BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Promosi Kesehatan 2.1.1 Definisi Upaya promosi kesehatan merupakan salah satu strategi atau langkah yang ditempuh untuk meningkatkan kemampuan masyarakat khususnya pengetahuan, sikap dan praktek untuk berperilaku sehat melalui proses pembelajaran dari-olehuntuk dan bersama masyarakat. Selain itu tujuan promosi kesehatan dimaksudkan supaya masyarakat dapat dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Menolong diri sendiri tersebut artinya bahwa masyarakat mampu berperilaku mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan serta mampu pula berperilaku mengatasi apabila masalah gangguan kesehatan tersebut terlanjur terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat (Natoadmodjo, 2007). Definisi lain menurut Depkes RI (2008) menyatakan bahwa promosi kesehatan adalah serangkaian proses pemberdayaan masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan. Proses pemberdayaan dilakukan dari oleh masyarakat yang artinya proses pemberdayaan tersebut dilakukan melalui kelompok-kelompok
potensial
di
masyarakat
bahkan
semua
komponen
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana diketahui bahwa disparitas masalah kesehatan masih menjadi permasalahan dalam upaya pembangunan kesehatan di Indonesia yang diindikasikan dari masih tingginya angka kesakitan akibat penyakit menular dan tidak menular, kejadian luar biasa (KLB) akibat penyakit menular, serta masih rendahnya perilaku sehat masyarakat. Upaya promosi kesehatan yang dilakukan diharapkan dapat mereduksi masalah kesehatan tersebut. Depkes RI (2008) menitiberatkan bahwa promosi kesehatan bukan hanya sekedar proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi juga disertai upaya-upaya menfasilitasi perubahan perilaku. Secara teknis, promosi kesehatan dapat dijabarkan dalam berbagai program dan kegiatan yang diformulasikan untuk mewujudkan perubahan perilaku masyarakat juga mengupayakan perubahan secara sosial dan lingkungan fisik yang mengarah pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip oleh McKenzie (2007) mendefenisikan promosi kesehatan sebagai kombinasi terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan, peraturan, maupun mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan kondisi kehidupan yang kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat.
Pada
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan (Depkes RI, 2006) disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber
Universitas Sumatera Utara
daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. Dalam melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma, melainkan juga dimensi ekonomi. Sistem nilai dan norma merupakan ramburambu bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem nilai dan norma “dibuat” oleh masyarakat untuk dianut oleh individu-individu anggota masyarakat tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai sistem sosial, adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu masyarakat akan berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2006). Hasil Konferensi Internasional ke-4 tentang promosi kesehatan, yang dikutip oleh Liliweri (2007), menyatakan bahwa prioritas promosi kesehatan dalam abad 21 adalah: (1) Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan; (2) Meningkatkan modal untuk pengembangan kesehatan ; (3) Konsolidasi dan perluasan kemitraan untuk kesehatan; (4) Meningkatkan kapasitas komunitas dan memperkuat individu dan ; (5) Melindungi keamanan infrastruktur promosi kesehatan. 2.1.2 Strategi Promosi Kesehatan Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu (1) gerakan pemberdayaan, (2) bina suasana, dan (3)
Universitas Sumatera Utara
advokasi, yang diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi yang tepat (Depkes RI, 2006). Menuru Notoadmodjo (2003) yang mengutip pendapat Hopkins, defenisi advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacammacam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Berbeda dengan bina suasana, advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang berupa kebijakan (misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana, dan lainlain sejenis. Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan penyandang dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama, tokoh adat, dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu “kebijakan” (tidak tertulis) di bidangnya. Tidak boleh dilupakan pula tokoh-tokoh dunia usaha, yang diharapkan dapat berperan sebagai penyandang dana non-pemerintah (Puspromkes Depkes RI, 2006). Strategi advokasi dilakukan dengan
melalui pengembangan kebijakan
yang mendukung pembangunan kesehatan melalui konsultasi pertemuanpertemuan dan kegiatan-kegiatan lain kepada para pengambil keputusan baik kalangan pemerintah, swasta maupun pemuka masyarakat (Notoatmodjo, 2005). Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang
Universitas Sumatera Utara
diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung proses Pemberdayaan Masyarakat, khususnya dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan Bina Suasana (Depkes RI, 2006). Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam Bina Suasana, yaitu (1) Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan Masyarakat Umum (Depkes RI, 2006), dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Bina Suasana Individu, ditujukan
kepada individu tokoh masyarakat.
Melalui pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan dapat menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah munculnya wabah demam berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu. 2. Bina Suasana Kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), Kelompok keagamaan, Perkumpulan Seni, Organisasi Profesi,
Universitas Sumatera Utara
Organisasi Wanita, Organisasi Siswa/Mahasiswa, Organisasi Pemuda, dan lain-lain. Pendekatan ini dapat dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok tersebut menjadi peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini dapat berupa kelompok tersebut
lalu
bersedia
juga
mempraktikkan
perilaku
yang
sedang
diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan atau melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya. 3. Bina Suasana Masyarakat Umum, dilakukan terhadap masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta pendapat umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan. Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau “penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan.
Strategi bina suasana dilakukan melalui: (1)
Pengembangan potensi budaya masyarakat dengan mengembangkan kerja sama lintas sektor termasuk organisasi kemasyarakatan, keagamaan, pemuda, wanita serta kelompok media massa; dan (2) Pengembangan penyelenggaraan penyuluhan, mengembangkan media dan sarana, mengembangkan metode dan teknik serta hal-hal lain yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan.
Universitas Sumatera Utara
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi mampu
melaksanakan
perilaku
yang
diperkenalkan
(aspek
practice)
(Natoadmodjo, 2003). Sasaran utama dari Pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan (Depkes RI, 2006) Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang diare karena perilaku yang dipraktikkannya). Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat
Universitas Sumatera Utara
diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat (community organization)
atau
pembangunan
masyarakat
(community
development).
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik di antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna (Puspromkes Depkes RI, 2006). 2.1.3 Media Promosi Kesehatan Media promosi kesehatan (Lunandi, 2003)dapat dibagi berdasarkan jenis perlakuan yang diberikan: 1. Ceramah Ceramah adalah suatu penyampaian informasi yang sifatnya searah, yakni dari penceramah kepada hadirin. Pada metode ini penceramah lebih banyak memegang peran untuk menyampaikan dan menjelaskan materi penyuluhannya dengan sedikit memberikan kesempatan kepada sasaran untuk menyampaikan tanggapannya. Beberapa keuntungan menggunakan metode ceramah adalah murah dari segi biaya, mudah mengulang kembali jika ada materi yang kurang jelas ditangkap peserta daripada proses membaca sendiri, lebih dapat dipastikan tersampaikannya informasi yang telah disusun dan disiapkan. Apalagi kalau
Universitas Sumatera Utara
waktu yang tersedia sangat minim, maka ceramah inilah yang dapat menyampaikan banyak pesan dalam waktu singkat. Selain keuntungan ada juga kelemahan menggunakan metode ceramah, salah satunya adalah pesan terinci mudah dilupakan setelah beberapa lama. 2. Diskusi Diskusi merupakan
salah satu metode yang sering digunakan dalam
proses pendidikan. Harus ada partisipasi yang baik dari pesera yang hadir. Diskuasi diarahkan pada keterampilan berdialog, peningkatan pengetahuan, peningaktan pemecahan masalah secara efisien, dan untuk mempengaruhi para peserta agar mau mengubah sikap. Dalam suatu diskusi para pesertanya berpikir bersama dan mengungkapkan pikirannya, sehingga menimbulkan pengertian pada diri sendiri, pada pandangan peserta diskusi dan juga pada masalah yang didiskusikan. Diskusi dipakai sebagai forum untuk bertukar informasi, pendapat dan pengalaman dalam bentuk tanya- jawab yang teratur dengan tujuan mendapatkan pengertian yang lebih luas, kejelasan tentang suatu permasalahan dan untuk menentukan kebijakan dalam pengambilan keputusan.
Diskusi merupakan
saluran yang paling baik untuk menjaga kredibilitas pesan-pesan, menyediakan informasi, dan mengajarkan keterampilan yang kompleks yang membutuhkan komunikasi dua arah antara individu dengan seseorang sebagai sumber informasi yang terpercaya. Diskusi membutuhkan perencanaan dan persiapan, serta terdapat banyak cara untuk memicu dan mempersiapkan struktur yang akan membantu setiap
Universitas Sumatera Utara
orang untuk berpartisipasi. Diskusi dapat dipicu dengan menyajikan suatu pokok masalah, sebaiknya hal yang berkontrversial (Ewless, 1994). Menurut Liliweri (2007) penyuluhan kesehatan merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus, yang kemajuannya harus terus diamati terutama kepada mereka yang memberi penyuluhan. Pada umumnya kebutuhan akan penyuluhan kesehatan dideteksi oleh petugas kesehatan, untuk selanjutnya ditumbuhkan rasa membutuhkan pada orang yang menerima pesan. Tujuan pendidikan kesehatan dengan metode penyuluhan adalah meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan akan menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup mereka. Pada akhirnya yang menjadi tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku pasien dan meningkatnya kepatuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas hidup. Untuk meningkatkan pengetahuan dapat dilakukan perubahan dengan memberikan pendidikan kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tahapan yaitu: tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan penilaian kembali. Untuk dapat menjalani perilaku yang diinginkan seseorang harus melampui semua tahap tersebut. Enam tahap tersebut merupakan suatu proses yang memerlukan waktu, dan lama proses tersebut tidak sama untuk setiap orang.
Universitas Sumatera Utara
Untuk tercapainya proses tersebut harus terjadi perubahan sikap mengenai materi yang disuluhkan pada mereka. Mengubah sikap pekerja bukanlah pekerjaan mudah, bahkan lebih sulit dari pada meningkatkan pengetahuan. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus objek. Sikap sebenarnya merupakan bagian dari kepribadian. Berbeda dengan perangai yang juga merupakan bagian kepribadian, sikap adalah kecenderungan yang tertata untuk berpikir, merasa dan berperilaku terhadap suatu referen atau objek kognitif. Suatu sikap belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan yang nyata, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik terhadap keteraturan berolahraga, mungkin tidak dapat dijalankan perilaku tersebut karena keterbatasan waktu. Seorang pasien yang telah berniat untuk makan sesuai dengan rencana makan yang telah dibuatnya sendiri, kadangkadang keluar dari jalur tersebut karena situasi dirumah atau dikantor yang kurang mendukung. Bila semua perilaku positif telah dilaksanakan semuanya, tentunya orang tersebut dapat dimasukkan kedalam kelompok penerima pesan dengan kepatuhan tinggi, sehingga sebagai dampak kepatuhannya dapat terkendali. Apabila penerima pesan telah menjalankan perilaku yang diinginkan dan telah digolongkan didalam kelompok dengan kepatuhan tinggi, perilaku-perilaku tersebut harus dipertahankan. Tatap muka dengan penyuluhan tetap harus dilakukan secara teratur, walaupun frekuensinya dapat dikurangi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penyuluhan sebelum kegiatan dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan apa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penyuluhan tersebut, jadi disini harus jelas mengenai tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Pada tujuan umum biasanya yang menyangkut seluruh prioritas masalah yang akan dilakukan penyuluhan kesehatan. Sedangkan pada tujuan khusus disini merupakan uraian dari tujuan umum, ialah tujuan yang terkandung dalam setiap penyuluhan dan setiap masalah. Perumusan tujuan tersebut haruslah dalam bentuk tujuan perilaku atau behavioral objectives, yang memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003), yaitu : (1) tujuan tersebut harus dapat diukur (measurable), (2) tujuan tersebut harus dapat diamati (observable), dan (3) tujuan tersebut harus dapat dicapai (reachable) yang dimaksud adalah tujuan tersebut harus dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu. Pada penyuluhan yang menjadi target penyuluhan atau sasaran adalah selain penderita, juga keluarga maupun orang-orang disekitar penderita yang sering atau hampir setiap hari berhubungan dengan penderita. Dalam penyampaian penyuluhan perlu dilakukan dalam beberapa tahapan, misalnya dapat dibagi dalam beberapa kegiatan yang berkesinambungan, misalnya: a. Lokakarya mini: untuk menyiapkan tenaga penyuluh. b. Uji coba lapangan : mencoba ( try out) untuk metoda penyuluhannya. c. Pelaksanaan kegiatan : yang dapat meliputi pembuatan dan pemasangan poster, pembuatan leaflet/booklet serta siap dibagikan, wawancara, ceramah dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Sasaran langsung penyuluhan adalah masyarakat yang membutuhkan informasi tentang objek penyuluhan tetapi untuk mencapai program yang berdaya guna dan sekaligus berhasil guna, kita perlu menentukan sasaran tidak langsung yang terdiri dari petugas kesehatan dan berbagai komunitas dimana pasien berada di dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Menurut Mardikanto (2002), peran penyuluh diutamakan pada kewajiban menyampaikan inovasi dan mempengaruhi sasaran penyuluhan melalui metoda dan teknik tertentu sehingga mereka sadar dan mampu mengadopsi inovasi yang disampaikan. Liliweri (2002) menguraikan peran penyuluh sebagai berikut: menjadi penyampai inovasi, mempengaruhi keputusan sasaran, menjadi jembatan penghubung pemerintah dan lembaga penyuluhan dengan masyarakat, serta menggerakkan masyarakat untuk mau berubah. Mosher (2006)
menguraikan peran penyuluh, yaitu: sebagai guru,
penganalisa, penasehat, dan sebagai organisator sebagai pengembang kebutuhan perubahan, penggerak perubahan, dan pemantab hubungan dengan masyarakat. Kartasapoetra (2004) menjelaskan peran penyuluh yang sangat penting bagi terwujudnya pembangunan mental pekerja secara modern. Pembangunan modern yaitu pembangunan berbasis rakyat. Peran penyuluh tersebut adalah: (1) sebagai peneliti, mencari masukan terkait dengan ilmu dan teknologi, penyuluh menyampaikan, mendorong, mengarahkan, dan membimbing petani mengubah kegiatan usaha tani dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi. (2) sebagai pendidik, yang meningkatkan pengetahuan atau memberi informasi kepada petani,
Universitas Sumatera Utara
penyuluh harus menimbulkan semangat dan kegairahan kerjaagar dapat mengelola usahanya secara lebih efektif, efisien, dan ekonomis. (3) sebagai penyuluh, menimbulkan sikap keterbukaan bukan paksaan, penyuluh berperan serta dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup para pekerja beserta keluarganya. Dapat dilihat bahwa peran penyuluh sangat berat yang mengharuskannya memiliki kemampuan tinggi, oleh karena itu, kualitas diri penyuluh harus terus ditingkatkan sehingga selalu mampu berperan dalam memberikan penyuluhan dan mewujudkan pembangunan. Jarmie (2000) menjelaskan tentang peran penyuluh yang bervariasi dengan kadar penekanan yang berbeda, yaitu mulai dari motivator, edukator, penghubung, dinamisator, organisator, komunikator, sampai dengan penasehat. Kadar penerapan peran-peran tersebut tergantung pada ciri wilayah setempat,
yaitu
wilayah mulai menerima ide baru, wilayah sedang berkembang maju dan wilayah maju. Peran-peran tersebut selanjutnya akan dikaji dalam penelitian ini, dan digunakan sebagai variabel untuk mengetahui peran penyuluh saat ini. Sesuai dengan perubahan situasi, maka peran-peran tersebut ada yang mengalami pengurangan tetapi ada yang makin menguat, sesuai dengan paradigma pembangunan pertanian yang sesuai dengan sistem otonomi daerah.
2.2 Perilaku 2.2.1 Definisi Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang). Dalam memberikan respons sangat
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda (Niven, 2009). Perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat dilihat (overt) sedangkan perilaku pasif
tidaklah tampak, seperti
misalnya pengetahuan, persepsi atau motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku
kedalam tiga domain yaitu pengetahuan, sikap dan
tindakan atau sering kita dengar dengan istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004). 2.2.2 Domain Perilaku Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. (2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Bloom yang dikutip dalam Niven (2009) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia dalam 3 (tiga) domain, ranah, atau kawasan, yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Perilaku manusia dibagi atas Pengetahuan, Sikap dan Praktek/Tindakan. 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap sutu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni melalui mata dan telinga. Ada 6 tingkatan pengetahuan yang tercakup dalam ranah kognitif ini, yaitu: (1) Tahu (know), diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu; (2) Memahami (comprehension), artinya seseorang itu telah dapat mengenterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut; (3) Aplikasi (application), diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya pada situasi yang lain; (4) Analisis (analysis),adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/ atau memisahkan , kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui; (5) Sintesis (synthesis),
menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki; (6) Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2005). 2. Sikap Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Dengan kata lain sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005). Allport (dalam Hogg, 2004) mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecendrungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek (Baron, 2004). Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan: (1) Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dam memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). (2) Merespon (responding),
memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan,
dan
menyelesaikan tugasyang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. (3) Menghargai
(valuing),
mengajak
orang
lain
untuk
mengerjakan
atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap ketiga. (4) Bertanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Menurut Walgito (2002) yang dikutip oleh Sunaryo (2004) menyatakan sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorangmengenai objek atau situasi yang relatif, yang disertai adanya perasaantertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Menurut Gerungan dalam Sunaryo (2004) menyatakan attitude diartikan dengan sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandanganatau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek. Jenis sikap, yaitu: (a) Sikap positif, yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu beda; (b) Sikap negatif, menunjukkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda (Notoatmodjo, 2003). Setelah
seseorang
mengetahui
stimulus
atau
objek
kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui,
proses
selanjutnya
diharapkan
ia
akan
melaksanakan
atau
mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya /dinilai baik. Menurut Green (1980) dalam Noto Atmodjo (2010), kualitas hidup yang baik (quality of life) dapat dicapai melalui peningkatan derajat kesehatan, faktor perilaku
dan gaya hidup
(behaviour and lifestyle) serta lingkungan atau
environment. Faktor paling besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah faktor perilaku dan gaya hidup serta lingkungan. Faktor perilaku dan gaya hidup
Universitas Sumatera Utara
adalah suatu faktor yang timbul karena adanya aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungan nya. Faktor perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan pola kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan untuk mengikuti trend (Green, 1980). Perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain: (a) Faktor pemungkin (predisposing factor), adalah faktor pemicu terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalamnya ketrampilan petugas kesehatan, ketersediaan sumber daya dan komitmen pemerintah dan masyarakat terhadap masyarakat, (b) Faktor-faktor pemudah (reinforcing factor), adalah faktor pemicu yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku, misalnya pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai yang dimiliki seseorang, dan (c) Faktor penguat (enabling factor), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang dipercaya oleh masyarakat. Ketiga faktor ini
dipengaruhi oleh faktor penyuluhan (health
education) dan faktor kebijakan (policy), peraturan (regulation) serta organisasi (organization). Semua faktor-faktor tersebut merupakan ruang lingkup promosi kesehatan (Green, 1980) dalam Noto Atmodjo (2010). Anggota masyarakat yang memiliki potensi besar untuk mengubah sistem nilai dan norma adalah mereka yang disebut dengan pemuka masyarakat atau tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini terdiri atas dua kategori, yaitu tokoh masyarakat yang formal dan tokoh masyarakat yang informal. Tokoh masyarakat formal adalah orang yang memiliki posisi menentukan dalam sistem pemerintahan (disebut juga penentu kebijakan), seperti gubernur, bupati/walikota, anggota
Universitas Sumatera Utara
dewan perwakilan rakyat, dan lain-lain. Adapun tokoh masyarakat informal ada berbagai jenis, misalnya tokoh atau pemuka adat, tokoh atau pemuka agama, tokoh politik, tokoh pertanian, dan lain-lain. Pemuka atau tokoh adalah seseorang yang memiliki kelebihan di antara kelompoknya. Ia akan menjadi panutan bagi kelompoknya atau bagi masyarakat karena ia merupakan figur yang menonjol. Di samping itu, ia dapat mengubah sistem nilai dan norma masyarakat secara bertahap, dengan terlebih dulu mengubah sistem nilai dan norma yang berlaku dalam kelompoknya (Depkes RI, 2006). Kemampuan penting yang harus dikuasai dalam upaya mengatasi persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat, adalah: ketrampilan untuk mengatur suatu masyarakat dan ketrampilan untuk merencanakan sebuah program promosi kesehatan (McKenzie, 2007). 3. Tindakan (praktek) Praktik mempunyai beberapa tingkatan: (1) Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. (2) Respons terpimpin (guided response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indicator praktik tingkat dua. (3) Mekanisme (mecanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. (4) Adopsi (adoption), adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang mudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya. Sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Namun demikian didalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap. Tingkatan praktek yaitu (a)
Persepsi, yaitu
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat pertama, (b) Respon Terpimpin (Guided Respons), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh merupakan indikator praktek tingkat kedua, (c) Mekanisme (Mecanism), yaitu Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga, (d) Adaptasi (Adaptation), yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut (Niven, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Sementara secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon berbentuk dua macam, yakni: (1) Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, (2) bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung (Nasution, 2005).
2.3 Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri 4 unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup, perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit atau rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan
Universitas Sumatera Utara
dengan penyakit atau sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni : perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour), perilaku pencegahan penyakit (health preevention behaviour) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit,
perilaku
sehubungan dengan pencarian penngobatan (health seeking behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya), perilaku sehubungan dengan pemulihan kessehatan (health rehabilitation behaviour) (Notoatmodjo, 2007). Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respons seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita.Perilaku terhadap lingkungan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
(enviromental health behaviour) adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia (Notoatmodjo, 2007). Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Kwick dalam Hoog (2004) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. Didalam suatu pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan, dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan saraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energienergi didalam impuls-impuls saraf. Impuls-impuls saraf indera pendengaran, penglihatan, pembauan, pengecapan dan perabaan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls saraf ke susunan saraf pusat.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak dalam rangka mencapai suatu tujuan, juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakekatnya merupakan faktor keturunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan semua aspek tersebut diatas akan berkembang sesuai dengan hukum perkembangan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2, (Nasution, 2005) yakni: (1) Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu
Universitas Sumatera Utara
objek. (2) Faktor Ekstern Becker (1979) dalam Niven (2009) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) sebagai berikut : (a) Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. (b) Perilaku sakit (illness behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. (c) Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Sadli (2002) menggambarkan individu dengan lingkungan sosial yang saling mempengaruhi yaitu perilaku kesehatan individu dipengaruhi sikap dan kebiasaan individu yang erat kaitannya dengan lingkungan. Di dalam Lingkungan keluarga akan mencerminkan kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai kesehatan. Lingkungan terbatas akan mencerminkan tradisi, adatistiadat dan kepercayaan masyarakat sehubungan dengan kesehatan dan lingkungan umum akan mencerminkan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kesehatan,
undang-undang
kesehatan,
program-program
kesehatan,
dan
sebagainya. Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan atau norma-norma sosial tertentu maka perilaku tiap individu anggota kelompok
Universitas Sumatera Utara
berlangsung didalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap masalah-masalah kesehatan (Niven, 2009). Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai gangguan yang dialami dan merupakan bagian integral interaksi sosial pada umumnya. Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian, Nursalam (2006) yakni :
(1) Adanya suatu penilaian dari orang yang
bersangkutan terhadap suatu gangguan atau ancaman kesehatan. Selanjutnya gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga) dan mereka yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif. (2) Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut. Disadari bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Dari ancaman-ancaman ini akan
menimbulkan
bermacam-macam
bentuk
perilaku.
(3)
Penerapan
pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang dialaminya. Berbagai cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam gangguan maupun cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari berbagai bentuk perilaku. (4) Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan kecemasan atau gangguan tersebut. Didalam hal
Universitas Sumatera Utara
ini baik orang awam maupun tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu untuk mengaatasi gangguan kesehatan. Kepatuhan telah diteliti sejak tahun 1950. Kepatuhan merupakan isu yang penting dalam dunia kesehatan karena regimen layanan kesehatan tidak bernilai tanpa kepatuhan klien (Dracup & Meleis, 1982 dalam Kyngas, et al, 2000). Rendahnya tingkat kepatuhan akan berkontribusi terhadap penurunan efektifitas dan kemanfaatan regimen pengobatan serta peningkatan biaya pengobatan akibat implementasi regimen yang tidak sesuai atau tidak tepat. Ketidakpatuhan juga berpengaruh terhadap kesehatan dimasyarakat, misalnya jika pasien tuberculosis tidak mengikuti pengobatan yang harus diterima maka akan terjadi penularan kepada orang lain (Kyngas, et al, 2000). Banyak model teoriyang dapat digunakan untuk memahami, memprediksi dan memperbaiki tingkat kepatuhan seperti teori Health Belief Model, Teori Planned Behavior, dan Transteoritical Model.
Komponen yang terkandung
dalam model teori yang terkait dengan kepatuhan tersebut meliputi komunikasi profesi kesehatan-pasien, kognitif pasien dan prososial (kepercayaan, norma), dan sumber daya pasien (finansial,
psikologis
dan
dukungan
sosial)
(Robin, 2004). Pender (1996) menyatakan selain teori tersebut diatas terdapat model teori yaitu interaksi model bagi perilaku sehat klien ( The Interaction Model of Client Health Behavior/IMCHB) oleh Cox (1985). Model ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh factor intrinsic dan factor yang lain yang saling berinteraksi untuk menciptakan perilaku sehat klien yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
motivasi. Faktor intrinsic tersebut yaitu karakteristik demografi, pengaruh keadaansosial, pengalaman kesehata yang terdahulu, dan
sumber
daya
lingkungan. Dari elemen diri klien tersebut terdapat kategori sikap individu yang meliputi motivasi intrinsik, evaluasi kognitif, dan respon afektif. Kemudian faktor-faktor tersebut berinteraksi dengan elemen interaksi klien-profesi seperti dukungan afektif, informasi kesehatan, kontrol terhadap
keputusan, dan
kompetensi teknik/profesi. Hasil yang diharapkan dalam interaksi tersebut adalah pemanfaatan layanan kesehatan yang ada, indikasi klinis status kesehatan klien, tingkat keparahan masalah kesehatan yang terjadi, kepatuhan terhadap rekomendasi sesuai regimen yeng sedang dijalanka dan kepuasan dengan pelayanan yang ada. Thorne (1990) dalam Shay (2008) melakukanan alisis kepatuhan berdasarkan pandangan pasien dan ditemukan bahwa pasien menganggap ketidak patuhan sebagai kebingungan untuk mengikuti saran dari profesi kesehatan. Sementara Schaffer dan Yoon (2001) dalam Shay (2008) menggambarkan ketaatan sebagai interaksi hubungan pasien-klinisi kesehatan dan kepatuhan sebagai respon pasif akibat
hubungan otoritatif pasien-klinisi kesehatan. Istilah
pemeliharaan (maintenance) sering digunakan untuk mendeskripsikan ketaatan (adherence) terhadap perilaku sehat seperti tujuan menurunkan berat badan dan latihannya.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Tuberkulosis 2.4.1 Definisi Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis.Tuberkulosis paru disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa. Karakteristik kuman Mycobacterium tuberculosa adalah berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6/Um, tidak bergerak, gram negatif, dinding sel mengandung: lipid, fosfatida, polisakarida, pertumbuhan kuman lambat, tidak berspora, tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37 derajad celcius, sifat Basil Tahan Asam (BTA) karena mengandung asam lemak (lipid). Kuman tersebut berkembang biak dengan melakukan pembelahan diri, dari satu basil membelah menjadi dua dibutuhkan waktu 14-20 jam. Spesies lain kuman ini yang dapat memberikan infeksi pada manusia adalah Mycobacterium bovis, Mycobacterium kansasi, Mycobacterium intracellulare (WHO, 2003). Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi juga mengenai organ lain. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).Kuman TB ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab.Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Cara Penularan Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Depkes RI, 2002). Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Depkes RI, 2006). Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk
Universitas Sumatera Utara
sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC. Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebabkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat berinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Selama kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh yang lainnya. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dalam paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan sputum, makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan sputum negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh kosentrasi droplet per volume udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penularan lebih mudah terjadi pada kondisi seperti: Hunian padat (overcrowding), misalnya di tempat-tempat pengungsian, penjara dan rumah sakit. Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan (social deprivation), misalnya keadaan malnutrisi, pelayanan kesehatan yang buruk, dan tuna-wisma. Resiko pekerjaan misalnya petugas laboratorium dan pertambangan (Gerdunas TBC, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Gejala-gejala Tuberkulosis (TB) Gejala umum TB adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, dan rasa nyeri didada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Utama, 2002). 2.4.4 Penemuan Penderita Tuberkulosis (TB) Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan penderita tersangka dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan
kesehatan.Penemuan
secara
pasif
tersebut
didukung
dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding. Selain itu, semua kontak penderita TB BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat TB adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa tiga spesimen dahak dalam dua hari berturut-turut, yakni sewaktu/pagi/sewaktu (SPS) (WHO, 2006). 2.4.5 Diagnosa Tuberkulosis (TB) Diagnosa TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Diagnosa TB pada
Universitas Sumatera Utara
anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin (Crofton, 2002). 2.4.6 Imunisasi Pengontrolan TB yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TB. Vaksin TB, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M. Tuberkulosis strain Bacillus CalmetteGuerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TB pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri Mycobacterium Tuberkulosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak didalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh, oleh sebab itu vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0 – 2 bulan karena hasilnya memuaskan menjelang umur 2 bulan(WHO, 2006). Imunisasi TB ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TB. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70 – 80 %. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TB ini. Seandainya bayi yang telah mendapat imunisasi terjangkit penyakit TB, maka seseorang tersebut akan mendapat penyakit TB dalam kondisi ringan. Seseorang pun terhindar dari kemungkinan mendapat TB yang berat, seperti TB paru yang parah, TB tulang, atau TB selaput otak yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan membahayakan jiwa (WHO, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.4.7 Epidemiologi Infeksi Tuberkulosis (TB) Disamping transmisi oleh susu dari sapi terinfeksi, yang sekarang sebagian besar dikendalikan dibanyak negara dengan pasteurisasi dan pemusnahan besarbesaran binatang terinfeksi. TB manusia juga menyebar dari orang ke orang melalui droplet. Ada banyak faktor yang menentukan prevalensi penyakit, seperti keluarga besar, malnutrisi dan sebagainya (Dick, 1995). Migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TB. Di Amerika serikat, hampir 40 % dari penderita TB adalah orang yang lahir diluar negeri. Mereka imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TB. Begitu juga dengan meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak sehat sehingga memudahkan penyebaran TB. Diperkirakan sebanyak 50 % dari pengungsi di Dunia berpeluang terinfeksi TB (Utama, 2002). Lebih dari 900 juta wanita di seluruh Dunia tertular oleh kuman TB. Satu juta diantaranya meninggal dunia dan 2,5 juta akan segera menderita penyakit tersebut pada tahun ini, perempuan yang menderita TB ini berusia antara 15 – 44 tahun. TB merupakan penyakit pembunuh yang paling mematikan bagi perempuan usia muda. TB memiliki andil sekitar 9 % dari kematian berusia antara 15 – 44 tahun, dibandingkan penyebab kematian lainnya (akibat perang : 4 %, HIV : 3 % dan penyakit jantung : 3 %). Perempuan dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TB dan lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TB dibandingkan pria dari kelompok usia yang sama. Wanita pada kelompok usia reproduksi juga berisiko lebih tinggi terhadap penularan HIV. Di bagian negara Afrika, jumlah perempuan yang terjangkit TB lebih besar dibandingkan jumlah penderita pria
Universitas Sumatera Utara
sehingga TB menyebabkan jumlah kematian lebih besar bagi wanita dibandingkan kematian akibat melahirkan Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 % dari kasus TB di Dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Dua diantara tiga negara dengan jumlah penderita TB terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia. Indonesia berada di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina diperingkat ketiga. Kita harus sadari kembali bahwa TB adalah penyakit yang sangat perlu mendapatkan perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri Mycobacterium Tuberkulosis sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TB batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara. Satu penderita bisa menyebabkan bakteri TB ke 10 – 15 orang dalam satu tahun (Utama, 2002). Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of TB Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 atau 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1.000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi akan menjadi penderita TB. Dari keterang diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 % maka diantara 100.000 penduduk rata–rata menjadi 100 penderita Tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.
Universitas Sumatera Utara
2.4.8 Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002) Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari. Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short-course(DOTS) adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyambuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006) Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu: (WHO, 2000), (a) komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c),
Universitas Sumatera Utara
kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat). WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaanOAT-FDC
dapat
menyederhanakan
proses
pengobatan,
meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO, 2003).
2.5 Prinsip Penanggulangan TB Paru di Tempat Kerja Beberapa keuntungan penanggulangan TB di tempat kerja adalah pekerja berkumpul secara reguler pada waktu yang pasti, system komunikasi relatif mudah dan pada beberapa tempat kerja memiliki sistem pelayanan dan fasilitas kesehatan kerja, sehingga dapat digunakan untuk keperluan pencegahan, penanganan pasien dan dukungan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan memiliki kemampuan manajemen untuk menyukseskan kegiatan Penanggulangan TB, karena perusahaan mempunyai kemampuan dalam proses analisa dan manajemen proyek, kemampuan di bidang pengadaan dan halhal yang terkait dengan masalah kebutuhan dan suplai (supply and demand), serta dalam mencapai hasil (target). Pendekatan yang sama dalam menjalankan inisiatif usaha akan memungkinkan untuk menjalankan program DOTS di tempat kerja, yang diharapkan juga akan mendapatkan hasil yang optimal, melalui kapasitas ketenagaan yang tepat, pendanaan, dan dukungan manajerial. Monitoring program juga akan dapat dilaksanakan, sejalan dengan praktik perusahaan seperti review triwulan kemajuan usaha. Dalam penerapan TB di tempat kerja, penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip
yang
dapat
dijadikan
pedoman
oleh
stakeholder
pada
penanggulangan TB di tempat kerja, khususnya tenaga kesehatan yang akan terlibat langsung. Selalu berpihak pada hak pasien Menjaga kerahasiaan kondisi medis dan catatan medik sangat krusial untuk menjamin kepercayaan diri tenaga kerja percaya diri untuk mengobati penyakitnya. Lemahnya kepercayaan dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosa dan pengobatan pasien TB Kerahasiaan artinya bahwa hanya staf medis yang langsung yang menangani pasien
tersebut
mengetahui
status
medis
pasien
dan
dapat
mengakses/berhubungan dengan catatan medik tersebut. Staf medis tidak boleh menyebarluaskan status medis pasien kepada pekerja lainnya atau ke pihak manajemen yang 'belum paham DOTS'. Dia hanya dapat memberikan petunjuk kepada staf manajemen pada saat-saat pasien tersebut
Universitas Sumatera Utara
memerlukan waktu istirahat dan juga apabila memerlukan perubahan beban kerja dan tanggungjawab akibat perubahan status kesehatannya. Pilihan-pilihan harus ditawarkan dalam rangka pengawasan langsung pengobatan/DOT (baik pada pasien yang dirawat maupun rawat jalan) karena merupakan hak pasien. Memberikan manfaat kesejahteraan sosial bagi pasien dan keluarganya jaminan kesejahteraan sosial bagi pasien dan keluarga akan membantu pasien menyelesaikan pengobatan. Keuntungan kesejahteraan dapat berupa pemberian OAT dan pelayanan cuma-cuma, pemberian gaji tetap selama pengobatan (bila mungkin pemberian konpensasi atas hilangnya pendapatan), bebas biaya transport ke UPK, dan pemberian makanan tambahan. Yang paling penting dalam memotivasi pasien untuk berobat teratur dan tuntas, adalah adanya dukungan sosial yang disesuaikan dengan pemberian pelayanan dan lama pengobatan. Membantu pasien TB menyesuaikan beban kerja/tugas dengan kondisi kesehatannya, terutama untuk kurang lebih 2-4 minggu awal pengobatan. Pada umumnya pasien TB setelah menjalani pengobatan yang tepat dan teratur selama 2-4 minggu pertama pesien tersebut sudah tidak menularkan lagi ke orang lain walaupun masih dalam masa pengobatan. Melalui observasi medis perkembangan pasien, jika diperlukan dapat dilakukan penyesuaian beban kerja dan perubahan tugas-tugas sampai kesegarannya pulih.
Untuk menjamin keberhasilan
pengobatan diperlukan seorang pengawas menelan OAT (PMO). Memberikan perlindungan kepada orang lain yang berada di tempat kerja untuk tidak tertular
Universitas Sumatera Utara
oleh pasien TB di tempat kerja. Sedangkan penyebaran TB Paru di dalam maupun di luar penjara dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Penyebaran Tuberkulosis Paru di dalam dan luar Penjara Sejalan dengan prinsip perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), maka setiap orang yang berada di tempat kerja mempunyai hak untuk tidak tertular TB di tempat kerja. Yang dimaksud orang lain dalam hal ini adalah orang
Universitas Sumatera Utara
selain tenaga kerja dan pihak manajemen yang berada di tempat kerja untuk kepentingan tertentu, seperti supplier, tenaga magang, tamu, dan sebagainya. Menggunakan kampanye penyuluhan untuk mengurangi stigma. Kampanye penyuluhan kesehatan yang efektif ditujukan untuk mengatasi sikap dan pengetahuan yang salah terhadap pasien TB. TB secara tradisional dipandang sebagai penyakit mematikan untuk orang miskin dan stigma social yang kuat yang diakibatkan akan menyulitkan pasien TB untuk memeriksakan dan mencari pengobatan. Sebagai contoh penyuluhan kesehatan harus diarahkan bahwa TB bukan penyakit kutukan atau keturunan tetapi disebabkan karena kuman yang dapat menyerang semua golongan masyarakat. dan sebagian besar pasien TB tidak menular lagi setelah berobat selama 2-4 minggu (Depkes RI, 2003). Mengembangkan dan menerapkan kebijakan manajemen yang jelas. Kebijakan kerahasiaan bagi para pekerja, diskriminasi, jangka waktu istirahat pada awal masa pengobatan, penyesuaian pekerjaan apabila dianggap perlu harus dijelaskan secara rinci dan dibuat mudah dalam penerapannya. Kebijakan tersebut di atas harus dijelaskan kepada pekerja yang sakit TB segera setelah pekerja terdiagnosa sebagai pasien TB. Untuk menjamin terlaksananya kebijakan tersebut, ada baiknya dimuat dalam perjanjian kerja bersama (PKB) yang akan mengikat kedua pihak. Menerapkan pengawasan lingkungan fisik. Pengawasan lingkungan fisik berkaitan dengan TB ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penularan TB melalui udara dari pasien kepada tenaga kerja lainnya.
Penularan TB
sebagian besar melalui udara
Universitas Sumatera Utara
(airborne transmission). Kondisi lingkungan fisik yang buruk meningkatkan risiko terjadinya penularan TB misalnya, rauangan yang ventilasinya kurang. Pengendalian lingkungan fisik di tempat kerja merupakan cara yang efektif dalam mengendalikan penyebaran TB . Dengan aliran udara segar yang cukup ke dalam ruangan tempat kerja. akan meminimalisir konsentrasi droplet nuclei infeksius dalam udara lingkungan kerja. Program penanggulangan TB di tempat kerja merupakan bagian dari program TB nasional seperti halnya pada unit pelayanan kesehatan lainnya. Oleh karena itu kolaborasi antara Dinas kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan serikat pekerja/buruh, asosiasi pengusaha serta pihak-pihak yang terkait lainnya sangat diperlukan. Kemitraan dilakukan sejak persiapan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi, mengingat antara lain: 1) beban masalah TB
yang
tinggi, 2) keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah, 3) potensi yang dimiliki oleh sektor non pemerintah, 4) untuk menjamin keberlanjutan program, dan 5). Akuntabilitas dan transparansi (Depkes RI, 2006),
2.6 Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara 2.6.1 Definisi Lembaga Pemasyarakatan adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayananan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu (dilaksanakan bersamasama dengan semua aparat penegak hukum) dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat
yang baik
(Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Lembaga pemasyarakatan selanjutnya disebut Lapas Kelas I
adalah
sebagai unit pelaksana tehnis pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana (Pasal 1 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Rumah Tahanan Negara, selanjutnya disebut Rutan adalah unit pelaksana teknis tempat tersangka dan terdakwa ditahan selama proses penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan (Dephumkam RI, 2007). Narapidana adalah orang yang dihilangkan kebebasan pribadinya akibat dari hukuman atas kejahatan yang dilakukannya. Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama Lembaga Pemasyarakatan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1964 yang merupakan perubahan dari sitem kepenjaraan. Dengan system ini maka pelaku tindakan pidana tidak hanya dihukum tetapi juga diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan agar berguna bagi masyarakat (Dephumkam RI, 2007). 2.6.2
Strategi Utama Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru di Lapas Kelas I/Rutan Dalam buku PedomanPerencanaan strategik penanggulangan TB Paru
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2007 memberikan beberapa strategi penanggulangan TB Paru di Lapas Kelas I sebagai berikut: a. Membangun hubungan yang harmonis antara pemerintah, instansi terkait, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik dalam maupun luar negeri, organisasi profesi, masyarakat, serta melibatkan keluarganya. b. Menerapkan prosedur kewaspadaan atau pencegahan universal dalam setiap tindakan medis di Lapas Kelas I /Rutan.
Universitas Sumatera Utara
c. Menggali dan mendayagunakan sumber dana dari berbagai pihak yang peduli terhadap penanggulangan TB Paru dan penyalahgunaan narkoba di Lapas Kelas I /Rutan baik dari pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, masyarakat, swasta maupun bantuan lain dari luar negeri. d. Monitoring dan evalusi program dilakukan secara berkala dan terintegrasi dengan menggunakan indikator-indikator pencapaian dalam periode tahunan maupun lima tahunan. e. Meningkatkan kemampuan petugas pemasyarakatan melalui berbagai pelatihan dibidang penyalahgunaan TB Paru dan penyalahgunaan narkoba (Dep Hukum dan HAM, RI,2005). WHO telah membuat suatu pedoman untuk TB Paru di Lapas Kelas I yang memuat strategi komprehensif untuk tes, pencegahan dan perawatan di Lapas Kelas I. Pedoman ini memperhatikan hak-hak azasi manusia dan pemahaman akan prinsip perubahan perilaku dan intervensi perawatan yang telah diterapkan di banyak negara dan menunjukkan keberhasilan. Walaupun pedoman ini memuat praktek yang terbaik, tetapi dalam penerapan haruslah realistik dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Tidak semua yang ada dalam pedoman dapat diterapkan sama disemua Lapas Kelas I . Program Penanggulangan TB Paru di Lapas dan Rutan Kelas I merupakan bagian dalam Program Nasional TB yang terintegrasi dengan pelayanan kesehatan di Lapas dan Rutan Kelas I di awali dengan adanya kesepahaman antara Ditjen Pemasyarakatan yang bertanggungjawab terhadap pelayanan kesehatan di Lapas Kelas I dan Rutan dan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
yang bertanggung jawab terhadap program TB Nasional.
Penanggulangan TB
Paru di Lapas Kelas I dan Rutan harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi untuk meningkatkan kesehatan di dalam dan di luar Lapas dan Rutan Kelas I yang pelaksanaannya berkoordinasi dengan program AIDS di Lapas Kelas I dan Rutan dan program-program kesehatan yang lainnya (Pedoman Pemberantasan TB Paru di Lapas Kelas I , 2007). Adapun struktur organisasi program Penanggulangan TB Paru di Lapas dan Rutan, seperti pada Gambar 2.2 berkut ini:
Gambar 2.2. Struktur Organisasi Program Penanggulangan TB Paru di Lapas dan Rutan Sumber: Pedoman Pemberantasan TB Paru di Lapas Kelas I , 2007
Universitas Sumatera Utara
Strategi yang efektif yang dapat digunakan dalam mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan TB Strategi DOTS dengan setting Lapas Kelas I dan Rutan di Indonesia dengan melakukan pemantauan dan evaluasi yang baik dan terus-menerus untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas sehingga dapat diambil tindakan perbaikan yang lebih tepat dan nyata di masa mendatang. Strategi penanggulangan TB paru di Lapas, yaitu: 1. Membangun komitmen dari semua stakeholder yang terlibat dalam program penangulangan TB Paru di Lapas Kelas I dan Rutan 2. Membangun kapasitas sumber daya 3. Membangun jejaring pelaksanaan penanggulangan TB Strategi DOTS di Lapas Kelas I dan Rutan dengan pihak yang terkait dalam hal:Penemuan kasus TB,
Tatalaksana kasus TB, meningkatkan kualitas pemeriksaan
laboratorium, menjamin ketersediaan logistik, mengembangkan sistem informasi surveilans, dan kegiatan monitoring dan evaluasi 4. Meningkatkan promosi kesehatan di lingkungan Lapas dan Rutan Kelas I 5. 5. Melakukan kolaborasi program TB/HIV. 6. Mengembangkan upaya pengendalian penularan TB Paru di Lapas dan Rutan Kelas I 7. Mobilisasi pendanaan dari berbagai sektor untuk menunjang kegiatan penanggulangan TB Paru di Lapas dan Rutan Kelas I. Strategi program juga dilakukan dengan kegiatan pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB Paru di Lapas Kelas I dan Rutan. Pemantauan dilakukan secara
Universitas Sumatera Utara
berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi jika ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah dilaksanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak waktu (interval) biasanya 3 bulan, 6 bulanan, tahunan. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program. Pada prinsipnya semua kegiatan program TB Paru di Lapas Kelas I dan Rutan harus dipantau dan dievaluasi antara lain kegiatan dalam membangun komitmen, kapasitas sumber daya, jejaring pelaksanaan, penemuan kasus TB, tatalaksana kasus TB, kualitas laboratorium, surveilans, promosi kesehatan, pengendalian penularan TB, TB/HIV dan pendanaan. Seluruh kegiatan tersebut harus dipantau baik dari aspek masukan (input), proses maupun keluaran (output)
2.7 Landasan Teori Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan, maka kegiatannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan perilaku tersebut. Dengan perkataan lain, kegiatan promosi kesehatan harus sesuai dengan determinan (faktor yang mempengaruhi perilaku ini sendiri). Menurut Lawrence Green (2005) bahwa pembentukan perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: (1) Factor Predisposing adalah faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya, (2) Enabling factors (faktor pemungkin) yang merupakan faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau
Universitas Sumatera Utara
tindakan, yang terdiri dari sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya, dan (3) Reinforcing factor (faktor penguat) adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, arti adanya faktor yang mendorong individu untuk melakukan perubahan terhadap perilakunya, antara lain seperti peran tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan adanya kebijakan/regulasi/peraturan yang menekankan kewajiban untuk adanya perubahan perilaku tersebut. Perubahan perilaku pencegahan dan pengobatan TB paru pada narapidana, juga sangat didukung oleh manajemen Lapas/Rutan khususnya pendidikan kesehatan bagi penghuni Lapas/Rutan, yang diformulasikan dalam promosi kesehatan. Secara skematis menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara determinan perilaku kesehatan dengan promosi kesehatan, seperti pada Gambar 2.3 berikut ini: Hubungan Promosi Kesehatan dengan Determinan Perilaku Phase 4 Administration& Policy Assesment and Intervention Aligmentt
Phase 3 Educational & Ecological Assesment
Phase 7 Epidemiological Assesment
Predisposising
Phase 1 Social Assesment
Genetic
HEALTH PROGRAM
Educational Strategies
Policy Regulation Organization
Phase 5 Implementation
Reinforcing
Behaviour
Quality of Life Health
Enabling Phase 6 Process Evaluation
Environment
Phase 7 Impact Evaluation
Phase 8 Process Evaluation
Sumber : Lawrence Green (2005) dalam Noto Atmojo 2010
Universitas Sumatera Utara
2.8 Kerangka Teori Berdasarkan landasan teori maka kerangka teori penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: Model Pelayanan Kesehatan (Preventif (penyuluhan: materi, metode, cara), dan kuratif (ketersediaan dan kontinuitas pengobatan)
Kelompok Intervensi
Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Kelompok Kontrol
1. Predisposing Factor; 2. Enabling factor;
Pemberian Promosi Kesehatan
3. Reinforcing factor
Intervensi Psikologi Klinik
Sikap
Menerima Merespon Menghargai Bertanggungjawab
Proses perubahan perilaku - Awarness - Interest - Evaluation - Trial - Adoption
Pengetahuan
6 tingkatan kognitif: memahami, aplikasi,analisis, sintesis,evaluasi
Tindakan
Persepsi Respon terpimpin Mekanisme Adopsi
Peningkatan penerimaan Narapidana
Stigma yang terjadi di narapidana
Gambar 2.4 Kerangka Teori Perubahan Perilaku Sumber : L. Green (2005) dan Roger (2003) dalam Noto Atmodjo (2010).
Universitas Sumatera Utara
2.9 Alur Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka teori dan tujuan penelitian seperti tersebut di atas maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Promosi Kesehatan (Intervensi) 1. Empowerment 2. Social support 3. Advocacy
Perilaku Pencegahan TB Paru 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan
Perilaku Pengobatan TB Paru 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Kepatuhan Karakteristik: 1. Umur 2. Pendidikan 3. Status Perkawinan 4. Pekerjaan sebelum di Lapas/Rutan
Gambar 2.5. Alur Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
2.10 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori dan tujuan penelitian seperti tersebut di atas maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
1. 2. 3. 4.
Umur Pendidikan Status perkawinan Pekerjaan sebelum di Lapas/Rutan
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian Dalam penelitian ini maka narapidana dibagi dalam dua kelompok yaitu narapidana sehat sebagai sampel penelitian pencegahan TB Paru, dan narapidana sakit sebagai sampel penelitian pengobatan TB Paru. Masing-masing kelompok sampel mewakili populasi dari Lapas Kelas I Medan dan Rutan Kelas I Medan. Kemudian dilakukan pengukuran awal dengan menggunakan instrumen penelitian
Universitas Sumatera Utara
yang telah dipersiapkan mengenai pengetahuan, sikap dan tindakan narapidana terhadap pencegahan ataupun pengobatan TB Paru, baik pada sampel di Lapas dan Rutan Kelas I Medan. Setelah hasil pengukuran awal diperoleh maka dilakukan intervensi promosi kesehatan dengan model yang efektif dan efisien, intervensi hanya dilakukan pada sampel di Lapas kelas I Medan. Setelah pelaksanaan
intervensi
maka
dilakukan
kembali
pengukuran
terhadap
pengetahuan, sikap dan tindakan responden (pengukuran akhir).
Universitas Sumatera Utara