempengaruhi kebahagiaan Ramah saat hidup bersama di rumah gadang. Ia tidak dapat secara bebas memberikan perhatian kepada Musa karena apa pun tindakannya menjadi sorotan keluarganya. Keluarganya selalu membandingkan tingkah laku Musa dengan suami kedua saudaranya yang berhasil dalam segi materi. Pada kenyataannya, Ramah dan Musa menyadari kelebihan yang dimiliki oleh suami kedua saudaranya. Namun, hal itu bukan hambatan bagi mereka berdua dalam menjalani hidup selanjutnya. Bagi Ramah dan Musa, dalam berumah tangga kekayaan bukan satu-satunya jaminan kebahagiaan. Ibu Ramah dan dua saudara Ramah digambarkan begitu menginginkan Ramah tetap hidup seperti biasanya di kampung. Mereka tidak yakin bahwa Ramah dapat bertahan hidup dalam serba kekurangan di rantau. Oleh karena itu, Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
88
mereka tidak melakukan perlawanan saat mamak memutuskan untuk membawa Ramah dan anaknya pulang kampung. Bagi mereka, tindakan tersebut sudah sepantasnya dilakukan untuk menolong Ramah. Hal tersebut didorong oleh keinginan mereka agar Ramah hidup dengan lelaki yang bisa mencukupi kebutuhan materi, sama seperti suami dari kedua saudaranya. Akhirnya, keinginan mereka agar Ramah dapat lepas dari sisi Musa dapat terwujud oleh keberhasilan mamak yang membawanya pulang kampung. Menurut mereka, tindakan tersebut adalah pertolongan yang baik bagi Ramah. Namun, Ramah menunjukkan reaksi yang berbeda, ia selalu larut dalam kesedihannya karena dipisahkan dengan Musa. Dari peristiwa tersebut, dapat terlihat apa yang ingin diberikan oleh mereka, bukan sesuatu yang dibutuhkan Ramah. Pengaruh keluarga besar Ramah yang kuat menyebabkan Ramah semakin tidak berdaya menjaga keutuhan rumah tangganya. Salah satu contohnya adalah saat ibu Ramah secara tidak langsung meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Dalam pada itu, siang dan malam, petang dan pagi, isteriku dibudjuk ditjumbu djua oleh ibu dan mamaknja sendiri dan kalau perlu diantjam supaja segera meminta tjerai, meminta ta’lik dan meminta fascach. ... Saja tersenjum menerima surat itu, tetapi Samah melihat djelas bahwa tanganku gemetar. Tiba-tiba dia berkata: “Engkau djangan menjesali si Ramah, Musa! Saja lihat sendiri waktu dia akan datang menghadap tuan Kadi, sehingga pintu surau dia diiringkan oleh ibunja. Orang kampung kita banjak jang tahu bahwa dia meminta kata putus itu lantaran paksaan. Saja lihat air matanja meleleh ketika mengutjapkan permintaan itu ,,Benar-benarlah engkau hendak meminta ta’lik?”tanja Kadi. ,,Ja . . . .engku!” ,,Sudahkah engkau fikirkan? Sebab apabila uang chuluk ini telah saja singgung sadja dengan tangan saja, thalak itupun djatuhlah”. ,,Sudah . . . . . .” Demikian tjerita si Samah. Artinja Ramah telah memilih pamilinja . . . . . Si Ramah tidak salah! (Hamka, 1962 : 29—31).
Tindakan tersebut didorong oleh penilaian ibu Ramah terhadap keadaan Ramah yang semakin memburuk setelah menikah. Menurutnya, saat Ramah menikah dengan Musa, ia harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik dalam berbagai hal, terutama materi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, peningkatan materi Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
89
tidak ada dalam kehidupan mereka berdua. Terlebih lagi, Ramah dan anaknya tinggal dalam kondisi yang cukup memprihatinkan saat di rantau. Keberadaan keluarga Ramah dalam novel ini termasuk sebagai tokoh bawahan. Keterkaitan mereka dengan tokoh Ramah dapat memperjelas bahwa banyak orang lain yang ikut campur di dalam rumah tangga Ramah. Menurut Sudjiman (1988), tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan untuk menunjang tokoh utama. Kehadiran tokoh ibu Ramah dan dua saudaranya menunjukkan bahwa tidak hanya mamak yang menginginkan Ramah berpisah dengan Musa. Tidak hanya itu, mereka bertiga juga dapat dikatakan sebagai tokoh antagonis. Hal itu berdasarkan dengan keikutsertaan mereka menimbulkan konflik saat Ramah tinggal bersama di rumah gadang. Musa sempat tidak pulang berharihari ke rumah gadang karena tidak kuat lagi mendengar hinaan mereka. Ramah pun menjadi korban dari ulah kedua saudaranya. Ia tidak melakukan perlawanan karena dapat membuat keberadaan suaminya tidak dianggap di mata keluarganya. Oleh karena itu, Ramah hanya berusaha membujuk Musa untuk kembali ke rumah tersebut. Meskipun frekuensi kemunculannya sedikit, keberadaan mereka dalam cerita tersebut menjadi media Hamka untuk menyampaikan kritik mengenai kebebasan rumah tangga seorang anak. Ia ingin menunjukkan kepedulian yang terlalu besar kepada orang yang disayanginya dapat menghilangkan apa yang diinginkan oleh orang tersebut. Hal itu disebabkan oleh kesibukan mereka untuk selalu memberikan yang terbaik bagi Ramah tanpa melihat apa yang dibutuhkan Ramah sebenarnya. Sebagai istri, Ramah berhak menentukan apa yang diperlukannya dalam berumah tangga. Ibu dan kedua saudaranya tidak lagi berhak ikut campur dalam menentukan apa yang baik dan buruk bagi rumah tangga Ramah.
4.4.5 Keluarga Musa Dalam novel ini, keluarga Musa digambarkan sebagai keluarga yang masih ikut campur dalam rumah tangga anaknya, Musa. Mereka pernah memberikan pengaruh buruk terhadap Musa saat Ramah dijemput mamaknya dari
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
90
perantauan. Keinginan mereka terhadap rumah tangga Musa adalah adanya peristiwa perceraian agar nama keluarga tidak semakin tercemar. Kemunculan keluarga Musa dalam cerita ini sebagai tokoh bawahan yang menegaskan adanya pihak luar yang turut campur dalam rumah tangga Ramah. Mereka digambarkan sebagai salah satu pihak yang menginginkan Musa bercerai dengan istrinya, Ramah. Kehadiran keluarga Musa tidak terlalu menonjol dibandingkan keluarga Ramah. Hal tersebut didukung dengan kemunculan tokoh keluarga Musa tidak disebutkan dengan rincian nama, seperti yang dilakukan Hamka saat menggambarkan keluarga Ramah. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa keluarga Musa tidak terlalu berpengaruh dalam perjalanan rumah tangga Ramah. Kemunculan keluarga Musa baru diperlihatkan setelah peristiwa Ramah yang dijemput oleh mamaknya dari perantauan. Mereka merasa terhina karena mendengar alasan menjemput Ramah di rantau karena ketidakmampuan Musa untuk menafkahi istri dan anaknya. ,,Tidak berapa lama sesudah itu datang pula surat dari pada pihak ibu dan saudaraku. Isinja berbeda djauh dengan isi surat jang dahulu bahwa dikampung tidak ada keadilan, dikampung orang tidak mau memberi pembalasan kepada jang benar dan menjalahkan mana jang salah. Walaupun seorang dipihak kebenaran, tetapi kalau sekiranja dia dihidup didalam golongan lawan diapun dipandang musuh dan salah pula. Sikap mamak mendjemput isteriku kerantau itu dipandang oleh kaum kerabatku sendiri sebagai suatu sikap jang memberi malu, menghina kepada mereka seakan-akan mereka tidak dihargai. Sebab itu, seketika anak dan isteriku telah sampai dikampung, dari pihak kaum kerabatku sendirilah jang banjak datang sindiran, hinaan, dan gundjing. Apabila suatu ketika mereka bertemu didjalan atau terpaksa, terdjadilah sindir menjindir jang amat menusuk hati. Adat kita jang bisa terpakai, tidak dilakukan lagi. (Hamka, 1962: 28). Rasa kecewa yang didapatkan keluarga Musa cukup wajar karena mereka melihat usaha Musa yang cukup gigih sebagai seorang kepala keluarga. Namun, hal itu tidak ada artinya di mata keluarga Ramah, terutama mamaknya. Mereka merasa dihina karena keluarga Ramah menggunakan kekayaannya untuk mengukur keberhasilan Musa dalam menafkahi istri dan anaknya.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
91
Oleh karena itu, keluarga Musa juga mengusulkan hal yang sama, seperti keluarga Ramah kepada Ramah, yaitu menceraikan pasangannya. Mereka beranggapan untuk apalagi rumah tangga mereka dipertahankan, jika istrinya sudah tidak di sampingnya. Terlebih lagi, bagi mereka, istri Musa menjadi penyebab keluarga besar Musa menanggung malu di kampung. Dari pamiliku demikian pula, disana tersebut penjesalan, sudah begitu sikap pamili isteriku kepada mereka dan kepada diriku sendiri, mengapa maka saja masih djuga suka beristeri dia. Mereka tidak mau tahu bahwa isteriku sendiri tidak bersalah! Mereka tidak mau tahu bahwa saja tjinta kepada isteriku. Malu semalu, hina sehina! Kalau sekiranja pihak isteriku telah membuat pekerdjaan jang demikian terhadapku, saja harus meninggalkan rumah itu, saja harus mentjari isteri lain, karena bukan dia sadja perempuan jang bersanggul. (Hamka, 1962: 29). Mereka tidak ingin nama baik keluarga dan kaumnya dicemari oleh peristiwa penjemputan Ramah di rantau. Lebih baik Musa kehilangan seorang istri daripada mendengar penilaian orang yang buruk kepada keluarga Musa. Mereka lebih memikirkan apa yang dikatakan orang lain daripada masalah yang sedang dihadapi Musa. Dalam kekalutan yang sedang dialaminya, Musa sempat berpikir menerima saran dari keluarganya untuk menceraikan Ramah. Pengaruh yang diberikan keluarga Musa dapat berakibat buruk terhadap rumah tangga yang masih ingin dipertahankan Musa. Namun, hal tersebut dinilai baik oleh keluarga Musa karena terputusnya hubungan dengan orang yang menyebabkan mereka harus menanggung malu. Dapat telihat, pandangan keluarga Musa tidak berbeda jauh dengan pandangan keluarga Ramah. Kedua belah pihak menitikberatkan pada kepentingan suku dan nama baik keluarga. Kepentingan kemenakan dan keutuhan rumah tangganya tidak terlalu dipikirkan saat berhadapan dengan pandangan orang lain. Menurut mereka, jika kemenakan menuruti keinginan mamak, kehidupan mereka dapat berjalan lancar. Oleh karena itu, mereka merasa masih berhak ikut campur dalam rumah tangga kemenakannya. Keberhasilan dan kesulitan yang dialami kemenakan dalam berumah tangga ikut mempengaruhi penilaian orang lain terhadap keluarga besarnya. Hal itu pun terjadi dalam kehidupan keluarga Musa. Mereka lebih
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
92
memfokuskan pada hinaan yang disampaikan orang lain daripada membantu kemenakan untuk menyelesaikan masalahnya. Penggambaran berbagai tokoh yang ada dalam Didjemput Mamaknja dapat terlihat Hamka berusaha menggambarkan pelaksanaan adat bermamakkemenakan apa adanya. Ia tidak menghilangkan gambaran tanggung jawab mamak yang baik terhadap kemenakan. Namun, di sisi lain, ia menunjukkan bahwa kekuasaan dan kepedulian mamak yang terlalu kuat dapat merugikan orang yang ingin ditolong, seperti Ramah. Selain itu, dalam novelnya ini, Hamka berusaha menunjukkan bahwa pelaksanaan adat bermamak-kemenakan harus disesuaikan dengan keadaan kemenakan saat itu. Jika ia sudah menikah, suamilah yang paling berhak sebagai kepala keluarga dalam rumah tangganya. Peran mamak tentu tidak dapat dihilangkan dalam kehidupan kemenakan karena berkaitan dengan sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan peran masingmasing.
4.5 Hamka Memandang Adat Bermamak-Kemenakan Dalam Didjemput Mamaknja, Hamka menggambarkan pelaksanaan adat bermamak-kemenakan yang berdampak buruk bagi kemenakan. Ia menunjukkan kekuasaan mamak yang terlalu kuat dalam kehidupan kemenakan. Hal tersebut membuat dirinya merasa berhak mengatur jalannya rumah tangga Ramah dengan Musa. Setiap keinginan mamak harus dipenuhi oleh Ramah, termasuk meninggalkan suaminya. Dalam mengambil keputusan pun, mamak tidak mempedulikan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh kemenakannya. Berdasarkan kekuasaan mamak yang kuat terhadap Ramah, Hamka juga menunjukkan tidak diakuinya keberadaan individualitas dalam adat Minangkabau. Ramah sebagai istri Musa tidak diberikan kesempatan untuk menentukan apa yang baik untuk rumah tangganya. Musa pun mengalami hal yang sama, ia tidak diakui keberadaannya sebagai pemimpin rumah tangganya oleh mamak dan keluarga Ramah. Mereka lebih mementingkan menyelamatkan Ramah dari
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
93
kehidupan yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Kebahagiaan rumah tangga yang dirasakan Ramah tidak dipentingkan oleh mereka. Hal tersebut dapat menjadi kritik dari pelaksanaan adat bermamakkemenakan. Dalam falsafah adat Minangkabau, agama Islam menjadi dasar dari keseluruhan adat Minangkabau. Tokoh mamak dalam Didjemput Mamaknja digambarkan sebagai mamak yang sebatas menjalankan perannya dalam adat bermamak-kemenakan tanpa melalui proses penerapan yang sesuai dengan kondisi yang terjadi. Oleh karena itu, menurut penulis, Hamka mengkritik beberapa tindakan mamak yang tidak sesuai dengan agama Islam namun tidak berusaha menghilangkan keberadaan peran mamak dalam kehidupan kemenakan. Hal itu disebabkan oleh sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Mereka menempatkan mamak sebagai pemimpin dalam keluarga besar, suku, dan kaum. Gagasan pemikiran Hamka dalam Didjemput Mamaknja dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain lingkungan saat ia menghasilkan karya ini dan pemikiran orang lain yang diteladaninya. Pertama kali, novel ini diterbitkan pada tahun 1930 dan pada waktu yang sama Sumatra Thawalib, tempat Hamka menamatkan sekolah, mengalami gesekan dengan kaum tua tentang pelaksanaan adat Minangkabau yang harus sejalan dengan agama Islam. Gerakan ini juga dipengaruhi oleh pelopor gerakan Islam murni yang menginginkan semua sendi kehidupan bedasarkan Al-quran dan sunah Rasul. Salah satunya, Syekh Ahmad Khatib yang menjadi guru bagi setiap pendiri Sumatra Thawalib yang belajar Islam di Mekah. Selain itu, gerakan modernisasi Islam di dunia pada abad ke-19 dapat mempengaruhi Hamka dalam menulis. Pada abad ke-19, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani melalui majalah Al-`Urwah al-Wutsqa mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Gerakan ini menjadi mendunia, termasuk ke Minangkabau karena banyak pendiri Sumatra Thawalib yang mempunyai keinginan sama, termasuk Syekh Ahmad Khatib. Beliau menginginkan adat Minangkabau dijalankan sesuai dengan agama Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
94
Dari berbagai pengaruh tersebut, Hamka pun mencoba memasukkan unsur Islam yang menjadi dasar adat Minangkabau. Ia menampilkan sosok Musa, suami Ramah, yang bertanggung jawab terhadap istrinya17. Ia bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya. Namun, dinilai tidak berhasil oleh keluarga Ramah karena memberikan kebutuhan materi yang kecil kepada istrinya. Ramah pun digambarkan sebagai sosok istri yang patuh kepada suaminya.
Dalam Islam, istri mempunyai kewajiban yang sesuai dengan firman Allah (Al-quran) dan sabda Rasul, yaitu 1. Memelihara rumah tangga dengan suaminya 2. Menggembirakan suaminya 3. Patuh pada perintah suaminya 4. Menjaga kesucian dirinya dan merahasiakan masalah rumah tangganya 5. Mengasuh anak-anaknya 6. Membantu suami dalam mendidik anaknya 7. Menutup rapat auratnya (aurat perempuan ialah seluruh badan ketjuali muka dan udjung tangan sampai pergelangan, sebagaimana yang disebut dalam Al-quran dan hadis) 8. Tidak bertingkah yang tidak patut 9. Tidak bergaul dengan laki-laki yang bukan muhrimnya 10. Keluar dari rumah atas seijin suami atau pergi bersama dengan suami. (Loebis,1960: 17). Ramah tulus menerima keadaan Musa yang miskin dan mau berjuang bersama-sama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, di mata keluarga besarnya, Ramah dianggap tersiksa karena tidak biasa hidup dalam kekurangan materi. Mamak pun menilai Ramah menjadi pemberontak karena lebih menuruti perkataan suami daripada keinginan mamak. Pandangan mamak dan keluarga Ramah inilah yang digunakan Hamka sebagai media untuk mengkritik pandangan kaum tua dalam melaksanakan adat bermamak-kemenakan. Mereka terlihat lebih memilih melaksanakan adat Minangkabau tanpa ada penggabungan dengan agama Islam. Pemikiran Islam dalam karya tersebut dipengaruhi oleh pribadi Hamka yang Islami. Semasa hidupnya, ia selalu belajar mengenai agama Islam. 17
Kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istrinya, terdiri dari pemberian makanan dan minuman, perumahan, pakaian, pengobatan selama istrinya sakit, serta mendidik istrinya. Ali Basja Loebis, Hukum Perkawinan Islam dan Hubungannya Dengan Peradilan Agama di Indonesia, (Jogjakarta: 1960), hlm. 16
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
95
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Islam yang murni, yaitu berlandaskan Al-quran dan sunnah Rasul.
Pelopor gerakan pemurnian Islam adalah Muhammad Ibn Abdul Wahab. Gerakan ini adalah suatu kebangkitan kembali ortodoksi Islam menghadapi kerusakan agama, kemerosotan moral dan proses kemunduran secara merata terjadi dalam masyarkat Islam. Dari gerakan tersebut muncul orang-orang yang setuju dengan pandangan tersebut, antara lain Muhammad Abduh, Muhammad Jamaluddin al-Afgani, dan Muhammad Rasyid Rida. Di Sumatera Barat, paham tersebut dianut oleh Haji Rasul dan Ahmad Khatib yang turut mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang dan Parabek (Daya, 1990:45&48). Didukung pula, pada tahun 1920-an, terjadi banyak pertentangan mengenai adat Minangkabau yang dianggap tidak sejalan dengan dasar adat Minangkabau, yaitu Islam. Pertentangan yang muncul disuarakan oleh Syekh Ahmad Khatib, Abdullah Ahmad, Haji Rasul, dan salah satu koran terbitan Sumatera Barat, Tjaja Soematra. Pertentangan yang dibahas mengenai hukum waris dan perkawinan di Minangkabau. Menurut adat Minangkabau, kemenakan perempuan yang harus menerima harta warisan karena kemenakan lakilaki dianggap mampu berusaha dan mencari nafkah sendiri. Selain itu, tentang perkawinan juga menimbulkan pertentangan karena mempunyai aturan yang berbeda dengan Islam. Dalam Islam yang berhak menjadi wali nikah untuk anaknya adalah ayah kandungnya sendiri, bukan mamak. Namun, menurut adat, ninik mamak yang berkuasa dan memberi izin tentang izin nikah kemenakan. Hal tersebut menandakan bahwa perkawinan tidak dapat berlangsung jika tidak mendapatkan izin ninik mamak meskipun ayah kandungnya telah menyetujui. (Daya, 1990: 166— 167). Pertentangan tersebut dimunculkan oleh para pendiri Sumatra Thawalib yang menginginkan semua tindakan yang dilakukan dalam hidup, termasuk pelaksanaan adat harus berdasarkan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, dalam Didjemput Mamaknja, Hamka mencoba menyampaikan pemikiran mengenai kekuasaan mamak terhadap kemenakan yang tidak sesuai dengan agama Islam. Dapat dikatakan, Hamka terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya saat menuangkan pemikiran tersebut. Saat terjadi
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
96
pertentangan tersebut, ia sedang menjalani pendidikan di Sumatra Thawalib18 dari tahun 1916—1923. Dari tempat itulah, muncul gerakan yang menentang pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak sejalan dengan agama Islam. Selama bersekolah di tempat yang didirikan ayahnya, Hamka mendengar sendiri betapa banyak suara yang menolak pelaksanaan adat Minangkabau secara absolut. Mereka menolak pelaksanaan adat yang sesuai dengan ajaran adat Minangkabau sebelum agama Islam masuk ke Sumatera Barat. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakkonsistenan masyarakat Minangkabau dalam melaksanakan falsafah adat Minangkabau yang berdasarkan Al-quran. Lingkungan Thawalib mengajak para penghulu untuk melihat kembali pelaksanaan adat Minangkabau pada tahun 1920—1930 (Daya, 1990: 177). Jika yang diinginkan Sumatra Thawalib kurang baik, maka mereka bersedia menerima nasehat dan petunjuk dari penghulu. Sebaliknya, jika Sumatra Thawalib menunjukkan kebenaran, mereka berharap para penghulu dapat memperbaiki pelaksanaan adat. Sumatra Thawalib tetap menerima adat Minangkabau yang tidak bertentangan dengan agama Islam, yaitu adat nan sabana adat19. Oleh karena itu, Hamka mencoba memotretnya dalam beberapa karya sastranya, termasuk Didjemput Mamaknja. Dalam karya tersebut, Hamka terlihat tidak menghilangkan adat bermamak-kemenakan. Ia menyampaikan kritik terhadap tindakan mamak yang sewenang-wenang karena ia memiliki kekuasaan dalam hidup kemenakannya. Mamak digambarkan berkuasa untuk menentukan apa yang baik bagi Ramah. Ia yang menentukan calon suami bagi Ramah, 18
Kemunculan Sumatra Thawalib tidak dapat dipisahkan dari sejarah surau dan berbagai organisasi yang berdiri di Minangkabau. Oleh karena itu, perkembangannya cukup pesat di berbagai daerah di Sumatera Barat, antara lain Padang Panjang, Parabek, Padang Japang, Bukittinggi, Maninjau, Pariaman, Sungayang, Payakumbuh, Kubang Putih, Tanjung Limau, Padusunan Pariaman, dan Batu Sangkar. Selain itu, para pendiri dari berbagai Sumatra Thawalib belajar Islam kepada Syekh Ahmad Khatib di Mekah. Ia adalah sosok yang keras dan menentang kebiasaan warisan menurut hukum adat. Selain itu, ia juga menolak melaksanakan adat Minangkabau yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia tidak ingin pulang ke Sumatera Barat sebelum ada perubahan dalam pelaksanaan tersebut. Dapat dikatakan, pengaruh Ahmad Khatib terhadap murid-murid yang belajar Islam kepadanya cukup kuat sehingga mereka juga ikut menyuarakan pendapatnya mengenai adat Minangkabau yang bertentangan dengan Islam. Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatra Thawalib, (Yogyakarta: 1990), hlm.166—167
19
Adat nan sabana adat (adat yang sebenarnya adat) adalah adat yang asli dan tidak berubah. Adat yang lazim dingkapkan dalam petatah-petitih ini, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup mereka. A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau,(Jakarta: 1984), hlm. 89 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
97
sekaligus menjadi penggerak berakhirnya rumah tangga Ramah dengan Musa. Namun, di sisi lain, Hamka menunjukkan bentuk kepedulian mamak terhadap kondisi kemenakannya. Saat mengetahui Ramah mengalami kesulitan hidup di rantau, mamak berusaha untuk menolongnya. Ia tidak ingin Ramah hidup dalam keadaan sulit di rantau, sedangkan harta pusaka di kampung dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, pertolongan yang diberikan mamak tidak sampai pada tujuannya. Ia melakukan tindakan yang membuat Ramah kehilangan kebahagiaannya. Mamak menilai dengan kekuasaannya dapat menjamin apa pun, termasuk kebahagiaan Ramah. Mamak juga berusaha mengambil peran Musa sebagai kepala keluarga dalam hidup Ramah. Ia ingin menunjukkan posisi Musa yang berada di bawah posisinya dalam kehidupan Ramah. Musa adalah lelaki yang dipilih oleh mamak untuk Ramah. Oleh karena itu, kebahagiaan yang didapatkan Musa setelah menikah dengan Ramah karena campur tangan dirinya. Mamak juga menekankan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi keluarga Ramah yang mempunyai kewenangan memutuskan sesuatu bagi kepentingan bersama. Keberadaan Musa sebagai kepala kelurga bagi Ramah dianggap tidak penting karena tidak berkaitan dengan urusan orang banyak. Dari pandangannya tersebut, mamak yakin bahwa keputusan apa pun yang diambilnya untuk kebaikan bersama. Berdasarkan hal tersebut, mamak meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Hal itu disebabkan oleh sosok Musa sebagai suami yang tidak dapat memberikan kelimpahan materi untuk istrinya dan menjadi penyebab penilaian buruk orang lain terhadap keluarga besar Ramah. Akhirnya, Ramah mengikuti permintaan mamak dengan kondisi tertekan. Hamka kembali terpengaruh dengan keadaan Sumatra Thawalib saat itu yang menginginkan agama Islam menjadi dasar pelaksanaan adat Minangkabau. Hamka ingin menunjukkan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan oleh masyarakat
Minangkabau.
Kebanyakan
dari
mereka
menilai
seseorang
berdasarkan jumlah materi yang dimilikinya. Biasanya, mereka akan lebih menghargai orang yang hidup dengan keadaan serba ada. Dalam Islam, tidak ada pembedaan manusia bedasarkan materi yang dimilikinya. Oleh karena itu, Hamka
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
98
menganggap kebiasaan itu adalah adat jahiliyah yang harus ditumpas. Kemiskinan yang dimiliki Musa menjadi dasar pertimbangan mamak meminta Ramah untuk menceraikan suaminya. Dalam kenyataannya, Ramah tidak merasa keberatan hidup miskin dengan Musa. Oleh karena itu, alasan tersebut tidak dapat dijadikan syarat terjadinya perceraian dalam suatu rumah tangga. Dalam agama Islam, perceraian20 dapat terjadi jika perselisihan suami istri sudah menimbulkan permusuhan antara keduanya dan kaum kerabat keduanya. Persyaratan tersebut tidak ada dalam perceraian Ramah dengan Musa. Musa selalu melaksanakan tanggung jawab sebagai pencari nafkah untuk keluarganya. Ramah pun selalu menerima dengan tulus sekecil apa pun nafkah yang diberikan oleh Musa. Ia tidak pernah merasa kekurangan dan kesulitan hidup dalam kemiskinan. Hal tersebut didorong dengan kepercayaannya terhadap kerja keras Musa akan berbuah manis di masa datang. Oleh karena itu, perceraian yang terjadi bukan karena ada masalah dalam suami istri, melainkan pengaruh pihak eksternal rumah tangga yang terlalu kuat. Hamka juga mengkritik pengaruh keluarga terhadap rumah tangga anaknya dalam peristiwa perceraian tersebut. Dalam Didjemput Mamaknja, ia menunjukkan pengaruh ibu dan kedua saudara Ramah dalam rumah tangga Ramah. Mereka selalu menyindir keadaan Musa yang kekurangan dari segi materi. Hal itu menyebabkan kesedihan pada Ramah karena orang-orang yang menyayanginya menghina suami yang dihormatinya. Berdasarkan peristiwa tersebut, Hamka menunjukkan pengaruh buruk dalam rumah tangga anak yang tidak sepantasnya dilakukan oleh keluarganya sendiri. Dalam Islam, rumah tangga yang dijalani oleh seorang anak sudah menjadi tanggung jawab dirinya dan suami. Sebagai orang tua, mereka sudah tidak memiliki wewenang dalam mengatur anaknya sendiri. Anak yang sudah 20
Perceraian dapat terjadi jika peristiwa perdamaian kedua belah pihak tidak menghasilkan sesuatu. Oleh karena itu, menilik kemudaratannya, maka hukum talak (perceraian) ada empat, yaitu 1. Wajib, apabila hakim yang mengurus perkara suami istri memandang perselisihan mereka perlu diakhiri dengan perceraian. 2. Sunat, apabila suami tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan istrinya atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. 3. Haram, jika menjatuhkan talak saat si istri dalam keadaan haid dan sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu. 4. Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang telah disebutkan sebelumnya. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: 1995), hlm. 401—402 Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
99
menikah menjadi tanggung jawab suaminya untuk dididik, dinafkahi, dan dilindungi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman seorang ibu akan kekuasaan dirinya setelah anaknya menikah. Hal itulah yang tidak dilakukan oleh ibu Ramah. Ia merasa tetap berhak ikut campur untuk menentukan jumlah materi yang dapat membahagiakan anaknya. Ibu Ramah terlihat terlalu sayang kepada Ramah sehingga tidak menginginkan anaknya mengalami kemiskinan. Namun, di sisi lain, Ramah menyatakan kesanggupannya untuk hidup bersama Musa dalam keadaan apa pun. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kasih sayang ibu Ramah yang kuat menjadikan dirinya tidak menghargai keinginan Ramah yang sebenarnya dalam berumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan saling memahami terhadap peran masingmasing dalam melakukan sesuatu. Hal itu pula yang disampaikan Hamka dalam memandang peran mamak terhadap kemenakan. Dalam novelnya tersebut, Hamka menggambarkan dampak buruk dari kekuasaan mamak yang kuat mengakibatkan berakhirnya rumah tangga Ramah yang bahagia.
Universitas Indonesia
Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009