BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori tentang Rumah Sakit 2.1.1 Pengertian Rumah Sakit Pengertian rumah sakit menurut WHO: “is an integral part of social and medical organization, the function of which is to provide for the population complete health care, both curative and preventive and whose outpatient service reach out to the family and its home environment; the hospital is also a centre for the training of health workers and for biosocial research”, (suatu bagian menyeluruh dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian penelitian biososial (Azwar, 1996). Menurut Undang-Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa pengertian rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Universitas Sumatera Utara
Rumah sakit merupakan pusat pelayanan rujukan medik spesialistik dan subspesialistik dengan fungsi utama menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Sesuai dengan fungsi utamanya tersebut, perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga rumah sakit mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dengan lebih berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) (Ilyas, 2001). 2.1.2 Teori tentang Rawat Inap Rawat inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit pemerintah dan swasta, serta Puskesmas perawatan dan rumah bersalin yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap (Muninjaya, 2005). Penderita adalah seseorang yang mengalami/menderita sakit atau mengidap suatu penyakit. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, dan Puskesmas. Setiap pasien sebelum mendapat perawatan inap pada RSU, terlebih dahulu mendapatkan persetujuan rawat inap. Paket pelayanan rawat inap di Rumah Sakit, meliputi: perawatan kelas I, II dan III, persalinan normal atau patologis, tindakan pembedahan sesuai kebutuhan medis. Pelayanan penunjang, meliputi : radiologi, USG, EKG, laboratorium, fisioterapi (Muninjaya, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pelayanan Makanan di Rumah Sakit Penyelenggaraan makanan merupakan salah satu dari empat kegiatan pokok yang ada di rumah sakit. Penyelenggaraan makanan merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kapada pasien, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat, dan termasuk sampai kegiatan pencatatan, pelaporan dan evaluasi (Depkes RI, 2003). Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) adalah sub sistem pelayanan kesehatan paripurna di rumah sakit, yang merupakan rangkaian komponen yang saling terkait dan saling memengaruhi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan bersama. PGRS seperti yang tercantum dalam Standar Pelayanan Departemen Kesehatan (2003) adalah pelayanan yang diberikan untuk mencapai status gizi pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhannya, baik untuk keperluan metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan ataupun untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhannya. PGRS didefinisikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada pasien rawat jalan maupun rawat inap untuk memilih dan memperoleh makanan yang sesuai guna mencapai syarat gizi yang optimal. Tujuan umum PGRS adalah tersedianya pelayanan gizi yang berdaya guna dan berhasil guna serta terintegrasi dengan pelayanan kesehatan lainnya di rumah sakit (Depkes RI, 2003). Sistem pelayanan makanan dalam PGRS adalah program terpadu dimana pengadaan, penyimpanan, pemasakan dan penyajian makanan serta yang diperlukan
Universitas Sumatera Utara
untuk mencapai tujuan dikoordinasikan secara penuh dengan penggunaan tenaga seminimal mungkin, pengontrolan biaya secermat mungkin serta mutu dan kepuasan pasien seoptimal mungkin (Almatsier, 2006). Tujuan dilaksanakannya penyelenggaraan makanan di rumah sakit untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi pasien yang membutuhkannya. Dalam penyelenggaraan makanan rumah sakit, standar masukan, proses dan keluaran (Depkes RI, 2006). Pelayanan makanan yang bermutu di rumah sakit bersifat paripurna sesuai dengan jenis dan kelas rumah sakit. Misi dari pelayanan makanan rumah sakit adalah: (a) meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia yang menyelenggarakan pelayanan makanan, (b) mengembangkan penelitian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menyelenggarakan pelayanan makanan yang berorientasi pada kepuasan klien atau pasien (Depkes RI, 2006). Kegiatan PGRS secara umum meliputi : (a) asuhan gizi, (b) penyelenggaraan makanan, dan (c) penelitian dan pengembangan. Asuhan gizi adalah: suatu upaya bersama dan terintegrasi, dilakukan oleh petugas gizi, perawat, ahli gizi dan tenaga pendukung, melibatkan penderita, dengan tujuan, agar kebutuhan gizi yang diperlukan dapat tercapai (Depkes RI, 2006). Pelayanan gizi yang diberikan di rumah sakit disesuaikan dengan keadaan penderita dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi penderita sangat berpengaruh pada proses penyembuhan
Universitas Sumatera Utara
penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi penderita. Sering terjadi kondisi klien/penderita semakin buruk karena tidak diperhatikan keadaan gizinya. Hal ini diakibatkan karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Laporan dari berbagai survei di rumah sakit membuktikan kejadian hospital malnutrition dengan asuhan gizi yang tidak tepat sebagai faktor resiko (Prosiding ASDI, 2005). Perawatan pasien di rumah sakit berarti memisahkan orang sakit dari kebiasaan hidupnya sehari- hari, dan memasuki lingkungan yang masih asing baginya. Perubahan juga terjadi dalam hal makanan. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaraan pengaturan makanan bagi orang sakit di rumah sakit (Moehyi, 1999) : 1. Faktor psikologis Perawatan di rumah sakit menyebabkan orang sakit harus menjalani kehidupan yang berbeda dengan apa yang dialami sehari – hari di rumah. Apa yang dimakan, dimana orang tersebut makan, bagaimana makanan disajikan, dengan siapa orang tersebut makan, sangat berbeda dengan yang telah menjadi kebiasan hidupnya. Hal ini ditambah dengan hadirnya orang-orang yang masih asing baginya yang mengelilinginya setiap waktu, seperti petugas gizi, perawat, atau petugas paramedis lainnya. Kesemuanya itu dapat membuat orang sakit mengalami tekanan psikologis, yang dapat pula membawa perubahan perangai pada orang sakit (Moehyi, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor Sosial Budaya Tingkat budaya yang diwarisi dari orang tua pasien, bukan saja menentukan macam makanan dan cara mengolah makanan pasien sehari-hari, akan tetapi juga sikap dan kesukaan pasien terhadap makanan. Tingkah budaya yang beraneka ragam inilah yang dihadapi oleh petugas rumah sakit dalam memberikan makanan. Oleh karena itu, pemilihan jenis makanan, macam hidangan yang disajikan kepada orang sakit, harus dipilih sedemikian rupa sehingga tidak terlalu mengarah kepada pilihan atau kesukaan satu kelompok masyarakat saja (Moehyi, 1999). 3. Keadaan Jasmaniah Orang Sakit Kondisi fisik orang sakit yang paling baik adalah pada waktu bangun pagi, setelah mendapat istirahat penuh dan dapat tidur nyenyak pada malam harinya. Oleh karena itu, makanan yang diberikan pada waktu pagi perlu diperhatikan agar orang sakit dapat makan dalam jumlah yang cukup, sehingga jika waktu makan siang nafsu makan tidak begitu baik, orang sakit tidak akan menjadi terlalu lemah. Hal ini berbeda dengan pendapat yang lazim di lingkungan keluarga, bahwa makan pagi cukup seadanya saja (Moehyi, 1999). 4. Keadaan Gizi Orang Sakit Pemeriksaan keadaan gizi orang sakit pada waktu pasien mulai masuk rumah sakit, jarang dilakukan. Data yang tersedia biasanya adalah umur orang sakit, jenis kelamin, yang kesemuanya itu dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran kasar keadaan gizi orang sakit (Moehyi, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Program mutu pelayanan gizi adalah upaya-upaya peningkatan mutu yang dilakukan oleh unit/bagian/instalasi gizi. Program mutu harus sejalan dengan program mutu rumah sakit dan memperhatikan cakupan indikator keberhasilan pelayanan gizi pada buku PGRS. Kegiatan program mutu harus dilengkapi dengan kerangka acuan, sehingga ada kejelasan tujuan, siapa pelaksana, bagaimana melaksanakan dan kapan dilaksanakan (Depkes RI, 2006). Evaluasi dan tindak lanjut dari hasil kegiatan program melalui monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap dokumen kebijakan dan prosedur, serta kegiatan pelayanan gizi. Dalam hal ini diperhatikan apakah lengkap kegiatan pelayanan telah dilakukan sesuai dengan semua kebijakan dan prosedur. Demikian juga diperhatikan apakah pelayanan dilakukan dengan teratur sesuai dengan kebijakan yang dibuat (Depkes RI, 2006). Dalam konsep quality assurance (QA), kepuasan pasien dipandang sebagai unsur penentu penilaian baik buruknya sebuah rumah sakit. Unsur penentu lainnya dari empat komponen yang memengaruhi kepuasan adalah: aspek klinis, efisiensi dan efektivitas dan keselamatan pasien. Aspek Klinis, merupakan komponen yang menyangkut pelayanan petugas gizi, perawat dan terkait dengan teknis medis (Sabarguna, 2004). Beberapa indikator mutu pelayanan makanan di rumah sakit menurut Sabarguna (2004) yaitu: a. Kelayakan adalah tingkat dimana pelayanan makanan yang berikan relevan terhadap kebutuhan klinis pasien.
Universitas Sumatera Utara
b. Kesiapan adalah tingkat dimana kesiapan pelayanan makanan yang layak dapat memenuhi kebutuhan pasien sesuai keperluannya. c. Kesinambungan adalah tingkat dimana pelayanan makanan bagi pasien terkoordinasi dengan baik setiap saat, diantara tim kesehatan dalam organisasi . d. Efektifitas adalah tingkat dimana pelayanan makanan terhadap pasien dilakukan dengan benar, serta mendapat penjelasan dan pengetahuan sesuai dengan keadaannya, dalam rangka memenuhi harapan pasien. e. Kemanjuran adalah tingkat dimana pelayanan makanan yang diterima pasien dapat diwujudkan atau ditunjukkan untuk menyempurnakan hasil sesuai harapan pasien. f. Efisiensi adalah ratio hasil pelayanan atau tindakan bagi pasien terhadap sumbersumber yang dipergunakan dalam memberikan layanan bagi pasen. g. Penghormatan dan perhatian adalah tingkat dimana pasien dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang perawatan dirinya. Berkaitan dengan hal tersebut perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan pasien serta harapan-harapannya dihargai. h. Keamanan adalah tingkat dimana bahaya pelayanan makanan diminimalisasi untuk melindungi pasien dan orang lain, termasuk petugas kesehatan. i. Ketepatan waktu adalah tingkat dimana pelayanan makanan diberikan kepada pasien tepat waktu sangat penting dan bermanfaat
Universitas Sumatera Utara
Faktor–faktor yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas pelayanan jasa seperti pelayanan makanan di rumah sakit adalah (Tjiptono dan Chandra, 2005) : a. Mengidentifikasi determinan utama kualitas jasa Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan riset untuk mengindentifikasi determinan jasa yang paling penting bagi pasar sasaran dan memperkirakan penilaian yang diberikan pasar sasaran terhadap perusahaan dan pesaing berdasarkan determinan-determinan tersebut. Dengan demikian dapat diketahui posisi relatif perusahaan di mata pasien dibandingkan para pesaing, sehingga perusahaan dapat memfokuskan upaya peningkatan kualitasnya pada determinan-determinan tersebut. b. Mengelola harapan pasien Semakin banyak janji yang diberikan, maka semakin besar pula harapan pasien yang pada gilirannya akan menambah peluang tidak dapat terpenuhinya harapan pasien oleh perusahaan. Untuk itu ada satu hal yang dapat dijadikan pedoman yaitu jangan janjikan apa yang tidak bisa diberikan tetapi berikan lebih dari yang dijanjikan. c. Mengelola bukti (evidence) kualitas jasa Pengelolaan bukti kualitas jasa bertujuan untuk memperkuat persepsi pasien selama dan sesudah jasa diberikan. Oleh karena itu jasa merupakan kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang, maka pasien cenderung memperhatikan fakta-fakta tangibles yang berkaitan dengan jasa sebagai bukti kualitas.
Universitas Sumatera Utara
d. Mendidik pasien tentang jasa Pasien yang lebih terdidik akan dapat mengambil keputusan secara lebih baik. Oleh karenanya kepuasan mereka dapat tercipta lebih tinggi. e. Mengembangkan budaya kualitas Budaya kualitas merupakan sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan penyempurnaan kualitas secara terus menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas. f. Menciptakan automating quality Adanya otomatisasi dapat mengatasi variabilitas kualitas jasa yang disebabkan kurangya sumberdaya manusia yang dimiliki g. Menindaklanjuti jasa Menindaklanjuti jasa dapat membantu memisahkan aspek-aspek jasa yang perlu ditingkatkan. Perusahaan perlu mengambil inisiatif untuk menghubungi sebagian atau semua pasien untuk mengetahui tingkat kepuasan dan persepsi mereka terhadap jasa yang diberikan. Perusahaan dapat pula memberikan kemudahan bagi para pasien untuk berkomunikasi, baik menyangkut kebutuhan maupun keluhan mereka. h. Mengembangkan sistem informasi kualitas jasa Sistem informasi kualitas jasa merupakan suatu sistem yang menggunakan berbagai macam pendekatan riset secara sistematis untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi kualitas jasa guna mendukung pengambilan keputusan.
Universitas Sumatera Utara
Informasi dibutuhkan mencakup segala aspek, yaitu data saat ini dan masa lalu, kuantitatif dan kualitatif, internal dan eksternal, serta informasi mengenai perusahaan dan pasien (Tjiptono dan Chandra, 2005). 2.3 Teori tentang Kepuasan Pasien 2.3.1 Pengertian Kepuasan Kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa Latin “satis” (artinya cukup baik, memadai) dan “facto” (melakukan atau membuat), sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu (Wardani, 2004). Suryawati (2006) menyatakan kepuasan sebagai selisih dari banyaknya sesuatu yang ”seharusnya ada” dengan banyaknya “apa yang ada”. Seseorang akan terpuaskan jika tidak ada selisih antara sesuatu atau kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual. Semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal penting yang diinginkan, semakin besar rasa ketidakpuasan. Secara teoritis, definisi tersebut dapatlah diartikan, bahwa semakin tinggi selisih antara kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai keinginan pasien dengan pelayanan yang telah diterimanya, maka akan terjadi rasa ketidakpusan pasien. Kepuasan bisa diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu yang memadai (Tjiptono dan Chandra, 2005). Sementara Wijono (1999) menyatakan kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Kotler (2003) mendefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang dialami setelah membandingkan antara persepsi kinerja atau hasil suatu produk dengan harapan-harapannya. Meskipun demikian, definisi kepuasan yang banyak diacu adalah berdasarkan konsep discomfirmation paradigm. Berdasarkan paradigma tersebut, kepuasan dibentuk dari sebuah referensi perbandingan yaitu membandingkan hasil yang diterima dengan suatu standar tertentu.
Perbandingan tersebut membentuk tiga
kemungkinan yaitu pertama adalah bila jasa yang dirasakan melebihi pengharapan dimana pelayanan yang diterima atau dirasakan melebihi pelayanan yang diharapkan, yang kedua bila kualitas pelayanan memenuhi pengharapan apabila pelayanan dirasakan sesuai dengan yang diharapkan dan yang terakhir jika jasa yang diterima di bawah pengharapan bilamana pelayanan yang dirasakan lebih buruk dari pelayanan yang diharapkan (Supranto, 2006). Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistim penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan pasien, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan
terhadap
populasi
sasaran
(Triatmojo,
2006).
Dalam
rangka
mengembangkan mekanisme pemberian pelayanan yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pasien, perlu mengetahui apa yang dipikirkan pasien tentang jenis, bentuk dan orang yang memberi pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Mengukur Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Kepuasan pasien adalah indikator pertama dari standar suatu rumah sakit dan merupakan suatu ukuran mutu pelayanan. Kepuasan pasien yang rendah akan berdampak terhadap jumlah kunjungan yang akan memengaruhi provitabilitas rumah sakit, sedangkan sikap karyawan terhadap pasien juga akan berdampak terhadap kepuasan pasien dimana kebutuhan pasien dari waktu ke waktu akan meningkat, begitu pula tuntutannya akan mutu pelayanan yang diberikan (Tjiptono dan Chandra, 2005). Kebutuhan konsumen kesehatan amat bervariasi. Secara umum, kebutuhan konsumen kesehatan adalah kebutuhan terhadap akses layanan kesehatan, layanan yang tepat waktu, layanan yang efektif dan efisien, layanan yang layak dan tepat, lingkungan yang aman serta penghargaan dan penghormatan. Sementara itu terdapat kebutuhan khusus konsumen, antara lain kesinambungan layanan kesehatan dan kerahasiaan. Hal-hal tersebutlah yang memengaruhi kepuasan konsumen di sarana pelayanan kesehatan (Tjiptono dan Chandra, 2005). Sarana pelayanan kesehatan sekarang ini harus mengikuti kebutuhan dan kepuasan konsumennya. Dengan pendekatan jaminan mutu layanan kesehatan kesehatan, kepuasan adalah bagian integral dan menyeluruh dari kegiatan jaminan mutu layanan kesehatan. Artinya, pengukuran tingkat kepuasan harus menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari pengukuran mutu layanan kesehatan. Konsekuensi dari pola pikir yang demikian adalah dimensi kepuasan konsumen menjadi salah satu dimensi mutu layanan kesehatan yang penting. Beberapa metode
Universitas Sumatera Utara
dalam pengukuran kepuasan pelanggan adalah, 1) sistem keluhan dan saran; untuk memberikan kesempatan kepada pelanggan menyampaikan keluhan ataupun saran, organisasi yang berorientasi pelanggan (costumer centered) memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk menyampaikan saran dan keluhan, misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar, customer hot lines dan lain-lain. 2) ghost shopping; merupakan salah satu cara untuk memperoleh gambaran kepuasan pelanggan/pasien dengan memperkerjakan beberapa orang berperan sebagai pembeli untuk melaporkan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk maupun pesaing. 3) Lost Customer Analysis; yaitu dengan menghubungi pelanggan yang berhenti berlangganan dan memahami mengapa hal tersebut terjadi. Peningkatan lost customer rate menunjukkan kegagalan perusahaan untuk memuaskan pelanggan dan 4) Survei Kepuasan Pelanggan; yaitu dengan melakukan survei untuk dapat memperoleh umpan balik ataupun tanggapan secara langsung dari pelanggan (Tjiptono dan Chandra, 2005 dalam Prastanika, 2007). Kepuasan dirasakan oleh seseorang yang telah mengalami suatu hasil (out come) yang sesuai dengan harapannya. Jadi kepuasan merupakan fungsi dari tingkat harapan yang dirasakan dari hasil kegiatan. Apabila suatu hasil kegiatan melebihi harapan seseorang, orang tersebut akan dikatakan mengalami tingkat kepuasan yang tinggi (fully satisfied). Apabila hasil kerja tersebut sama dengan yang diharapkan, seseorang dikatakan puas (satisfied). Akan tetapi apabila hasil tersebut jauh di bawah harapan, seseorang akan merasa tidak puas (dissatisfied). Untuk memahami tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan, terlebih dahulu kita harus memahami apa
Universitas Sumatera Utara
harapannya terhadap sebuah pelayanan. Harapan dibuat berdasarkan pengalaman sebelumnya atau situasi yang sama, pernyataan yang dibuat oleh orang lain dan pernyataan yang dibuat oleh penyedia jasa pelayanan kesehatan (Kotler, 2003). Cara mengukur kepuasan dengan metode ini adalah dengan menghitung selisih antara nilai kenyatan yang diterimanya dikurang dengan nilai harapannya, sebagai contoh: a. Bagaimana penilaian anda ?: (min) 0
1
2
(max)
b. Bagaimana dengan harapan anda ?: (min) 0
1
2
(max)
Jika responden menjawab 1 dari pernyataan (a), dan 2 dari pernyataan (b), maka kita menemukan kesenjangan antara kenyataan dengan harapan (need deficiency) sebesar (-1), maka responden tidak puas (dissatisfied) Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa pelayanan kesehatan seharusnya mengacu kepada kepuasan konsumen. Dalam pemahaman demikian maka dikenal adanya perspektif konsumen dalam memberikan penilaian terhadap pelayanan kesehatan. Ada beberapa faktor yang memengaruhi perspektif konsumen. Umumnya hal-hal tersebut menyangkut kepuasan menggunakan produk atau jasa yang didapatkannya
dengan
cara
membayar.
Konsumen
memiliki
hak
untuk
menyampaikan keluhannya terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dan kemudian memberikan penilaian atas tanggapan yang diberikan oleh mereka yang menerima keluhan tersebut. Mekanisme feed back inilah yang kita harapkan akan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan mutu sarana pelayanan kesehatan. Pemahaman responden mengenai pelayanan kesehatan yang diterimanya akan menjadi sebuah perspektif kepada penentu keputusan di sarana pelayanan kesehatan supaya perspektif mengenai pelayanan kesehatan dari sudut pandangnya sebagai penyedia jasa dapat lebih dilengkapi lagi (Prastanika, 2007). Kepuasan adalah perbandingan terhadap apa yang diterima atau dirasakan (perceived performance) sama atau melebihi apa yang diharapkan. Sebagaimana dikutip dalam Kotler, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan berbagai harapannya. Kepuasan adalah keadaan psikologis dari emosional seseorang yang menunjukkan adanya diskonformasi atau konformasi terhadap layanan yang diterimanya dengan harapannya dan menjadikan pengalaman setelah mengkonsumsinya (Tjiptono dan Chandra dalam Prastanika, 2007). Layanan kesehatan yang bermutu, tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan akan pentingnya menjaga kepuasan pasien, termasuk dalam menangani keluhan yang disampaikan oleh pasien. Kepuasan adalah sebuah suasana batin yang seharusnya direbut oleh layanan kesehatan untuk memenangkan persaingan dalam konteks pelayanan kepada masyarakat. Bagi pelayanan kesehatan secara khusus rumah sakit, penurunan kepuasan akan dapat diikuti oleh penurunan loyalitas dan ini merupakan sebuah warning bagi rumah sakit (Irawan, 2007). Kepuasan merupakan hasil penilaian perasaan individu yang lebih bersifat subjektif, maka hal ini menunjuk pada dimensi abstrak yang relatif. Para ahli telah
Universitas Sumatera Utara
banyak mengembangkan model pengukuran yang dapat digunakan untuk mengkuantifikasi dimensi abstrak dari suatu fenomena (dimensi keperibadian, sikap, atau perilaku) agar lebih mudah dipahami. Penentuan kategori kepuasan pasien dan definisinya, serta pemberian bobot nilai terhadap kategori kepuasan pasien dapat ditetapkan lazimnya dengan mempertimbangkan, antara lain: kondisi pasien, teori atau temuan para ahli, model pengukuran yang digunakan, dan pertimbangan pribadi yang berkepentingan (Utama, 2003). 2.3.3
Faktor yang Memengaruhi Kepuasan Suryawati (2006), menyatakan banyak variabel non medik ikut menentukan
kepuasan pasien antara lain: tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup pasien. Kepuasan pasien dipengaruhi oleh karakteristik individu pasien yaitu: umur, pendidikan, pekerjaan, etnis, sosial ekonomi, dan diagnosis penyakit. Besarnya pengaruh karakteristik individu pasien pada aspek kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dapat menimbulkan perasaan puas atau tidak puas, menyebabkan berbagai konsepsi kualitas pelayanan kesehatan menurut penilaian pasien yang telah dirumuskan para ahli diberbagai daerah, belum tentu dapat dimanfaatkan sepenuhnya sebagai input manajemen untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit pada negara lainnya. Dengan demikian penelusuran prioritas-prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit
Universitas Sumatera Utara
dan rumusan tingkat kepuasan pasien berdasarkan indikator tersebut sangat penting dilakukan (Utama, 2003). Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa berbagai kegiatan dan prasarana kegiatan pelayanan kesehatan yang mencerminkan kualitas rumah sakit merupakan determinan utama dari kepuasan pasien. Pasien akan memberikan penilaian (reaksi afeksi) terhadap berbagai kegiatan pelayanan kesehatan yang diterimanya maupun terhadap sarana dan prasarana kesehatan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Penilaian mereka terhadap kondisi rumah sakit (mutu baik atau buruk) merupakan gambaran kualitas rumah sakit seutuhnya berdasarkan pengalaman subjektif individu pasien. Menurut Azwar (2006), kepuasan yang mengacu pada penerapan kode etik serta standar pelayanan profesi. Ukuran-ukuran kepuasan pemakaian jasa pelayanan kesehatan sebagai unsur dasar. Apabila dapat dilaksanakan dengan baik, pasti dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan kesehatan. Unsur-unsur tersebut diimplementasikan dalam konteks pelayanan makanan rumah sakit. Khusus untuk pelayanan makanan ukuran kepuasan dibatasi pada aspek efektifitas dan efisiensi dalam penyembuhan penyakitnya. 2.3.4 Indikator Kepuasan Pasien Kepuasan pasien, sangat berhubungan dengan kenyamanan, keramahan, dan kecepatan pelayanan. Kepuasan pasien, merupakan indikator yang berhubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan jumlah keluhan pasien atau keluarga, kritik dalam kolom surat pembaca, pengaduan mal praktek, laporan dari staf medik dan perawatan dan sebagainya. Kepuasan sering dikaitkan dengan mutu. Mutu berarti kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Kepuasan tidak hanya bagi pelanggan ataupun pasien akan tetapi akan dirasakan oleh petugas kesehatan. Jika kepuasan petugas kesehatan terpenuhi, diharapkan akan dapat memberikan pelayanan yang memuaskan pasien ataupun pelanggan. Dalam bidang kesehatan mutu adalah terpenuhinya keinginan seseorang yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan yang memuaskan pelanggan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata pelanggan, serta diberikan sesuai dan etika profesi (Suryawati, 2006). 2.3.5 Kepuasan terhadap Pelayanan Makanan Rumah Sakit Menurut Dube (1994), terdapat 5 dimensi yang memengaruhi perasaan kepuasan pasien, yaitu: mutu makanan, ketepatan waktu penyajian, reliabilitas pelayanan, temperatur makanan serta sikap petugas yang menyajikan makanan Sedangkan Sabarguna (2004), menyatakan indikator pelayanan makanan di rumah sakit secara spesifik diukur dari: (a) variasi menu makanan, (b) cara penyajian makanan, (c) ketepatan waktu menghidangkan makanan, (d) keadaan tempat dan peralatan makan (piring, sendok, dan lain-lain), (e) sikap dan perilaku petugas yang menghidangkan makanan.
Universitas Sumatera Utara
a. Variasi Menu Makanan Kesesuaian makanan yang diberikan kepada pasien rawat inap dengan penyakit yang dideritanya penting diperhatikan. Oleh karena itu prosedur merancang diit dan pemberian terapi diit sesuai dengan kondisi pasien dalam upaya mempercepat penyembuhannya. Jenis menu ditetapkan oleh ahli gizi, sedangkan jenis diit ditetapkan oleh petugas gizi ruangan dengan mempertimbangkan hasil pemeriksaan dan data laboratorium pasien yang bersangkutan (Khotimah, 2004). Hasil penelitian Tanaka (1998), menyimpulkan bahwa pasien rawat inap dewasa di RSU Tangerang beranggapan bahwa siklus menu sepuluh hari dianggap masih kurang bervariasi. Maka disarankan perlu diperhatikan adalah memperbanyak variasi menu makanan, sehingga pasien dapat memilih jenis makanan yang mereka sukai secara lebih leluasa. b. Cara Penyajian Makanan Distribusi atau penyajian adalah serangkaian kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan pasien yang dilayani (makanan biasa ataupun makanan khusus). Hal ini bertujuan supaya pasien mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Di rumah sakit terdapat 3 sistem penyaluran makanan yang biasa dilaksanakan di rumah sakit yaitu sistem yang dipusatkan (sentralisasi) sitem yang tidak dipusatkan (desenteralisasi) dan kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi (Depkes RI, 2006). Keuntungan dari sentralisasi adalah: (a) tenaga lebih hemat, sehingga lebih menghemat biaya dan pengawasan, (b) pengawasan dapat dilakukan dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
dan diteliti., (c) makanan dapat disampaikan langsung ke pasien dengan sedikit kemungkinan kesalahan pemberian, (d) ruangan pasien terhindar dari keributan pada waktu pembagian makanan serta bau masakan, (e) pekerjaan dapat dilakukan lebih cepat (Depkes RI, 2006). Kelemahan dari sentralisasi adalah: (a) memerlukan tempat, peralatan dan perlengkapan makanan yang lebih banyak (tempat harus luas, kereta pemanas mempunyai rak), (b) adanya tambahan biaya untuk peralatan, perlengkapan serta pemeliharaan, (c) makanan sampai ke pasien sudah agak dingin, (d) makanan mungkin sudah tercampur serta kurang menarik, akibat perjalanan dari dapur utama ke dapur ruangan (Depkes RI, 2006). Keuntungan cara desentraliasi: (a) tidak memerlukan tempat yang luas, peralatan makan yang ada di dapur ruangan tidak banyak, (b) makanan dapat dihangatkan kembali sebelum dihidangkan ke pasien, (c) makanan dapat disajikan lebih rapi dan baik serta dengan porsi yang sesuai dengan kebutuhan pasien (Depkes RI, 2006). Masalah penyajian makanan pada orang sakit lebih kompleks dibandingan orang sehat, karena nafsu makan yang rendah, perubahan kondisi mental pasien yang berubah akibat penyakit yang dideritanya, aktifitas fisik yang menurun dan reaksi obat-obatan disamping sebagian besar pasien harus menjalani diet (Depkes RI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
c. Ketepatan Waktu Menghidangkan Makanan Manusia secara alamiah akan merasa lapar setelah 3 – 4 jam makan, sehingga setelah waktu tersebut sudah harus mendapatkan makanan, baik dalam bentuk makanan ringan atau berat (Hartono, 2000). Jarak waktu antara makan malam dan bangun pagi sekitar 8 jam. Selama waktu tidur metabolisme di dalam tubuh tetap berlangsung, akibatnya pada pagi hari perut sudah kosong sehingga kebutuhan energi diambil dari cadangan lemak tubuh. Keterlambatan pemasukan zat gula ke dalam darah dapat menimbulkan penurunan konsentrasi dan rasa malas, lemas dan berkeringat dingin (Hartono, 2000). Pasien rawat inap selain mengkonsumsi makanan dari rumah sakit juga mengkonsumsi makanan dari luar rumah sakit, hal ini yang menimbulkan terjadinya banyak sisa makanan pada pasien rawat inap. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian yang serius maka berdampak pada banyak terjadinya sisa makanan. Waktu makan adalah berapa kali orang lazim makan dalam sehari. Setiap bangsa mempunyai waktu makan yang berlainan, misalnya waktu makan orang Amerika dan Eropa berlainan dengan waktu makan orang timur (Hartono, 2000). Makanan di rumah sakit harus tepat waktu, tepat diet dan tepat jumlah khususnya untuk penderita penyakit tertentu. Waktu yang paling rawan dan harus pasien rawat inap patuhi di rumah sakit adalah mengkonsumsi sesuai dengan kondisi penyakitnya. Oleh karena itu sangat penting diperhatikan ketepatan petugas rumah sakit dalam menghidangkan makanan, karena akan berpengaruh terhadap proses penyembuhan penyakitnya. Penyajian atau waktu menghidangkan makanan kepada
Universitas Sumatera Utara
pasien rawat inap sangat penting diperhatikan, khususnya untuk makan pagi hal ini disebabkan karena waktu makan malam dengan makan pagi jarak waktunya terlalu panjang (Hartono, 2000). Penelitian Nuryati (2008), menyimpulkan bahwa pasien rawat inap di RS Bhakti Wira Tamtama Semarang menyatakan waktu penyajian tepat 91,4%, cara penyajian makanan sebagian besar (97,1%) menyatakan menarik, rasa makanan yang disajikan ke pasien sebagian besar menyatakan enak sebanyak 94,3%. Demikian juga Hasil penelitian Tanaka (1998), bahwa pasien puas dengan waktu pemberian makan yang dianggap tepat untuk makan pagi, siang dan malam. d. Keadaan Tempat dan Peralatan Makan Menurut Sediaoetama (2000), peralatan yang digunakan dalam menyajikan makanan ikut mempengaruhi penerimaan pasien terhadap makanan tersebut, sehingga pada saat menghidangkan makanan perlu diperhatikan peralatan yang digunakan harus sesuai dengan jenis makanan dan tingkat kualitas makanan. Dalam menyajikan makanan rumah sakit paling tidak harus ada alat makan yang sesuai dengan dietnya, seperti: untuk makanan biasa harus ada tempat nasi, tempat lauk, tempat sayur, tempat buah serta sendok dan garpu. Juga penting disediakan tutup makanan mengingat tidak semua pasien dapat langsung
menyantap makanan akibat
kondisinya. Hasil penelitian Tanaka (1998), menyimpulkan bahwa pasien rawat inap dewasa di RSU Tangerang beranggapan bahwa penggunaan alat makan dianggap kurang lengkap dan kurang sesuai. Dengan demikian disarankan penggunaan alat
Universitas Sumatera Utara
makan yang lengkap dan sesuai mungkin perlu dipertimbangkan sebagai kelengkapan untuk meningkatkan daya terima makan. e. Sikap dan Perilaku Petugas yang Menghidangkan Makanan Penyebab timbulnya penurunan selera makan pasien diantaranya adalah menyediakan makanan yang kurang memperhatikan sifat organoleptik, lingkungan fisik yang kurang mendukung, komunikasi perawat dan petugas gizi yang kurang memadai dan rasa sakit yang diderita pasien. Dalam hal sosial budaya yaitu orang sakit yang dirawat di rumah sakit berasal dari kelompok masyarakat yang berbeda beda, baik adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan dan nilai-nilai yang mereka anut, bahkan mungkin juga pandangan hidup. Keseluruhan faktor ini secara bersama sama membentuk perilaku manusia terhadap makan (Budiyanto, 2002). 2.4 Landasan Teori Pelayanan kesehatan di rumah sakit bertujuan agar tercapai kesembuhan dalam waktu sesingkat mungkin dengan salah satu upayanya adalah dengan pelayanan makanan yang baik. Indikator pelayanan makanan di rumah sakit mengacu kepada pendapat Sabarguna (2004), yaitu: (a) variasi menu makanan, (b) cara penyajian makanan, (c) ketepatan waktu menghidangkan makanan, (d) keadaan tempat dan peralatan makan (piring, sendok, dan lain-lain), (e) sikap dan perilaku petugas yang menghidangkan makanan. Indikator kepuasan pasien terhadap pelayanan makanan mengacu kepada pendapat Kotler (2003) yang menyatakan bahwa tingkat kepuasan yang melebihi apa
Universitas Sumatera Utara
yang diharapkan atau kepuasan tinggi (highly satisfied), hasil kerja sama dengan yang diharapkan atau puas (satisfied), sedangkan apabila hasil tersebut jauh di bawah harapan, seseorang akan merasa tidak puas (dissatisfied). Dimensi kepuasan dikaitkan dengan pelayanan makanan di RSUD Aceh Tamiang. 2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, maka kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen
Variabel Dependen
Pelayanan Makanan (a) Variasi menu makanan (b) Cara penyajian makanan (c) Ketepatan waktu menghidangkan makanan (d) Keadaan tempat dan peralatan makan
KEPUASAN PASIEN Perbandingan antara harapan dengan kenyataan
Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara