BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut.5 Infeksi adalah masuk dan berkembangbiaknya agent infeksi pada jaringan tubuh manusia yang berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis.16 Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.5 Menurut Alsagaff dkk, ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru.17
2.2. Klasifikasi ISPA18 2.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada telinga tengah), dan faringitis (infeksi pada tenggorokan).
Universitas Sumatera Utara
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Gambar 2.2.1. Anatomi Saluran Pernafasan Berdasarkan Lokasi Anatomi18 2.2.2. Klasifikasi ISPA Pada Batita19 a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan. b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
Universitas Sumatera Utara
c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa penarikan dinding dada. Pernafasan cepat adalah 40 kali per menit atau lebih pada usia 12 bulan hingga 5 tahun. d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
2.3. Etiologi ISPA Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus, Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium. 5 Virus penyebab ISPA antara lain grup Mixovirus (virus influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus), Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus, Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergillus sp, Candidia albicans, Blastomyces
dermatitidis,
Histoplasma
capsulatum,
Coccidioides
immitis,
Cryptococcus neoformans.20 Selain itu juga ISPA dapat disebabkan oleh karena inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan amonium pada saat lahir.21
Universitas Sumatera Utara
2.4. Gejala ISPA19 Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam. 2.4.1. Gejala dari ISPA Ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a. Batuk b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis) c. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C 2.4.2. Gejala dari ISPA Sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a. Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun : frekuensi nafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 - < 12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun b. Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer) c. Tenggorokan berwarna merah d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
Universitas Sumatera Utara
f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur) 2.4.3 Gejala dari ISPA Berat Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a. Bibir atau kulit membiru b. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun c. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah d. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas e. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba f. Tenggorokan berwarna merah
2.5. Cara Penularan Penyakit ISPA5,22 Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab. Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya
Universitas Sumatera Utara
sebagian daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada dua, yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil sebagai sisa droplet yang mengering. Pembentukannya dapat melalui berbagai cara, antara lain dengan melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau yang dibersinkan ke udara. Droplet nuclei juga dapat terbentuk dari aerolisasi materi-materi penyebab infeksi di dalam laboratorium. Karena ukurannya yang sangat kecil, bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu yang cukup lama dan dapat diisap pada waktu bernafas dan masuk ke alat pernafasan. Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi partikel yang menempel di lantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama debu lantai/tanah.
2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit ISPA serta faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya. 2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan tubuh anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat.18 Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali penyakit ISPA.11
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebeb kematian pada kelompok bayi dan balita. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi adalah 27,6% sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,8%.23 Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa jumlah angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama kurun waktu 2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berflutuasi. Pada tahun 2000 terdapat 479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan pada tahun 2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%).24 2.6.2. Determinan Penyakit ISPA a. Faktor Agent (Bibit Penyakit) Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.5 ISPA juga dapat disebabkan oleh karena jamur19 dan inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah, dan cairan amonium pada saat lahir.21 b. Faktor Host (Pejamu) b.1. Umur Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan
Universitas Sumatera Utara
memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.17 Data SKRT tahun 1991 sampai 2002 menunjukkan kelompok umur dengan prevalensi kematian ISPA tertinggi di Indonesia ada pada kelompok umur bayi dan balita yaitu tahun 1991 umur 12 - 23 bulan (9,8%), tahun 1994 umur 6 - 35 bulan (10%), tahun 1997 umur 6 - 11 bulan (10%), tahun 2002 umur 6 - 23 tahun (8%).23 Berdasarkan hasil penelitian Mairusnita pada balita yang Berobat ke Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD) Kota Langsa Tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita ISPA terbesar pada kelompok umur 2 - 59 bulan yaitu 86,4% sementara kelompok umur dibawah 2 bulan yaitu 13,6%.25 b.2. Jenis Kelamin Berdasarkan
Pedoman
Rencana
Kerja
Jangka
Menengah
Nasional
Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009 menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.26 Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005, menunjukkan bahwa proporsi ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki (43,3%) lebih tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan (33,7%), tetapi secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan Lhok Bengkuang.27
Universitas Sumatera Utara
b.3. Status Gizi Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Batita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih lama.28 Hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p = 0,017. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita dengan status gizi kurang dibanding dengan anak balita dengan ststus gizi baik adalah 1,438 (95% CI: 1,134-1,827). Artinya balita yang mempunyai status gizi kurang merupakan faktor risiko terjadinya ISPaA.29
Universitas Sumatera Utara
b.4. Berat Bayi Lahir Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang 2.500 gram.30 Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.28 Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.30 Berdasarkan hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan proporsi bayi BBLR yang mengalami ISPA (64,3%) lebih tinggi dari pada proporsi BBLR yang tidak mengalami ISPA (35,7%). Hasil statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA dengan BBLR dengan nilai p = 0,009. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada BBLR dibanding dengan BBLN adalah 2,5 (95% CI: 1,238-5,012). Artinya BBLR merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.31 b.5. Status ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan.
Universitas Sumatera Utara
ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa mamberikan makanan/cairan lain.32 Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.33 Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah terserang penyakit infeksi.32 Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p = 0,000. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI Eksklusif adalah 2,698 (95% CI: 1,328-5,478). Artinya tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya ISPaA.34
Universitas Sumatera Utara
b.6. Status Imunisasi Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi. Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.35 Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi Campak dan DPT.28 Hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai p = 0,027 dan Ratio Prevalens 1,8 (95% CI: 1,068-3,168). Artinya bayi dengan status imunisasi tidak lengkap merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.31
Universitas Sumatera Utara
c. Faktor Lingkungan (Environment) c.1. Ventilasi Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia.5 Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.36 Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.37 Berdasarkan hasil penelitian Sulistyowati di Kabupaten Trenggalek tahun 2010 didapatkan bahwa proporsi anak balita penderita pneumonia yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 57,8%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia dengan ventilasi (p = 0,042). Nilai OR 1,9 (95% CI: 1,0-3,4), artinya anak balita kemungkinan menderita pneumonia 1,9 kali pada balita yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.38 c.2. Kepadatan Hunian Ruang Tidur Berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.37 Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
Universitas Sumatera Utara
mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.39 Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak peningkatan karbon dioksida dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.37 Hasil penelitian Gulo di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun 2009 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya tergolong padat menderita ISPA sebesar 88,9%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kapadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,037. Nilai Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya tergolong padat dibanding dengan balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya tergolong tidak padat adalah 1,189. Artinya hunian rumah yang tergolong padat merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.40 c.3. Pemakaian Anti Nyamuk Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menurunkan kualitas udara dalam ruangan sehingga menyebabkan gangguan
Universitas Sumatera Utara
saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paruparu sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.41 Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang menggunakan obat nyamuk menderita ISPA sebanyak 48 orang (73,8%) sedangakan balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 17 orang (27,2%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,010. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang menggunakan obat nyamuk dibanding dengan balita yang tidak menggunakan obat nyamuk adalah 1,8. Artinya penggunaan obat nyamuk merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.42 c.4. Keberadaan Perokok Paparan asap rokok merupakan penyebab signifikan masalah kesehatan seperti pernafasan akut infeksi (ISPA) pada anak. 43 Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas carbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia, acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor peryline dan lainnya.5 Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p = 0,001. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita yang memiliki anggota keluarga perokok dibanding dengan anak balita yang tidak
Universitas Sumatera Utara
memiliki anggota keluarga perokok adalah 3,211 (95% CI: 1,154-8,932). Artinya keberadaan anggota keluarga perokok merupakan faktor risiko terjadinya ISPaA.34 Berdasarkan hasil penelitian Mukono di Puskesmas Pati I tahun 2006 dengan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,000 dan OR 4,63 (95% CI: 2,04-10,52). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita. OR 4,63 artinya anak balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang merokok kemungkinan untuk menderita ISPA 4,65 kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang tidak merokok. 44 c.5. Bahan Bakar Untuk Memasak Pencemaran udara di dalam rumah banyak terjadi di negara-negara berkembang. Diperkirakan setengah dari rumah tangga di dunia memasak dengan bahan bakar yang belum diproses seperti kayu, sisa tanaman dan batubara sehingga akan melepaskan emisi sisa pembakaran di dalam ruangan tersebut.44 Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO).5 Tingkat polusi yang dihasilkan bahan bakar menggunakan kayu jauh lebih tinggi
dibandingkan
bahan
bakar
menggunakan
gas.
Sejumlah
penelitian
menunjukkan paparan polusi dalam ruangan meningkatkan risiko kejadian ISPA pada anak-anak.45 Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bahan bakar kayu menderita ISPA sebanyak 39 orang (81,25%), sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 9 orang (19,75%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p = 0,001. Nilai Ratio Prevalens kejadian ISPA pada balita yang menggunakan bahan bakar kayu dibanding dengan balita yang menggunakan bahan bakar minyak/gas adalah 1,715. Artinya penggunaan bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.42
2.7. Pencegahan Penyakit ISPA 2.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention) Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus (specific protection) terhadap penyakit tertentu.22 Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan primer yaitu: a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor risiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok. b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan (insiden) pneumonia. c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A. d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat lahir rendah.
Universitas Sumatera Utara
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.45 2.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan untuk kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu : a. Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3 - 5 hari), pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hatihati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari. b. Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari. c. Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari. d. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.
Universitas Sumatera Utara
e. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.19 2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah parah dan mengakibatkan kematian. a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus. b. Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzilpenisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi. c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.18
Universitas Sumatera Utara