ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kitosan Kitosan adalah produk deasetilasi dari kitin. R umus kimia kitosan adalah
N-asetil-2-amino-2-dioksi-D-glukosa dengan ikatan β-glikosidik ( 1,4) da n r esidu 2-amino-2-dioksi-D-glukosa. Kitin a dalah s uatu bi opolimer nom or dua yang banyak terdapat di al am s etelah selulosa, dan dapat diperoleh dari serangga, krustasea, dan fungi (Aranaz et al., 2009, p. 203 ). Cangkang kepiting merupakan salah satu sumber kitin dengan kandungan 18,70% - 32,20% (Martina, 2008, hal. 587). Rumus kimia kitin adalah 2-asetamida-2-dioksi-β-D-glukosa dengan ikatan β-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Struktur kimia kitin mirip de ngan s elulosa, ha nya di bedakan ol eh gugus yang t erikat pa da a tom C2. Gugus yang t erikat pa da at om C2 selulosa ada lah OH, namun pada ki tin yang terikat ada lah gugus as etamida ( Hargono dkk, 2008, ha l. 54) . K itin memiliki kandungan N-asetil-2-amino-2-dioksi-D-glukosa yang r endah s ehingga t idak dapat larut pada media cairan yang asam (Aranaz et al., 2009, p. 203). Kitosan memiliki ka ndungan N-asetil-2-amino-2-dioksi-D-glukosa yang cukup tinggi sehingga memungkinkan polimer ini untuk larut dalam cai ran yang asam (Aranaz et al ., 2009, p. 203) . Kitosan diperoleh da ri ki tin melalui serangkaian proses l alu di lanjutkan dengan deasetilasi m enggunakan larutan NaOH (Hargono dkk., 2008, hal. 56).
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.1.1 Sifat Biologis Kitosan Sifat biologis kitosan yang sangat berpengaruh pada proses penyembuhan luka a dalah bi odegradabilitas da n bi okompatibilitas. K itosan t idak t erdapat pa da mamalia na mun dapat didegradasi s ecara in vivo dengan be berapa p rotease, terutama enzim lis ozim. Tingkat bi odegradasi yang t inggi menyebabkan kitosan semakin a dekuat da lam m empercepat p enyembuhan l uka. Biodegradabilitas kitosan j uga m empengaruhi bi okompatibilitasnya sebab de gradasi yang t inggi akan meningkatkan akumulasi amino sugars dan respons inflamasi (Aranaz et al., 2009, p. 207). Biokompatibilitas kitosan sangat baik dan lebih baik daripada kitin, tetapi tetap tergantung p ada s umber as alnya, metode pr eparasi, dan derajat de asetilasi. Derajat d easetilasi ki tosan yang l ebih tinggi da ri 35% m enunjukkan t oksisitas yang r endah, s edangkan de rajat de asetilasi yang l ebih r endah da ri 35% menyebabkan t oksisitas y ang be rgantung pa da d osis. Biokompatibilitas ki tosan telah dibuktikan melalui pe nelitian in vitro pada s el m iokardial, e ndotelial, dan epitelial, f ibroblas, he patosit, kondr osit, da n ke ratinosit. Protein residual da lam kitosan d apat m enyebabkan reaksi al ergi seperti hi persensitivitas. Protein yang terkandung da lam s ampel t ergantung pa da s umber s ampel da n yang pa ling penting adalah metode preparasi (Aranaz et al., 2009, p. 208).
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel 2.1 Hubungan Sifat Biologis Kitosan dengan Karakteristik Kitosan (Aranaz et al., 2009, p. 207) Sifat Biologis Karakteristik Kitosan Biodegradabilitas
Derajat de
asetilasi,
distribusi
golongan asetil, berat molekul Biokompatibilitas
Derajat deasetilasi
Mukoadesi
Derajat deasetilasi, berat molekul
Hemostatik
Derajat deasetilasi, berat molekul
Analgesik
Derajat deasetilasi
Peningkat adsorpsi
Derajat deasetilasi
Antimikrobial
Berat molekul
Antikolesterol
Derajat d easetilasi, berat mol ekul, viskositas
Antioksidan
Derajat deasetilasi, berat molekul
2.1.2 Proses Pembuatan Kitosan Pembuatan ki tosan da ri g olongan kr ustasea meliputi pe rsiapan yaitu dengan larutan asam untuk melarutkan Ca(CO3). Persiapan cangkang dilanjutkan dengan pencucian dan pengeringan lalu cangkang di grinding hingga di peroleh diameter rerata 0,356 m m. T ahap be rikutnya demineralisasi untuk penghilangan mineral menggunakan l arutan H Cl, ke mudian dilanjutkan dengan de proteinasi untuk m enghilangkan p rotein m enggunakan l arutan N aOH de ngan e kstraksi alkalin. Tahapan selanjutnya ada lah penghilangan warna at au depigmentasi at au bleaching menggunakan N aOCl unt uk m enghilangkan pi gmen astaxantine sehingga dihasilkan produk yang tidak berwarna. Setelah tahapan tersebut dilalui dan di ikuti pe ncucian da n pe ngeringan, m aka di dapatkan ki tin. Tahapan selanjutnya unt uk m emperoleh ki tosan a dalah de asetilasi unt uk penghilangan gugus a setil menggunakan larutan NaOH dengan kons entrasi t ertentu pa da s uhu
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
90-100 oC. T ahap i ni di lakukan dengan p engadukan kons tan s elama 60 m enit. Hasilnya be rupa slurry yang ha rus disaring hingga m enghasilkan e ndapan. Endapan dicuci de ngan akuades l alu ditambah l arutan HCl en cer agar p H ne tral kemudian di keringkan, maka t erbentuk kitosan (Hargono dkk, 2008, h al. 54 -55; Aranaz et al ., 2009, p. 204 ). Proses de asetilasi kitin a kan m embebaskan g ugus asetil yang terikat pada gugus –NH menjadi gugus -NH2 bebas (Endang, 2008).
Gambar 2.1 Tahap pembuatan kitosan (Aranaz et al., 2009, p. 204)
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Gambar 2.2 Reaksi deasetilasi (Hargono dkk, 2008, hal. 56)
Penelitian ini menggunakan sediaan kitosan yang telah dibuat oleh Pabrik Sigma s ehingga t idak m emerlukan r angkaian pr oses pe mbuatan kitosan. Spesifikasi kitosan buatan pabrik Sigma adalah: Tabel 2.2 S pesifikasi Kitosan kode C 3646 P roduksi P abrik S igma (SigmaAldrich, 2012) Cangkang kepiting Sumber Biologis ≥75% Derajat Deasetilasi Bubuk Bentuk - Larut da lam as am as etat de ngan Kelarutan perbandingan 10 mg/mL - Tidak larut da lam H 2O da n larutan organik 0,15-0,3 g/cm3 Kepadatan
2.1.3 Manfaat Kitosan Biokompatibilitas ki tosan yang t inggi m enyebabkan ki tosan di bi dang periodonsia da n or topedi di gunakan d alam p engobatan, p enyembuhan l uka, material yang di suntikkan a tau di tanamkan di da lam t ubuh da n regenerasi jaringan. Beberapa p enggunaan kitosan da lam b idang medis ad alah percepatan penyembuhan l uka, s istem drug delivery, gene de livery, dan tissue e ngineering.
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kitosan j uga da pat di aplikasikan da lam m akanan s ebagai pe nyusun ko mposisi makanan unt uk di et, p engawet m akanan, a gen pe ngemulsi, da n biokatalisis (Aranaz et al., 2009, p. 211-218).
2.2
Luka Pencabutan Gigi Luka a dalah ke rusakan j aringan t ubuh ol eh karena j ejas f isik yang
menyebabkan terganggunya kontinuitas struktur normal dari jaringan (Robbins et al, 1996, p. 46 ). Terjadinya luka menimbulkan respons tubuh yaitu penyembuhan luka. Penyembuhan l uka m erupakan p enggabungan dan keterkaitan respons vaskuler, a ktivitas s eluler da n pembentukan bahan kimia s ebagai s ubstansi mediator di daerah luka (Lawler dkk, 2002, hal. 15). Penyembuhan luka adalah respons utama akibat adanya luka, yang diikuti dengan proses perbaikan jaringan dan pencegahan infeksi yang dapat menghambat perbaikan jaringan (Singh and Meru, 2002, p. 73 ). Luka pencabutan gigi ada lah salah s atu c ontoh l uka yang s embuh m elalui secondary i ntention. P enyembuhan dengan secondary i ntention meninggalkan sedikit cel ah antara j aringan yang terluka at au terdapat j aringan yang hi lang di ant ara j aringan yang t erluka. Luka dengan p enyembuhan seperti i ni m embutuhkan pr oliferasi e pitel, deposisi kolagen, kont raksi, da n remodelling dalam j umlah besar selama pe nyembuhan. Pencabutan gigi menyebabkan reaksi inflamasi yang sama dengan luka pada kulit atau mukosa tubuh yang la innya, yaitu terdapat ta hapan inflamasi, epitelisasi, fibroplasia, da n remodelling (Hupp, 2008, p
. 51) . Secara um um, pr oses
penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase yang saling tumpang tindih, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodelling. (Shetty and Bertolami, 2004, p. 4).
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Fase i nflamasi ad alah pe nanda respons tubuh unt uk memperbaiki kerusakan dan biasanya berlangsung selama tiga hingga lima hari. Fase ini diawali dengan va sokontriksi pe mbuluh da rah. Sitokin da n growth f actors yaitu interleukin (IL), transforming growth factor β (TGF-β), platelet de rived gr owth factor (PDGF), dan vascular e ndothelial gr owth f actor (VEGF) mulai disekresi sejak va sokontriksi t erjadi. M ekanisme v asokontriksi di ikuti de ngan va sodilatasi ketika he mostasis t elah tercapai. Vasodilatasi m enyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular yang dapat mengakibatkan plasma darah dan sel inflamasi lain bermigrasi menuju daerah l uka (Shetty and Bertolami, 2004, p. 4) . Fase ini tampak sebagai er itema, pe mbengkakan, dan rasa ha ngat yang s ering dikaitkan dengan rasa n yeri. Berdasarkan w aktu terjadinya, fase i nflamasi di bagi menjadi dua, yaitu inflamasi akut dan kronis (Lawler dkk, 2002, hal. 16). Inflamasi akut m erupakan respons segera da n dini t erhadap jejas yang dirancang unt uk mengirimkan leukosit ke te mpat je jas. Proses ini me miliki dua komponen ut ama, yaitu pe rubahan va skular da n be rbagai ke jadian yang t erjadi pada s el. Perubahan vaskular ad alah perubahan dalam tingkat pembuluh da rah yang m engakibatkan p eningkatan a liran da rah ( vasodilatasi) d an pe rubahan struktural. P erubahan s truktural m emungkinkan pr otein pl asma m eninggalkan sirkulasi ( peningkatan pe rmeabilitas vaskular). Berbagai ke jadian yang terjadi pada s el ada lah migrasi l eukosit da ri m ikrosirkulasi da n a kumulasinya di f okus jejas ( rekrutmen d an aktivasi s elular). P erubahan va skular da n r ekrutmen s el menentukan tiga dari lima tanda lokal klasik inflamasi akut: panas (kalor), merah (rubor), da n p embengkakan (tumor). D ua gambaran ka rdinal t ambahan pa da inflamasi a kut, yaitu n yeri ( dolor) da n hi langnya f ungsi (functio l aesa), te rjadi
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
akibat perluasan mediator dan kerusakan yang diperantarai leukosit (Mitchell dan Cotran, 2007, hal. 36-37). Leukosit te rutama ne utrofil a dalah sel p ertama yang keluar d ari a liran darah, yaitu pada saat terjadi perubahan vaskular (Mitchell dan Cotran, 2007, hal. 37). Neutrofil mulai bergerak m enuju j aringan yang t erluka dalam j angka waktu beberapa menit pertama dan dengan cepat menjadi sel yang mendominasi daerah luka (Shetty and B ertolami, 2004, p. 4) . Neutrofil yang t erdapat da lam j aringan disebut s ebagai s el P MN. S el P MN di perlukan unt uk m encegah d an mengikat kuman dan b enda a sing (fagositosis da n e laborasi e nzim de gradatif) s ehingga diharapkan penyembuhan luka yang cepat dapat terjadi (Roziana, 2010, hal. 57). Dalam pe nyembuhan l uka pe ncabutan gigi, f ase i nflamasi a kut di tandai dengan adanya vasodilatasi pe mbuluh da rah di l igamen pe riodontal d an diikuti mobilisasi leukosit khususnya sel PMN di sekitar bekuan darah dalam waktu 2448 jam pe rtama s etelah pencabutan. Pada s aat yang sama t erjadi pembentukan lapisan fibrin (Shetty a nd B ertolami, 2004, p. 8) . Sel P MN yang t erdapat da lam soket aka n menghilangkan bakteri pe ngkontaminasi da ri ar ea be kas pe ncabutan dan m ulai m enghancurkan de bris s eperti f ragmen t ulang yang t ertinggal da lam soket (Hupp, 2008, p. 51). Inflamasi akut yang tidak dapat diatasi akan berlanjut pada tahap inflamasi kronis. Inflamasi k ronis da pat di anggap sebagai inf lamasi me manjang, te rjadi inflamasi a ktif, jejas ja ringan, dan penyembuhan secara s erentak. Sel yang berperan pa da i nflamasi kr onis a dalah m akrofag, l imfosit, da n s el pl asma (Mitchell dan Cotran, 2007, hal. 56). Jumlah sel monosit pada daerah luka mulai meningkat k etika j umlah s el P MN s udah m ulai m enurun. M onosit yang t elah
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
teraktivasi da n be rada di j aringan di sebut s ebagai m akrofag. Makrofag melanjutkan fungsi f agositosis yang s ebelumnya te lah diinisiasi ol eh sel P MN. Makrofag j uga m ensekresi s itokin da n growth f actors yaitu TGF-α, TGF-β, PDGF, i nsulin l ike g rowth f actor ( IGF)-1 dan II, dan I L-1. M akrofag mempengaruhi s eluruh fase p ada pe nyembuhan l uka a wal de ngan m engatur remodelling jaringan lokal. Jumlah dan a ktivitas m akrofag m enurun p ada ha ri kelima s etelah l uka, namun makrofag a kan t etap m elanjutkan p engaturan pr oses penyembuhan luka hingga perbaikan telah tuntas (Shetty and Bertolami, 2004, p . 4-5).
2.3
Sel Polimorfonuklear Neutrofil m erupakan s el dalam da rah dan ada da lam pr oses i nflamasi
secara non spesifik. Jumlah normalnya adalah 50-70% dari jumlah sel darah putih. Ketiga s el pol imorfonuklear l eukosit di bedakan satu sama l ain karena ad anya granula yang dijumpai dalam sitoplasma (Carlos et al., 1997, hal. 231). Jumlah a bsolut ne utrofil t erdapat 3000 -5000 pe r m ilimeter kubi k da rah atau 20-30 miliyar da lam pe redaran darah setiap saat. Neutrofil berada dalam peredaran da rah s ekitar 8 j am s ebelum be rmigrasi ke luar pe mbuluh da rah da n masuk j aringan. N eutrofil mempunyai jangka hi dup 1 -4 ha ri di d alam j aringan ikat ( Bloom a nd F aucet, 2002, ha l. 106 ). Sel ini me mpunyi di ameter 12 -15 µm, dengan s ebuah i nti yang te rdiri a tas 2 -5 l obus ( biasanya 3 l obus) yang s aling berikatan melalui be nang k romatin halus ( Carlos et al ., 1997, h al. 233 ). J umlah lobus tergantung dari usia sel. Nukleus berbentuk lonjong atau memanjang ketika sel p ertama ka li di lepas da ri s umsum tul ang ke da lam da rah. S el m uda di sebut
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sebagai “bentuk batang”. Proses selanjutnya yang terjadi pada sel adalah kontriksi lokal s ehingga t erbentuk nukl eus bi lobus. P roses pe manjangan nukl eus s erta kontriksinya b erlanjut s ampai pa da n eutrofil l ebih t ua hi ngga terdapat t iga at au lebih lobus. Pada sediaan hapusan darah, sitoplasma neutrofil terlihat bertitik-titik oleh granul spesifik sangat halus yang berafinitas rendah terhadap pewarnaan dan granul azurofil lebih besar yang tercat lebih gelap (Bloom and Faucett, 2002, hal. 106). Neutrofil m erupakan pe rtahanan t ubuh pe rtama dalam melawan bakteri. Fungsi ne utrofil a dalah unt uk f agositosis, m embunuh, da n m enelan pa rtikelpartikel ke cil, terutama bakteri, j uga m enelan d ebris da n f ibrin. Neutrofil jug a berfungsi unt uk elaborasi enz im de gradatif. Neutrofil mempunyai ef ek samping karena t erdapat tripsin yang tingg i da n elastase, serta cathepsin yang menyebabkan ke rusakan jaringan dan m elepas ba han pirogenik. N eutrofil mempunyai pe rmukaan r eseptor unt uk ka ndungan ba kteri da n kom plemen (Mitchell dan Cotran, 2007, hal. 43). Neutrofil adalah tipe sel pertama yang akumulasi di sisi antigen, pada 2448 jam pe rtama s elama proses i nflamasi. Sel ini tida k resirkulasi da n akan mati dalam jaringan dalam beberapa hari. Migrasi neutrofil terjadi setelah ekstravasasi dari da rah. Sel ini be rmigrasi me nuju tempat je jas me ndekati gradien k imiawi pada suatu proses yang disebut kemotaksis. Zat eksogen dan endogen yang dapat bersifat ke motaktik t erhadap l eukosit adalah produk ba kteri yang da pat l arut, khususnya p eptida de ngan N -formil-metionin termini; kom ponen sistem komplemen, terutama C5a; pr oduk m etabolisme a sam a rakidonat ( AA) j alur
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
lipoksigenasi, t erutama l eukotrien B4 (LTB4); d an s itokin, t erutama ke lompok chemokine (misalnya IL-8) (Mitchell dan Cotran, 2007, hal. 43).
Gambar 2.3 Sel polimorfonuklear pada j aringan s inovial temporo mandibular joint, pengecatan HE, pembesaran 400x (Wanyura et al, 2008)
2.4
Cavia cobaya
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Hystricomorpha
Famili
: Caviidae
Subfamili
: Caviinae
Genus
: Cavia
Spesies
: Cavia cobaya Cavia cobaya (guinea pig) adalah spesies hewan pengerat yang masuk ke
dalam famili Caviidae dan genus Cavia. Cavia cobaya tidak berasal dari Belanda, tetapi be rasal d ari w ilayah Andes. P enggunaan he wan Cavia c obaya sebagai hewan coba pa da pe nelitian ini d isebabkan karena Cavia c obaya mudah
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
penanganannya d an juga m empunyai r eaksi p enyembuhan yang pada pr insipnya mirip de ngan r eaksi yang t erjadi pa da m anusia. Perbedaan pr oses pe nyembuhan luka terletak pada kecepatan waktu penyembuhan. Penyembuhan luka pada hewan lebih cepat daripada penyembuhan luka pada manusia (Ferdinand, 2012, hal. 14). Perawatan Cavia c obaya harus di lakukan d engan ba ik, m emperhatikan microenvironment dan macroenvironment yang digunakan dalam pe rawatannya. Microenvironment adalah l ingkungan f isik yang l angsung m engelilingi hewan coba. C ontoh microenvironment adalah kondi si ka ndang, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan keadaan udara. Macroenvironment adalah lingkungan fisik pada daerah sekunder yang mengelilingi hewan coba. Suhu, kelembaban, dan keadaan udara t ermasuk dalam macroenvironment juga, na mun yang m emiliki pengaruh lebih be sar
adalah
yang t erdapat pa da
microenvironment. K ondisi
microenvironment dapat m empengaruhi p roses fisiologis da n pe rlakuan he wan coba s ecara l angsung, ba hkan da pat m eningkatkan ke mungkinan t erjadinya penyakit (Comittee, 2011, p. 42). Suhu pemeliharaan harus di atur de ngan baik agar h ewan coba d apat beradaptasi de ngan t ekanan m inimal da n respons fisiologis yang nor mal. Suhu pemeliharaan hewan coba berbeda-beda tergantung rentang suhu kritis bawah dan atas setiap hewan coba. Suhu pemeliharaan yang direkomendasikan untuk hewan coba Cavia c obaya adalah antara 20 -26oC. K elembaban yang di rekomendasikan adalah 30-70%. Suhu dan kelembaban yang eks trim at au fluktuatif s aat pemeliharaan da pat m enyebabkan pe rubahan pe rilaku, m orfologi, da n f isiologis hewan coba (Comittee, 2011, p. 43).
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Kandang diusahakan ke ring a gar t idak m enjadi s arang p enyakit. Dinding kandang di buat a gar hewan coba t idak da pat k eluar d ari k andang, n amun j uga tidak melukai hewan coba. Dinding kandang tidak boleh beracun, tajam sehingga membahayakan he wan c oba, da n da sarnya be rlubang-lubang. R ekomendasi l uas area yang dibutuhkan oleh Cavia cobaya dengan berat di bawah 350 g adalah 387 cm2 dengan tinggi area 17,8 cm (Comittee, 2011, p. 57).
2.5
Histopatologi Anatomi (HPA) Preparat ad alah tindakan a tau pr oses pe mbuatan m aupun pe nyiapan
sesuatu menjadi t ersedia, spesimen pa tologi m aupun a natomi yang s iap da n diawetkan unt uk p enelitian da n pe meriksaan (Dorland, 2002, hal. 357 ). Pada umumnya, pengamatan preparat di lakukan de ngan m enggunakan pengamatan langsung s ecara m ikroskopik. P engamatan ini t idak terlepas dari penggunaan mikroskop. Menurut McManus & Mowrey (1960, p. 377), hampir s emua j aringan t ubuh manusia tida k memiliki warna. Sel da n jaringan ha rus di warnai t erlebih da hulu agar d apat diamati s trukturnya. Z at warna ( dyes) t erdiri at as ba nyak j enis. Sebelum da pat di warnai, jaringan-jaringan organ yang aka n diamati harus menjalani serangkaian proses yang disebut tissue processing. Pemrosesan jaringan ini aka n mengawetkan, mencegah pembusukan, serta memudahkan pe warnaan jaringan dan sel karena mereka memiliki sifat alamiah untuk mengikat zat warna. Pekerjaan m embuat j aringan hi ngga s iap u ntuk di amati di sebut sebagai histoteknik. J enis pr oses pe mbuatan pr eparat/sediaan hi stologi da pat dikelompokkan sebagai preparat rutin dan preparat khusus.
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Terdapat 10 l angkah d alam t ahapan pe mbuatan pr eparat r utin yaitu pengawetan (fixation), de hidrasi ( pengeluaran air da ri da lam s el/organ), pembeningan ( clearing), pe mbenaman ( embedding), pencetakan (blocking), pengirisan bl ok j aringan ( sectioning), pe nempelan i risan pa da ka ca obj ek, pewarnaan (staining), pe nutupan pr eparat de ngan ka ca pe nutup ( mounting), da n pelabelan preparat (labeling) (McManus & Mowrey, 1960, p. 377). Pengawetan (fixation) di lakukan unt uk m empertahankan s truktur s el da n jaringan sedapat mungkin mendekati keadaan aslinya (saat masih hidup). Larutan yang p aling um um di gunakan da lam unt uk pe ngawetan a dalah l arutan formalin 10%. Sebagian be sar l arutan pengawet b ekerja hanya untuk m empertahankan protein sehingga tidak ada satu pun jenis larutan pengawet yang dapat melakukan pengawetan secara s empurna da lam m encapai tujuan pengawetan. Pengawetan merupakan da sar pe mbuatan pr eparat hi stologi. K esalahan yang di lakukan pa da tahap ini tidak dapat diperbaiki lagi pada tahapan selanjutnya (McManus & Mowrey, 1960, p. 377; Ahmad, 2009, hal. 7-8). Dehidrasi di lakukan unt uk m engeluarkan s eluruh c airan yang t erdapat dalam jaringan yang telah difiksasi sehingga jaringan nantinya dapat diisi dengan parafin atau zat lainnya yang dipakai untuk membuat blok preparat. Hal ini perlu dilakukan ka rena a ir t idak dapat be rcampur d engan cairan parafin satau zat lainnya yang dipakai untuk membuat blok preparat. Beberapa macam cairan yang dapat digunakan untuk dehidrasi adalah alkohol, sukrosa 20%, metil alkohol atau spiritus. A lkohol m erupakan c airan yang bi asa di gunakan unt uk d ehidrasi (Ahmad, 2009, hal. 15).
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Clearing dilakukan un tuk m engeluarkan a lkohol da ri j aringan da n menggantinya dengan suatu larutan yang dapat berikatan dengan parafin. Jaringan tidak da pat l angsung di masukkan ke da lam pa rafin ka rena a lkohol d an pa rafin tidak bisa saling melarutkan. Proses mengeluarkan alkohol dari jaringan ini sangat krusial karena bila di dalam jaringan masih tertinggal sedikit alkohol maka parafin tidak bisa ma suk kedalam ja ringan s ehingga j aringan m enjadi “ matang di luar, mentah di dalam” dan akan m enyebabkan j aringan m enjadi s ulit unt uk d ipotong dengan m ikrotom. Bahan a tau reagen yang s ering di gunakan da lam t ahap i ni adalah chloroform, benzene/ be nzol, x ylene/ xylol, cedar w ood oi l, benzil benzoat, m ethyl be nzoat. Bahan pe njernih yang r utin di gunakan a dalah x ylol. (McManus & Mowrey, 1960, p. 377, Ahmad, 2009, hal. 16). Embedding atau pembenaman
(impregnasi) a dalah pr oses unt uk
mengeluarkan cairan pembening (clearing agent) dari jaringan dan diganti dengan parafin. Pada t ahap i ni j aringan ha rus b enar-benar be bas d ari cai ran pembening karena s isa c airan pe mbening d apat m engkristal da n s ewaktu di potong dengan mikrotom akan menyebabkan jaringan menjadi mudah robek. Zat pembenam yang dapat di gunakan adalah parafin cair panas yang m empunyai t emperatur l ebur (melting t emperature) k ira-kira 56 -59oC, p arafin hi stotek khus us ( tissue m at) dengan s uhu 56 oC, p araplast yaitu campuran parafin murni d engan beberapa polimer plastik (Ahmad, 2009, hal. 19). Langkah selanjutnya ad alah blocking yang m erupakan pe mbuatan bl ok preparat a gar d apat di potong de ngan m ikrotom (Ahmad, 2009, ha l. 20 ). Secara rutin, parafin digunakan mengisi bagian sel yang telah ditinggalkan oleh air. Hasil
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
akhir t ahap ini ad alah blok pa rafin be risi s ampel or gan, y ang didapatkan saat parafin mengeras (McManus & Mowrey, 1960, p. 377). Pengirisan s ampel di lakukan de ngan m enggunakan m ikrotom de ngan ketebalan yang di inginkan. V ariasi ke tebalan di sesuaikan de ngan t ujuan pembuatan preparat. Ketebalan yang rutin di gunakan adalah 5 μm. Setelah dilekatkan pada k aca benda (object gl ass), irisan da pat di warnai dengan pewarnaan yang di inginkan. M akna yang di inginkan m engikuti unsur yang a kan didemonstrasikan. U nsur t ersebut d apat b erupa s uatu pr otein, k arbohidrat, atau gambaran um um s truktur hi stologis. Pewarnaan yang biasa digunakan ada lah hematoxylin eosin (HE) (McManus & Mowrey, 1960, p. 377). Pewarnaan HE terdiri atas zat warna utama, yaitu hematoxylin dan eosin. Larutan pewarna hematoxylin mengandung be berapa z at l ain selain zat w arna hematoxylin, yaitu zat mordan. Larutan eosin dibuat dengan melarutkan zat warna eosin da lam a kuades d an a lkohol (McManus & Mowrey, 1960, p. 377). Langkah terakhir adalah penutupan preparat dengan kaca penutup (Ahmad, 2009, hal. 29).
SKRIPSI
PENINGKATAN MOBILISASI SEL ...
OLIVIA BUDIHARGONO