BAB 3 ANALISIS DATA
3.1 Masuknya Agama Khonghucu di Indonesia Agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, yaitu sejak masuknya para pedagang atau para perantau China ke tanah air Indonesia. Dimana abad ke-3 Masehi pada masa Sam Kok, agama Khonghucu telah menjadi salah satu diantara tiga agama besar di China pada waktu itu, yaitu Khonghucu, Taoisme dan Budha. Lebih-lebih pada masa Dinasti Han dimana Khonghucu dijadikan sebagai agama negara (Tjhie Tjai Ing dalam: Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari Jati Diri,
1995: 41 dan Nahar Nahrawi, 2003: 19). Selain itu ideologi
Khonghucu ini dijadikan dasar dan fondasi bagi kerajaan Dinasti Han, kemudian kitab sucinya menjadi materi pokok ujian kerajaan sehingga hampir tiap orang disana merasa berkepentingan memahaminya (Hariyono, 1993: 19 dan Tjhie Tjai Ing dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995: 42). Pada saat itu orang-orang perantauan China datang ke kepulauan Nusantara ini secara individual sebagai pedagang, petani atau nelayan tanpa membuat komunitas sendiri, melainkan beradaptasi dengan masyarakat dan budaya setempat. Penyebaran agama Khonghucu tersebut lebih meluas ke Semenanjung Malaka dan kepulauan Nusantara, seperti di kota Banten, Sriwijaya, Cirebon, Demak, Tuban, Makasar, Ternate dan Kalimantan Barat (Nahar Nahrawi, 2003: 19).
Sebutan agama Khonghucu di Indonesia ini diberikan oleh para misionaris Barat, seperti Matteo Ricci yang datang ke China pada abad ke-17. Sedangkan di negara asalnya agama Khonghucu ini dikenal dengan sebutan Ru Xue ( 儒 学 ). Khonghucu atau Kong Fu Zi ini diambil dari ejaan Pin Yin (拼音) yang merupakan ejaan baku dari Bahasa China. Istilah Khonghucu atau Kong Fu Zi yang ada di Indonesia ini diambil dari dialek Hokkian (Fujian), dimana dialek Hokkian ini cukup berkembang baik di Pulau Jawa. Masuknya agama Khonghucu di Indonesia cukup diterima dengan baik oleh penduduk setempat, meskipun di dalam perjalannya mengalami sedikit hambatan. Ajaran Nabi Khongcu dijadikan sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara Indonesia. Agama Khonghucu dianggap layak sebagai agama, karena memiliki kitab suci (四书), nabi (Nabi Khongcu), percaya akan Tian (Tuhan Yang Maha Esa), serta memiliki tata agama dan ibadah bagi pengikutnya (dimana kebaktian dilaksanakan setiap minggu di litang). Selain itu, sebagian besar orang China peranakan mempercayai ajaran Nabi Khongcu sebagai suatu agama. Mengenai masalah agama atau bukan, tergantung dari pemahaman masingmasing orang, ada yang memahaminya sebagai agama dan ada juga sebagai filsafat. Seperti penulis buku “The World Religions”, Huston Smith, yang memahami ajaran Nabi Khongcu sebagai agama, karena dia menganggap ajaran Nabi Khongcu tersebut ada unsur ke-Tuhanannya. Pada tanggal 18 Juni 1946 di Yogyakarta, terdapat Penetapan Pemerintah
tentang Hari Raya No. 2/OEM-46 yang ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia dan Menteri Agama pada waktu itu, yaitu hari wafat dan hari lahir Nabi Khongcu diakui sebagai hari besar umatnya. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya agama Khonghucu di Indonesia, berdiri pula lembaga-lembaga agama Khonghucu, seperti rumah abu untuk menghormati arwah leluhur dan klenteng-klenteng (Miao). Klenteng Thian Ho Kiong di Makasar telah didirikan pada tahun 1688. Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819 beserta rumah abunya (Kong Tik Su) yang didirikan tahun 1839. Klenteng-klenteng yang tua di pulau Jawa terdapat di Semarang, Tuban dan sebagainya. Pada tahun 1729, di Jakarta telah berdiri Shu Yuan, semacam pesantren yang memberikan pendidikan tentang agama Khonghucu yang bernama Ming Cheng Shu Yuan, yang artinya Taman Kitab (Akademi) Pendidikan Menggemilangkan Iman. Selanjutnya, terdapat Kitab Hikayat Khonghucu yang disusun oleh Lie Kiem Hok diterbitkan pada tahun 1886 di Jakarta, serta kitab suci Da Xue (大学) dan Zhong Yong (中庸) terjemahan Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang diterbitkan di Sukabumi pada tahun 1900 (Tjhie Tjai Ing dalam: Pergulatan Mencari Jati Diri, 1995: 42). Kemudian menjelang akhir abad ke XIX dan menjelang awal abad ke XX, orang China peranakan yang beragama Khonghucu mulai merasakan perlunya lembaga yang membina kehidupan agama Khonghucu secara lebih terorganisir. Oleh karena itu, mulailah berdiri organisasi-organisasi yang bernaung untuk mengurusi hal
tersebut. Organisasi tersebut terus berkembang hingga saat ini, dikenal dengan sebutan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). 3.2 Perkembangan Perhimpunan Agama Khonghucu Indonesia 3.2.1 Tiong Hoa Hwee Koan Menjelang abad ke-20, ketika negara China sedang mengalami kegoncangan, terutama setelah tentara Manchu menderita kekalahan dalam perang China-Jepang pada tahun 1894. Kekalahan ini disebabkan karena kebobrokan mental dan politik yang telah melanda pemerintahan. Pada waktu itu munculah seorang pemimpin yang bertekad menegakkan kembali Bangsa China, yaitu Kang You Wei (康有为) yang hidup pada tahun 1858-1927. Kang You Wei sejak kecil sudah hidup di lingkungan sarjana-sarjana Konfusianis. Ia memilih bentuk Reformasi untuk memperbaiki keadaan di China, dengan cara menjalankan dan menerapkan ajaran-ajaran Khonghucu dengan tepat. Semangat gerakan reformasi di China ini telah menyebar dan mempengaruhi daerah sekitarnya, khususnya kawasan Asia Tenggara. Kemudian berdirilah suatu perkumpulan Khonghucu di Singapura yang digunakan sebagai pusat oleh Kang You Wei ketika gerakannya mengalami kegagalan di China. Kehadiran Kang You Wei di Singapura ini membawa dampak yang sangat besar pada orang-orang China perantauan, baik itu di Singapura sendiri, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Hindia (Leo Suryadinata, 1988: 40). Pada tanggal 1 Maret 1900 semua pimpinan peranakan China berkumpul di
Batavia (sekarang Jakarta) untuk mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan Tiong Hoa Hwee Koan (中华会馆). Adapun tujuan utama dari didirikannya THHK ini adalah untuk memperbaharui adat istiadat China yang sudah keluar dari ajaran-ajaran yang telah dibawakan oleh Nabi Khongcu. Tujuan lainnya adalah untuk mempromosikan ajaran Khonghucu itu sendiri di kalangan masyarakat keturunan China yang sudah tidak bisa lagi berbahasa China. Untuk mewujudkan maksud dan tujuan tersebut, maka THHK mendirikan sekolah-sekolah guna memperlancar Bahasa China mereka yang didasarkan pada ajaran etika dari agama Khonghucu (Ikhsan Tanggok, 2005: 91-92). Buku pertama tentang agama Khonghucu dalam Bahasa Melayu Betawi (Jakarta) ditulis oleh Lie Kim Hok dan diterbitkan pada tahun 1886 di Jakarta. Ia adalah salah satu pendiri THHK, yang mengenyam pendidikan Belanda di sekolahsekolah misionaris Belanda di Jawa Barat. Kemudian pengetahuannya tentang budaya China, khususnya tentang budaya Khonghucu diperoleh melalui sumber-sumber berbahasa Belanda (Leo Suryadinata, 1988: 43). Hal ini dikarenakan ia tidak dapat membaca huruf China, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekurangannya ini dapat memperkecil pengetahuan mengenai budaya China tersebut yang berasal dari sumber asli yang berbahasa China. Setelah diterbitkan buku karangan dari Lie Kim Hok tersebut, mulailah bermunculan beberapa buku dan mingguan lain tentang agama Khonghucu. Kemudian pada tahun 1900 dua orang China peranakan, yaitu Tan Ging Tiong dan Yoe Tjai Siang
menerbitkan terjemahan kitab Da Xue (大学) dan kitab Zhong Yong (中庸) dalam Bahasa Melayu (Leo Suryadinata, 1988: 43). Alasan mengapa perlu diterjemahkannya kitab Khonghucu tersebut ke dalam Bahasa Melayu adalah orang China peranakan pada saat itu umumnya sudah tidak paham lagi dengan Bahasa China. Orang China peranakan pada saat itu sudah berbaur dengan situasi dan budaya masyarakat setempat serta sedikitnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan berbahasa pengantar China. Berdirinya organisasi THHK ini didasarkan pada ajaran Khonghucu dan adapun salah satu tujuannya adalah untuk memperbaharui adat istiadat orang China peranakan terutama di Pulau Jawa. Meskipun demikian, gerakan reformasi China di Jawa ini sedikit mengalami hambatan. Hambatan ini terjadi terutama ketika mereka berhadapan dengan orang China totok yang tua yang lebih tertarik pada kepercayaan keagamaan tradisional dan menyembah berbagai dewa di klenteng daripada Nabi Khongcu. Selain itu, orang China peranakan seperti yang disebutkan diatas umumnya sudah tidak lagi paham akan Bahasa China. China totok adalah merujuk pada kalangan China kelahiran di China, tetapi menetap di Indonesia. Kalangan totok masih berbicara dalam dialek China. Keturunan dekat mereka, meskipun kelahiran Indonesia, dianggap totok jika bahasanya masih China (Ikhsan Tanggok, 2005: 94). Ketika THHK didirikan, Lie Kim Hok berusaha mewujudkan keinginannya untuk membentuk sebuah organisasi yang dapat menyebarkan agama Khonghucu. Itulah sebabnya mengapa THHK kemudian didirikan atas dasar agama Khonghucu.
Lie Kim Hok dikenal sebagai seorang jurnalis, pengarang dan penyair. Ia belajar agama Kristen pada seorang pendeta yang telah membuka sekolah misi Bahasa Sunda di Biutenzorg dan pada D.J. Van den Linden yang mengajar Bahasa Melayu di sekolah tersebut, dapat dikatakan pemahamannya tentang agama Kristen lebih menonjol. Meskipun demikian, Lie Kim Hok tidak menjadi seorang Kristen. Sebaliknya, ia bersama dengan teman-temannya mendirikan THHK (Ikhsan Tanggok, 2005: 95-96). Ajaran-ajaran Khonghucu tidak hanya dimanfaatkan untuk memperkenalkan berbagai informasi tentang ajaran-ajaran Khonghucu tetapi juga untuk dijadikan suatu badan dari ilmu pengetahuan agama untuk orang-orang China peranakan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, didirikanlah sekolah-sekolah dengan guru-guru terbaik untuk mengajarkan anak-anak China peranakan Bahasa China. Untuk memperoleh guru-guru yang memenuhi syarat dalam mengajarkan Bahasa China di sekolah-sekolah yang dikelola oleh THHK dibantu oleh Dr. Lim Boen Keng, penyelenggara dari pergerakan agama Khonghucu. Untuk mencapai tujuan sebaik mungkin, selain melalui pendidikan di sekolahsekolah, sarana lain yang dipilih adalah berupa penerbitan majalah-majalah. Melalui media massa inilah ajaran Khonghucu disebarkan ke wilayah yang lebih luas. Adapun media massa yang dimaksud adalah: majalah mingguan Li Po (理报) tahun 1901 di Sukabumi, disusul oleh majalah Ik Po (益报) tahun 1903 di Surakarta, kemudian Ho Po (和报) di Bogor dan Loen Boen (论文) tahun 1930 di Surabaya (Leo Suryadinata, 1988: 43).
Dalam perkembangannya, dunia pendidikan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan yang lain. Kemudian THHK semakin disibukan dengan urusan pendidikan, sehingga di kemudian hari THHK nampak menonjol sebagai perkumpulan sosial yang mengurus bidang pendidikan (Leo Suryadinata, 1988: 55). Asosiasi THHK ini mulai menghilang atau lenyap setelah tahun 1965, hal ini disebabkan karena situasi politik yang kurang mendukung. 3.2.2 Khong Kauw Hwee Perkembangan THHK seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu lebih cenderung hanya menggeluti masalah pendidikan umum, hal-hal yang berkaitan dengan masalah agama Khonghucu mulai terabaikan. Oleh karena itu, seksi keagamaan dalam tubuh THHK berkembang dan memisahkan diri, selanjutnya mendirikan sebuah lembaga agama di Solo yang diberi nama Khong Kauw Hwee (孔 教会) pada tahun 1918. Kemudian di banyak tempat mulai berdiri Khong Kauw Hwee, karena itu pada tahun 1923 diadakan Kongres di Yogyakarta dan dibentuk Khong Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao Zong Hui atau Majelis Pusat Agama Khoghucu), serta menetapkan kota Bandung sebagai pusat lembaga tersebut. Khong Kauw Hwee memandang Khongcu sebagai seorang Nabi dan karya-karya klasik Khongcu dianggap sebagai kitab suci agama Khonghucu. Kendala yang sama dengan yang dialami oleh THHK, yaitu kebanyakan orang China peranakan sudah tidak dapat membaca Bahasa China lagi, maka dengan alasan yang sama Khong Kauw Hwee menerjemahkan karya klasik Khonghucu tersebut ke dalam Bahasa Melayu. Kitab-kitab yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Melayu antara lain adalah kitab Da Xue (大学), kitab Zhong Yong (中 庸) dan kitab Xiao Jing (孝经) (Leo Suryadinata, 1988: 55 dan MATAKIN, 2005: 1213). Terdapat ide pembaharuan dari Khong Kauw Hwee yang sejalan dengan THHK, yaitu memperbaharui adat istiadat orang China peranakan yang sudah jauh menyimpang dari ajaran Khonghucu. Untuk mewujudkan ide pembaharuan ini, diharapkan orang China peranakan dapat memahami ajaran Khonghucu, baik itu dengan bahasa aslinya maupun melalui bahasa terjemahan dalam Bahasa Melayu. Sejak sepuluh tahun didirikannya Khong Kauw Hwee di Bandung, telah mengundang banyaknya jumlah orang China peranakan yang berpendidikan Barat untuk bersikap kritis terhadap ajaran Khonghucu, tetapi tidak dengan orang-orang tua peranakan. Dapat disimpulkan bahwa, tidak semua pihak setuju dengan ide pembaharuan dari Khong Kauw Hwee tersebut. Salah satu yang menentang adalah Kwee Hing Tjiat pada tahun 1926. Ia adalah seorang orang China peranakan nasionalis dan merupakan pemimpin redaksi surat kabar Sin Po. Sin Po adalah surat kabar harian yang diiterbitkan oleh kalangan China peranakan di Jakarta, yaitu tahun 1910-1959. Surat kabar ini memiliki pandangan nasionalis China dan merupakan aliran utama dalam politik China peranakan sebelum Perang Dunia II. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi Warta Bhakti tahun 1959 dan ditutup tahun 1965. Pada tahun 1923 ia diusir ke Tiongkok karena pandangannya yang bertolak belakang dengan pemerintahan kolonial. Meskipun
demikian, ia tetap menulis artikel untuk surat-surat kabar di Hindia (Leo Suryadinata, 1988: 56). Serangan yang dilakukan oleh Kwee Hing Tjiat sebenarnya hanya ditujukan kepada Khong Kauw Hwee dan bukan ajaran Khonghucu itu sendiri, beliau ingin merombak ajaran Khonghucu yang dianggapnya sudah menyimpang. Kwee Tek Hoay, seorang penulis peranakan yang terkemuka mengatakan bahwa Kwee Hing Tjiat hanya mengecam para pemimpin Khong Kauw Hwee yang salah mengkhotbahkan ajaran Khonghucu, yaitu terutama terhadap ajaran “bakti pada orangtua”. Khong Kauw Hwee berpandangan, jika orang-orang muda tidak ingin disebut sebagai anak yang “tak berbakti”, menjadi takut menentang pandangan orang tua, baik itu benar atau salah. Akibatnya, seluruh masyarakat China peranakan menjadi ketinggalan zaman (Leo Suryadinata, 1988: 58 dan Leo Suryadinata, 2005: 107). Sejak tahun 1920-an dapat dikatakan Khong Kauw Hwee tidak dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan. Menurut Leo Suryadinata dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia” terdapat beberapa penyebab utama, yaitu: pertama, adanya ketidakcocokkan ajaran Khonghucu dengan nasionalis China. Hal ini dapat dilihat dari THHK yang awalnya dibentuk untuk mempromosikan ajaran Khonghucu, pada tahun 1928 kemudian mengesahkan sebuah anggaran dasar baru dimana dinyatakan bahwa tujuan himpunan itu adalah mempromosikan
pendidikan
nasionalis
China.
Kedua,
Konfusianisme
tidak
dilembagakan, sehingga hampir tidak efektif dalam penyebaran injilnya. Ketiga,
Konfusianisme tidak benar-benar membantu memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik orang China peranakan Indonesia dan merugikan masyarakat penganut ajaran Khonghucu. Tidak mengherankan bahwa dari tahun 1928 sampai dengan 1954, tidak sedikit organisasi sosial ekonomi dan politik berkembang di Indonesia, diantaranya adalah Siang Hwee (Zhong Hua Shang Hui), Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Chung Hwa Hui (Masyarakat Tionghoa), Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan lain-lain. Namun demikian, dilakukan upaya oleh Khong Kauw Hwee di Indonesia untuk mempromosikan ajaran Khonghucu. Kemudian pada tahun 1955 di Jakarta didirikanlah sebuah federasi baru orang China peranakan penganut Khonghucu, yaitu Perserikatan Khong Kauw Tjong Hwee/ Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) (Leo Suryadinata, 1988: 65 dan MATAKIN, 2005: 16). Kemudian untuk memurnikan ajaran Khonghucu itu sendiri, dirumuskan cara bagaimana agar tata agama Khonghucu dapat seragam di seluruh Indonesia. Penyeragaman tata cara keagamaan Khonghucu ini terus direvisi, hingga keputusan akhir terjadi pada tahun 1975. Adapun garis besar dari penyeragamanan tata cara agama Khonghucu tersebut antara lain : 1. Seluruh umat Khonghucu melangsungkan ibadah di tempat ibadah umat Khonghucu, yang disebut dengan Litang (礼堂), 2. Pimpinan dalam upacara agama Khonghucu dibagi menjadi tiga, yaitu:
•
Haksu (学师), yang dapat menjadi seorang Haksu adalah seorang laki-laki yang sudah beristeri atau sudah berusia 30 tahun, mempunyai pengetahuan mendalam tentang agama Khonghucu atau berpengalaman menjabat sebagai guru agama (Bunsu) atau menjadi penebar agama (Kauwsing). Untuk seorang wanita terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari suami atau keluarganya,
•
Bunsu (文士), yang dapat menjadi seorang Bunsu atau guru agama adalah seorang laki-laki atau perempuan yang telah berusia 21 tahun, mempunyai pengetahuan luas tentang agama Khonghucu atau pernah mengikuti pendidikan agama Khonghucu,
•
Kausing ( 教 生 ), yang dapat menjadi seorang Kauwsing atau penyebar agama adalah seorang laki-laki atau perempuan yang telah berusia 13 tahun.
3. Kitab Si Shu (四书) dan Wu Jing (五经) sebagai Alkitab agama Khonghucu, 4. Setelah beribadat mengucapkan “Sian Cai” yang sebanding dengan “Amin” dalam agama Kristen (Leo Suryadinata, 1988: 65-67 dan Ikhsan Tanggok, 2005: 102-103). Kemudian melalui kegiatan kongres-kongres yang dilakukan, terjadilah pergantian nama dalam perkumpulan agama Khonghucu, dari Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) menjadi Lembaga Agama Sang Khongcu Indonesia (LASKI) yang terjadi pada Kongres ke-IV di Solo. Selanjutnya pada tahun 1963,
mengubah nama LASKI menjadi Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu seIndonesia (GAPAKSI). Kemudian pada tahun 1964, Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia diubah menjadi Perhimpunan Agama Khonghucu seIndonesia dengan singkatan tetap GAPAKSI. Akhirnya, pada Kongres ke-VI tahun 1967 tercapai kesepakatan untuk menyempurnakan nama gabungan perhimpunan agama Khonghucu menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), yang hingga saat ini masih bertahan (MATAKIN, 2005: 16-19). 3.2.3 MATAKIN Sejarah mencatat bahwa MATAKIN (印尼孔教中央理事会) didirikan di Jakarta pada tanggal 16 April 1955, dengan nama Perserikatan Kung Chiao Hwee Indonesia (PKCHI). Meski kalau ditilik secara cermat, jauh sebelumnya sudah ada lembaga semacam ini, sedikit tidak berjalan lancar pada zaman Jepang. Pada tahun 1971, MATAKIN melaksanakan penerangan agama keluar pulau Jawa untuk membina umat agama Khonghucu yang ada di daerah-daerah lainnya di seluruh pelosok Nusantara, agar lebih aktif berpartisipasi dalam Pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia. Kemudian hasil dari penerangan agama keluar Jawa ini menghasilkan sesuatu yang cukup besar artinya, yaitu berturut-turut terbentuk Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di daerah-daerah luar pulau Jawa (MATAKIN, 2005: 20). Usaha-usaha yang dilakukan oleh MATAKIN untuk mempertahankan dan menyebarkan ajaran Khonghucu tidaklah sedikit dan dalam memperjuangkannya tidak
sedikit rintangan yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah, pada tahun 1971, MATAKIN menyelenggarakan Kongres ke-VIII di Semarang. Salah satu keputusan penting dari kongres tersebut adalah suatu permohonan agar Pemerintah Republik Indonesia mau memperlakukan agama Khonghucu sama seperti lima agama lain di Indonesia. Kemudian pada saat menyelenggarakan Kongres ke-IX pada tahun 1979, terjadi hal yang sangat memprihatinkan, mendadak ada intruksi dari penguasa di Jakarta agar acara kongres ditangguhkan. Selain
memperjuangkan
status
agama
Khonghucu,
MATAKIN
juga
memperjuangkan masalah pendidikan agama Khonghucu, salah satunya adalah dengan mendirikan Yayasan Pendidikan MATAKIN (MATAKIN, 2005: 21-26). Dalam kepemimpinan MATAKIN, pertama kalinya dalam sejarah diadakannya perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2551 di Jakarta, pada tanggal 17 Februari 2000, yang dihadiri oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, serta pejabat-pejabat penting pemerintah lainnya. Perjuangan yang dilakukan MATAKIN sangat banyak dan mereka tidak pernah putus asa didalam memperjuangkan hak-hak umat Khonghucu hingga saat ini. MATAKIN juga merupakan suatu lembaga yang membantu pemerintah dan golongan-golongan masyarakat dalam memecahkan setiap prasangka-prasangka negatif mengenai agama Khonghucu.
3.3 Hak-hak Sipil Umat Khonghucu Indonesia, khususnya di Kota Tangerang 3.3.1 Pada Masa Orde Lama Di Indonesia seharusnya tidak ada undang-undang yang mengatur banyaknya jumlah agama yang boleh dianut atau tidak dianut oleh warganya. Agama adalah merupakan urusan pemeluknya, apakah ia mau mengakui atau tidak agama yang dianutnya. Perlu diingat pula bahwa agama itu sudah ada lebih awal sebelum negara itu ada. Mengingat negara Indonesia merupakan negara hukum, oleh karena itu selayaknya pemerintah di dalam melakukan sesuatu tindakan, harus bersumber pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Surat Edaran itu hanyalah memberikan petunjuk teknis atas peraturan diatasnya dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Mengingat pula negara kita bukanlah negara agama, jadi sudah sepantasnya dan selayaknya tidak diperbolehkan adanya pembatasan agama, tetapi kenyataan memang lain, jika demikian berarti negara telah menodai azas mereka sendiri, yakni Pancasila, alangkah baiknya apabila negara tidak ikut campur didalam mengurusi agama yang dianut oleh masyarakatnya, asalkan agama tersebut tidak melanggar norma-norma yang berlaku dan bukan aliran sesat. Pada prinsipnya pengakuan kebenaran akan suatu agama selalu didasarkan pada keyakinan dari masing-masing individu, dan bukan didasarkan atas fatwa dari
penguasa. Dengan meyakini suatu agama dari pribadi masing-masing inilah yang dapat menumbuhkan kesadaran untuk menghormati dan tidak mencela agama orang lain. Karena memeluk suatu agama merupakan hak yang paling asasi yang dimiliki setiap individu. Seperti yang ditegaskan di dalam Penjelasan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang mengatakan bahwa “Kebebasan beragama adalah hak yang paling asasi di antara hakhak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.” Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965). Istilah “Orde Lama” tentu saja tidak digunakan pada saat itu, dan baru dicetuskan pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut dengan Orde Baru. Untuk menghindarkan negara Indonesia sebagai negara atheis, pada tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 mengenai pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Pada tahun 1969, melalui Undang-Undang No. 5 1969 yang mengakui kembali berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang sudah ada, yaitu salah satunya adalah Penpres No. 1/PNPS/1965 sebagai UU (UU No. 1/PNPS/1965), yang di dalam penjelasannya menyatakan bahwa agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pemilihan keenam agama tersebut didasarkan pada definisi agama seperti yang diusulkan oleh Menteri Agama, terdapat minimum empat persyaratan:
1. Memiliki Kitab Suci, 2. Memiliki Nabi, 3. Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa), 4. Memiliki tata agama dan tata ibadah bagi pengikutnya. Tetapi perlu ditekankan disini, bahwa penyebutan ke-6 agama ini bukan berarti adanya pembatasan didalam memeluk suatu agama, melainkan tentang banyaknya agama yang dianut oleh penduduk Indonesia pada umumnya. Penjelasan dari UU No. 1 ini bukan berarti pula agama-agama lain di luar enam agama tersebut tidak diakui, seperti Shinto, Yahudi, Taoisme dan lain-lain. Agama-agama dan aliran kepercayaan di luar dari enam agama tersebut juga mendapat jaminan dari pemerintah seperti yang telah dinyatakan dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2, yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut (UU No.1/PNPS/1965), lebih membuka dan mempermudah jalan bagi umat Khonghucu untuk menjalankan ibadahnya. Tempat ibadah pun telah didirikan di Tangerang pada tahun 1969, tempat ibadah umat Khonghucu ini disebut dengan Litang ( 礼 堂 ). Kemudian mengenai pelayanan administrasi atas Hak Sipil umat Khonghucu-pun tidak mengalami kesulitan, seperti, pendidikan agama Khonghucu, Kartu Tanda Penduduk (KTP), pencatatan akte perkawinan dan sebagainya. Perkawinan merupakan hak yang paling mendasar untuk menjalin tali
kekerabatan dan memperoleh keturunan. Kantor Catatan Sipil (KCS) yang masih belum mau melakukan pencatatan mungkin disebabkan masih berlakunya sistem Staatsblood yang membagi-bagi manusia menjadi golongan Eropa, China, Indonesia Kristen dan non-Kristen (Jawa Pos, 25 agustus 2002). Dalam Hukum
Perkawinan Agama Khonghucu Indonesia yang disahkan
dalam Munas III Rohaniawan Agama Khonghucu se-Indonesia di Tangerang pada tanggal 21 Desember 1975, pada Pasal 1: hubungan pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2: dasar perkawinan umat Khonghucu adalah seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Tjandra R. Muljadi dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 91). Dalam penjelasan umum dari Hukum Perkawinan itu, disebutkan tujuan dari perkawinan itu; perkawinan adalah salah satu tugas suci manusia yang memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Firman Tian atau Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya serta selanjutnya memungkinkan manusia membimbing putra-putranya. Demikianlah hendaknya manusia berbuat di dalam rumah tangganya, bahagiakanlah istri/suami dan anak-anak karena keselarasan hidup bersama anak/istri/suami itu laksana alat musik yang ditabuh harmonis. Kemudian kerukunan dalam rumah tangga itu membangun damai serta bahagia. Perkawinan tidak bermaksud menceraikan
seseorang dari ayah-bunda dan keluarganya karena telah membangun mahligai baru, melainkan menyatukan keluarga yang satu dengan yang lain, memupuk rasa persaudaraan yang luas diantara manusia sehingga akhirnya dapat dirasakan bahwa di empat penjuru lautan semua umat bersaudara (Tjandra R. Muljadi dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 91). Kemudian perihal pencatatan agama dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) ini merupakan salah satu syarat administrasi sebagai Warga Negara Indonesia yang baik. Kolom agama dalam KTP tersebut hendaknya diisi sesuai dengan agama yang diyakini oleh setiap masyarakat itu sendiri. Pada masa Orde Lama, pencatatan perkawinan dan KTP dengan agama Khonghucu tidak mengalami adanya suatu kesulitan, karena didukung adanya UU No. 1/PNPS/1965 yang memasukkan agama Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data hasil sensus penduduk yang terakhir untuk umat Khonghucu, yaitu pada tahun 1971. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 1971, terdapat 972 ribu penduduk agama Khonghucu, yang terdiri dari 0,82% jumlah penduduk Indonesia (Leo Suryadinata, Evi Nurvida Arifin dan Aris Ananta, 2003: 128). Selain membahas akte perkawinan dan KTP, akan dibahas pula mengenai pendidikan agama Khonghucu. Pendidikan merupakan suatu upaya yang amat penting dilaksanakan
untuk
membantu
dalam
pembentukan
manusia-manusia
yang
berkepribadian dalam membangun jiwanya, sehingga memiliki mental spiritual yang
utuh, dapat mengenal siapa dirinya dan Tuhannya, serta dapat menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, pendidikan dapat mengarahkan manusia agar dapat menjaga keseimbangan alam, mengamalkan, serta melaksanakannya dengan penuh kesadaran tentang segala bentuk hak dan kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara sehingga menjadi manusia yang Pancasilais. Sebelum abad kedua puluh berdasarkan dari sumber catatan yang tersedia, tercatat bahwa orang China peranakan awal tidak banyak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, hal ini mungkin disebabkan karena ayah mereka datang dari kelas yang tak berpendidikan dan kebanyakan hanya tertarik mencari uang. Hanya terdapat beberapa orang kaya yang dapat menggaji guru China hanya untuk mengajar anak laki-lakinya bahasa dan karya-karya klasik China, karena pada masa itu laki-laki dianggap lebih layak mengenyam pendidikan dibandingkan wanita. Sejak tahun 1729 telah dibentuk sebuah taman pendidikan agama Khonghucu (semacam pesantren) yang bernama Ming Cheng Shu Yuan yaitu taman kitab (Akademi) pendidikan menggemilangkan iman (MATAKIN, 2005: 11). Terdapat sekitar tiga puluh siswa, namun segera ditutup karena salah urus. Sekolah China tradisional meningkat dalam perempat terakhir abad kesembilan belas, misalnya pada tahun 1899, yaitu terdapat 217 sekolah China tradisional di Jawa dan Madura dengan 4.452 siswa dan 152 sekolah di luar Jawa dengan 2.170 siswa. Sekolah-sekolah China tradisional ini kurikulumnya didasarkan pada kitab-kitab
Khonghucu (Leo Suryadinata, 1988: 3-4). Kemudian pada tahun 1901 Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) mulai mendirikan sekolah-sekolah yang bertujuan untuk mempromosikan agama Khonghucu dan budaya China, serta mendirikan sekolah-sekolah berbahasa pengantar China untuk mencapai tujuan tersebut. Asosiasi THHK ini berakhir pada tahun 1965, yang diakibatkan karena situasi politik pada saat itu yang kurang mendukung. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Hubungan
antara
pemerintah
dengan
masyarakat
yang
beragama
Khonghucu berlangsung cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari UU No. 1/PNPS/1965 yang isinya antara lain memasukkan agama Khonghucu sebagai salah satu dari agama yang diakui oleh negara Indonesia. b) Adanya hubungan timbal balik antara pihak yang membuat peraturan dengan pihak yang melaksanakan peraturan tersebut. Peraturan yang telah dikeluarkan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan UU No. 1/PNPS/1965, yang dapat dilihat lebih lanjut dengan adanya data akurat dari Biro Pusat Statistik, yang menyatakan bahwa pada tahun 1971 umat Khonghucu masih terdata dalam sensus penduduk. c) Pencatatan agama Khonghucu dalam kolom KTP dan pencatatan akte perkawinan tidak mengalami masalah, berdasarkan data dari Biro Pusat
Statistik tersebut mereka semua sudah tercatat sebagai Warga Negara Indonesia yang beragama Khonghucu. Kemudian mengenai masalah pencatatan akte perkawinan khususnya, karena pada saat itu belum ada peraturan resmi yang mengatur tentang perkawinan, jadi pencatatan akte perkawinan jelas tidak mengalami masalah. d) Masalah pendidikan agama Khonghucu pun tidak mengalami masalah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pendirian sekolah pada tahun 1901 oleh perhimpunan agama Khonghucu yang bertujuan mempromosikan agama Khonghucu yang berakhir pada tahun 1965. Untuk tahun-tahun berikutnya tidak dijelaskan dengan terperinci mengenai pendidikan agama Khonghucu yang masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah, pengajaran agama Khonghucu tetap ada dan berlangsung pada masa Orde Lama, hanya saja pelaksanaannya yang kurang menonjol. 3.3.2 Pada Masa Orde Baru Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dapat dikatakan sebagai masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Dimana kepentingan nomor satu dari penguasa Orde Baru semasa itu adalah menjaga “Kelestarian Kekuasaan” yang baru saja digenggamnya (Tan Swie Ling, Akar Masalah Umat Khonghucu Indonesia. http://www.budaya-tionghoa.org, 26 Oktober 2006). Untuk itu, Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan-kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari
jalan yang ditempuh oleh Soekarno pada masa akhir jabatannya dengan dalih demi keamanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Warga China peranakan juga dilarang mengekspresikan diri mereka melalui budaya-budaya tradisi yang dimiliki. Sejak tahun 1967, warga China peranakan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, hal ini secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Pemerintah memandang budaya, adat dan agama yang berasal dari China merupakan suatu penghambat bagi pembauran etnik ke dalam budaya nasional Indonesia, yang dimaksudkan dengan budaya, adat dan agama dari China tersebut adalah: kesenian Barongsai, hari raya Imlek, agama Khonghucu, Bahasa China itu sendiri dan lain-lain. Pemerintah juga mengkhawatirkan adanya campur tangan komunis China untuk menguasai Indonesia. Karena itu pemerintah mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang isinya tentang larangan adanya adat, budaya dan kepercayaan berbau China aktif di Indonesia serta larangan pembangunan klenteng. Kebijakan pemerintah ini diperkuat lagi dengan keputusan Sidang Kabinet yang memutuskan Khonghucu bukan agama. Keputusan ini dikembangkan lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom Agama, yang antara lain menyatakan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Pada masa ini, permasalahan Khonghucu adalah agama atau bukan menjadi
persoalan yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Pemerintah tetap kukuh pada pendiriannya bahwa Khonghucu itu bukanlah agama. Sehingga pada masa ini umat Khonghucu dilarang untuk beribadat. Berhubung masa Orde Baru ini lahir dari runtuhnya Orde Lama yang dipersepsikan dengan bertulangpunggungkan PKI, maka PKI dikualifikasikan sebagai “Musuh Negara dan Bangsa Indonesia”. Demi menjaga stabilitas keamanan bangsa dan negara Indonesia, para pemimpin Orde Baru melakukan berbagai pembersihan terhadap “Musuh Negara dan Bangsa Indonesia” tersebut. Dalam rangka pembersihan ini, Bung Karno beserta para pendukungnya terkena getahnya, hingga meninggal dalam status sebagai Tahanan Politik. Tidak hanya Bung Karno, bahkan Pemerintah Republik Rakyat China (RRC) beserta pendukung utamanya, Partai Komunis China juga terkena getahnya. Pemerintah masa Orde Baru menganggap Republik Rakyat China (RRC) terusmenerus membela PKI, hal ini membuat emosi dan kemarahan Orde Baru menjadi tak terkendali. Sehingga mengakibatkan seluruh WNI etnik China terkena ampasnya juga. Hal ini semata-mata karena orang China peranakan Indonesia memiliki kesamaan etnik, yaitu China, yang kemudian seenaknya dianggap berpotensi untuk menjadi kaki tangan komunis China, yang dapat menguasai negara Indonesia. Dengan kata lain, orang-orang China itu berambisi untuk menjadi penguasa dunia. Dengan adanya argumentasi semacam itu, tentu saja dapat membuat pemerintah Orde Baru beranggapan bahwa orang-orang China dengan budaya Khonghucu dan komunisme itu
dapat membahayakan bangsa Indonesia. Pengkaitan antara Khonghucu dengan komunisme yang sudah ada di Indonesia sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI itulah yang menyebabkan negara secara tidak adil memperkosa HAM umat Khonghucu khususnya dan orang China peranakan Indonesia pada umumnya. Terlihat dengan jelas bahwa pada masa Orde Baru ini terdapat banyak sekali pembatasan ruang gerak umat Khonghucu, dengan dilarangnya pembangunan klenteng, secara tidak langsung hal itu menghambat umat Khonghucu dalam melaksanakan ibadahnya dengan Tian (Tuhan Yang Maha Esa) yang diyakininya. Kemudian bagaimana dengan UU No. 1/PNPS/1965 yang pernah dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya? Sebenarnya tidak pernah ada peraturan yang secara khusus ditetapkan untuk menghapus atau menghilangkan kebijakan tersebut. Tetapi entah mengapa UU No. 1/PNPS/1965 tersebut seperti menghilang ditelan bumi begitu saja. Tetapi perlu adanya klarifikasi disini, bahwa persamaan diantara dua ajaran yang berbeda itu tidak bisa dianggap sebagai suatu yang identik, begitu pula hubungan antara agama Khonghucu dengan komunisme. Ajaran Khonghucu sudah berkembang di bumi ini kurang lebih 5 abad Sebelum Masehi, sedangkan ajaran komunisme baru ada pada pertengahan abad 19. Agama Khonghucu merupakan suatu ajaran tentang kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan pada masa dinasti Han pernah dijadikan sebagai agama dan falsafah negara. Sebaliknya paham komunisme tidak mengenal adanya kepercayaan akan suatu agama. Demikian pula tidak perlu
dikaitkan lagi dengan RRC yang berpaham komunis ini, karena negara komunis tidak ada kepercayaan akan suatu agama, semua agama di RRC dianggap sebagai filsafat hidup. Tetapi RRC tidak melarang warganya untuk memilih dan memeluk suatu agama. Jadi perlu ditekankan sekali lagi bahwa antara Khonghucu dan komunisme itu tidak ada hubungan sama sekali, yang ada hanyalah sama-sama sebuah produk sejarah dari negeri tirai bambu yang terjadi pada zaman yang berbeda. Dengan adanya pengkaitan antara Khonghucu dengan komunisme yang ada di Indonesia sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI telah mendatangkan suatu musibah yang besar bagi semua orang China peranakan Indonesia pada umumnya dan umat Khonghucu khususnya, yang kemudian menyebabkan negara secara tidak adil memperkosa HAM, salah satunya adalah Hak Sipil mereka. Terlihat dengan jelas bahwa pada masa Orde Baru ini terdapat banyak sekali pembatasan ruang gerak umat Khonghucu, terutama pelayanan administrasi yang seharusnya didapatkan oleh mereka menjadi sedikit dibatasi. Mulai adanya undang-undang yang mengatur tentang perkawinan terjadi pada masa Soeharto, yakni dengan dikeluarkannya UU No. 1/1974. Demi mengikuti peraturan yang ada, lembaga Khonghucu pun mulai menyusun Hukum Perkawinan dan Pedoman Pelaksanaan Upacaranya yang disesuaikan dengan Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilakukan melalui Musyawarah Nasional III pada tahun 1975 di Tangerang. Meskipun peraturan telah diikuti dan ditaati, namun pada kenyataannya tetap
saja pencatatan akte perkawinan umat Khonghucu tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Kasus penolakan pencatatan perkawinan yang dilakukan secara agama Khonghucu oleh KCS tetap terjadi, terutama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan alasan Khonghucu bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Padahal Presiden Soeharto pernah berkata “Kita tidak memilih-milih agama-agama yang ada menjadi agama-agama resmi dan agama-agama tidak resmi, agama-agama diakui dan agama-agama yang tidak diakui” (Suara Pembaruan, 28 Maret 1989). Hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama (30 tahun lebih), tidak sedikit umat Khonghucu yang dipersulit. Terutama mengenai masalah perkawinan, sudah menjadi kewajiban KCS untuk mencatatkan perkawinan yang dilakukan oleh umat Khonghucu, karena hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 2 UU No. 1/1974, yang menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundangan yang berlaku”. Selain itu berdasarkan Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 berbunyi “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut agamanya dan kepercayannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada KCS sebagaimana dimaksud dalam berbagai macam perundangan mengenai pencatatan perkawinan.” Dalam praktek, setiap orang yang tidak mencatatkan perkawinannya pasti dianggap tidak sah, sehingga keturunan mereka pun dianggap tidak sah. Dapat digambarkan betapa sulit menyatukan peraturan perkawinan dalam suatu hukum nasional, yang dikarenakan keanekaragaman budaya, adat istiadat, agama, aliran
kepercayaan dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang mewarnai kehidupan mereka di tanah air Indonesia. Kelemahan pemerintah dalam mencampuri urusan sah tidaknya suatu perkawinan, yang dalam pelaksanaanya kadang-kadang dilakukan oleh golongan tertentu dirasakan mempersulit pencatatan yang dapat membuka peluang negatif untuk hidup bersama tanpa nikah, sehingga menimbulkan problema sosial baru. Tugas pemerintah seharusnya adalah hanya mencatat dan mengesahkan perkawinan mereka tanpa harus mempersulit. Salah satu contoh perlakuan yang kurang adil pada masa Orde Baru yang dialami umat Khonghucu dalam pencatatan perkawinan di KCS adalah pasangan Budi Wijaya dan Lany Guito. Pernikahan mereka berlangsung di rumah ibadah Boen Bio Surabaya pada tanggal 23 Juli 1995, yang dilakukan dengan harapan perkawinan mereka ini mendatangkan kebahagiaan. Tetapi sangat disayangkan kenyataan berkata sebaliknya, perkawinan mereka ditolak di KCS dengan alasan Khonghucu itu bukanlah agama yang diakui dan dibina oleh Departemen Agama. KCS mengusulkan dua alternatif, yaitu: pertama, mengganti surat nikah dengan agama lain dan mengaku beragama salah satu agama resmi pemerintah. Kedua, MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Boen Bio yang mengeluarkan surat nikah dengan cara menghilangkan kata agama di dalam stempel MAKIN. Hal ini tentu saja ditolak oleh Budi dan Lany, karena bertentangan dengan hati nurani mereka sebagai umat Khonghucu yang taat (Budi Wijaya dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan
Khonghucu, 1998: 16-17). Banyak sekali usaha yang telah dilakuan Budi untuk dapat mendaftarkan perkawinannya di KCS, tetapi selalu mengalami jalan buntu. Kemudian Budi dan Lany menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah mereka tersebut dengan bantuan seorang pengacara, yaitu Bapak Trimoelja D. Soerjadi SH, seorang tokoh humanis dan termasuk pengacara senior di Surabaya unuk memasukkan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Meskipun sudah melayangkan gugatan beberapa kali, hasilnya masih saja tetap mengecewakan (Budi Wijaya dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 21). Akhirnya Menteri Kehakiman dalam rapat kerja dengan Komisi Tiga DPR RI mengatakan bahwa pemerintah sedang mengkaji tiga alternatif untuk memecahkan persoalan tersebut. Pertama, menyatakan Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui. Kedua, melakukan pranata pencatatan semata-mata sebagai catatan administratif atau laporan bahwa telah terjadi perkawinan. Ketiga, dibuatkan pencatatan khusus bagi mereka yang tidak menikah menurut agama yang diakui (Kompas, 18 September 1996). Kemudian Depdagri melaui surat No. 474.2/704/UMPEM tanggal 30 Mei 2001 yang didasari surat Menag No. 178K/TUN/1997 tanggal 30 Maret 2000 perkara Kasasi Budi Wijaya dan Lany Guito dikabulkan dalam kasasi, MA memerintahkan Kantor Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk mencatat perkawinan tersebut secara agama Khonghucu karena putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap dan wajib
ditaati oleh pemerintah dan masyarakat (Anly Cenggana, Jaminan Konstitusi Agama Khonghucu, http://www.harianbatampos.com, 7 Maret 2006). Demikian pula dengan pencatatan Khonghucu sebagai agama di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) mulai dihilangkan yang dimulai di DKI Jakarta pada tahun 1978. Terdapat dua alternatif yang dapat dilakukan umat Khonghucu, yaitu umat Khonghucu harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara, dan kedua, umat Khonghucu harus rela kalau pada kolom agama mereka diisi dengan tanda (-) atau kurung buka garis pendek mendatar kurung tutup saja. (Tjandra R. Muljadi dalam: Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu, 1998: 83). Dengan kata lain, mereka dianggap sebagai seorang komunis yang tidak memiliki agama. Tidak sedikit umat Khonghucu yang harus dengan terpaksa mengisi kolom agama mereka dengan lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Sebagian besar agama yang dicantumkan dalam KTP mereka adalah agama Budha. Sungguh ironis sekali memang, agama mereka cuma sekedar agama di KTP saja. Kenyataannya mereka tidak meyakini dan mengerti tentang agama yang dicatatkan dalam KTP mereka. Hal ini dilakukan karena seluruh umat Khonghucu merasa mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik dan memiliki hak yang sama pula dengan yang lain, hanya saja hak mereka sedikit dibatasi. Selain itu mereka takut jika sensus penduduk tidak mendata mereka sebagai WNI. Selain itu, terjadi pula peristiwa penghapusan mata pelajaran agama
Khonghucu di sekolah-sekolah, yaitu sejak dikeluarkannya Kurikulum Pendidikan Dasar dan Lanjutan tahun 1975. Mengakibatkan para siswa umat Khonghucu mulai dari tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran agama lain demi tuntutan kurikulum yang berlaku. Hal ini dikaitkan dengan Inpres 14/1967 yang menyatakan bahwa segala kegiatan yang berhubungan dengan budaya China dilarang, hal ini menyebabkan umat Khonghucu tidak dapat merayakan hari suci mereka, yang kemudian mengakibatkan agama Khonghucu bukan lagi sebagai salah satu agama yang dianut oleh Negara Indonesia sebagaimana seperti yang tercantum dalam UU No. 1/ PNPS/ 1965. Meskipun dilarang di dunia pendidikan formal di Indonesia, namun pada kenyataannya di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ajaran Khonghucu dijadikan sebagai salah satu mata kuliah agama. Mata kuliah yang diberikan unversitas tertua di Indonesia ini, memang diberikan khusus untuk mahasiswa/i yang memeluk agama Khonghucu sejak tahun 1997. Lain halnya dengan di Bogor, ada beberapa sekolah negeri yang menyerahkan pelajaran agama Khonghucu tersebut pada MAKIN setempat. Ujian dilakukan oleh MAKIN kemudian nilainya diserahkan pada sekolah masing-masing. Di luar Pulau Jawa pun mata kuliah Khonghucu masih diterapkan di Universitas lain, seperti di Universitas Bung Hatta Padang dan beberapa universitas di Jambi (Suara Indonesia, 15 November 1997). Selain itu, di Kota Tangerang sendiri terdapat sebuah sekolah yang berlandaskan pada ajaran Khonghucu dan diambil dari nama nabi Khongcu itu sendiri, yaitu TK “Confucius” yang didirikan pada tahun 1973. Seiring dengan perubahan
waktu adanya harapan dan kebutuhan masyarakat agar disediakan gedung sekolah lain selain TK itu sendiri. Kemudian pada tahun 1974 didirikanlah gedung sekolah untuk tingkat sekolah dasar, tetapi karena situasi politik yang kurang baik pada saat itu, untuk pendirian sekolah tingkat dasar tersebut diganti dengan nama SD Setia Bhakti. Kemudian berlanjut pada SLTP Setia Bhakti (tahun 1978), SMK Setia Bhakti (tahun 1999) dan SMU “Unggul“ Setia Bhakti (tahun 2003). Tenaga pengajar agama Khonghucu itu sendiri, didapatkan melalui pihak MAKIN Tangerang. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Hubungan pemerintah Orde Baru dengan masyarakat Indonesia yang beragama Khonghucu tidaklah berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari Inpres No. 14 tahun 1967 yang isinya tentang larangan adanya adat, budaya dan kepercayaan berbau China aktif di Indonesia serta larangan pembangunan klenteng. Kebijakan pemerintah ini diperkuat lagi dengan keputusan Sidang Kabinet yang memutuskan Khonghucu bukan agama. Keputusan ini dikembangkan lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 perihal Petunjuk Pengisian Kolom Agama, yang antara lain menyatakan bahwa hanya ada lima agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. b) Tidak adanya ketegasan pemerintah Orde Baru di dalam menjalankan
pemerintahannya, hanya mementingkan kekuasaan yang telah diraihnya pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan diatas, tanpa memperdulikan UU No.1/PNPS/1965 yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Lama. Pemerintah Orde Baru tanpa dasar hukum yang kuat menghilangkan UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Hal ini dilakukan dengan dalih untuk melindungi negara Indonesia dari serangan komunis, dimana orang peranakan China pada saat itu terkena imbasnya dan dianggap sebagai kaki tangan komunis. Karenanya ruang lingkup mereka menjadi terbatas, termasuk penganut agama Khonghucu. Perlu ditekankan sekali lagi, bahwa UU No. 1/PNPS/1965 tersebut kenyataannya tidak pernah dihapuskan. c) Dengan adanya Inpres No. 14 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tersebut, tentu saja mempengaruhi pencatatan akte perkawinan, KTP dan pendidikan umat Khonghucu. Pencatatan akte perkawinan khususnya, prosedurnya menjadi lebih sulit, karena adanya UU No. 1/1974 tentang perkawinan. d) Meskipun pendidikan agama Khonghucu mengalami masalah, tetapi di Kota Tangerang itu sendiri pada masa itu terdapat sebuah sekolah yang berlandaskan pada ajaran Khonghucu. Sekolah ini tidak mengalami persoalan meskipun keberadaannya sudah ada sejak Orde Baru.
3.3.3 Pada Masa Reformasi Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, yaitu tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie. Hal yang melatarbelakangi peristiwa ini adalah saat tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya, kemudian gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Karena berada di bawah tekanan yang besar baik dari dalam maupun luar negeri, akhirnya Soeharto memilih untuk mengundurkan diri. Indonesia telah mengalami sebanyak enam kali pergantian Presiden, diantaranya terjadi sebanyak empat kali pada masa Reformasi ini. Dimulai dari Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Gus Dur (1999-2001), Presiden Megawati (2001-2004) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-saat ini). Pelan namun pasti, waktu berputar dan masa pun berganti, masa Reformasi mendatangkan suatu kebaikan untuk umat Khonghucu pada khususnya dan orang China peranakan pada umumnya. Hal ini dimulai dari mantan Presiden BJ Habibie yang dalam Inpres No. 26/1998 menginstruksikan agar penghentian penggunaan istilah “Pribumi dan Non Pribumi” dalam sebuah perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian tiba pada giliran pemerintahan yang dipimpin oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dimana terjadi hubungan yang baik antara agama Khonghucu dan pemerintahan. Kesadaran akan pengakuan terhadap hak-hak dasar
umat Khonghucu pun mulai dihargai. Gus Dur kemudian membatalkan Inpres No. 14 tahun 1967 serta mencabut Surat Edaran Mendagri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978. Pembatalan Inpres serta SE Mendagri tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 tahun 2000. Tetapi lagi-lagi umat Khonghucu harus mengalami kesulitan, pembatalan dan pencabutan kedua surat tersebut, ditafsirkan oleh Departemen Agama (Depag) bukan sebagai pengakuan pemerintah terhadap Khonghucu sebagai agama. Dengan pembatalan kedua surat tersebut, budaya China seperti barongsai sudah mulai dipertunjukkan kembali. Dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama No. 13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa China baik lisan maupun tulisan. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati melalui Keputusan Presiden No. 19, dikatakan bahwa sejak tahun 2003 Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari raya Nasional. Sebuah jalan terbuka kembali, yaitu ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato perayaan Imlek 2557 secara nasional di Jakarta Convention Centre (JCC) Hotel Hilton Jakarta, 4 Februari 2006 lalu, mengatakan: Menteri Agama pada tanggal 24 Januari 2006 melalui Surat Menteri Agama No. 12/MA/2006, telah menegaskan bahwa berdasarkan Penpres Nomor 1 tahun 1965 yang kemudian dinyatakan oleh UU Nomor 5 tahun 1969, maka Departemen Agama harus melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu. Kemudian untuk memperhatikan dan melanjuti surat Menteri Agama No.
12/MA/2006 tanggal 24 Januari 2006 mengenai penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Mendagri No. 470/336/SJ mengenai pelayanan administrasi kependudukan penganut agama Khonghucu pada tanggal 24 Februari 2006. Ditilik dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, umat Khonghucu dapat menjalankan ibadah mereka tanpa ada hambatan lagi. Mereka pun dapat merayakan Hari Raya Agama Khonghucu dengan leluasa, sebagaimana agama lain merayakan hari raya mereka. Jalan yang telah diberikan oleh Presiden Yodhoyono tersebut, telah mempermudah umat Khonghucu untuk mengurus semua keperluan administrasi kependudukan umat Khonghucu yang sempat tertunda dan terhambat, khususnya kasus pencatatan akte perkawinan. Presiden mengatakan, berkaitan dengan ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.” Maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin oleh pendeta Khonghucu adalah sah menurut ketentuan UU Perkawinan. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Kantor Catatan Sipil (KCS) di seluruh tanah air, untuk tidak ragu-ragu mencatatkan perkawinan bagi pemeluk agama Khonghucu, begitu pula dengan pencatatan perkawinan pemeluk agama lain.
Sekretaris Presidium Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Chandra Setiawan mengungkapkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada perayaan Imlek 4 Februari yang lalu telah diikuti dengan Surat Edaran yang dikeluarkan Mendagri pada 24 Februari lalu, bahwa Mendagri memberi waktu hingga 1 April sebagai batas waktu pengaplikasian aturan tersebut. Sehingga paling lambat 1 April seluruh umat Khonghucu telah dapat mencantumkan nama agamanya dalam seluruh berkas kependudukan. Jika masih ada beberapa wilayah dan pejabat yang bersangkutan belum melaksanakan SE Mendagri tersebut, maka akan dikenai sanksi yang berlaku (Iis Zatnika, 1 April Khonghucu Diakui Administrasi Kependudukan, http://www.media-indonesia.com, 26 Maret 2006). Tetapi sangat disayangkan SE Mendagri tersebut belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah yang belum menjalankan SE tersebut adalah wilayah Tangerang, Surabaya dan Jakarta Barat (Perkawinan Khonghucu Harus Dicatat: SE Mendagri Belum Dilaksanakan, http://kompas.com, 6 Maret 2006). Banyak sekali alasan yang dikemukakan, seperti belum ada perintah dari Walikota, demikian pula alasan yang dikemukakan oleh pihak KCS Tangerang. Sedangkan SE Mendagri tersebut merupakan suatu amanat dari pemerintah pusat yang harus segera dilaksanakan oleh kalangan para pejabat daerah setempat. Bahkan mereka harus berinisiatif mencari serta mengkopi surat tersebut. Penerapan SE Mendagri yang belum merata di daerah-daerah, mungkin dikarenakan oleh kecepatan dalam menanggapi dan menidaklanjuti surat tersebut berbeda-beda.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Di masa Reformasi ini terjadi hubungan yang jauh lebih baik antara pemerintah dengan umat Khonghucu. Hal ini dibuktikan dari pencabutan Inpres No. 14/1967 yang selama ini membelenggu seluruh umat Khonghucu. Kemudian diaktifkannya kembali UU No. 1/PNPS/1965 yang memasukkan agama Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh negara Indonesia. b) Tidak adanya komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta kurangnya ketegasan sikap dari pemerintah pusat. Karena meskipun pemerintah pusat telah mengeluarkan amanat, tetapi masih ada beberapa pemerintah daerah yang masih belum menjalankan mandat tersebut. Sehingga umat Khonghucu di beberapa daerah tersebut kesulitan untuk mendapatkan Hak Sipil mereka, seperti pencatatan akte perkawinan, KTP dan pendidikan. Untuk Kota Tangerang mengenai masalah pendidikan tidak menemui kesulitan, karena sudah terdapat sekolah yang berlandaskan ajaran Khonghucu, yang disebut dengan sekolah Setia Bhakti. 3.3.4 Hasil wawancara di Kota Tangerang Seperti yang telah disebutkan diatas, meskipun agama Khonghucu telah diakui sebagai agama resmi yang diakui oleh negara Indonesia, tetapi kenyataannya masih
terdapat beberapa daerah yang masih belum melaksanakan amanat tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jawaban dari masalah tersebut, maka penulis melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait di Kota Tangerang, berikut adalah hasil dari wawancara tersebut: 1. Pada tanggal 6 Mei 2006 melakukan wawancara dengan pihak MAKIN Tangerang, didapatkan data tiga pasang umat Khonghucu yang telah secara resmi mencatatkan perkawinan mereka di KCS untuk tingkat Kabupaten Tangerang, yaitu pasangan Jo Sin Siang dengan Vivi Sagita Chandra, Kwouw Anton dengan Taraniyani Hernando dan Andi Lokaria dengan Melian Sunardi. 2. Pada tanggal 17 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Bapak Koesnara serta pihak lain dari Kantor Catatan Sipil (KCS) tingkat Kotamadya, didapatkan informasi bahwa hingga saat itu belum ada pasangan umat Khonghucu yang belum mendaftarkan diri untuk dicatat. Tetapi disebutkan bahwa, pihak KCS Kotamadya Tangerang tersebut akan selalu siap dan bersedia melayani pasangan umat Khonghucu yang ingin mencatatkan perkawinan mereka dengan agama Khonghucu. Alasan tersendatnya pencatatan perkawinan tersebut terlebih dikarenakan penyampaian SE Mendagri yang kurang efektif dan efisien, dikatakan oleh Bapak Koesnara sendiri bahwa pihak mereka baru menerima SE Mendagri tersebut pada akhir bulan Maret. Selain itu, terdapat masalah teknis lainnya, yaitu sistem komputer yang belum terpogram dengan enam agama. Hal ini dikarenakan adanya benturan dana, karena anggaran dari pemerintah tersebut memiliki skala
prioritas. Jadi, harus menunggu giliran untuk dilayani dengan dana tersebut, demikianlah alasan yang dikatakan oleh pihak KCS Kotamadya Tangerang. 3. Pada tanggal 17 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Bapak Muchtar dari kantor Kecamatan Kota Tangerang, mengatakan hal yang sama, yaitu pihak mereka hingga saat itu masih belum tahu dan belum menerima kebijakan pemerintah yang baru tersebut. Dalam program komputer di kantor kecamatan tersebut masih terprogram dengan lima agama. Meskipun masih belum menerima SE Mendagri tersebut, pihak Kecamatan Kota Tangerang sudah mencatatkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu, demikianlah keterangan yang diberikan oleh Bapak Muchtar selaku pihak dari kantor Kecamatan Kota Tangerang. 4. Pada tanggal 24 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Ibu Lily selaku sekretariat dari MAKIN Tangerang dan Bapak Hendrik selaku Ketua Bidang Pendidikan dari sekolah Setia Bhakti, dikatakan bahwa mengenai masalah pendidikan pun sudah tidak mengalami masalah karena dengan adanya surat dari Menteri Agama melalui surat MA No. 12/MA/2006 mengenai penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan agama Khonghucu, menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 12a UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan akan mefasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan agama Khonghucu di sekolahsekolah. Persiapan yang dilakukan pihak MATAKIN dan MAKIN adalah
mempersiapkan tenaga pengajar untuk pelajaran agama Khonghucu, dengan melatih para pengajar di MAKIN Tangerang dimulai dari tanggal 10 April hingga 28 Mei. Selain itu, materi pengajaran pun harus dipersiapkan. Materi-materi pendidikan agama Khonghucu tersebut dipersiapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Proses dimasukkannya ke dalam kurikulum sekolah negeri atau swasta lainnya sedang dalam proses, hingga diturunkannya surat dari (Depdiknas). Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) saat ini tengah mempersiapkan rumusannya dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. RPP tersebut kini telah berada di tangan Sekretariat Negara sehingga pengesahannya diperkirakan tidak akan lama lagi. 5. Pada tanggal 30 Mei 2006 melakukan wawancara dengan Ibu Lily selaku sekretariat dari MAKIN Tangerang, dikatakan bahwa hingga saat itu masih belum ada penambahan dalam pencatatan perkawinan, tetapi tidak menutup kemungkinan akan adanya penambahan pencatatan perkawinan pasangan umat Khonghucu, karena hal ini merupakan perjuangan yang sudah mereka nantikan selama tiga puluh tahun lebih. Apabila terdapat pasangan umat Khonghucu yang mau mencatatkan perkawinan mereka di KCS Kotamadya Tangerang sudah tidak mengalami masalah dan kesulitan lagi. Hanya saja sebagian besar umat Khonghucu lebih memilih untuk dicatatkan di tingkat Kabupaten, hal ini dikarenakan biaya yang diperlukan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan
tingkat Kotamadya. Berdasarkan dari hasil wawancara diatas, maka dapat dibuat kesimpulan dari permasalahan tersebut, adalah sebagai berikut: a) Mengenai masalah pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Kota Tangerang, sesuai dengan hasil wawancara dengan yang terkait. Jika dilihat dari alasan yang telah disebutkan diatas, dapat dikatakan bahwa pihak KCS tidak dapat bergerak dengan leluasa, serta adanya pihak-pihak yang lebih berkuasa untuk mengatur setiap tindakan dari pihak yang lebih rendah jabatannya. Seperti yang dikatakan oleh Sekretaris Presidium MATAKIN yang juga anggota Komisi Nasional HAM Chandra Setiawan kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (6/3), bahwa “para birokrat di daerah merasa bahwa mereka memiliki kuasa sehingga dapat melakukan apa saja. Mental seperti ini adalah warisan orde baru. Sayangnya ini masih melekat hampir di semua pejabat di daerah. Ini harus segera dikikis dan merupakan tugas Departemen Dalam Negeri untuk mengikis semua itu.” Kemudian hal-hal yang menyangkut dengan dana tidaklah dapat dijadikan alasan yang cukup kuat untuk tidak mencatatkan pasangan umat Khonghucu di KCS tersebut, karena masalah pencatatan akte perkawinan dengan agama yang diyakini mereka tidak ada hubungannya sama sekali dengan dana pemerintah, itu merupakan hak mereka yang paling dasar untuk mendapatkannya, apalagi sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendukung pencatatannya
tersebut. b) Mengenai masalah pencatatan kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Muchtar, sama halnya dengan masalah perkawinan. Alasan yang telah dikemukakan tersebut tidaklah kuat. Mengenai belum atau sudah terimanya Surat Edaran tersebut adalah tugas dari masing-masing pejabat untuk mencari tahu dan mengcopy amanat dari pusat tersebut, karena amanat dari pusat merupakan amanat untuk keseluruhan wilayah Indonesia dan setiap pejabat daerah wajib untuk memilikinya, serta melaksanakan amanat tersebut. Demikian pula dengan masalah komputer yang masih terpogram dengan lima agama, apakah sesulit itu untuk menambahkan satu kolom agama lagi untuk agama Khonghucu? Seharusnya tidaklah sesulit itu, karena semua orang pasti sudah
mengerti
bagaimana
mengoperasikan
perangkat
lunak
ini.
Kenyataannya, mereka sudah melakukan pencatatan terhadap satu orang. c) Mengenai masalah pendidikan, melalui hasil wawancara yang telah dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait, dengan adanya surat Menteri Agama tersebut terlihat jelas bahwa hak-hak umat Khonghucu secara berangsur-angsur telah pulih kembali, terutama pendidikan agama yang mereka yakini dan imani tersebut akan mereka terima di sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri. Oleh karena itu, MATAKIN dihimbau oleh pemerintah untuk mempersiapkan guru-guru yang dapat mengajarkan
agama Khonghucu. Selanjutnya, untuk sekolah-sekolah lainnya belum terdapat secara resmi pendidikan agama Khonghucu. Seperti yang terjadi di Bogor, pihak sekolah menyerahkan ajaran agama Khonghucu tersebut pada pihak
MAKIN. Sedangkan untuk Kota Tangerang sendiri sudah tidak
mengalami hambatan mengenai pendidikan agama Khonghucu, karena terdapat sebuah sekolah yang berlandaskan pada ajaran Khonghucu dan diambil dari nama nabi Khongcu itu sendiri, yaitu TK “Confucius”, SD Setia Bhakti, SLTP Setia Bhakti, SMK Setia Bhakti dan SMU “Unggul“ Setia Bhakti. Tenaga pengajar agama Khonghucu itu sendiri, didapatkan melalui pihak MAKIN Tangerang. Selain itu, umat Khonghucu juga dapat belajar agama Khonghucu di MAKIN Tangerang, yang memang menyediakan pendidikan agama Khonghucu. Dengan demikian, dapat dikatakan secara keseluruhan, bahwa pelaksanaan Surat Edaran tersebut meskipun pada awalnya memang mengalami kendala, tetapi pada akhirnya pejabat setempat Kota Tangerang dapat memberikan pelayanan administrasi pada seluruh umat Khonghucu di Kota Tangerang.