BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Imunisasi
2.1.1.
Pengertian Imunisasi Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif,
sedangkan istilah vaksinasi merupakan tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu pathogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Sementara itu vaksin adalah suatu produk biologis yang terbuat dari kuman, kuman (bakteri, virus) atau racun kuman (toxoid) yang telah dilemahkan atau dimatikan dan akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu (Depkes RI, 2009). Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Tujuan akhir dari imunisasi adalah eliminasi total dari penyakit menular yang bersangkutan dan tidak perlu lagi vaksinasi terhadapnya. Hanya terhadap cacar hal ini telah berhasil setelah hampir 200 tahun (Wiria, 2006 ).
11 Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Tujuan Imunisasi Lange (2005), tujuan imunisasi adalah memberikan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut. Vaksinasi mempunyai beberapa keuntungan, yaitu : (1) Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya. (2) Vaksinasi cost – effective karena murah dan efektif. (3) Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang dari pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alamiah. Dengan melakukan imunisasi terhadap anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi.
2.1.3.
Jadwal Imunisasi Kegiatan Imunisasi rutin adalah kegiatan yang telah baku atau dengan kata
lain telah terbukti efektif dan efisien. Kegiatan ini terdiri atas : Imunisasi dasar pada bayi (Bacille Chalmette Guerin (BCG), Dipteri Pertusis tetanus (DPT), Hepatitis B, Polio dan Campak), pada anak sekolah dasar kelas 1-3 (Dipteri Tetanus / DT, Campak dan TT) dan imunisasi TT (Tetanus Toxoid) pada WUS (Wanita Usia Subur).
Universitas Sumatera Utara
Dalam melakukan pelayanan imunisasi sebaiknya petugas kesehatan menyampaikan 4 pesan penting yang perlu diketahui oleh orang tua, yaitu : (1) Manfaat dari vaksin yang diberikan, contoh : BCG untuk mencegah penyakit TBC. (2) Tanggal imunisasi dan pentingnya KMS disimpan secara aman dan bawa pada saat kunjungan. (3) Apa akibat ringan yang dapat dialami, cara mengatasi dan tidak perlu khawatir. (4) Tujuan: minimal 5 kali kontak untuk menyelesaikan semua vaksinasi sebelum Hari Ulang Tahun (HUT) 1 tahun ( Depkes RI, 2009). Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan Imunisasi pada bayi (Dekes RI, 2009). Tabel 2.1 Jadwal Pelaksanaan Imunisasi Umur
Vaksin
0 bulan (0-7 hari) 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan
HB 0 BCG, Polio 1 DPT/HB1, Polio2 DPT/HB2, Polio 3 DPT/HB3, Polio 4 Campak
2.2. Penyakit yang Dapat di Cegah dengan Imunisasi DPT/HB 2.2.1
Definisi Penyakit Dipteri Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari bahasa Yunani diphtera yang berarti leather hide. Corynebacterium Diphteriae adalah basil gram positif. Produksi toxin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik. Seorang anak dapat
Universitas Sumatera Utara
terinfeksi basil difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan kerusakan jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput / membran yang dapat menyumbat jalan nafas (Lange, 2005). Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian merupakan akibat langsung dari toxin difteria. Beratnya penyakit dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan lokal. Angka kematian difteria masih sangat tinggi, dan kelompok usia dibawah lima tahun merupakan kelompok terbesar yang mengalami kematian. Pasien dengan dugaan difteria harus segera mendapat pengobatan dengan antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan tehnik isolasi ketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan dan pembebasan jalan nafas juga perlu diberikan segera bila diperlukan (IDAI, 2005). Menurut Maharani (2008), penggunaan vaksin kombinasi sudah menjadi trend global yang tak bisa dicegah lagi kehadirannya. Persentasi penggunaan vaksin kombinasi yang paling banyak yaitu di Eropa dan Amerika. Di Asia, seperti Malaysia juga sudah lama diterapkan. Sedangkan Singapura telah menggunakan beberapa vaksin kombinasi seperti vaksin kombinasi DPaT/HiB, DpaT/Hepatitis B/Polio. Sedangkan di Indonesia sendiri, penggunaan vaksin kombinasi baru kira-kira 25 persen. Vaksin kombinasi ini dapat memberikan perlindungan terhadap 4 jenis penyakit berbahaya pada bayi, yaitu difteri, pertusis, tetanus, dan penyakit-penyakit akibat Hepatitis B. Vaksin Infanrix / HiB ini merupakan vaksin kombinasi yang sudah mendapatkan izin dari BP-POM sejak Februari tahun 2004 dan telah ada di pasaran
Universitas Sumatera Utara
sejak April 2004. Pemberian vaksinnya pun sesuai dengan jadwal imunisasi yang telah direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vaksin DPT/HB kombo merupakan vaksin DPT dan Hepatitis B yang dikombinasikan dalam suatu preparat tunggal dan merupakan sub unit virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infeksius. Sehingga dengan adanya vaksin ini pemberian imunisasi menjadi lebih sederhana, dan menghasilkan tingkat cakupan yang setara dengan HB dan DPT (Depkes, 2005). Menurut Siswojo (2003) yang mengutip penelitian (Isbagio, 2001; Tsu & Tyschenko, 2000),
bahwa dari penelitian pada 392 anak di Tulangan Jawa
Timur menunjukkan, pemberian dua dosis DPT dengan interval 1 – 3 bulan pada anak usia 3 – 14 bulan dapat membuat kekebalan lebih dari 80 % anak, dan di Ukraina tahun 1996 menunjukkan bahwa pada anak yang tidak diimunisasi sebanyak 5 kali lebih banyak terkena infeksi daripada anak yang diimunisai (95 % CI: 2,8 – 9,0) dengan efisiensi sekitar 80 %. Dua dosis dapat mencegah risiko terserang penyakit infeksi tersebut. Sedangkan menurut Bisgard, et al (2000) pada efektifitas vaksin di Federasi Rusia pada tahun 1990 menunjukkan bahwa pemberian vaksin dipteri dosis 3 atau lebih dapat efektif sampai 97 % (95% CI: 94,3 – 98,4).
2.2.2. Definisi Penyakit Pertusis Pertusis atau batuk rejan / batuk seratus hari adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis pertama kali
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada abad ke 16, di Paris. Sebelum vaksin ditemukan penyakit ini tersering menyerang anak–anak dan merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian setiap tahun). Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin – mediated, toxin yang dihasilkan kuman melekat pada bulu getar saluran nafas akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, dan berpotensi menyebabkaan pneumonia (IDAI, 2008 ). Tabel 2.2 Peran Aktifitas Biologik dan Antibodi Komponen Toksin Bordetella Pertussis Komponen toksin Pertusis toxin (IPT)
Aktifitas biologik Memproduksi eksotosin Sensitisasi histamine Limfositosis Aktifitas sel pancreas Merangsang system imun
Filamentaous hemaglutinin (IFHA)
Memegang peran untuk melekatnya B.pertussis pada sel epitel saluran nafas
Pertactine 69-kDa OMP
Nonfibrial agglutinogen, berhubungan dengan kerja adenylcyclase
Aglutinogen
Peran antibodi Mencegahkerusakan saluran nafas dan intraserebral pada binatang percobaan. Mencegah gejala klinis pada manusia Mencegah kerusakan saluran nafas tetapi tidak intra serebral pada binatang percobaan Memicu pencegahan infeksi pada saluran nafas oleh B.pertussis (binatang percobaan)
Surface antigen berhubungan dengan Memicu pencegahan fimbriae untuk melekatnya infeksi pada saluran nafas B.pertussis pada sel epitel oleh B.pertussis (binatang percobaan)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Lanjutan) Adenyl cyclase
Tracheal cytotoxin
Menghambat fungsi fagositosis
Belum diketahui
Menyebabkan ciliary stasis dan cytopathic pada mukosa trachea
Belum diketahui
Krugman’s (1998), gejala utama pertussis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk seperti ini, pasien biasanya akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Keadaan dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu. Bayi di bawah 6 bulan juga dapat menderita seperti ini namun biasanya tanpa disertai suara whoop. Bayi dan anak prasekolah mempunyai resiko terbesar untuk terkena penyakit ini termasuk komplikasinya. Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial, gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasi ringan yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi, dan juga akibat tekanan intra abdominal yang meningkat saat batuk antara lain epistaksis, hernia, perdarahan konjungtiva, pneumothorax dan lainnya. Pengobatan pertussis dapat dilakukan dengan antibiotik khususnya eritromisin dan pengobatan suportif terhadap gejala batuk yang berat. Pemberiann pengobatan eritromisin untuk pencegahan pada kontak pertussis dapat dilakukan untuk mengurangi penularan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Definisi Penyakit Tetanus Tetanus adalah suatu penyakit akut yang bersifat fatal, disebabkan oleh eksotosin produksi bakteri Clostridium tetani, yang merupakan kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobic, gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini sensitive terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan ber-oksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Kuman ini banyak tersebar di dalam kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, kucing, anjing, tikus dan lainnya. Kuman masuk ke tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob kemudian terjadi produksi toxin (tetanospasmin) terjadi dan disebarkan melalui darah dan limfe. Toxin kemudian menempel pada reseptor di sistem saraf (Nelson, 2000). Gejala utama penyakit tetanus adalah kontraksi dan spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang dan gangguan sistem saraf otonom. Tetanus selain dapat ditemukan pada anak – anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatal yang bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering terjadi antara lain adalah laringospasme, infeksi nasokomial dan pneumonia ortostatik. Pada anak yang lebih besar sering terjadi hiperpireksia yang juga merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka, kesehatan gigi, telinga merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi terhadap tetanus baik aktif maupun pasif (Krugman’s, 1998). Adapun jadwal dan dosis seperti berikut ini : dipasaran terdapat berbagai kemasan seperti preparat tunggal (TT), kombinasi dengan toxoid difteria dan atau pertussis (dT,DT,DTwP,DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan
Universitas Sumatera Utara
Hepatitis B. Beberapa hal yang perlu diingat : (1) Tetanus toxoid yang diberikan bersama DPT diberikan sesuai dengan jadwal imunisasi. (2) Toxoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toxoid difteria dan vaksin pertussis. (3) Kadar antibodi protektif tercapai setelah pemberian DPT 3 kali, hal ini terbukti pada penelitian bayibayi di Indonesia. (4) Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toxoid tetanus memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas ( IDAI, 2008).
2.2.4. Definisi Penyakit Hepatitis B Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang hati, gagal hati, sirosis hati, kanker hati dan kematian (Chin, 2000). Vaksinasi Hepatitis B harus diberikan 3 kali, dengan jarak vaksinasi kedua dan ketiga 5 bulan atau lebih. Efektifitas vaksinasi Hepatitis B sudah terbukti sebesar hamper 100% dan berlangsung seumur hidup. Booster atau vaksinasi ulang sebenarnya tidak diperlukan asalkan penerima vaksin adalah responden , artinya sudah terbentuk antibodi pada saat selesai vaksinasi. Untuk mengetahuinya maka disarankan untuk memeriksa kadar anti HbS, satu minggu setelah vaksinasi terakhir atau vaksinasi ke 3 ( Unggul, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Semua orang yang HBsAgnya positif potensial infeksius. Penularan terjadi melalui kontak perkutaneus atau parenteral dan melalui hubungan seksual. Penularan antar anak sering terjadi di negara endemis virus hepatitis B. Virus Hepatitis B dapat melekat dan bertahan dipermukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular. Daya tular pasien Virus Hepatitis B kronis sangat bervariasi, sangat infeksius bila HbeAg positif (IDAI, 2005). Patofisiologi penyakit Hepatitis B. Virus Hepatitis B adalah suatu virus DNA dengan struktur genom yang sangat kompleks (Isselbacher, 2000). Virus hepatitis B berupa virus DNA sirkuler berantai ganda, termasuk family Hepadnaviradae, yang mempunyai 3 jenis antigen. Ketiga jenis antigen tersebut yaitu antigen Surface Hepatitis (HbsAg) yang terdapat pada mantel (envelope virus), antigen “cor” hepatitis B (HbcAg) dan antigen “e” hepatitis B (HbeAg) yang terdapat pada nucleocapsid virus. Ketiga jenis antigen ini dapat merangsang timbulnya antibodi spesifik masing – masing yang disebut anti HBs, anti HBc dan anti HBe ( Sulaiman, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini pola serologi pada penderita hepatitis B ( Isselbacher, 2000). Tabel 2.3
Pola Serologi yang Sering Ditemukan pada Infeksi Hepatitis B
HbsAg
AntiHBs
AntiHBc
HbeAg
Anti-Hbe
+
-
IgM
+
-
Infeksi HVB akut, infektivitas yang tinggi.
-
Infeksi HVB kronik, infektivitas yang tinggi.
+
-
+
-
IgG
-
+
Infeksi HVB akut atau kronik lambat, infektifitas yang rendah.
+
+
+
+/-
+/-
1. HbsAg dari satu subtype dan anti HBs heterotipik (sering) 2. Proses serokonversi dari HbsAg menjadi AntiHBs (jarang)
-
-
IgM
+/-
+/-
1. Infeksi HBS akut 2. Jendela Anti – HBc
-
-
IgG
-
+/-
1. Carrier HBsAg berkadar rendah 2. Infeksi pada masa lalu
-
+
IgG
-
+/-
Sembuh dari infeksi HVB
-
-
-
1. Imunisasi dengan HbsAg (setelah vaksinasi). 2. Infeksi pada masa lalu 3. Positif palsu
-
+
IgG
Interpelasi
+
Universitas Sumatera Utara
Penularan perinatal terutama ditemukan pada bayi yang dilahirkan dari ibu carrier HBsAg atau ibu yang menderita hepatitis B akut selama kehamilan trimester ketiga atau selama periode awal pasca partus. Meskipun kira – kira 10% dari infeksi dapat diperoleh in utero, bukti epidemiologik memberi kesan bahwa hampir semua infeksi timbul kira–kira pada saat persalinan dan tidak berhubungan dengan proses menyusui. Pada hampir semua kasus, infeksi akut pada neonatus secara klinis asimtomatik, tetapi anak itu kemungkinan besar menjadi carrier HbsAg (Isselbacher, 2000). HbsAg telah diidentifikasi pada darah, saliva, cairan cerebrospinal, peritoneal, pericardial, cairan amnion, semen, sekresi vagina, dan cairan tubuh lainnya. Penularan perkutaneus meliputi intra vena, intra muscular, sub kutan atau intra dermal ( Chin, 2000). Menurut Burhan (2009), pada dasarnya individu yang belum pernah diimunisasi Hepatitis B atau yang tidak memiliki antibodi anti – HBs, potensi terinfeksi VHB. Resiko kronisitas dipengaruhi oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang terinfeksi saat lahir, 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan 1-5% anak besar dan orang dewasa. Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenai pada individu dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi HIV, terapi imunosupresan dan hemodialisis). Dapat dilihat seperti berikut ini adalah jadwal dan dosis imunisasi Hepatitis B, Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia
Universitas Sumatera Utara
berbagai pilihan untuk menyatukannya kedalam program imunisasi terpadu. Berikut ini ada beberapa hal yang perlu diingat. (1) Minimal diberikan sebanyak 3 kali. (2) Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir. (3) Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1 ,6 bulan karena respon antibodinya paling optimal. (4) Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenitas atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga). (5) Dosis ketiga merupakan penentu respon antibodi karena merupakan dosis booster. Agar dapat dicapai kadar antibodi protektif secepatnya dianjurkan Hepatitis B3 diberikan lebih awal (umur 3-6 bulan), mengingat Indonesia adalah daerah endemisitas tinggi. (6) Bila sesudah imunisasi pertama terputus, segera berikan imunisasi kedua sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan. (7) Bila dosis ketiga terlambat, beri segera setelah memungkinkan. (8) Setiap vaksin Hepatitis B sudah di evaluasi untuk menentukan dosis sesuai umur (age-spesifik dose) yang dapat menimbulkan respon antibodi yang optimum. Oleh karena itu dosis yang direkomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada bayi dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu. (9) Pasien hemodialisa membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah suntikan. (10) Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil (nomor 23) tempat penyunyikan ditekan minimal 2 menit. (11) Bayi premature : bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau berat badan sudah mencapai 2000 gram (IDAI, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Konsep Prilaku Kesehatan Lebih lanjut Notoatmojo (2005), menjelaskan bahwa perilaku kesehatan itu
merupakan respon seseorang (organisme) terhadap rangsangan stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok : Klasifikasi Perilaku Kesehatan a. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance) Perilaku atau upaya individu untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek yang meliputi : (1) Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari sakit. (2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, dimana orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. (3) Perilaku gizi berkaitan dengan makanan dan minuman yang dapat memelihara kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan juga akan dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
Universitas Sumatera Utara
b. Perilaku Pencarian dan Penggunaan System atau Pelayanan Kesehatan atau Sering Disebut Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behavior) Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri. Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan baik lingkungan fisik, sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya, keluarga dan masyarakat. Dengan perkataan lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. c. Domain perilaku Perilaku merupakan bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisasi (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor – faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama beberapa orang, namun respon setiap orang berbeda. Faktor - faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Faktor determinan itu ditentukan atau dipengaruhi oleh perilaku individu, keluarga, kelompok atau masyarakat itu sendiri. Terbentuknya perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau subjek diluarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap
Universitas Sumatera Utara
sisubjek terhadap objek yang diketahui tersebut. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi (Notoatmojo, 2007). Perubahan Perilaku Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2007), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Perubahan alamiah (Natural Change). Perilaku manusia selalu berubah, sebagian perubahan ini disebabkan oleh kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan. 2. Perubahan terencana (Planned to Change). Perubahan ini terjadi karena direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya Pak Anwar adalah perokok berat, karena suatu saat ia terserang batuk yang sangat mengganggu maka ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit dan akhirnya ia berhenti merokok sama sekali. 3. Kesediaan untuk berubah ( Readiness to Chage). Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilaku), dan sebagian orang
Universitas Sumatera Utara
lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang didalam masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda walaupun kondisinya sama. Strategi Perubahan Perilaku Menurut Notoatmodjo (2007), Strategi untuk memperoleh perubahan perilaku dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Memberikan kekuatan / kekuasaan atau dorongan Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan pada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan (berprilaku) seperti diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-peraturan / perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri. 2. Pemberian informasi Dengan memberikan informasi tentang cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya, akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya menyebabkan orang berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. 3. Diskusi partisipasi Cara ini adalah sebagai cara peningkatan cara kedua yang dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku akan mereka peroleh dengan mantap dan lebih mendalam. Dengan partisipasi adalah suatu cara yang baik dalam rangka memberikan informasi dan pesan-pesan kesehatan.
2.4.
Pengetahuan, Sikap dan Norma
2.4.1. Pengetahuan Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui mengenai hal atau sesuatu. Pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan adalah kesan dari pikiran manusia sebagai panca indra. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku, namun ada hubungan positif antara kedua variabel tersebut dalam sejumlah penelitian. Pengetahuan tertentu tentang kesehatan mungkin penting sebelum suatu tindakan kesehatan terjadi, tetapi tindakan kesehatan yang diharapkan mungkin tidak akan terjadi kecuali apabila seseorang mendapat insyarat yang cukup kuat untuk memotivasinya bertindak atas dasar pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan merupakan faktor penting dalam menghasilkan perubahan namun tidak memadai dalam perubahan perilaku kesehatan (Azwar, 2002). Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melaukukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
Universitas Sumatera Utara
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif seperti “tahu, memahami, aplikasi, analisa sintesis dan evaluasi.” Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteriakriteria yang telah ada. Ismail (1999), menemukan adanya hubungan antara status imunisasi dasar lengkap dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua dan jumlah anak. Diantara beberapa faktor tersebut, pengetahuan ibu tentang imunisasi merupakan faktor yang sangat erat hubungannya dengan status imunisasi anak. Penelitian di tujuh provinsi di Indonesia bahwa kontribusi pengetahuan ibu terhadap status imunisasi anak bahwa anak yang memiliki ibu berpengetahuan baik mempunyai peluang untuk mendapatkan imunisasi lengkap sebesar 2,39 kali daripada anak dengan ibu berpengetahuan rendah (Ayubi, 2009).
2.4.2. Sikap Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang. Newcomb dalam Notoatmojo (2005), sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Fungsi sikap belum merupakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.
Universitas Sumatera Utara
Sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu : (1) kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek artinya bagaimana penilaian orang terhadap objek.(3) Kecenderungan untuk bertindak ( tend to behave ), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Menurut hasil penelitian Gunawan (2009), pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi. Tiga pertanyaan meliputi ketidak inginan orang tua untuk mengimunisasi bayi jika mempunyai bayi lagi (sikap), ketidakyakinan orang tua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan) dan pernah menolak bayinya untuk di imunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi. Selain itu faktor sosio ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan dan jumlah balita dalam keluarga juga ikut memberikan kontribusi terhadap status imunisasi bayi.
2.4.3. Norma Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ideide,
gagasan,
nilai-nilai,
norma-norma,
peraturan,
dan
sebagainya
yang
Universitas Sumatera Utara
sifatnya abstrak tidak dapat diraba atau disentuh. Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: (1). Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. (2). Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: (a) sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, (b).organisasi ekonomi, (c). alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama dan (d). organisasi kekuatan atau politik (Wikipedia, 2011). Menurut Poerwanto (2005), kebudayaan merupakan serangkaian aturan, strategi
maupun
petunjuk
yang
dipakai
oleh
manusia
guna
menghadapi
lingkungannya. Kebudayaan menunjukkan kepada beberapa aspek kehidupan, meliputi cara-cara bertingkah laku, kepercayaan dan sikap-sikap dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu kondisi lingkungan sangat berperan dalam membentuk kebudayaan suku-suku bangsa. Sedangkan menurut Iswantara (2004), aturan atau ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat disebut norma, sedangkan adat istiadat adalah norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat sehingga anggotaanggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapat sanksi keras yang secara langsung dikenakan kepada pelanggaran adat tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmojo (2005), yang mengutip pendapat Elling, mengatakan bahwa faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku kesehatan antara lain : (1) Self Concept, yakni tingkatan kepuasan atau ketidak puasan diri sendiri ketika diperlihatkan kepada orang lain. Ketika orang lain berpandangan positif dan mau menerima apa yang kita lakukan, kita berusaha untuk meneruskan perilaku tersebut, begitu juga sebaliknya jika orang berpandangan negative terhadap perilaku kita, maka suatu keharusan untuk melakukan perubahan perilaku, (2) Image kelompok, yakni kepercayaan suatu kelompok atau organisasi akan sangat mempengaruhi terhadap kepercayaan individu sehingga perilaku suatu komunitas terhadap kebiasaan menggunakan pelayanan dukun akan mempengaruhi perilaku individu lainnya dalam mencari pertolongan pada saat mereka sudah berkeluarga. Waluyanti (2009), rendahnya angka cakupan imunisasi lengkap yang tertuang dalam Universal Child Immunization (UCI) di kota Depok akan menimbulkan mudah terjangkitnya penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I). Variabel respon (penilaian) ibu berhubungan dengan kepatuhan pemberian imunisasi kepada bayi 12-24 bulan.
2.5.
Faktor yang Berhubungan Dengan Pelayanan Imunisasi DPT/HB3 Pelayanan imunisasi telah lebih dari tiga abad yang lalu diakui sebagai upaya
pencegahan yang penting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami kemajuan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000), adalah pengetahuan, lingkungan dan logistik, urutan anak dalam keluarga dan jumlah
Universitas Sumatera Utara
anggota keluarga, sosial ekonomi, mobilitas keluarga, ketidakstabilan politik, sikap petugas kesehatan, pembiayaan dan pertimbangan hukum.
2.5.1. Peran Petugas Kesehatan Muninjaya (2004), pengertian pelayanan keperawatan sesuai WHO Expert Commite on Nursing adalah gabungan dari ilmu kesehatan dengan seni melayani/merawat, suatu hubungan humanistik dan ilmu pengetahuan, filosofi keperawatan, kegiatan klinik, komunikasi dan ilmu sosial. Pelayanan keperawatan bertugas membantu individu, keluarga dan kelompok untuk mencapai profesi optimalnya dibidang fisik, mental dan sosial dalam ruang lingkup kehidupan dan pekerjaannya. Untuk mencapai target pelaksanaan imunisasi, maka peran petugas yang di tunjuk oleh Puskesmas yang bekerja di lapangan sangatlah penting dalam keberhasilan program. Kualitas pelayanan dan sikap petugas merupakan cerminan keberhasilan dalam strategi pelaksanaan imunisasi. Keramahan petugas dalam melayani masyarakat / pasien merupakan suatu hal yang penting diperhatikan mengingat keramahan modal utama pendekatan dengan masyarakat. Sikap sopan dalam melayani masyarakat juga merupakan suatu motivasi yang diberikan oleh petugas kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak segan-segan mengungkapkan masalah kesehatan yang dialaminya (Halim, 1990). Siswandoyo dan Putro (2003) melakukan survei terhadap ibu-ibu anak usia 12-23 bulan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kelengkapan
Universitas Sumatera Utara
imunisasi hepatitis B menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi anak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, waktu tempuh dan pelayanan petugas imunisasi.
2.5.2. Sarana dan Prasarana Dalam pelaksanaan program imunisasi , sarana dan prasarana yang dibutuhkan terdiri dari ruangan sebagi tempat pelaksanaan kegiatan imunisasi, konseling, penyuluhan dan vaksin serta obat-obatan. Sarana dan prasarana merupakan salah satu penunjang kegiatan hal ini dikuatkan oleh pendapat Handoko (1995), yang menyatakan ketersediaan sarana dan prasarana berpengaruh terhadap kinerja individu. Untuk
kebutuhan
logistik
di
posyandu
bidan
bertanggung
jawab
menyampaikan jadwal dan sasaran imunisasi kepada koordinator imunisasi, koordinator yang akan menyiapkan kebutuhan vaksin, alat suntik vaksin, alat suntik oplos dan kotak pengaman (Depkes RI, 2005). Depkes RI (2009), dalam melakukan pelayanan imunisasi kegiatan dapat dilaksanakan didalam gedung, diluar gedung dan di institusi swasta. Kegiatan didalam gedung harus memperhatikan beberapa hal : (1) Mudah diakses, (2) Tidak terkena langsung oleh sinar matahari, (3) Cukup tenang, (4) Petugas merencanakan tata ruang kerja imunisasi yang sesuai dengan prosedur tetap imunisasi. Jika dilaksanakan di luar gedung (out reach) maka harus cukup terang dan cukup ventilasi dan jika cuaca panas, maka tempat itu harus teduh.
Universitas Sumatera Utara
Pranotodihardjo, (1992) bahwa faktor yang terbukti mempunyai hubungan yang bermakna dengan pelaksanaan imunisasi campak, yaitu faktor pengetahuan dan faktor pendorong (sarana dan prasarana) di wilayah kerja Puskesmas Duri Kepa, Kebon Jeruk Jakarta Barat tahun 1990 . 2.5.3. Jadwal Imunisasi DPT/HB Untuk jadwal imunisasi dapat dilihat pada tabel 2.1 (hal 14 ), pemberian sebaiknya sesuai dengan jadwal yang ditetapkan agar didapatkan hasil yang baik. Pemberian imunisasi DPT adalah untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus, dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT (Depkes RI, 2005). Vaksin Hepatitis B diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, minimal diberikan 3 kali. Diberikan pada bayi 0-6 bulan karena respon antibodi paling optimal dengan jarak pemberian 1 bulan. Dosis ketiga merupakan penentu respon antibody karena merupakan booster.
Universitas Sumatera Utara
Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4-12 bulan), semakin tinggi titer antibodinya. Vaksin diberikan dengan cara disuntikan secara intra muscular sebaiknya pada antero lateral paha ( Depkes RI, 2009).
2.5.4. Akses Depkes RI (2002), rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi faktor-faktor berikut : (1) Jarak yang jauh atau faktor geografi, (2) Tidak tau adanya suatu kemampuan fasilitas, (3) Biaya yang tidak terjangkau atau faktor ekonomi dan (4) Tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas atau faktor budaya. Menurut
Andersen
(1968)
ada
delapan
faktor
yang
mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu : Demografi (jumlah, penyebaran, kepadatan, pertumbuhan, struktur umur, dan rasio jenis kelamin), tingkat pendapatan, faktor sosial budaya, aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan, availabilitas, produktivitas dan teknologi kesehatan. Menteri Perumahan Rakyat dalam Permenpera (2006), menyebutkan bahwa radius pencapaian maksimum untuk fasilitas kesehatan atau puskesmas adalah 2000 meter.
Lebih
lanjut
dalam
Notoatmodjo
(2003),
seseorang
yang
tidak
mengimunisasikan anaknya di posyandu bukan hanya disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya tetapi juga karena rumahnya jauh dengan Posyandu atau Puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sofie (2004), dalam pelaksanaan program imunisasi ada tiga faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu mengimunisasikan anaknya yaitu perilaku ibu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan selama kehamilan atau Ante Natal Care (ANC), akses ke pelayanan kesehatan dan tingkat pendidikan ibu. Sedangkan menurut (Sulistiadi, 2000 ; Herniwati, 2008), melaporkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara jarak dari rumah ke tempat pelayanan kesehatan terhadap status imunisasi anak.
2.6.
Landasan Teoritis Menurut Notoadmodjo (2003), semua ahli kesehatan masyarakat dalam
membicarakan status kesehatan mengacu kepada Bloom, yang menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu / masyarakat yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju, Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan. Sejalan dengan itu ada beberapa teori yang mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor–faktor yang memengaruhi perilaku yang berhubungan dengan sehat, antara lain teori Lawrence Green (2005), teori Snenandu B.Kar (1983) dan teori WHO (1984).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Green dalam Notoadmojo (2007), kesehatan seseorang itu dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku ini di tentukan oleh 3 faktor utama yaitu ; faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai– nilai, norma sosial dan sebagainya. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, akses serta tersedia atau tidaknya fasilitas–fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat– obatan, alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya. Faktor penguat (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau masyarakat, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Sebagai contoh model Green ini dapat digunakan untuk menganalisa program imunisasi khususnya di Provinsi Aceh. Seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di posyandu dapat disebabkan oleh karena orang tersebut tidak mau atau belum tahu manfaat imunisasi bagi anaknya/pengetahuan, sikap dan norma (Predisposing factors), atau barangkali karena rumahnya jauh dari Posyandu atau Puskesmas tempat mengimunisasi anaknya / akses ke pelayanan kesehatan (enabling factors), sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau masyarakat disekitarnya tidak pernah mengimunisasi anaknya (reinforcing factors). Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada
Universitas Sumatera Utara
atau tidaknya dukungan dari masyarakat sekitarnya, ada tidaknya informasi kesehatan, kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan / bertindak dan situasi yang memungkinkan ia berprilaku / bertindak atau tidak berprilaku / tidak bertindak (Notoatmodjo, 2007). Adapun skema Teori Green (2005), dipaparkan dan dirangkum dalam suatu landasan teori berikut ini: Predisposing Factors Knowledge Beliefs Values Attitude Confidance Capacity
Enabling factors Availability of health resources Accesibility of health resources Community / government laws priority Commitment to health Health related skills
Specific behavior by individuals or by organizations
Reinforcing factors Family Peers Teacher Employers Health provider Decision making Gambar 2.1 Teori Green
Universitas Sumatera Utara
2.7.
Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan Sikap Norma
Pemberian Imunisasi DPT/HB3 Pelayanan Imunisasi - Sarana prasarana -
Jadwal imunisasi
-
Akses Petugas kesehatan
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara