BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survei hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan survei hidrografi memiliki ketentuan teknis yang harus disetujui dan disepakati oleh pihak pelaksana dan pemakai jasa survei hidrografi. Salah satu ketentuan teknis yang berlaku secara internasional yaitu ketentuan IHO (International Hydrographic Organization). Setelah jelas spesifikasi pekerjaan yang akan dilakukan, maka pengumpulan data survei hidrografi dapat dilaksanakan, antara lain: penentuan posisi, survei batimetri dan pengamatan tinggi muka sungai. Langkah-langkah pengerjaan survei hidrografi antara lain adalah penentuan spesifikasi teknis, persiapan awal, pelaksanaan survei, dan pengolahan data, setelah data-data tersebut diolah lalu disajikan dalam bentuk peta kedalaman. Lalu setelah itu dilaksanakan penentuan alur pelayaran yang aman, dan apabila perlu dilakukan perhitungan volume materi yang harus dikeruk dalam rangka penciptaan alur pelayaran aman bagi transportasi batubara di Sungai Kelay, Berau, Kalimantan Timur, lalu pada akhirnya dilakukan analisis terkait dengan pekerjaan survei dan alur pelayaran yang direncanakan. 3.1
Spesifikasi Pekerjaan
Dalam pekerjaan survei hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan menjadi sesuatu yang harus diperhatikan saat pekerjaan dilaksanakan. Di dalam spesifikasi pekerjaan terdapat informasi mengenai spesifikasi produk dan spesifikasi teknis. Spesifikasi produk terkait dengan skala peta, sistem proyeksi, datum vertikal dan horisontal, spesifikasi teknis mencakup pedoman pelaksanaan pekerjaan yang berisikan ketentuan-ketentuan teknis guna menghasilkan kulitas produk tertentu. Spesifikasi produk biasanya mengacu pada hasil akhir yang ingin dihasilkan dari penggunaanya. Contoh dalam kasus ini produk yang ingin dihasilkan adalah peta navigasi, dan kedalaman yang akan dipakai untuk penentuan alur pelayaran. 23
Tentunya untuk mencapai hasil ini diperlukan beberapa referensi seperti ketentuan IHO dan penentuan spesifikasi pekerjaan survei. 3.1.1
Ketentuan International Hydrographic Organization (IHO)
Bentuk ketentuan teknis yang paling lazim dipakai dalam survei batimetri salah satunya adalah International Hydrographic Organization (IHO) dalam special Publication 44 (SP’44) edisi ke-5, Februari 2008. Bagi para kontraktor suatu pekerjaan, spesifikasi teknis ini dipakai untuk mengevaluasi setiap hasil pekerjaan agar didapatkan data dengan kualitas yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam spesifikasi teknis. Dalam survei kali ini menggunakan spesifikasi orde 1b sesuai dengan keterangan Tabel 3.1 : Tabel 3.1 Spesifikasi IHO No
Kelas
Contoh Daerah Survei
1
Orde khusus
2
Orde 1a
Pelabuhan tempat sandar dan terusan kritis (berbahaya) cakupan batimetri 100% dengan kedalaman hingga 40 m Area perairan cukup dangkal, tetap diperlukan cakupan batimetri 100% namun tidak kritis, kedalaman 40-100 m, biasanya digunakan untuk alur pendekat pelabuhan dan alur pelayaran
3
Orde 1b
Area perairan hingga kedalaman 100m namun tidak diperlukan cakupan batimetri 100% karena karakteristik perairan tidak berbahaya
4
Orde 2
Area perairan dengan kedalaman lebih dari 100m dan tidak diperlukan cakupan 100%
Dengan Faktor Ketelitian sesuai dengan Tabel 3.2 : Tabel 3.2 Ketelitian Orde 1b No
Deskripsi
1
Akurasi horisontal
2 3 4 5 6
Alat bantu navigasi tetap dan kenampakan yang berhubungan dengan navigasi Garis pantai yang tidak berhubungan dengan navigasi Alat bantu navigasi terapung Topografi Akurasi Kedalaman
Orde 1b 5 m + 5% dari kedalaman rata-rata 2m 20m 10m 10m a = 0.5 m ; b = 0.013 24
Dengan batas toleransi kesalahan antara kedalaman titik fix perum pada jalur utama dan menyilang dihitung dengan persamaan sebagai berikut
Dimana: a = kesalahan tetap (m) b = kesalahan tidak tetap d = kedalaman terukur (m) 3.1.2
Spesifikasi Survei Hidrografi
Berikut menjelaskan spesifikasi survei hidrografi yang telah dilaksanakan, mengacu kepada spesifikasi teknis yang sudah ada dan disesuaikan terhadap tujuan kegiatan survei yaitu untuk perencanaan alur transportasi batubara melalui sungai. 1. Skala Survei Berdasarkan standar IHO untuk survei Hidrografi tentang skala survei dan kerapatan pemeruman merekomendasikan bahwa bandar pelabuhan, alur pelayaran, dan perairan wajib pandu harus disurvei dengan skala 1 : 10.000 atau lebih besar. Untuk pekerjaan survei hidrografi pemetaan alur pelayaran ini, skala yang digunakan adalah sebesar 1 : 2.000 dan dicetak pada kertas A1 sebanyak 1 lembar. 2. Lajur Perum Interval lajur perum yang digunakan pada pekerjaan ini sesuai dengan rumus di bawah ini: (Dirjenhubla) i = 1 cm x Skala Peta (1 : 2.000) i = interval perum Jadi lebar interval lajur perum utama (i) yang digunakan adalah sebesar 1cm x 2000 atau 20 m Interval lajur perum menyilang = 10 x i = 200 m 25
3. Sistem Proyeksi System proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM) zona 50 N daerah Kalimantan Timur belahan bumi Utara. 4. Datum Vertikal dan Horisontal Untuk survei ini, referensi yang digunakan untuk datum vertikal diikatkan pada tinggi dermaga pada dermaga Tanjung Redeb dengan menggunakan datum LLWL (Lowest Low Water Level). sedangkan datum horisontal menggunakan pengukuran posisi menggunakan ellipsoida WGS 1984. 5. Penentuan posisi Penentuan posisi yang ada menggunakan sistem Real Time Kinematik GPS (RTKGPS) dengan faktor ketelitian sesuai tabel 3.2 atau lebih kecil. 6. Pengamatan Tinggi Muka Sungai Pengamatan tinggi muka sungai dilakukan selama 29 hari di Dermaga Tanjung Redeb menggunakan pressure tide gauge, dan diolah menggunakan metode Admiralty, lalu dilakukan kembali saat survei batimetri dilaksanakan.
26
3.2
Tempat Pelaksanaan Survei
Sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu gambaran dari studi kasus yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan Tugas Akhir ini, yaitu di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dan didukung oleh PT. BERAU COAL. PT. BERAU COAL adalah perusahaan pemilik pertambangan yang beroperasi di daerah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (gambar 3.1) dan sampai saat ini merupakan perusahaan penambang batubara terbesar di Kalimantan Timur dengan hasil produksi sebesar 17,8 Juta MT (Metric Ton) pada tahun 2010 dengan target mencapai 30 Juta MT pada tahun 2014.
Gambar 3.1 Daerah Operasional PT BERAU COAL (sumber : PT BERAU COAL)
Sesuai dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), PT Berau Coal mendapat izin dari pemerintah Indonesia untuk menambang di area konsesi seluas 118.400 Hektar. Dengan total saat ini sudah mempunyai 3 blok yang sedang ditambang, yaitu di daerah Lati, Binungan, dan Sambarata seperti yang terlihat pada gambar 3.2.
27
U
Gambar 3.2 Peta konsesi tambang blok Lati, Binungan dan Sambarata (sumber : PT BERAU COAL)
Pada perkembangannya, PT BERAU COAL berusaha meluaskan produksinya dengan membuka salah satu blok penambangan baru di Binungan Mine Operation block Parapatan yang terletak di sebelah tenggara dari blok tambang Sambarata. Dalam proses pengembangannya, telah direncanakan sebuah sistem transportasi hasil tambang batubara dengan menyeberangi sungai yang menghubungkan dua daratan dengan menggunakan sebuah kapal, proses penyeberangan ini ditentukan setelah menimbang dampak ekonomis dan efisiensi dari kegiatan distribusi hasil 28
pertambangan batubara, tentunya dalam kegiatan penyeberangan ini membutuhkan perencanaan yang matang dan teliti agar terciptanya sistim transportasi yang aman, lancar, dan teratur. Fokus dari survei hidrografi yang telah dilaksanakan adalah mengetahui kedalaman sungai sebagai acuan dalam pemilihan kapal yang akan digunakan dalam kegiatan penyeberangan tersebut, dan mendesain alur pelayaran sungai yang aman bagi kegiatan pelayaran tersebut. Berikut adalah tempat pengambilan data survei hidrografi, dan lokasi penyeberangan transportasi batubara yang terletak pada sebelah Tenggara Sambarata mine operation, tepatnya pada Sungai Kelay, daerah Parapatan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur seperti yang terlihat pada gambar 3.3.
U
Gambar 3.3 Daerah pengambilan data yang diolah (sumber : PT BERAU COAL) Tempat pelaksanaan survei adalah di area rencana beaching point batubara di Binungan Mine Operation block Parapatan (gambar 3.3), dengan dimensi sungai yang akan diukur sebesar ± (1600 x 130) m. Oleh karena itu, dapat ditentukan jumlah lajur perum utama sebanyak 7 lajur ((130 / 20) + 1), sedangkan lajur perum menyilang sebanyak 8 lajur (1600/200) seperti terlihat dalam sketsa rencana survei pada gambar 3.4.
29
Gambar 3.4 Sketsa Rencana Survei Parapatan Total jarak survei dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Total panjang jalur perum utama (L01+L02+L03+…L07) = 9.928 m = 9.92 Km 2. Total panjang jalur perum menyilang (C01+C02+C03+….C08) = 1.273 m = 1.27 Km 3. Total jarak survei = 11.2 km Sedangkan koordinat awal dan akhir lajur perum dijelaskan pada tabel 3.3 berikut : Tabel 3.3 Koordinat lajur perum UTM ZONA 50 N Utama L 01 L 02 L 03 L 04 L 05 L06 L07 Menyilang C 01 C 02 C 03 C 04 C 05 C 06 C 07 C 08
Awal x y 550360.6 234193.1 550387.8 234180.5 550416.4 234163.2 550438.3 234135.3 550853 234177.2 550759.7 234288.7 550775.6 234166.5 x y 550406.7 234279.7 550756 234296.4 551070.4 234386.6 551307.1 234474.1 551581.4 234595.7 551853.6 234668.6 552189.1 234757.8 552533.2 234714
Akhir x' y' 552824.9 234552 552807.4 234527.6 552647.4 234591.9 552633.5 234564 552190.9 234593.9 552339.31 234696.5 552313.1 234577.4 x' y' 550509.8 234144.3 550817.8 234168.8 551137.5 234208.8 551387.9 234292 551662.2 234413.6 551924.6 234504.7 552202 234580 552529.4 234574.8
30
3.3
Pengambilan Data
Pelaksanaan persiapan survei dijelaskan oleh gambar 3.5 : PERSIAPAN SURVEI
ADMINISTRASI
SPESIFIKASI TEKNIS
PEMBUATAN SURVEI PLAN
PERSIAPAN PERSONIL
PERSIAPAN ALAT & WAHANA
PELAKSANAAN
Gambar 3.5 Diagram Persiapan Suvey Batimetri Dalam kegiatan survei hal pertama yang harus dilakukan adalah persiapan awal yang berupa persiapan spesifikasi teknis dan administrasi kerja. Setelah itu dilaksanakan persiapan personil dan pembuatan rencana survei yang meliputi lebar dan jumlah lajur perum, setelah itu dilakukan persiapan teknis yaitu berupa briefing teknis kerja yang berfungsi untuk memberitahukan apa saja yang akan dilaksanakan selama berada di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan alat dan bahan yaitu berupa persiapan alat-alat yang akan dibawa ke lapangan dan melakukan kalibrasi awal, serta pengecekan alat yang akan digunakan. Alat-alat yang akan dipakai dalam survei batimetri kali ini antara lain: 1. Global Positioning System (GPS) Jenis GPS yang digunakan dalam survei ini menggunakan sistem RTK- GPS, dimana GPS yang terdapat pada kapal survei (rover) seperti pada gambar 3.6, langsung terhubung dengan stasiun GPS yang diamati dari lokasi survei dengan jenis bench mark yang memiliki ketelitian orde tinggi, seperti terlihat pada gambar 3.7. Stasiun RTK-GPS ini memberikan data koreksi real time melalui frekuensi radio, sehingga posisi kapal dapat diketahui dengan akurat secara real time saat bergerak. 31
Sistem ini didesain untuk memberikan tingkat akurasi yang cukup tinggi yaitu akurasi pengukuran horisontal sebesar 8 mm + 1 ppm RMS, dan pengukuran vertikal sebesar 15 mm + 1 ppm RMS dalam kondisi RTK dengan satu stasiun referensi yang berjarak tidak kurang dari 30 km (sumber: Trimble R8 GNSS datasheet, 2011).
Gambar 3.6 RTK-GPS rover (kiri) Gambar 3.7 RTK-GPS Stasiun Referensi (kanan) (Foto: Zenezky) 2.
Echosounder
Jenis echosounder yang dipakai dalam survei batimetri kali ini adalah Single-Beam Echosounder yang dilengkapi dengan sebuah transducer yang berfungsi untuk memancarkan sinyal suara dan menerimanya kembali sebagai sensor aktif. Bentuk dari alat echosounder seperti dapat dilihat dalam gambar 3.8.
Gambar 3.8 Singlebeam Echosounder (Sumber : http://www.valeport.co.uk) 32
Produk single-beam echosounder ini dikenal sebagai salah satu produk echosounder yang sangat cocok untuk survei pada kedalaman yang relatif dangkal. Mempunyai spesifikasi pemancar dengan satu frekuensi pada 210 kHz, jangkauan kedalaman sebesar 0.3-100 meter dan akurasi kedalaman sebesar ±0.01m, atau ±0.02% dari kedalaman terukur (sumber : Datasheet Reference: MIDAS Surveior version 2A, Feb 2011). Setelah sampai pada lokasi survei, selanjutnya dilaksanakan pemasangan alat pada kapal survei. Dalam survei ini digunakan kapal survei milik PT BERAU COAL berjenis kapal cepat atau speed boat yang bernama APG-1 dan berdimensi ± (5x3) meter seperti yang digambarkan pada gambar 3.9. Langkah-langkah pemasangan alat antara lain: 1. Memasang perlengkapan laptop dan software navigasi untuk keperluan navigasi nakhoda. 2. Memasang antena GPS rover pada tiang yang dipasang di samping kapal. 3. Menghidupkan echosounder dan memasang transducernya di bawah kapal dengan menggunakan tiang besi yang sama dengan tiang antena GPS. 4. Mengukur parameter-parameter yang diperlukan seperti lebar dan panjang kapal, juga jarak kedalaman transduser dari muka air, dan lain-lain. 5. Memasang sumber tenaga listrik seperti baterai aki pada tempat yang aman dan tidak mengganggu awak. 6. Menyambungkan seluruh peralatan yang dipakai kepada laptop yang berisi software navigasi dan memastikan aliran data dari alat ke software. Pemasangan peralatan juga harus dipastikan agar peralatan dipasang pada posisi yang aman dan kuat terhubung dengan kapal (terutama transducer dan antena), transducer harus dipasang pada kedalaman yang sesuai sehingga apabila kapal bergerak vertikal akibat gelombang, bagian bawah transducer tetap berada di bawah permukaan air. Pada gambar 3.9 dijelaskan posisi pemasangan peralatan yang dilaksanakan pada lokasi survei, beserta perangkat-perangkat lainnya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan survei batimetri.
33
Antena GPS
SingleBeam Transducer
Single Beam
Laptop untuk
Echosounder
Navigasi
Gambar 3.9 Skema Pemasangan Alat pada Kapal Survei Untuk diperhatikan dalam pemasangan antena GPS, perlu di hitung offset antena terhadap transducer. Sedangkan dalam survei kali ini posisi horisontal antara antenna GPS dan Transducer berada tepat pada titik yang sama untuk memudahkan pengukura, selain itu dimensi kapal juga diukur untuk keperluan visualisasi pada software navigasi. Gambar 3.10 menunjukan posisi antena GPS dan offsetnya terhadap transducer.
Antena GPS (atas)
APG-03
Transducer (Bawah)
Gambar 3.10 Antena GPS dan Offset Antena Terhadap Echosounder 34
Setelah dilakukan instalasi alat, tim berangkat ke lokasi survei, di lokasi survei dilakukan kalibrasi menggunakan bar check. 3. Barcheck Prinsip barcheck adalah membandingkan kedalaman suatu titik yang telah ditentukan, dan diketahui kedalamannya di bawah permukaan laut dengan kedalaman titik tersebut dari hasil pengukuran dengan alat pemeruman yang bersangkutan. Selisih nilai kedalaman hasil pengukuran dengan nilai kedalaman yang sebenarnya merupakan kombinasi dari kesalahan alat atau konstruksi pemasangan transducer. Nilai perbedaan ini didapatkan dengan mengukur kecepatan rambat gelombang suara pada medium air laut yang pada awalnya dianggap ideal, akan tetapi karena faktorfaktor seperti suhu air, arus, dan beberapa faktor lainnya yang berbeda pada tiap lokasi sehingga laju rambat gelombang akustik pun akan berbeda-beda. Cepat rambat gelombang yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan munculnya kesalahan pada saat pengukuran kedalaman, sehingga harus dilakukan barcheck agar diketahui kecepatan gelombang suara pada lokasi survei sehingga kesalahan tersebut dapat dihilangkan. Titik yang telah diketahui kedalamannya tersebut dipresentasikan dalam bentuk suatu benda yang terbuat dari bahan baja. Benda tersebut dapat berbentuk suatu piringan besi. Pada pelaksanaannya, piringan besi tersebut digantungkan melalaui sebuah tali tambang, dan diletakkan di bawah transduser alat pemeruman yang bersangkutan, setelah batang atau piringan baja tersebut dipasang sedemikian rupa, kemudian dilakukan pengukuran kedalaman yang menggunakan alat pemeruman pada saat wahana dalam keadaan berhenti untuk mendapatkan nilai kedalaman piringan baja yang telah diukur sebelumnya. Gambar 3.11 menunjukan bentuk dari piringan baja yang digunakan untuk barcheck.
35
Gambar 3.11 Barcheck (Foto : Zenezky) 4. Pengamatan tinggi muka sungai Pengamatan tinggi muka sungai dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan muka sungai sesaat saat pengukuran batimetri dilaksanakan, pengamatan ini dilaksanakan di dermaga Tanjung Redeb, seperti terlihat pada gambar 3.12. Pengamatan ini menggunakan alat berjenis Pressure Tide Gauge yang merupakan salah satu jenis alat pengukur pasang surut otomatis secara dijital yang memanfaatkan prinsip tekanan dalam pencatatan kedalamanya.
Gambar 3.12 Stasiun Pasut Tanjung Redeb (Foto : Zenezky) 36
Alat pressure tide gauge yang digunakan seperti terlihat pada gambar 3.13 merupakan jenis alat yang tergolong sebagai pencatat pasang surut yang mudah digunakan dan berdaya tahan lama, selain itu alat ini mempunyai akurasi sebesar ±0.01 m, dan jangkauan kedalaman mencapai 10m (sumber : Datasheet Reference: TideMaster version 2A, February 2011).
Gambar 3.13 Pressure Tide Gauge (Foto : Zenezky) Untuk mendapatkan data tinggi muka sungai sungai yang baik, maka yang harus diperhatikan adalah pemilihan lokasi pengamatan. Pendirian stasiun tinggi muka sungai serta cara pengambilan data, dan metode pengolahannya. Data-data yang dikumpulkan dalam pengamatan tinggi muka sungai antara lain (Djunarsjah 2005): 1. Lokasi stasiun tinggi muka sungai yang diikat posisi dan ketinggianya terhadap Bench Mark terdekat dengan menggunakan metode sipat datar atau pengamatan GPS. 2. Bacaan ketinggian muka sungai dengan interval 10 menit selama waktu survei batimetri berlangsung. 3. Waktu pengamatan. 4. Sketsa offset dan keadaan rambu. Pengamatan tinggi muka sungai ini dilaksanakan selama 29 hari, dari tanggal 23 April 2012 sampai dengan 21 mei 2012. Tata cara dan pelaksanaan pengamatan tinggi muka sungai ini sama dengan pengamatan pasang surut di laut, karena salah satu gaya pembangkit utama variasi tinggi muka sungai adalah akibat dari fenomena 37
pasang surut laut. Meskipun ada faktor-faktor lain seperti curah hujan, iklim, dan lain-lain, namun dalam kasus ini koefisien pasang surut laut disamakan dengan di sungai dengan alasan faktor jarak antara sungai dan muara yang relatif dekat, serta lebar sungai yang sangat besar. Agar dapat ditentukan parameter tinggi muka sungai secara lebih teliti, pengukuran dilangsungkan dalam satu bulan yang terdapat dua kali fenomena pasut laut perbani dan pasut laut mati. Parameter- parameter ini akan digunakan untuk menganalisis jenis pasang surut dan titik-titik kedalaman referensi seperti muka laut rerata (MSL) muka laut rendah terendah (LLWL) dan lain- lain. Agar didapatkan suatu bidang referensi
dalam
pengukuran
kedalaman
yang
akan
dilaksanakan
dengan
menggunakan metode admiralty, pembahasan lebih lanjut tentang hal ini ada pada sub-bab pengolahan data tinggi muka sungai.
38
Berikut adalah diagram pelaksanaan survei batimetri secara sistematis yang disajikan pada gambar 3.14
Pelaksanaan Survei
Pemasangan alat-alat survei RTK-GPS
Mendirikan stasiun referensi RTK-GPS
Echosounder
Tide Gauge
Bar Check (sebelum)
Pengamatan
Kalibrasi
Bar Check
Pemeruman
Tinggi Sungai
Bar Check (sesudah) Koneksi GPS ke Software Navigasi
Pengolahan
Data Gambar 3.14 Pelaksanaan Suvey Batimetri
3.4
Proses Pengolahan Data Survei Hidrografi
Data yang ada dibagi menjadi dua data, yaitu data survei batimetri, dan data pengamatan tinggi muka sungai atau, data di unduh dalam bentuk digital dalam format text (.txt). 39
Data pasang surut diambil selama 29 hari semenjak tanggal 23 April 2012 sampai dengan 21 Mei 2012, dan pada saat pengukuran survei batimetri. Data batimetri untuk survei awal yang diambil dengan maksud mengetahui kedalaman alur pelayaran dan penyeberangan di Sungai Kelay, Berau, Kalimantan Timur. Data diakuisisi pada: 1.
Tanggal
: 26 - Juni - 2012
2.
Kapal survei
: Speed Boat APG 01
Data yang ada didapatkan dalam 2 bentuk, yaitu bentuk digital yang merupakan hasil rekaman langsung dari alat, dan yang berasal dari software navigasi yang sudah diatur kerapatan datanya. 3.4.1
Pengolahan Data Pengamatan Tinggi Muka Sungai
Pengamatan tinggi muka sungai dilakukan dalam interval waktu tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan kebutuhannya. Pengamatan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatakan komponen-komponen variasi tinggi muka sungai, muka air rata-rata dan chart datum referensi, serta koreksi muka sungai saat pengukuran dilangsungkan. Pengamatan dibagi ke dalam 2 kegiatan yaitu : 1. Pengamatan tinggi muka sungai utama pada : a. Tanggal
: 23- April-2012 sampai 21-Mei-2012
b. Interval waktu pengukuran
: 1 jam
c. Tempat pengukuran
: Pelabuhan Tanjung Redeb, Berau,
d. Alat ukur
: Pressure Tide Gauge
2. Pengamatan tinggi muka sungai saat survei batimetri yaitu pada : a. Tanggal
: 26- Juni-2012 10.00 WITA
b. Interval waktu pengukuran
: 10 menit
c. Tempat pengukuran
: Pelabuhan Tanjung Redeb, Berau,
d. Alat ukur
: Pressure Tide Gauge
40
Setelah dilakukan pengamatan tingi muka sungai, didapatkan hasil data tinggi sungai sebagai berikut : 1. Tinggi air rata-rata
= 1.786 m
2. Muka air tinggi tertinggi (HHWL)
= 2.9506 m
3. Muka air rendah terendah (LLWL)
= 0.5257 m
Lalu rambu pengukuran yang dalam pengamatan ini menggunakan pipa paralon diikatkan tingginya terhadap bench mark terdekat, lalu diukur beda tinggi antara rambu dan bench mark sehingga didapatkan tinggi ortometrik
stasiun sebesar
3.877m, formulir pengamatan tinggi muka sungai dan hasil perhitungannya disajikan dalam Lampiran A-1 Skema dari referensi tinggi tersebut dapat dilihat lebih jelasnya pada gambar 3.15.
Gambar 3.15 Tinggi referensi muka sungai Referensi tinggi inilah yang nantinya akan digunakan sebagai datum vertikal pengukuran tinggi muka sungai. Dalam studi kasus ini data yang dipakai untuk keselamatan pelayaran, maka datum sungai yang digunakan adalah LLWL (muka air rendah terendah). Data pengamatan tinggi muka sungai yang diamati saat survei batimetri dilaksanakan akan langsung dikoreksikan terhadap hasil survei pada waktu yang sama, lebih rincinya akan dijelaskan pada pengolahan data survei batimetri. 41
3.4.2
Pengolahan Data Survei Batimetri
Pengolahan data survei batimetri bertujuan untuk mendapatkan data kedalaman sebenarnya, proses yang dilakukan yaitu dengan memberikan koreksi terhadap datadata ukuran kedalaman. Proses ini dilakukan secara dijital melalui pembacaan data kedalaman dan posisi dari software navigasi yang diformat dalam bentuk data text. Bentuk output data mentah yang telah diprogram dari software navigasi memiliki kerapatan data sebesar 1 detik terhitung dari dimulainya proses logging, proses ini dapat dimulai dan dihentikan sesuai dengan desain jalur perum yang telah digambar pada software navigasi tersebut. Dengan rata-rata kecepatan kapal yaitu 1.5m/s sampai 2 m/s maka kerapatan data tersebut juga berkisar antara 1,5 m sampai 2 m. Hasil data yang ditampilkan oleh software ini diantaranya adalah waktu, nomor fix, northing, easting, kedalaman, dan akurasi GPS, dimana nomor fix merepresentasikan banyaknya data yang diambil secara berurutan mulai dari angka 1. Data yang telah didapatkan ini kemudian disusun ke dalam sebuah tabel. Setelah semua data disusun dengan baik, selanjutnya dilakukan penyeleksian data apabila terdapat spike atau lonjakan kedalaman yang disebabkan oleh kesalahan acak / blunder. Jenis kesalahan ini dapat terlihat jelas dari lonjakan kedalaman yang tidak wajar. Kesalahan ini dapat direduksi dengan menandai kertas rekaman perum gema (echogram) yang dihasilkan oleh alat echosounder, namun karena jenis echosounder yang digunakan dalam survei batimetri kali ini berbentuk dijital sehingga tidak menghasilkan echogram tersebut, maka penyeleksian data dilakukan secara manual pada tabel data dijital. Setelah data terseleksi dan tidak memiliki spike maka langkah selanjunya adalah memberikan koreksi pada data tersebut. Jenis koreksi yang diberikan pada hasil pengukuran kedalaman adalah koreksi tinggi muka sungai, koreksi barcheck atau koreksi kecepatan gelombang suara dalam air, dan koreksi draft transducer. Sebagai catatan koreksi draft transducer sudah diprogram otomatis pada alat sehingga tidak perlu direduksikan kembali.
42
3.4.2.1 Koreksi Tinggi Muka Sungai Koreksi tinggi muka sungai ini disebabkan oleh variasi tinggi muka sungai yang berubah-ubah menurut parameter waktu, oleh karena itu dilaksanakan pengamatan tinggi muka sungai secara bersamaan dengan survei batimetri. Koreksi ini diberikan dengan cara mereduksi bacaan kedalaman terukur echosounder dengan bacaan tinggi muka sungai sesaat yang sudah ditentukan sebelumnya. Hubungan matematika koreksi ini akan dijelaskan secara grafis pada gambar 3.16 .
MWL
Tt
Gambar 3.16 Koreksi Tinggi Muka Sungai [Djunarsjah.2005] Dari gambar di atas diperoleh hubungan sebagai berikut (Djunarsjah,2005): Rt= (Tt-Ho+Zo) Dengan : Rt = besarnya koreksi yang diberikan kepada hasil pengukuran pada waktu (t) Tt = kedudukan pengukuran sungai sebenarnya pada waktu (t) Ho = keadaan permukaan air rata-rata Zo = kedalaman muka surutan (chart datum)
Setelah data kedalaman direduksikan dengan koreksi tinggi muka sungai, langkah selanjutnya adalah dengan mereduksi data kedalaman dengan koreksi barcheck atau koreksi kecepatan gelombang suara di dalam air.
43
3.4.2.2 Koreksi Barcheck Koreksi barcheck diberikan untuk menyesuaikan kecepatan gelombang suara di dalam air yang sifatnya tidak tetap sesuai dengan sifat fisis air tersebut, koreksi ini didapatkan dari pengamatan barcheck yang dilakukan sebelum dan sesudah survei batimetri dilaksanakan. Pengolahan data survei batimetri secara sistematis seperti digambarkan pada gambar 3.17.
Survei Batimetri
Data Pengukuran Topografi Wilayah Parapatan
Data Kedalaman dan posisi
Data Tinggi Muka Sungai
Koreksi Barcheck
X,Y,Z (UTM)
Koreksi tinggi muka sungai
Data Posisi dan kedalaman terkoreksi
Pembuatan Peta Kedalaman
Gambar 3.17 Pengolahan Data Survei Batimetri 44
Setelah seluruh koreksi direduksikan ke dalam data pengamatan, langkah selanjutnya adalah proses penyajian data ke dalam sebuah peta kedalaman. Hasil perhitungan koreksi kedalaman akan ditampilkan pada Lampiran A-2. 3.5
Penyajian Data
Data yang sudah dikoreksi akan ditampilkan dalam bentuk peta batimetri untuk keperluan keamanan pelayaran. Peta dicetak dalam kertas ukuran A3 sebanyak 1 lembar, grid koordinat menggunakan sistim proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) zona 50 N, skala peta yang digunakan adalah 1: 4.000 dengan interval kontur kedalaman 2m yang diambil dari ketentuan interval kontur berjarak 1/2000 dikali skala peta, proses penyajian data digambar menggunakan software GIS, dan hasil peta batimetri dapat dilihat pada Lampiran B. Data kedalaman akan digabungkan dengan data topografi hasil pemetaan topografi menggunakan metode LIDAR di sekitar lokasi survei batimetri, lalu ditampilkan dalam satu peta.
45