35
BAB 3 MASALAH PERTANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KASUS MIS-SELLING 3.1. Tanggung Jawab Hukum dalam Ranah Hukum Publik dan Privat Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara umum konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk pada tanggung jawab hukum dalam ranah hukum publik dan tanggung jawab hukum dalam ranah hukum privat51. Tanggungjawab hukum dalam ranah hukum publik misalkan tanggung jawab administrasi Negara dan tanggung jawab hukum pidana. Sedangkan tanggungjawab dalam ranah hukum privat, yaitu tanggung jawab hukum dalam hukum perdata dapat berupa tanggungjawab berdasarkan wanprestasi dan tanggungjawab berdasarkan perbuatan melawan hukum52 (tort53 (Inggris) /onrechtmatige daad (Belanda) (selanjutnya disingkat PMH). Lahirnya tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian diawali dengan adanya janji. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Sementara tanggungjawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban, yang bersumber pada hukum. 51
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 28, (Jakarta:PT. Pradnya Paramita, 2000), hal. 174. Bahwa Hukum Publik adalah pertaturan perundang-undangan yang obyeknya adalah kepentingan-kepentingan umum dan yang karena itu , soal mempertahankannya dilakukan oleh pemerintah, sedangkan hukum privat adalah peraturan perundang-undangan hukum yang obyeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. 52
Istilah Perbuatan Melawan Hukum merupakan terjemahan dari istilah onrechtmatigedaad, namun demikian ada juga yang menterjemahkannya perbuatan melanggar hukum. Namun demikian banyak ahli hukum yang menggunakan istilah perbuatan melawan hukum (Moegni Djojodirjo). Istilah “melawan” lebih tetap dari “melanggar” karena pada kata melawan melekat kedua sifat aktif maupun pasif. Lihat Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979)., hal. 13 53
Munir Fuady,Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kotemporer, cet.1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bekti, 2000)., hal. 1. Istilah tort berasal dari bahasa latin, yaitu torquere atau tortus (Perancis) yang berarti kesalahan atau kerugian. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
36
Rosa Agustina menjelaskan bahwa PMH dapat dijumpai baik dalam ranah hukum pidana (publik) maupun dalam ranah hukum perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan hukum pidana begitupun melawan hukum perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.54 Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan (interest) hukum. Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum tersebut, apabila melawan hukum pidana lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan hukum perdata lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies).
3.2. Tanggungjawab hukum berdasarkan wanprestasi dan tanggungjawab hukum berdasarkan perbuatan melawan hukum
3.2.1. Tanggungjawab hukum berdasarkan wanprestasi Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual timbul baik karena perjanjian atau karena undang-undang.55 Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia diatur dalam KUHPerdata buku ketiga tentang perikatan. Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata definisi persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.56 Doktrin pun banyak yang memberikan definisi mengenai perjanjian. Misalkan Van Dunne,yang mengartikan perjanjian adalah "suatu hubungan hukum antara
54
Agustina, Op.cit. hal. 14
55
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps. 1233.
56
Ibid., Ps. 1313 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
37
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum."57 H. Salim H.S. et all, mendefinisikan kontrak atau perjanjian: “Hubungan hukum antara subjek hukum yang stau dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.” 58 Berdasarkan pemahaman di atas maka hukum kontrak dapat diartikan sebagai hukum terhadap janji-janji (The law of promises/ the law of deals). Para pihak melakukan janji-janji adalah bebas dan apa yang mereka lakukan tidak ada pihak lain yang memaksa sebagaimana dijamin dalam asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Janji-janji yang dibuat itu kemudian mengikat mereka dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka. Menurut KUHPerdata suatu perjanjian valid dan mempunyai kekuatan mengikat apabila telah memenuhi empat syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), yaitu: a) kesepakatan (the mutual consent of the parties); b) kecakapan (a capacity to contract); c) hal tertentu (a subject certain); dan d) sebab yang halal (a legal cause).59 Pada saat perjanjian itu sah maka perikatan itu mengikat pada pihak yang membuatnya. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata: Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan kesepakatan para pihak atau karena alasan yang dinyatakan oleh undang-undang. Apabila ada salah satu pihak yang tidak menghormati janji-janji (kewajiban) berarti ada pihak yang kepentingannya dilanggar maka hukum memberikan perlindungan atas kepentingan para pihak yang dilanggar janjinya tersebut. Kepentingan yang dilindungi dalam hukum kontrak adalah kepentingan 57
Salim HS, H.Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 8 58
Ibid, hal. 9
59 Keempat syarat tersebut dibedakan menjadi syarat subyektif (kesepakatan dan kecakapan) dan syarat obyektif (hal tertentu dan sebab yang halal). Pengolongan tersebut memiliki arti, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka akibatnya perjanjian tersebut “dapat dibatalkan”. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut “batal demi hukum”
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
38
ekonomi. Tanggung jawab ini lahir dari adanya pelanggaran terhadap sebuah perjanjian (breach of promises). Janji-janji dalam konsep hukum perikatan adalah prestasi. Rumusan prestasi dalam hukum perikatan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa: a. Memberikan sesuatu; b. Berbuat sesuatu; c. Tidak berbuat sesuatu. Dalam hukum perikatan, apabila salah satu pihak dalam kontrak tidak melaksanakan prestasinya maka dikatakan wanprestasi. Kata wanprestasi diresap dari kata wanprestasie (bahasa Belanda) diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai non-performance of contract atau breach of contract. Wanprestasi adalah keadaan dimana seseorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.60 Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan dimana pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi: a. Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan; b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak tepat seperti apa yang dijanjikan; c. Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian atau tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian) Konsekuensi keadaan wanprestasi adalah pihak yang dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi berupa penggantian kerugian dengan perhitungan-perhitungan tertentu berupa biaya, rugi dan bunga dan/atau pengakhiran kontrak. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat adanya wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah berkurangnya nilai kekayaan debitur sebagai akibat adanya wanprestasi dari pihak debitur. 60
P.N.H, Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum 1999) hal. 339.
Perdata Indonesia, (Jakarta:Jembatan, Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
39
Selanjutnya yang dimaksud dengan bunga adalah kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh kreditur karena tindakan wanprestasi dari debitur.61
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk: 1) pemenuhan perjanjian; 2) pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi; 3) ganti rugi 4) pembatalan perjanjian timbal balik; 5) pembatalan dengan ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KHPerdata.62 Sedangkan bentuk pernyataan lalai diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan: 1) Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan. 2) Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.63 3) Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi.
61
Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Cetakan ke-II. (Bandung: PT. Citra Aditya Bekti, 2001) hal.138 62
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps. 1243
63
Misalkan perjanjian dengan jangka waktu (fataal termijn) dan perjanjian yang prestasinya tidak berbuat sesuatu. Wanprestasi dalam perjanjanjian dengan jangka waktu, terjadi apabila waktu yang telah diperjanjikan telah dilampaui, sehingga dengan dilampauinya waktu tersebut otomatis terjadi wanprestasi, disini wanprestasi tidak perlu dinyatakan lagi karena demi perikatannya sendiri. Begitu pula dengan perjanjian yang prestasinya tidak berbuat seseuatu. Dengan dilanggarnya larangan dalam perjanjian maka pihak yang melanggar tersebut sudah dinyatakan wanprestasi. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
40
Peringatan (aanmaning) tidak perlu dilakukan dalam hal wanprestasi debitur dalam kondisi: a. Adanya fataal termijn: ketentuan batas waktu dalam perjanjian (Ps 1238 KUHPerdata) b. Jika prestasi berupa tidak berbuat sesuatu c. Jika debitur mengakui dirinya wanprestasi
Debitur memiliki kewajiban untuk mememuhi prestasi sebagaimana diperjanjikan, dan apabila debitur tidak memenuhinya maka ia dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam bentuk membayar ganti rugi kepada kreditur. Namun KUHPerdata memberikan pengecualiannya. KUHPerdata memberikan tiga alasan yang dapat digunakan oleh debitur yang dituduh lalai, yaitu: a) Force Majeure. Kadang kala suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan disebabkan diluar kontrol atau kekuasaan pihak yang berkewajiban. Kondisi ini disebut force majure, atau keadaan kahar, atau overmacht. Force majeure adalah keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk. 64 Di dalam KUHPerdata tidak ada definisi tentang overmacht, namun hanya memberikan batasan. Namun ketentuan mengenai keadaan force majeure yang dapat membebaskan debitur dari kewajiban untuk membayar ganti rugi dengan tegas diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. b) Kreditur sendiri telah lalai (exceptio non adimpleti contractrus) Dalam perjanjian timbal balik (bersegi dua), masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut bertindak sebagai kreditur dan debitur. Artinya masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang saling berkaitan, tidak dipenuhinya salah satu kewajiban salah satu pihak akan menyebabkan pemenuhan prestasi pihak lawan. Dalam perjanjian apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian (wanprestasi) maka timbullah hak untuk membatalkan perjanjian, namun hak itu 64
Fuady. op.cit. hal 113 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
41
hilang apabila pihak yang menuntut pembatalan tersebut juga melakukan wanprestasi.65 Misalkan dalam perjanjian jual beli, penjual menolak untuk melakukan penyerahan barang, karena si pembeli tidak membayar harganya. c) Kreditur telah melepaskan haknya. Kreditur dapat juga dikatakan telah melepaskan haknya untuk mengajukan gugatan ganti kerugian akibat wanprestasinya seseorang, apabila dengan persetujuannya atau dengan tindakannya. Dalam hal lepasnya hak kreditur dengan dilakukannya tindakan, si kreditur melakukan suatu tindakan yang menurut hukum tindakan tersebut merupakan “pelepasan” hak si kreditur. Misalkan dalam hal adanya cacat tersembunyi, dalam hal si kreditur membeli barang yang cacat tersembunyi, maka ia mempunyai hak untuk menuntut dengan dasar wanprestasi (wenprestasi khusus) kepada penjual, namun apabila si pembeli membeli kembali barang yang sama untuk kedua kalinya dimana pada barang tersebut terdapat cacat tersembunyi maka si pembeli telah melepaskan haknya untuk menuntut.
3.2.2. Tanggungjawab hukum berdasarkan perbuatan melawan hukum Tanggungjawab hukum berdasarkan wanprestasi bersumber dari adanya perjanjian (obligation by contract) sementara tanggungjawab hukum berdasarkan perbuatan
melawan
hukum
bersumber
dari
hukum/perundang-undangan
(obligation by law) dalam arti tidak ada hubungan kontraktual sebelumnya diantara para pihak. Disamping pembedaan tersebut secara ide kedua tanggung jawab tersebut sebenarnya berpusat pada permasalahan bagaimana melakukan perlindungan-perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan (interests) yang berbeda-beda dalam masyarakat yang dilindungi oleh hukum dan orang harus menghormati kepentingan-kepentingan tersebut bahkan memiliki kewajiban untuk menghormati (the duty of respect) terhadap kepentingan tersebut. Dalam konteks menghormati kepentingan tersebut maka pelanggaran terhadap kepentingan-
65
Harlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan; Buku Kedua, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 233. Mengutip pendapat Asser-Ruttern bahwa exceptio non adimpleti contractrus pada asasnya dapat diajukan mengingat bahwa dalam perjanjian timbal balik para pihak telah menjanjikan prestasi yang saling bergantung satu dengan lain. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
42
kepentingan yang dilindungi dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.66 Dalam mengkonstruksikan sistem dari hukum tentang PMH, maka dapat dipilih dari dua pendekatan awalnya. Pertama ada pendekatan dimana tort digunakan untuk perlindungan terhadap kepentingan (to protect the interest). Awal pendekatan dalam sistem ini adalah berawal dari membentuk atau menentukan interest. Kemudian pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi dikatakan sebagai tort. Umumnya ini diterapkan pada Negaranegara common law. Pendekatan kedua adalah dengan melakukan pendisainan norma atau tindakan umum yang kemudian pelanggaran terhadap norma tersebut dikatakan tort (to protect a general norm) umumnya ini diterapkan pada Negaranegara civil law. Pasal 1365 KUHPerdata merupakan norma umum dalam PMH sehingga pendekatan sistem dalam pengembangan sistem PMH dilakukan untuk melingungi norma umum. Perbuatan melawan hukum melindungi kepentingan terhadap pribadi dan harta penggugat.67 Misalkan kepentingan terhadap nama baik dan reputasi. Orang harus menghormati kepentingan atas nama baik dan reputasi apabila dilanggar oleh orang lain maka orang yang melanggar kepentingan tersebut berarti melanggar kewajiban (duty) dan dapat dikenakan pertanggungjawaban atas dasar penghinaan. Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih merupakan struktur norma dari pada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan materialisasi di luar KUH Perdata. Menurut Rosa Agustina dalam disertasinya tentang Perbuatan Melawan Hukum, dinyatakan bahwa PMH lahir karena adanya prinsip bahwa barang siapa 66
Fuady (1), op.cit., hal. 14. Menurut ajaran relativitas (teori schutznorm), bahwa dengan adanya kausalitas antara perbuatan dan kerugian seseorang tidak dapat langsung dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi, perlu dibuktikan juga bahwa norma atau peraturan yang telah dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi kepentingan korban. 67
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Edisi Pertama, Cetakan ke-6 (Jakarta:Kencana, 2009)., hal. 135. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
43
melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian tersebut (Pasal 1365 KUHPerdata). Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa “tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian”68
3.2.3. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Pengertian melawan hukum pada awalnya mengandung pengertian sempit namun sekarang pengertian meluas yang digunakan. Pengertian melawan hukum pada yang sempit tersebut dipengaruhi dari ajaran legisme. Berdasarkanfaham ini bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Sehingga pengertian onrechtmatigedaad
sama
dengan
perbuatan
melawan
undang-undang
(onwetmatigedaad). Terdapat tiga Arrest Hoge Raad yang memiliki nilai historis yang menggambarkan terhadap pemahaman istilah “melawan hukum”. Arest pertama adalah Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Arest kedua adalah Arrest Hoge Raad 10 Juni 1910 dalam perkara kasus Zutphenese Juffrouw. Arest ketiga adalah Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen. Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah”Singer” saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata (1401 B.W Belanda), Hoge Raad menolaknya karena pada waktu itu tidak ada peraturan perundang-undangan yang melindungi hak terhadap merek dagang.69
68
R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003) hal.346. 69
Djododirjdjo, op.cit., hal. 20 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
44
Dalam pertimbangannya Hoge Raad antara lain mengatakan, bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata karma dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Arest kedua Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphenese Juffrouw. Perkara yang diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah rumah bertingkat di kota Zutphen, dimana lantai bawah pada rumah tersebut dijadikan gudang. Karena iklim yang sangat dingin menyebabkan pipa air dalam gudang tersebut pecah, sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas. Kejadian tersebut terjadi pada malam hari, pemilik gudang mengetuk pintu kamar di atasnya namun penghuni di tingkat atas tersebut tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk tersebut dan menganggap mengganggu waktu istirahatnya; sekalipun kepadanya telah dijelaskan, bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk, akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang akibat tergenang air. Perusahaan asuransi telah membayar ganti kerugian atas rusaknya barang-barang tersebut dan selanjutnya menggugat penghuni rumah tingkat atas di muka Pengadilan atas dasar PMH. Hoge Raad memenangkan tergugat dengan alasan, bahwa tidak terdapat suatu ketentuan Undang-undang yang mewajibkan penghuni tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk guna kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda pada saat itu memandang perbuatan melawan hukum secara legistis.70 Pandangan legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen yang dikenal sebagai Drukkers Arrest. Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah membujuk karyawan percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy 70 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer perbuatan Melawan Hukum, cet. 1 (Bandung: Binacipta, 1991)., hal. 9. Bahwa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pada 11 Januari 1911 diajukan rancangan reqout untuk merubah dan menambah redaksi Pasal 1401 BW dengan perumusan PMH yang lebih luas, yaitu “perbuatan malawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang karena kesalahan para pembuat bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaaan baik atau kewajiban sebagai bapak rumah tangga yang baik” rancangan ini tidak disahkan sebagai undang-undang. Menurutnya rumusan ini kemudian dipertimbangkan dalam putusan Lindenbaum vs Cohen.
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
45
pesanan dari langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen untuk membayar ganti kerugian kepadanya. Gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (Rechtbank). Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan Putusan Pengadilan Negeri dengan pertimbangan, bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena Undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melawan hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan Hof tersebut atas dasar pertimbangan, bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dipandang secara sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak
dilarang
oleh
undang-undang,
sekalipun
perbuatan-perbuatan
ini
bertentangan dengan keharusan dan kepatutan, yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Pemahaman PMH di Indonesia didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan dikatakan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dan dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar ganti rugi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan Unsur perbuatan sebagai unsur yang pertama dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu perbuatan yang merupakan kesengajaan (dilakukan secara aktif) dan perbuatan yang merupakan kelalaian (pasif/tidak berniat melakukannya). b. Melawan Hukum Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kata “melawan hukum” sejak tahun 1919 di Belanda telah menganut pemahaman meluas setelah putusan Lindenbaum vs. Cohen. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar kaidah hak subyektif orang lain, tetapi juga perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
46
tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.
Dengan demikian unsur melawan hukum terpenuhi apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Bertentangan dengan hak subyektif orang lain; Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk of eens onders recht) adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak subyektif orang lain.
Berarti melanggar hak subyektif orang lain adalah melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Sifat hakekat dari hak subyektif adalah wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang yang memperolehnya demi kepentingannya.71
Karakteristik untuk hak subyektif seseorang adalah: a) Kepentingan yang mempunyai nilai tinggi terhadap yang bersangkutan. b) Pengakuan langsung terhadap kewenangan yang bersangkutan oleh suatu peraturan perundang-undangan. c) Suatu posisi pembuktian yang kuat dalam suatu perkara yang mungkin timbul
Hak Subyektif dalam masyarakat dikenal sebagai: a) Hak kebendaan yang absolut, misalnya hak milik; b) Hak-hak pribadi, seperti hak untuk mempunyai integritas terhadap jiwa dan kehidupan, kebebasan pribadi, kehormatan dan nama baik. c) Hak-hak istimewa, misalnya hak untuk menempati rumah oleh penyewa rumah. 71
Djojodirjo. Op.cit., hal. 36 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
47
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si Pelaku sendiri
Menurut pandangan yang berlaku saat ini, hukum diartikan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari norma-norma yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Yang dimaksud dengan suatu tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku adalah suatu tingkah laku yang bertentangan dengan suatu ketentuan undang-undang.
Yang dimaksud dengan undang-undang di sini adalah semua peraturan yang sah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan mempunyai daya ikat keluar.
3. Bertentangan dengan kesusilaan; Kaidah
kesusilaan
diartikan
sebagai
norma-norma
sosial
dalam
masyarakat, sepanjang norma tersebut diterima oleh anggota masyarakat sebagai/dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis.
Sebagai pertimbangan ialah kasus antara Lindenbaum vs. Cohen di mana perbuatan Cohen dinilai bertentangan dengan tata susila, ketika ia membujuk
karyawan
Lindenbaum
untuk
membocorkan
rahasia
perusahaannya.
4. Bertentangan dengan Kepatutan, Ketelitian dan Kehati-hatian (Patiha).
Dalam pengertian ini manusia harus mempunyai tenggang rasa dengan lingkungannya dan sesama manusia, sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain sehingga dalam bertindak haruslah sesuai dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang berlaku dalam masyarakat.
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
48
Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah 72: 1) Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak; 2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
Walaupun ketentuan mengenai patiha ini didasarkan pada kaidah tidak tertulis, namun dalam pengujiannya tetaplah merupakan pengujian normanorma yuridis di mana peraturan-peraturan tidak tertulis tersebut (norma) dihubungkan dengan karakter dari norma-norma hukum.
c. Kesalahan Unsur kesalahan pada suatu perbuatan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan unsur melawan hukum, unsur ini menekankan pada kombinasi antara kedua unsur di atas di mana perbuatan (yang meliputi kesengajaan atau kelalaian) yang memenuhi unsur-unsur melawan hukum. Unsur kesalahan dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang dinyatakan bertanggung jawab untuk akibat yang merugikan yang terjadi karena perbuatannya yang salah.
Berdasarkan undang-undang dan yurisprudensi suatu perbuatan agar dapat masuk dalam kategori melawan hukum maka harus ada unsur kesalahan (schuld) dalam melakukan perbuatan tersebut.73
d. Kerugian
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti rugi. Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Pasal 1371 ayat (2) KUH Perdata memberikan sedikit pedoman untuk itu dengan menyebutkan: “Juga
72
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta,1979), hal.82-83.
73
Wirjono Prodjodikro, Perbuatan Melanggar Hukum, cet. I, (Bandung: Mandar Maju, 2000)., hal.16. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
49
penggantian kerugian ini di nilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”. Pedoman selanjutnya dapat ditemukan pada Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan: “Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”.
Dalam hukum perdata dipersoalkan apakah ada perbedaan pengertian antara kerugian sebagai akibat suatu perbuatan melawan hukum disatu pihak dan kerugian sebagai akibat dari tidak terlaksananya suatu perjanjian di lain pihak. Pasal 1365 KUH Perdata menamakan kerugian akibat perbuatan melawan hukum sebagai akibat “scade” (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 KUH Perdata di namakan “Kosten, scaden en interessen” (biaya, kerugian dan bunga).
e. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan dan Kerugian Ada dua ajaran yang berkaitan dengan hubungan kausal, yaitu : 1. Teori Conditio Sine Qua Non (Van Buri) Inti dari ajaran ini yaitu: tiap-tiap masalah, yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu akibat, adalah sebab dari akibat. 2. Teori Adaequate Veroorzaking (Von Kries). Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk menentukan “perbuatan yang seimbang” adalah perhitungan yang layak, yaitu menurut akal sehat patut dapat diduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat tertentu.
3.3. Perbandingan PMH Sebagai perbandingan, pengaturan PMH di Belanda diatur dalam Pasal 6:162 ayat (1) (baca: buku 6, Pasal 162 ayat (1)): “A Person who commits a tort against another which is attributable to him, must repair the demages suffered by the other consequence thereof.” [Seseorang yang melakukan PMH kepada orang lain yang dapat Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
50
dikaitkan kepadanya, harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain itu sebagai konsekuensinya, terjemahan penulis] Dengan demikian apabila seseorang melakukan suatu PMH kepada orang lain yang diakibatkan oleh dia, harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang lain tersebut sebagai konsekuensinya. Berdasarkan pasal terebut maka suatu perbuatan dikatakan PMH apabila memenuhi unsur: a. melawan hukum b. menimbulkan kerugian c. diakibatkan oleh pelaku tersebut. Kemudian Pasal 6:612 (2) Nieu BW Belanda, dirumuskan bahwa PMH (unlawful act/onrechtmatige daad) adalah: a. pelanggaran sebuah hak (violation of a right); b. suatu tindakan atau penghilangan/kelalaian pelanggaran suatu tugas/kewajiban
yang dikenakan oleh hukum (an act or omission violating a statutary duty); c. suatu tindakan atau pelangaran atas suatu aturan hukum tidak tertulis
mengenai perilaku sosial yang pantas (an act or omission violating unwritten, societal norms of propriety). Sementara konsep PMH ada juga yang mendasarkannya pada konsep kelalaian (negligence). Menurut Munir Fuadi, suatu perbuatan dianggap kelalaian, haruslah memenuhi pokok-pokok sebagai berikut: 1) Adanya perbuatan atau mengabaikan suatu yang semestinya dilakukan; 2) Adanya suatu kewajiban kehati-hatian tersebut; 3) Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut; 4) Ada kerugian bagi orang lain; 5) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan. 74
74
Fuady, loc.cit. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
51
Table 3.1 Perbandingan PMH dan Tort75
Variabel 1. Pengertian
PMH (unlawful act) Pasal 1365 KUHPerdata: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.
2.
Kualifikasi
Secara eksplisit kualifikasinya hanya berdasarkan atas kesengajaan atau karena kelalaian, namun tidak ada pembedaan konsekuensinya secara tegas.
Tort Tort is wrong. Tort law protects a variety of injuries and provide remedies for them.
Kualifikasi dalam Tort, mencakup: (i) intentional tort; (ii) negligence; dan (iii) strict liability.
3.
Unsur/Elemen
Unsur-unsur 1365 PMH:
Element of Tort:
(a) perbuatan tersebut melawan hukum;
1. 2. 3. 4.
harmful/injuries/damages; causation; duty of care; breach of duty.
monetary damages (compensatory damages / nominal damages); punitive damages/ examplary damages.
(i)
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; (ii) bertentangan dengan hak subyektif orang lain; (iii) bertentangan dengan kesusilaan; dan (iv) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. (b) harus adanya kesalahan pada pelaku; (c) harus ada kerugian, dan (d) harus ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
4.
Bentuk Ganti Rugi / Jenis Kompensasi
Ganti rugi (materil dan immateril), yang dapat dimintakan: 1) 2)
penggantian biaya-biaya yang telah dikeluarkan; nilai kehilangan keuntungan yang seharusnya didapat (economic loss), dan nilai ganti rugi yang ditimbulkan kepada pihak ketiga.
75
Edmon Makarim, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hal 177-178. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
52
5.
Pembelaan
6.
Beban Pembuktian
Alasan pembenar: Force Majeure / Overmacht, Keadaan yang Memaksa / Darurat (noodtoestant) Bela Paksa Karena Melaksanakan UU Karena Menjalankan Perintah Atasan.
Pada prinsipnya Pasal 1865 KUHPerdata menganut prinsip liability based on fault, sehingga penggugat yang harus membuktikan. Kecuali dinyatakan lain oleh UU yang khusus. (contoh UU Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan Konsumen).
Force Majeure Contributory Negligence Misuse Mistake
Pada Penggugat Pada Tergugat (tergantung kualifikasinya)
Strict liability dalam KUHPerdata hanya diterapkan dalam Pasal 1367, 1368 dan 1369 KUHPerdata.
Menurut Robert L. Rabin, sebagaimana dikutip oleh Mas Achmad Santosa dalam tulisannya, bahwa dalam sistem Anglo Saxon, teori pertanggungjawaban yang sangat dominan adalah negligence. Yurisprudensi Pengadilan di New York (1873) dalam kasus Losee v. Buchanan, mengariskan “tiada satupun yang dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kerugian seseorang ataupun kebendaan tanpa adanya unsur kesalahan (fault atau negligence) di pihak tergugat”.76 Konsep pertanggungjawaban strict liability sudah dikenal sejak lama, namun dalam perkembangannya
konsep
negligence
lebih
dominan
sebagai
bentuk
tanggungjawab.77 Alasan penerimaan konsep tanggungjawab negligence sebagai bentuk tanggungjawab dominan adalah alasan moral. Bahwa tidak seorang pun dapat dimintakan tanggungjawab jika tidak terdapat unsur kesalahan (no liability without fault). Definisi Strict liability menurut Nolo’s Plain-English Law Dictionary
76
Mas Achmad Santosa, “Essensi Penerapan Asas Tanggungjawab Mutlak (strict liability) dalam Konteks Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia”. Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun II No. 1/1995, hal.54. 77
Mas Achmad Santosa, et. all, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (strict liability) di Bidang Lingkungan Hidup, Cet 1 (Jakarta: Indonesian Center fir Environment Law,1997), hal. 18. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
53
“Automatic responsibility for damages due to manufacture or use of equipment or materials that are inherently dangerous, such as explosives, animals, poisonous snakes, or assault weapons. A person injured by such equipment or materials does not have to prove the manufacturer or operator was negligent in order to recover money damages.”78
Tanggung jawab Strict liability bermula dari kasus Ryland v. Fletcher, pada tahun 1868 di Inggris.79 Kasus ini adalah kasus hukum lingkungan dimana penggugat adalah pelaksana kegiatan penambangan batu bara di bawah tanah yang lokasi penambangannya berdekatan dengan tanah di tergugat yang digunakan sebagai tempat pembangunan sebuah waduk (reservoir) guna menyuplai air bagi kegiatan mesin penggilingannya. Pembangunan waduk dilaksanakan oleh insinyur dan kontraktor yang berkompeten. Kegiatan penggalian tanah oleh kontraktor sampai pada perbatasan tanah bagian bawah. Baik si tergugat maupun kontraktornya tidak menyadari bahwa sisi perbatasan tersebut merupakan bekas kawasan tambang yang dikerjakan oleh si Penggugat. Setelah waduk selesai dan kemudian di isi dengan air, beberapa hari kemudian waduk tersebut jebol dan mengenangi kawasan tambang milik penggugat. Penggugat menuntut ganti kerugian. Putusan pengadilan tingkat pertama (the Court of Exchequer) memenangkan pihak tergugat. Pertimbangannya adalah bahwa dalam diri tergugat tidak terdapat unsur kelalaian. Pengadilan tingkat banding (Court of Court of Exchequer Chamber) gugatan penggugat diterima dan tergugat dinyatakan bersalah. Pendapat pengadilan Banding:80
“bahwa setiap orang demi kepentingannya membawa, mengumpulkan dan menyampaikan segala sesuatu di atas tanahnya yang dapat merugikan pihak lain, wajib memelihara benda itu. Jika ia Jika ia tidak mampu melakukannya, maka ia bertanggungjawab atas akibat-akibat yang ditimbulkannya. Ia hanya dapat bebas, jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul akibat dari kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana alam.” 78
http://www.nolo.com/dictionary/strict-liability-term.html, diakses 24 November 2010.
79
Santosa, loc. Cit. hal. 18
80
Ibid. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
54
House of Lord, pengadilan tingkat kasasi di Inggris dalam putusannya:
“We think that the true rule of law is, that the person who for his own purposes brings on his lands and collects and keeps there anything likely to do mischief if it escapes, must keep it in at his peril, and, if he does not do so, is prima facie answerable for all the damage which is the natural consequence of its escape.”81 Atas kasus tersebut Koch, B.A./Koziol, H berpendapat bahwa:
“As a first observation, it is necessary to point out that strict liability in most jurisdictions predominantly seems to be based on singular rules rather than general or at least broader clauses. This is particularly noteworthy for civil law countries. While Austrian courts, for example, (cautiously) apply existing strict liability laws analogously (which reduces problems of tardy), German and Swiss practice so far deny the possibility of extending such statutory rules at all. French law, on the other hand, not only has a clause which (at least in today’s understanding) introduces general liability for ‘deeds of the things within one’s keeping’ (the famous Art.1384 subs. 1 Code Civil), courts furthermore seem to be quite open for an extensive application of other rules (such as the loi Badinter).”82 Menurut L. B. Curzon ada tiga alasan adanya aturan strict liability, yaitu: a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahtraan masyarakat; b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit untuk penggaran yang berhubungan dengan kesejahtraan masyarakat; c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.
Dewasa ini, strict liability masuk dalam konsep hukum tentang tort secara umum (the tort law in general). Perbuatan melawan hukum menurut sistem hukum common law dapat dibagi menjadi tiga perbuatan: a. Intentional Torts: suatu tort yang mensyaratkan bahwa pelaku mempunyai kesengajaan yang menyebabkan kerugian (injury) dan itu dapat dianggap perbuatan melawan hukum. 81
[1868] Lloyds’ Rep. 3 H.L. 330. Lihat juga Vandall, Frank J., Strict Liability: Legal and Economic Analysis (1989), pp. 1-12 82
Koch, B.A./Koziol, H. (eds.), Koch, B.A./Koziol, H. (eds.), Unification of Tort Law: Strict Liability (2002) p. 395-396 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
55
b. Negligent Torts: sikap tindak yang dilakukan secara unreasonably yang mengakibatkan kerugian kepada pribadi sesorang atau kebendaan seseorang. c. Strict Liability Torts: Behavior that is tortious because it causes unlawful personal/property damage to another, regardless of fault, reasonableness.
Perbedaan secara prinsip dari ketiga bagian khusus dari tort tersebut, pertama apabila dikatakan intentional torts maka sikap tindak yang menimbulkan kerugian dilakukan dengan kesengajaan (intentional). Sehingga dalam konsep sistem hukum common law apabila sebuah tindakan tort dilakukan secara sengaja maka pelakunya dapat dimintakan punitive damages. Hal ini secara prinsip akan bersinggungan dengan pidana. Namun perbedaannya adalah bahwa pidana lebih melanggar hukum tertulis (asas legalitas), sementara intentional torts dapat melanggar hukum tidak tertulis. Kedua, dalam Negligent Torts, bahwa tindakan seseoarang itu dilakukan dengan kesalahan dalam arti kelalaian (negligence) dan unsur yang membatasi adalah adanya kesalahan dan unsur kausalitas. Artinya bahwa kedua unsur ini adalah mutlak harus dibuktikan. Ketiga, dalam strict liability, dikatakan apabila ada kerugian yang ditimbulkan, maka orang tersebut wajib membayar ganti rugi tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahannya. Namun demikian prinsip ini ada pembatasanya yaitu bahwa antara perbuatan dan kerugiannya tersebut ada hubungan kausalitas. Ada sebagian orang mengartikan strict liability sebagai tanggung jawab mutlak. Penterjemahan tersebut tidak tepat karena akan mencampuradukan dengan konsep tanggung jawab mutlak (absolute liability). Oleh
karena itu
sekarang strict liability diterjemahkan tanggung jawab ketat, dan absolute liability diterjemahkan tanggung jawab mutlak. Mengenai apakah strict liability dan absolute liability adalah sama atau berbeda, ada pendapat yang berbeda. Ada pihak yang beranggapan bahwa kedua konsep itu sama saja, sebagai sama-sama konsep tanggung jawab tanpa kesalahan. Disisi lain ada yang berpendapat bahwa bahwa kedua konsep tersebut berbeda. Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia mengandung konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Dimana dalam kerangka norma Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
56
dalam pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara kumulatif kelima unsur yang dikatakan perbuatan melawan hukum. Artinya unsur adanya (1) perbuatan, (2) melawan hukum, (3) kesalahan, (4) kerugian, dan (5) hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian harus dapat dibuktikan semuanya, baru seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas dasar PMH. Pertanggungjawaban hukum strict liability walaupun tidak dikenal dalam hukum perlindungan konsumen, namun dikenal dan digunakan dalam hukum penerbangan dan hukum lingkungan. Hukum Lingkungan Indonesia mengenal dan
mengadopsi
konsep
strict
liability.
Diterapkannya
konsep
pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.83 Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pun mengadopsi sistem pertanggungjawaban strict liability sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 62 dan Pasal 240. Tanggung Jawab Produk (Product liability) di beberapa sistem hukum berbeda-beda penerapannya. Ada yang menerapkan tanggung jawab atas produk berdasarkan kesalahan. Artinya pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawab apabila memang dapat dibuktikan bahwa ada kesalahan. Namun ada juga yang menerapakan tanggung jawab pelaku usaha pembuat (produsen), menggunakan tanggung jawab strict liability, terhadap barang yang diproduksinya. Dengan demikian pelaku usaha akan bertanggung jawab terhadap kerugian (injuries) yang disebabkan atas produk yang cacat (defect). Konsep Product liability mengacu pada kewajiban setiap atau semua pihak sepanjang rantai pembuatan produk apapun atas kerusakan yang disebabkan oleh produk tersebut. Pengertian product liability (produk cacat) menurut Black's Law Dictionary Product liability sebagai “a manufacturer’s or saller’s tort liability for demages or injuries suffered by buyer, user, or bystander as a result of defective product”84
83
Pasal 88 UU Lingkungan Hidup, selengkapnya berbunyi “ setiap orang yang tidakannya, usahanyanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” 84
Garner A Bryan, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (Minnesota: West Group, 1999) p. 1245. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
57
Dengan demikian tanggung jawab terhadap produk adalah tanggung jawab secara hukum dari produsen dan penjual untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pembeli, pengguna ataupun pihak lain, akibat dari cacat dan kerusakan yang terjadi karena kesalahan pada saat mendapatkan barang, khususnya jika produk tersebut dalam keadaan cacat yang berbahaya bagi konsumen dan pengguna. Secara konsep product liability dapat dimintakan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (negligence), strict liability dan pelanggaran terhadap warranty of fitness tergantung yurisdiksi dimana klaim product liability itu diajukan.85 Misalkan di Amerika serikat dan negera-negara Uni Eropa menggunakan strict liability dalam tanggung jawab produknya. Restatement of Torts dan EC Directive of Product liability menggunakan istilah strict product liability artinya bahwa mereka menggunakan prinsip pertanggung jawab strict liability dalam tanggung jawab produk. Penggunaan istilah strict product liability, memiliki perbedaan namun perbedaaan tersebut tidak siginifikan. Pembedaan tersebut hanya membatasi bahwa product liability hanya terbatas pada “barang” sedangkan strict liability sebagai memiliki lingkup yang lebih luas yaitu mengenai barang dan jasa. Dengan demikian di Amerika Serikat, product liability merupakan bagian dari strict liability. Prinsip pertanggung jawab hukum terhadap product liability di Indonesia yang dianut adalah prinsip praduga lalai (presumed liability) atau prinsip praduga pertanggungjawaban hukum dengan pembuktian terbalik.86 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 22 dan Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen. Bahwa dalam Pasal tersebut, secara eksplisit hukum perlindungan konsumen kita menganut sistem pembuktian terbalik.87 Sehingga dapat dilihat bahwa bahwa strict liability tidak diterapkan dalam tanggung jawab terhadap produk di Indonesia. Prinsip tanggung jawab yang digunakan 85
“products liability law: an http://topics.law.cornell.edu/wex/Products_liability, diakses 02 Desember 2010. 86
overview”
Inosentius Samsul, Op.cit., hal. 67.
87 Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen selengkapnya berbunyi “ Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian terbalik”, Rumusan lengkap Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen, “ Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
58
adalah tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability base on fault) karena masih mensyaratkan
pembuktian
unsur
kesalahan
di
pengadilan.
Pembuktian
unsur
kesalahannya dapat menggunakan sistem pembuktian terbalik.
3.4. Perbedaan antara tanggungjawab dengan dasar perbuatan melawan hukum dan tanggung jawan berdasarkan wanprestasi Kontrak adalah hukum mengenai kesepakatan (the law of deals) sementara perbuatan melawan hukum adalah hukum mengenai kewajiban (the law of duties). Lahirnya tanggung jawab hukum berdasarkan wanprestasi diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu Ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Sementara tanggungjawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan hukum yang bersumber pada undang-undang. Dengan demikian tanggungjawab hukum berdasarkan wanprestasi bersumber dari adanya perjanjian (obligation by contract) sementara tanggungjawab hukum berdasarkan perbuatan melawan hukum bersumber dari hukum/perundang-undangan (obligation by law). Baik tanggungjawab dengan dasar PMH dan wanprestasi sanksinya adalah ganti rugi, namun ada perbedaan diantara keduanya. Tujuan atau akibat akhir dari PMH adalah ganti rugi tersebut merupakan pemulihan keadaan seperti semula sebelum terjadinya perbuatan yang melawan hukum tersebut. Sedangkan tujuan atau akibat akhir dari ganti rugi dalam wanprestasi adalah ganti rugi tersebut merupakan “pelaksanaan prestasi” dari pihak debitur. Dapat pula diartikan bahwa ganti rugi dalam wanprestasi dimaksudkan agar para pihak melakukan “pembayaran” tetap waktu (on time payment). Mengenai tujuan ganti rugi antara PMH dan Wanprestasi, Suharnoko berpendapat bahwa
“(…) tujuan gugatan wanprestasi adalah menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian itu terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have been in had the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah expectation loss atau winstderving. Sedangkan Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
59
tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian nyata atau reliance loss.”88 Penggabungan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Ingkar Janji tidak dapat dilakukan hal ini sebagai mana diatur dalam yurisprudensi Putusan MARI No.1875 K/Pdt/1984 “Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata tidak dibenarkan digabungkan dengan Perbuatan Ingkar Janji (wanprestasi) berdasarkan 1365 KUHPerdata dalam satu gugatan menurut tertib beracara perdata, keduanya harus diselesaikan secara tersendiri.” 3.5. Pertanggungjawaban Vicarious Liability Secara umum seseorang hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tetapi dalam hukum juga dikenal konsep bahwa seseorang bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain, undang-undang mengatur dan menetapkan siapasiapakah yang dipandang bertanggung jawab sebagai pembuat. Konsep mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain dalam hukum dikenal dengan istilah Vicarious liability (atau disebut juga respondent superior atau let the master answer) Vicarious liability “the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another, as for example, when the acts are within scope of employment”89 Vicarious liability,
dalam black law diartikan sebagai “indirect legal
responsibility; for example, the liability of an employer for the acts of an employee, or a principal for torts and contracts of agent”90 Undang-undang dapat menentukan Vicarious liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut;
88
Suharnoko, loc.cit., hlm. 116.
89
L.B. Curzon, Criminal Law (London: Mac Donald & Evans Ltd 1973), hal.32-33
90
Hanry Campbell Black, Black Law Dictionary (St. Paul Minn: West Publishing Co. 1979), hal. 1404 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
60
a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila perbuatan itu telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Dalam hal ini dperlukan suatu syarat atau prinsip tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle) b. Seorang majikan dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan buruhnya atau pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servants act is the master’s act in law)
KUHPerdata juga menganut sistem pertanggungjawaban Vicarious liability. Dalam KUHPer tanggung jawab terhadap PMH dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) tanggung jawab diri sendiri (Pasal 1365 KUHPerdata), 2) tanggung jawab terhadap orang-orang yang menjadi tanggungannya (Pasal 1367 KUHPerdata), yaitu tanggung jawab orang tua/wali, tanggung jawab majikan terhadap bawahan dan tanggungjawab guru, kemudian 3) tanggung jawab terhadap Gedung dan binatang yang ada dalam pengawasannya. Tanggung jawab majikan terhadap bawahannya apabila dilihat dalam Pasal 1367 KUHPerdata ayat ke (5).
“(…) tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orang-tua, waliwali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.”91 Pasal tersebut merupakan pengecualian dari tanggung jawab vicarious liability di Indonesia. Namun untuk hubungan majikan dan bawahannya tidak ada pengecualiannya dari pembuat undang-undang. Hubungan majikan dan bawahan adalah hubungan “trust” sehingga majikan dianggap selalu bertanggungjawab terhadap bawahan sepanjang bahwa kesalahan itu dapat dibebankan kepada bawahannya. Artinya sepanjang kesalahan tersebut dapat dikenakan kepada
91
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Bugerlijke Wetboek], op. cit., Ps. 1233 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
61
bawahannya maka majikan selalu bertanggung jawab, kecuali bawahan tidak dapat dikenakan tanggung jawab, misalkan karena adanya overmacht, maka si majikan pun dibebaskan dari tanggung jawab. Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Karena menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu pekerja atau kelompok pekerja bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh para pekerjanya.
Latar belakang penerapan
konsep ini adalah bahwa dibalik dinding, suatu korporasi itu adalah sebagai satu kesatuan.
3.6. Alasan pembenar (Rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf PMH Seperti juga dalam tindak pidana, meskipun terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) seseorang tidak dapat dituntut jika ada alasan yang membenarkan tindakannya. Alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan itu, yaitu:
3.6.1. Alasan pembenar berdasarkan undang-undang. a. Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 1245 KUHPerdata;)
Force Majeure (overmacht) bukanlah merupakan terminologi yang asing di kalangan komunitas Hukum. Frasa Force Majeure sendiri diambil dari bahasa Perancis yang “ secara harafiah berarti “Kekuatan yang lebih besar atau "greater force”.92 Istilah ini merupakan salah satu klausula yang umum dan penting dalam hukum. Keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban
92
“Force majure “ http://www.library.yale.edu/~llicense/forcegen.shtml, diakses 10 November 2010. Lihat juga Oxford Elizabeth A. Martin, Oxford, Dictionary of Law, Fifth Edition, hlm. 207 “force majeure (French) Irresistible compulsion or coercion. The phrase is used particularly in commercial contracts to describe events possibly affecting the contract and that are completely outside the parties' control. Such events are normally listed in full to ensure their enforceability; they may include *acts of God, fires, failure of suppliers or subcontractors to supply the supplier under the agreement, and strikes and other labour disputes that interfere with the supplier's performance of an agreement. An express clause would normally excuse both delay and a total failure to perform the agreement.” Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
62
membayarkan ganti rugi.93 Di dalam KUHPerdata tidak ada definisi tentang overmacht, namun hanya memberikan batasan. Sehingga dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan, yaitu suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti kerugian.94 Ciri-ciri dari overmacht, yaitu:95 a. Suatu hal yang tidak terduga sesuai dengan Pasal 1244 KUHPerdata. b. Keadaan memaksa sesuai dengan Pasal 1245 KUHPerdata. c. Diluar salahnya si berutang sesuai dengan Pasal 1444 KUHPerdata.
Elemen
keadaan
memaksa
(overmacht)
berdasarkan
Pasal
1244
KUHPerdata adalah: 96 a. Tidak memenuhi prestasi. b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur. c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Macam-macam keadaan memaksa didasarkan pada 2 (dua) teori, yaitu: 97 a. Mutlak/absolute/objektif,
yaitu
suatu
keadaan
memaksa
yang
menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun juga tidak mungkin dilaksanakan. Unsur yang muncul dalam overmacht jenis ini adalah unsur ketidakmungkinan (impossibility). 93
R. Subekti (1), op.cit., hal. 55.
94 Raharjo handri, Buku pintar transaksi jual beli dan sewa menyewa, cet. Kesatu (Jakarta:Penerbit Pustaka Yustisia, 2010), hal. 103. 95
Ibid., hal. 105.
96
Ibid., hal. 104.
97
Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hal. 37. Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
63
b. Relatif/nisbi/subjektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan dengan pengorbanan yang besar sehingga tidak lagi pantas pihak kreditur menuntut pelaksanannya. Unsur yang terdapat dalam bentuk overmacht ini adalah unsur difikulitas. Menentukan overmacht relatif ada 2 (dua) ukuran yang digunakan, yaitu: 1) Subjektif: dilihat orang perorangan, misalnya si A takut pada ulat. 2) Objektif: dilihat pada umumnya, misalnya semua orang takut pada Tuhan. b. Pembelaan terpaksa (noodweer); Istilah pembelaan terpaksa dalam bahasa Belanda ialah noodweer. Untuk dikatakan pembelaan terpaksa: 1) Pembelaan itu bersifat terpaksa. 2) Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilan, atau harta benda sendiri atau orang lain. 3) Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu. 4) Serangan itu melawan hukum.
c. Melaksanakan undang- undang; Apabila ada kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, maka orang atau badan yang melakukan PMH dapat dibebaskan dari tanggungjawab PMH. d. Perintah atasan.98
3.6.2. Alasan pembenar tidak berdasarkan undang-undang Dasar-dasar pembenar yang menghapus sifat Perbuatan Melawan Hukum tidak berdasarkan Undang-Undang , yaitu: a. Adanya persetujuan dari orang yang merasa di rugikan apakah secara tegas atau secara diam-diam. Misalkan, Si Pemilik seekor anjing mengizinkan atau membiarkan anjingnya di tembak oleh seseorang yang memiliki senjata api, karena ternyata anjingnya menderita penyakit rabies.
98
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, cet. I, (Bandung Binacipta, 1991)., hal. 15- 17 Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.
64
b. Menderita atau menaggung resiko sendiri, misalkan Seseoarang yang berani naik jet coaster pada Taman Hiburan A, kemudian ternyata dia menjadi sakit jantung karena ketakutan, kemudian menuntut Taman Hiburan A, orang ini dianggap telah menerima resiko ketika menaiki jet coster dan Taman Hiburan A tidak dapat disalahkan.
Selain
alasan
pembenar
di
atas,
ada
juga
alasan
pemaaf
(schulduitsluitingsgronden), yaitu hal-hal yang menghilangkan sifat bersalah dari pelaku, sehingga pelaku tidak dapat dapat dimintai pertanggungjawaban. Alasan pembenar di atas juga dapat menjadi alasan pemaaf.
3.6.3. Akibat terpenuhinya unsur pembenar dalam PMH: Terpenuhinya salah satu alasan pembenar dalam PMH baik yang berdasarkan undang-undang atau alasan pembenar tidak berdasarkan undangundang berakibat: a. Tanggung jawab hapus seluruhnya/hapusnya pula kewajiban untuk mengganti kerugiaan b. Tidak berlaku surut c. Keadaan yang membenarkan harus mencangkup Perbuatan Melawan Hukumnya.
Universitas Indonesia
Mis-selling dalam..., Kiki Nitalia Hasibuan, FH UI, 2011.