BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gizi Seimbang Anak 6-24 bulan Anak usia 6 bulan, selain air susu ibu (ASI) bayi mulai bisa diberi makanan pendamping air susu ibu MP-ASI, karena pada usia tersebut bayi sudah mempunyai refleks mengunyah dengan pencernaan yang lebih kuat. Pemberian makanan pada anak umur 6-24 bulan, perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya. Kebiasaan pemberian makanan anak yang tidak tepat, seperti: pemberian makanan yang terlalu dini atau terlambat, makanan yang diberikan tidak cukup dan frekuensi yang kurang, hal tersebut berdampak pada anak menjadi sulit makan (Sunardi, 2006). Beberapa penelitian menyatakan bahwa masalah gizi pada bayi dan anak disebabkan kebiasaan pemberian ASI dan makanan pendampig air susu ibu (MP-ASI) yang tidak tepat (segi kuantitas dan kualitas). Selain itu, ibu kurang menyadari bahwa selain ASI yang diberikan harus sampai bayi berusia diatas 6 bulan sudah memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang baik, namun tidak diberikan sesuai bentuk makanan dengan umur anak, sehingga anak menjadi sulit makan (Hermina, 2010). Mengurangi
angka
mortalitas
dan
morbiditas
anak,
World
Health
Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif diberikan pada bayi baru lahir minimal selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan dengan MP-ASI yang seimbang setelah bayi berumur 6 bulan dan pemberian ASI dilanjutkan hingga bayi
berumur 2 tahun (WHO, 2005). Sesudah anak berumur 6 bulan, kebutuhan gizi bayi makin meningkat dan tidak dapat dicukupi sepenuhnya dari ASI, selain ASI bayi harus diberi MP-ASI. Pemberian MP-ASI bergizi seimbang dilakukan secara bertahap untuk mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa. Oleh karena itu pemberian MP-ASI harus mulai diberikan pada anak berumur 6 bulan yang disesuaikan dengan umur dengan bentuk makanan (Depkes, 2007). Anak berumur 6-24 bulan merupakan masa peralihan makanan dari MP-ASI ke makanan orang dewasa. Namun, pemberian yang masih bertahap disesuaikan dengan kemampuan sistem pencernaan anak dan kebutuhan gizi. Merencanakan pemberian ragam makanan sejak anak berumur 6 bulan yang sehat akan menentukan pola makan anak selanjutnya, dengan demikian kemampuan pencernaan dan kebutuhan gizi anak dengan sendiri akan terpenuhi. Pada masa anak berumur 6-24 bulan merupakan konsumen pasif, artinya dia masih menerima saja makanan yang diberikan orang tuanya, maka makanan yang diberikan harus dalam porsi kecil dengan frekuensi sering (7-8 kali) sehari, terdiri atas tiga kali makan pagi, siang dan sore, 2-3 kali makan selingan dan 3-4 kali minum susu. Masing-masing usia ini memerlukan makanan yang berbeda sesuai tahap pertumbuhan dan perkembangan saluran pencernaan anak serta kebutuhan gizi (Suhardjo, 2005). Pertumbuhan anak berumur 6-24 bulan sangat dipengaruhi beberapa antara lain jumlah dan mutu makanan, kesehatan anak, tingkat sosial ekonomi dan pola asuh orang tua. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh yaitu pekerjaan ibu
dan pengetahuan, hal tersebut memengaruhi pada peningkatan derajat kesehatan keluarga. Selain itu, pekerjaan ibu juga dapat mengurangi waktu mengasuh anak akan mengakibatkan berkurangnya peran ibu dalam menyediakan zat gizi sehingga berpengaruh pada status gizi balita (Gibson, RS., 2005). Perlunya perhatian khusus pada anak umur 6-24 bulan yang merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini anak memperoleh asupan gizi seimbang yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila anak pada masa ini tidak memperoleh makanan dengan gizi seimbang, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis akan mengganggu tumbuh kembang anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes, 2006). Berdasarkan hasil penelitian Eva SR., tahun 2011 di Desa Sumurgeneng, bahwa sebagian besar balita mempunyai status gizi baik, karena pengetahuan ibu yang baik tentang gizi seimbang, sehingga asupan makanan anak terpenuhi sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan balita, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, dimana dalam keseharian anak memerlukan gizi seimbang untuk pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian ibu harus memperhatikan kebutuhan gizi balita dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Penelitian sama dilakukan oleh Octaviani, (2012) tentang Pola pemberian MP-ASI yang seimbang pada balita usia 6-12 bulan Desa Kaliori Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas sebagian besar mempunyai pola pemberian MP-ASI dengan gizi seimbang cukup baik yaitu sebanyak 25 balita atau 51% dengan status gizi baik yaitu sebanyak 43
orang responden atau 88%. Masalah gizi pada bayi dan anak disebabkan kebiasaan pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat (segi kuantitas dan kualitas). Selain itu, para ibu yang kurang menyadari bahwa sejak bayi berusia 6 bulan sudah memerlukan MP-ASI seimbang dalam jumlah dan mutu yang baik (Hermina, 2010). 2.1.1 Prinsip Pemberian Makanan Anak Umur 6-24 Bulan Balita usia 6–24 bulan, anak tumbuh dengan cepat dan kebutuhan energi, vitamin dan mineralnya meningkat, namun ukuran perut mereka masih kecil (30ml/kg berat badan seukuran 1 buah cangkir), sehingga mereka membutuhkan makanan yang kaya gizi dan mampu memenuhi kebutuhan nutrisi mereka walaupun dalam porsi yang kecil. Saat ini yang dipakai adalah konsep makanan sehat seimbang seperti yang dituangkan dalam piramida makanan. Segitiga makanan ini akan membantu kita cara memfokuskan dan menseleksi makanan. Porsi terbesar makanan kita adalah yang tertera di paling bawah piramida makanan, yaitu beras dan sereal sedangkan makanan yang kebutuhannya sangat sedikit adalah yang di puncak piramida yaitu lemak dan gula.
Gambar. 2.1 Piramida Gizi Seimbang Anak Balita Sumber: http://www.usda.gov/cnpp/KidsPyra http://kidshealth.org
Peningkatan tekstur, frekuensi dan porsi makanan diberikan secara bertahap, seiring dengan pertumbuhan anak antara 6 sampai 24 bulan, maka disesuaikan tekstur, frekuensi dan porsi makanan sesuai usia anak. Pemberian ASI tetap diberikan sampai usia 2 tahun atau lebih dengan frekuensi sesuka bayi. Tahapan pemberian makanan bergizi seimbang untuk MP-ASI dilakukan secara bertahap, dari makanan bertekstur lunak (bubur susu, lalu bubur saring, lembek (bubur biasa, lalu nasi tim) hingga padat (nasi biasa/makanan keluarga), sesuai dengan tingkat usia bayi. Bayi umur 6-7 bulan bentuk makanan lembut/lumat diberikan untuk buah diberikan pisang raja dan pisang ambon, jeruk, labu dan papaya. Disamping buah diberikan bubur susu dan biskuit yang dicairkan air susu ibu (ASI). Buah diberikan sebanyak 2 sendok makan sekali makan dan dua kali sehari, setiap jenis buah diberikan 2-3 hari berturutturut agar anak dapat mengenal rasanya. Umur bayi 8-9 bulan dapat diberikan bubur biasa dengan jumlah pemberian minimal 8 sendok makan untuk setiap sekali makan (Irawati, 2004). Kandungan gizi bubur ini sedikit demi sedikit ditambah dengan zat gizi dengan kandungan lemak seperti santan dan minyak. Bayi umur 10-12 tahun sudah diperkenalkan makanan keluarga, sehingga umur 12 bulan sudah dapat makan bersama keluarga. Awalnya anak mengkonsumsi nasi lembek, lalu perlahan-lahan ditingkatkan hingga mendekati kepadatan makanan keluarga. Makanan selingan yang bergizi dapat diberikan seperti bubur kacang hijau, papaya, jeruk dan pisang. Umur anak 1-2 tahun anak harus diperkenalkan dengan makanan keluarga (Sunardi T., 2006).
Beberapa nutrisi penting yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi seperti : a. Vitamin A, D, E, K Vitamin ini sangat vital bagi balita. Jadi, usahakan agar asupan vitamin ini terpenuhi setiap harinya. Seperti kita ketahui, vitamin A sangat baik untuk penglihatan dan kesehatan kulit balita.Sedangkan vitamin D berperaan penting dalam meningkatkan penyerapan kalsium serta membantu pertumbuhan tulang dan gigi. Serta vitamin E memiliki anti oksidan yang membantu pertumbuhan sistem saraf dan pertumbuhan sel. Vitamin K berpengaruh dalam pembekuan darah. b. Kalsium Mineral yang sangat dibutuhkan dalam pembentukan massa tulangnya. Kalsium sangat penting untuk membentuk tulang yang kuat sehingga balita terhindar dari patah tulang. Sumber kalsium yaitu : susu, keju, tahu, dan lainnya. c. Vitamin B dan C Fungsi dari vitamin B antara lain meningkatkan system syaraf dan imun tubuh balita, meningkatkan pertumbuhan sel, serta mengatur metabolisme tubuh. Sementara vitamin C berfungsi untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam tubuh balita serta mencegah sariawan.Sumber makanan yang banyak mengandung vitamin B antara lain beras merah, pisang, kacang-kacangan, ikan, daging dan telur. Sementara untuk memenuhi gizi balita dengan vitamin C dapat diperoleh dari tomat, kentang, strauberi, dan lainnya.
d. Zat Besi Balita sangat membutuhkan zat besi terutama untuk membantu perkembanga otaknya. Jika kebutuhan gizi balita akan zat besi tidak terpenuhi, kemungkinan ia akan mengalami kelambanan dalam fungsi kerja otak. Sumber makanam yang yang mengandung zat besi antara lain daging, ikan, brokoli, telur, bayam kedelai serta alpukat (Almatsier, S. 2002). 2.1.2 Kecukupan Gizi Anak 6-24 Bulan Menurut angka kecukupan gizi (AKG) rata-rata yang dianjurkan (per anak/hari), kebutuhan energi dari makanan adalah sekitar 200 kkal/hari untuk bayi usia 6-8 bulan, 300 kkal/hari untuk bayi usia 9-11 bulan, dan 550 kkal/hari untuk anak usia 12-23 bulan, anak usia 6 bulan dan kebutuhan protein 16 gram/kg berat badan tambah 4 gram dari kebutuhan protein pada 6 bulan pertama (Hardinsyah, 2007). Tabel. 2.1 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Zat-Zat Gizi Mikro Penting Dianjurkan untuk Anak 0-24 Bulan Kelompok umur Berat dan tinggi badan 0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun Zat gizi mikro Berat badan 6 kg 8,5 kg 12 kg Tinggi badan 60 cm 71 cm 90 cm Vitamin A (RE) 375 400 400 Folat (µg) 65 80 150 Kalsium (mg) 200 400 500 Zat besi (mg) 0,3 10 7 Yodium (µg) 90 120 120 Zat seng (mg) 1,5 7,5 8,2 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)
Kebutuhan gizi balita adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis besar, kebutuhan gizi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan. Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Status gizi balita dapat dipantau dengan menimbang anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju Sehat (KMS). Usia 6-24 bulan sangat penting menerapkan gizi yang seimbang bermanfaat bagi perkembangan dan pertumbuhan anak sehingga semua kebutuhan gizi balita harus terpenuhi (Sunardi T., 2006). a. Kebutuhan Energi Untuk menunjang keseluruhan proses pertumbuhan dan perkembangan anak, usia 6-24 bulan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan berat badan (±112 kkal per kilogram berat badan). Sampai usia dua tahun, keperluan energi per kilogram berat badan menurun, ini berlangsung selama masa balita, kebutuhan energi pada umur 6-24 bulan adalah 950 kkal per hari. b. Kebutuhan zat pembangun (protein dan lemak) Secara fisiologis, balita sedang dalam masa pertumbuhan sehingga kebutuhan protein relatif lebih besar. Zat gizi protein sangat diperlukan balita untuk membentuk sel-sel baru yang akan menunjang proses pertumbuhan seluruh organ tubuh, juga pertumbuhan, dan perkembangan otak anak. Kebutuhan protein pada usia 6-24 bulan adalah 20 gr, selain itu juga protein, lemak juga berperan penting dalam proses tumbuh kembang sel-sel saraf otak untuk kecerdasan anak. Lemak yang diperlukan
adalah: Asam lemak esensial (asam linoleat/omega6, asam linolenat/omega 3). Asam lemak non esensial (asam oleat/omega 9, EPA, DHA, AA). c. Kebutuhan zat pengatur Kebutuhan air bayi dan balita dalam sehari berfluktuasi seiring dengan bertambahnya usia terutama ASI yang tetap diberikan sampai 2 tahun. - Vitamin A Untuk menjaga kesehatan mata, menjaga kelembutan kulit, dan pertumbuhan optimal anak. - Vitamin C Untuk pembentukan kolagen (tulang rawan), meningkatkan daya tahan tubuh dan penyerapan kalsium yang diperlukan untuk pembentukan tulang dan gigi yang kuat. - Iodium/Yodium Untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh sehingga tidak mengalami
hambatan
seperti
kretinisme/kerdil,
berperan
dalam
proses
metabolisme tubuh, mengubah karoten yang terdapat dalam makanan menjadi Vitamin A. - Kalsium Penting dalam pembentukan tulang dan gigi, kontraksi dalam otot, membantu penyerapan Vitamin B12 (untuk mencegah anemia dan membantu membentuk sel darah merah). - Zinc/Zat Seng Tersebar di semua sel, jaringan, dan organ tubuh. Diperlukan untuk pertumbuhan, fungsi otak, dan mempengaruhi respon tingkah laku dan emosi anak.
- Zat Besi Diperlukan untuk pertumbuhan fisik dan mempengaruhi penggunaan energi yang diperlukan tubuh, pembentukan sel darah yang membantu proses penyebaran zat gizi serta oksigen ke seluruh organ tubuh. - Asam Folat Sangat penting pada masa pertumbuhan anak, memproduksi sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang, berperan dalam pematangan sel darah merah, dan mencegah anemia. (Ilham, N., 2007).
2.2 Faktor Berhubungan Penerapan Gizi Seimbang pada Anak 6-24 Bulan Beberapa hal yang merupakan penyebab terjadinya gangguan gizi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai penyebab langsung khususnya gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah zat gizi yang diperoleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka. Kecukupan gizi dan penyakit infeksi terdapat hubungan sebab akibat timbal balik yang sangat erat. Gizi yang buruk menyebabkan mudahnnya terjadi infeksi penyakit karena daya tahan tubuh menurun. Sebaliknya penyakit infeksi yang sering menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan zat gizi sedangkan nafsu makan menjadi menurun jika terjadi penyakit infeksi (Khomsan, A., 2004). Gangguan pertumbuhan sering terjadi pada anak 6-24 bulan kurang mendapat pola asuh yang baik dari keluarga, oleh sebab itu perlu mendapat perhatian khusus karena anak 6-24 bulan sedang mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat, sehingga memerlukan zat-zat makan yang relatif lebih banyak dengan kualitas gizi yang lebih baik. Hasil pertumbuhan menjadi dewasa, sangat tergantung dari kondisi
gizi dan kesehatan sewaktu masa balita (Sediaoetama, 2009). Di negara berkembang anak-anak umur 0-5 tahun merupakan golongan yang paling rawan terhadap gizi. Kelompok yang paling rawan adalah periode pasca penyapihan khususnya kurun umur 1-3 tahun. Anak-anak biasanya menderita bermacam-macam infeksi serta berada dalam status gizi rendah (Suhardjo, 2005). Faktor penyebab tidak langsung terjadinya gangguan gizi terutama pada bayi dan anak balita antara lain: a. Ketidaktahuan akan Hubungan Makanan dan Kesehatan Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari terlihat berpenghasilan keluarga cukup, akan tetapi makanan yang dihidangkan seadanya saja dengan demikian kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan relatif baik dan cukup. Bagi keluarga yang berpenghasilan relatif baik, tidak banyak berbeda mutunya jika dibandingkan dengan makanan keluarga yang berpenghasilan rendah. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan manfaat makanan bagi kesehatan tubuh masih sangat kurang (Almatsier, S., 2002). Bahan makanan yang bernilai gizi tinggi tetapi tidak digunakan atau hanya digunakan secara terbatas akibat adanya prasangka yang tidak baik terhadap bahan makanan itu. Penggunaan bahan makanan itu dianggap dapat menurunkan harkat keluarga. Jenis sayuran seperti genjer, daun turi, bahkan daun ubi kayu yang kaya akan zat besi, vitamin A dan protein dibeberapa daerah masih dianggap sebagai makanan yang dapat menurunkan harkat keluarga (Santosa, 2004).
b. Adanya Kebiasaan atau Pantangan dari Keluarga dan Masyarakat Berbagai kebiasaan yang bekaitan dengan pantangan makan makanan tertentu masih sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan. Kebiasaan wanita yang sedang hamil untuk memilih makanan tertentu tidak boleh dimakan. Larangan terhadap anakanak untuk tidak makan telur, ikan atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada dasarnya dan hanya diwarisi secara turun temurun yang sangat merugikan anak (Khomsan, A., 2004). Kadang-kadang kepercayaan orang akan sesuatu makanan anak kecil membuat anak sulit mendapat cukup protein. Beberapa orang tua beranggap ikan, telur, ayam, dan jenis makanan protein lainnya memberi pengaruh buruk untuk anak kecil. Anak yang terkena diare malah dipuasakan (tidak diberi makanan), cara pengobatan seperti ini akan memperburuk gizi anak (Setiyanto, 2007). Menurut hasil penelitian dilakukan oleh Qoriah 2005 diperoleh kebiasaan makan dan makanan pantangan yang sama di Aceh yaitu mengenal tabu atau pamali, di desa Cireundeu juga mengenal adanya beberapa makanan yang mereka yakini akan memberikan pengaruh negatif bagi yang melanggarnya. Beberapa jenis makanan yang mereka tabukan diantaranya adalah, Pisang ambon, nenas, ketimun, bawang, untuk seorang gadis. Jenis makanan tersebut mereka yakini akan memberikan efek negatif seperti keputihan dan bau keringat yang tajam. Makanan pedas, nenas, merupakan makanan tabu bagi ibu hamil karena akan memberikan akibat seperti keguguran ataupun diare. Bagi ibu yang menyusui dan anak balita biasanya ditabukan
untuk mengkonsumsi makanan pedas dan ikan, karena akan mengakibatkan diare pada bayinya, cacingan ataupun aroma asi yang menjadi anyir. Kepercayaan masyarakat tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan. Salah satu pengaruh yang sangat dominan terhadap pola konsumsi adalah pantangan atau tabu. Terdapat jenis-jenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh kelompok umur tertentu atau oleh perempuan. Larangan ini sering tidak jelas dasarnya, tetapi mempunyai kesan larangan dari penguasa supernatural, yang akan memberi hukuman bila larangan tersebut dilanggar. Namun demikian, orang sering tidak dapat mengatakan dengan jelas dan pasti, siapa yang melarang tersebut dan apa alasannya (Sediaoetama, 2006). c. Kesukaan yang Berlebihan terhadap Jenis Makanan Tertentu Kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut sebagai Faddisme makanan akan mengakibatkan kurang bervariasinya makanan ada akan mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan. Kehidupan modern yang serba cepat, tersedianya fasilitas pelayanan makanan baik berupa warung, cafeteria atau tempat-tempat penjualan makanan yang dapat dihidangkan dan dimakan secara paraktis dan cepat sering mendorong tumbuhnya faddisme makanan didalam masyarakat (Nurti, 2000). Mengembangkan kebiasaan pangan, mempelajari cara berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau jenis pangan tertentu, dimulai dari permulaan hidupnya dan menjadi bagian dari perilaku yang berakar diantara kelompok penduduk. Dimulai sejak dilahirkan sampai beberapa tahun
makanan anak-anak tergantung pada orang lain. Anak balita akan menyukai makanan dari makanan yang dikonsumsi orang tuanya. Dimana makanan yang disukai orang tuanya akan diberikan kepada anak balitanya (Suhardjo, 2005). Kebiasaan makan inilah akan menyebabkan kesukaan terhadap makanan. Tetapi kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut sebagai faddisme makanan
akan
mengakibatkan
kurang
bervariasinya
makanan
dan
akan
mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan (Soetjiningsih, 2004). d. Keterbatasan Penghasilan Keluarga Penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan akan terbatas. Namun demikian perlu dihilangkan anggapan bahwa makanan yang memenuhi persyaratan gizi hanya mungkin disajikan pada keluarga yang berpenghasilan cukup atau lebih. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang berpenghasilan cukup akan tetapi makanan yang dihidangkan seadanya. Dengan demikian kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan cukup. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh menjadi penyebab buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan balita. Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan dibidang memasak akan menurunkan konsumsi makan anak, keragaman bahan dan keragaman jenis makanan yang mempengaruhi kejiwaan misalnya kebebasan (Baliwati, 2004).
Keterbatasan penghasilan keluarga turut menentukan mutu makanan yang disajikan. Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Santosa, 2004). Menurut Sajogyo,dkk (1994) dalam Sarah (2008), hal ini dapat disebabkan pada keluarga dengan pendapatan tinggi kurang baik dalam mengatur belanja keluarga. Ada juga keluarga-keluarga yang membeli pangan dalam jumlah sedikit memilih jenis pangan yang dibeli berakibat kurangnya mutu dan keragaman pangan yang diperoleh, sehingga dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Hasil penelitian Agus, 2008 di kabupaten Sragen bahwa, terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi anak balita dengan pendapatan keluarga, dimana semakin banyak/ tinggi pendapatan keluarga semakin tinggi status gizi anak balita. Pendapatan keluarga adalah hasil kerja yang diterima sebuah rumah tangga karena usaha seluruh anggota keluarga (Anonim, 2005). Dalam studi faktor sosial ekonomi pada status kesehatan di Kanada, menunjukkan secara signifikan pendapatan keluarga berpengaruh pada status kesehatan, ketahanan pangan, pendidikan disamping pengaruh usia dan variabel-variabel yang lainnya. Sudah diketahui pula bahwa outcome kesehatan berhubungan dengan sociol economic status (SES), income lebih tinggi dan pekerjaan lebih tinggi cenderung hidup lebih lama dan lebih baik kesehatannya. Pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi akan membawa kesehatan individu yang lebih tinggi pula (Bukley et al., 2004).
e. Ketersediaan Pangan (jumlah, dan jenis makanan) Peningkatan status gizi keluarga dan masyarakat, diperlukan adanya peningkatan penyediaan beraneka ragam pangan dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu perlu adanya perioritas khusus untuk kebijakan pangan dari pemerintah (Almatsier, S., 2002). Ketersediaan pangan baik jumlah macam makanan dan jenis serta banyaknya bahan makanan di suatu Negara/daerah tertentu biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam ditempat tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk jangka waktu yang panjang. Namun ketersediaan pangan berpengaruh adanya lahan, perubahan iklim dan kebijakan pangan berkenaan dengan bagaimana produk pangan dihasilkan dan tersedianya bagi masyarakat (Khomsan, A., 2004). f. Sanitasi Makanan (persiapan, penyajian, penyimpanan) Proses persiapan makanan dimulai dari persiapan, pemilihan bahan makanan, pengolahan, penyajian dan penyimpanan suatu makanan atau bahan makanan agar tidak sampai kadar gizi dalam makanan menjadi tercemar dan tidak hygienis menyebabkan adanya kuman penyebab penyakit. Makanan yang disajikan harus cukup mengandung kalori, makanan mudah dicerna, pengolahan atau pemasakannya harus disesuaikan dengan sifat fisik dan kimiawi dari masing-masing bahan makanan yang akan diolah (Khomsan, A., 2004). Keadaan sanitasi makanan yang buruk, misalnya penanganan dan pengolahan makanan yang tidak higienis akan menyebabkan makanan cepat membusuk dan berpenyakit. Banyak penyakit yang dengan mudah ditularkan melalui makanan, antara lain diare dan desentri (David
MS.,et all. 2005). Penyakit yang ditularkan melalui makanan tersebut disebabkan oleh faktor fisik, biologis dan kimia. Faktor kimia misalnya pemakaian alat memasak yang tidak memenuhi syarat kesehatan, faktor biologis misalnya adanya vector penyebar penyakit seperti bakteri, lalat dan kecoa dan faktor fisik misalnya kurangnya pengetahuan dan kebiasaan hidup yang tidak sehat bagi pengolah makanan. Selain menimbulkan penyakit, makanan juga dapat menyebabkan keracunan yang bisa mengakibatkan kematian (Hartoyo, 2008). Indonesia menetapkan peraturan untuk melindungi konsumen dari makanan dan minuman yang dikelola usaha Jasaboga sebagai upaya pemeliharaan kesehatan. Peraturan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 715/MENKES/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Berdasarkan luas jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya risiko yang dilayani (Depkes, 2003). Higiene adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan
perlengkapannya
yang
dapat
atau
mungkin
dapat
menimbulkan
penyakit/gangguan kesehatan. Apabila ditinjau dari kesehatan lingkungan pengertian higiene adalah usaha kesehatan yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh faktor lingkungan. Higiene perorangan adalah sikap bersih perilaku penjamah atau penyelenggara makanan agar makanan tidak tercemar. Berkaitan dengan hal tersebut, higiene perorangan yang terlibat dalam pengolahan makanan perlu diperhatikan untuk menjamin keamanan makanan dan mencegah terjadinya penularan penyakit melalui
makanan. Penjamah makanan adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian. Penjamah makanan yang menangani bahan makanan sering menyebabkan kontaminasi mikrobiologis. Mikroorganisme yang hidup di dalam maupun pada tubuh manusia dapat menyebabkan penyakit yang ditularkan melalui makanan, yang terdapat pada kulit, hidung, mulut, saluran pencernaan, rambut, kuku dan tangan. Selain itu, penjamah makanan juga dapat bertindak sebagai carrier (pembawa) penyakit infeksi seperti, demam typoid, hepatitis A, dan diare (Fathonah, S., 2005). Kebersihan penjamah makanan dalam istilah populernya disebut higiene perorangan, merupakan kunci kebersihan dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat. Dengan demikian, penjamah makanan harus mengikuti prosedur yang memadai untuk mencegah kontaminasi pada makanan yang ditanganinya. Prosedur yang penting bagi pekerja pengolahan makanan adalah pencucian tangan, kebersihan dan kesehatan diri, dari semua penyebaran penyakit melalui makanan 25% disebabkan penjamah
makanan
yang
terinfeksi
dan
higiene
perorangan
yang
buruk
(Purnawijayanti, 2001).
2.3 Tingkat Pendidikan Pendidikan berpengaruh pada nilai-nilai dengan perubahan yang positif diharapkan dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kesehatan sebagai suatu kebutuhan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan dengan
mudah menyerap informasi serta lebih tanggap terhadap masalah yang dihadapi. Sehingga dapat menentukan alternatif terbaik dalam pola pemberian makanan untuk keluarga yang bergizi. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pndidikan tersebut terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup di dalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewas, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari belajar (Suhardjo, 2003). Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang akan mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan informasi gizi yang dimiliki jadi lebih baik. Menurut Sanjur (1982) dalam Ningsih (2008) tingkat pendidikan formal orang tua terutama ibu sering memiliki hubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka akan terjadi perbaikan kebiasaan makan, serta perhatian kepada kesehatan dan makanan yang bergizi juga bertambah. Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak baik.
Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan dari ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Hidayat (1980) dalam Gabriel (2008) ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang memilih makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu yang berpendidikan rendah. Kegiatan atau proses belajar dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila di dalam dirinya terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu hal yang mengarah pada perubahan. Hasil belajar adalah bahwa perubahan tersebut didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama. Namun perubahan itu terjadi karena usaha dan disadari, bukan karena secara kebetulan (Gibney M.J et all. 2009). Pendidikan mendorong terciptanya manusia yang memiliki kemampuan yang optimal. Kemampuan tersebut dapat berupa pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang berguna untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian Nikmawati dkk, (2004) penguasaan pengetahuan pangan dan gizi siswi SMU di Kabupaten Bandung (70,29%) berada pada kriteria; agak rendah, (16,67%) rendah dan (13.04%) cukup. Data tersebut menunjukkan tingkat penguasaan pengetahuan pangan dan gizi siswi SMU masih kurang, sehingga dapat diasumsikan apalagi pada ibu balita berpendidikan rendah.
Penelitian Latifah (2002), mengenai Tujuan pendidikan pangan dan gizi diarahkan agar peserta didik memiliki wawasan cukup dalam hal kebutuhan gizi untuk Ibu hamil, ibu menyususi, bayi, balita, remaja, dewasa dan usia lanjut, memiliki keterampilan teknis memilih, mengolah dan menyajikan makanan. Dengan demikian pendidikan pangan dan gizi penting diberikan agar pengetahuan dan keterampilan pangan dan gizi menjadi bekal untuk kelangsungan hidup di masa depan. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendidikan formal seorang ibu seringkali berhubungan positif dengan peningkatan pola konsumsi makanan rumah tangga. (Depkes. 2002).
2.4 Pengetahuan Ibu Pengetahuan tentang gizi seimbang didefinisikan sebagai apa saja yang diketahui berkenaan dengan penerapan gizi seimbang. Hal tersebut dapat diperoleh dari pengalaman lain, selain itu dapat juga diperoleh dari penyuluhan. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan akan hubungan makanan dan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang maka semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperoleh untuk dikonsumsi. Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri maupun pengalaman diri seseorang. Tata cara pemeliharaan kesehatan dan pengetahuan tentang gizi meliputi: pemilihan bahan-
bahan makanan yang bergizi bagi kesehatan, manfaat makanan bergizi bagi kesehatan, pentingnya olah raga bagi kesehatan, penyakit-penyakit atau bahayabahaya yang ditimbulkan dari kurangnya asupan zat gizi, pentingnya istirahat yang cukup, rekreasi, relaksasi, dan sebagainya, bagi kesehatan (Arisman, 2007). Pengetahuan tentang kadar gizi dan bahan makanan baik bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu rumah tangga memilih bahan makanan yang harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi. Pemanfaatan sumber daya keluarga secara baik dan berdaya guna akan dapat membantu keluarga sehingga memungkinkan keluarga yang berpenghasilan terbatas pun mampu menghidangkan makanan yang cukup memenuhi syarat gizi bagi anggota keluarga (Khomsan, A., 2004). Pengaruh Pengetahuan gizi dalam proses persepsi, sikap dan perilaku orang atau masyarakat untuk mewujudkan kehidupan dengan status gizi yang baik, sebagai bagian dalam kesehatan jasmani dan rohani. Pengetahuan gizi memegang peranan penting dalam menggunakan pangan yang tepat. Pengetahuan tentang gizi juga dapat diperoleh melalui media cetak, media elektronik, serta ceramah-ceramah dikelompok sosial. Kurangnya pengetahuan gizi mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi. Pengetahuan bahan makanan perlu sebagai dasar untuk menyusun hidangan. Selain dipengaruhi besarnya pendapatan. Pendapatan dan kebiasaan makan memegang peran penting dalam konsumsi bahan makanan
penduduk. Semakin tinggi taraf ekonomi seseorang, pola konsumsi terhadap bahan makanan bisa berubah (Suhardjo, 2002). Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dari hasil penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan ibu dan pengetahuan gizi tentang ASI dengan lama pemberian ASI di desa Pringtulis Kecamatan Nalumsari Kabupaten Jepara (2003), diketahui bahwa ibu dengan pendidikan SLTA mempunyai pengetahuan gizi yang baik. Peran ibu dalam merawat bayi dan anak menjadi faktor penentu, hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi sangat penting sekali, hal ini disebabkan untuk menciptakan generasi mendatang yang lebih baik, Masalahnya, kesadaran akan pentingnya pemberian gizi yang baik kadang belum sepenuhnya dimengerti. Ada orang tua yang sudah tahu akan gizi sehat, tetapi tidak peduli dan ada juga yang belum tahu tetapi tidak rnencari tahu. Padahal seharusnya makanan bergizi diperlukan semenjak ibu hamil sampai masa balita. Kebutuhan gizi yang tidak sesuai dapat menyebabkan gizi kurang dan gizi buruk bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak balita. Pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi balita sangat berpengaruh terhadap status gizi balita (Anonim, 2007). Menurut Depdikbud (1994) dalam Munadhiroh (2009) pengetahuan gizi diartikan sebagai segala apa yang diketahui berkenaan dengan zat makanan. Secara umum di negara berkembang ibu memainkan peranan penting dalam memilih dan mempersiapkan pangan untuk
konsumsi keluarganya sehingga pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi jenis pangan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarganya (Hardinsyah, 2007). Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya (Suhardjo, 2003). Pengetahuan yang diperoleh ibu sangat bermanfaat bagi balita apabila ibu tersebut berhasil mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimiliki (Farida, 2004). Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI., 2007).
2.5 Tingkat Pendapatan Keluarga Pendapatan masyarakat sangat rendah pada umumnya pengeluaran untuk rumah tangga menjadi lebih besar dari pendapatannya sehingga pengeluaran konsumsi saat itu tidak hanya dibiayai oleh pendapatan saja, tetapi juga menggunakan sumber-sumber lain seperti tabungan dari waktu sebelumnya, menjual harta kekayaan rumah tangga atau meminjam. Suatu ketika tingkat pendapatan menjadi cukup tinggi, akan terjadi konsumsi rumah tangga sama besarnya dengan pendapatan. Kecendrungan setiap individu dengan pendapatan yang tinggi akan meningkatkan kualitas konsumsi makanan harga yang lebih mahal dengan kandungan nilai zat gizi
yang lebih baik. Untuk pendapatan yang rendah pemenuhan akan zat gizi menjadi berkurang (Soekirman, 2006). Peningkatan pendapatan menyebabkan pergeseran pola konsumsi pangan masyarakat dalam waktu relatif singkat, masyarakat terutama perkotaan telah mengenal dan cendrung meningkatkan konsumsi fast food, junk food, instan food serta health food (fungsional food). Konsumsi polisakarida (khususnya beras dan serat makanan) menjadi berkurang diikuti dengan meningkatnya konsumsi lemak, gula dan garam (Sianturi, G. 2002). Ketersediaan pangan merupakan suatu kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu, yang juga merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari nasional, propinsi, lokal dan rumah tangga. Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga harus selalu dijaga agar keluarga tetap cukup kebutuhan pangannya, yang sekaligus akan berdampak positif terpelihara kesehatannya karena kecukupan gizi keluarga selalu terjamin (Ilham, N., 2007).
2.6 Peran Petugas Kesehatan Peran petugas kesehatan sangat dibutuhkan dalam melakukan penerapan gizi dan kesehatan sehari-hari dimasyarakat. Adapun petugas kesehatan yang berperan dalam masyarakat seperti; tenaga dari Puskesmas, tenaga yang ada dari masyarakat itu sendiri seperti kader. Keaktifan tenaga Puskesmas, dimana tugas pokok Puskesmas diantaranya adalah: pengobatan, kesehatan ibu dan anak, gizi, penyuluhan
dan lain-lain yang dapat menunjang tingkat gizi dan kesehatan dimasyarakat (Kamarullah, M., 2005). Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, khususnya dibidang kesehatan, bentuk pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip bahwa masyarakat bukan sebagai objek, akan tetapi merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pada hakekatnya kesehatan dipolakan mengikut sertakan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab, partisipasi masyarakat dalam meningkatkan efesiensi pelayanan adalah atas dasar adanya operasional pelayanan kesehatan masyarakat yang akan memanfaatkan sumber daya yang ada dimasyarakat seoptimal mungkin untuk mencapai kesehatan lebih baik (Santoso, S., 2004). Tenaga kesehatan di Puskesmas berperan sebagai pelaksana pelayanan kesehatan. Dalam peran tersebut diharapkan agar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tenaga kesehatan sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki. Dijelaskan oleh Notoatmojo (2003) bahwa pendidikan dan keterampilan merupakan investasi dari tenaga kesehatan dalam menjalankan peran sesuai dengan tupoksi yang diemban. Selain itu, dalam peran sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di Puskesmas, menurut Setyawan (2002) tenaga kesehatan merupakan sumber daya strategis. Sebagai sumber daya strategis, tenaga kesehatan mampu secara optimal menggunakan sumber daya fisik, finansial dan manusia dalam tim kerja. Sumber daya fisik merupakan saran pendukung kerja sehingga tenaga kesehatan dapat menjalankan perannya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di Puskesmas dan dalam masyarakat dengan optimal.
Peran petugas kesehatan lainnya yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang masyarakat. Kegiatan pelayanan kesehatan dari petugas kesehatan adalah dalam bentuk pendidikan, penyuluhan, dan konseling dengan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan. Ada 4 kualitas pokok yang diperlukan petugas kesehatan adalah: 1). Kemampuan analitif, yaitu memahami masalah kesehatan dan dapat mengenali bagian-bagian yang berkaitan dengan perilaku kesehatan, 2). Memiliki sifat inovatif, yaitu selalu mencari dan menerapkan cara-cara yang berdayaguna dan berhasil guna dengan bersumber daya dari masyarakat itu sendiri, 3). Memahami interaksi antar masyarakat, yaitu adanya pendekatan tokoh berpengaruh dalam masyarakat setempat yang berpengaruh positif pada perubahan perilaku masyarakat sampai pada tingkat keluarga, 4). Rasa tanggung jawab terhadap orang lain atau masyarakat dan mampu menciptakan kepercayaan pada mayarakat terhadap petugas kesehatan (Budioro, B., 2007). Menurut hasil penelitian dilakukan Handayani 2009, dimana sebagian besar tenaga kesehatan berpendapat bahwa peningkatan pendidikan dan keterampilan melalui pelatihan akan meningkatkan kinerja mereka secara individu dalam peran sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di Puskesmas. Proses pembelajaran berkelanjutan pada petugas kesehatan di puskesmas didukung oleh kombinasi individu, tantangan pekerjaan, relasi individu dengan lingkungan kerja (rekan kerja, atasan, bawahan, pelanggan/pasien) maupun dengan anggota dari berbagai jaringan formal dan informal sebagai contoh dengan petugas kantor kecamatan, tokoh
masyarakat. Gambaran proses pembelajaran yang berkelanjutan menurut Hall, (1996) dalam Erkaningrum, 2002) Hasil penelitian Eva pada tahun 2011, ternyata faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu umur, pendidikan dan pengalaman. Semakin cukup umur, tingkat pematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir, belajar dan bekerja sehingga pengetahuanpun akan bertambah. Semakin tinggi tingkat pedidikan seseorang, semakin mudah menerima informasi, sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pendapat ini sesuai dengan keadaan di Desa Sumurgeneng wilayah kerja Puskesmas Jenu Tuban bahwa setengahnya responden mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi seimbang balita. Hal ini dikarenakan responden aktif dalam mencari dan menerima informasi-informasi baru dari kader, bidan, dan sumber-sumber lain tentang kesehatan dan gizi balita, sehingga wawasan responden semakin luas dan pengetahuan tentang gizi seimbang balita semakin baik. Sedangkan sebagian kecil responden mempunyai pengetahuan kurang tentang gizi seimbang. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pendidikan yang diperoleh, selain itu tempat tinggal responden yang ada dipedesaan sehingga menyebabkan kurangnya informasi yang didapat, sehingga pengetahuan dan wawasan yang diperoleh lebih sempit terutama tentang gizi seimbang yang di butuhkan balitanya.
2.7 Kebiasaan Makan Manusia memerlukan makanan agar dapat hidup sehat sehingga dapat melakukan berbagai kegiatan atau pekerjaan selama hidupnya. Untuk itu diperlukan berbagai jenis bahan makanan sesuai dengan daerah masing-masing yang dibagi pada kultur budaya. Pemilihan makanan terpola sendiri yang ada dalam masyarakat dan keluarga, antara lain dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kelas sosial dan juga menurut etnis, status perkawinan dan jumlah anggota keluarga (Hartini TNS et al, 2002). Kebiasaan makan umumnya dibentuk dan dipertahankan setiap individu atau kelompok karena hal tersebut merupakan prilaku yang efektif, praktis dan bermakna dalam suatu budaya tertentu. Namun masyarakat akan mengikuti pada orang yang turut berpartisipasi dalam berbudaya dan berkarakteristik yang akan mempengaruhi pemilihan asupan makanan. Pola-pola kultur akan membentuk keragaman pada pemilihan kesukaan makanan sehingga seseorang akan muncul kecendrungan mempertahankan sifat sensorik tertentu. Secara keseluruhan, variasi kultur pada pilihan tingkat cita rasa bersifat spesifik terhadap jenis makanan yang disukai untuk tetap dipertahankan (Notoatmodjo, 2007). Berbagai kebiasaan yang bertalian dengan pantang makanan tertentu masih sering kita jumpai terutama di daerah pedesaan. Larangan terhadap anak untuk makan telur, ikan atau daging hanya berdasarkan kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara dogmatis turun temurun, padahal anak itu sendiri sangat memerlukan bahan makanan seperti guna keperluan pertumbuhan tubuhnya (Sediaoetama, 2010). Status gizi anak dipengaruhi oleh kebiasaan makan, status
ekonomi, penggunaan sarana pelayanan kesehatan, faktor fisiologi, penyakit-penyakit infeksi dan kegiatan fisik. Kebiasaan makan berperan penting dalam menentukan tingkat status gizi individu maupun kelompok (McLaren, DS., 2002). Hasil dari sebuah rangkaian proses dalam upaya membentuk kebiasaan makan yang baik hendaknya dilaksanakan secara dini, hal tersebut akan membentuk pola makan yang baik. Lingkungan sangat besar peranannya dalam membentuk kebiasaan makan yang baik antara lain: a. Menyediakan makanan yang bervariasi b. Memberikan pengetahuan gizi c. Menciptakan suasana yang menggembirakan saat makan d. Menanamkan norma-norma yang berkaitan dengan dengan makanan e. Menanamkan adab sopan santun saat makan. Pola yang dianut dalam keluarga akan memengaruhi proses belajar anak yang menghasilkan kebiasaan makan yang terjadi sejak dini sampai dewasa dan akan berlangsung selama hidupnya, hingga kebiasaan makanan dan susunan hidangan dalam keluarga akan bertahan sampai ada pengaruh yang dapat mengubahnya (Sumarwan, U., 2007).
2.8 Sosial dan Budaya Peucicap dalam Budaya Aceh Masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri dalam memperlakukan anak yang baru lahir. Adat peucicap dan peutron bak tanoh salah satunya. Adat peucicap ini biasanya dilakukan pada hari ketujuh bayi lahir,
yang disertai dengan cuko ok (cukur rambut) dan pemberian nama terhadap si bayi. Acara peucicap dilakukan dengan cara mengoles madu pada bibir bayi disertai dengan doa dan pengharapan dengan kata-kata agar si bayi kelak tumbuh menjadi anak yang saleh, berbakti kepada kedua orang tua, agama, nusa dan bangsa. Selama 44 hari sejak lahir, ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan, ibu bayi harus tetap berada di kamar, tidak boleh keluar rumah (Hasjmi, 1983). Faktor sosial budaya sangat berperan dalam proses terjaadinya masalah gizi di berbagai masyarakat. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan, pola sosial kebudayaan berkaitan dengan suatu keluarga atau masyarakat dan kebiasaan mengkonsumsi pangan, akan mempengaruhi berbagai cara untuk memilih bahan pangan (Manners, 2002). Setiap keluarga mempunyai masalah gizi yang berbeda-beda tergantung pada tingkat sosial ekonomi. Pada keluarga yang kaya dan tinggal diperkotaan, masalah gizi yang sering dihadapi adalah masalah kelebihan gizi yang disebut gizi lebih. Anggota keluarga mempunyai risiko tinggi untuk mudah menjadi gemuk dan rawan terhadap penyakit jantung, darah tinggi, diabetes dan kanker (Suhardjo, 2003). Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah atau sering disebut keluarga miskin, umumnya sering menghadapi masalah kekurangan gizi yang disebut gizi kurang. Pengaruh khusus dari lingkungan sosial, yang berdampak pada prilaku makan, meliputi pada tekanan sosial dari teman dan keluarga, perilaku yang menjadi
model dan fasilitas sosial. Pengaruh sosial terdapat dalam aturan makan keluarga dan kerap saling berinteraksi dalam menentukan pemilihan menu makanan yang lain. Budaya dipandang sebagai determinan utama yang menentukan pemilihan makanan pada manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan menunjukan bahwa tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat merupakan bagian dari faktor utama sosial budaya yang memengaruhi kesukaan, cara menyiapkan, dan menyajikan makanan (Syarif, H., 2004). Perkembangan sosial budaya berhubungan kesehatan, merupakan konsep yang terus menerus dianggap penting dalam riset kesehatan internasional (Halpern, 2005). Teori Bolin et all. (2003) tentang sosial budaya, mengungkapkan bahwa sosial budaya merupakan faktor yang meningkatkan efisiensi produksi kesehatan. Artinya, dengan sumber daya yang sama individu yang tinggal didalam komunitas dengan modal sosial tinggi lebih sehat daripada tinggal di komunitas dengan modal sosial rendah. Namun demikian penelitian empiris tidak memberikan hasil yang konsisten tentang pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan. Semuanya ini berpengaruh pada kondisi karakteristik daerah masing-masing. Sejumlah studi menemukan bahwa modal sosial budaya mempunyai pengaruh positif bagi kesehatan individu. Menurut Turner menyatakan bahwa kebanyakan budaya yang ada dimasyarakat tercermin dalam kognisi dan asumsi tak diperiksa yang dirasakan bersama (shared). Budaya merupakan fenomena yang sulit didefinisikan dengan kaitanya makanan hampir selalu dipandang sebagai bagian utama budaya. Akan tetapi budaya dipandang sebagai faktor utama yang mempengaruhi pemilihan makanan
tertentu. Kesukaan pada intensitas cita rasa tertentu terhadap makanan ditemukan beragam antar budaya yang ternyata bergantung jenis dan bahan makanannya. Secara keseluruhan variasi kultur budaya berpengaruh pada pemilihan tingkat cita rasa bersifat spesifik terhadap bahan makanan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, variasi budaya dimasyarakat sangat berpengaruh pada pemilihan makanan yang disebabkan oleh pengalaman, kebiasaan makan, dan sikap seseorang terhadap makanan (Basha, A., 2007). Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara seremonialnya
atau
dinamakan
dengan
kenduri.
Upacara
yang
tetap
berlangsung hingga saat ini masih dilakukan dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah: upacara turun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak pertama, upacara kematian,dan lain-lain. Bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam (Hasjmi, 1983). Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik
perangai dan budi pekertinya. Upacara ini dilangsungkan di rumah tempat bayi itu lahir. Dahulu persiapan-persiapan dan perlengkapan upacara dipersiapkan oleh nenek dari pihak ayah. Pada saat sekarang semua persiapan akikah itu dipersiapkan oleh ayah si bayi sendiri. Pihak sebelah ayah dan ibu, hanya dating menyertai pada saat berlangsung upacara. Pelaksanaan upacara adat ini mendapat dukungan keluarga keduabelah pihak baik dari keluarga suami dan istri (Alfian, 2000). Setiap masyarakat Aceh cenderung mengembangkan pola dan sistem pengendalian sosialnya masing-masing daerah secara khas yang disesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku yang telah menjadi adat, norma-norma dan kaidahkaidah yang diformulasikan oleh setiap anggota keluarga sesuai dengan tempat tinggal. Dengan banyaknya kecenderungan pola ini, maka semakin beragam pula sistem pengendalian sosial dimasyarakat Aceh. Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai agama Islam. Nilai-nilai agama islam disandingkan dengan adat istiadat asli sejalan beriringan yang digunakan masyarakat Aceh dalam pengendalian sosial budaya (Haviland, 2000).
2.9 Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang ini didukung dengan salah satu fungsi keluarga yaitu fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the health care fuction), fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki
produktivitas tinggi. Peran keluarga sangat penting dalam tahap-tahap perawatan kesehatan, mulai dari tahapan peningkatan kesehatan, pencegahan, pengobatan, sampai dengan rehabilitasi (Setiadi, 2008). Dukungan sosial dan psikologis sangat diperlukan oleh setiap individu di dalam setiap siklus kehidupan, dukungan sosial akan semakin dibutuhkan pada saat seseorang sedang menghadapi masalah atau sakit, disinilah peran anggota keluarga diperlukan untuk menjalani masa-masa sulit dengan cepat Salah satu dukungan keluarga yang dapat di berikan yakni dengan melalui perhatian secara emosi, diekspresikan melalui kasih sayang dan motivasi anggota keluarga yang sakit agar terus berusaha mencapai kesembuhan (Niven, 2000). Keluarga juga diartikan sebagai suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga Support system (sistem dukungan). Dukungan keluarga memainkan peran penting dalam mengintensifkan perasaan sejahtera, orang yang hidup dalam lingkungan yang supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya. Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara mereka baik. Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga adalah orang memberikan motivasi dengan anggota keluarga lain (Sudarman. U., 2008). Motivasi merupakan dorongan, hasrat, keinginan, dan tenaga pergerak lainnya, yang berasal dari dalam dirinya,untuk melakukan sesuatu. Motif itu memberi
tujuan dan arah kepada tingkah laku kita. Keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga juga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian, emosional dan penilaian (Friedman, 2010). Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, jika terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga. Ada 4 jenis dukungan sosial keluarga, yaitu sebagai berikut: a. Dukungan informasional Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Meberikan informasi oleh keluarganya tentang: makanan yang sehat, menu seimbang untuk keluarga dan khususnya balita. b. Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan belajar serta membantu penguasaan terhadap emosi, diantaranya menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya
kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau didengarkan saat mengeluarkan perasaanya. c. Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya keteraturan menjalani terapi, kesehatan balita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong pekerjaan pada saat membantu mempersiapkan makanan dalam keluarga. d. Dukungan penghargaan Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah. Terjadi lewat ungkapan rasa hormat (penghargaan) serta sebagai sumber dan identitas anggota keluarga, diantaranya adalah memberikan penghargaan dan perhatian saat ibu rumah tangga mempersiapkan makanan dalam keluarga. Peran keluarga sangat besar dalam menjaga atau mempertahankan integritas seseorang baik secara fisik ataupun psikologis. Keluarga merupakan orang yang berada dalam keadaan stres akan mencari dukungan dari orang lain sehingga dengan adanya dukungan tersebut, maka diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi. Selain berperan dalam melindungi seseorang terhadap sumber stres, dukungan keluarga juga memberikan pengaruh positif terhadap kondisi kesehatan seseorang. Seseorang dengan dukungan keluarga dengan baik dapat mengatasi masalah lebih
baik (Sudarman, 2008). Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. Faktor yang memengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan (Friedman, 2010).
2.10 Landasan Teori Upaya peningkatan derajat kesehatan dan gizi anak dalam keluarga diperlukan perilaku yang mendukung penerapan gizi seimbang supaya dilakukan dengan baik terutama rumah tangga atau keluarga maka, perlu diperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dalam penerapan gizi seimbang pada anak umur 6-24 bulan, antara lain: tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, kebiasaan makan keluarga, sosial budaya makan, peran petugas kesehatan, dan dukungan keluarga. Secara skema dapat dilihat pada gambar berikut:
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) Gizi
Faktor Internal - Pendidikan ibu - Pengetahuan ibu - Kebiasaan makan - Kesukaan terhadap jenis makanan tertentu
Penerapan Gizi Seimbang
Faktor Eksternal - Tingkat pendapatan - Jumlah anggota keluarga - Sosial budaya - Ketersediaan pangan - Sanitasi makanan - Jarak tempat pelayanan kesehatan
Peran Petugas Kesehatan
Gambar 2.2 Landasan Teori Sumber : Pendidikan dan konsultasi gizi, Supariasa, 2012 2.11 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan ibu rumah tangga dalam penerapan gizi seimbang pada anak umur 6-24 bulan di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe sebagai berikut, variabel dependen adalah ibu rumah tangga dalam penerapan gizi seimbang pada anak umur 6-24 bulan dan variabel independen adalah tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pendapatan Keluarga, peran petugas kesehatan, sosial budaya dan dukungan keluarga.
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pendapatan Keluarga Pendidikan Ibu Pengetahuan Ibu Sosial Budaya
Penerapan gizi seimbang Pada anak umur 6-24 bulan
Dukungan Keluarga Peran Petugas Kesehatan
Gambar 2.3 Kerangka Konsep