BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kanker Payudara Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan
struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009). Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer Society, 2013).
2.1.1
Epidemiologi Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit
kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health Estimates, WHO (2013), kanker payudara merupakan kanker yang paling umum pada perempuan baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Kanker
9 Universitas Sumatera Utara
10
payudara merupakan kanker kedua yang paling tinggi insidennya pada perempuan di seluruh dunia setelah kanker rahim dan sekitar 7%-10% dari semua tumor ganas. Tingkat insiden sangat bervariasi di seluruh dunia mulai dari 19,3 per 100.000 perempuan di Afrika Timur hingga 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa Barat. Di sebagian besar negara sedang berkembang tingkat insiden di bawah 40 per 100.000 perempuan. Tingkat insiden terendah ditemukan di sebagian besar negara-negara Afrika, akan tetapi angka kejadian kanker payudara di daerah tersebut juga meningkat. Meskipun kanker payudara dianggap penyakit di negara maju, akan tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di negara-negara sedang berkembang (WHO, 2013). Sekitar 1 dari 8 perempuan memiliki risiko seumur hidup terkena kanker payudara invasif (Mandal, 2013). Di Australia, pada tahun 2009 insidensi kanker payudara sekitar 27,4% dari semua kasus baru kanker pada perempuan, dimana sekitar 13.668 kasus baru kanker payudara pada perempuan dan 110 kasus baru pada laki-laki (Australian Government, 2013). Di Inggris, pada tahun 2010 ada sekitar 49.961 kasus baru kanker payudara, 157 kasus baru kanker payudara untuk setiap 100.000 perempuan (Mandal, 2013). Pada perempuan di Amerika Serikat, tahun 2011, diperkirakan 230.480 kasus baru kanker payudara invasif dan 57.650 kasus baru kanker payudara non-invasif/ insitu (Mandal, 2013). Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Tingkat insidensi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan lebih tua, terkait dengan status hormonal. Di Inggris 48% kasus kanker payudara perempuan
Universitas Sumatera Utara
11
didiagnosis pada kelompok usia 50-69 tahun (Mandal, 2013). Hal ini sejalan dengan angka kejadian kanker payudara di Australia, dimana pada tahun 2009, 51,4% kasus kanker payudara perempuan didiagnosis pada kelompok usia 50-69 tahun, 25,8% pada kelompok usia 70 tahun ke atas, dan sisanya 22,9% pada kelompok usia lebih muda dari 50 tahun (Australian Government, 2013). Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker payudara sangat bervariasi di seluruh dunia, mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang, hingga sekitar 60% di negara-negara berpenghasilan menengah, dan di bawah 40% pada negara-negara berpenghasilan rendah (WHO, 2013). Tingkat kelangsungan hidup relatif setelah terdiagnosis kanker payudara pada perempuan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antara periode 1982-1987 dan 2006-2010, kelangsungan hidup lima tahun relatif meningkat dari 72% menjadi 89,4% pada perempuan Australia (Australian Government, 2013). Tingkat kelangsungan hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang terutama disebabkan oleh karena kurangnya program deteksi dini, sehingga lebih tinggi proporsi perempuan dengan kanker payudara stadium lanjut, serta kurangnya fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai (WHO, 2013). Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 508.000 perempuan meninggal pada tahun 2011 disebabkan oleh kanker payudara (WHO, 2013), karena kebanyakan perempuan dengan kanker payudara didiagnosis pada stadium penyakit lanjut, dikarenakan gejala awal yang tidak khas (Zhao, et.al., 2012). Pada tahun 2010, kanker payudara merupakan penyebab utama kedua kematian terkait kanker pada perempuan Australia, dimana sekitar 15,3% dari semua kematian
Universitas Sumatera Utara
12
akibat kanker pada perempuan. Terdapat 2.864 kematian akibat kanker payudara yaitu 2.840 perempuan dan 24 laki-laki (Australian Government, 2013). Pada tahun 2011, sekitar 39.520 perempuan di Amerika Serikat meninggal
akibat
kanker payudara (Mandal, 2013). Di Indonesia, berdasarkan data rekam medis RS Kanker Dharmais tahun 2010, kanker payudara menempati urutan pertama dari segi jumlah pasien yang datang berobat. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, prevalensi kanker payudara pada periode Januari-Desember 2009 adalah 275 kasus. Kanker payudara ditemukan pada 0,36% pria dan 99,64% wanita. Golongan umur yang paling banyak ditemukan adalah antara 40-49 tahun yaitu sebanyak 37,82%, sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara 70-79 tahun yaitu sebanyak 2,55%. Jenis histopatologi kanker payudara yang paling banyak ditemukan adalah invasive ductal carcinoma mamae dengan persentase kasus sebesar 60,37%. Berdasarkan stadium kanker payudara, stadium yang paling banyak terjadi adalah stadium IIIb sebanyak 37,82% dan yang paling sedikit ditemukan adalah stadium II dengan persentase sebanyak 1,09%. Sementara itu, di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data rekam medis pada tahun 2012, ada sebanyak 200 pasien baru yang terdiagnosis kanker payudara yang datang berobat ke bagian bedah onkologi RSUP. H. Adam Malik. Di Indonesia, hampir 70% penderita kanker ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, dimana sebagian besar pasien kanker payudara yang berobat ke RS/ dokter (>50%) sudah dalam keadaan stadium lanjut. Setiap tahunnya 100 kasus baru terjadi diantara 100.000 penduduk. Meningkatnya pengguna rokok,
Universitas Sumatera Utara
13
konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan kurangnya aktifitas fisik/ olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian kanker di Indonesia. Berdasarkan kelompok umur, semakin tua usia maka risiko terkena penyakit kanker semakin tinggi, mencapai puncaknya pada usia 35 sampai 44 tahun, kemudian secara perlahan risikonya akan menurun dan akan terjadi peningkatan kembali pada usia >65 tahun. Menurut jenis kelamin, risiko penyakit kanker lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Oemiati, dkk., 2011).
2.1.2
Faktor risiko Sulit untuk mengetahui berapa besar peran dari faktor risiko menyebabkan
munculnya kanker payudara. Ada perempuan yang memiliki satu atau lebih faktor risiko tetapi tidak terkena kanker payudara, sementara ada perempuan tidak memiliki faktor risiko yang jelas (selain karena faktor jenis kelamin dan usia) tetapi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013). Beberapa faktor risiko kanker payudara antara lain:
2.1.2.1 Jenis kelamin Perempuan lebih berisiko 100 kali terkena kanker payudara dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena pria hanya memiliki sedikit hormon estrogen dan progesteron dibandingkan perempuan, yang dapat memicu berkembangnya kanker payudara (Ostad and Parsa, 2011).
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.2.2 Usia Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Risiko terkena kanker payudara terus meningkat setelah usia 30 tahun sampai rentang usia 45-50 (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Sekitar 1 dari 8 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan berusia lebih muda dari 45 tahun, sementara sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan usia 55 tahun atau lebih (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.3 Riwayat keluarga Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara merupakan faktor risiko utama (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Mereka yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara dua kali lipat berisiko terkena kanker payudara. Sekitar 15% perempuan yang mendapat kanker payudara memiliki anggota keluarga yang juga menderita kanker payudara. Sekitar 5-10 % dari kanker payudara dikaitkan dengan mutasi gen (perubahan abnormal) diturunkan dari ibu atau ayah (Mandal, 2013). Memiliki satu kerabat tingkat pertama (ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan kanker payudara membuat seorang perempuan memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker payudara. Memiliki 2 kerabat tingkat pertama dengan kanker payudara meningkatkan risiko sekitar 3 kali lipat (Loman, et.al., 2003). Secara keseluruhan, kurang dari 15% perempuan penderita kanker payudara memiliki anggota keluarga yang menderita kanker payudara juga. Ini berarti bahwa sebagian besar (>85%) perempuan yang
Universitas Sumatera Utara
15
terkena kanker payudara tidak memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.4 Riwayat pribadi kanker payudara Faktor risiko utama terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat pribadi kanker sebelumnya pada sisi payudara yang lain. Seorang perempuan dengan kanker pada satu sisi payudara memiliki 3-4 kali lipat peningkatan risiko berkembangnya kanker baru pada payudara yang lain atau sisi lain dari payudara yang sama (Armstrong, et.al., 2000). Hal ini berbeda dengan kondisi kekambuhan (recurrence).
2.1.2.5 Ras dan etnis Perbedaan etnis merupakan faktor lain yang mempengaruhi prevalensi kanker payudara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kanker payudara lebih umum terjadi pada orang kulit putih. Perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh faktor gaya hidup dan kondisi sosial. Wanita yang memiliki pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki risiko yang lebih besar terkena kanker payudara, dikarenakan pola reproduksi mereka, termasuk kehamilan pertama. Perbedaan etnis dalam hal subtipe reseptor estrogen dan progesteron juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya kanker payudara. Dalam Study kohort multietnis, dilaporkan berbagai status estrogen reseptor (ER)/progesteron reseptor (PR) termasuk ER-/PR-, ER+/PR+,
Universitas Sumatera Utara
16
ER-/PR+ dan ER+/PR- bervariasi secara signifikan di seluruh kelompok ras/ etnis bahkan dalam stadium tumor yang sama (Ostad and Parsa, 2011).
2.1.2.6 Jaringan payudara yang padat Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan kelenjar. Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat (seperti yang terlihat pada mammogram) ketika mereka memiliki lebih banyak jaringan kelenjar dan fibrosa serta jaringan lemak yang lebih sedikit. Perempuan dengan jaringan payudara yang padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara dibandingkan perempuan dengan payudara kurang padat. Sayangnya, jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram kurang akurat. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause), kehamilan, dan genetik (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.7 Memiliki penyakit payudara yang bersifat jinak Perempuan dengan penyakit payudara yang bersifat jinak memiliki peningkatan risiko terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Risiko ini bervariasi, sesuai dengan gambaran subkategori histopatologis nya (Terry and Rohan, 2002).
Universitas Sumatera Utara
17
Penyakit payudara yang bersifat jinak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : (American Cancer Society, 2013)
a.
Lesi non-proliferasi Kondisi ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan jaringan payudara yang berlebih. Kondisi payudara jenis ini tampaknya tidak mempengaruhi risiko kanker payudara, atau jika berpengaruh, maka pengaruhnya sangat kecil. Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain fibrosis dan/ atau simpel kista (penyakit fibrokistik), hiperplasia ringan, adenosis non-sklerosis, ductal ectasia, tumor phyllodes jinak, papilloma tunggal, fat necrosis, fibrosis periduktal, metaplasia skuamosa dan apokrin, kalsifikasi terkait epitel dan tumor jinak lainnya (lipoma, hamartoma, hemangioma, neurofibroma, adenomyoepthelioma). Mastitis (infeksi payudara) tidak meningkatkan risiko kanker payudara.
b.
Lesi proliferatif non-atipia Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara. Kondisi meningkatkan risiko seorang perempuan terkena kanker payudara sekitar 1½-2 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperplasia duktal (non-atypia), fibroadenoma, adenosis sklerosis, beberapa papiloma (papillomatosis), bekas luka radial.
Universitas Sumatera Utara
18
c.
Lesi proliferatif atipia Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara, dengan beberapa sel tidak lagi normal. Kondisi ini memberikan efek yang lebih kuat pada risiko kanker payudara 3½ - 5 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain hiperplasia duktus atipikal (Atypical ductal hyperplasia/ ADH) dan hiperplasia lobular atipikal (Atypical lobular hyperplasia/ ALH). Perempuan dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan hiperplasia atau hiperplasia atipikal memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker payudara.
Selain kondisi di atas, kondisi Lobular carcinoma in situ (LCIS) juga merupakan faktor risiko kanker payudara. Pada kondisi LCIS, sel-sel yang terlihat seperti sel-sel kanker tumbuh di lobulus kelenjar penghasil susu dari payudara, tetapi tidak tumbuh pada dinding lobulus. LCIS (juga disebut lobular neoplasia) kadang-kadang dikelompokkan dengan ductal carcinoma in situ (DCIS) sebagai kanker payudara non-invasif, tetapi berbeda dari DCIS tidak menjadi kanker invasif meskipun tidak diobati. Perempuan dengan kondisi ini memiliki 7-12 kali lipat peningkatan risiko kanker payudara yang invasif. Dengan alasan ini, perempuan dengan LCIS harus melakukan mammografi reguler (Kumar, 2007; American Cancer Society, 2013).
Universitas Sumatera Utara
19
2.1.2.8 Periode menstruasi Perempuan yang memiliki siklus menstruasi lebih banyak, karena mereka mulai menstruasi lebih awal (<13 tahun) dan/ atau mengalami menopause lebih lama (>55 tahun), memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007; DEPKES RI, 2009). Peningkatan risiko mungkin karena paparan seumur hidup lebih lama terhadap hormon estrogen dan progesteron (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003; Ostad and Parsa, 2011).
2.1.2.9 Paritas, riwayat reproduksi, dan riwayat menyusui Jumlah paritas yang banyak (multipara) erat kaitannya dengan penurunan risiko kanker payudara (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003). Perempuan yang tidak memiliki anak atau kelahiran hidup anak pertama setelah usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan beberapa kali dan hamil pada usia muda mengurangi risiko kanker payudara. Sebaliknya usia kehamilan penuh pertama yang lebih tua mempunyai risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan mengurangi jumlah siklus menstruasi selama hidup, yang mungkin menjadi alasan untuk efek ini (American Cancer Society, 2013). Beberapa studi menunjukkan bahwa menyusui dapat menurunkan risiko kanker payudara, terutama jika dilanjutkan selama 1½-2 tahun, dikarenakan berkurangnya jumlah total siklus menstruasi (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003).
Universitas Sumatera Utara
20
2.1.2.10 Kontrasepsi Hormon estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi (Combined Oral Contraception/ COC) atau terapi sulih hormon (Hormone Replacement Therapy/ HRT), juga mengakibatkan peningkatan risiko kanker payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah hormon estrogen yang digunakan dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan progesteron (Wrensch, et.al., 2003).. Data tentang efek kontrasepsi oral pada risiko terjadinya kanker payudara masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan peningkatan risiko kanker payudara pada pengguna kontrasepsi oral jangka panjang (>7 tahun) (DEPKES RI, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain, tidak ada terlihat perbedaan yang signifikan. Penggunaan terapi hormon postmenopause jangka panjang dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Sebaliknya, terapi hormon jangka pendek tampaknya tidak meningkatkan risiko kanker payudara secara signifikan (Ostad and Parsa, 2011). Pada sebuah studi yang dilakukan di Oxford yang meneliti 52.705 wanita yang menggunakan HRT ≥ 5 tahun menunjukkan 3-9 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang menggunakan HRT selama 10 tahun dan 5-20 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang menggunakan HRT selama 15 tahun (Connor and Stuenkel, 2001). Terapi hormon estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah digunakan selama bertahun-tahun untuk
membantu meringankan
gejala
menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Terapi hormon estrogen tuggal setelah menopause tidak meningkatkan risiko kanker payudara, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
21
menggunakan terapi kombinasi hormon (estrogen-progesteron) setelah menopause meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini juga dapat meningkatkan kemungkinan kematian akibat kanker payudara. Peningkatan risiko dapat dilihat hanya dalam 2 tahun penggunaan. Risiko kanker payudara akan kembali seperti populasi umum setelah 5-10 tahun menghentikan penggunaan terapi kombinasi hormon (Connor and Stuenkel, 2001; Kumar, 2007).
2.1.2.11 Peminum alkohol Penggunaan alkohol juga terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara (DEPKES RI, 2009). Data epidemiologis telah mengidentifikasi konsumsi alkohol kronis sebagai faktor risiko yang signifikan untuk kanker. Dibuktikan bahwa asetaldehida bertanggung jawab pada proses karsinogenesis terkait alkohol. Asetaldehida merupakan karsinogenik dan mutagenik, berikatan dengan DNA dan protein, merusak folat dan menyebabkan hiperproliferasi sekunder (Poschl and Seitz, 2004). Dibandingkan
dengan
yang
tidak
peminum,
perempuan
yang
mengkonsumsi minuman beralkohol dengan rutin lebih dari 3 kali sehari memiliki risiko 3,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengkonsumsi alkohol (Wrensch, et.al., 2003).
2.1.2.12 Kelebihan berat badan atau obesitas Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause meningkatkan risiko kanker payudara (DEPKES RI, 2009). Sebelum menopause ovarium
Universitas Sumatera Utara
22
menghasilkan hormon estrogen yang paling banyak, dan jaringan lemak menghasilkan hormon estrogen dalam jumlah kecil. Setelah menopause (ketika ovarium berhenti mensekresikan estrogen), sebagian besar dari estrogen perempuan berasal dari jaringan lemak, sehingga memiliki lebih banyak jaringan lemak setelah menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara (McTiernan, et.al., 2003).
2.1.2.13 Kurangnya aktivitas fisik Aktifitas fisik mengurangi risiko kanker payudara. Aktivitas fisik dapat memodulasi kadar hormon reproduksi wanita dan mempengaruhi karakteristik menstruasi. Selain itu, wanita yang aktif lebih mudah menjadi ramping, yang berhubungan dengan rendahnya risiko kanker payudara pascamenopause (Lee, et.al., 2001). Dalam sebuah penelitian Women's Health Initiative, jalan cepat sedikitnya selama 1,25-2,5 jam per minggu akan mengurangi risiko kanker payudara sebesar 18% (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.14 Bahan kimia di lingkungan Senyawa pada lingkungan yang memiliki sifat seperti estrogen seperti zat yang ditemukan pada plastik, kosmetik tertentu dan produk perawatan pribadi, pestisida (seperti DDT), dan PCB (polychlorinated biphenyls), dapat tertimbun di jaringan adiposa, mempengaruhi risiko kanker payudara. Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan bahan kimia tersebut akan meningkatkan risiko terkena kanker payudara, akan tetapi data yang ada masih kontroversial, sehingga
Universitas Sumatera Utara
23
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih spesifik efek senyawa tersebut atau sejenisnya terhadap kesehatan (Ostad and Parsa, 2011).
2.1.2.15 Asap rokok Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa asap tembakau mengandung potensi karsinogen pada payudara manusia (termasuk hidrokarbon polisiklik/ PAH, 2 amina aromatik, dan N-nitrosamin). Karsinogen yang ditemukan dalam asap tembakau tersebut dapat melewati membran alveolar dan masuk ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat diangkut ke payudara melalui lipoprotein plasma. Karena bersifat lipofilik, karsinogen yang terkait tembakau tersebut dapat disimpan dalam jaringan adiposa payudara dan kemudian dimetabolisme dan diaktivasi oleh sel epitel payudara (American Cancer Society, 2013; Terry and Rohan, 2002). Temuan adanya mutasi gen p53 dalam jaringan payudara perokok mendukung secara biologis adanya hubungan positif antara merokok dan kanker payudara, seperti halnya deteksi aktifitas karsinogenik dalam cairan payudara. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi mutasi gen p53 yang lebih tinggi ditemukan dalam jaringan payudara perokok dibandingkan dengan bukan perokok, yang secara biologis membuktikan adanya hubungan positif antara merokok dan risiko kanker payudara. Peningkatan risiko kanker payudara dapat terjadi bila merokok untuk jangka waktu yang lama, merokok saat hamil, dan perokok pasif. (Terry and Rohan, 2002).
Universitas Sumatera Utara
24
Pada tahun 2009, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker menyimpulkan bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 30 tahun memiliki risiko terkena kanker payudara 2,4 kali dibandingkan dengan perempuan yang tidak merokok (Wrensch, et.al., 2003).
2.1.3 Penyebab Faktor
genetik
berkontribusi
terhadap
insiden
kanker
payudara.
Diperkirakan sekitar 5% dari semua kasus kanker payudara dan sekitar 25% dari kasus yang terkait genetik didiagnosis pada usia muda (<30 tahun). Faktor genetik yang paling sering menjadi penyebab terjadinya kanker payudara yaitu adanya mutasi gen (Miki, et.al., 1994; Mattiske, et.al., 2012). Mutasi gen yang dapat memicu berkembangnya kanker payudara antara lain:
2.1.3.1 BRCA1 dan BRCA2 Penyebab paling umum berkembangnya kanker payudara adalah karena mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 yang diturunkan. Gen BRCA1 dan BRCA2 mengkode protein tumor suppressor, suatu protein yang bertindak sebagai regulator negatif pertumbuhan tumor, yang terlibat dalam perbaikan kerusakan DNA, apoptosis dan regulasi siklus sel (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001; Lee, et.al., 2011). Gen BRCA1 dan BRCA2 terbukti terlibat tidak hanya pada kanker payudara, tetapi juga pada kanker ovarium dan prostat.
Universitas Sumatera Utara
25
Gen BRCA1 dan BRCA2 bertanggung jawab atas 80-90% dari semua kanker payudara yang bersifat familial (Ergul and Sazci, 2000). Jika seseorang telah mewarisi salinan gen yang bermutasi dari orang tua, memiliki risiko hingga 80% terkena kanker payudara selama masa hidup mereka (Ergul and Sazci, 2000; Mandal, 2013). Seseorang yang memiliki mutasi gen BRCA1 berisiko terkena kanker payudara sekitar 45-65% (tertinggi 80%), sedangkan yang memiliki mutasi gen BRCA2 risiko lebih rendah, sekitar 45% (Miki, et.al., 1994). Terjadinya mutasi pada gen BRCA1 atau BRCA2 menyebabkan hilangnya atau berkurangnya fungsi gen, yang menjadi predisposisi tumbuh dan berkembangnya kanker payudara (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001; Stefansson, et.al., 2012). Kanker payudara terkait dengan mutasi gen ini terjadi lebih sering pada perempuan dengan usia lebih muda dan lebih sering terjadi pada kedua payudara. Perempuan dengan mutasi gen ini juga memiliki peningkatan risiko untuk terkena kanker lainnya, seperti kanker ovarium (American Cancer Society, 2013). Upaya untuk mengisolasi gen BRCA1 pertama sekali dilakukan pada penelitian yang dilakukan oleh Hal, et al. pada tahun 1990. Gen BRCA1 dipetakan pada kromosom 17q21.3 dengan panjang 100 kb dan mengkode protein yang terdiri dari 1863 asam amino. Gen ini ditranskripsikan dalam beberapa jaringan, paling banyak diekspresikan dalam thymus, testis, payudara dan ovarium. BRCA1 terlibat dalam perbaikan DNA, transaktivasi transkripsi, apoptosis dan kontrol siklus sel (Miki, et.al., 1994; Ergul and Sazci, 2000; Kumar, 2007). Stimulasi estrogen dari sel epitel payudara diduga menjadi faktor utama dalam memicu perkembangan kanker payudara. Protein BRCA1 berfungsi
Universitas Sumatera Utara
26
mengatur respon seluler terhadap estrogen, dimana gen BRCA1 wild type menghambat sinyal ER. Protein BRCA1 wild type berikatan pada sejumlah protein selular, termasuk DNA repair protein Rad 51, RNA polymerase II holoenzyme, RNA helicase A, CtBP-interacting protein, c-myc, BRCA1associated RING domain protein (BARD1), BRCA2 protein, dan sebagainya. Protein-protein tersebut memediasi fungsi BRCA1. Oleh karena itu, mutasi BRCA1 dapat mempengaruhi komposisi kompleks tersebut dan disregulasi fungsi protein tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan berkembangnya keganasan. BRCA1 juga berinteraksi dengan p53 secara in vitro dan in vivo, dimana protein BRCA1 berfungsi sebagai co-aktivator p53 (Ergul and Sazci, 2000). Selain gen BRCA1, mutasi gen kerentanan kanker payudara lainnya yaitu gen BRCA2, dipetakan pada kromosom 13q12-13 (Miki, et.al., 1994; Ergul and Sazci, 2000; Kumar, 2007). Gen BRCA2 lebih besar dari BRCA1, dengan 10.254 pasangan basa yang menkode 3418 asam amino. BRCA2 paling banyak diekspresikan dalam thymus dan testis, sedangkan dalam kelenjar payudara dan prostat diekspresikan pada level moderat. Protein BRCA2, seperti BRCA1, memainkan peranan dalam regulasi transkripsi dan perbaikan DNA. Hal ini menunjukkan bahwa BRCA2 berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel. (Ergul and Sazci, 2000). Kanker payudara terkait gen BRCA terkesan lebih agresif, disebabkan oleh ketidakstabilannya dalam kromosom secara intrinsik, kegagalan perbaikan DNA dan regulasi sentrosom yang disfungsional (Hedenfalk, et.al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
27
Mutasi gen lain juga dapat menyebabkan kanker payudara yang bersifat diturunkan, akan tetapi lebih jarang dan sering tidak meningkatkan risiko kanker payudara seperti gen BRCA.
2.1.3.2 ATM Gen ATM berperan dalam membantu memperbaiki kerusakan DNA. Dalam studi terbaru, dibuktikan bahwa gen ataksia telangiektasia (AT), yang disebut ATM, berperan dalam perkembangan kanker payudara (Ergul and Sazci, 2000). Bila mewarisi 2 salinan abnormal gen ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit ataksia- telangiektasia, bila mewarisi 1 salinan mutasi gen berisiko tinggi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013). Gen ATM diidentifikasi berada pada kromosom 11q22 – 23, sebesar 13.000 bp yang mengkode protein yang terdiri dari 3.500 asam amino. Target kunci ATM di downstream adalah p53, yang difosforilasi dan distabilkan oleh ATM, sebagai respon terhadap kerusakan DNA. Hilangnya fungsi ATM pada sel menyebabkan gangguan dalam perbaikan DNA dan kontrol checkpoint siklus sel, hal ini menyebabkan berkembangnya kanker (Ergul and Sazci, 2000). Pasien ataksia telangiektasia (AT) homozigot memiliki insiden kanker yang sangat tinggi, dimana pasien AT dengan mutasi homozigot mengalami peningkatan risiko kanker 100-200 kali lipat. Sementara pada pasien AT dengan mutasi heterozigot mengalami peningkatan risiko terkena kanker payudara 3-5 kali lipat (terutama kanker payudara pada perempuan). Kebanyakan pasien AT
Universitas Sumatera Utara
28
tidak dapat bertahan hidup sampai usia di mana umumnya kanker payudara terjadi. (de Jong, et.al., 2002)
2.1.3.3 Tp53 Gen Tp53 mengkode pembentukan protein p53 yang merupakan faktor transkripsi dan juga memainkan peran penting dalam membantu menghentikan pertumbuhan sel-sel abnormal (tumor supresor gen). Gen Tp53 terletak pada kromosom 17p13.1, berisi 393 kodon dan mengkode protein inti 53.000 D (Ergul and Sazci, 2000). Mutasi yang menonaktifkan gen Tp53 terjadi pada berbagai jenis kanker, termasuk kanker payudara (de Jong, et.al., 2002; Gasco, et.al., 2002; Ergul and Sazci, 2000). Mutasi somatik gen Tp53 pada kanker payudara dilaporkan mencapai 19%-57% (de Jong, et.al., 2002). Mewarisi mutasi gen Tp53 secara autosomal dominan menyebabkan sindrom Li-Fraumeni. Individu dengan sindrom ini memiliki peningkatan risiko terjadinya kanker payudara, serta beberapa jenis kanker lain seperti leukemia, tumor otak, dan osteosarkoma, karsinoma adrenokortikal (de Jong, et.al., 2002; Ergul and Sazci, 2000). Dalam sebuah penelitian terhadap 231 pasien dengan mutasi germline p53, kanker payudara merupakan kanker yang paling umum terjadi (Ergul and Sazci, 2000). Risiko terkena kanker payudara sebelum usia 45 tahun menjadi 18 kali lipat lebih tinggi untuk perempuan yang terkena sindrom ini dibandingkan dengan populasi normal. Peningkatan risiko paling banyak pada
Universitas Sumatera Utara
29
usia di bawah 20 tahun dan menurun seiring dengan bertambahnya usia ( de Jong, et.al., 2002). Pada kanker payudara, mutasi p53 dikaitkan dengan kondisi penyakit yang lebih agresif dan prognosis buruk (Gasco, et.al., 2002; Ergul and Sazci, 2000). Frekuensi mutasi p53 lebih rendah pada kanker payudara dibandingkan pada tumor padat lainnya. Perubahan, baik genetik maupun epigenetik, mempengaruhi pada pengendalian aktivitas p53 dan beberapa target transkripsi p53 di downstream pada kanker payudara. Analisis patologi molekuler dari struktur dan ekspresi konstituen jalur p53 bernilai dalam menentukan diagnosis, prognosis dan penatalaksanaan kanker payudara (Gasco, et.al., 2002).
2.1.3.4 PTEN Pada manusia gen PTEN dipetakan pada kromosom 10q23. PTEN merupakan fosfatase, tetapi tidak seperti fosfatase lain. Bukan merupakan protein, tetapi merupakan molekul lemak di sela membran sel. Target lipid adalah phosphatidylinositol-3,4,5-trifosfat (PIP3) dan merupakan komponen kunci dari jalur utama kontrol pertumbuhan sel, bertindak untuk merangsang pertumbuhan sel dan menghambat apoptosis. Dengan melepaskan satu dari tiga fosfat pada PIP3, PTEN mengendalikan jalur pertumbuhan dan memungkinkan terjadinya proses kematian sel (Ergul and Sazci, 2000). Mutasi gen PTEN pada proses tumorigenesis membuat jalur PIP3 tidak tepat diaktifkan, yang memungkinkan sel-sel yang seharusnya mati bermutasi dan tumbuh tak terkendali (Ergul and Sazci, 2000). Mutasi gen PTEN terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
30
80% penderita sindrom Cowden (kelainan autosomal dominan). Pada penderita sindrom Cowden perempuan dengan mutasi gen PTEN memiliki risiko kanker payudara 25-50% seumur hidupnya ( de Jong, et.al., 2002).
2.1.4
Gejala dan tanda Skrining menggunakan mammogram telah meningkatkan jumlah kasus
kanker payudara yang terdeteksi sebelum menimbulkan gejala apapun. Namun, masih ada beberapa jenis kanker payudara yang tidak terdeteksi oleh mammogram. Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah adanya benjolan atau massa yang tidak nyeri dan massa padat dengan tepi yang tidak teratur. Tapi kanker payudara dapat juga berupa massa yang lembut dan berbatas tegas dan sangat nyeri. Oleh karena itu, bila dijumpai massa di payudara harus segera diperiksakan ke dokter yang ahli dan berpengalaman dalam mendiagnosis penyakit payudara (DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013). Kemungkinan tanda-tanda lain dari kanker payudara antara lain pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara, iritasi kulit atau dimpling, nyeri payudara atau puting, retraksi puting (lipatan puting), kemerahan atau penebalan pada puting atau kulit payudara, keluar cairan dari puting/ selain ASI (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013) Kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening di bawah lengan atau di sekitar tulang selangka dan menyebabkan benjolan atau pembengkakan di daerah tersebut, bahkan sebelum tumor primer di jaringan
Universitas Sumatera Utara
31
payudara cukup besar. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat disebabkan oleh halhal lain selain kanker payudara, jika seseorang memilikinya, mereka harus melaporkan kepada dokter sehingga penyebabnya dapat ditemukan segera (DEPKES RI 2009; American Cancer Society, 2013).
2.1.5 Penegakan diagnosis Kanker payudara sering ditemukan setelah gejala muncul, karena kebanyakan kanker payudara stadium dini tidak memiliki gejala. Jika ada sesuatu yang mencurigakan ditemukan setelah dilakukan skrining, atau jika dijumpai salah satu dari gejala kanker payudara seperti yang dijelaskan di atas, dokter akan menggunakan satu atau beberapa metode pemeriksaan untuk mendeteksi kanker payudara, antara lain sebagai berikut :
2.1.5.1 Riwayat medis dan pemeriksaan fisik Riwayat medis meliputi gejala, masalah kesehatan lainnya, dan faktorfaktor risiko yang mungkin untuk berkembangnya kanker payudara. Pemeriksaan payudara untuk menilai tekstur, ukuran, dan hubungan dengan kulit dan otot dada, perubahan pada puting atau kulit payudara. Kelenjar getah bening di aksila dan di atas tulang selangka juga diraba, karena pembesaran kelenjar getah bening dapat mengindikasikan penyebaran kanker payudara. Juga dilakukan pemeriksaan fisik lengkap untuk menilai kesehatan secara umum dan membuktikan apakah kanker telah menyebar. Jika dari gejala dan/ atau hasil pemeriksaan fisik mengarah kepada dugaan kanker payudara, maka akan dilakukan pemeriksaan tambahan,
Universitas Sumatera Utara
32
seperti tes pencitraan, pemeriksaan sampel nipple discharge, atau melakukan biopsi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).
2.1.5.2 Tes Pencitraan Tes pencitraan dapat dilakukan untuk untuk membantu mendiagnosis kanker, mengetahui seberapa jauh kanker telah menyebar, dan untuk monitoring terapi. Tes pencitraan yang dapat dilakukan antara lain : (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013)
a.
Rontgen dada Tes ini dapat dilakukan untuk melihat apakah kanker payudara telah menyebar ke paru-paru
b.
Mammogram Untuk mendeteksi area yang abnormal pada payudara
c.
Scan tulang Dapat membantu menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke tulang.
d.
Computed Tomography (CT)-Scan Untuk melihat apakah kanker telah menyebar ke organ lain di luar payudara.
Universitas Sumatera Utara
33
e.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan Menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat. Digunakan untuk mencari kanker yang telah menyebar ke berbagai bagian tubuh, sama seperti CT scan. MRI scan sangat membantu dalam melihat otak dan tulang belakang.
f.
Ultrasonography (USG) Digunakan untuk mencari kanker yang telah menyebar ke beberapa bagian tubuh yang lain, terutama untuk melihat organ di daerah perut seperti hati atau organ perut lainnya.
g.
Positron emission tomography (PET) scan Sejauh ini, studi menunjukkan PET scan kurang membantu untuk kanker payudara dini, tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi tumor yang sangat besar, kanker payudara inflamasi, atau untuk kanker payudara yang telah menyebar.
Tes pencitraan terbaru yaitu scintimammography dan tomosynthesis, masih belum digunakan secara umum dan manfaatnya masih sedang terus dipelajari (American Cancer Society, 2013).
Universitas Sumatera Utara
34
2.1.5.3 Biopsi Biopsi dilakukan ketika pada pemeriksaan dengan mammogram, tes pencitraan lainnya, atau pemeriksaan fisik ditemukan adanya perubahan/ kelainan pada payudara yang mungkin kanker. Hingga saat ini biopsi adalah satu-satunya alat diagnostik untuk memastikan kanker atau tidak. Sampel diambil dari bagian tubuh yang dicurigai, dalam bentuk sediaan hapusan jaringan untuk dilihat di bawah mikroskop oleh dokter ahli patologi anatomi. Ada beberapa jenis biopsi, seperti, biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy), biopsi jarum inti/ besar ( core /large needle biopsy) , dan biopsi bedah (surgical biopsy). Jenis biopsi yang digunakan tergantung pada kondisi khusus pasien, dimana masingmasing memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis biopsi adalah besar lesi yang dicurigai, posisi lesi pada payudara, banyaknya lesi, dan sebagainya.
a.
Biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/ FNA), Pada biopsi aspirasi jarum halus (FNA) digunakan jarum berongga sangat tipis yang melekat pada jarum suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah kecil jaringan dari daerah yang dicurigai, yang kemudian dilihat di bawah mikroskop (Taghian AG, 2010). Biopsi FNA merupakan jenis biopsi yang paling mudah, tetapi memiliki beberapa kelemahan. Hasil positif pada pemeriksaan ini bukan indikasi untuk bedah radikal karena hasil positif palsu dapat terjadi, sementara hasil negatif palsu juga sering terjadi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Kanker bisa tidak terdeteksi jika jarum
Universitas Sumatera Utara
35
ditempatkan tidak tepat di antara sel-sel kanker. Bahkan jika sel-sel kanker ditemukan, biasanya sulit ditentukan apakah kanker invasif. Jika hasil biopsi FNA masih belum jelas, maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi jenis lainnya untuk konfirmasi (Taghian AG, 2010).
b.
Biopsi jarum inti ( core needle biopsy) Biopsi inti menggunakan jarum yang lebih besar dibandingkan dengan jarum untuk biopsi FNA untuk aspirasi sampel yang penentuan lokasinya dipandu dengan menggunakan USG atau mammogram. Dikenal sebagai stereotactic core needle biopsy. Potongan jaringan yang diambil lebih besar dari biopsi FNA, sehingga hasilnya lebih jelas untuk penegakan diagnosis (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Taghian AG, 2010), meskipun masih ada beberapa jenis kanker yang belum jelas dengan menggunakan metode ini.
c.
Biopsi bedah/ biopsi terbuka (surgical biopsy) Kanker payudara biasanya dapat didiagnosis cukup dengan menggunakan biopsi jarum. Operasi jarang dilakukan untuk membuat hapusan semua atau sebagian dari benjolan untuk diperiksa di bawah mikroskop, tapi kadang biopsi bedah (terbuka) diperlukan, tergantung lokasi lesi, bila biopsi jarum tidak memberikan hasil yang jelas (Taghian AG, 2010; American Cancer Society, 2013).
Universitas Sumatera Utara
36
d.
Biopsi kelenjar getah bening Jika kelenjar getah bening di bawah aksila membesar (baik dengan diraba atau dengan tes pencitraan seperti mamografi atau USG), perlu diperiksa untuk mengetahui penyebaran kanker. Dilakukan dengan biopsi kelenjar getah bening sentinel (sentinel lymph node biopsy) dan / atau diseksi kelenjar getah bening aksila (American Cancer Society, 2013).
Sampel biopsi jaringan payudara diperiksa di laboratorium untuk menentukan ada atau tidaknya kanker, menentukan jenis sel kanker, grading kanker, menilai status reseptor estrogen dan progesteron, serta status HER2/neu.
2.1.5.4 Tumor Marker Tumor marker adalah suatu zat yang dijumpai pada urin, darah, atau jaringan orang normal, yang dapat diproduksi lebih banyak pada penderita kanker. Zat tersebut dapat berupa enzim, hormon, oncofetal antigen atau reseptor (Duffy and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013). Tumor marker dapat dihasilkan baik oleh kanker sendiri ataupun oleh tubuh sebagai respon terhadap kanker. Secara umum, peningkatan kadar tumor marker masih sedikit pada tahap awal penyakit (tapi lebih tinggi dari normal) dan semakin meningkat pada penyakit tahap lanjut. Selanjutnya, kadarnya akan menurun sebagai respon terhadap pengobatan dan meningkat kembali ketika kanker berkembang (Henry and Hayes, 2006; Harris, et.al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
37
The American Society of Clinical Oncology (ASCO) mengadakan panel ahli yang pertama kali menerbitkan panduan mengenai rekomendasi penggunaan tumor marker berbasis jaringan dan darah untuk kanker payudara pada tahun 1996 dan kemudian panduan tersebut diperbarui pada tahun 2001 (Henry and Hayes, 2006). Tabel 2.1, menunjukkan tumor marker yang lazim diperiksa untuk membantu menegakkan diagnosis pada sangkaan kanker payudara. Tabel 2.1 Tumor marker kanker payudara
Sumber: Henry and Hayes, 2006.
a.
Tumor marker berbasis darah Panel ASCO mengevaluasi beberapa tumor marker serum untuk kanker payudara, termasuk tes CA15-3/ CA27.29, carcinoembryonic antigen (CEA), dan HER-2/neu domain ekstraselular yang bersirkulasi. Panel tidak merekomendasikan pemeriksaan tumor marker tersebut untuk skrining, diagnosis,
penentuan
stadium,
atau
monitoring
kondisi
pasien.
Pemeriksaan CA15-3 atau CA27.29 dan/ atau CEA direkomendasikan, namun hanya untuk pasien kanker payudara yang telah mengalami
Universitas Sumatera Utara
38
metastasis dan akan menjalani terapi paliatif (Henry and Hayes, 2006; Harris, et.al., 2007). Hal tersebut dikarenakan oleh peningkatan level CA15-3 <10% pada pasien kanker payudara dini dan sekitar 70% pada pasien stadium lanjut, sedangkan CA27.29 tidak lebih baik dari CA15-3, karena tidak selalu meningkat pada setiap pasien kanker payudara. Kadar CA15-3, CA27.29 dan CEA tidak hanya meningkat dalam darah penderita kanker payudara saja, tetapi juga meningkat pada darah penderita kanker lainnya seperti kanker paru, hati, ovarium, pankreas, saluran pencernaan, bahkan dapat juga meningkat pada kondisi non-keganasan seperti endometriosis dan hepatitis, sehingga tidak cukup spesifik sebagai marker untuk mendeteksi kanker payudara (Duffy and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013).
b.
Tumor marker berbasis jaringan Pemeriksaan rutin beberapa tumor marker berbasis jaringan juga dibahas dalam panel ASCO. Panel merekomendasikan pemeriksaan rutin estrogen reseptor (ER) dan progesteron reseptor (PgR) untuk mengidentifikasi pasien yang potensial mendapat terapi endokrin, baik dalam stadium awal penyakit ataupun kondisi metastasis. (Henry and Hayes, 2006). Sel payudara normal dan beberapa sel kanker payudara mempunyai reseptor yang berikatan dengan estrogen dan progesteron. Kedua hormon sering memicu pertumbuhan sel kanker payudara. Salah satu pemeriksaan yang cukup penting dalam mengevaluasi kanker payudara adalah dengan
Universitas Sumatera Utara
39
melakukan pemeriksaan reseptor estrogen dan progesteron dari sel kanker payudara hasil biopsi. Sel kanker bisa tidak memiliki kedua reseptor tersebut (ER-/PgR-), bisa hanya memiliki salah satu (ER+/PgR- atau ER/PgR+), atau memiliki kedua reseptor tersebut (ER+/PgR+). Kanker payudara dengan reseptor hormon-positif cenderung tumbuh lebih lambat dan berespon baik terhadap terapi hormon dibandingkan kanker payudara tanpa reseptor ini. Peran utama dari reseptor steroid, seperti estrogen reseptor (ER), adalah untuk mengatur laju transkripsi gen tertentu dengan berikatan sebagai kompleks reseptor hormon ke sekuensi DNA tertentu yang disebut hormone response element (HRE). Interaksi antara reseptor steroid dengan HRE dapat mengakibatkan perubahan regulasi transkripsi, tergantung pada ikatan dan aktivitas faktor spesifik tambahan terhadap gen target dan jaringan. Polimorfisme gen ER dapat mempengaruhi ikatan estrogen dan transkripsi berikutnya dalam gen target (Ergul and Sazci, 2000). Status ER dan PgR telah lama dijadikan sebagai marker patologi kanker payudara dan sekarang menjadi gold standar dalam menentukan terapi adjuvant (Kon, 2010). Fitur lain yang diuji untuk kanker payudara adalah amplifikasi Human Epidermal growth factor Receptor 2 (HER2/neu), merupakan reseptor yang mengaktifkan tirosin kinase, terikat pada permukaan membran sel. HER2 merupakan famili reseptor epidermal growth factor (ErbB), terlibat dalam jalur transduksi sinyal yang memicu pertumbuhan sel dan diferensiasi sel (Kon, 2010). Sekitar 1 dari 5 kanker payudara memiliki
Universitas Sumatera Utara
40
banyak protein pemicu pertumbuhan sel yang disebut HER2/neu (sering disingkat menjadi hanya HER2). Gen HER2/neu memberi perintah kepada sel untuk membentuk protein ini. Tumor dengan peningkatan kadar HER2/neu disebut sebagai HER2–positif. Perempuan penderita kanker payudara dengan HER2-positif memiliki banyak salinan gen HER2/neu, sehingga jumlah protein HER2/neu lebih besar dari perempuan normal. Kanker ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih agresif daripada kanker payudara lainnya. Semua kanker payudara yang baru didiagnosis harus dilakukan pemeriksaan HER2/neu, untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan, dimana kanker payudara dengan HER2-positif, jauh lebih efektif pengobatan bila diberikan terapi yang targetnya protein HER2/neu yaitu trastuzumab (Herceptin ®), antibodi monoklonal yang menghambat HER-2/neu (Henry and Hayes, 2006). Untuk tumor marker berbasis jaringan lainnya seperti p53 dan cathepsin, tidak cukup data untuk merekomendasikan penggunaannya dalam praktek klinis rutin (Henry and Hayes, 2006).
2.1.6
Jenis kanker payudara Jenis kanker payudara terdiri dari : (American Cancer Society, 2013)
2.1.6.1 Karsinoma duktal in situ Karsinoma duktal in situ (Ductal carcinoma in situ/ DCIS , juga dikenal sebagai karsinoma intraductal) dianggap kanker payudara noninvasif atau pre-
Universitas Sumatera Utara
41
invasif. Perbedaan antara DCIS dengan kanker invasif adalah bahwa sel belum menyebar (menginvasi) melalui dinding duktus ke sekitar jaringan payudara.
2.1.6.2 Karsinoma lobular in situ Jenis ini bukan kanker atau pre - kanker
2.1.6.3 Karsinoma duktal invasif (infiltratif) Jenis ini yang paling umum dari kanker payudara. Karsinoma duktal invasif/ infiltratif (Invasive Ductal Carcinoma /IDC ) dimulai pada saluran susu dari payudara, menerobos dinding duktus , dan berkembang ke dalam jaringan lemak payudara. Dapat menyebar (bermetastasis) ke bagian lain dari tubuh melalui sistem limfatik dan aliran darah. Sekitar 8 dari 10 kanker payudara invasif merupakan IDC.
2.1.6.4 Karsinoma lobular invasif (infiltratif) Karsinoma lobular invasif (Invasive lobular carcinoma/ ILC ) dimulai pada kelenjar yang memproduksi susu (lobulus). Seperti IDC, dapat menyebar (metastasis) ke bagian lain dari tubuh. Sekitar 1 dari 10 kanker payudara invasif merupakan ILC. Karsinoma lobular invasif lebih sulit dideteksi oleh mammogram daripada karsinoma duktal invasif .
Universitas Sumatera Utara
42
2.1.7 Klasifikasi kanker payudara Manajemen kanker payudara bergantung pada ketersediaan faktor prognostik dan prediktif patologis dan klinis yang baik untuk memandu pengambilan keputusan terhadap pasien dan pemilihan jenis terapi. Pada kanker payudara tiga faktor penentu prognostik utama yang digunakan dalam praktek rutin adalah status keterlibatan kelenjar getah bening (lymph node/ LN), ukuran tumor, dan grade histopatologi (Rakha, et.al., 2010; Dağlar, et.al., 2010). Ada
banyak
faktor
prognostik
yang
digunakan
untuk
menilai
kelangsungan hidup pasien kanker payudara. Beberapa faktor prognostik telah digabungkan ke dalam klasifikasi TNM atau yang terbaru dengan Nottingham Prognostic Index (NPI), keduanya sangat baik sebagai prediktif untuk memperkirakan kelangsungan hidup jangka panjang. Penentuan stadium sistem TNM berdasarkan ukuran tumor primer, keterlibatan kelenjar getah bening regional, dan adanya metastasis jauh, sedangkan untuk sistem NPI berdasarkan ukuran tumor, grade, dan keterlibatan kelenjar getah bening. Identifikasi faktor prognostik yang berhubungan dengan metastasis atau potensi pertumbuhan tumor primer dapat membantu dokter dalam menentukan terapi adjuvant dan memprediksi kelangsungan hidup pasien. Terapi adjuvant pada pasien berisiko tinggi dapat meningkatkan hasil secara keseluruhan (Dağlar, et.al., 2010).
2.1.7.1 Klasifikasi berdasarkan grading histopatologi Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi sel dan jaringan organisme secara mikroskopis. Analisis histologi dilakukan dengan memeriksa
Universitas Sumatera Utara
43
irisan tipis dari jaringan di bawah mikroskop cahaya (mikroskop optik) atau mikroskop elektron. Setelah urutan prosedur teknis untuk persiapan jaringan (fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, dan staining), gambar histologi dapat dihasilkan dengan teknik pencitraan yang berbeda-beda, didasarkan pada analisis manual atau otomatis yang dapat dilakukan untuk mendeteksi jaringan yang abnormal. Grading histopatologi umumnya dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis klinis kanker dan identifikasi target terapeutik dan prognostik (He, et.al., 2014). Grading tumor secara histopatologi didasarkan pada derajat diferensiasi dari jaringan tumor. Pada kanker payudara, mengacu pada evaluasi semikuantitatif karakteristik morfologi dan merupakan metode yang relatif sederhana dan lowcost. Irisan jaringan tumor diwarnai dengan hematoxylin-eosin, dinilai oleh ahli patologi anatomi yang terlatih menggunakan protokol standar (Rakha, et.al., 2010). Grading tumor tidak sama dengan stadium kanker. Stadium kanker mengacu pada ukuran dan/ atau batas lokasi tumor primer dan apakah sel kanker telah menyebar di dalam tubuh. Stadium kanker didasarkan pada faktor-faktor seperti lokasi tumor primer, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening regional (penyebaran kanker ke kelenjar getah bening di dekatnya), dan jumlah tumor yang hadir (Rakha, et.al., 2010). Sedangkan grading tumor merupakan deskripsi tumor yang didasarkan pada bagaimana kondisi abnormal sel-sel tumor dan jaringan tumor yang terlihat di bawah mikroskop. Hal ini merupakan indikator seberapa cepat tumor tumbuh dan menyebar. Jika sel-sel tumor dan
Universitas Sumatera Utara
44
susunan jaringan tumor mendekati sel-sel dan jaringan normal, tumor ini disebut "berdiferensiasi baik" (well-differentiated). Tumor ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih lambat dari tumor yang "berdiferensiasi buruk" (undifferentiated/ poorly differentiated) yang memiliki lebih banyak sel-sel abnormal dan sedikit atau bahkan tidak memiliki struktur jaringan normal (Rakha, et al., 2010). Metode untuk grading histopatologi pada kanker payudara pertama kali dijelaskan pada tahun 1957 oleh Bloom dan Richardson. Tiga faktor histopatologi yang menjadi penentu grade kanker payudara, yaitu formasi tubulus, pleomorfisme nukleus dan aktivitas mitosis. Meskipun banyak bukti studi menunjukkan sistem grading Bloom-Richardson (BRG), yang didasarkan pada penilaian formasi tubulus, pleomorfisme nukleus, dan aktivitas mitosis, memberikan informasi prognostik independen yang penting untuk pasien kanker payudara, akan tetapi sistem ini tidak diterima secara universal, terutama karena bersifat subjektif (Grazio and Bracko, 2002; Rakha, et.al., 2010). Kemudian dilakukan perbaikan oleh Elston dan Ellis dengan memodifikasi sistem grading BRG, yang mendefinisikan kriteria dengan jelas, terutama dengan menerapkan batas numerik untuk pengukuran formasi tubulus dan jumlah mitosis. Jumlah relatif dari hiperkromatik nukleus dan tingkat mitosis dianalisis dengan menggunakan sistem BRG yang asli, sementara tingkat mitosis yang teridentifikasi dengan jelas dievaluasi dengan sistem baru. Modifikasi BRG ini, sekarang umum dikenal sebagai Nottingham Grading System (NGS). Secara umum, setiap elemen diberi skor 1 sampai 3 (1 yang terbaik dan 3 yang terburuk) dan skor dari ketiga komponen ditambahkan untuk menentukan "grade". Skor
Universitas Sumatera Utara
45
terendah adalah 3 (1 +1 +1 = 3), merupakan tumor yang well differentiated, bahwa semua bentuk tubulus dan memiliki tingkat mitosis rendah (< 10/10 hpf). Skor tertinggi yang mungkin adalah 9 (3 +3 +3 = 9) ( Grazio and Bracko, 2002; Tavassoli F.A, 2003). Relevansi prognostik NGS pada kanker payudara pertama sekali ditunjukkan pada tahun 1991 dan kemudian divalidasi dalam beberapa studi independen. Selanjutnya NGS digabungkan dengan status keterlibatan LN dan ukuran tumor yang tergabung menjadi Nottingham Prognostic Index (NPI). Beberapa studi independen telah menunjukkan bahwa NGS memiliki nilai prognostik yang setara dengan status LN dan memiliki nilai prognostik yang lebih besar dari ukuran tumor. Informasi prognostik sistem NGS dijadikan pedoman dalam menentukan kemoterapi adjuvan. (Rakha, et.al., 2010). Saat ini, NGS menjadi sistem penilaian yang direkomendasikan oleh berbagai badan profesional internasional (World Health Organization/WHO, American Joint Committee on Cancer/AJCC, European Union/EU, dan the Royal College of Pathologists/UK RCPath), dan konsensus internasional menyatakan bahwa sistem NGS dianggap sebagai 'standar emas' (gold standard) untuk grading kanker payudara (Rakha, et.al., 2010). Modifikasi ini telah meningkatkan kemampuan untuk menentukan grading oleh ahli patologi anatomi.
Universitas Sumatera Utara
46
Gambar 2.1 Gambaran histopatologi irisan jaringan kanker payudara pada Nottingham Grading System (Sumber: Rakha, et.al., 2010)
Gambar 2.2 Kriteria skoring berdasarkan Nottingham Grading System (sumber: http://tvmouse.ucdavis.edu/bcancercd/311/grading_diagram.html)
Universitas Sumatera Utara
47
Menurut hasil penelitian terbaru, ada korelasi yang sangat signifikan antara grading histopatologi dengan prognosis, bila grade tumor meningkat maka kelangsungan hidup menurun. Grading histopatologi telah terbukti berpotensi menjadi faktor prognostik independen yang penting pada pasien kanker payudara. Ketika dikombinasikan dengan ukuran patologis tumor dan keterlibatan kelenjar getah bening, NPI, menjadi sangat baik untuk dijadikan pedoman manajemen pasien. Terapi adjuvan bisa direncanakan lebih tepat dengan menggunakan indikator grade tumor dan keterlibatan kelenjar getah bening (Dağlar, et.al., 2010). Analisis manual histopatologi jaringan pada saat ini masih tetap menjadi cara utama untuk mengidentifikasi jaringan kanker, yang sangat tergantung pada keahlian dan pengalaman masing-masing ahli patologi anatomi, sehingga hasilnya sangat subjektif (He, et.al., 2014).
2.1.7.2 Klasifikasi berdasarkan stadium (sistem TNM) Dalam penegakan diagnosis, gambaran klinis standar seperti ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan metastasis jauh, semuanya telah diintegrasikan dalam klasifikasi TNM, yang berperan dalam menentukan prognosis dan pilihan terapi (Kon, 2010). American Joint Committe on Cancer Staging System (AJCC) merekomendasikan cara penentuan stadium dengan sistem TNM. Penentuan stadium kanker dengan sistem TNM, adalah sebagai berikut: (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Tavassoli FA, 2003; Taghian AG, 2010; American Cancer Society, 2013).
Universitas Sumatera Utara
48
a.
T = Primary Tumor (0-4) Menunjukkan ukuran tumor dan penyebarannya. Jika nilainya tinggi berarti ukuran tumor lebih besar dan sudah menyebar ke jaringan sekitar payudara. Kategorinya sebagai berikut : Tx
: Tumor primer tidak dapat dinilai.
T0
: Tidak ada tumor primer.
Tis
: Karsinoma in situ (DCIS, LCIS, atau Paget disease of the nipple tanpa terkait massa tumor).
T1
: (T1a, T1b, dan T1c) Ukuran tumor 2 cm atau kurang.
T2
: Ukuran Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm.
T3
: Ukuran Tumor lebih dari 5 cm.
T4
: (T4a, T4b, T4c, dan T4d) Tumor dari berbagai ukuran tumbuh ke dalam dinding dada atau kulit. Pada kategori ini termasuk kanker payudara inflamasi.
b.
N = Nearby lymph nodes (0-3) Menunjukkan apakah kanker payudara telah menyebar ke kelenjar getah bening di sekitar payudara. Jika ada, berapa banya kelenjar getah bening yang terkena. Kategorinya sebagai berikut : Nx
: Kelenjar getah bening terdekat tidak dapat dinilai
N0
: Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya. N0 (i+): Sejumlah kanker ditemukan pada kelenjar getah bening aksila baik dengan menggunakan pewarnaan rutin ataupun
Universitas Sumatera Utara
49
pewarnaan khusus. Area penyebaran kanker pada kelenjar getah bening kurang dari 200 sel atau lebih kecil dari 0,2 mm. N0 (mol +): Sel-sel kanker tidak dapat dilihat pada kelenjar getah bening aksila (bahkan dengan menggunakan pewarnaan khusus), namun terdeteksi menggunakan RT-PCR. N1
: Kanker telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah bening aksila dan/ atau dalam jumlah kecil kanker ditemukan pada kelenjar getah bening mamaria interna (dekat tulang dada ) dengan sentinel lymph node biopsy. N1mi : mikrometastasis, sel kanker dijumpai pada 1 sampai 3 kelenjar getah bening di aksila. Area penyebaran kanker pada kelenjar getah bening 2 mm atau kurang (sedikitnya 200 sel kanker atau sekitar 0.2mm ). N1a : Kanker telah menyebar ke 1-3 kelenjar getah bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2 mm. N1b : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening mamaria interna, tetapi penyebaran ini hanya bisaditemukan pada sentinel lymph node biopsy. N1c : Gabungan kriteria N1a dan N1b.
N2
: Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, atau kanker telah membesar pada kelenjar getah bening mamaria interna (baik N2a atau N2b, tetapi tidak keduanya).
Universitas Sumatera Utara
50
N2a : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2 mm. N2b : Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening mamaria interna dan membesar. N3
: Salah satu dari berikut, N3a : Kanker telah menyebar ke 10 atau lebih kelenjar getah bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2mm, atau kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di bawah tulang selangka (klavikula) dengan setidaknyasatu area penyebaran kanker lebih besar dari 2mm. N3b : Kanker ditemukan setidaknya pada satu kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2 mm) dan kelenjar getah bening mamaria interna telah membesar, atau kanker telah menyebar ke 4 atau lebih kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area penyebaran kankerlebih besar dari 2 mm), dan sejumlah kecil kanker ditemukan di kelenjar getah bening mamaria interna pada sentinel lymph node biopsy. N3c : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di atas tulang selangka (klavikula) dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2mm.
Universitas Sumatera Utara
51
c.
M = Metasiasis (0-1) Menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke organ jauh, misalnya , paru-paru atau tulang. Kategorinya sebagai berikut : Mx
: Metastasis tidak dapat dinilai.
M0
: Tidak ada ditemukan penyebaran jauh dengan menggunakan sinar-x (atau prosedur pencitraan lain) atau dengan pemeriksaan fisik. cM0 (i+)
: Sejumlah kecil sel kanker ditemukan dalam darah
atau sumsum tulang (hanya ditemukan dengan tes khusus), atau area penyebaran kanker yang kecil (tidak lebih dari 0,2 mm) ditemukan pada kelenjar getah bening yang jauh dari payudara. M1
: Kanker telah menyebar ke organ yang jauh dari payudara. (organ yang paling umum adalah tulang, paru-paru, otak, dan hati.)
Pengelompokan stadium kanker payudara berdasarkan TNM: (American Cancer Society, 2013; Kumar, 2007; Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Stadium 0
= Tis, N0, M0
Stadium Ia
= T1, N0, M0
Stadium Ib
= T0 atau T1, N1mi, M0
Stadium IIa
= T0/ T1, N1 (N1a/ N1b/ N1c, tapi bukan N1mi), M0 atau T2, N0, M0
Stadium IIb
= T2, N1, M0 atau T3, N0, M0
Universitas Sumatera Utara
52
Stadium IIIa = T0/ T1/ T2, N2, M0 atau T3, N1/ N2, M0 Stadium IIIb = T4, N0/ N1/ N2, M0 Stadium IIIc = T1-4, N3, M0 Stadium IV
= T1-4, N1-3, M1
Berdasarkan data AJCC, angka harapan hidup selama 5 tahun penderita kanker payudara berdasarkan stadium, yaitu : (American Cancer Society, 2013). Stadium 0
= 100%
Stadium I
= 100%
Stadium II
= 93%
Stadium III
= 72%
Stadium IV
= 22%
2.2
MicroRNA (miRNA/ miR)
2.2.1
Definisi miRNA Dogma sentral dalam biologi molekuler menjelaskan bahwa DNA
mereplikasikan informasi genetik yang terkandung dalam urutan nukleotida dan mentranskripsikannya menjadi mRNA. MRNA dimodifikasi dengan cara splicing dan ditransport dari nukleus ke sitoplasma. MRNA membawa informasi kode nukleotida ke ribosom. Ribosom menterjemahkan kode tersebut untuk sintesis protein. Beberapa studi yang berbeda telah mengidentifikasi sejumlah besar gen Non-coding RNA (ncRNA). NcRNA tampaknya memiliki peran yang sangat banyak, seperti dalam mengarahkan regulasi ekspresi gen postranskripsional atau
Universitas Sumatera Utara
53
dalam mengarahkan modifikasi RNA. RNA yang berasal dari intron ini tampaknya memberikan sinyal internal yang mengontrol berbagai tingkat ekspresi gen. Ribosomal RNA (rRNA), transfer RNA (tRNA), small nuclear RNA dan small nucleolar RNA, interference RNA (RNAi), short interfering RNA (siRNA) dan microRNA (miRNA) termasuk kedalam golongan ncRNA (Sen, et.al., 2009; Esteller, 2011). MicroRNA(miRNA/miR) merupakan noncoding-RNA pendek yang terdiri dari sekitar 18-22 nukleotida, yang ditranskripsi dari regio intergenik dan genic pada genom, yang merupakan regulator gen yang baru (Rodriguez, et.al., 2004). MiRNA pertama, lin-4 (Lee, et.al., 1993) dan let-7 (Reinhart, et.al., 2000), ditemukan selama pengembangan Caenorhabditis elegans (Valencia-Sanchez, et.al., 2006; Huntzinger, et.al., 2011). MiRNA mengikat target gen nya di 3'untranslated regio (3'-UTRs), menyebabkan degradasi langsung mRNA atau represi translasi (Huntzinger, et.al., 2011; Mendes, et.al., 2009; Valencia-Sanchez, et.al., 2006). Pada manusia, setidaknya 10% mRNA pengkode protein merupakan target langsung dari miRNA (Blenkiron, et.al., 2007). Ini berarti bahwa miRNA mampu meregulasi ekspresi ratusan bahkan ribuan gen. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa miRNA terlibat dalam regulasi dari semua fungsi selular utama. Baru-baru ini, identifikasi target miRNA mendapat banyak perhatian. Memahami mekanisme kerja dan mengidentifikasi target mRNA fungsional dari miRNA yang spesifik sangat penting untuk mengetahui fungsi biologis miRNA tersebut dan untuk membantu pengembangan obat berbasis miRNA (Martinez-
Universitas Sumatera Utara
54
Sanchez, et.al., 2013). Strategi untuk menentukan target miRNA termasuk prediksi bioinformatika dan tes eksperimental. Metode prediksi bioinformatika terutama didasarkan pada konsep konfirmasi interaksi antara miRNA dan targetnya, dan dilakukan oleh program,
seperti
miRanda,
TargetScan,
TargetScanS, RNAhybrid, DIANA-microT, PicTar, RNA22 and FindTar, yang mengikuti prinsip yang dikenal. Alat tes eksperimen untuk menemukan target miRNA menggunakan imunopresipitasi
protein AGO untuk mengidentifikasi
mRNA yang berinteraksi, atau analisis level mRNA atau protein untuk mengidentifikasi gen yang dapat diregulasi oleh miRNA (Xia, et.al., 2009). Bentwich et.al. mengembangkan pendekatan integratif menggabungkan prediksi bioinformatika dengan analisis microarray dan sequence-directed cloning, yang mengungkapkan bahwa lebih dari 800 miRNA ada pada manusia. Saat ini, lebih dari 45.000 lokus gen miRNA pada 3'UTR telah diidentifikasi pada manusia. MiRNA diperkirakan mengatur translasi lebih dari 60% gen penyandi protein. MiRNA terlibat dalam mengatur banyak proses, termasuk proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan perkembangan, sehingga kuncinya, miRNA meregulasi tingkat ekspresi ratusan gen secara bersamaan, dan berbagai jenis miRNA meregulasi targetnya secara kooperatif (Esteller, 2011; Friedman, et.al., 2009). Dengan terus bertambahnya daftar miRNA, muncul kesadaran akan potensial dan pentingnya miRNA dalam regulasi ekspresi gen.
Universitas Sumatera Utara
55
2.2.2 Biogenesis MicroRNA 2.2.2.1 MicroRNA primer (primary miR/ pri-miR) MicroRNA berada di daerah intron, yang menjadi bagian dari gen mRNA. MiRNA dapat ditranskripsi bersama dengan promoter gen induk atau memiliki promoter spesifik sendiri (Saini, et.al., 2007). Promoter miRNA intergenik, khusus lokasi awal transkripsi (Transcriptional Start Site/TSS), telah dipetakan pada jarak sekitar 1-100 kb jauhnya dari lokus miRNA yang matur (Ozsolak, et.al., 2008). MiRNA ditranskripsikan oleh RNA polimerase II (pol II) di dalam nukleus. Hasil biogenesis molekul regulator RNA yang kecil ini keluar sebagai transkrip primer yang disebut miRNA primer /pri-miR (Sen, et.al., 2009; Bartel, et.al., 2004). Pri-miR memiliki struktur capped dan polyadenylated (poli A) tails, ciri khas sifat transkrip gen kelas II. Aspek kunci dari proses awal pri-miR adalah proses melipatnya regio tertentu menjadi struktur seperti jepit rambut (hairpin structure). Selain pol II, Borchert et.al. menemukan bahwa miR C19MC, termasuk miR-515, miR-517a, miR-517c dan miR-519a, diekspresikan oleh RNA polimerase III (pol III).
2.2.2.2 Prekursor microRNA (pre-miR) Setelah ditranskripsi oleh pol II atau pol III, pri-miR yang dibentuk dibelah oleh kompleks mikroprosesor inti untuk menghasilkan prekursor-miRNA (pre-miR), yang merupakan dsRNA hairpin structure tunggal yang terdiri dari 60100 nukleotida. Mikroprosesor kompleks ini dibentuk oleh RNase III enzim DROSHA (RNASEN) dan DGCR8 (DiGeorge critical region 8), juga dikenal
Universitas Sumatera Utara
56
sebagai Pasha (Pertner of Drosha) yang diteliti pada D. melanogaster dan C. elegans. Setelah proses di nukleus, pre-miR diekspor ke sitoplasma oleh Ran-GTP yang bergantung pada enzim exportin-5. (Sen, et.al., 2009; Han, et.al., 2006)
2.2.2.3 MicroRNA matur (mature miR) Pre-miR lebih lanjut diproses di sitoplasma oleh RNase III DICER, yang membentuk kompleks RISC (RNA Induced Silence Complex) dengan Argonaute 2 (Ago2) dan TRBP (Tar RNA binding protein), yang memotong hairpin loop premiR untuk menghasilkan untaian duplex miR dengan 22-nukleotida. (Gregory, et.al., 2005). Duplex miR ini berupa miR matur yang disebut sebagai untaian pemandu (guide strand) dan untaian pelengkap (complementary strand) yang disebut sebagai passenger strand (miR*). Setelah pengolahan, satu
untaian
duplex miR/ miR* (biasanya untai pemandu) dimasukkan ke dalam miR-inducer silencing complex (miRISC) yang terdiri dari DICER dan protein terkait lainnya, sedangkan miR* dilepaskan dan cepat terdegradasi. Sebagai bagian dari miRISC, miR adalah pasangan basa dari mRNA target untuk menginduksi represi translasi atau degradasi langsung. Target site miRNA umumnya terjadi dalam 3' UTR mRNA, namun kini target site juga dapat terjadi pada coding region (open reading frame) dan pada 5'UTR. (Sen, et. al., 2009)
Universitas Sumatera Utara
57
Gambar 2.3 Jalur biogenesis miRNA (Sumber: Chen L.J., et.al., 2012)
2.3
MicroRNA dan Kanker Payudara
2.3.1
MicroRNA sebagai biomarker baru kanker payudara Biomarker merupakan indikator biologis suatu penyakit yang digunakan
untuk menentukan jenis tumor (Hui, et.al., 2011). Biomarker yang efektif dan relevan secara klinis sangat penting untuk penentuan terapi (Hauptman, et.al., 2013) serta menilai efektivitas terapi (Hui, et.al., 2011). Meskipun saat ini banyak dilakukan penelitian mencari biomarker yang tepat sebagai alat diagnostik dan prognostik kanker, akan tetapi masih belum ditemukan tehnik deteksi dini yang efektif agar dapat menurunkan angka
Universitas Sumatera Utara
58
kematian yang disebabkan kanker (Hauptman, et.al., 2013), dimana deteksi dini merupakan faktor utama yang dapat berkontribusi terhadap penurunan tingkat kematian tahunan akibat kanker payudara, yang sekitar 2,3 % selama 10 tahun terakhir (Weir, et.al., 2003; Zhu, et.al., 2009). Metode pemeriksaan histopatologi merupakan metode yang terpercaya dalam mendiagnosis kanker payudara dari lesi payudara, akan tetapi hal ini sangat bergantung pada cara pengambilan sampel dan kemampuan pembacaan hasil oleh ahli patologinya (Oakley and Going, 1995). Karenanya, kesahihan hasil pemeriksaan masih subjektif. Oleh karena itu diperlukan upaya yang berkesinambungan untuk memperoleh biomarker yang lebih objektif, sensitif dan spesifik. Salah satu calon biomarker kanker yang potensial di masa depan yang sedang banyak diteliti akhir-akhir ini adalah miRNA. MicroRNA merupakan regulator ekspresi mRNA dan protein yang memainkan peranan penting dan kompleks dalam terbentuknya kanker (Hui, et.al., 2011). MiRNA berperan penting dalam proses diferensiasi seluler, perkembangan, proliferasi dan apoptosis (Calin, et.al., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa miRNA terlibat dalam proses karsinogenesis, yang berkontribusi baik pada inisiasi ataupun perkembangan kanker. MiRNA yang tumor spesifik berpotensi menjadi biomarker kanker karena ekspresi miRNA dapat lebih spesifik dalam mengidentifikasi jaringan asal tumor, membedakan jenis kanker, sebagai parameter evaluasi hasil terapi, penentuan jenis terapi (Cortez, et.al., 2011; Hui, et.al., 2011; Hauptman, et.al., 2013), serta memprediksi risiko kekambuhan pada pasien kanker (Hui, et.al., 2011).
Universitas Sumatera Utara
59
Sejumlah penelitian, dengan menggunakan berbagai teknik, termasuk Real Time qPCR, microarray dan bead-based flow cytometric untuk menilai profil ekspresi miRNA, menunjukkan bahwa ekspresi miRNA mengalami perubahan pada banyak jenis kanker (Blenkiron, et.al., 2007). Hal ini membuktikan bahwa miRNA sangat berpotensi untuk deteksi kanker (Chen, et.al., 2008; Mar-Aguilara, et.al., 2013). Beberapa mekanisme dapat memediasi perubahan ekspresi miRNA pada kanker, termasuk mutasi lokus miRNA, atau kelainan epigenetik. Kesalahan pada biogenesis miRNA juga dapat mempengaruhi ekspresi miRNA, sebagai contoh, penurunan ekspresi DROSHA dan DICER terkait dengan prognosis buruk pada kanker ovarium, paru-paru, dan payudara. MiRNA dapat mengalami peningkatan ataupun penurunan ekspresi, berfungsi sebagai tumor suppressor (seperti, miR-15a dan miR-16-1) atau sebagai onkogen (seperti, miR-155 atau miR-21), tergantung pada target gen di downstream (Calin, et.al., 2006; Zhu, et.al., 2009; Hui, et.al., 2011). Bukti pertama keterlibatan miRNA pada penyakit kanker berasal dari studi molekuler Calin (2002) mengidentifikasi peran miR-15a dan miR-16-1 sebagai tumor suppressor di kromosom 13q14 pada penderita leukemia limfositik kronis, dengan target gen kedua miRNA tersebut adalah Bcl-2 (Hui, et.al., 2011). Calin menemukan bahwa delesi lengan kromosom 13q14 mengakibatkan miR-15a dan miR-16-1 tidak terekspresi, sehingga tidak terjadi apoptosis (Kon, 2010). Pada penelitian yang sama, pada translokasi kromosomal pasien CLL, ditemukan penurunan regulasi miR-16-1 dan/ atau miR-15a sebesar 50%-60% (Iorio, et.al., 2005; Blenkiron, et.al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
60
Tidak lama setelah itu, perubahan ekspresi miRNA pada kanker telah terbukti juga terjadi pada kasus lain. Hasil penelitian Michael et.al. menunjukkan adanya penurunan ekspresi miR-143 dan miR-145 pada kanker kolorektal dan hasil penelitian Metzler menunjukkan adanya peningkatan ekspresi miR-155 pada Burkitt Limfoma. Pada tahun 2004, Takamizawa menunjukkan adanya delesi let-7 pada kanker paru-paru. Mereka juga menemukan bahwa peningkatan ekspresi let7 eksogen pada cell line kanker paru-paru menyebabkan penghambatan pertumbuhan (Iorio, et.al., 2005; Blenkiron, et.al., 2007; Kon, 2010). Gen BIC, yang mengandung miR-155, mengalami peningkatan regulasi pada limfoma Burkitt dan kanker payudara (Iorio, et.al., 2005; Blenkiron, et.al., 2007). Semakin banyak bukti yang mendukung analisis miRNA untuk diagnosis, prognosis dan terapi kanker (He, et.al., 2005; Calin, et.al., 2006). Saat ini lebih dari 700 miRNA telah diidentifikasi dari jaringan manusia. Beberapa di antaranya terkait
dengan
keganasan.
Sebagai
contoh,
sebuah
publikasi
terbaru
mengidentifikasi 29 miRNA yang mengalami perubahan regulasi ekspresi dalam jaringan kanker payudara primer. Dari 29 miRNA tersebut, miR-10b, miR-125b, dan miR-145 mengalami penurunan regulasi, sementara miR-21 dan miR-155 mengalami peningkatan regulasi (Iorio, et.al., 2005; Mar-Aguilara, et.al., 2013). Dari hasil penelitian Blenkiron (2007), yang menganalisa 31 jenis miRNA, sebagian besar miRNA menunjukkan perubahan ekspresi yang tidak terlalu menonjol pada sampel kanker grade I/ ER+. Namun beberapa miRNA menunjukkan perubahan ekspresi yang sangat menonjol pada sampel kanker grade III/ ER-. Blenkiron C., et.al, dalam penelitiannya tidak menemukan adanya
Universitas Sumatera Utara
61
hubungan yang kuat antara perubahan ekspresi miRNA dengan stadium, invasi vaskular, NPI, atau status HER2 (Kon, 2010). Tabel 2.2 MicroRNA dari sampel jaringan dan darah yang potensial sebagai biomarker kanker
Sumber: Hauptman, et.al., 2013
MicroRNA tersimpan dengan baik dalam sampel jaringan, bahkan beberapa tahun setelah fiksasi formalin dan perendaman paraffin (Blenkiron, et.al., 2007; Szafranska, et.al., 2008; Lu, et.al., 2012). Bila mRNA mengalami degradasi saat fiksasi formalin dan kerusakan semakin banyak bila disimpan dalam jangka waktu yang lama, berbeda dengan miRNA yang tidak terpengaruh oleh fiksasi formalin dan degradasi dalam waktu yang lama, serta dapat dengan mudah diisolasi dari sampel Formalin-Fixed Paraffin-Embedded (FFPE) karena ukurannya yang pendek (sekitar 22 nukleotida) dan sangat stabil, sehingga tetap masih dapat terdeteksi dan diukur. Tidak seperti molekul RNA yang berukuran panjang seperti mRNA yang membutuhkan sampel beku yang masih segar (Hauptman, et.al., 2013). Ekspresi miRNA dapat dimanfaatkan ketika hasil uji klinis yang lain tidak meyakinkan (Hauptman, et.al., 2013). Hal ini semakin
Universitas Sumatera Utara
62
menguatkan miRNA untuk dipertimbangkan menjadi biomarker kanker (Hui, et.al., 2011). 2.3.2
MicroRNA-155 sebagai biomarker kanker payudara Iorio (2005), mengidentifikasi miR-155 mengalami peningkatan ekspresi
pada kanker payudara dibandingkan dengan jaringan payudara normal, yang menunjukkan bahwa miR-155 berperan dalam aktivitas onkogenik. Semakin banyak bukti yang kuat menyatakan bahwa miR-155 merupakan onkogen dan mengalami peningkatan ekspresi pada keganasan, termasuk pada limfoma sel B, kanker payudara, paru-paru, usus, kepala/ leher,dan ginjal. Selain itu, beberapa studi membuktikan adanya hubungan antara peningkatan ekspresi miR-155 dengan stadium lanjut dan prognosis yang buruk pada beberapa jenis kanker (Kon, 2010). Pada analisis microarray lebih dari 1.000 jenis tumor primer, ditemukan bahwa hampir pada semua jenis kanker menunjukkan perubahan regulasi ekspresi miRNA yang berbeda dari ekspresi miRNA pada jaringan normal. Hal ini menunjukkan pentingnya miRNA yang mengalami disregulasi pada kanker. Pada kanker payudara, miRNA yang mengalami disregulasi berpotensi untuk digunakan sebagai alat prognostik. Di antara spektrum yang luas dari miRNA, miR-155 yang mengalami peningkatan regulasi merupakan salah satu miRNA yang paling ampuh untuk menekan apoptosis pada sel kanker payudara. MiR-155 diperkirakan memiliki lebih dari 400 gen target (Mattiske, et.al., 2012). Salah satunya, miR-155 menekan ekspresi tumor protein p53-induced nuclear protein 1 (TP53INP1) dan dengan demikian melemahkan siklus sel karena diinduksi oleh
Universitas Sumatera Utara
63
penurunan ekspresi TP53INP1 dan penurunan apoptosis (Lu, 2012). Selain itu, miR-155 yang mengalami peningkatan menurunkan ekspresi FOXO3A, dimana penurunan ekspresi FOXO3A terkait dengan kejadian kekambuhan kanker setelah radioterapi atau kemoterapi (Mattiske, et.al., 2012). Selain menekan ekspresi TP53INP1 dan FOXO3A, miR-155 juga dapat menekan ekspresi beberapa gen target lainnya, seperti ekspresi RhoA, FADD, JARID2, ARNTL, AICDA, SMAD5, HIF1, dan CEBPB (Zheng, et.al., 2011; Mattiske, et.al., 2012). Secara keseluruhan, hasil tersebut menegaskan bahwa miR-155 merupakan oncomiR pada kanker payudara. Gen host dari miR-155, BIC (pada kromosom 21q21.3), pertama kali dijelaskan pada tahun 1989 dan diduga terlibat dalam perkembangan limfoma (Clurman, et.al., 1989; Rodriguez, et.al., 2004; Blenkiron, et.al., 2007). Pada tahun 2002, Lagos-Quintana mengidentifikasi miR-155 sebagai regulator RNA. MiR-155 diklasifikasikan sebagai miRNA yang multifungsi, memiliki peran penting dalam proses normal maupun patologis dari sistem imunitas, inflamasi, kanker dan penyakit kardiovaskular (Zhu, et.al., 2009). MicroRNA-155 dianggap sebagai biomarker untuk prognosis buruk. Analisis signifikansi microarray (SAM) dan analisis prediksi microarray (PAM) dari enam jenis tumor padat (paru-paru, payudara, kolon, lambung, prostat dan tumor pankreas) membuktikan miR-21 dan miR-155 sebagai top oncomiR. Perubahan ekspresi miR-155 terlibat dalam berbagai proses patologis dan signaling onkogenik (Lu, et.al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
64
Sebagian besar pasien kanker meninggal dalam kondisi kanker sudah mengalami metastasis. Untuk itu, perlu memahami mekanisme molekuler dan seluler yang meyebabkan tumor primer bermetastasis. Langkah yang paling penting dari proses tumor primer bermetastasis dikaitkan dengan proses yang dikenal sebagai epithelial-mesenchymal transition/ EMT. Pada penelitiannya, Kon (2010) membuktikan bahwa miR-155 diregulasi oleh jalur transforming growth factor-β (TGF-β)/Smad yang berperan dalam pengaturan plastisitas sel epitel payudara, dengan RhoA sebagai target. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kon (2010) didapatkan 28 miRNA, yang terdeteksi mengalami perubahan ekspresi, menyebabkan terjadinya EMT yang diinduksi oleh jalur TGFβ/ Smad pada sel epitel kelenjar payudara tikus normal (normal mouse mammary gland epithelial cells/ NMuMG), tetapi tidak demikian pada sel NmuMG yang gen Smad4 delesi (knock out). Di antara miRNA yang mengalami peningkatan ekspresi, miR-155 yang paling signifikan peningkatan ekspresinya. Pada penelitian tersebut didapati
bahwa miR-155 merupakan target transkripsi
langsung dari jalur TGFβ/ Smad4 dan memediasi EMT yang diinduksi oleh TGFβ. Peningkatan ekspresi miR-155 merusak tight junction formation dan memicu migrasi dan invasi sel. Delesi miR-155 menekan terjadinya EMT yang diinduksi TGFβ, pengrusakan tight-junction, migrasi dan invasi sel. Selanjutnya, ekspresi miR-155 ektopik menyebabkan berkurangnya protein RhoA dan mengganggu pembentukan tight junction. Dengan demikian, miR-155 diatur oleh jalur TGFβ/ Smad dan berperan dalam plastisitas sel epitel payudara melalui target RhoA (Kon, 2010).
Universitas Sumatera Utara
65
Semakin banyak bukti penelitian yang menunjukkan peran miR-155 dalam perkembangan kanker payudara, dimana peningkatan ekspresi miR-155 terkait dengan grade kanker yang tinggi, stadium lanjut, invasi ke kelenjar limfe dan metastasis, sehingga peningkatan ekspresi miR-155 disebut sebagai indikator prognosis buruk (Mattiske, et.al., 2012). Pada sampel jaringan dibuktikan bahwa level ekspresi miR-155 pada jaringan kanker payudara meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan jaringan normal. Selain itu, ekspresi miR-155 berkorelasi terbalik dengan ekspresi ER dan PR, ekspresi miR-155 meningkat pada jaringan kanker payudara dengan status ER-/ PR-, terlepas dari status HER2 (Lu, et.al., 2012). Pada penelitan lain, Blenkiron (2007) membuktikan bahwa ekspresi miR155 berbeda pada sampel kanker payudara ER+ dan ER-, dimana didapati ekspresi miR-155 meningkat pada sampel kanker payudara yang ER- (Lu, et.al., 2012). Temuan terbaru tentang peran miR-155 pada kanker payudara adalah keterlibatan miR-155 dengan BRCA1. BRCA1, gen yang terlibat dalam perbaikan kerusakan DNA dan perkembangan siklus sel. Mutasi gen BRCA1 berhubungan dengan risiko tinggi terkena kanker payudara. Pada mencit, mutasi BRCA1 menyebabkan peningkatan ekspresi miR-155. Hasil ini sejalan dengan hasil pemeriksaan pada sel manusia, dimana sel yang tidak memiliki BRCA1 memiliki level miR-155 yang lebih tinggi 50 kali lipat dibandingkan dengan sel yang memiliki BRCA1 fungsional. Selanjutnya, peningkatan ekspresi BRCA1 menurunkan ekspresi miR-155. Mekanisme BRCA1 dalam meregulasi miR-155 adalah dengan cara protein BRCA1 berikatan langsung ke bagian promoter gen
Universitas Sumatera Utara
66
BIC, gen host miR-155, yang selanjutnya merekrut histone deacetylase (HDAC) untuk menekan ekspresi dari gen BIC. Asosiasi yang dekat antara miR-155 dengan gen BRCA1, yang merupakan gen kerentanan kanker payudara, memperkuat pentingnya miR-155 pada kanker payudara (Mattiske, et.al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
67
2.4
Kerangka Teori
Gen BIC (Kromosom 21q 21.3)
miR-155
miRISC Kompleks Degradasi/ represi translasi mRNA gen target, seperti : TP53INP1, FOXO3A, RhoA
Kontrol Siklus Sel
Kekambuhan pasca kemoterapi dan radioterapi
EMT
Invasi dan Metastasis
Proliferasi dan differensiasi sel kanker (dilihat dengan pemeriksaan histopatologi Grading)
Gambar 2.4 Skema Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
68
2.5
Kerangka Konsep
Grade I Histopatologi Diagnostik Wanita penderita kanker payudara
Grade II Histopatologi
Ekspresi miR-155 Jaringan Payudara
Grade III Histopatologi
Terapeutik
Prognostik
Keterangan : Ruang lingkup Penelitian = Variabel terikat
= Variabel bebas
Gambar 2.5 Skema Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara