BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitian Desain penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional yaitu rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan subjek penelitian pada saat bersamaan atau sekali waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot pada siswa sekolah sepakbola di kota Medan.
3.2. Populasi dan sampel Siswa sepakbola yang terdaftar sebagai anggota pada sekolah sepakbola (SSB) di kota Medan. Sampel diambil dengan teknik Consecutive Sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek sesuai dengan kriteria inklusi pada penelitian sampai jumlah responden dapat terpenuhi. Sesuai dengan rancangan penelitian yaitu cross sectional, besar sampel dihitung dengan rumus sampel untuk proporsi tunggal. Pada penelitian sebelumnya tentang hubungan varian gen ACE, ACTN3 dan PPARΑ dengan fenotif pada anak usia sekolah pertengahan di Rusia oleh Ahmetov II et al., (2012), diketahui besarnya proporsi polimorfisme gen PPARα intron 7 G/C pada anak usia 11 ± 0,4 tahun (n=219) adalah 26,9% (P = 0,26) (n=59), maka Q = 1 – P = 1 – 0,26 = 0,74. Besarnya ketepatan absolut yang ditetapkan oleh peneliti sebesar 10% (d = 0,1). Besar Zα = 1,96 untuk α = 0,05. Sehingga perhitungan besar sampel (Lameshow et al, 1997) sebagai berikut: 𝑍⍺² PQ 𝑑² 1,962 x 0,26 x 0,74 𝑛= 0,1² 𝑛 = 73 𝑛=
Keterangan : N = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan Z = skor Z, berdasarkan nilai α yang diinginkan = 1,96 α = derajat kepercayaan (ditetapkan) = 0,05 (95%) d = ketepatan absolut (ditetapkan) = 0,1 P = proporsi polimorfisme PPARα pada penelitian sebelumnya (Ahmetov et al, 2012) = 0,26 40 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan perhitungan diatas maka peneliti menentukan jumlah sampel minimal yang dibutuhkan didalam penelitian adalah 73 orang.
3.3. Kriteria subjek penelitian Kriteria subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. 1) Kriteria Inklusi a. Berusia 11 – 16 tahun b. Menjalani latihan secara rutin di klub SSB c. Sehat – tidak ada riwayat penyakit kronis d. Orang tua subjek penelitian bersedia memberikan persetujuan setelah diberi penjelasan dan manfaat penelitian dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent) 3.3.2. Kriteria Eksklusi a. Memiliki penyakit kardiopulmonal dan atau riwayat penyakit kronik b. Merokok c. Sedang mengalami cedera otot dan atau tulang 3.4. Tempat penelitian Penelitian dilakukan di beberapa sekolah sepakbola di kota Medan, yaitu SSB Sejati Pratama, SSB Taman Setia Budi Indah, SSB Universitas Sumatera Utara (SSB USU). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara Consecutive sampling, yaitu pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sampai dengan jumlah subjek terpenuhi. Isolasi DNA dari setiap sampel sel bukal di laksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.5. Variabel Penelitian 3.5.1. Variabel independen adalah varian gen Peroxisome Proliferator ActivatedReceptor Alpha (PPARα) 3.5.2. Variabel dependen adalah daya tahan otot siswa sekolah sepakbola 3.5.3. Defenisi operasional No 1.
Variabel Gen PPARα
Defenisi Alat Ukur operasional Polimorfisme PCR-RFLP, gen PPARα Elektroforesis pada Intron 7 dan UV Reader
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
Enzim Polimorfisme gen Nominal restriksi TaqI PPARα pada 0,5 µL, 10x Intron 7: Buffer TaqI 1. GG= 266 bp 1,0 µL 2. GC= 216 bp 41 Universitas Sumatera Utara
2.
Muscular Tes Curl-Up Endurance
Karpet yang telah di beri garis hitam (double tape) dengan lebar 7 cm
dengan gel agarose 3% Hitung jumlah Curl up yang dapat dilakukan oleh sampel dan bandingkan dengan tabel Curl-Up sesuai umur
3. CC= 50 bp Interpretasi hasil Ordinal Curl Up test (Pria, Usia 10 – 16 tahun) a. Sangat baik : ≥ persentil 90
b. Baik: persentil 70 – 80
c. Cukup: persentil 50 – 60
d. Kurang
:
persentil 30 – 40
e. Sangat Kurang
:
≤ persentil 20
3.6. Kerangka Kerja
Sampel : 73 Siswa Sepakbola pada Sekolah Sepakbola (SSB)
Muscular Endurance: Tes Curl Up
Isolasi DNA dari sel bukal (mulut)
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Produk PCR
Hubungan Polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot
Analisa gen PPARα Intron 7 (G/C) dengan RFLP dan elektroforesis (gel agarose 3%)
42 Universitas Sumatera Utara
3.7. Pelaksanaan penelitian 3.7.1. Penerbitan Ethical Clearance Meminta penerbitan ethical clearance kepada komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 3.7.2. Pengurusan izin penelitian Meminta izin pelaksanaan penelitian kepada penanggung jawab Sekolah Sepakbola (SSB) 3.7.3. Proses seleksi subjek penelitian Subjek penelitian diseleksi dari keseluruhan anggota Sekolah Sepakbola (SSB) berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi 3.8. Proses Pengambilan sampel 3.8.1. Isolasi DNA dari sel Bukal a. Alat
: Cytobrush, tabung mikrosentrifuge, beaker, waterbath, pH meter, kertas absorben, gelas ukur, spidol, Vortex, Mikrosentrifus, micropipette, sarung tangan, b. Bahan : Air Mineral, Stok Proteinase K (100 μg/mL), PrestoTM Buccal Swab gDNA Extraction Kit (Geneaid), 10x Tris-Acetate-EDTA (TAE) Buffer (Vivantis), Aquades, ethanol absolute c. Cara kerja : Proses ekstraksi DNA dari sel bukal mulut sebagai berikut: 1. Kumur-kumur dengan Air Mineral sebanyak ±10 mL untuk membersihkan rongga mulut, kemudian dibuang hasil kumur-kumur. 2. Gunakan Cytobrush untuk menyikat dinding pipi bagian dalam (bukal) selama 1 menit, kemudian Cytobrush dimasukkan kedalam tabung Cytobrush kering. Simpan ke lemari pendingin. 3. Tahap S2 Buffer Preparation a. Siapkan tabung mikrosentrifuge sejumlah sampel. Isi 500 μL Buffer S2 dan 1 μL Carrier RNA Solution, Vortex sebentar. 4. Tahap Sampel Preparation a. Ambil tabung mikrosentrifuge yang baru, isi dengan 500 μL Buffer S1 dan 20 μL Proteinase K, masukkan cytobrush dan potong dengan tang potong mendekati brush. Sentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 13.000 x g b. Selanjutnya keluarkan cytobrush, tuangkan seluruh cairan kedalam rangkaian GD Collumn dengan tabung mikrosentrifuge dan sentrifugasi kembali 1 menit dengan kecepatan 13.000 x g. Perhatikan tidak terdapt lagi serabut brush pada tabung mikrosentrifuge.
43 Universitas Sumatera Utara
5.
6.
7.
8.
c. Jika masih ada ulangi langkah diatas. Selanjutnya buang GD Collumn dan inkubasi tabung mikrosentrifuge tersebut selama 10 menit pada suhu 60°C. Tahap Lysis a. Tambahkan 500 μL Buffer S2 (dari tahap S2 Buffer Preparation), segera Vortex dan inkubasi kembali selama 10 menit pada suhu 60°C (Vortex sebentar setiap 5 menit). b. Selama inkubasi siapkan Elution Buffer secukupnya (25 – 50 μL/ sampel) dan masukkan kedalam tabung mikrosentrifuge dan diberi label EB. c. Inkubasi EB tersebut pada suhu 60°C hingga digunakan. Tahap DNA Binding a. Tambahkan ethanol absolute ke lysate/ sampel dan langsung goncang tabung dengan kuat selama 10 detik. Jika ada gumpalan, larutkan dengan menggunakan pipet b. Rangkaikan (pasangkan) GD Collumn dengan Collection tube dan pindahkan 750 μL campuran diatas kedalam GD Collumn tersebut. c. Sentrifugasi pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 1 menit dan buang isi Collection tube dan rangkaikan kembali. d. Pindahkan sisa cairan di tabung mikrosentrifuge kedalm GD Collumn dan sentrifugasi kembali pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 1 menit. Lihat pada GD Collumn, jika masih ada cairan dapat disentrifugasi sesuai langkah diatas sampai cairan tidak terdapat lagi pada GD Collumn. e. Buang Collection tube dan pindahkan GD Collumn kedalam Collection tube yang baru. Tahap Wash a. Tambahkan 400 μL Buffer W1 kedalam GD Collumn dan sentrifugasi pad kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 30 detik, buang cairan yang ada di dalam Collection tube b. Letakkan GD Collumn kedalam Collection tube kembali dan tambahkan 600 μL Wash Buffer (pastikan Ethanol absolute telah ditambahkan) kedalam GD Collumn dan sentrifugasi pada kecepatan 14.000 – 16.000 rpm selama 30 detik, buang cairan yang berada didalam Collection tube c. Letakkan kembali GD Collumn pada Collection tube dan sentrifugasi kembali pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 3 menit untuk mengeringkan GD Collumn Tahap Elution a. Pindahkan GD Collumn kedalam tabung mikrosentrifuge yang bersih dan tambahkan Elution Buffer sebanyak 25 – 50 μL (sesuaikan dengan jumlah sampel/ kebutuhan) yang telah dipanaskan sebelumnya ke TENGAH – TENGAH (bagian
44 Universitas Sumatera Utara
Tengah) matriks GD Collumn. Biarkan selama minimal 3 menit untuk diserap oleh Collumn. b. Sentrifugasi pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 1 menit untuk memindahkan DNA dari Collumn kedalam tabung. 9. Simpan sampel DNA dilemari pendingin pada suhu dibawah 0°C. 10. Untuk memastikan konsentrasi dan kemurnian DNA, sangat dianjurkan pengukurannya melalui Nanophotometer. 11. Konsentrasi DNA pada pengukuran dengan nanophotometer diharapkan pada kisaran 80 – 120 ng/µL. 3.8.2. Prosedur PCR RFLP GEN PPAR⍺ a. Alat
: Sarung tangan, masker, microtube PCR, tip kuning, tip putih, mesin PCR/ Thermal cycler, Microwave, Template agarose, inkubator, Timbangan digital, Alluminium Foil, Parafilm, Gel Casting Tray, Gel Comb b. Bahan : GoTaq(R) Green Master Mix (Promega, USA) Master Mix, PPARα Intron 7; forward primer 5’-ACA ATC ACT CCT TAA ATA TGG TGG-3’ dan reverse primer 5’-AAG TAG GGA CAG ACA GGA CCA GTA-3’, Enzim Restriksi TaqI, 10x Buffer TaqI (with BSA), Nucleus Free Water, serbuk Agarose (Bioline), Hyperladder/ Marker DNA 25bp (Bioline), DNA yang sudah diisolasi, 10x Tris-AcetateEDTA (TAE) Buffer (Vivantis), Ethidium Bromida. c. Cara kerja : Metode PCR-RFLP digunakan untuk menentukan polimorfisme pada intron 7. 1. Lakukan pengenceran primer sesuai dengan instruksi pada label dan disimpan di lemari pendingin hingga digunakan. 2. Siapkan tabung microtube PCR sesuai jumlah sampel dan diberi penomoran. 3. Lakukan perhitungan sebagai berikut: 1 sampel Total jumlah sampel Master Mix 12,5 µL Jlh Sampel x 12,5 µL Forward Primer 1,0 µL Jlh Sampel x 1,0 µL Reverse Primer 1,0 µL Jlh Sampel x 1,0 µL Nucleus Free Water 8,5 µL Jlh Sampel x 1,0 µL Volume DNA 2,0 µL 2,0 µL setiap microtube PCR Ket : Volume DNA dan Volume Nucleus Free Water dapat berbeda setiap microtube PCR sampel sesuai dengan Konsentrasi DNA setiap sampel melalui Nanophotometer. 4. Setiap tabung microtube PCR dimasukkan Master Mix 12,5 µL, Forwar Primer 1,0 µL, Reverse Primer 1,0 µL, Volume Nucleus Free Water dan Volume DNA sesuai dengan perhitungan konsentrasi DNA melalui nanophotometer. 45 Universitas Sumatera Utara
5. Inkubasi di lemari pendingin selama 10 menit. 6. Hidupkan mesin PCR/ Thermal Cycler, atur protokol PCR gen PPARα: a. Tahap Denaturation : 95ºC selama 2 menit diikuti 30 siklus denaturation selama 30 detik b. Tahap Annealing : 56ºC selama 30 detik c. Tahap Extension : 72ºC selama 30 detik d. Final Extension : 72ºC selama 5 menit 7. Seluruh sampel dimasukkan kedalam mesin PCR/ Thermal Cycler pada template PCR dan tekan tombo “Run”. Waktu yang diperlukan sekitar 1 Jam, 10 menit. 8. Setelah selesai, mesin PCR dimatikan/ di non-aktifkan dan seluruh sampel (Produk PCR) dikeluarkan dan disimpan didalam lemari pendingin hingga siap untuk digunakan untuk tahap RFLP. 9. Siapkan microtube PCR sesuai jumlah sampel dan diberi penomoran 10. Lakukan perhitungan sebagai berikut: 1 sampel Jumlah total sampel 10x Buffer TaqI (with BSA) 1,0 µL Jumlah total sampel x 1,0 µL Enzim restriksi TaqI 0,5 µL Jumlah total sampel x 0,5 µL Nucleus Free Water 3,5 µL Jumlah total sampel x 3,5 µL Produk PCR 5,0 µL Setiap microtube PCR 11. Setiap mikrotube PCR dimasukkan 10x Buffer TaqI 1,0 µL, Enzim restriksi TaqI 0,5 µL, Nucleus Free Water 3,5 µL dan produk PCR 5,0 µL. 12. Hidupkan waterbath dan atur suhu air pada 65ºC 13. Selanjutnya seluruh mikrotube PCR di lapisi Parafil bagian tutupnya (untuk mencegah penguapan saat diinkubasi pada waterbath) 14. Setelah suhu air pada waterbath 65ºC, masukkan seluruh produk PCR ke template (Gabus). Tunggu hingga 3 jam 15. Setelah 3 jam berlalu, siapkan larutan agarose dengan konsentrasi 3% dengan perhitungan sebagai berikut: a. Untuk Gel Casting tray yang besar : 3% x 130 mL (TAE Buffer 10x pengenceran). Sehingga didapatkan jumlah serbuk agarose yang diperlukan adalah 3,9 gr b. Untuk Gel Casting tray yang kecil : 3% x 35 mL (TAE Buffer 10x pengenceran). Sehingga didapatkan jumlah serbuk agarose yang diperlukan adalah 1,05 gr c. Lakukan pengenceran TAE Buffer 10x dengan perhitungan adalah 100 mL TAE Buffer 1x ditambah 900 mL Aquadest. Hingga volume total nya adalah 1000 mL. 16. Ambil 3,9 gr serbuk agarose dan larutkan dengan TAE Buffer 10x sebanyak 130 ml atau 1,05 gr serbuk agarose dan larutkan dengan TAE Buffer 10x sebanyak 35 mL kedalam gelas beaker. 46 Universitas Sumatera Utara
17. Masukkan campuran serbuk agarose tersebut dengan TAE Buffer 10 x kedalam Microwave. Atur microwave dengan power 630 dengan waktu 3 menit. Perhatikan larutan saat dipanaskan, jangan sampai tumpah. Jika larutan sudah jernih keluarkan dari microwave. Jika belum jernih, ulangi langkah tersebut sampai larutan jernih. 18. Setelah larutan jernih, tambahkan ethidium Bromide 1,0 µL (untuk pewarnaan). Goncangkan pelan – pelan (agar homogen) 19. Siapkan Gel Comb pada Gel Casting Tray sesuai kebutuhan (yang besar atau yang kecil) 20. Selanjutnya tuangkan seluruh larutan agarose secara pelan – pelan kedalam Gel Casting Tray (pastikan tidak ada gelembung udara). Tunggu sekitar 15 menit hingga membeku. 21. Setelah membeku, cabut Gel Comb secara pelan – pelan hingga tampak sumur – sumur/ Comb tempat produk PCR-RFLP 22. Selanjutnya masukkan seluruh produk RFLP-PCR kedalam masing – masing sumur/ Comb dengan urutan sebagai berikut; a. Comb pertama : Marker DNA (hyperladder 25 bp): 4 µL b. Comb kedua : Uncut (produk PCR tanpa enzim restriksi TaqI) : 5 µL c. Comb ketiga : Produk RFLP-PCR sampel 1 : habiskan seluruhnya produk RFLP-PCR d. Dan seterusnya hingga seluruh sampel 23. Atur mesin elektroforesis dengan voltage 80 Volt dengan waktu 90 menit 24. Setelah waktu yang ditentukan selesai, gel agarose tersebut dimasukkan kedalam UV reader untuk diinterpretasi. 3.8.3. Curl Up Test (CUT) Pengukuran daya tahan otot (Muscular Endurance) dilakukan dengan Curl Up Test. a. Alat : karpet/ matras yang telah Strip (double-tape) dengan lebar 3 inci (7.62 cm), aplikasi metronome 40 bpm (telah diinstal pada Samsung Galaxy Tab 3) b. Cara kerja: 1. Peserta dengan posisi tidur (supine) pada matras dengan kedua lengan lurus di samping tubuh, bahu dirilekskan, telapak tangan menghadap ke matras, jari jari diluruskan. 2. Atur posisi agar jari yang paling panjang setiap tangan menyentuh ujung strip yang paling dekat. 3. Kaki di tekuk membentuk sudut 90°, jarak kaki dengan bokong sekitar 12-18 inci (30.48 – 45.72 cm).
47 Universitas Sumatera Utara
4. Untuk melakukan tes Curl up, set metronome 40 bpm, fleksikan punggung bersamaan dengan gesekkan jari-jari setiap tangan pada matras melewati strip (doubletape), kedua tangan tetap lurus dan sejajar. 5. Untuk kembali ke posisi semula; bahu harus kembali menyentuh matras, tanpa kepala disentuh tangan. 6. Bahu harus dirilekskan setelah curl up, kaki dan bokong harus tetap menyentuh lantai. 7. Bernafas dengan santai, hembuskan nafas pada saat fase mengangkat badan (fleksi); jangan ditahan nafas. 8. Apabila hanya salah satu telapak tangan saja yang melewati ujung garis dan telapak tangan lainnya tidak melewati ujung garis maka skor tes curl-up tidak dihitung. 9. Apabila kaki terangkat maka skor tes curl-up tidak dihitung. 10. Sebelum memulai tes curl-up, dilakukan simulasi/ demonstrasi tes. Gambar 3.1. Tes Curl Up berdasarkan usia dan jenis kelamin
Nilai Curl – Up untuk Anak – anak (laki – laki) Usia 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17+ Percentile 90 23 27 31 41 38 49 100 60 77 100 79 82 80 20 23 27 33 35 40 58 55 58 70 61 63 70 15 20 25 27 29 35 48 48 52 60 48 50 60 12 16 20 23 27 29 36 42 48 50 40 47 50 10 13 17 20 24 26 32 39 40 45 37 42 40 9 12 15 18 20 22 31 35 33 40 34 39 30 8 10 13 15 19 21 27 31 30 32 30 31 20 7 9 11 14 14 18 24 30 28 29 28 28 10 5 7 9 10 11 13 18 21 24 22 23 24 Adopted by permission from Presidents Council for Physical Fitness, Presidents Challenge Normative Data Spreadsheet (Online). Available: www.presidentschallenge.org
48 Universitas Sumatera Utara
Interpretasi: Sangat Baik
: > persentil 90
Baik
: persentil 70 – 80
Cukup
: persentil 50 – 60
Kurang
: persentil 30 – 40
Sangat Kurang : < persentil 20
3.9. Analisa statistik Analisa data dilakukan menggunakan teknik komputerisasi, dengan SPSS versi 19. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik usia, deskripsi tes Curl Up dan distribusi varian gen PPAR⍺. Kemudian data polimorfisme gen PPAR⍺ dan hasil tes Curl Up untuk daya tahan otot dilakukan uji distribusi dan homogenitas data untuk menentukan uji analisa statistik yang akan digunakan. Uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk menentukan data berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Analisa statistik yang digunakan adalah analisa bivariat untuk menganalisa dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Pada analisa bivariat digunakan uji nonparametrik uji Chi-square (uji x2) karena variabel bebas berskala nominal dan variabel tergantung berskala ordinal dan apabila tidak memenuhi syarat Uji Chi-square, maka dilakukan Uji Fisher-exact. Selanjutnya dilakukan uji korelasi untuk menentukan kekuatan hubungan antara variabel, uji korelasi yang digunkan adalah Uji pearson (data berdistribusi normal) atau uji korelasi Spearman (data tidak berdistribusi normal). Interpretasi nilai korelasi (r), sebagai berikut: Nilai Koefisien korelasi (r)
Makna hubungan
0,000 – 0,199
Hubungan sangat lemah
0,200 – 0,399
Hubungan lemah
0,400 – 0,599
Hubungan sedang
0,600 – 0,799
Hubungan kuat
0,800 – 1,000
Hubungan sangat kuat
Untuk menentukan koefisien determinasi dihitung dengan cara mengkuadrat nilai koefisien korelasi (r2). Nilai koefisien determinasi adalah untuk menentukan seberapa besar (persentase) pengaruh variabel independen terhadap dependen. 49 Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya untuk mengetahui apakah terdapat polimorfisme pada gen PPARα pada populasi penelitian ini dilakukan perhitungan dengan menggunakan asas Hardy-Weinberg Equilibrium. Interpretasinya adalah jika nilai p>0,005 berarti terdapat polimorfisme pada populasi penelitian atau sesuai dengan asas Hardy-Weinberg Equilibrium.
3.10. Kerangka Konsep
Polimorfisme Gen PPARα G/C Intron 7
• • • • •
Daya tahan otot: Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Karakteristik Subjek: • • • •
Umur Tinggi Badan Berat Badan Indeks Massa Tubuh
Faktor yang mempengaruhi daya tahan otot (Yan et al, 2011): • Oksidasi Mitokondria • Sintesis ATP • Tipe serabut otot skeletal • Vaskularisasi
50 Universitas Sumatera Utara
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan September – November 2016 setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK.USU, melibatkan 77 anak sekolah sepak bola yang terdiri dari 13 anak laki – laki dari sekolah sepak bola Tasbi (SSB Tasbi), 35 anak laki – laki sekolah sepak bola Sejati Pratama (SSB Sejati Pratama), 29 anak laki – laki sekolah sepak bola USU (SSB USU). Tes Curl-Up merupakan salah satu tes yang digunakan untuk mengetahui daya tahan otot. Tes Curl-Up dilakukan di lapangan tempat SSB berlatih. Pengambilan sampel sel dari bukal dilakukan di lapangan tempat anak – anak sekolah sepak bola berlatih. Sel yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan isolasi DNA dan Polimerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polimorphism (PCR-RFLP) di laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4.1.1. Deskripsi subjek penelitian Subjek penelitian merupakan anak – anak SSB yang berusia 11 – 16 tahun dan berjenis kelamin laki – laki yang melakukan latihan sepak bola secara rutin ±3 kali seminggu yang dibimbing oleh pelatih. Teknik – teknik yang diajarkan berupa latihan fisik, latihan teknik dan latihan kerjasama tim. Pengelompokan usia dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Karakteristik usia pada anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77) Karakteristik Usia
Frekuensi
Persentase (%)
11 tahun
16
20,8
12 tahun
19
24,7
13 tahun
22
28,6
14 tahun
12
15,6
15 tahun
5
6,4
16 tahun
3
3,9
Total
77
100
51 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tabel 4.1, usia mayoritas anak –anak sekolah sepak bola usia 13 tahun sebanyak 22 orang (28,6%) dan anak – anak berusia 12 tahun sebanyak 19 orang (24,7%). Usia termuda 11 tahun sebanyak 16 orang (20,8%) dan usia tertua adalah 16 tahun sebanyak 3 orang (3,9%), rata – rata usia subjek adalah usia 12,7 tahun ± 1,34.
4.1.2. Deskripsi pemeriksaan daya tahan otot Setelah dilakukan tes Curl-Up pada anak – anak sekolah sepak bola, rata – rata hasil tes Curl-Up adalah 26,65 (±14,05). Jumlah Curl- Up yang diperoleh setiap subjek dibandingkan dengan tabel nilai Curl-Up berdasarkan usia subjek yaitu kategori sangat baik (lebih dari 90 persentil), kategori baik (70 – 80 persentil), kategori cukup (50 – 60 persentil, kategori kurang (30 – 40 persentil) dan kategori sangat kurang. Hasil Curl-Up subjek dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2 Karakteristik daya tahan otot (tes Curl-Up) pada anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77) Curl-Up Usia
Sangat
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
(persentase)
Cukup
Baik
12
1
3
0
(15,6%)
(1,3%)
(3,9%)
16
2
1
(20,8%)
(2,6%)
(1,3%)
9
5
4
2
2
22
(11,7%)
(6,5%)
(5,2%)
(2,6%)
(2,6%)
(28,6%)
7
3
0
2
0
12
(9,1%)
(3,9%)
4
1
(5,2%)
(1,3%)
3
0
baik 0
0
0
19 (24,7%)
(2,6%) 0
16 (20,8%)
0
(15,6%) 0
5 (6,5%)
0
0
0
(3,9%) Total
Total
Kurang
kurang 11 tahun
Sangat
3 (3,9%)
51
12
8
4
2
77
(66,2%)
(15,6%)
(10,4%)
(5,2%)
(2,6%)
(100%)
52 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tabel 4.2, hasil pemeriksaan daya tahan otot (tes Curl-Up) sebagian besar daya tahan otot anak – anak sekolah sepak bola pada kategori sangat kurang yaitu sebanyak 51 orang (66,2%). Kategori daya tahan otot sangat kurang secara mayoritas ditemukan pada anak – anak usia 12 tahun sebanyak 16 orang (20,8%), tetapi pada penelitian ini juga ditemukan daya tahan otot anak – anak sepak bola dengan kategori sangat baik sebanyak 2 orang (2,6%) pada anak usia 13 tahun.
4.1.3. Deskripsi polimorfisme gen Peroxisome Proliferator Activated-receptors Alpha (PPARα) Setelah dilakukan isolasi DNA maka dilakukan pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA menggunakan Nanophotometer. Pada penelitian ini didapatkan sampel DNA pada beberapa subjek dengan konsentrasi DNA 0 ng/µL sehingga tidak diikutkan untuk PCRRFLP. Hasil varian gen PPARα pada setiap subjek anak – anak sekolah sepak bola dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Distribusi data varian gen PPARα Intron 7 G/C terhadap usia pada anak – anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77) Genotip PPARα
Total (persentase)
Usia
GG
GC
11 tahun
15 (19,5%)
1 (1,3%)
16 (20,8%)
12 tahun
19 (24,7%)
0
19 (24,7%)
13 tahun
21 (27,3%)
1 (1,3%)
22 (28,6%)
14 tahun
12 (15,6%)
0
12 (15,6%)
15 tahun
5 (6,5%)
0
5 (6,5%)
16 tahun
3 (3,9%)
0
3 (3,9%)
Total
75 (97,4%)
2 (2,6%)
77 (100%)
Berdasarkan tabel 4.3, varian gen PPARα secara mayoritas pada anak – anak sekolah sepak bola adalah genotip GG (homozygote) sebanyak 75 orang (97,4%), sedangkan genotip GC sebanyak 2 orang (2,6%) (heterozygote). Varian fenotip CC tidak ditemukan pada penelitian ini.
53 Universitas Sumatera Utara
4.1.4. Hardy-Weinberg Equilibrium Untuk membuktikan bahwa gen Peroxisome proliferator-activated receptor α (PPARα) G/C Intron 7 genotip GG dan GC adalah suatu polimorfisme pada populasi yang diteliti, dilakukan perhitungan Hardy-Weinberg Equilibrium (HWE). Equilibrium alel dalam suatu lokus dinyatakan sebagai relasi matematika dalam frekuensi alel dan genotip disebut Hardy-Weinberg Equilibrium Hardy (HWE). Melalui HWE dapat diprediksi sejauh mana gen akan diturunkan dari suatu generasi ke generasi dan frekuensi alel yang akan tetap sama dari suatu generasi ke generasi mengasumsikan bahwa tidak terjadi mutasi. Perhitungan HardyWeinberg
Equilibrium
(HWE)
melalui
http://www.had2know.com/academics/hardy-
weinberg-equilibrium-calculator-2-alleles.html dan didapatkan hasil pada tabel dibawah ini Tabel 4.4 Frekuensi genotip dan alel gen PPARα Intron 7 G/C pada pada anak – anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77) Genotip
Frekuensi alel
GG
GC
CC
G
C
Observed
75
2
0
152
2
Expected
75,01
1,97
0,01
(98,7%)
(1,3%)
(97,42%)
(2,56%)
(0,02%)
HW Frequency
p
0,90
Gambar 4.1 Hasil elektroforesis produk PCR-RFLP gen PPARα G/C Intron 7
54 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa varian gen PPARα pada penelitian ini adalah polimorfisme karena sesuai dengan hukum Hardy-Weinberg Equilibrium (p>0,05), dimana (p=0,90) ditemukan pada penelitian ini 4.1.5. Hubungan polimorfisme gen PPARα intron 7 dengan tes Curl-up Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara varian gen PPARα dengan daya tahan otot dilakukan uji analisa statistik. Namun terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data melalui uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji Normalitas data melalui uji Kolmogorov-Smirnov menyatakan data tidak berdistribusi normal, sehingga uji analisa statistik yang digunakan adalah uji statistik non-parametrik. Untuk menguji korelasi antara varian gen PPARα dengan daya tahan otot digunakan uji korelasi Spearman rho dengan interpretasi nilai jika r = 0,000 – 0,199 (korelasi sangat lemah), r = 0,200 – 0,399 (korelasi lemah), r = 0,400 – 0,599 (korelasi sedang), r = 0,600 – 0,799 (korelasi kuat) dan r = 0,800 – 1,000 (korelasi sangat kuat). Hasil analisa statistik dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5 Distribusi data varian gen PPARα Intron 7 G/C dan daya tahan otot (tes Curlup) pada anak – anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77) Varian Curl-Up gen Total p Sangat Kurang Cukup Baik Sangat PPARα Kurang Baik 50 11 8 4 2 75 GG (64,9%) (14,3%) (10,4%) (5,2%) (2,6%) (97,4%) 0,564 1 1 0 0 0 2 GC (1,3%) (1,3%) (2,6%) 51 12 8 4 2 77 Total (66,2%) (15,6%) (10,4%) (5,2%) (2,6%) (100%) *Uji Fisher’s Exact
Hasil uji analisa statistik menggunakan uji Fisher’s Exact adalah p=0,564 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara varian gen PPARα dengan Curl-Up. Hasil uji koefisien korelasi (r) Spearman rho antara variabel varian gen PPARα terhadap daya tahan otot (tes Curl-Up) adalah 0,024 (hubungan sangat lemah). Nilai koefisien korelasi selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien determinasi untuk menentukan seberapa besar pengaruh variabel varian gen PPARα terhadap daya tahan otot (tes Curl-Up) dengan cara mengkuadratkan nilai koefisien korelasi. Hasil yang didapatkan adalah 0,0242 = 0,0005, berarti pengaruh varian gen PPARα terhadap daya tahan otot (tes Curl-
55 Universitas Sumatera Utara
Up) sebesar 0,05% dan 99,95% ditentukan oleh faktor lain (misalnya; varian genetik lainnya, nutrisi dan lainnya).
4.2. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini, usia mayoritas anak – anak sekolah sepak bola pada penelitian ini adalah usia 12 - 13 tahun. Berdasarkan kurikulum dan pedoman sepak bola di Indonesia yang diterbitkan oleh PSSI untuk usia dini (U5 – U12), usia muda (U13 – U20) dan senior menyatakan melatih usia muda jauh berbeda dengan melatih para pemain senior, karena harus menerapkan dasar – dasar bermain sepak bola yang benar. Konsep kepelatihan usia dini berfokus pada penyaluran potensi bakat anak – anak sekolah sepak bola, bukan permainan kerjasama dalam tim. Program pembinaan pelatihan meliputi; hubungan latihan dengan pertandingan yang bertujuan untuk mempersiapkan anak – anak sekolah sepak bola untuk kompetisi dan komponen lainnya, seperti; taktik, teknik, jiwa kebersamaan (psikososial/ mental) dan fisik. Berdasarkan pengamatan peneliti pada beberapa sekolah sepak bola tempat penelitian melakukan latihan tiga kali seminggu dan dibimbing oleh pelatih. Namun masih terdapat sekolah sepak bola yang di bimbing oleh satu orang pelatih. Tetapi pada beberapa sekolah sepak bola telah dilatih oleh beberapa pelatih dan di kelompokkan berdasarkan usia anak – anak. Pada sekolah sepak bola tempat penelitian juga dilakukan latihan dasar sepakbola, seperti; teknik, taktik dan kebersamaan. Namun latihan daya tahan otot secara khusus tidak dilakukan, kemungkinan terkait dengan anak – anak usia dini memiliki keterbatasan fisik terutama pada kekuatan dan ketahanannya. Latihan – latihan diberikan hanya sebatas kecepatan menggiring bola, kelincahan (agility) dan kerjasama tim. Pada penelitian ini ditemukan daya tahan otot dengan kategori sangat kurang sebanyak 51 orang (66,2%) dan kategori kurang sebanyak 12 orang (15,6%). Rendahnya daya tahan otot pada hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh proses latihan yang kurang sistematis. Latihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pemain atau siswa akan mengakibatkan ketidakefektifan dalam mencapai kemampuan yang diharapkan. Proporsi dalam latihan tidak hanya masalah kuantitas (jumlah latihan) akan tetapi kualitas dan kontinuitas. Kualitas latihan menggambarkan efektivitas dari latihan sedangkan kontinuitas latihan adalah mendeskripsikan keseriusan dan kemampuan untuk tetap menjaga kebugaran tubuh pemain atau siswa. Kemampuan aerobik yang baik hanya didapatkan melalui latihan, melalui latihan suplai oksigen akan tercukupi pada otot, menurunkan tingkat stress dan meningkatkan pengeluaran 56 Universitas Sumatera Utara
aam laktat dari tubuh. Penurunan kemampuan aerobik menyebabkan penurunan daya tahan otot sehingga kemampuan berolahraga juga akan menurun. Selain itu siswa binaan juga harus memiliki kebiasaan hidup yang sehat dalam kehidupan sehari – hari. Perhitungan lemak tubuh pada para pemain juga seharusnya dilakukan, diet dengan rendah lemak dan latihan yang teratur sangat dianjurkan. (Periasamy et al, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Winarni menyatakan terdapat perbedaan daya tahan otot tungkai sebelum dan sesudah diberi perlakuan latihan Rope Jump dengan metode interval. Latihan Rope Jump selama enam minggu dengan frekuensi latihan tiga kali seminggu terbukti dapat meningkatkan rata – rata daya tahan otot tungkai subjek, sehingga penerapan latihan Rope Jump secara teratur, terprogram dan berkesinambungan serta disiplin yang tinggi dapat digunakan oleh pelatih untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai. Beberapa contoh latihan daya tahan otot adalah lompat tali perorangan atau berpasangan dan lari dalam waktu yang lama. Sedangkan contoh latihan otot tungkai adalah naik turun bangku, jongkok berdiri, jalan kelinci atau engkleng dan lompat diatas bangku (Anggraeni, 2012; Winarni, 2015). Wong et al (2010) juga menyatakan program latihan dapat meningkatkan daya tahan aerobik pada pemain sepak bola. Latihan aerobik yang berkelanjutan dapat meningkatkan jumlah mitokondria dan kemampuan oksidatif dan mengubah karateristik serabut otot dari fast-twitch menjadi slowtwitch. Secara genetik anak – anak binaan pada beberapa sekolah sepak bola penelitian ini telah mendukung memiliki daya tahan otot yang baik, berdasarkan hasil penelitian bahwa sekitar 75 orang (97,4%) memiliki varian gen PPARα genotip GG, tetapi daya tahan otot pada anak – anak SSB dengan kategori sangat kurang sebanyak 50 orang (64,9%) dan kategori kurang sebanyak 11 orang (14,3%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmetov et al (2006) menyatakan genotip GG berhubungan dengan kemampuan daya tahan otot terkait dengan peningkatan penggunaan asam lemak bebas, tingginya nilai pols oksigen dan alel G berhubungan dengan atlit yang berorientasi pada kemampuan daya tahan (endurance). Ekspresi PPARα juga meningkat pada serabut otot tipe I (oksidatif) dibandingkan pada serabut otot tipe II. Alel C gen PPARα intron 7 G/C berhubungan dengan atlit yang berorientasi pada daya ledak (power). Alel C menyebabkan penurunan ekspresi PPARα atau fungsinya, penurunan respon terhadap fenofibrate (aktivator PPARα) sehingga menurunkan aktivasi transkripsional PPARα pada target gen. Alel C juga cenderung menyebabkan otot skeletal menjadi hipertrofi, dan memfasilitasi penggunaan glukosa dibandingkan asam lemak bebas sebagai respon terhadap olahraga jenis anaerobik.. Hasil penelitian tesebut juga menyatakan bahwa alel tidak hanya berhubungan dengan jenis/ tipe serabut otot, tetapi juga pada distribusi serabut otot. Alel G 57 Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan peningkatan proporsi serabut otot tipe I dibandingkan dengan serabut otot tipe II. Keberhasilan daya tahan (endurance) seorang atlit bergantung pada proporsi serabut otot slow-twitch dibandingkan pada serabut otot fast-twitch terhadap otot yang dilatih (pada atlit sprinter; fast-twitch lebih mayoritas). Sehingga genotip GG merupakan salah satu marker genetik pada kemampuan aerobik (fenotip daya tahan otot). Sedangkan alel C ditemukan kadar plasma lipid lebih tinggi pada pertumbuhan jantung dan meningkatkan resiko penyakit arteri koroner (Ahmetov et al, 2006, 2013). Namun daya tahan otot dengan kategori sangat kurang sebanyak 50 orang (64,9%) dan daya tahan otot kategori kurang sebanyak 11 orang (14,3%) pada genotip GG gen PPARα ditemukan pada penelitian ini. Daya tahan otot kategori sangat kurang dan kurang ditemukan mungkin disebabkan karena program latihan pada beberapa sekolah sepakbola yang masih belum terstruktur atau belum sesuai dengan kurikulum sepakbola standar Internasional (AFC, UEFA atau FIFA) untuk usia dini (U-5 – U-12) dan usia muda (U-13 – U20) dan program latihan masih berdasarkan pengalaman pelatih. Jika kategori daya tahan otot rendah, maka seharusnya pelatih menganjurkan latihan fisik dengan beban (berat badan sebagai beban, contohnya: push-up, curl-up, pull-up, dan sebagainya) karena secara genetik telah mendukung pembentukan serabut otot tipe I untuk daya tahan otot yang baik. Namun faktor gizi dan beberapa gen lain juga memiliki keterkaitan/ hubungan dengan daya tahan otot, misalnya; gen PPARGC1A, ACTN-3, ACE, dan sebagainya (Russel et al, 2003; Ahmetov et al, 2009; Gineviciene et al, 2012). Kemampuan fisik manusia merupakan sangat kompleks, dipengaruhi oleh multifaktor keterlibatan fenotip berbagai gen (melibatkan beberapa gen), faktor lingkungan (interaksi gen dengan lingkungan) (Bray et al.,2009; Bross et al,2011), proporsi serabut otot tipe I (Abernethy et al, 1990), maximal cardiac output dan maximal rate of oxygen consumption/ VO 2max (Basset and Howley, 2000). Hasil penelitian Jamshidi (2002) pada gen PPARα inton 7 menyatakan alel C menyebabkan transkripsi PPARα menjadi lebih aktif, misalnya hipertrofi pada ventrikel kiri otot jantung. Alel C pada polimorfisme gen PPARα intron 7 G/C merupakan ditemukannya dua atau lebih lokus polimorfisme pada sebuah varian gen yang diteliti pada promotor atau elemen gen PPARα sehingga menurunkan ekspresi gen PPARα. Polimorfisme pada lokasi tersebut mengganggu micro-RNA (Cressi et al,2008; Bross et al,2011). Dampak dari latihan olahraga secara kronik dan pada atlit yang berorientasi pada daya tahan mengalami peningkatan ekspresi mRNA gen PPARα dibandingkan dengan subjek aktif (Kramer et al,2006; Bross et al, 2011). Setelah program latihan daya tahan selama 6 minggu, ekspresi mRNA PPARα meningkat 3 kali dan 1,5 kali pada serabut otot skeletal tipe I dan tipe 58 Universitas Sumatera Utara
II. Peningkatan mRNA PPARα berhubungan dengan peningkatan persentase serabut otot skeletal tipe I pada manusia (Kramer et al,2006; Bross et al, 2011). Ahmetov et al (2006) menyatakan terjadi peningkatan persentase serabut otot skeletal tipe I pada individu dengan homozigot GG dibandingkan pada homozigot CC dan mRNA PPARα lebih tinggi pada carrier alel G dibandingkan pada individu dengan carrier alel C. Adaptasi transkripsional menyebabkan perubahan protein PPARα didalam sel otot skeletal. Latihan daya tahan otot meningkatkan mRNA PGC-1, mRNA PPARα, protein PGC1 dan protein PPARα pada serabut otot skeletal tipe I, IIa dan IIx. PGC-1 diekspresikan secara mayoritas pada tipe IIa dibandingkan pada serabut tipe I dan IIx, sedangkan PPARα diekspresikan secara mayoritas serabut tipe I dibandingkan pada serabut tipe IIa dan IIx, perbedaan terjadi setelah latihan enduransi. Peningkatan PGC-1 menyebabkan peningkatan proporsi serabut otot skeletal tipe I. PGC-1 merupakan koaktivator oksidatif serabut otot skeletal tipe I pada manusia. Latihan daya tahan otot meningkatkan ekspresi target gen PGC1, termasuk Troponin-1, COX4, GLUT4 dan PPARα, sehingga latihan daya tahan otot meningkatkan mitokondria otot, fenotip serabut otot tipe I, kemampuan oksidatif dan sensitifitas insulin sebagai dampak dari peningkatan PGC-1 dan PPARα terhadap target gen (Russel et al, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Metaxas et al (2014) menyatakan usia dan status latihan berperan pada ekspresi serabut otot. Hasil penelitian Metaxas et al (2014) menyatakan perubahan serabut otot tipe II (fasttwitch) disebabkan tingginya persentase fast twitch oxidative (tipe IIA) dan rendahnya persentase fast glycolitic (tipe IIX), ekpresi biasanya terjadi pada saat prepubertas dan masa purbertas atlit yang dilatih. Tipe serabut otot dipengaruhi oleh isoform MHC (myosin heavy chain), hasil analisa pada beberapa kelompok atlit sepakbola usia 15 tahun menyatakan MHC IIA persentasenya lebih tinggi dibandingkan pada usia 11 tahun dan 13 tahun. Tetapi persentase tipe serabut otot slow twitch oxidative (tipe I) secara signifikan persentasenya lebih rendah pada usia 15 tahun dibandingkan pada usia 11 tahun. Tingginya proporsi distribusi MHC IIA pada serabut otot mungkin disebabkan respon adaptif secara spontan terhadap rangsangan latihan sepakbola anaerobik dan daya tahan aerobik. Rendahnya kemampuan daya tahan otot pada anak – anak sekolah sepak bola juga mungkin disebabkan faktor nutrisi. Berdasarkan pada Kurikulum Sepakbola Indonesia PSSI tahun 2012 menyatakan beberapa kiat praktis untuk meningkatkan kemampuan fisik pemain, antara lain; pertama, setiap pemain wajib lebih banyak mengkonsumsi air putih dan air kelapa muda lebih dari orang biasa (isotonic natural) karena 2/3 berat badan adalah cairan tubuh, jika terjadi dehidrasi menyebabkan kejang dan koordinasi menurun serta kehilangan kesadaran dan 59 Universitas Sumatera Utara
penurunan konsentrasi. Kedua; mengkonsumsi protein, mineral dan vitamin (sayur – sayuran dan buah – buahan) lebih dari orang biasa. Protein (putih telur, ikan, daging dan pisang) penting untuk otot untuk menghasilkan tenaga, vitamin dan mineral untuk fungsi tubuh. Ketiga; sumber tenaga ideal bagi seorang pemain sepakbola adalah karbohidrt kompleks (ubi – ubian, sagu, nasi merah, kacang hijau, pasta, kentang, oat meal), hindari karbohidrat simple (nasi putih, mie). Keempat; hindari makanan berlemak karena dapat menurunkan stamina/ daya tahan dan koordinasi, hindari gula karena merupakan energi simple ganti dengan gula merah dan yang paling baik adalah madu. Intensitas latihan terjadwal, periode istirahat diantara latihan (24 – 32 jam) hindari overtraining, intensitas latihan ditingkatkan secara perlahan (Scheunemann et al, 2012). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fakhrizal menyatakan bahwa pemberian air kelapa dapat meningkatkan rata – rata tes Sit-Up pada kelompok perlakuan. Indeks air kelapa paling mendekati nilai optmum atau paling baik mengganti kehilangan cairan dan elektrolit tubuh pada saat latihan (Bahri, 2012; Fakhrizal, 2016).
60 Universitas Sumatera Utara
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan antara polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot pada siswa sekolah sepak bola (p=0,258) 2. Daya tahan otot (muscular endurance) pada anak – anak sekolah sepak bola secara mayoritas sangat kurang 3. Varian polimorfisme pada gen PPARα secara mayoritas adalah genotip GG 4. Polimorfisme PPARα adalah equilibrium menurut Hardy-Weinberg Equilibrium (p=0,86)
5.2. Saran 1. Diperlukan adanya penelitian lanjutan tentang SNPs lainnya yang berkaitan dengan daya tahan otot (PGC-1, ACTN-3 atau gen lainnya) 2. Diperlukan penelitian lanjutan tentang keterkaitan gen PPARα dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) atlit. 3. Sebelum latihan, sebaiknya dilakukan pengukuran tekanan darah, tinggi badan, berat badan dan pemeriksaan daya tahan otot. 4. Dianjurkan program latihan daya tahan otot dilakukan pada anak – anak sekolah sepakbola 5. Untuk pemeriksaan daya tahan otot sebaiknya pada saat subjek tidak sedang menjalani program latihan, khusus hanya untuk kegiatan penelitian saja.
61 Universitas Sumatera Utara