13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah disebabkan oleh karena adanya penurunan sekresi insulin (Soegondo, 2009). Menurut WHO (2014) DM merupakan penyakit kronis yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin, atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif sehingga mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia). Menurut American Diabetes Association
(ADA) (2014) DM merupakan
kelompok gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik tersebut berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Jadi DM adalah sekumpulan gejala yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah sebagai akibat defisiensi insulin baik relatif maupun absolut (Soegondo, 2009).
2.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tubuh manusia memerlukan bahan bakar berupa energi untuk menjalankan berbagai fungsi sel dengan baik. Bahan bakar tersebut bersumber dari sumber zat gizi karbohidrat, protein, lemak yang di dalam tubuh mengalami pemecahan menjadi zat 13
14
yang sederhana dan proses pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan energi. Proses pembentukan energi terutama yang bersumber dari glukosa memerlukan proses metabolisme yang rumit. Dalam proses metabolisme tersebut insulin memegang peranan yang sangat penting yang bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya diubah enjadi energi (Suiraoka, 2012). Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel. Untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Dalam keadaan normal artinya kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel otot, kemudian membuka pintu masuk sel hingga glukosa dapat masuk sel untuk kemudian dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya kadar glukosa dalam darah normal. Pada DM dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan insulin tidak baik (resisten insulin), meskipun insulin dan reseptor ada, tetapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka hingga glukosa tidak dapat masuk ke sel untuk dibakar (dimetabolisme) akibatnya glukosa tetap berada di luar sel, hingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Soegondo, 2009).
15
Menurut Soegondo (2009), patogenesis DM berbeda berdasarkan tipe penyakit yaitu: a.
DM Tipe 1 Insulin tidak ada dan hal ini disebabkan karena jenis penyakit ini ada reaksi autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap tipe 1, terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang
meningkat kadarnya oleh karena
beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantaranya virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, hingga timbul peradangan pada sel beta (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Pada insulitis yang diserang hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh. Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM tipe 1 dengan HLA DR3 dan DR4. b.
DM Tipe 2 Patogenesis pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan Hepatic Glucose Production (HGP), dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Pada stadium pradiabetes mulamula timbul resistensi insulin (disingkat RI) yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi RI itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak sanggup lagi mengkompensasi RI hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun. Saat itulah diagnosis DM ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali
16
tidak mampu lagi mengsekresi insulin, suatu keadaan menyerupai DM tipe 1, kadar glukosa darah makin meningkat.
2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus WHO membagi DM menjadi beberapa klasifikasi, yaitu : a. DM tipe 1 DM tipe 1 dikenal sebagai insulin dependent atau childhood-onset diabetes yang ditandai dengan kurangnya produksi insulin dan memerlukan pemberian insulin setiap hari. Gejala DM tipe 1 adalah banyak berkemih (poliuri), rasa haus (polidipsia), merasa lapar secara terus-menerus (polifagia), berat badan menurun, penglihatan berubah, sering merasa lelah. Gejala ini bisa terjadi secara tiba-tiba b. DM tipe 2 DM tipe 2 yang dikenal dengan non-insulin-dependent atau adult-onset diabetes disebabkan karena ketidakmampuan tubuh menggunakan insulin secara efektif. DM tipe 2 sebagian besar diakibatkan oleh karena berat badan berlebih dan aktivitas fisik yang kurang. Gejala sama dengan gejala DM tipe 1, tetapi DM tipe 2 sering terjadi tanpa menunjukkan tanda atau gejala. Sebagai akibatnya penyakit tersebut dapat diketahui beberapa tahun setelah onset dan sesudah komplikasi muncul.
17
c. Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah hiperglikemia dengan kadar gula darah diatas normal tetapi dibawah nilai diagnostik diabetes yang terjadi selama kehamilan. Wanita dengan diabetes gestational berisiko terkena DM tipe 2 di masa mendatang. Menurut Soegondo (2009), terkadang sukar untuk menetapkan seseorang termasuk dalam klasifikasi DM tipe apa. Dibawah ini ada beberapa karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2, yaitu : a. DM Tipe 1, yaitu mudah terjadi ketoasidosis, pengobatan harus dengan insulin, onset akut, biasanya kurus, biasanya pada umur muda, riwayat keluarga diabetes (+) pada 10% dan didapat Islet Cell Antibody (ICA). b. DM tipe 2, yaitu tidak mudah menjadi ketoasidosis, tidak harus dengan insulin, onset lambat, gemuk atau tidak gemuk, biasanya pada umur diatas 45 tahun, riwayat keluarga diabetes (+) pada 30% dan tidak ada Islet Cell Antibody (ICA).
2.4 Epidemiologi Diabetes Melitus Besarnya permasalahan penyakit DM dapat diukur dengan angka kekerapan DM dan penyulit yang disebabkannya. Angka kekerapan DM di masyarakat sangat jarang ada di Indonesia mengingat mahalnya biaya yang diperlukan untuk suatu survei epidemiologis, apalagi yang dilakukan untuk penyulit kronik DM adalah dalam skala besar. Dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan angka kekerapan DM berkisar antara 1,4% dengan 1,6% kecuali di dua tempat yaitu
18
Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, yaitu 2,3% dan di Manado 6% (Sudoyo dkk, 2009). Penyakit DM bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur ataupun ras. Di Amerika Serikat prevalensi penderita DM terbanyak pada lakilaki yaitu 11,8%, sedangkan penderita perempuan 10,8%. Menurut hasil Riskesdas 2013 prevalensi penderita DM berdasarkan terdiagnosis lebih besar pada perempuan (1,7%) dari pada laki-laki (1,4%) (Balitbangkes, 2013). Distribusi usia penderita DM menunjukkan perbedaan pola antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju dengan tingkat ekonomi dan pelayanan kesehatan lebih baik, prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok umur tua. Sebaliknya, prevalensi DM umumnya pada kelompok umur 45-64 tahun di negara berkembang. Pola ini diperkirakan akan sama pada tahun 2025-2030. Hasil penelitian di Depok menunjukkan DM lebih tinggi prevalensinya pada kelompok umur 46-55 tahun. Di Manado umumnya pasien DM tipe 2 yang berobat ke Rumah Sakit PRDK tahun 2008 pada usia 51-60 (44%) dan rata-rata umur 57 tahun. Data dari negara Asia menunjukkan prevalensi DM tertinggi pada kelompok umur 30-49 tahun. Ini menunjukkan bahwa DM terjadi pada usia produktif di Asia (Handayani, 2012). Penderita DM terdapat diseluruh dunia namun lebih sering (terutama DM tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar terjadi di Asia dan Afrika sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan “western –style” yang tidak sehat. Penderita DM terbesar di dunia terdapat pada negara China dengan prevalensi sebesar 98,4%, di susul oleh negara india yaitu
19
sebesar 65,1%. Penderita DM di Indonesia lebih banyak tinggal diperkotaan 2,0% sedangkan dipedesaan 1,0%. Hasil penelitian epidemiologis di Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 di Depok, sub-urban Jakarta menjadi 12,8%, sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Agusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu daerah terpencil di Tanah Toraja di dapatkan prevalensi DM hanya 0,8%. Demikian pula prevalensi DM di Ujung Pandang (daerah urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998. Di sini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM (Soegondo, 2009). Sedangkan berdasarkan ras dan etnik prevalensi DM tahun 2011 terbanyak pada ras Indian (15,9%) (ADA, 2014).
2.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus DM utamanya disebabkan oleh dua hal, yaitu meningkatnya kadar gula darah dan kurangnya produksi insulin. Peningkatan kadar gula darah disebabkan oleh meningkatkan asupan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh, terutama asupan karbohidrat. Sementara itu, kurangnya produksi insulin dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu defisiensi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin disebabkan oleh jaringan tubuh yang menjadi kurang sensitif terhadap dampak dari insulin. Hal ini menyebabkan gula darah tidak meninggalkan darah dan memasuki sel-sel tubuh. Sementara itu defisiensi insulin disebabkan oleh ketidakmampuan insulin untuk
20
memenuhi kadar yang dibutuhkan oleh tubuh. Ada beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap resistensi atau defisiensi insulin, diantaranya adalah berat badan berlebih, peningkatan usia, gaya hidup yang kurang akivitas, faktor genetik atau turunan (Nathan dan Linda, 2009). Secara garis besar faktor risiko DM dikelompokkan menjadi 2, yaitu : a.
Faktor yang tidak dapat diubah, yaitu : 1.
Umur Umur merupakan faktor pada orang dewasa, dengan semakin bertambahnya umur kemampuan jaringan mengambil glukosa darah semakin menurun. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada orang berumur diatas 40 tahun dari pada orang lebih muda (Suiraoka, 2012). DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun) atau lebih dan tidak cenderung berkembang ke arah ketosis. Kebanyakan pengidapnya memiliki berat badan lebih. Kemungkinan untuk mengidap DM tipe 2 akan berlipat dua jika berat badan bertambah sebanyak 20% diatas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun (diatas 40 tahun) (Arisman, 2013). Peningkatan diabetes seiring bertambahnya umur khususnya pada usia lebih dari 40 tahun disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Sunjaya, 2009). Jumlah sel β yang produktif berkurang seiring pertambahan usia. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas
21
mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% (Kurnia, 2013). Timbulnya resistensi insulin seiring bertambahnya usia dapat disebabkan oleh perubahan komposisi tubuh seperti massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan, perubahan neurohormonal sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin (Kurniawan, 2011) Menurut hasil Riskesdas (2013) prevalensi penderita DM di Indonesia semakin meningkat sesuai bertambahnya umur, namun mulai umur ≥ 65 tahun prevalensi DM cenderung menurun. Prevalensi DM berdasarkan diagnosa dan gejala tertinggi berada pada kelompok umur 55-64 tahun yaitu 5,5% (Balitbangkes, 2013). Menurut penelitian Trisnawati dkk (2013) variabel yang dapat meningkatkan risiko kejadian DM tipe 2 adalah umur. Umur ≥50 tahun dapat meningkatkan risiko terkena penyakit DM sebanyak 4 kali (OR=4). Di Amerika Serikat seperti yang dilaporkan oleh ADA (2005), angka kejadian DM pada tahun 1988 sampai tahun 1994 pada orang dewasa berusia sekitar 40-74 tahun mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa sebesar 33,8%, peningkatan glukosa darah 2 jam setelah makan 15,4% dan peningkatan pada keduanya sebesar 40,1%. Orang dewasa berusia 20 tahun
22
atau lebih mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa sebesar 25,9% sedangkan pada usia 60 tahun atau lebih mengalami peningkatan kadar glukosa darah puasa menjadi 35,4% (Hotma, 2014). 2.
Keturunan DM merupakan penyakit yang dapat diturunkan. Seseorang yang memiliki saudara sedarah yang mengidap DM tipe 2 memiliki risiko 3 kali mengidap DM dibandingkan dengan yang tidak. Namun DM tipe 2 dapat dicegah dengan mencegah terjadinya obesitas dan intervensi gaya hidup (Hotma, 2014). Menurut penelitian Zahtamal dkk (2007) orang yang memiliki riwayat keluarga penderita DM berisiko terkena DM sebanyak 3,75 kali dibanding yang tidak memiliki riwayat keluarga penderita DM (OR=3,75).
3.
Jenis Kelamin Penyakit DM sebagian besar dapat dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena jenis kelamin perempuan memiliki LDL atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki -laki, dan juga terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM. Menurut Irawan (2010) wanita lebih berisiko mengidap penyakit DM karena secara fisik wanita memiliki peluang terjadinya peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma bulanan
23
(premenstrual syndrome), pasca menopause yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal. Studi yang dilakukan oleh pusat pencegahan dan pengendalian penyakit Amerika Serikat tahun 2008 menunjukkan peningkatan kejadian DM pada wanita sebesar 4,8% dibandingkan pada pria hanya sebesar 3,2%. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi pada wanita dihubungkan dengan menurunnya kadar hormon estrogen dan metabolisme tubuh seiring dengan peningkatan usia (Hotma, 2014). Menurut Riskesdas (2013), prevalensi DM tipe 2 berdasarkan gejala dan diagnosa pada laki-laki yaitu sebesar 2,0% sedangkan pada perempuan 2,3% (Balitbangkes, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2013) menyatakan bahwa penderita DM berjenis kelamin wanita adalah sebesar 7,9% sedangkan lakilaki 5,96%, dan penelitian lain yang dilakukan oleh Hermita (2006) berhasil menemukan hubungan yang signifikan antara kejadian DM dengan jenis kelamin dengan OR 1,35, artinya perempuan lebih mudah untuk menderita DM 1,35 kali dibanding laki-laki. b.
Faktor risiko yang dapat diubah Menurut WHO (2014) beberapa faktor perilaku berisiko utama yang dapat diubah atau faktor risiko umum (common risk factor) yang menyebabkan penyakit DM adalah
pola makan, aktivitas fisik, merokok, alkohol. Faktor
perilaku berisiko yang dapat diubah dari penyakit DM, yaitu :
24
1.
Pola makan Pola makan merupakan suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Suyono, 2008). Asupan makanan dibutuhkan oleh setiap orang untuk dapat beraktivitas setiap hari. Asupan ini hendaknya cukup baik dari sisi jumlah kalori, air, vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Kebutuhan tubuh perorangan sangatlah berbeda. Asupan makanan haruslah cukup untuk kebutuhan tubuh, tidak berlebihan juga tidak kurang. Kejadian prediabetes terkait erat dengan asupan artinya asupan kalori harus diperhitungkan secara seksama berdasarkan kebutuhan tubuh (Hotma, 2014). Konsumsi makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan rendah serat merupakan faktor risiko dari DM. Perencanaan makanan yang dianjurkan seimbang dengan komposisi energi yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak, seperti : karbohidrat : 45-60%, protein : 10-20% dan lemak : 20-25%. Konsumsi sayuran dan buah-buahan yang dianjurkan adalah 3-4 porsi setiap harinya (Ditjen PP dan PL, 2008). Pola makan yang salah dan cenderung berlebih menyebabkan timbulnya obesitas. Obesitas merupakan faktor predisposisi utama dari penyakit DM. Obesitas menyebabkan terganggunya kemampuan insulin untuk mempengaruhi pengambilan glukosa dan metabolismenya pada jaringan yang sensitif terhadap insulin serta meningkatkan sekresi insulin plasma (Sudargo dkk, 2014).
25
a.
Mengkonsumsi karbohidrat Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan energi utama bagi manusia. Di negara-negara sedang berkembang kurang lebih 80% energi makanan berasal dari karbohidrat. Fungsi utama karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah sebagai glukosa untuk keperluan energi segera. Sebagian disimpan
sebagai glikogen
dalam hati dan jaringan otot dan sebagian di ubah menjadi lemak untuk kemudian di simpan sebagai cadangan energi dalam jaringan lemak. Seseorang yang memakan karbohidrat dalam jumlah berlebihan akan menyebabkan kelebihan berat badan (Almatsier, 2010). Kekerapan DM semakin meningkat sesuai dengan cara hidup modern yang meniru cara hidup barat, yaitu dengan meningkatnya konsumsi refined carbohydrate terutama di kota besar. Karbohidrat jenis refined yang terdapat pada produk bakery seperti roti halus, cakes dll cepat sekali diserap dan akan meningkatkan kadar glukosa darah (Waspadji, 2009). Menurut penelitian Sujaya (2009) konsumsi karbohidrat yang tinggi dapat meningkatkan risiko terkena DM sebanyak 10,28 kali. Konsumsi karbohidrat yang tinggi akan semakin meningkatkan risiko DM jika diiringi asupan serat yang rendah. b. Mengkonsumsi lemak Lemak dalam makanan berguna untuk memenuhi kebutuhan energi serta membantu penyerapan vitamin A, D,E dan K. Anjuran konsumsi lemak
26
dan minyak dalam makanan sehari-hari tidak lebih dari 25% kebutuhan energi dengan komposisi dua bagian dari sumber lemak nabati dan satu bagian dari sumber lemak hewani. Mengurangi asupan lemak, terutama lemak jenuh dapat menurunkan risiko DM. Beberapa contoh sumber lemak jenuh adalah makanan yang dimasak dengan minyak, mentega, ataupun santan, lemak hewan, susu penuh (whole milk). Lemak tidak jenuh omega-3 tidak mempunyai efek samping pada sensitivitas insulin sehingga baik untuk dikonsumsi. Contoh makanan sumber asam lemak omega-3 seperti ikan, kerang, kacang kedele, tahu dan tempe (Waspadji, 2009) Orang yang mengkonsumsi lemak tinggi berisiko terkena DM 5,25 x lebih besar dibandingkan dengan orang yang mengkonsumsi lemak rendah. Di Amerika Serikat pola makan western, yaitu yang mengandung daging, kentang goreng, dan susu yang berlemak tinggi terbukti berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya DM (Sujaya, 2009). Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan DM. Hasil penelitian Garnita (2012) memperlihatkan bahwa semakin sering mengkonsumsi protein dan lemak dalam seminggu maka semakin besar pula risiko terkena DM. Risiko terkena DM terbesar dimiliki oleh kelompok yang mengkonsumsi lemak lebih dari 3 kali seminggu yaitu 1,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang mengkonsumsi lemak 1-2 kali seminggu (OR=1,9).
27
c.
Konsumsi Serat (Sayur dan Buah) Serat merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki resistan terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar. Serat merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Serat pangan total terdiri dari komponen serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas yang banyak terdapat pada buah dan sayur. Serat pangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun dingin yang banyak ditemukan pada serealia, kacangkacangan dan sayuran (Sudargo dkk, 2014). The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan untuk mengkonsumsi 2535 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsensus nasional pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan untuk mengkonsumsi 20 - 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita DM (Soegondo dkk, 2009). Kebutuhan serat 20-35g setara dengan 9-13 buah apel atau 12-16 potong roti gandum perhari. Sementara itu cara memenuhi kebutuhan ideal serat hingga mencapai 25-35g setiap hari terpenuhi apabila setiap hari
28
mengkonsumsi, yaitu : a. 2-3 porsi nasi dari beras tumbuk yang masih ada kulit arinya; b. 1-2 porsi biji-bijian (kacang hijau dan kedelai); c. 4-6 porsi sayur dan buah-buahan, dan ; d. ditambah 8-10 gelas air agar serat berfungsi optimal (Sudargo dkk, 2014). Penelitian yang dilakukan Permanasari dan Rika (2011) orang yang mengkonsumsi kurang serat setiap harinya mempunyai risiko sebanyak 2 kali untuk terkena DM dibanding cukup mengkonsumsi serat. Hasil laporan Riskesdas (2007) menyatakan bahwa prevalensi DM pada orang yang kurang konsumsi serat (<5 porsi/hari) sebesar 5,0% sedangkan prevalensi DM pada orang yang mengkonsumsi cukup serat (≥5 porsi/hari) sebesar 4,9% dengan rata-rata konsumsi kurang serat secara nasional adalah 93,6% dan tinggi di semua propinsi (Balitbangkes, 2008). d.
Mengkonsumsi makanan fast food (Cepat Saji) Di Indonesia, terutama di kota besar telah terjadi perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yaitu pergeseran dari pola makan tradisional ke pola makan ala barat (Western style) yaitu fastfood. Telah di ketahui bahwa makanan cepat saji itu merupakan makanan yang tidak seimbang kandungan zat gizinya. Berbagai makanan yang tergolong makanan cepat saji adalah kentang goreng, ayam goreng, hamburger, pizza, hotdog, donat, minuman berkarbonasi dan lain-lain. The American population Study Cardia menjelaskan bahwa konsumsi makanan cepat saji positif berhubungan terhadap terjadinya peningkatan
29
berat badan. Seseorang yang mengkonsumsi makanan cepat saji >2 kali per minggu berat badannya meningkat 4,5kg dan 104% meningkatkan resistensi
insulin
jika
dibandingkan
dengan
seseorang
yang
mengkonsumsi makanan cepat saji 1 kali per minggu (Stender, Dyerberg & Astrup, 2007 dalam Rahmawati, 2009). e.
Keteraturan makan Pola makan bukan saja terkait dengan nilai dan kualitas makanan tetapi juga keteraturan asupan makanan yang dikonsumsi. Diabetes UK (2010) menganjurkan pola makan yang teratur 3 kali sehari bahkan lebih dengan jumlah asupan kalori yang seimbang dan dengan jadwal yang teratur (Hotma, 2014). Menurut Ditjen PP dan PL (2008) hal-hal yang perlu diperhatikan adalah setiap individu agar menjaga berat badannya tetap stabil dan tidak kurang/berlebih. Makan secara teratur setiap kali 3 kali makan utama (sarapan : jam 06.00-08.00, makan siang : jam 12.00-13.00, dan makan malam : jam 18.00-19.00) dan 3 kali makanan selingan jam 10.00, jam 15.00 dan 21.00 dengan porsi cukup. Keteraturan makan menjadi sangat penting dalam mengkondisikan sekresi insulin teratur dan konsisten. Bila hal ini dapat berlangsung dengan baik, maka ketahanan pankreas untuk menyekresi insulin dapat optimal (Hotma, 2014).
2.
Aktivitas/Latihan Fisik Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan
30
fisik, mental dan kualitas hidup yang sehat dan bugar. Pada waktu melakukan aktivitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa dari pada waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa darah akan turun. Melalui aktivitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi tenaga (Soegondo, 2009). Menurut Gibney dkk (2008), aktivitas fisik dapat dikategorikan sebagai berikut, yaitu : a. Aktivitas ringan adalah kegiatan yang dilakukan para profesional seperti guru, dokter, arsitek, pengacara, akuntan, pekerja kantor, penjaga toko, dan pengangguran b.
Aktivitas sedang adalah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja industri, pelajar, pemancing, polisi dalam keadaan aman, tentara tidak dalam keadaan peperangan, dan pekerja bangunan.
c. Aktivitas berat adalah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja kasar, sebagian besar pekerjaan petani, pekerja tambang, dan atlet. d. Aktivitas sangat berat adalah pandai besi, penebang pohon, penarik becak/gerobak barang, buruh bangunan, kuli pabrik, dan pekerja pembongkar muatan dipelabuhan. Sementara itu, latihan fisik didefinisikan sebagai aktivitas olahraga yang dilakukan secara sistematik dalam jangka waktu lama yang bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan fungsi fisiologis dan psikologis (Gibney
31
dkk, 2008). Latihan fisik akan mengubah senyawa glukosa dan lemak di jaringan dan pembuluh darah menjadi energi. Berdasarkan sifatnya, latihan fisik dibagi atas latihan aerobik dan anaerobik. ADA menganjurkan latihan aerobik sebagai latihan utama bagi pasien DM disamping latihan anaerobik sebagai pelengkap. Latihan fisik yang dilakukan secara teratur memperbaiki sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Latihan fisik secara langsung berhubungan dengan sensitifitas jaringan terhadap insulin sehingga dapat menurunkan glukosa darah (Edelman, 2006). Latihan aerobik seperti berjalan kaki lebih efektif dari pada latihan anaerobik dalam meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Latihan fisik intensitas ringan seperti berjalan kaki memerlukan energi yang bersumber dari lemak sehingga menurunkan
berat
badan
(Gropper
dkk,
2005).
WHO
(2014)
merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas selama 150 menit dalam satu minggu, baik itu olahraga ataupun aktivitas fisik sehari-hari. Riskesdas tahun 2007 melaporkan 48,2% penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (<5 hari dan <150 menit per hari). Kurang aktivitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dilihat dari jenis kelamin, kurang aktivitas fisik lebih tinggi pada perempuan (54,5%) dibanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008). Menurut penelitian Wicaksono (2011) orang yang kurang melakukan olahraga berisiko terkena DM sebanyak 3 kali lebih besar
32
jika dibandingkan dengan yang cukup olahraga dan secara statistik bermakna (OR=3,00). Aktivitas fisik yang dianjurkan oleh Ditjen PP & PL (2008), yaitu : a. Lakukan aktivitas fisik sekurang-kurangnya 30 menit per hari dengan baik dan benar agar bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh, misalnya : 1. Turun bus lebih awal menuju tempat kerja yang kira-kira menghabiskan dua puluh menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang kira-kira sepuluh menit berjalan kaki menuju rumah. 2. Membersihkan rumah selama sepuluh menit dua kali dalam sehari ditambah sepuluh menit bersepeda. b. Lakukan secara bertahap hingga mencapai tiga puluh menit. Jika belum terbiasa dapat dimulai dengan beberapa menit setiap hari
dan
ditingkatkan secara bertahap. c. Aktivitas fisik dapat dilakukan dimana saja, dengan memeperhatikan lingkungan yag aman dam nyaman, bebas polusi, tidak menimbulkan cidera, misalnya : di rumah, di sekolah, di tempat kerja dan di tempattempat umum (sarana olahraga, lapangan, taman, tempat rekreasi, dll). d. Aktivitaas fisik dapat dimulai sejak muda hingga usia lanjut dan dlakukan setiap hari.
33
2.6 Komplikasi Diabetes Melitus Komplikasi DM secara umum terdiri dari dua jenis komplikasi, yaitu komplikasi jangka pendek (komplikasi akut) dan komplikasi jangka panjang (komplikasi kronik). 2.6.1 Komplikasi Akut a. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea. Penyebab glikemia yaitu makan kurang dari aturan yang telah ditentukan, berat badan menurun, pemberian suntikan insulin yang tidak tepat, sesudah olahraga dan sesudah melahirkan (Soegondo, 2009). Beberapa gejala seperti gugup, gemetar, lapar dan pusing dianggap tanda-tanda peringatan awal. Hal itu dinamakan gejala autonomik karena gula darah rendah memengaruhi sistem syaraf autonomik. Sebagian gejala hipoglikemia timbul karena pengaruh glukosa darah rendah yang lama pada otak. Untuk mengetahui dengan pasti sebaiknya segera melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah. Apabila hipoglikemia ringan tidak diketahui dan diabaikan, penderita bisa mengalami hipoglikemia berat. Apabila glukosa darah sangat rendah dalam jangka waktu terlalu lama, otak tidak akan mendapatkan glukosa dan penderita dapat kehilangan kesadaran (Waspadji, 2014). Diabetesi yang mengalami reaksi hipoglikemia (masih sadar) atau koma hipoglikemia biasanya disebabkan oleh obat anti diabetes yang diminum dengan
34
dosis terlalu tinggi atau penderita terlambat makan, atau bisa jadi karena latihan fisik yang berlebihan (Tjokroprawiro, 2011). b. Hiperglikemia Kelompok hiperglikemia secara anamnesis ditemukan adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat (Soegondo, 2009). Hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya kurang memproduksi keton seperti DM tipe 1, namun kadar glukosa darah dapat naik sampai 600 mg/dl dan bahkan mencapai 1000 mg/dl (Waspadji, 2014). Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit DM. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM. Data mortalitas di negara maju menunjukkan angka antara 4,7 sampai dengan 10%. Faktor yang mempengaruhi angka kematian adalah terlambat ditegakkan diagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma, pasien belum tahu mengidap DM, sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat (Soegondo, 2009). c. Hiperglikemik Non Ketotik (HNK) HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan asidosis ringan. Pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemik berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran. Beberapa tanda dari HNK yaitu : sering ditemukan pada usia lanjut, yaitu lebih
35
dari 60 tahun, semakin muda semakin berkurang, hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa pengobatan insulin, mempunyai penyakit dasar, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskuler, sering disebabkan oleh obat-obatan, dan mempunyai faktor pencetus seperti infeksi, CVD, pankreatitis (Soegondo, 2009). 2.6.2 Komplikasi Kronik Komplikasi kronik DM dapat menyerang semua sistem organ tubuh. Kerusakan organ tubuh disebabkan oleh menurunnya sirkulasi darah ke organ akibat kerusakan pada pembuluh darah (Hotma, 2014). a.
Mata (Retinopati Diabetik) Tiga masalah mata yang dapat terjadi pada penderita DM dan perlu diwaspadai adalah katarak, glaukoma, dan retinopati. Dari ke tiga masalah ini yang paling umum adalah retinopati. Penyakit DM mempengaruhi retina mata dengan berbagai cara, yaitu : 1.
Perubahan kadar glukosa darah yang tidak normal karena DM dapat mempengaruhi lensa di dalam mata. Terutama apabila DM tidak terkendali. Ini dapat mengakibatkan mata kabur yang datang dan pergi tergantung kadar glukosa darah.
2.
Pengaruh jangka lama DM adalah lensa mata dapat menjadi berawan atau katarak
Katarak pada diabetes adalah lensa mata yang berawan atau berkabut yang seharusnya terang apabila tidak ada katarak. Gejala katarak, yaitu penglihatan
36
kabur atau tidak jelas, kacamata tidak membantu melihat dengan baik, biji mata yang hitam kelihatan kelabu, kuning atau putih, warna kelihatan pudar. Glaukoma adalah penumpukan cairan pada mata yang menyebabkan tekanan bola mata meningkat apabila cairan di dalam mata tidak tersalurkan dengan baik, terjadi penumpukan cairan yang mengakibatkan peningkatan tekanan dalam optik. Tekanan ini merusak syaraf dan pembuluh darah pada mata yang menyebabkan perubahan peradangan. Retinopati diabetik adalah masalah mata diabetes yang disebabkan kerusakan pembuluh darah kecil. Semakin lama seseorang penyandang diabetes semakin tinggi risiko berkembangnya penyakit ini. Apabila retinopati tidak ditemukan dini atau tidak diobati akan menjurus kepada kebutaan (Waspadji, 2014). b.
Nefropati diabetik Bila kadar glukosa darah meninggi makan mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang mengakibatkan kerusakan pada membrane filtrasi sehingga terjadi kebocoran protein darah ke dalam urin. Kondisi ini mengakibatkan tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus dalam terjadinya nefropati. Nefropati diabetik dapat menyebabkan gagal ginjal (Hotma, 2014). Timbulnya gejala penyakit ginjal memerlukan waktu yang lama. Kerusakan ginjal dapat mulai 5-10 tahun sebelum gejala dimulai. Penyandang diabetes yang mengalami penyakit ginjal yang lebih berat dan kronik dapat mempunyai gejala
37
seperti : lelah, sakit kepala, mual dan muntah, kurang nafsu makan dan kaki bengkak (Waspadji, 2014). c.
Neuropati diabetik Kerusakan syaraf atau neuropati bisa terjadi pada penyandang DM. Neuropati dapat mempengaruhi saraf mana saja diluar otak dan sumsum tulang belakang, yaitu syaraf tepi Polineuropati distal simetrik adalah kerusakan syaraf polineuropati menuju kaki dan kadang-kadang tangan. Penyandang DM dapat mengalami baal atau kehilangan rasa, kelemahan otot, rasa tertusuk, nyeri tersentuh alas tempat tidur atau baju. Neuropati fokal yaitu kerusakan pada satu atau sekumpulan syaraf yang berkembang ketika suplai darah ke syaraf tertutup karena blokade pembuluh darah yang mensuplai syaraf (Waspadji, 2014).
2.7
Pencegahan Diabetes Melitus
2.7.1 Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat atau mencegah orang normal atau pengidap prediabetes agar tidak menjadi diabetes (Sudoyo dkk, 2010). Upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan, yaitu : a.
Penyuluhan kesehatan Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Pencegahan DM tipe 2 pada orang-orang yang berisiko atau orang dengan prediabetes pada prinsipnya adalah dengan mengubah
38
gaya hidup yang meliputi olah raga, penurunan berat badan, dan pengaturan pola makan. Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program (Yulianti, 2009). b.
Penyuluhan dan pendidikan kesehatan Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan (Yulianti, 2009).
c. Berolah raga teratur atau melakukan kegiatan fisik Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolah raga rutin, minimal 150 menit perminggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olah raga dapat memperbaiki resistensi insulin yang terjadi pada pasien prediabetes, meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik), dan membantu mencapai berat badan ideal. Selain olah raga, dianjurkan juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-hari, misalnya dengan memilih menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke pasar daripada menggunakan mobil (Regina, 2012). d.
Penurunan berat badan Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan gaya hidup intensif, pencegahan diabetes paling berhubungan dengan penurunan berat
39
badan. Menurut penelitian, penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2 (Regina, 2012). e.
Pengaturan pola makan Untuk mencegah DM sangat dianjurkan pula melakukan pola makan yang sehat, yakni terdiri dari karbohidrat kompleks, mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut. Asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal (Regina, 2012). Perencanaan makanan yang dianjurkan seimbang dengan komposisi energi yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak, seperti karbohidrat = 45-60%, protein = 10-20% dan lemak = 20-25%. Prinsipnya adalah makan yang teratur dalam Jadwal, Jumlah dan Jenis makanan (3J) Ditjen PP dan PL (2008). Diet seimbang menurut Ditjen PP dan PL (2008), yaitu : 1. Penggunaan karbohidrat dibatasi, terutama menghindari penggunaan karbohidrat sederhana (gula pasir, gula merah, madu, gula batu), protein cukup menggunakan lemak tak jenuh dan tinggi serat. 2. Bahan makanan yang diperbolehkan mengandung protein hewani rendah lemak/ kolesterol (daging kurus, ayam tanpa telur rendah kolesterol, ikan dari laut dalam) sedangkan protein nabati (tempe, tahu, kacang-kacangan) 2-3 porsi sehari. 3. Menghindari makanan dan minuman yang diawetkan dan manis (abon, dendeng, dodol, kurma, sirup, es krim, permen, coklat, bumbu-bumbu manis
40
(kecap) dan buah-buahan manis yang diawetkan (kurma, durian, manisan buah. f.
Menghindari zat atau obat yang dapat mencetus timbulnya diabetes.
2.7.2 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi. Komplikasi DM banyak terjadi karena penderita DM tidak menyadari secara dini bahwa mereka telah terkena penyakit DM. 46,8% kasus DM tidak terdiagnosis terjadi di dunia. Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejala klinik utama dan pemeriksaan glukosa darah. Gejala klinik utama berupa trias poli yaitu poli uri, poli dipsi, dan poli phagia dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Disamping itu keluhan lemas, gatal-gatal, penurunan libido, kesemutan dan mata kabur juga menjadi keluhan lain yang dipertimbangkan (Hotma, 2014). Menurut PERKENI (2006), diagnosis diabetes ditegakkan melalui cara, yaitu : a. Jika keluhan klasik ditemukan, kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl b. Jika keluhan klasik ditemukan, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 126 mg/dl c. Tes toleransi glukosa (TTG) dengan beban 75g glukosa, kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus terkendali mendekati angka normal setiap hari setiap tahun. Beberapa pencegahan sekunder, yaitu :
41
a.
Melakukan skrining untuk mencari penderita baru harus dilakukan karena kelompok tidak terdiagnosa tidak sedikit jumlahnya. Sehingga jika diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah. Skrinning direkomendasikan untuk orangorang yang mempunyai keluarga diabetes, orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil, orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler, dan orang-orang yang gemuk (Yuliyanti, 2009).
b.
Tidak Merokok. Walaupun tidak secara langsung menimbulkan intoleransi glukosa, merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2. Oleh karena itu, pasien juga dianjurkan berhenti merokok. Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian yang menyelidiki hubungan antara merokok dan DM yang disiarkan antara 1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta yang ditelusuri selama 30 tahun. Mereka mendapati risiko bahkan lebih tinggi bagi perokok berat. Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki risiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap insulin. Itu berarti merokok dapat mencampuri cara tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya mengawali terbentuknya DM tipe 2 (Yuliyanti, 2009)..
c.
Tetap melakukan pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi diabetes (Suiraoka, 2012).
42
2.7.3
Pencegahan Tersier Upaya pencegahan
tersier menurut Regina (2012) ditujukan kepada
kelompok penderita DM yang telah mengalami komplikasi dalam upaya mencegah kecacatan lebih lanjut. Beberapa upaya sekunder, yaitu : a. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ. b. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan. c. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. d. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, penyuluh, dan lain-lain.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier. Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali antara pasien dengan tenaga kesehatan baik dokter maupun penyuluh diabetes.
2.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Secara umum pengendalian DM menurut Bustan (2007) dimaksudkan untuk mengurangi gejala, membentuk berat badan ideal, mencegah akibat lanjut dan
43
komplikasi. Dengan demikian prinsip dasar manajemen pengendalian atau penanganan DM meliputi : a. Pengaturan makan b. Latihan jasmani c. Perubahan perilaku resiko d. Obat anti diabetik e. Intervensi bedah sebagai pilihan terakhir, kalau memungkinkan dan cangkok pankreas. Tabel 2.1 Manajemen Pengendalian Diabetes No Status Diabetes 1 Publik sehat 2 Kelompok risiko 3 4
Prediabetes/sindrom metabolik Penderita diabetes
5
DM di rumah sakit
6
Kronik DM
Tindakan Manajemen Edukasi, informasi dan kepedulian a. Skrining b. Perbaikan gaya hidup a. Diagnosa dini b. Pemeriksaan laboratorium a. Intervensi diet dan olahraga b. Pengobatan c. Pencegahankemungkinan komplikasi d. Pemeriksaan khusus a. Pengobatan intensif b. Perawatan khusus c. Pencegahan komplikasi a. Pencegahan komplikasi b. Pemeriksaan periodik
2.9 Landasan Teori Berdasarkan tinjauan pustaka faktor risiko penyebab DM adalah terdiri dari faktor risiko yang tidak dapat diubah/ modifikasi seperti umur, jenis kelamin, keturunan dan faktor risiko yang dapat diubah/ modifikasi yaitu faktor perilaku
44
berisiko seperti pola
makan yang salah (konsumsi karbohidrat berlebih,
mengkonsumsi makanan berlemak berlebih, kurang konsumsi serat (sayur dan buah), serta jadwal makan yang tidak teratur) dan aktivitas fisik kurang. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Faktor perilaku) 1. Pola makan 2. Aktivitas fisik 3. Merokok 4. Konsumsi alkohol
Diabetes Melitus Tipe 2
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Ditjen PP & PL 2008; WHO, 2014; dan Hotma, 2014
2.10 Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini : Variabel Independen Faktor perilaku berisiko yang dimodifikasi: 1. Konsumsi karbohidrat 2. Konsumsi lemak 3. Konsumsi sayur dan buah 4. Keteraturan makan 5. Aktivitas fisik
Variabel Dependen dapat Diabetes Melitus Tipe 2
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Konsumsi karbohidrat berlebih berisiko menyebabkan tingginya kadar gula di dalam darah. Konsumsi makanan berlemak menyebabkan terjadi peningkatan glukosa
45
dalam darah dan meyebabkan kelebihan berat badan. Konsumsi buah/sayur terutama insoluble fiber (serat tidak larut) yang terdapat dalam biji-bijian dan beberapa tumbuhan, dapat membantu mencegah terjadinya diabetes dengan cara meningkatkan kerja hormon insulin dalam mengatur gula darah di dalam tubuh. Keteraturan makan menyebabkan sekresi insulin yang teratur dan konsisten, maka ketahanan pankreas untuk menyekresikan insulin dapat optimal. Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental dan kualitas hidup yang sehat dan bugar.