BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan survei hidrografi yang sudah dilakukan, dan pengaruhnya terhadap kegiatan perencanaan alur pelayaran. Hasil dari data survei tersebut dianalisis kembali agar sesuai dengan desain alur pelayaran yang telah direncanakan, analisis dilakukan berdasarkan perhitungan kedalaman dan lebar sungai terkait dengan rencana lalulintas transportasi kendaraan yang akan melewati sungai tersebut. Lalu akan dilaksanakan analisis resiko terkait dengan ketelitian pengukuran, yang akan berdampak pada desain alur pelayaran. 4.1
Analisis Survei Hidrografi
Analisis dari survei hidrografi akan meliputi analisis dari proses pelaksanaan kegiatan survei yang meliputi survei batimetri dan pengamatan tinggi muka sungai yang telah dilaksanakan sebelumnya. 4.1.1
Analisis Pengamatan Tinggi Muka Sungai
Tinggi muka sungai tentunya akan berbeda dengan pengukuran pasang surut laut, dalam pengukuran tinggi muka sungai pengaruh dari keadaan lain seperti curah hujan, lebar sungai dan proses pendangkalan akan mempengaruhi hasil pengamatan tersebut. Walaupun tenaga penggerak utama dalam perubahan tinggi muka sungai adalah pengaruh dari pasang surut laut, faktor-faktor tersebut tidak dapat diabaikan dalam pengamatan tinggi muka sungai. Dalam pengamatan ini, digunakan metode yang sama dengan pengamatan pasang surut di laut. Oleh karena itu data yang dihasilkan masih lepas dari pengaruh lain seperti curah hujan, lebar sungai dan pendangkalan akibat sedimentasi yang menyebabkan hasil data pengukuran pasut tidak berada pada satu bidang yang lurus. Seperti terlihat pada gambar 4.1.
46
Gambar 4.1 Grafik Data Pengamatan Tinggi Muka Sungai Data-data pendukung tersebut dirasa penting untuk dianalisis demi meningkatkan ketelitian dari hasil pengukuran, maka dianalisis pula data curah hujan yang diambil pada tahun 2010 dengan selang waktu satu hari, oleh stasiun meteorologi Kalimaru, Tanjung Redeb, Berau Kalimantan Timur, selama setahun penuh seperti yang terlihat pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Data Curah Hujan Tahun 2010 47
Apabila dianggap curah hujan di daerah Tanjung Redeb bersifat linear setiap tahunnya, maka dapat dianalisis bahwa pada saat pengamatan tinggi muka sungai, keadaan curah hujan rata-rata pada saat itu sedang dalam keadaan yang relatif tinggi sebesar rata-rata 9.6 mmHg dibandingkan dengan rata-rata tertingi pada bulan September yaitu sebesar 11.6 mmHg, sedangkan rata-rata terendah pada bulan Juni yaitu sebesar 2.8 mmHg. Sehingga dapat dianalisis bahwa selama rentang waktu bulan Juni - November, kedalaman dari data ukuran dapat menjadi lebih dangkal dari peta kedalaman yang dihasilkan, sehingga berpengaruh terhadap perencanaan alur pelayaran. Data pengamatan curah hujan tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran D. Dari data pengamatan tinggi muka sungai didapatkan waktu pola naik-turunnya muka sungai tiap harinya seperti pada tabel 4.1 berikut. Warna kuning menunjukkan waktu saat muka air tertinggi tiap harinya. Tabel 4.1 Pola Variasi Waktu Tinggi Muka Sungai
Tanggal
23-Apr-12 24-Apr-12 25-Apr-12 26-Apr-12 27-Apr-12 28-Apr-12 29-Apr-12 30-Apr-12 1-May-12 2-May-12 3-May-12 4-May-12 5-May-12 6-May-12 7-May-12 8-May-12 9-May-12 10-May-12 11-May-12 12-May-12 13-May-12 14-May-12 15-May-12 16-May-12 17-May-12 18-May-12 19-May-12 20-May-12 21-May-12
Puncak Air Tinggi
09.00 10.00 10.00 10.00 10.00 11.00 11.00 13.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 20.00 21.00 21.00 23.00 23.00 00.00 00.00 01.00 03.00 03.00 05.00 05.00 06.00 07.00 08.00
21.00 22.00 21.00 22.00 22.00 23.00 00.00 01.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 09.00 10.00 10.00 11.00 12.00 12.00 14.00 15.00 17.00 17.00 18.00 19.00 19.00 20.00
Puncak Air Rendah
04.00 05.00 05.00 05.00 05.00 06.00 06.00 07.00 09.00 11.00 13.00 14.00 15.00 16.00 16.00 17.00 17.00 18.00 19.00 19.00 20.00 21.00 22.00 00.00 00.00 01.00 01.00 02.00 03.00
17.00 17.00 18.00 18.00 18.00 18.00 19.00 21.00 23.00 00.00 00.00 01.00 02.00 03.00 03.00 05.00 05.00 05.00 07.00 07.00 07.00 10.00 12.00 12.00 13.00 14.00 14.00 15.00 15.00
HWL (m)
LWL (m)
2.7 2.706 2.646 2.626 2.458 2.303 2.163 1.955 1.959 2.153 2.37 2.515 2.845 2.904 2.998 2.953 2.904 2.782 2.602 2.390 2.174 1.942 2.003 2.095 2.370 2.420 2.585 2.659 2.663
0.676 0.741 0.835 0.831 0.938 0.952 0.984 0.976 0.947 0.861 0.714 0.739 1.04 1.108 1.21 1.618 1.123 1.268 1.58 1.405 1.231 1.333 1.189 1.145 1.19 1.073 1.05 1.019 0.813
Cuaca
Hujan Hujan Hujan Hujan Hujan
Hujan
Hujan
Hujan Hujan
Hujan
Curah Hujan (mmHg)
12.00 126.00 7.00 68.00 50.00 8.00 460.00 685.00 38.00 12.00 -
48
Karakteristik dari variasi tinggi muka sungai berikut, dapat digolongkan ke dalam jenis muka air sungai campuran yang tergolong ke pola semi diurnal, dimana dalam satu hari terjadi dua kali air tinggi dan dua kali air rendah, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
Jenis ini memang banyak ditemui di perairan sungai dan
perairan Indonesia Timur. Sedangkan pada pengamatan tinggi muka sungai yang dilaksanakan bersamaan dengan survei batimetri, terdapat perbedaan jarak sekitar ± 6 Km antara lokasi survei dengan tempat pengamatan tinggi muka sungai, seperti terlihat pada gambar 4.3 di bawah. Oleh karena itu dapat dianalisis bahwa variasi tinggi muka sungai tersebut belum tentu sama dengan yang berada pada lokasi survei sehingga memungkinkan adanya pergeseran tingkat kedalaman.
U
Gambar 4.3 Area pelaksanaan Survei Hidrografi 4.1.2
Analisis Survei Batimetri
Pelaksanaan Survei batimetri yang dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2012, memiliki spesifikasi survei dengan ketelitian merujuk kepada Special Publication 44 International Hydrographic Organization (SP’ 44 IHO) orde pengamatan 1b, sesuai dengan table 3.1. Ketentuan ini menyatakan bahwa pada orde tersebut diklasifikasikan sebagai sebuah area perairan hingga kedalaman 100m namun tidak diperlukan cakupan batimetri 100%, karena karakteristik perairan yang tidak berbahaya. Area ini disurvei dengan menggunakan alat singlebeam echosounder. Sesuai dengan tabel ketelitian SP’44 IHO orde 1b pada tabel 3.2, didapatkan ketelitian pengukuran posisi horisontal yaitu sebesar 5m + 5% kedalaman rata-rata, yang berarti 5m + (5% x 4.26), sama dengan 5.21 m, sedangkan jenis alat penentu 49
posisi horisontal yang dipakai yaitu RTK GPS yang mempunyai ketelitian sebesar 8 mm + 1 ppm RMS saat dalam kondisi RTK dan paling tinggi sebesar 2m saat kondisi biasa, yang dimana dalam ketentuan ini berarti pengukuran horisontal telah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Dalam proses kegiatan survei beberapa titik tidak mendapatkan koreksi secara real time dari stasiun GPS, diakibatkan terhalang oleh pohon dan kontur bukit, namun ketelitian dari alat GPS tanpa koreksi RTK paling besar mencapai 2.59 m, yang dimana tetap masih dalam batas toleransi ketelitian pengukuran yang direncanakan. Ketelitian pengukuran kedalaman pun diukur dari setiap kedalaman titik fix perum pada jalur utama dan menyilang, sesuai dengan ketelitian orde 1b pada tabel 3.2. Dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut C< Dimana: C= Selisih kedalaman antara titik pada jalur perum menyilang dan jalur perum utama d = kedalaman terukur Setelah dilakukan proses verifikasi antara kedalaman pada titik-titik dari jalur utama dan menyilang, diketahui bahwa seluruh data pengukuran telah sesuai dengan batas ketelitian yang diinginkan. Pengukuran kedalaman dapat dilihat pada Lampiran A-2. Ditinjau dari kerapatan data pengukuran, hasil desain jalur perum dan jalur survei yang dilaksanakan sudah sesuai dengan perencanaan jalur yang diinginkan. Bahkan diadakan pengukuran pada jalur tambahan untuk menambah kerapatan data yang didapatkan, perbandingan antara jalur perum rencana dan saat pelaksanaan dapat dilihat pada gambar 4.4.
50
U
Gambar 4.4 Jalur Perum Saat Pelaksanaan Survei Adapun analisis lain mengenai proses kegiatan survei batimetri adalah dalam pengukuran koreksi barcheck, alat yang digunakan tidak cukup berat sehingga cenderung mudah terbawa arus yang menyebabkan pengukuran koreksi barcheck sulit dilaksanakan. Selanjutnya setelah seluruh data dipastikan ketelitiannya, dilakukan analisis desain alur pelayaran sungai dalam kegiatan transportasi hasil pertambangan batubara. 4.2
Analisis Desain Alur Pelayaran
Desain alur pelayaran pada daerah Sungai Kelay ini disesuaikan dengan spesifikasi kapal-kapal yang direncanakan untuk berlayar di daerah tersebut, kapal tongkang (gambar 2.6) dan kapal tunda atau tugboat (gambar 2.7) adalah beberapa jenis kapal yang direncanakan melewati alur pelayaran sungai. Sesuai dengan spesifikasi alur pelayaran yang meliputi ketentuan lebar alur dan kedalaman sungai, ketiga jenis kapal tersebut memiliki spesifikasi alur dalam tabel 4.2. Tabel 4.2 Spesifikasi Alur Pelayaran Kapal Kapal Tongkang Besar (300 ft)
Kapal Tongkang Sedang (270 ft)
Lebar alur satu arah Lebar alur dua arah
112.15 m 151.16 m
98.44 m 132.68 m
Kapal Tunda (Tugboat) 35.65 m 48.05 m
Kedalaman alur
6.32 m
5.64 m
4.1 m
51
Setelah diketahui spesifikasi alur dari masing-masing jenis kapal, langkah selanjutnya adalah merencanakan alur pelayaran yang aman bagi kapal-kapal tersebut sesuai dengan lokasi pelayarannya. Acuan kedalaman yang digunakan adalah menggunakan keadaan muka air rendah terendah (LLWL), dan akan dibandingkan dengan pada saat keadaan tinggi air ratarata, dan keadaan muka air tinggi tertinggi (HHWL), untuk mendapatkan gambaran dari perbedaan alur pelayaran dalam fungsi tinggi muka sungai. 4.2.1
Alur Pelayaran Saat Muka Air Rendah Terendah
Untuk desain alur pelayaran, digunakan kedudukan air rendah terendah sebagai acuan untuk keperluan navigasi, oleh karena itu acuan untuk penentuan alur pelayaran digunakan level air rendah terendah yang didapatkan dari hasil pengamatan tinggi muka sungai selama 31 hari. Skema alur pelayaran Sungai Kelay, Berau, Kalimantan Timur dibandingkan dengan draft jenis-jenis kapal dapat dilihat pada gambar 4.5.
PARAPATAN
BINUNGAN BLOK 1-4
Gambar 4.5 Spesifikasi Alur Pelayaran (LLWL) Dapat dilihat pada gambar 4.5, bahwa dalam keadaan air rendah terendah (LLWL) ketiga jenis kapal yang sudah disebutkan sebelumnya tidak dapat melewati perairan ini, dan hanya dapat bersandar pada tepi sungai bagian paling barat dan timur tanpa dapat melewati alur pelayaran.
52
Oleh karena itu kegiatan transportasi menggunakan kapal tongkang, dan kapal tunda tidak memungkinkan untuk dilakukan, pelaksanaan pekerjaan pengerukan juga akan sangat mahal dan tidak efisien, karena penambahan kedalaman yang harus dikeruk sangat banyak, yaitu mencapai ±4m agar dapat dilewati oleh sebuah kapal tongkang ukuran sedang (270 ft) dengan pelayaran satu alur. Melihat dari keadaan tersebut maka perlu direncanakan adanya jenis moda transportasi lain menggunakan jenis kapal yang memiliki spesifikasi draft lebih rendah, dari analisis peta batimetri didapatkan jenis kapal dengan radius draft maksimal sebesar 1.7 meter dengan lebar kapal maksimal 11 m, untuk dapat terlaksana minimal satu alur pelayaran melewati bagian pinggir selatan sungai yang memiliki kedalaman relatif lebih dalam dibanding bagian sungai yang lain. Apabila diinginkan jenis pelayaran dua arah maka jenis kapal yang memungkinkan adalah kapal dengan draft maksimal sebesar 2.2 dengan lebar kapal maksimal 11 m, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3. Sebagai perbandingan akan diberikan juga kondisi sungai pada keadaan lainnya yaitu pada keadaan tinggi air rata-rata dan pada keadaan muka air tinggi tertinggi (HHWL). 4.2.2
Alur Pelayaran Saat Muka Air Rata-Rata
Muka air rata-rata didapatkan dari hasil pengamatan tinggi muka sungai, dari hasil ini dapat digambarkan perbedaan kedalaman alur sungai yang menyebabkan adanya perbedaan dalam kegiatan pelayaran seperti terlihat pada gambar 4.6.
PARAPATAN
BINUNGAN BLOK 1-4
Gambar 4.6 Spesifikasi Alur Pelayaran Muka Air rata-rata 53
Dari gambar 4.6 di atas dapat dilihat bahwa keadaan masih sama dengan permukaan air rendah terendah. Adapun pada beberapa tempat di sekitar beaching point atau titik penyeberangan yang menuju daerah Binungan blok 1-4, alur pelayaran hanya bisa dilewati secara satu arah oleh sebuah kapal jenis Tugboat. Lebar area kedalaman yang sesuai dengan draft kapal ini tidak memungkinkan adanya pelayaran dua arah. Oleh karena itu dianjurkan apabila ada keadaan dua kapal yang ingin melewati daerah tersebut, agar diatur untuk mengantri apabila kedua kapal atau lebih berlayar searah dan menunggu apabila bertemu dalam kondisi dua arah yang berbeda. Kapal tongkang jenis sedang dan besar sama sekali tidak dapat melewati alur pelayaran dan hanya dapat bersandar di tepi sungai bagian paling barat dan timur, sama dengan saat keadaan muka air rendah terendah. Hal ini menyebabkan transportasi sungai dengan menggunakan kapal tongkang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. 4.2.3
Alur Pelayaran Saat Muka Air Tinggi Tertinggi
Perbandingan yang terakhir yaitu dengan menggunakan keadaan muka air tinggi tertinggi dari pengamatan tinggi muka air yang telah dilaksanakan sebelumnya, dalam keadaan ini tentunya tidak dianjurkan untuk dijadikan sebagai acuan navigasi pelayaran karena faktor keamanan yang rendah, dapat dilihat pada gambar 4.7 skema alur pelayaran dalam keadaan muka air tinggi tertinggi.
PARAPATAN
BINUNGAN BLOK 1-4
Gambar 4.7 Spesifikasi Alur Pelayaran HHWL
54
Dapat dilihat bahwa dalam keadaan ini kapal tunda (tugboat) dan tongkang jenis sedang (270 ft) dapat melewati alur pelayaran satu arah walaupun relatif sempit dan tidak aman. Oleh karena itu apabila benar-benar dibutuhkan, jenis kapal ini dapat melewati alur pelayaran sungai pada waktu-waktu tertentu saja, yaitu saat permukaan air sungai sedang berada pada keadaan muka air tinggi tertinggi. Untuk keperluan perencanaan kapal yang dapat melewati alur pelayaran Sungai Kelay, analisis spesifikasi kapal yang didapatkan dari peta kedalaman tertera pada tabel 4.3 di bawah. Tabel 4.3 Analisis Spesifikasi Kapal Jenis kapal
LLWL
MSL
HHWL
Tugboat
-
Satu arah
Dua arah
Barge (270)
-
-
Satu arah
Barge (300)
-
-
-
Dua Arah
Dua Arah
Dua Arah
Satu Arah
Dua Arah
Dua Arah
Kapal dengan draft maksimal 1.7 m dan lebar 11 m Kapal dengan draft maksimal 2.3 m dan lebar 11 m
4.2.4
Analisis Alur Penyeberangan Beaching Point Parapatan
Dalam perencanaanya, Blok tambang Parapatan yang akan mulai memproduksi batubara dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan, akan menggunakan sarana transportasi sungai dalam menyeberangkan truk pengangkut hasil pertambangan batubara. Truk-truk ini akan diseberangkan dari daerah blok Parapatan menuju ke tempat pengiriman batubara di Pelabuhan Suaran untuk langsung dikirimkan menuju pembeli yang berada di transhipment area di laut. Perencanaan ini dibuat karena dari kedalaman sungai yang telah diukur, kegiatan transportasi menggunakan kapal tongkang dan tugboat terbukti tidak memungkinkan untuk dilakukan. Ditinjau dari faktor ekonomi dan keamanan dari proses distribusi, maka dibuatlah perencanaan tersebut yang menggunakan 2 beaching point yang 55
terletak pada utara Sungai Kelay dari arah Parapatan dan selatan menuju daerah Binungan Blok 1-4 sebagai titik penyeberanganya seperti yang terlihat pada gambar 4.8.
U
PARAPATAN
SUNGAI KELAY BINUNGAN BLOK 1-4
Gambar 4.8 Beaching Point Parapatan-Binungan Blok 1-4 Dalam proses penyeberangan dibutuhkan perencanaan alur pelayaran bolak-balik menggunakan sebuah kapal, rencana kapal yang akan dipakai adalah jenis kapal Landing Craft tank (LCT) model roll-on-roll-over, kapal LCT ini mempunyai keistimewaan memiliki dua pintu yang dapat membuka di bagian depan dan belakang kapal sehingga tanpa melakukan manuver lagi kapal ini dapat melakukan kegiatan penyeberangan sambil mengangkut truk yang berisi hasil tambang batubara. Kapal LCT tergolong memiliki jenis draft yang dangkal sehingga cocok untuk melakukan aktifitas di sungai yang memilki kedalaman rendah seperti pada Sungai Kelay. Dimensi dari perencanaan kapal dapat dilihat pada Lampiran D. Peta kedalaman terukur dari daerah yang akan di gunakan sebagai alur penyeberangan dapat dilihat pada gambar 4.9.
56
Gambar 4.9 Panjang dan Lebar Alur Penyeberangan (LLWL) Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa dalam keadaan tinggi muka air LLWL variasi kedalaman dari alur penyeberangan dapat dilalui oleh jenis kapal LCT yang memiliki draft maksimal sebesar 1.3 meter, atau pilihan lainnya dapat dilaksanakan pekerjaan pengerukan agar didapatkan kedalaman yang diinginkan. Apabila kegiatan pengerukan tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena faktor ekonomi dan faktor-faktor teknis lainnya, maka perencanaan yang harus dilakukan adalah pemilihan waktu kegiatan yaitu pada saat tinggi muka air sungai berada pada keadaan air tinggi. Pemilihan waktu tersebut dapat menggunakan Tabel 4.1 sebagai acuan waktu pekerjaan. Tabel tesebut menjelaskan analisis waktu variasi ketinggian muka air sungai selama 29 hari atau satu siklus bulan penuh sehingga dapat dijadikan sebagai referensi .
57