BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Nyeri 2.1.1. Pengertian Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat sulit untuk didefenisikan karena nyeri adalah suatu pengalaman yang sangat subjektif dan sangat personal (Black & Hawks, 2009). Nyeri adalah sebuah sensasi subjektif sehingga tidak ada dua orang yang berespon dengan cara yang sama (Kozier, et al., 2010). McCaffery (1999 dalam Ignatavicius & Workman, 2009) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaanya diketahui hanya jika orang itu pernah mengalaminya. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for The Study of Pain [IASP], dalam Lewis, et al., 2011). 2.1.2. Teori pengontrolan nyeri (Gate control theory) Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
11 Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Proses Nyeri Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus mendeteksi kerusakan jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi nyeri disebut nosiseptor (Kozier, et. al., 2010). Proses yang berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi (Kozier, et al., 2010), dimana terdapat empat proses yang terlibat dalam nosisepsi yaitu: 1.
Transduksi Tranduksi adalah proses dimana stimulus berbahaya (cedera jaringan)
memicu pelepasan mediator kimia (misal., prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin) yang mensensitasi nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga
menyebabkan
pergerakan
ion-ion
menembus
membran
sel,
yang
membangkitkan nosiseptor. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat produksi prostaglandin (misal., ibuprofen) atau dengan menurunkan ion-ion menembus membran sel (Paice, 2002 dalam Kozier, et al., 2010). Menurut Lewis, et al., (2011) transduksi terjadi saat konversi stimulus mekanik, termal, atau kimia beracun menjadi sinyal listrik yang disebut potensial aksi. Stimulus berbahaya yang timbul saat adanya kerusakan jaringan, suhu (misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya, sayatan bedah) atau rangsangan kimia (misalnya, zat beracun), menyebabkan pelepasan berbagai bahan kimia ke dalam jaringan yang rusak. Bahan kimia lainnya dikeluarkan oleh
sel mast
(misalnya, serotonin, histamin, bradikinin, dan prostaglandin) dan makrofag
Universitas Sumatera Utara
(misalnya, interleukin, dan tumor necrosis factor (TNF). Bahan kimia ini mengaktifkan nosiseptor, yang merupakan reseptor khusus atau ujung saraf bebas yang menanggapi stimulus menyakitkan hasil aktivasi nociceptors dalam potensial aksi yang dibawa dari nosiseptor ke sumsum tulang belakang terutama melalui saraf kecil dengan cepat, serat delta-A yang bermielin dan secara perlahan-lahan oleh serat C yang tidak bermielin. 2.
Transmisi Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan dari bagian
perifer ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke otak. Dimana potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke spinal cord kemudian dari spinal cord diteruskan ke otak dan hipotalamus, kemudian dari hipotalamus diteruskan ke korteks untuk kemudian diproses (Lewis, et. al., 2011). Proses ini meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier. et al., 2010) yaitu: a.
Segmen pertama Impuls nyeri berjalan dari serabut saraf tepi ke medulla spinalis. Zat P
bertindak sebagai neurotransmitter yang meningkatkan pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron afferen primer ke neuron ordo ke dua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medula spinalis yaitu serabut C, yang mentranmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan serabut A delta yang mentranmisikan nyeri tajam dan lokal.
Universitas Sumatera Utara
b.
Segmen kedua Segmen ini meliputi transmisi dari medula spinalis dan asendens melalui
traktus spinotalamikus ke batang otak dan talamus. c.
Segmen ketiga Melibatkan tranmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik
tempat terjadinya persepsi nyeri. 3.
Persepsi Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri. Pada tahap ini individu
akan berespon terhadap adanya nyeri dengan memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010). Menurut Lewis, et al., (2011) persepsi
terjadi ketika nyeri diakui,
didefinisikan, dan ditanggapi oleh individu mengalami rasa sakit. Di otak, masukan nociceptive dirasakan sebagai nyeri. tidak ada satupun lokasi yang tepat di mana persepsi nyeri ini terjadi, sebaliknya, persepsi nyeri melibatkan beberapa struktur di otak. 4.
Modulasi Sering kali digambarkan sebagai sistem desendens, proses ini terjadi saat
neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu dorsalis medula spinalis (Paice, 2002 dalam Kozier, et al., 2010). Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opioid endogen, serotonin dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya impuls yang menyakitkan di kornu dorsalis. Namun,
Universitas Sumatera Utara
neurotransmitter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Mc Caffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010). 2.1.4. Dimensi Nyeri Multidimensionalitas nyeri terdiri atas: 1.
Dimensi Fisiologis Dimensi ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan genetik,
anatomi dan fisik dari pengaruh nyeri serta bagaimana stimulasi yang menyakitkan itu di proses, diakui dan di jelaskan (Lewis, et al., 2011). Menurut National Institute of Nursing Reseach [NINR] (dalam Sauls, 2002) Dimensi ini mencakup aspek struktural, fungsional, dan biokimia dari pengalaman rasa sakit serta berbagai perbedaan jenis nyeri yang termasuk dalam dimensi fisiologis. Persepsi dan transmisi rasa sakit dibawa oleh nosiseptor sepanjang jalur naik dan jalur turun saraf yang difasilitasi oleh mediator neurochemical merupakan komponen penting dari mekanisme fisiologis dari pengalaman nyeri. Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles, et al., 1983; Davis, 2003 dalam Ardinata, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.
Dimensi Afektif Adalah suatu respon emosional terhadap nyeri seperti marah, takut, depresi
dan cemas. Emosi yang negatif dapat mengurangi kualitas hidup. Hubungan negatif antara depresi dan nyeri dapat menyebabkan kerusakan fungsi (Lewis, et al., 2011). Tekanan emosional dapat dianggap sebagai komponen atau bagian dari rasa sakit, mungkin juga konsekuensi atau penyebab serta bersamaan dengan fenomena yang termasuk emosi seperti rasa takut, depresi, kecemasan, kemarahan, relief, antisipasi, agresi, dan karakteristik kepribadian. Adanya tandatanda gangguan emosi memungkinkan seseorang mengenali adanya nyeri (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002). Menurut Ardinata (2007) dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. 3.
Dimensi Sensori Menurut NINR (dalam Sauls, 2002), dimensi sensorik nyeri mengacu ke
lokasi, intensitas, dan kualitas. Ketika menilai lokasi, struktur anatomi dan lokasi ditengarai dapat membantu dalam menentukan etiologi nyeri. Intensitas ketegangan mengacu pada jumlah atau beratnya nyeri yang dialami dan dapat dinilai menggunakan skala penilaian nyeri numerik atau dengan kata-kata dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan istilah-istilah seperti ringan, sedang, dan berat. Faktor-faktor seperti etiologi, toleransi, dan ambang nyeri dapat mempengaruhi intensitas nyeri. Kualitas adalah terkait dengan apa rasa sakit terasa seperti apa dan mungkin dipengaruhi oleh etiologi, menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat memiliki kualitas sensorik yang berbeda. Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Ahles, et al., (1983 dalam Ardinata, 2007) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal ( McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).
Universitas Sumatera Utara
4.
Dimensi Kognitif Dimensi ini berkaitan dengan suatu kepercayaan dan kebiasaan seseorang
dalam berespon terhadap pengaruh nyeri. Penggunaan strategi koping kognitif dan keyakinan saat bernegosiasi dengan nyeri (Lewis, et al., 2011). Menurut NINR (1994 dalam Sauls, 2002) dimensi kognitif nyeri melibatkan persepsi individu tentang diri; makna penderitaan, pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang rasa sakit dan terapi nyeri; dan preferensi pribadi serta strategi penanggulangan. Dalam dimensi ini juga termasuk tingkat dan kualitas kognisi individu yang berkaitan dengan dirinya atau kemampuannya untuk mentoleransi nyeri. Individu dengan fungsi kognitif terbatas atau yang mengalami gangguan, seperti bayi, orang-orang dengan ketidakmampuan belajar, pasien dengan gannguan jiwa, atau orang-orang dengan demensia, mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan rasa sakit yang mereka alami. Barkwell (2005dalam Ardinata, 2007) melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara
5.
Dimensi Perilaku Dimensi ini berkaitan dengan suatu perilaku yang dapat diamati sebagai
respon atau kontrol terhadap nyeri. Misalnya ekspresi wajah saat menahan nyeri seperti meringis atau mudah marah. Orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengkomunikasikan rasa nyerinya dapat mengalami perubahan perilaku seperti agitasi (Lewis, et al., 2011). Dimensi perilaku mencakup aspek perilaku nyeri termasuk yang dapat diamati atau diperlihatkan oleh individu yang menunjukkan rasa sakit yang sedang dialami, atau tindakan / upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Perilaku seperti merintih, mengerang, wajah meringis, dan berjalan pincang mungkin merupakan indikator nyeri, sedangkan tindakan seperti berbaring, kegiatan yang tidak aktif, pijat, penggunaan obat-obatan, dan mencari perawatan kesehatan adalah menampilkan upaya untuk mengurangi rasa sakit Perilaku seperti tidur, istirahat, atau kelelahan yang terkait dengan fenomena nyeri juga sesuatu yang dapat diamati (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002). Menurut Fordyce (dalam Ardinata, 2007) dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri. Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat.
Universitas Sumatera Utara
6.
Dimensi Sosiokultural Dimensi sosiokultural adalah dimensi lainnnya yang mempengaruhi nyeri
seperti faktor demografi, usia dan jenis kelamin. Keluarga dan care giver juga dapat mempengaruhi. Penggunaan obat-obatan dan strategi koping juga mempengaruhi terhadap tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang (Lewis, et al., 2011). Persepsi individu dan tanggapan rasa sakit tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran anggota keluarga serta kemampuan mereka untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Daerah penting untuk menilai meliputi keluarga dan sosialnya, rumah dan lingkungan kerja, sikap dan keyakinan tentang rasa sakit. Tidak hanya variabel-variabel sosial budaya yang berkaitan dengan penderita tetapi juga variabel sosial budaya terkait dengan penyedia layanan akan mempengaruhi penilaian mereka dan manajemen dari pengalaman nyeri sebagai persepsi penderita dan penyedia layanan mungkin berbeda (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002). Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Tipe nyeri Tipe nyeri dapat dikelompokkan berdasarkan waktu, tempat dan penyebabnya (Kozier et al., 2010) 1.
Menurut waktu nyeri Nyeri menurut waktu disini adalah lamanya nyeri yang dialami seseorang.
a.
Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang umumnya berlangsung dalam waktu singkat
atau kurang dari enam bulan (Black & Hawks, 2009), memiliki awitan mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefinisikan nyeri akut adalah nyeri yang biasanya berlangsung singkat, terjadi secara tiba-tiba dan terlokalisasi dimana pasien umumnya dapat menjelaskan tentang nyeri yang dirasakan. Nyeri akut umumnya dapat diakibatkan oleh karena adanya trauma (seperti: fraktur, luka bakar, laserasi), luka akibat pembedahan, iskemia atau inflamasi akut. b.
Nyeri kronik Nyeri yang berlangsung lama, biasanya bersifat kambuhan atau menetap
selama enam bulan atau lebih dan mengganggu fungsi tubuh (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefenisikan nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung menetap atau nyeri yang berulang-ulang untuk periode yang tidak tentu, biasanya nyeri berlangsung lebih dari tiga bulan.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Ignatavicius & Workman (2010) juga membagi nyeri kronik kedalam dua jenis, yaitu: 1)
Nyeri kronik kanker Nyeri kronik kanker kebanyakan disebabkan oleh penyakit itu sendiri.
Sumber nyeri kanker adalah kompresi pada saraf, pertumbuhan abnormal jaringan kanker, atau metastase tulang. Pengobatan kanker juga dapat menyebabkan terjadinya nyeri sperti tindakan pembedahan dan toksisitas dari terapi kemoterapi atau radioterapi. 2)
Nyeri kronik non kanker Nyeri kronik non kanker dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit kronik
seperti low back pain, reumatoid artritis dan osteoporosis. 2.
Menurut lokasi nyeri Nyeri berdasarkan asal lokasi atau sumber nyeri dapat dibagi ke dalam:
a.
Nyeri kutaneus Nyeri yang berasal di kulit atau jaringan subkutan. Teriris kertas yang
menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar adalah sebuah contoh nyeri kutaneus (Kozier, et al., 2010). Nyeri kutaneus dapat ditandai dengan onset mendadak dan tajam atau kualitas tetap atau dengan onset lambat dan kualitas seperti rasa terbakar, tergantung pada jenis serat saraf yang terlibat. Reseptor nyeri kutaneus berakhir tepat di bawah kulit dan karena konsentrasi tinggi dari ujung saraf, maka nyeri ini didefinisikan sebagai nyeri lokal dengan durasi pendek (Black & Hawks, 2009).
Universitas Sumatera Utara
b.
Nyeri somatic profunda Nyeri yang berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf.
Nyeri somatik profunda menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus. Keseleo pada pergelangan kaki adalah sebuah contoh nyeri somatic profunda (Kozier, et al., 2010). Nyeri somatik merupakan hasil aktivasi nosiseptors (reseptor sensorik) sensitif terhadap rangsangan zat atau bahan berbahaya di cutaneus atau jaringan lebih dalam. Pengalaman nyeri terlokalisasi yang digambarkan sebagai rasa yang konstan, sakit dan menggerogoti (Gililland, 2008). c.
Nyeri viseral Nyeri yang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen,
kranium dan toraks. Nyeri viseral cenderung menyebar dan seringkali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri viseral seringkali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot (Kozier et al., 2010).. Nyeri viseral sangat sulit untuk dilokalisasi, dan beberapa cedera pada jaringan visceral terlihat seperti nyeri alih atau referred pain, di mana sensasi terlokalisir pada daerah yang tidak ada hubungannya dengan tempat terjadinya cedera (Black & Hawks, 2009). Nyeri viseral adalah nyeri yang dimediasi oleh nosiseptor. Nyeri yang digambarkan sebagai nyeri yang mendalam, sakit dan kolik. Sulit untuk dilokalisasi dan sering dirasa pada daerah cutaneus, yang mungkin lembut (Gililland, 2008).
Universitas Sumatera Utara
3.
Menurut tempat nyeri di rasakan Nyeri berdasarkan tempat nyeri di rasakan dapat dibagi ke dalam:
a.
Nyeri menjalar Nyeri yang dirasakan di sumber nyeri dan meluas ke jaringan – jaringan di
sekitarnya. Misalnya, nyeri jantung tidak hanya dapat dirasakan di dada tetapi juga dirasakan di bahu kiri dan turun ke lengan (Kozier, et al., 2010). b.
Nyeri alih Nyeri alih adalah nyeri yang di rasakan di satu bagian tubuh yang cukup
jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya, nyeri yang berasal dari sebuah bagian visera abdomen dapat dirasakan di suatu area kulit yang jauh dari organ yang menyebabkan nyeri (Kozier, et al., 2010). Nyeri alih adalah bentuk nyeri viseral dan dirasakan di daerah yang jauh dari tempat stimulus. Itu terjadi ketika serat saraf yang melayani area tubuh yang jauh dari tempat stimulus lewat di dekat stimulus. Sensasi nyeri alih mungkin intens, dan mungkin ada sedikit atau tidak ada rasa sakit pada titik stimulus berbahaya (Black & Hawks, 2009). c.
Nyeri tak tertahankan Nyeri tak tertahankan adalah nyeri yang sangat sulit diredakan. Salah satu
contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut (Kozier, et al., 2010). d.
Nyeri neuropatik Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan sistem saraf tepi atau saraf
pusat di masa kini atau masa lalu dan mungkin tidak mempunyai sebuah stimulus, seperti kerusakan jaringan atau saraf untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik
Universitas Sumatera Utara
berlangsung lama, tidak menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul dan nyeri tumpul yang berkepanjangan (Kozier, et al., 2010). Nyeri yang melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer (Gililland, 2008). e.
Nyeri bayangan Nyeri bayangan adalah sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh
yang telah hilang misal pada kaki yang telah di amputasi. Nyeri bayangan disebut juga dengan phantom pain (Kozier, et al., 2010). Seseorang yang sudah menjalani amputasi bagian tubuh, dapat terus mengalami atau merasakan sensasi di bagian tubuh yang sudah diamputasi seolaholah bagian tersebut masih ada atau melekat. Serabut saraf yang melayani bagian ini terus meluas ke bagian perifer, yang berakhir di lokasi sayatan (Black & Hawks, 2009). f.
Breakthrough pain Breakthrough pain adalah nyeri yang datang tiba-tiba untuk jangka waktu
yang singkat serta tidak dapat diatasi dengan manajemen nyeri yang normal oleh pasien. Hal ini sering terjadi pada pasien kanker yang sering memiliki tingkat latar belakang nyeri yang dikendalikan oleh obat-obatan (Black & Hawks, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Pengkajian nyeri Pengkajian nyeri menurut Smeltzer (2002) dilakukan untuk memperoleh data yang akurat tentang nyeri yang meliputi: 1.
Intensitas nyeri Pengukuran intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala verbal
dan skala perilaku (behavioral). a.
Intensitas nyeri dengan skala verbal. Intensitas nyeri dapat diukur dengan menggunakan skala intensitas nyeri
numerik (pain numerical rating scale atau PNRS), dimana 0 sama dengan tidak nyeri dan 10 sama dengan nyeri hebat yang dikembangkan oleh McCafferey & Beebe (1993).
Gambar 2.1. Pain Numerical Rating Scale (McCafferey & Beebe, 1993)
Keterangan: 10
9
8
7
Severe Pain
b.
6
5
4
Moderate Pain
3
2
Mild Pain
1
0 No Pain
Intensitas nyeri dengan skala perilaku Pengukuran nyeri
juga dapat dilakukan dengan menggunakan skala
perilaku atau behavioral pain assessment scale, dengan skor 0 – 10. Skor total
Universitas Sumatera Utara
diantara 0, yang menyatakan tidak ada perilaku nyeri, hingga 10 yang menyatakan adanya perilaku nyeri yang berat (Scott & McDonald, 2007). Tabel. 2.1 Behavioral Pain Assesment Scale (Campbell, 2000 dalam Scott & McDonald, 2007) Wajah
0 Otot wajah rileks
1 Otot wajah tegang, mengerut, mimic wajah kesakitan
Restlessness
0 Diam, tampilan rileks, pergerakan normal
1 2 Kadang-kadang Sering gerakan gelisah, memperlihatkan posisi tegang gerakan kegelisahan
Tonus Otot
0 Tonus normal
Vocalisasi
0 Tidak ada suara abnormal
Consolability 0 (Kenyamanan) rileks
1 otot Tonus meningkat, fleksi jari dan tumit 1 Kadang-kadang berguman, menangis, atau menggerutu
2 Sering ke selalau mengerutkan wajah, dagu mengepal
Restlessness score:
2 Tonus kaku
Muscle tone score:
2 Sering berguman, menangis dan menggerutu
Vocalisation score:
1 2 Nyaman bila Sulit untuk merasa disentuh, nyaman baik distractible dengan sentuhan atau perbincangan
Behavioral pain assessment scale total (0–10)
Face score:
Consolability score:
............./10
Universitas Sumatera Utara
2.
Karakteristik nyeri Meliputi letak atau lokasi dimana nyeri dirasakan, durasi atau waktu nyeri
berlangsung (menit, jam, hari, bulan dan sebagainya), irama (misal terus menerus, hilang timbul) dan kualitas nyeri (misal nyeri seperti ditusuk, seperti terbakar, sakit, nyeri seperti digencet. 3.
Faktor-faktor yang meredakan nyeri Meliputi gerakan, istirahat, obat-obatan dan apa yang dipercaya pasien
dapat membantu mengatasi nyerinya. 4.
Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari Meliputi efek nyeri terhadap tidur, napsu makan, konsentrasi, interaksi
dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja dan aktivitas-aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi. 5.
Kekahawatiran individu tentang nyeri Meliputi berbagai masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis,
pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri. 2.1.7. Manajemen nyeri 1.
Farmakologi Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau
obat penghilang rasa sakit (Blacks & Hawks, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Penatalaksanaan
farmakalogi
adalah
pemberian
obat-obatan
untuk
mengurangi nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam: a.
Analgesik opioid (narkotik) Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein.
Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan (Kozier, et al., 2010). Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002). b.
Obat-obatan
anti-inflamasi
nonopioid/nonsteroid
(non
steroid
antiinflamation drugs/NSAID) Non opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik, sementara asetaminofen hanya memiliki efek analgesik dan antipiretik. Obat-obatan ini meredakan nyeri dengan bekerja pada ujung saraf tepi di tempat cedera dan menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010). Non opioid dan NSAID memiliki peran yang berguna dalam manajemen nyeri, khususnya pada kondisi-kondisi gangguan muskuloskletetal. Obat-obatan
Universitas Sumatera Utara
yang biasanya digunakan diantaranya adalah ibuprofen, naproxen dan diclofenac (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002). c.
Analgesik penyerta Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk
penggunaan analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala nyeri akut, selain kerja utamanya. Misalnya, sedatif ringan atau penenang dapat membantu mengurangi ansietas, stres dan ketegangan sehingga pasien dapat tidur dengan baik di malam hari. Antidepresan digunakan untuk mengatasi gangguan depresi atau gangguan alam perasaan yang mendasari tetapi dapat juga meningkatkan strategi nyeri yang lain. Antikonvulsan, biasanya diresepkan untuk mengatasi kejang, dapat berguna dalam mengendalikan neuropati yang menyakitkan (Kozier, et al., 2010). 2.
Non farmakologi Blacks dan Hawks (2009) penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi
dapat dilakukan dengan cara terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin, TENS, akupunktur dan akupresur) serta
kognitif dan
biobehavioral terapi (meliputi latihan nafas dalam, relaksasi progresif, rhytmic breathing, terapi musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis, humor dan magnet).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kozier, et al., (2010) menyatakan bahwa nyeri dapat juga diatasi dengan beberapa cara diantaranya adalah: a.
Intervensi fisik Intervensi fisik bertujuan
menyediakan kenyamanan, mengubah respon
fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang berhubungan dengan imobilitas akibat rasa nyeri atau keterbatasan aktivitas (Kozier, et al., 2010) . Intervensi fisik mencakup stimulasi kutaneus, imobilisasi, stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) dan akupunktur. 1)
Stimulasi kutaneus Stimulasi kutaneus atau counterstimulation merupakan istilah yang
digunakan untuk mengidentifikasi tekhnik yang dipercaya dapat mengaktivasi opioid endogeneous dan sistem analgesia monoamnie. Stimulasi kutaneus efektif dengan
cara
menurunkan
pembengkakan,
menurunkan
kekakuan
dan
meningkatkan serabut saraf berdiameter besar untuk menghambat serabut saraf berdiameter kecil sebagai penyampai atau reseptor nyeri dengan menggunakan terapi dingin, terapi panas, tekanan, getaran atau pijatan (DeLaune & Ladner, 2011). Stimulasi kutaneus dapat memberikan peredaan nyeri sementara yang efektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian pada stimulus taktil, mengalihkan dari sensasi menyakitkan sehingga mengurangi persepsi nyeri. Selain itu, stimulasi kutaneus juga dipercaya dapat menghasilkan pelepasan endorfin yang menghambat transmisi stimulus nyeri serta menstimulasi
Universitas Sumatera Utara
serabut saraf sensorik A-beta berdiameter besar, sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang lebih kecil (Kozier, et al., 2010). Tekhnik stimulasi kutaneus terdiri dari: a)
Pijat Secara naluri, manusia merespon sakit dan nyeri dengan menggosok-gosok
area tersebut. Terapi pijat mengembangkan reaksi ini menjadi cara untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Pijat dapat dilakukan secara sistematis dengan tekhnik manipulasi manual, seperti menggosok, meremas, atau memutar jaringan lunak (misalnya, otot, ligamen tendon, dan fascia). Pijat
meningkatkan jangkauan gerak
pasien,
mengurangi ambang nyeri, melemaskan otot-otot, dan meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik. Pijat juga memiliki efek biokimia, yaitu meningkatkan kadar dopamin dan limfosit serta memproduksi sel pembunuh secara alami (Corbin, 2005; Calenda, 2006 dalam Gatlin & Schulmeister, 2007). Pijat adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot dan dapat meringankan ansietas karena kontak kontak fisik yang menyampaikan perhatian. Pijat juga dapat menurunkan intensitas nyeri dengan meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri (Kozier, et.al., 2010), serta menghilangkan stress (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). b)
Aplikasi panas atau dingin Aplikasi panas dan dingin dapat dilakukan dengan mandi air hangat,
bantalan panas, kantung es, pijat es, kompres panas atau dingin dan mandi rendam
Universitas Sumatera Utara
hangat atau dingin. Aplikasi ini secara umum meredakan nyeri dan meningkatkan penyembuhan jaringan yang luka (Kozier, et al., 2010). Aplikasi panas atau dingin ke daerah yang menyakitkan bisa membantu mengurangi rasa sakit. Aplikasi ini bekerja mengatasi nyeri dengan cara mengurangi kepekaan atau sensitivitas terhadap rasa sakit (University of Missouri, 2001). Aplikasi panas atau dingin disebut juga dengan terapi panas atau terapi dingin, adalah alat manajemen nyeri yang efektif, keduanya mudah didapat dan mudah untuk dilakukan. Panas dan dingin, keduanya dapat menghasilkan analgesia bagi nyeri. Terapi panas meningkatkan aliran darah, meningkatkan metabolisme
jaringan,
nenurunkan
vasomotor
tone,
dan
meningkatkan
viskoelastisitas koneksi jaringan, menjadikannya efektif untuk mengatasi kekakuan sendi dan nyeri. Penggunaan panas sebagai terapi membutuhkan monitoring khusus, karena dapat menyebabkan terjadinya peningkatan inflamasi dan pembengkakan atau edema (DeLaune & Ladner, 2011). Gatlin dan Schulmeister (2007) menjelaskan bahwa terapi panas bekerja dengan cara meningkatkan aliran darah ke kulit, melebarkan pembuluh darah, meningkatkan oksigen dan pengiriman nutrisi ke jaringan lokal, dan mengurangi kekakuan sendi dengan cara meningkatkan elastisitas otot. Terapi dingin memiliki banyak keuntungan diantaranya menghilangkan edema dengan cara mengurangi aliran darah, meniadakan inflamasi, mengurangi demam, mengurangi spasme otot, menaikkan ambang batas nyeri sebagai mekanisme penurunan kecepatan konduksi saraf (DeLaune & Ladner, 2011).
Universitas Sumatera Utara
c)
Akupresur dan akupunktur Akupresur adalah tekhnik penyembuhan bangsa Cina kuno yang didasarkan
pada prinsip pengobatan tradisonal Asia. Cara kerjanya mirip akupunktur dan sering disebut akupunktur tanpa jarum (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Terapis menekankan jari pada titik-titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan dalam akupunktur (Kozier, et al., 2010). Rangsangan pada titik akupoin dipercaya akan membuka sumbatan di meridian dan memperbaiki aliran energi, menghilangkan nyeri, dan penyakit (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Sementara itu, Akupunktur adalah suatu tindakan penusukan jarum-jarum kecil ke titik akupoin (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Akupunktur merupakan intervensi kompleks yang mungkin berbeda untuk tiap-tiap pasien yang berbeda dengan keluhan utama yang sama, lama perawatan dan titik-titik akupunktur yang digunakan dapat bervariasi antara individu-individu selama pengobatan (NIH, 1997). Cara kerja akupunktur mencakup dua teori, yang pertama adalah teori gerbang yaitu adanya mekanisme refleks pada jalur saraf yang dapat menutup rasa sakit, hal ini mengurangi rasa sakit yang dialami seseorang. Yang kedua yaitu teori endorfin, endorfin mempunyai efek pembunuh nyeri yang mirip obat, akupunktur menyebabkan endorfin dilepaskan tubuh, berjalan ke otak dan di otak endorfin memblokir nyeri, jadi akupunktur mampu menimbulkan relaksasi dan perasaan sehat (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Berman, Lao, Langenberg, Lee, Gilpin dan Hochberg (2004) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi keefektifan akupunktur sebagai terapi tambahan
Universitas Sumatera Utara
yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pada sendi lutut (n = 570). Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri yang signifikan pada responden sesudah menjalani terapi akupunktur selama 26 minggu dengan perbedaan mean – 2,5 (p = 0.001). d)
Stimulasi kolateral Stimulasi kolateral dapat dicapai dengan menstimulasi kulit diarea yang
berlawanan dengan area yang sakit (misal; menstimulasi lutut kiri jika nyeri berada di lutut kanan). Area kolateral dapat digaruk karena gatal, dimasase karena kram, atau diberi kompres dingin atau salep analgesik. Metode ini terutama berguna jika area yang menyakitkan tidak dapat disentuh karena hipersensitif, tidak dapat diakses karena terpasang gips atau perban, atau jika nyeri dirasakan di bagian tubuh yang telah tidak ada atau nyeri bayangan (Kozier, et al., 2010). 2)
Imobilisasi Mengimobiliasi atau membatasi pergerakan bagian tubuh yang menyakitkan
misal pada artritis sendi, trauma ekstremitas dapat membantu mengatasi episode nyeri akut. Bebat atau alat penyangga harus menahan sendi pada posisi fungsi yang optimum dan harus digerakkan secara teratur sesuai dengan protokol (Kozier, et al., 2010). Malanga & Nadler (1999) menjelaskan bahwa bed rest atau istirahat dalam pengobatan LBP masih kontroversial. Walaupun mungkin ada beberapa efek yang menguntungkan melalui modulasi nyeri dan penurunan tekanan intradiskal ketika pasien istirahat di tempat tidur, bed rest ternyata juga memiliki banyak efek merugikan pada tulang, jaringan ikat, otot dan kebugaran kardiovaskular.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan proaktif menekankan lebih baik memodifikasi aktivitas daripada istirahat di tempat tidur dan imobilisasi. untuk gejala penyakit LBP istirahat di tempat tidur yang terbatas dalam hubungannya dengan berdiri dan berjalan. Selain itu pasien harus dididik untuk menghindari posisi yang meningkatkan tekanan pada intradiskal , seperti duduk, membungkuk dan mengangkat. dalam sebuah penelitian, 2 hari istirahat di tempat tidur dapat disarankan untuk pasien dengan LBP. 3)
Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) TENS adalah sebuah metode pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah
secara langsung ke area nyeri yang telah teridentifikasi, ke titik akupresur, di sepanjang kolumna spinalis. Stimulasi kutaneus dari unit TENS diperkirakan mengkativasi serabut saraf berdiameter besar yang mengatur impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat sehingga menghasilkan penurunan nyeri (Kozier, et al., 2010). Menurut Queensland Spinal Cord Injuries Service atau QSCIS (2013) TENS tidak mengobati penyebab rasa sakit tetapi bekerja pada persepsi atau sensasi rasa sakit. TENS bekerja melalui dua cara yaitu memblokir sinyal nyeri impuls listrik sebelum mereka melakukan perjalanan ke otak dan memicu pelepasan penghilang rasa sakit dari dalam tubuh sendiri yaitu zat kimia yang disebut endorfin. 4)
Intervensi pikiran-perilaku (kognitif-perilaku)
Intervensi pikiran-perilaku atau CBI (cognitive bebehavioral therapy) adalah suatu pendekatan yang efektif dalam manajemen nyeri, merupakan kombinasi
Universitas Sumatera Utara
antara metode farmakologi dan non farmakologi (Zwakhalen, et al., 2006 dalam DeLaune & Ladner, 2011). CBI didesain untuk mengajarkan klien dan memodifikasi sikap dan perilaku klien. Ada banyak pendekatan nonfarmakologi yang menjadi bagian penting dari manajemen nyeri serta dapat digunakan bersamaaan dengan pemakaian analgesik yang tepat. Tujuan dari intervensi ini adalah menolong klien agar dapat mengontrol secara keseluruhan nyeri yang dirasakannya (DeLaune & Ladner, 2011). Beberapa jenis CBI adalah: a)
Distraksi Distraksi adalah suatu strategi manajemen nyeri dimana perhatian pasien
dialihkan dari rasa nyeri ke sesuatu hal yang lain (DeLaune & Ladner, 2011). Distraksi diduga dapat menurunkan nyeri, menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri (Smeltzer & Bare, 2002). Kozier, et al., (2010) membagi tipe distraksi kedalam empat kelompok, yaitu: i.
Distraksi Visual adalah tekhnik pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara menonton televisi, membaca majalah/koran/buku cerita atau imajinasi terbimbing.
ii.
Distraksi Auditor adalah tekhnik pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara mendengarkan musik atau dengan humor.
Universitas Sumatera Utara
iii.
Distraksi taktil adalah tekhnik pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara melakukan latihan pernapasan lambat dan berirama, pijat dan mengelus atau memegang binatang peliharaan atau mainan.
iv.
Distraksi intelektual adalah pengalihan nyeri yang dilakukan dengan cara mengisi teka-teki silang, bermain kartu atau melakukan hobi seperti mengoleksi prangko dan menulis sebuah cerita.
b)
Reframing Reframing adalah suatu tekhnik yang dapat diajarkan pada klien untuk
memonitor pikiran negatif mereka dengan menggantinya menjadi pikiran yang positif. Mengajarkan klien cara memaknai atau memahami suatu rasa nyeri (DeLaune & Ladner, 2011). Kenangan atau pikiran yang menyakitkan dapat meningkatkan stres, dan rasa sakit menjadi lebih buruk. Reframing, mengganti pikiran yang negatif menjadi pikiran yang positif dapat mengurangi stres serta dapat menimbulkan rasa nyaman dan rileks (Marie, 2013). c)
Tekhnik relaksasi Tekhnik relaksasi adalah sebuah metode yang digunakan untuk menurunkan
cemas dan tekanan otot. Meliputi imagery dan progresive muscle relaxation (DeLaune & Ladner, 2011). Astin, Shapiro, Eisenberg, & Forys (2003) menagatakan bahwa relaksasi mengajarkan pasien bagaimana untuk fokus pada gambar yang menenangkan, menghilangkan ketegangan dan melepaskan otot-otot, serta latihan napas dalam. Hasil review dari sembilan percobaan acak ditemukan bahwa relaksasi efektif
Universitas Sumatera Utara
dalam mengobati penyakit kronis serta tiga studi
relaksasi efektif dalam
mengobati nyeri akut (Reed, Montgomery & DuHamel,2001). d)
Biofeedback Biofeedback adalah suatu proses dimana individu belajar untuk memahami
serta memberi pengaruh respon fisiologis atas diri mereka terhadap nyeri (DeLaune & Ladner, 2011). Biofeedback adalah penatalaksanaan yang memberikan informasi tentang bagaimana proses fisiologis dalam tubuh dapat terpengaruh secara negatif oleh rasa sakit kronis. Biofeedback kemudian membantu pasien dalam belajar bagaimana meningkatkan kontrol atas proses ini dan memperkuat kemampuan untuk mempertahankan kontrol ketika terlibat dalam kegiatan sehari-hari. Ini hanya satu alat untuk meningkatkan kontrol atas kehidupan dan nyeri (Mayo Clinic, 2006) e)
Latihan fisik Latihan merupakan penatalaksanaan penting terhadap nyeri kronik karena
dapat menguatkan otot-otot yang lemah, membantu mobilisasi sendi serta membantu koordinasi dan keseimbangan (DeLaune & Ladner, 2011). Latihan fisik mengajarkan pasien bagaimana mekanika tubuh yang tepat, teknik mengangkat atau postur tubuh yang tepat. Dalam program ini, pasien berpartisipasi dalam latihan rentang gerak pada pagi hari untuk membantu mereka menjadi lebih lentur dan mempersiapkan tubuh untuk menjalani hari. Latihan dirancang untuk membantu mengurangi rasa nyeri (Mayo Clinic, 2006).
Universitas Sumatera Utara
f)
Nutrisi Pengaturan diet dapat mengatasi nyeri dengan cara menghambat proses
biokimia pada proses inflamasi (DeLaune & Ladner, 2011). Olendzki, Silverstein, Persuitte, Ma, Baldwin dan Cave (2014) melakukan penelitian tentang penggunaan diet anti inflamasi pada penatalaksanaan penyakit inflamasi saluran cerna bagian bawah (n = 40), didapatkan bahwa 24 orang responden (60%) setelah mengikuti IBD-AID (The Anti-Inflammatory Diet for Inflammatory Bowel Disease (IBD-AID) yaitu suatu regimen nutrisi atau diet untuk penyakit inflamasi saluran cerna bagian bawah selama 4 minggu atau lebih mendapatkan hasil bahwa semua (100%) responden mampu menghentikan setidaknya satu obat IBD mereka sebelumnya, dan semua responden memiliki pengurangan gejala termasuk frekuensi buang air besar (BAB). g)
Herbal Herba telah lama digunakan untuk mengatasi nyeri (DeLaune & Ladner,
2011). Herba adalah tanaman yang dinilai bermanfaat karena sifat obat, rasa, dan aromanya (Kozier, et al., 2010) Menurut Dinh, Phan, & Ruan (2011) menyatakan bahwa penghambatan enzim COX-2 oleh senyawa sintetik adalah suatu pendekatan yang menjanjikan untuk mengurangi peradangan dan nyeri. Obat herbal adalah sumber besar biomolekul di alam yang belum ditemukan dan diketahui yang dapat memberikan jalur alternatif untuk bantuan pengobatan terhadap penyakit.
Universitas Sumatera Utara
h)
Lingkungan Lingkungan dapat mempengaruhi persepsi sesorang terhadap nyeri.
Memodifikasi lingkunngan dapat mengurangi nyeri (DeLaune & Ladner, 2011). 3.
Terapi invasif Terapi invasif adalah suatu tindakan atau terapi untuk menghilangkan nyeri
yang sifatnya permanen, dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir, secara umum tindakan ini dilakukan untuk mengatasi nyeri yang tidak terkendali (Kozier, et al., 2010). Menurut University Hospital and Manhattan Campus (2011) terapi invasif terdiri atas: a.
Stimulasi saraf invasif Stimulasi saraf invasif dapat memberikan bantuan nyeri untuk beberapa
pasien yang tidak menanggapi terapi lain. Dalam teknik ini, elektroda ditanamkan dalam tubuh pasien untuk mengirim arus listrik lembut ke saraf di tulang belakang atau otak. Stimulasi saraf tulang belakang telah digunakan untuk nyeri punggung kronis dan / atau sakit pada daerah kaki setelah operasi lumbal, nyeri akibat kerusakan saraf (kompleks sindrom nyeri regional dan postherpetic neuralgia). Kekurangan dari terapi ini adalah biaya yang tinggi dan risiko pengobatan invasif seperti infeksi. b.
Tindakan pembedahan (operasi) Operasi untuk mengobati rasa sakit bukanlah tindakan untuk mengobatai
penyakit yang mendasar, hanya dilakukan pada kasus di mana pendekatan atau penatalaksanaan yang lebih konservatif telah gagal dilakukan. Tindakan ini
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan ahli bedah saraf yang terlatih dan ketersediaan unit perawatan tindak lanjut. Seorang ahli bedah dapat memotong saraf
yang berada dekat dengan
sumsum tulang belakang (rhizotomy) atau bundel saraf di sumsum tulang belakang (cordotomy) untuk mengganggu jalur yang mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak. Hasil terbaiknya adalah tindakan operasi mampu mengurangi rasa sakit dan menghilangkan kebutuhan untuk sebagian atau seluruh obat penghilang rasa nyeri. Namun, operasi membawa risiko, dianataranya adalah menghentikan rasa sakit hanya sebentar, menciptakan rasa sakit baru dari kerusakan saraf di lokasi operasi, membatasi kemampuan pasien untuk merasakan tekanan dan temperatur di wilayah ini serta dapat menempatkan pasien
beresiko untuk
mengalami cedera. 2.2. Konsep Low Back Pain 2.2.1. Pengertian low back pain Tao dan Bernacki (2005) mendefinisikan LBP sebagai nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang terletak di bawah batas kosta dan di atas lipatan glutealis inferior, dengan atau tanpa sakit kaki (sciatica). Menurut SPMA (2012) LBP adalah nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor), disertai adanya kekakuan pada bagian bawah punggung.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Jenis - jenis low back pain Menurut IASP (dalam Yuliana, 2011), yang termasuk dalam LBP adalah: 1.
Lumbar spinal pain Adalah nyeri di daerah yang dibatasi: superior oleh garis trasversal imajiner
yang melalui ujung prosesus spinosus dari vertebra thorakalis terakhir, inferior oleh garis trasversal imajiner yang melalui ujung prosesus soinosus dari vertebra sakralis pertama dan lateral oleh garis vertikal tangensial terhadap batas lateral spina lumbalis. 2.
Sacral spinal pain Adalah nyeri di daerah yang dibatasi superior oleh garis trasversal imajiner
yang melalui ujung prosesus spinosus vertebra sakralis pertama, inferior oleh garis trasversal imajiner yang melalui sendi sakrokoksigeal posterior dan lateral oleh garis imajiner melalui spina iliaka superior posterior dan inferior. 3.
Lumbosacral pain Adalah nyeri di daerah sepertiga bawah daerah lumbar spinal pain dan
sepertiga diatas daerah sacral spinal pain. 2.2.3. Klasifikasi low back pain LBP terbagi ke dalam dua bentuk berdasarkan lamanya nyeri yang dirasakan oleh pasien: 1.
Low back pain akut LBP akut adalah nyeri yang dirasakan kurang dari atau selama empat
minggu. Low back pain akut biasanya diasosiasikan dengan beberapa aktivitas yang disebabkan stress yang tidak biasa pada jaringan punggung bawah. Gejala
Universitas Sumatera Utara
seringkali tidak terlihat saat terjadinya trauma namun berkembang belakangan karena terjadinya peningkatan tekanan secara berangsur-angsur pada saraf oleh karena adanya dislokasi intervertebta (Lewis, et al., 2011). Menurut Davies (2008) LBP akut adalah nyeri punggung yang berlangsung kurang dari enam minggu dimana 90% dari penderita bebas dari masalah ini. 2.
Low back pain kronik LBP kronik adalah nyeri yang dirasakan kurang lebih tiga bulan atau pada
periode berulang. Ketidaknyamanan meningkat ketika jeda saat beraktivitas, terutama sekali saat bangkit atau bangun setelah duduk dalam waktu yang lama (Lewis, et al., 2011). LBP dapat menjadi kronik jika gejala yang dirasakan lebih dari tiga bulan dan menetap hingga dua belas bulan atu lebih (Davies, 2008). Selain itu, IASP (dalam Yuliana, 2011) membagi LBP ke dalam LBP akut adalah nyeri yang telah dirasakan kurang dari tiga bulan, LBP kronik adalah nyeri yang telah dirasakan sekurang-kurangnya tiga bulan dan LBP subakut adalah nyeri yang telah dirasakan minimal lima sampai tujuh minggu, tetapi tidak lebih dari dua belas minggu. 2.2.4. Penyebab low back pain LBP dapat disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini diantaranya adalah: 1.
Strain otot Strain atau spasme otot adalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan,
peregangan berlebihan, atau stress yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan ke dalam jaringan. Pasien
Universitas Sumatera Utara
mengalami rasa sakit atau nyeri mendadak dengan nyeri tekan lokal pada pemakaian otot dan kontraksi isometrik (Smeltzer, 2002). Strain umumnya disebabkan karena adanya penegangan pada ligamen atau otot pada tulang belakang, Vertebra adalah tulang yang membentuk tulang belakang di mana tulang belakang lewat. Ketika otot-otot ini atau ligamen menjadi lemah, tulang belakang kehilangan stabilitas, mengakibatkan rasa sakit. Karena saraf mencapai semua bagian tubuh dari sumsum tulang belakang, masalah punggung dapat menyebabkan nyeri atau kelemahan di hampir setiap bagian dari tubuh (Cooper, 2003). Menurut Safety Matter @ Work (2008), Strain atau spasme otot pada tulang belakang disebabkan karena area ini rentan terhadap regangan dikarenakan fungsinya menahan beban dan keterlibatannya dalam bergerak, memutar, dan menekuk. Ketegangan pada otot lumbal terjadi ketika otot bergerak secara abnormal karena diregangkan atau terjadi robekan. 2.
Sprain ligamen Sprain ligamen adalah cedera struktur ligamen disekitar sendi, akibat
gerakan menjepit atau memutar. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas namun masih memungkinkan mobilitas. Ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema; sendi terasa nyeri tekan dan gerakan sendi terasa sangat nyeri (Smeltzer, 2002). Sprain pada ligamen lumbal disebabkan ketika ligamen dan tulang serta jaringan yang mengikat mengalami ketegangan atau keseleo mengakibatkan jaringan lunak disekitar daerah tersebut mengalami inflamasi. Inflamasi ini
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan rasa sakit sehingga dapat menyebabkan terjadinya kejang otot (Safety Matter @ Work, 2008). 3.
Degenerasi disc Degenerasi disc adalah kelainan sendi akibat proses degeneratif.
Osteoporosis
salah satunya (Black & Hawks, 2009). Osteoporosis adalah
kelaianan dimana terjadi penurunan masa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resopsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, mengakibatkan penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stress yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis. Fraktur kompresi ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet (Smeltzer, 2002). Herniasi disc, kebanyakan terjadi pada disc ke dua dari bawah dari tulang belakang lumbal, dan tepat di bawah pinggang. Sebuah lumbal hernia disc dapat menekan ujung saraf di tulang belakang dan dapat menyebabkan rasa sakit, mati rasa, kesemutan atau kelemahan dari kaki yang disebut sciatica (North American Spine Society Public Education Series [NASSPES], 2009). 4.
Herniasi nukleus pulsosus (HNP) lumbal atau lumbosakral HNP adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh penonjolan nukleus
pulposus dari diskus ke dalam anulus (cincin fibrosa di sekitar diskus), yang disertai dengan kompresi dari akar-akar saraf (Lewis, et al., 2011).
Universitas Sumatera Utara
HNP merupakan suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik di kolumna vertebralis pada diskus intervertebralis/diskogenik. HNP terbagi atas sentral dan lateral, HNP lateral bermanifestasi pada rasa nyeri yang terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah antara bokong dan betis, belakang tumit dan telapak kaki (Muttaqin, 2008). 5.
Spondhylosis Spondhylosis adalah suatu kerusakan pada salah satu tulang vertebra
biasanya pada daerah lumbal (Ignatavicius & Workman, 2010). Spondilosis adalah kerusakan strukstur akibat mikkro trauma yang berulang-ulang yang menyebabkan lengkungan tulang vertebra slip ke depan. Vertebra lumbal ke lima merupakan yang paling sering terkena (Black & Hawks, 2009). Spondilosis adalah fraktur stres melalui pars interarticularis yang bisa terjadi karena kongenital atau didapat setelah terjadinya gerakan fleksi-ekstensi-rotasi yang berulang-ulang pada daerah tersebut. Wilayah lumbosakral sangat rentan terhadap stres mekanik karena tulang belakang pada daerah ini terus bergerak sedangkan tulang panggul berada pada keadaan tetap di wilayah ini, karena itu lesi yang paling umum terjadi disini. Nyeri sering terlokalisasi, memburuk saat melakukan posisi ekstensi dan rotasi, dan nyeri semakin memberat pada malam hari (Speed, 2004). 6.
Spondilolithesis Spondilolithesis
terjadi
ketika
ada
fraktur
bilateral
pada
pars
interarticularis, terjadi pemindahan tulang vertebra dan tulang vertebra slip masuk ke tulang vertebra dibawahnya. Jika terjadi perpindahan tempat tulang
Universitas Sumatera Utara
vertebra baik secara ekstensive atau progresive, serabut saraf dapat tertekan dan menyebabkan terjadinya nyeri dan gangguan neurologi (Walker, 2012). Spondylolithesis disebut juga dengan vertebra yang bergeser atau berpindah dari tempat yang semestinya, Jika perpindahan berlebihan, nyeri dan kelainan neurologis dapat terjadi (Speed, 2004). 7.
Spinal stenosis Spinal stenosis adalah penyempitan kanal vertebra atau kanal serabut saraf
yang diakibatkan pergerakan tulang yang masuk ke dalam ruas atau kanal tulang belakang. Tekanan yang lama pada tulang dapat menyebabkan
kelebihan
pertumbuhan tulang vertebra. Tulang yang berlebih menghasilkan tekanan pada seluruh spinal cord. Jika tekanan tidak di tanggulangi, kelemahan dan kelumpuhan otot bagian dalam dapat terjadi (Lewis, et al., 2011). Spinal stenosis juga berhubungan dengan penyempitan bawaan dari kanal tulang belakang sehingga menjadikannya sebagai faktor predisposisi pada beberapa orang terhadap munculnya rasa sakit yang terkait dengan penyakit kelainan disc (National Institute of Neurological Disorders and Stroke [NIDDS], 2012). Black dan Hawks (2009) membagi penyebab LBP ke dalam empat kelompok yaitu: a.
Biomekanikal LBP yang terjadi karena adanya kompresi pada disc, herniasi disc,torsion
injury dan vibrasi. Masalah-masalah tersebut didapati pada pasien yang memiliki pekerjaan yang menggunakan kekuatan atau mengangkat benda secara berulang-
Universitas Sumatera Utara
ulang pada posisi diam atau pekerjaan yang berkaitan dengan mengoperasikan mesin yang bergetar. b.
Destruktif LBP yang terjadi karena adanya infeksi, tumor dan penyakit reumatoid.
Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan tekanan pada serabut atau kolumna spinalis atau mengubah struktur tulang belakang. c.
Degeneratif LBP yang terjadi karena adanya penyakit osteoporosis dan stenosis spinal.
Osteoporosis dapat menyebabkan kolapsnya vertebra dan menyebabkan kompresi pada serabut saraf. Kolumna spinalis dapat menyempit dan menekan saraf, kondisi ini disebut spinal stenosis, dan biasanya dijumpai pada orang tua. d.
Kelainan lainnya LBP juga dapat terjadi karena kelainan psikologis seperti depresi, stres dan
lain sebagainya. LBP juga merupakan respon atas kondisi-kondisi psikologis. Infeksi ginjal, endometriosis, kanker atau masalah ovarium (Tang Center, 2013), aktivitas tubuh yang kurang baik, kegemukan kondisi fisik yang lemah, kesalahan posisi pada saat tidur dan berdiri, beberapa aktivitas seperti jogging dan berlari, mengangkat beban berat dan duduk dalam waktu yang lama (Erhlick, 2003), gaya hidup (Schoen, 2004) juga dapat menyebabkan terjadinya LBP. Selain itu osteoartritis, ketidaksamaan panjang tungkai, stress dan terkadang depresi juga dapat mengakibatkan LBP (Smeltzer, 2002), kondisi degeneratif yaitu artritis atau penyakit sendi lainnya seperti osteoporosis, infeksi virus atau kelainan kongenital pada tulang belakang (NINDS, 2012).
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Faktor Resiko Low Back Pain Adapun faktor resiko terjadinya penyakit LBP adalah : 1.
Obesitas Obesitas adalah berat badan yang berlebihan (Perry, 2013). Obesitas adalah
salah satu dari beberapa faktor gaya hidup yang telah diduga tidak hanya berkaitan dengan, tetapi sebenarnya menyebabkan LBP. Ada beberapa hipotesis berkaitan dengan hubungan antara obesitas dan LBP. Berat badan yang berlebihan bisa memiliki efek buruk mekanik di bagian belakang disebabkan oleh bantalan berat badan yang berlebihan (Kelsey, 1975 ; Aro & Leino, 1985; Pope 1985; Eliovaara, 1987; Deyo & Bass 1989; Bostman 1993; Wright, et al., 1995 dalam Tobin, et al., 2009). 2.
Kondisi fisik yang buruk serta postur tubuh yang buruk dan posisi tidur yang buruk (Perry, 2013).
3.
Mengangkat beban berat atau mengangkat beban melebihi kemampuan tubuh (Cooper, 2003).
4.
Duduk untuk waktu yang lama seperti duduk didalam mobil, truk atau duduk pada kursi yang tidak menyangga postur dengan baik (Ehrlick, 2003; Cooper, 2003). LBP juga merupakan keluhan yang erat berkaitan dengan usia, biasanya
nyeri ini mulai dirasakan pada mereka pada usia dekade ke dua dan insiden tinggi dijumpai pada dekade ke lima. Keluhan nyeri ini juga berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat, sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan
Universitas Sumatera Utara
dalam penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini (Tambunan dan Kasjmir, 1999). 2.2.6. Tanda dan gejala low back pain Tanda dan gejala yang dapat kita temukan diantaranya: 1.
Nyeri pada daerah punggung dan tungkai bawah disertai dengan kekakuan dan keterbatasan gerak (Cooper, 2003)
2.
Nyeri punggung akut maupun punggung kronis (berlangsung lebih dari 2 bulan tanpa perbaikan), nyeri akan semakin jelas pada saat melakukan pergerakan (Smeltzer, 2012). Nyeri dapat diawali dari bagian bokong menjalar ke punggung dan turun ke tungkai hingga ke kaki (Blacks & Hawks, 2009).
3.
Spasme otot paravertebralis yaitu peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang (Smeltzer, 2012).
4.
Hipererestesia (mati rasa dan tingling) pada area yang dijalari serabut saraf (Black & Hawks, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.7. Penatalaksanaan low back pain Penatalaksanaan LBP menurut Rahim (2013) dapat dilakukan dengan : 1.
Farmakologis Penatalaksanaan farmakologis adalah pemberian obat-obatan pada penderita
LBP. Obat-obatan yang dapat diberikan diantaranya adalah: a.
Obat anti nyeri golongan asetaminofen Merupakan obat bebas yang paling efektif untuk LBP dengan efek samping
yang paing sedikit. Obat ini tidak memiliki efek anti inflamasi. Obat ini mengurangi nyeri dengan bekerja secara sentral di otak untuk mematikan persepsi nyeri (Rahim, 2013). Asetaminofen aman digunakan, memeliki efek analgesik yang mudah dan dapat diterima. Obat ini murah, mudah didapat serta memiliki efek atau resiko yang rendah (Malanga & Nadler, 1999). Asetaminofen bekerja dalam menurunkan nyeri dengan menghambat sistesis prostaglandin pada sistem saraf pusat (Wilson, 2008). b.
Obat anti nyeri golongan anti inflamasi non steroid drugs Penggunaan OAINS (obat anti inflamasi non steroid) lebih baik secara
terus menerus agar terbentuk suatu konsentrasi obat anti inflamasi di dalam darah, dan efektivitas OAINS berkurang apabila hanya digunakan setiap merasa nyeri. Karena OAINS dan asetaminofen bekerja dengan mekanisme yang berbeda, maka kedua obat ini dapat digunakan secara bersamaan (Rahim, 2013). OAINS merupakan pilihan pertama untuk penanganan LBP karena obat ini selain
Universitas Sumatera Utara
memberikan efek anti nyeri juga menawarkan efek anti inflamasi (Malanga & Nadler, 1999). OAINS menurunkan produksi prostaglandin dengan cara merelease asam arakhidonat sebagai respon terhadadap rangsangan zat berbahaya, dengan demikian menurunkan impuls nyeri yang dihantarkan oleh sistem saraf pusat (Wilson, 2008). c.
Obat anti nyeri golongan narkotika Obat
narkotika memiliki
efek
disosiatif
yang membantu
pasien
mengatasi nyerinya. Untuk serangan LBP yang berat, obat anti nyeri narkotika dapat diresepkan. Obat-obat ini tidak mengurangi sensasi nyeri secara
langsung,
melainkan
mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Secara umum, obat-obatan narkotika sangat efektif dalam mengatasi nyeri punggung bawah untuk periode watu yang singkat (kurang dari dua minggu). Setelah dua minggu pertama, tubuh secara cepat membangun toleransi alami terhadapi obat-obatan narkotika tersebut, sehingga efektivitas
obat-obatan
tersebut berkurang (Rahim, 2013). Penggunaan obat-obatan anti nyeri golongan narkotika dalam pengobatan LBP harus dibatasi pada rasa sakit yang tidak berespon terhadap pengobatan alternatif, seperti OAINS atau ketika penggunaan analgesik merupakan suatu kontraindikasi (Malanga & Nadler, 1999). Walaupun obatanti nyeri golongan ini dapat digunakan untuk mengatasi nyeri yang sangat hebat, namun menurut Bogduk (2004) penggunaan obat anti nyeri golongan ini sebaiknya digunakan secara hati-hati. Obat-obatan anti nyeri golongan narkotika bekerja dengan cara
Universitas Sumatera Utara
mengaktifkan sistem modulasi nyeri endogen dan menghasilkan analgesia dengan meniru aksi senyawa opioid endogen (Wilson, 2008). d.
Obat relaksan otot Obat relaksan otot biasanya diresepkan lebih dini dalam perjalanan
penyakit LBP, dan biasanya dalam jangka waktu yang singkat, dengan tujuan mengurangi LBP yang diakibatkan spasme otot (Rahim, 2013). Obat-obatan yang dikategorikan sebagai relaksan otot dapat membantu dalam beberapa pasien dengan LBP serta memiliki efek tambahan yang menguntungkan bila digunakan secara bersamaam dengan OAINS (Malanga & Nadler, 1999). Obat ini bekerja dengan cara mengurangi kejang pada otot yang terjadi pada penyakit LBP (Wilson, 2008). e.
Obat anti nyeri non narkotika Obat ini bekerja secara sentral (di otak) untuk memodulasi sensasi rasa sakit
dan tidak memiliki efek anti inflamasi. Ini adalah pereda nyeri yang lebih kuat dibandingkan asetaminofen, tapi tidak sekuat obat jenis narkotika. Obat ini sering menjadi pilihan yang baik untuk perawatan LBP karena pasien tidak memiliki toleransi terhadap penggunaan yang lama dan angka kejadian yang sangat rendah untuk menimbulkan kecanduan (Rahim, 2013). Obat-obat ini bekerja dengan dua cara yang pertama sebagai reseptor agonist 𝜇𝜇 opioid dan menghambat pengeluaran noreepinephrine dan serotonin
(Wilson, 2008).
Universitas Sumatera Utara
f.
Obat nyeri golongan steroid Steroid oral digunakan untuk jangka waktu yang singkat (satu hingga dua
minggu). Steroid oral ada dalam berbagai bentuk di mana pasien diberikan mulai dengan dosis tinggi untuk awal nyeri punggung bawah dan kemudian turun ke dosis yang lebih rendah untuk lebih dari lima atau enam hari (Rahim, 2013). Steroid oral memberikan efek anti-inflamasi yang kuat, obat ini berguna pada pasien dengan radikulopati karena herniasi disk. Penghambatan
proses
inflamasi dengan steroid lebih lengkap dibanding dengan OAINS karena respon leukotrien juga berkurang (Malanga & Nadler, 1999). g.
Obat-obat anti depresan LBP yang kronis diketahui dapat menyebabkan depresi, dan depresi
membuat lebih sulit untuk mengatasi rasa sakit. Oleh karena itu, sering kali penting untuk mengatasi nyeri sakit dan obat depresi harus diperlakukan secara simultan untuk menghasilkan pengobatan yang sukses (Rahim, 2013). Obat ini bekerja dengan cara mempengaruhi jalur yang menyebabkan rasa sakit neurophatic (Wilson, 2008). Pemberian antidepresan sebaiknya dosisnya diturunkan secara perlahan untuk mencegah efek ketergantungan (Malanga & Nadler, 1999). h.
Obat-obatan golongan neuroleptik Obat-obatan neuroleptik sering diresepkan untuk membantu pasien dengan
nyeri saraf (yang sering bermanifestasi sebagai nyeri tungkai) dan bagi pasien yang mengalami neuropati (degenerasi saraf-saraf). Obat-obatan ini dapat digunakan pada pasien yang mengalami nyeri tungkai berkelanjutan pasca
Universitas Sumatera Utara
pembedahan. Meskipun belum diketahui bagaimana obat-obatan neuroleptik dapat membantu mengurangi nyeri, namun pasien dapat mengkonsumsi obat-obat neuroleptik untuk jangka waktu yang panjang secara aman. Obat-obatan ini tidak bersifat adiktif dan dapat ditolertir dengan baik oleh pasien (Rahim, 2013). i.
Obat-obatan osteoporosis Osteoporosis,
pertambahan
umur,
yang
merupakan
penipisan
dapat menyebabkan
LBP
tulang yang
seiring
dengan
signifikan
apabila
menimbulkan fraktur vertebral body. Akhir-akhir ini, beberapa obat-obatan telah mendapat persetujuan untuk penatalaksanaan osteoporosis
untuk
mengurangi risiko fraktur. Obat osteoporosis bekerja dengan mengurangi kehilangan massa tulang dan meningkatkan deposisi mineral di tulang. Salah satu obat yang dikenal baik dalam penatalaksanaan osteoporosis adalah alendronat (misalnya
fosamax),
obat
ini
memperkuat
tulang
dengan
mendorong deposisi mineral pada vertebral body (Rahim, 2013). 2.
Non Farmakologis Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat diberikan pada penderita LBP
meliputi terapi fisik aktif dapat dilakukan dengan latihan, peregangan dan penguatan dan terapi fisik pasif atau terapi modalitas yaitu dengan pengompresan (kompres hangat atau kompres dingin), ionthoporesis, TENS (transcutaneus electrical nerve stimulator) dan ultrasound (Rahim, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Lewis. et al., (2011) membagi penatalaksanaan LBP berdasarkan pembagian LBP akut dan LBP kronik, yaitu: a.
Penatalaksaan LBP akut dapat dilakukan dengan mengkombinasikan pemberian analgesik seperti NSAID, pemberian relaksan otot, pijatan dan manipulasi punggung, penggunaan kompres hangat dan kompres dingin, dapat diberikan juga obat-obatan golongan anti nyeri golongan opioid jika nyeri punggung yang dirasakan sangat berat
b.
Penatalaksaan LBP kronik dapat dilakukan secara konservatif yang meliputi mengurangi aktifitas fisik dengan cara bed rest total, pemberian obat-obatan (anti nyeri, NSAID, relaksan otot), penggunaan kompres (kompres hangat atau kompres dingin), ultrasound, pijatan, TENS, terapi fisik dan injeksi kortikosteroid pada epidural dan secara surgical yaitu tindakan pembedahan dilakukan ketika telah terjadi kerusakan umum yang didapatkan dari hasil hasil tes diagnostik, penderita low back pain tidak memberikan respon terhadap penatalaksanaan konservatif yang dilakukan dan didapati adanya nyeri yang menetap yang disertai atau tidak adanya penurunan neurologi. Chenot, Becker, Leonhardt, Keller, Banzhoff, Baum, Pflingsten, Hildebrant,
Basler dan Kochen (2007) melakukan penelitian tentang penggunaan CAM (complementer alternative medicine) untuk mengatasi LBP, menemukan dari 1299 pasien LBP yang mengikuti penelitian ini 691 (51%) menggunakan lebih dari satu modalitas CAM untuk mengatasi nyeri LBP mereka, dimana penggunaan terapi panas dipakai oleh 476 pasien untuk mengatasi nyeri LBP.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Tang Center (2013), Penatalaksanaan LBP lainnya dapat dilakukan dengan tekhnik RICE yang terdiri atas: a.
Rest Istirahat dari aktifitas yang dapat mengganggu tulang punggung seperti
menghindari duduk dalam jangka waktu yang lama, mengemudikan kenderaan, menekukkan tulang pungung, mengangkat beban berat. b.
Ice Gunakan kompres dingin pada punggung bawah selama 15 menit setiap 1-2
jam guna membantu mengurangi nyeri dan spasme. c.
Early Exercise Lakukan latihan dan penguatan (khususnya pada otot tungkai dan
punggung) untuk menurunkan rasa sakit. Jangan lakukan latihan jika dapat meningkatkan nyeri. d.
Positioning Memodifikasi posisi tidur dapat megurangi strain pada punggung bawah.
2.3. Konsep Terapi Panas Dan Terapi Dingin 2.3.1. Terapi panas 1.
Pengertian terapi panas Panas merupakan pengobatan tradisional untuk meredakan rasa sakit dan
nyeri, dan masyarakat seringkali menyamakan panas dengan kenyamanan dan peredaan nyeri (Kozier. et al., 2010).
Arovah (2010) menyatakan bahwa terapi
panas disebut juga dengan istilah thermotherapy yaitu pemberian aplikasi panas pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun kronis.
Universitas Sumatera Utara
Terapi ini efektif untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot (Arovah, 2010), terapi ini adalah terapi sederhana yang dapat secara efektif mengurangi rasa sakit, inflamasi dan spasme otot (Metules, 2007). Panas digunakan untuk meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan melebarkan pembuluh darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi kekakuan otot (Arovah, 2010). Panas, di sisi lain, mengontrol peradangan dengan menyebabkan lokal vasodilatasi dan penurunan viskositas darah. Aliran darah meningkat dengan cepat membawa zat kekebalan tubuh ke area tersebut dan membersihkan penyebab penyakit (Kozier, et al., 2010). 2.
Efek fisiologis terapi panas Menurut Potter dan Perry (2009) kerja thermotherapy pada dasarnya adalah
meningkatkan aktivitas molekuler (sel) dengan metode pengaliran energi melalaui empat cara yaitu: konduksi (pengaliran lewat medium padat), konveksi (pengaliran lewat medium cair atau gas), konversi (pengubahan bentuk energi) dan radiasi (pemancaran energi) . Pemancaran respon tubuh tergantung pada jenis panas, intensitas panas, lama pemberian panas, dan respon jaringan terhadap panas. Pada dasarnya setelah panas terabsorbsi pada jaringan tubuh, panas akan disebarkan ke daerah sekitar. Supaya tujuan terapeutik dapat tercapai jumlah energi panas yang diberikan harus disesuaikan untuk menghindari resiko kerusakan jaringan (Arovah, 2010). Menurut Kozier, et al., (2010) panas juga dapat menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah ke area yang terinfeksi, membawa oksigen, zat
Universitas Sumatera Utara
nutrisi, antibodi dan leukosit. Pemberian terapi panas dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan lunak dan dapat meningkatkan supurasi. Terapi panas dapat meningkatkan aliran
darah
ke kulit, melebarkan
pembuluh darah, meningkatkan oksigen dan pengiriman nutrisi ke jaringan lokal, dan mengurangi kekakuan sendi oleh peningkatan elastisitas otot (Gatlin & Schulmeister, 2007). Selain itu, panas mengontrol peradangan dengan meningkatkan vasodilatasi pada daerah peradangan dan penurunan viskositas darah. Aliran darah meningkat dengan cepat membawa zat-zat kekebalan atau imum ke area yang sakit dan membersihkannya
dari
penyebab
penyakit.
Panas
juga
meningkatkan
pembengkakan, konsumsi oksigen dan pendarahan (Metules, 2007). 3.
Indikasi terapi panas Menurut Arovah (2010) terapi panas dapat dipergunakan untuk mengatasi
berbagai keadaan seperti kekakuan otot atau hernia discus intervertebra. Pada kondisi hernia diskus intervertebralis isi dari diskus intervertebralis keluar dari tempatnya karena tekanan kronis maupun akut dan menjepit syaraf spinalis. Sebagian besar kasus hernia ini dicetuskan oleh kekakuan otot, oleh karenanya keadaan ini dapat diperbaiki dengan thermotherapy. Selain itu sprain ( robekan ligamen sendi) dan strain ( robekan otot) juga dapat diatasi dengan thermotherapy.
Universitas Sumatera Utara
4.
Jenis aplikasi terapi panas Terdapat beberapa jenis terapi panas, diantaranya adalah :
a.
Krim panas. Krim panas dapat meredakan nyeri otot ringan. Walaupun demikian krim
tidak dapat menembus otot sehingga kurang efektif dalam mengatasi nyeri otot (Arovah, 2010). Krim diklofenak adalah salah satu krim yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri (Moody, 2010). McCraberg
dan
Argoff
(2010),
melakukan
penelitian
untuk
mengidentifikasi efektifitas krim diklofenak terhadap nyeri yang timbul pada pergelangan kaki akibat keseleo (sprain) pada 134 responden yang mengalami sprain 48 jam sebelum penelitian dilakukan selama satu minggu pemakaian krim diklofenak, mendapati bahwa diklofenak secara statistik unggul dibandingkan placebo dalam menghilangkan rasa sakit (nyeri yang timbul akibat gerakan) setelah 4 jam pemakaian krim diklofenak pada area yang sakit. b.
Bantal pemanas (Heat Pad) Bantal yang dipergunakan berupa kain yang berisi silika gel yang dapat
dipanaskan. Biasanya, bantal panas dipergunakan untuk mengurangi nyeri otot pada leher, tulang belakang dan kaki. Bantal pemanas juga dipergunakan untuk menangani kekakuan/spasme otot, inflamasi pada tendon dan bursa. (Arovah, 2010). Menurut Medical Center The Ohio State University (2009) Panas adalah aplikasi kehangatan pada kulit untuk menghilangkan nyeri. Salah satu metode aplikasi panas yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan sebuah bantal
Universitas Sumatera Utara
panas. Bantalan panas / pemanas tidak dimaksudkan untuk menggantikan obat nyeri tetapi bekerja dengan obat nyeri untuk membantu mendapatkan bantuan nyeri yang lebih baik. c.
Kantung Panas (Heat Packs) Kantung panas yang terdapat di pasaran sering disebut sebagai kantung
hydrocollator dan berisi silika gel yang dapat direndam pada air panas. Kantong ini diindikasikan untuk mendapatkan relaksasi tubuh secara umum. Kelemahan dari teknik ini adalah teknik ini tidak dapat menjangkau otot karena hambatan dari lapisan lemak subcutaneus yang bertindak sebagai isolator dan reaksi vasodilatasi yang kemudian mentransfer panas ke bagian tubuh yang lain (Arovah, 2010). d.
Kantong air panas Kantong atau botol air panas merupakan sumber terapi panas kering yang
biasa di gunakan di rumah. Alat ini sangat nyaman dan relatif tidak mahal (Arovah, 2010). Suhu air yang berada dalam kantong harus memiliki nilai yang aman. Individu dewasa normal berkisar 46 ° C sampai 52 ° C sedangkan untuk individu dewasa yang lemah atau tidak sadar 40,5 ° C sampai 46 ° C (Kozier, et al., 2010) dengan lamanya pemakaian berkisar 15-20 menit (Kusyati, 2006). Metode tidak digunakan untuk menggantikan obat nyeri tetapi bekerja dengan obat nyeri untuk membantu mendapatkan pereda nyeri yang lebih baik (Medical Center The Ohio State University, 2009). e.
Tangki whirlpool Terapi dengan tangki whirlpool merupakan jenis kombinasi hydrotherapy,
thermotherapy dan massage. Whirlpool pada dasarnya merupakan tangki yang
Universitas Sumatera Utara
dilengkapi dengan motor turbin yang dapat mengatur gerakan air dalam tangki. Kecepatan dan arah gerakan air diatur dengan banyak sedikitnya udara yang dihembuskan ke dalam air (Arovah, 2010). Terapi whirlpool melibatkan penggunaan putaran air untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan sirkulasi, mengurangi peradangan, mengembalikan mobilitas dan/atau untuk mempromosikan penyembuhan luka (Triad Healthcare, 2013). f.
Parafin bath Teknik parafin bath merupakan teknik yang sering dipergunakan untuk
terapi nyeri bagian ujung-ujung tubuh. Parafin merupakan semacam lilin cair yang tidak berwarna yang terbuat dari hidrokarbon yang dipergunakan sebagai pelumas (Arovah, 2010). Menurut WR Medical Electronic (2002) terapi hangat dengan parafin telah digunakan selama puluhan tahun oleh dokter, ahli fisioterapi dan terapis okupasi dalam melakukan rehabilitasi dan manajemen nyeri serta tenaga medis profesional lainnya menggunakan terapi ini dalam melakukan pengobatan arthritis, peradangan, strain, kejang otot, dan banyak lagi. Terapi panas parafin adalah suatu metode non-invasif yang menerapkan panas untuk meredakan kekakuan otot dan nyeri sendi Manfaat fisiologis parafin panas banyak. Ketika panas diterapkan, pembuluh darah berkembang, membawa lebih banyak sirkulasi ke daerah yang terkena, meningkatkan penyediaan nutrisi dan oksigen pada tingkat sel dan membuang bahan yang menyebabkan peradangan dan kekakuan, sementara peningkatan ambang nyeri, penurunan kejang otot, dan peningkatan fleksibilitas.
Universitas Sumatera Utara
g.
Contrast bath Contrast bath merupakan hydrotherapy yang mengkombinasikan suhu
panas dan dingin. Biasanya digunakan untuk apliaksi pada ekstremitas. Pada pelaksanaannya terapi ini memerlukan dua kontainer untuk penampungan air hangat (41-43 °C) dan penampungan air dingin (10 -18 °C). Terapi ini diindikasikan pada fase peralihan antara tahap akut dan kronis dimana diperlukan peningkatan suhu secara minimal untuk meningkatkan aliran darah tapi mencegah terjadinya pembengkakan (Arovah, 2010). Contast bath adalah suatu bentuk hydrotherapy yang dapat meningkatkan aliran darah
ke otot tanpa mengeluarkan energi dalam rangka memfasilitasi
pembilasan sisa metabolisme. Secara bergantian air dingin dan panas pada kulit dan otot perifer akan mengenai pembuluh darah yang ada pada kulit maka pembuluh darah yang terkena akan menyempit dan melebar yang
bertindak
sebagai pompa dalam otot sehingga sensasi yang terjadi akan mengurangi nyeri (Lane, 2010). h.
Shortwave dan microwave diathermy Shortwave dan microwave diathermy merupakan dua modalitas yang dapat
memancarkan energi elektromagnet yang mampu menimbulkan panas pada jaringan yang lebih dalam. Gelombang tersebut secara selektif diserap oleh jaringan dengan kadar air yang tinggi misalkan otot. Banyaknya energi panas diserap oleh otot bergantung pada ketebalan otot dan tebalnya lapisan lemak di bawah kulit. Bentuk terapi dengan shortwave diathermy dapat berupa gelombang kontinyu maupun gelombang yang terputus-putus. Terapi dengan gelombang
Universitas Sumatera Utara
mikro bermanfaat untuk mengatasi gangguan
sprain,
strain, hernia diskus,
spasme otot dan arthritis (Arovah, 2010). i.
Terapi ultrasound Terapi ultrasound yang mempergunakan gelombang suara energi tinggi
yang dapat dirubah menjadi panas pada jaringan tubuh bagian dalam. Gelombang suara ultra
juga memiliki efek anti inflamasi yang kuat serta efektif untuk
mengurangi keteganagan otot
yang sering mengakibatkan nyeri punggung
(Arovah, 2010). 2.3.2. Terapi dingin 1.
Pengertian terapi dingin Terapi dingin disebut juga dengan cryotherapy. Cryotherapy adalah
pemanfaatan dingin untuk mengobati nyeri atau gangguan kesehatan lainnya Arovah (2010). Terapi dingin adalah penerapan bahan atau alat yang dingin pada bagian tubuh yang mengalami nyeri. Terapi dingin merupakan terapi yang sederhana dan merupakan salah satu metode penyembuhan non farmakologi yang penting untuk mengatasi nyeri (Demir, 2012). 2.
Efek fisiologis terapi dingin Menurut Canadian Physiotherapy Association (2008) terapi dingin dapat
membantu mengurangi rasa sakit, membantu penyembuhan jaringan, mengontrol pembengkakan,
dan
meningkatkan
fleksibilitas.
Dingin
menyebabkan
vasokonstriksi lokal dan viskositas darah meningkat. Aliran darah menurun dan metabolisme yang lebih lambat menumpulkan respon inflamasi, membatasi
Universitas Sumatera Utara
pembengkakan, mengurangi konsumsi oksigen, dan mengontrol perdarahan (Metules, 2007). Inti dari terapi dingin adalah menyerap kalori area lokal cedera sehingga terjadi penurunan suhu. Semakin lama waktu terapi, penetrasi dingin semakin dalam. Pada umumnya terapi dingin pada suhu 3,5 °C selama 10 menit dapat mempengaruhi suhu sampai dengan 4 cm dibawah kulit. Jaringan otot dengan kandungan air yang tinggi merupakan konduktor yang baik sedangkan jaringan lemak merupakan isolator suhu sehingga menghambat penetrasi dingin (Ganong, 1999). Pada terapi dingin, digunakan modalitas terapi yang dapat menyerap suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi. Efek pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin, lama terapi dan konduktivitas. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif, lokal cedera harus dapat diturunkan suhunya dalam jangka waktu yang mencukupi (Arovah, 2010). 3.
Efek Terapi Dingin Menurut Arovah (2010), efek dari terapi dingin diantaranya adalah:
a.
Mengurangi suhu daerah yang sakit, membatasi aliran darah dan mencegah cairan masuk ke jaringan di sekitar luka. Hal ini akan mengurangi nyeri dan pembengkakan.
b.
Mengurangi sensitivitas dari akhiran syaraf yang berakibat terjadinya peningkatan ambang batas rasa nyeri.
c.
Mengurangi kerusakan jaringan dengan jalan mengurangi metabolisme lokal sehingga kebutuhan oksigen jaringan menurun.
Universitas Sumatera Utara
d.
Mengurangi tingkat metabolisme sel sehingga limbah metabolisme menjadi berkurang.
Penurunan limbah metabolisme pada akhirnya dapat
menurunkan spasme otot. Selain itu menurut ASPMN (2002 dalam D’Archy, 2007) terapi dingin bekerja dengan cara menurunkan konduksi saraf, menghambat iritasi kulit, vasokonstriksi pembuluh darah,
merelaksasi otot pada area yang sakit serta
mengurangi aktivitas metabolik baik secara sistemik maupun lokal. 4.
Indikasi terapi dingin Beberapa
kondisi
yang dapat ditangani dengan terapi dingin menurut
Arovah (2010) antara lain cedera (sprain, strain dan kontusi), sakit kepala (migrain, tension headache dan cluster headache) dan peradangan pada sendi. 5.
Jenis aplikasi terapi dingin
a.
Es dan masase es Pada terapi ini es dapat dikemas dengan berbagai cara. Es dalam
pemakaiannya sebaiknya tidak kontak langsung dengan kulit dan digunakan dengan perlindungan seperti dengan handuk.
Handuk juga diperlukan untuk
mennyerap es yang mencair. Indikasi terapi es adalah pada bagian-bagian otot lokal seperti tendon, bursa maupun bagian-bagian myofacial trigger point. Es dapat digunakan langsung untuk memijat atau untuk memati-rasakan jaringan sebelum terapi pijat (Arovah, 2010). Pijat es ini menggunakan air yang sudah dibekukan membentuk es seperti es krim yang memiliki pegangan atau gagang yang dibungkus dengan handuk yang dilapisi kantok plastik, tempatkan es pada area yang sakit gosokkan es di atas
Universitas Sumatera Utara
daerah yang menyakitkan dengan menggunakan gerakan melingkar, keringkan kulit dengan handuk sebagai es mencair, pijat daerah selama 5 sampai 7 menit (Medical Center The Ohio State University, 2009). b.
Kantong es (ice packs) Pada prinsipnya ice packs merupakan kemasan yang dapat menyimpan es
dan membuat es tersebut dapat terjaga dalam waktu relatif lama di luar freezer dari pada kemasan plastik. Terdapat dua jenis ice packs yaitu yang berbahan gel hypoallergenic dan yang berisi cairan atau kristal. Pada umumnya ice packs dapat dipergunakan selama 15 sampai 20 menit. Pada kemasan ice packs yang berupa plastik, diperlukan handuk untuk mengeringkan air kondensasi (Arovah, 2010). Ice packs yang umum digunakan dalam aplikasi dingin harus digunakan dengan menempatkan handuk antara kulit dan ice packs untuk menjaga rasa dingin yang ekstrim selama kontak antara kulit dengan es. Pengobatan dingin dapat dilakukan selama 15-30 menit rata-rata sampai sensasi mati rasa dirasakan pada area yang sakit . Ice packs harus diterapkan setidaknya selama 20 menit (Demir, 2012). c.
Kantong air es Terapi dingin dengan menggunakan kantong air es adalah penerapan
kantong air es pada area yang sakit dimana kantong akan diisi batu-batu es serta sedikit air yang diaplikasikan pada area yang sakit selama 15-20 menit (New York Chiropractice College, 2003) dengan suhu air yang digunakan berkisar 3-7 °C (Malanga & Nadler, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Medical Center The Ohio State University (2009), Salah satu metode aplikasi dingin yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan kantong air es. Kantong air es bukanlah obat penghilang rasa sakit tetapi bekerja dengan obat nyeri untuk membantu mendapatkan bantuan nyeri yang lebih baik. d.
Vapocoolant spray Vapocoolant
spray
merupakan
semprotan
yang
biasanya
berisi
fluoromethane atau ethyl chloride sering digunakan untuk mengurangi nyeri akibat spasme otot serta meningkatkan range of motion (Arovah, 2010). Newton (1985) menjelaskan bahwa vapocoolants spray mengurangi atau menghilangkan nyeri dengan cara meningkatkan range of motion. Techique ini, semprot dan peregangan,
menempatkan otot yang terkena dalam posisi
peregangan dan penyemprotan dalam satu arah saja pada sudut akut ke daerah kulit yang berdekatan dengan area sakit. Peregangan pasif lembut diterapkan saat penyemprotan. e.
Cold baths / water immersion Cold baths merupakan terapi mandi di dalam air dingin dalm jangka waktu
maksimal 20 menit. Pada perendaman seluruh tubuh diperlukan tangki whirlpool. Pada terapi ini air dan es dicampur untuk mendpatkan suhu 10°C sampai dengan 15° C. Proses ini berlangsung sekitar 10 sampai dengan 15 menit. Ketika nyeri berkurang, terapi dihentikan dan dilanjutkan terapi lain seperti massage atau stretching. Pada saat nyeri kembali dirasakan, dapat dilakukan perendaman kembali. Dalam tiap sesi terapi, perendaman kembali dapat dilakukan sampai tiga kali ulangan. (Arovah, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Landasan Teori Teori keperawatan yang akan di aplikasikan pada penelitian ini adalah teori keperawatan Integral Nursing Theory oleh Barbara Montgomery Dossey.
Gambar 2.2. Integral Nursing Theory (Dossey, B. M, 2008)
Teori keperawatan ini tersusun atas komponen : 1. Healing, 2. Meta paradigma teori keperawatan (keperawatan, kesehatan, manusia dan lingkungan), 3. Pattern of knowing (6 pattern of knowing, yaitu personal, empirics, not knowing, sosio politik, aesthetics,
dan empirics), 4. Empat kuadran yang
diadaptasi dari teori integral Wilber (4 kuadran tersebut adalah individual interior, individual eksterior, collective interior dan collective eksterior) dan 5. Seluruh kuadran, level dan lines yang diadaptasi dari Wilber. Healing
merupakan
sentral
dari
integral
nursing
theory
yang
dikembangkan oleh Dossey (2008). Healing adalah integrasi dari totalitas tubuh manusia yang terdiri atas pikiran, emosi, dan semangat.
Universitas Sumatera Utara
Holisme mencakup pengakuan nilai-nilai tentang keterkaitan tubuh, pikiran, dan jiwa; kebaikan yang melekat pada manusia; kemampuan untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidup berdasarkan pengalaman; dukungan praktisi untuk setiap klien sehingga klien mungkin menemukan kenyamanan, kedamaian dan harmoni; kekuatan bawaan tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri (Mariano, 2005). Complementary alternative modality (CAM) merupakan suatu modalitas therapy yang dapat diterapkan oleh perawat dalam melakukan tindakan keperawatan dimana healing merupakan tujuannya. Menurut Perry & Potter (2010) CAM terdiri atas terapi komlementer dan terapi alternatif, terapi komplementer adalah semua terapi yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi konvensional sedangkan terapi alternative adalah terapi yang menjadi pengobatan primer pengganti pelayanan medis. CAM meliputi whole medical system (sistem medis alternatif), manipulative and body-based practisces (manipulasi dan metode yang didasari pada tubuh), mind body medicine (intervensi pikiran tubuh), biologically-based practice (terapi secara biologi) dan energi medicine (terapi energi). Terapi secara biologi meliputi biofeedback, herbal therapy, hydrotherapy dan nutritional counseling (AHNA, 2014). Hydrotherapy adalah penggunaan air, es, uap dan temperatur panas atau dingin untuk mempertahankan atau memperbaiki kondisi kesehatan. Intervensi yang dapat dilkukan meliputi berendam seluruh badan, mandi uap atau sauna dan aplikasi kompres panas atau dingin.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian teori diatas, maka kerangka teori pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Penderita Low Back Pain (LBP)
Integral Nursing Theory By : Dossey, B. M
Nyeri pada punggung belakang
Holistic Nursing
CAM (Complementer and Alternative Medicine)
Managemen Nyeri Non Farmakologis
Terapi Panas
Terapi Dingin
Complementer Modalities : Hydrotherapy 1. Air 2. Es 3. Uap 4. Temperatur panas dan dingin
Terapi Panas - Dingin
Penurunan Skala Nyeri
HEALING
Gambar 2. 3. Kerangka Teori Penelitian
Manajemen nyeri dapat dilakukan secara farmakologi dan non farmakologi, manajemen nyeri non farmakologi yang dapat dilakukan diantaranya adalah terapi panas dan terapi dingin dengan mengaplikasikan hydrotherapy sebagai complementary modality atau terapi pelengkap bersamaan dengan terapi konvensional untuk mengatasi nyeri.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep atau variabel yang akan diteliti. Variabel adalah karakteristik yang melekat pada populasi, bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu penelitian (Dharma, 2010). Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel dependen yaitu intensitas nyeri pasien LBP dan variabel independen adalah terapi panas, terapi dingin, terapi panas-dingin. Kerangka konsep dalam penelitian ini mendeskripsikan bahwa nyeri pada penderita LBP akan tangani dengan aplikasi hydrotherapy dalam bentuk terapi panas, terapi dingin dan terapi panas - dingin. Kerangka konsep dalam penelitian ini mendeskripsikan bahwa pasien LBP yang ada dikelompokkan menjadi 3 kelompok yang akan dilakukan intervensi dengan metode yang berbeda, kelompok 1 diberikan intervensi terapi panas, kelompok 2 diberikan intervensi terapi dingin, dan kelompok 3 diberikan intervensi terapi panas–dingin, dimana pada tiap-tiap kelompok akan dilakukan pengukuran intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi. Setelah melewati proses tersebut, diharapkan terjadi perubahan intensitas nyeri pada pasien LBP, yang selanjutnya akan dididentifikasi kelompok intervensi mana yang lebih baik menangani nyeri pada pasien LBP.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian konsep diatas, maka dapat dibuat kerangka penelitian sebagai berikut:
Terapi Panas
Intensitas Nyeri Pasien LBP (Pre Intervensi)
Intensitas Nyeri Pasien LBP (Post Intervensi)
Terapi Dingin
Terapi Panas Dingin
Gambar 2.4. Kerangka Penelitian
Universitas Sumatera Utara