11
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kematian Ibu 2.1.1. Defenisi Kematian Ibu Menurut International Statistical Classification of Disease,Injuries and Causes of Death, Edisi X (ICD-X, WHO), kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi selama kehamilan, sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa memperhatikan lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh atau dipicu oleh kehamilannya, atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan karena kecelakaan (Syafrudin dan Hamidah, 2009). 2.1.2. Klassifikasi Kematian Ibu Menurut ICD-X, WHO tersebut kematian ibu dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Direct obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh komplikasi obstetri pada masa hamil, bersalin, dan nifas atau kematian yang disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang terjadi akibat tindakan tersebut yang dilakukan selama hamil, bersalin, dan nifas. 2. Indirect obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit, bukan komplikasi obstetri, berkembang atau bertambah berat akibat kehamilan atau persalinan.
11
12
Prawirohardjo (2011) membedakan kematian ibu atas : 1. Kematian langsung, yaitu kematian yang terjadi sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, nifas dan segala intervensi atau penanganan yang tidak tepat dari komplikasi tersebut. 2. Kematian tidak langsung, yaitu kematian yang merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, tuberculosis, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskuler.
Secara global 80% kematian ibu tergolong kematian ibu langsung. Penyebab langsung ini umumnya disebabkan oleh perdarahan, HDK, sepsis, partus macet, komplikasi aborsi tidak aman, dan sebab-sebab lain. 2.1.3. Angka Kematian Ibu (AKI) Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu adalah AKI atau Maternal Mortality Ratio (MMR). Defenisi AKI adalah jumlah ibu yang meninggal selama kehamilan, bersalin dan nifas yang dikarenakan oleh faktor kehamilannya per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2010). Angka ini mencerminkan risiko obstetri yang dihadapi seorang ibu sewaktu dia hamil. Jika ibu hamil beberapa kali maka risikonya meningkat, dan digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang hidupnya, yaitu probabilitas menjadi hamil dan probabilitas kematian karena kehamilan sepanjang masa reproduksi. Selain hal tersebut di atas, AKI juga mencerminkan keberhasilan pembangunan kesehatan suatu negara, merefleksikan status kesehatan ibu selama hamil dan nifas, kualitas pelayanan kesehatan serta kondisi lingkungan sosial dan ekonomi (Kemenkes, 2010).
13
2.2. Epidemiologi Kematian Ibu Setiap tiga menit, dimanapun di Indonesia, satu anak balita meninggal dunia. Selain itu setiap jam, satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan (UNICEF, 2012). Tahun 2010, sekitar 800 wanita meninggal setiap harinya dengan penyebab yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, hampir semua kematian (99%) terjadi di negara berkembang, dimana mortalitas yang lebih tinggi di area pedesaan, komunitas miskin dan berpendidikan rendah. Setengah dari kematian ibu terjadi di sub-Sahara Afrika dan sepertiga lainnya di Asia Selatan. Negara maju melaporkan 16 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dan negara berkembang melaporkan 240 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2012). Data tren AKI dari tahun 1990-2012 menunjukkan Indonesia masuk dalam daftar AKI tertinggi diantara beberapa negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam, dan Myanmar. Lebih dari 9.500 ibu di Indonesia meninggal setiap tahun, sebagai perbandingan, kematian ibu di Filipina sekitar 1.900, di Thailand sekitar 420, dan di Malaysia hanya sekitar 240 setiap tahunnya (Kemenkes, 2012). Data WHO (2014) mengenai AKI negara-negara ASEAN tahun 2010, menunjukkan AKI Indonesia (228 per 100.000 kelahiran hidup) jauh di atas AKI negara-negara ASEAN, dimana Malaysia 29 per 100.000 kelahiran hidup, Philipina 99 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 48 per 100.000 hidup, Brunei 24 per 100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 3 per 100.000 kelahiran hidup.
14
Secara global, lima penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan,HDK, infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia telah didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, HDK, dan infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ini telah berubah dimana perdarahan dan infeksi semakin menurun, sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat, hampir 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh HDK, sementara di dunia didominasi oleh perdarahan (Kemenkes, 2012). Masalah KIA di negara berkembang, seperti Indonesia antara lain adalah sebagian besar kematian terjadi di rumah, sebagian besar (60%) kematian ibu terjadi setelah persalinan, 50% kematian ibu terjadi pada masa nifas, sebagian besar kematian terjadi tanpa pertolongan dari tenaga profesional, keterlambatan akses pada pelayanan berkualitas, sebagian besar keluarga tidak mengetahui tanda bahaya bagi ibu dan bayi, terbatasnya transportasi dan sumberdaya sebagai faktor yang berhubungan dengan keterlambatan akses pelayanan kesehatan, sebagian besar komplikasi kehamilan mempengaruhi risiko pada ibu dan bayi, status sosial dan budaya berhubungan dengan kematian ibu dan anak (Kusmiran, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu antara lain, terdapat 1.534 kematian ibu dengan jumlah kelahiran hidup adalah 49.605. Masih dijumpai (23,9%) perempuan yang menikah pada umur risiko tinggi (<15 tahun, 15-19 tahun). Hampir seluruh ibu hamil (95,4%) sudah melakukan pemeriksaan kehamilan (K1), tetapi pemeriksaan antenatal care (ANC) atau K4 sebesar 70,4%. Tenaga kesehatan yang paling banyak
15
memberikan pelayanan ANC adalah bidan (88%). Pelayanan nifas pertama (KF1) tertinggi (81,9%), dibanding pelayanan nifas kedua (KF2) sebesar 51,8%, dan pelayanan nifas ketiga (KF3) sebesar 43,4%. Akan tetapi pelayanan nifas lengkap masih rendah (32,1%). Sebagian besar (86,9%) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, sebagian besar (76,1%) persalinan sudah dilakukan di fasilitas kesehatan. Tempat persalinan tertinggi pada Rumah Sakit (RS) bersalin dan klinik, praktek dokter/bidan (38%), tetapi masih dijumpai ibu yang melahirkan di rumah (29,6%). Kelompok ibu yang melahirkan di rumah tersebut paling banyak (64,5%) adalah ibu dengan umur risiko tinggi. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010, diketahui bahwa kematian maternal tertinggi (22,5%) pada kelompok usia 15-49 tahun, distribusi persentase kematian ibu lebih tinggi didesa (62,1%) daripada di kota (37,9%), penyebab medis kematian ibu tertinggi (81,5%) adalah penyebab langsung yaitu komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, periode kematian ibu tertinggi adalah ibu meninggal saat hamil >20 minggu, paritas 3-4, dan >4 terbanyak menyebabkan kematian ibu, pendidikan tidak sekolah/tamat SD lebih banyak menyebabkan kematian, dan tempat ibu meninggal lebih banyak di RS pemerintah. Berdasarkan data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) Tahun 2011, hanya 6% kota di Sumatera yang memiliki 4 Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan 55% Kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED, dan hanya 21,0% proporsi RSU Pemerintah yang memenuhi kriteria-kriteria Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).
16
2.3. Determinan Kematian Ibu Menurut Depkes dalam Fibriana (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu adalah faktor medik, faktor non medik, dan faktor pelayanan kesehatan. Faktor medik, meliputi faktor empat terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat), komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas yang merupakan penyebab langsung kematian maternal (meliputi perdarahan, infeksi, keracunan kehamilan, komplikasi akibat partus lama, trauma persalinan), keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama hamil (kekurangan gizi, anemia, bekerja fisik berat selama kehamilan). Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal, meliputi terbatasnya
pengetahuan
ibu
tentang
bahaya
kehamilan
resiko
tinggi,
ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk, ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan perawatan di RS. Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan KIA, yang meliputi belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko, rendahnya cakupan ANC dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda-tanda kehamilan. Hal itu semua berkaitan dengan terlambat mengambil keputusan merujuk, mencapai RS rujukan, mendapatkan pertolongan di RS rujukan, dan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan.
17
Penanganan kelompok berisiko seringkali mengalami kematian yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, disebabkan oleh 3 (tiga) faktor keterlambatan, yang dikenal dengan faktor ”3T” yaitu: 1. Terlambat mengambil keputusan untuk merujuk 2. Terlambat mencapai RS rujukan 3. Terlambat mendapatkan pertolongan di RS rujukan. Upaya peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan juga dilakukan dengan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui paket penempatan tenaga bidan dan polindes di berbagai pelosok pedesaan serta tenaga dokter di daerah terpencil atau sangat terpencil. Sedangkan dari aspek kualitas pelayanan, dilakukan melalui upaya peningkatan kemampuan/kompetensi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dasar dan rujukan (PONED/PONEK), serta berbagai program intervensi lain (Kemenkes RI, 2008). 2.3.1. Faktor Non Medik 2.3.1.1. Pendidikan Menurut Skiner dalam Notoatmojo (2010), perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup
18
mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Pendidikan yang ditempuh seseorang merupakan salah satu faktor demografi yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu dan masyarakat. Seseorang dengan pendidikan yang tinggi diasumsikan dapat mencegah atau melindungi dirinya dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatannya, dan mencari penyembuhan apabila sakit. Biasanya orang yang berpendidikan tinggi selalu berusaha mencari informasi yang berhubungan dengan dirinya, dalam hal ini seorang ibu hamil dengan pendidikan yang tinggi apabila mengalami suatu masalah dalam kehamilannya dapat segera mengatasi masalah tersebut dan akhirnya dapat memperkecil risiko yang tidak diinginkan. 2.3.1.2. Pekerjaan Tidak ada rekomendasi dalam asuhan kehamilan dimana ibu hamil sama sekali tidak boleh melakukan aktivitas pekerjaan rumah atau bekerja di luar rumah, yang penting diperhatikan adalah keseimbangan dan toleransi dalam pekerjaan. Karena pada kenyataannya pekerjaan selain berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan juga berhubungan dengan penghasilan keluarga. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan bagi ibu hamil adalah apakah pekerjaan itu berisiko bagi ibu hamil. Contoh aktivitas yang berisiko bagi ibu hamil adalah aktivitas yang meningkatkan stress, berdiri lama sepanjang hari, mengangkat beban yang berat, paparan suhu yang ekstrim, dan paparan radiasi. Perlu
19
disampaikan bahwa ibu hamil tetap boleh melakukan aktivitas pekerjaannya tetapi amati apakah aktivitas pekerjaan tersebut berisiko atau tidak terhadap kehamilan dan kesehatan ibu. Nasehatkan apakah keuntungan yang didapat lebih besar dari risiko pekerjaannya ( Sitanggang, 2013). Seorang ibu hamil ikut membantu dalam menambah penghasilan keluarga diasumsikan mereka lebih banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran, yang mana hal ini dapat mempengaruhi kesehatan janin dan ibu hamil. Pada kehamilan trisemester I dan II, ibu yang bekerja tidak begitu mempengaruhi keadaan bayi tetapi pada trisemester III hal ini dapat mempengaruhi terjadinya prematuritas (Sitanggang, 2013). 2.3.1.3. Pendapatan Keluarga Kemampuan ekonomi yang sering dinyatakan dalam pendapatan keluarga mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan akan kesehatan. Pendapatan juga mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga ibu hamil dengan pendapatan yang tinggi dapat dengan teratur memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan yang diinginkannya sehingga kasus yang tidak diinginkan dapat cepat ditangani. Menurut Kemenkes dalam Sriningsih (2011). wanita-wanita dari keluarga dengan pendapatan rendah (
20
2.3.1.4. Faktor Sosial Budaya Fakta di berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah, dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan kehamilannya secara rutin ke bidan atau dokter. Hal ini mengakibatkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami, risiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang seringkali kasusnya sudah terlambat dan dapat menyebabkan kematian. Faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi kehamilan dan persalinan antara lain adalah adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap konsep kehamilan, pantangan makanan, pantangan perbuatan, dan dukungan suami (Khairunisa, 2011) Di Jawa Tengah misalnya, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena dapat mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki bulan ke-8 dan 9 sengaja harus mengurangi makanannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Pada masa persalinan, masih dijumpai perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang salah antara lain, mengolesi vagina dengan minyak kelapa dengan maksud untuk memperlancar persalinan, memasukkan tangan ke dalam vagina dengan maksud mengeluarkan plasenta, setelah persalinan ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan dimana hal tersebut dapat menyebabkan perdarahan. Pada masa pasca persalinan, adanya perilaku mengurut perut yang diyakini dapat mengembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan seperti
21
daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah karena proses persalinan, dan meminum jamu-jamu tertentu yang bertujuan untuk memperkuat tubuh. Hal tersebut justru dapat menimbulkan terjadinya infeksi dan komplikasi pada masa nifas. Pada kebudayaan Jawa, dalam menyambut kelahiran anak, orangtua memasuki keadaan prihatin, terutama ibu akan mengurangi makan, melakukan pantangan-pantangan lainnya dan melakukan slametan untuk menjamin kehamilan dan proses kelahiran dengan baik. Pada masyarakat Batak, sering dijumpai memberikan nira/tuak/bir hitam pada ibu pasca persalinan dengan anggapan untuk mengembalikan tenaga ibu sehabis melahirkan sehingga ibu cepat sehat dan membuat arang di bawah atau di samping ibu untuk menjaga ibu dan bayinya tetap hangat. Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2010), perilaku dibagi atas 3 tingkatan: 1. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
Dengan
sendirinya
pada
waktu
penginderaan
menghasilkan
pengetahuan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan mata. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya, pengetahuan dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yakni:
22
a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. b. Memahami (Comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. d. Analisis (Analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikator bahwa pengetahuan orang tersebut sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut. e. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang merangkum atau meletakkkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komonen pengetahuan yang dimiliki, dengan kata lain dapat menyusun suatu formulasi baru dari formulasi yang telah ada.
23
f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri. 2. Sikap (Attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap dapat dikatakan kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, yang melibatkan pikiran,perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan lain. Newcomb menyatakan, bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau disebut reaksi tertutup. Sikap mempunyai tingkatan-tingkatan berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: a.
Menerima (receiving), diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).
b.
Menanggapi (responding), artinya memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
c.
Menghargai (valuing), diartikan subjek atau seseorang memberi nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi, menganjurkan orang lain merespon.
24
d.
Bertanggung jawab (responsible). Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya. Seorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemooh atau adanya risiko lain.
3.
Tindakan atau praktik (practise). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya
tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas,sarana, dan prasarana. Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa pemeriksaan kehamilan itu penting untuk kesehatannya dan janinnya dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa kehamilan. Agar sikap ini meningkat menjadi tindakan, maka diperlukan bidan, posyandu, atau puskesmas yang dekat dari rumahnya, atau fasilitas tersebut mudah dicapai. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidak akan memeriksakan kehamilannya. Praktek atau tindakan ini dapat dibedakan atas 3 tingkatan menurut kualitasnya: a.
Praktek terpimpin (guided response) adalah apabila seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya dengan diingatkan oleh bidan atau tetangganya.
b.
Praktek secara mekanisme (mechanism) adalah apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktekkan sesuatu hal secara otomatis. Misalnya seorang ibu hamil telah memeriksakan kehamilannya tanpa harus menunggu perintah bidan, atau kader.
25
Adopsi (adoption) adalah suatu tindakan atau praktek yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak hanya sekedar rutinitas, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Misalnya seorang ibu hamil yang paling sedikit memeriksakan kandungannya 4 kali selama kehamilannya. Menurut Maas (2004), pada dasarnya peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu dalam kelompok sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Tidak semua praktek/perilaku masyarakat yang pada awalnya bertujuan untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai dengan ketentuan medis/kesehatan. Kalau persepsi tentang kesehatan atau penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentu upaya mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan dan kepercayaan yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga nantinya memiliki dampak yang baik bagi kesehatan. Untuk merubah perilaku tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama dan cara yang strategis. Menurut Sadil dalam Tumanggor (2010), perilaku kesehatan sebagai perilaku secara umum, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal disebut sebagai stimulus, seperti faktor sosial budaya di mana individu tersebut berada. Perilaku individu selalu dalam jaringan norma sosial tertentu. Perilaku kesehatan individu, sikap, dan kebiasaan bertindak berkaitan erat dengan lingkungan keluarga, lingkungan terbatas, dan lingkungan umum. Lingkungan keluarga mencakup
26
kebiasaan-kebiasaan mengenai kesehatan. Lingkungan terbatas yaitu tradisi khusus cara mengobati orang sakit, defenisi khusus mengenai sakit dan pengobatan, dan pranata puskesmas. Lingkungan umum yaitu undang-undang kesehatan dan programprogram kesehatan. 2.3.1.5. Keputusan Merujuk Menurut Kalangie dalam Jemaulana (2009), pengambilan keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih dilakukan oleh anggota keluarga, kerabat dewasa keluarga dalam lingkungan kekerabatan sehingga tidak jarang nasehatnasehat yang diberikan tetangga dan kawan-kawan turut juga mempengaruhi. Menurut
Siagian
dalam
Jemaulana
(2009),
beberapa
model-model
pengambilan keputusan, yaitu: 1. Model Optimasi, yaitu dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada, seseorang berusaha mencapai hasil yang terbaik yang mungkin dicapai. 2. Model satisficing, yaitu yang ide pokoknya adalah bahwa usaha ditujukan pada apa yang mungkin dilakukan “sekarang dan di sini” bukan pada sesuatu yang mungkin optimal tetapi tidak realitas dan oleh karenanya tidak mungkin dicapai. 3. Model mixed scaning, yaitu bahwa setiap orang pengambil keputusan menghadapi dilema dalam memilih suatu langkah tertentu, suatu pendahuluan harus diambil tentang sampai sejauh mana sarana dan prasarana akan digunakan untuk mencari dan menilai berbagai fungsi dan kegiatan yang akan dilakukan. Keputusan fundamental dibuat setelah dilakukan pengkajian terhadap berbagai alternatifalternatif yang relevan.
27
4. Model heuristik, yaitu merupakan model yang didasarkan pada rasionalitas. Faktor-faktor internal seperti persepsi dan keyakinan yang terdapat dalam diri seorang pengambil keputusan lebih berpengaruh daripada faktor eksternal seperti pengaruh orang terdekat. Seorang pengambil keputusan lebih mendasarkan keputusannya pada konsep-konsep yang dimilikinya, berdasarkan persepsi sendiri tentang situasi masalah yang dihadapi. Meskipun ibu merupakan komponen yang paling penting dalam keluarga, namun posisi mereka dalam pengambilan keputusan sering sangat lemah di samping itu suami mereka sangat kurang pengetahuannya dalam kesehatan reproduksi karena selama ini pihak suami belum dilibatkan secara menyeluruh sehingga peranannya dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak masih belum memadai (Barus, 1999 dalam Aswaty, 2005). Dalam struktur masyarakat Indonesia yang sangat paternalistik, peran suami, atau orangtua, keluarga dekat si ibu sangat menentukan dalam pemilihan tempat pelayanan kesehatan (Depkes dalam Aswaty, 2005). Keterlambatan pengambilan keputusan di tingkat masyarakat menurut Kemenkes (2013), dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut ini : 1.
Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan walaupun akses terhadap tenaga kesehatan tersedia 24/7 (24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu), oleh karena masalah tradisi/kepercayaan dalam pengambilan keputusan di keluarga, dan ketidakmampuan menyediakan biaya non medis dan biaya medis lainnya.
28
2.
Keluarga terlambat merujuk karena tidak mengerti tanda bahaya yang mengancam nyawa ibu.
3.
Tenaga kesehatan terlambat melakukan pencegahan dan/atau mengidentifikasi komplikasi secara dini. Hal ini dikarenakan kompetisi tenaga kesehatan tidak optimal, antara lain kemampuan untuk melakukan APN (Asuhan Persalinan Normal) sesuai standar dan penanganan pertama keadaan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan Neonatal).
4.
Tenaga kesehatan tidak mampu mengadvokasi pasien dan keluarganya akan pentingnya merujuk tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa ibu.
2.3.2. Faktor Pelayanan Kesehatan 2.3.2.1. ANC Ibu hamil sebaiknya dianjurkan untuk mengunjungi bidan atau dokter sedini mungkin, semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan ANC. Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat. Itulah sebabnya mengapa ibu hamil memerlukan pemantauan selama kehamilannya. Menurut Prawirohardjo (2009), tujuan asuhan antenatal adalah : 1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi 2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu dan bayi
29
3. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan, dan pembedahan. 4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin 5. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI eksklusif 6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal Adapun kebijakan program asuhan ANC sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali kunjungan selama kehamilan, yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua, dan dua kali pada triwulan ketiga Pelayanan yang dilakukan pada ANC adalah standar minimal yang dikenal dengan ’’7T’’ yaitu: 1. Timbang berat badan 2. Ukur tekanan darah 3. Ukur tinggi fundus uteri 4. Pemberian imunisasi TT lengkap 5. Pemberian tablet zat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan 6. Tes terhadap penyakit menular seksual 7. Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan
30
2.3.2.2. Tenaga Pemeriksa Kesehatan Menurut Kemenkes (2012), dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, dikenal beberapa jenis tenaga yang memberi pertolongan persalinan yakni, dokter umum, dokter spesialis kandungan, dan bidan. Dalam Permenkes No.369/Menkes/SK/III/2007 dikatakan, defenisi Bidan menurut International Confederation of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh seluruh organisasi bidan di seluruh dunia dan diakui oleh WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO), bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (diregister) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan. Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui Pemerintah dan organisasi profesi di wilayah negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggungjawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan, dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan, dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggungjawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawatdaruratan.
31
Kewenangan Bidan sesuai Permenkes No. 1464 Tahun 2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek Bidan, meliputi: 1.
Kewenangan normal, yaitu melakukan pelayanan KIA, pelayanan kesehatan reproduksi, dan KB.
2.
Kewenangan dalam menjalankan program pemerintahan.
3.
Kewenangan menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. Penolong persalinan oleh dukun terkait pengetahuannya tentang keadaan
fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas oleh karena apabila timbul komplikasi dukun tidak mampu mengatasinya, bahkan tidak menyadari akibatnya. Mereka bekerja hanya berdasarkan pengalaman saja dan kurang profesional. Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010
tidak
memperbolehkan lagi dukun bayi sebagai tenaga penolong persalinan tetapi hanya sebagai pendamping dari bidan yang merupakan penolong persalinan yang telah direkomendasikan Menteri Kesehatan. Puskesmas mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergency/komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (Kemenkes, 2013). Tenaga pelaksana yang berfungsi sebagai tim inti pelaksana PONED harus yang sudah terlatih dan bersertifikat dari Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) tenaga kesehatan yang telah mendapat sertifikasi sebagai penyelenggara Pusdiklat PONED.
32
Tim inti pelaksana puskesmas PONED minimal terdiri dari 1 orang Dokter Umum, 1 orang Bidan (minimal Diploma tiga), dan 1 orang Perawat (minimal Diploma tiga), yang selalu siap on side selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tim inti pelaksana RS PONEK pada hakekatnya sama dengan puskesmas PONED yang dibantu oleh dokter kebidanan, dokter anak, dakter/petugas anestesi, dokter penyakit dalam, dan dokter spesialis lain yang berhubungan. 2.3.2.3. Tempat Pemeriksaan Kesehatan Tempat pemeriksaan kesehatan adalah tempat di mana ibu melakukan pemeriksaan kesehatan selama hamil, bersalin, dan nifas. Menurut Kemenkes (2012) tempat pemeriksaan kesehatan ibu hamil, bersalin, dan nifas adalah di fasilitas kesehatan seperti praktek dokter spesialis obgyn/ dokter umum/bidan, polindes, puskesmas, dan rumah sakit. 2.3.2.4. Penanganan Adekuat Menurut Prawirohardjo (2009), kebijakan pelayanan asuhan persalinan adalah: -
Semua persalinan harus dihadiri dan dipantau oleh petugas kesehatan terlatih
-
Rumah bersalin dan tempat rujukan dengan fasilitas memadai untuk menangani kegawatdaruratan obstetric dan neonatal harus tersedia 24 jam
-
Obat-obatan essensial, bahan, dan perlengkapan harus tersedia bagi seluruh petugas terlatih
33
Puskesmas mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergency/komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (Kemenkes, 2013). RS mampu PONEK adalah RS PONEK 24 jam memiliki tenaga dengan kemampuan serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai untuk memberikan pelayanan pertolongan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar maupun komprehensif terhadap ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas dasar rujukan masyarakat, bidan, puskesmas, dan puskesmas PONED. Puskesmas PONED dan RS PONEK diharapkan dapat memberikan pelayanan dan penanganan yang adekuat kepada ibu hamil, bersalin, dan nifas. Ibu hamil, bersalin, dan nifas mendapatkan pelayanan dan pertolongan yang sesuai dengan masalahnya dan tepat waktu sehingga nantinya kasus-kasus kematian ibu tidak terjadi. 2.3.2.5. Akses Akses adalah kemudahan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan oleh individu dengan kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Kemudahan akses ke sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor penentu, antara lain jarak tempat tinggal dan waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan, serta status sosial ekonomi dan budaya. Menurut Permatasari (2011), faktor aksesibilitas pelayanan kesehatan dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu:
34
1. Aksesibilitas fisik Aksesibilitas fisik terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan atau jaraknya terhadap pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi dari pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan yang paling mudah dijangkau berada pada jarak kurang dari 1 km. Pengukuran akses pelayanan kesehatan dapat dilihat dari waktu tempuh dari lokasi pemukiman sasaran pelayanan dasar dan puskesmas ke fasilitas puskesmas PONED paling lama 1 jam dengan transportasi umum (Kemenkes, 2010). 2. Aksesibilitas ekonomi Aksesibilitas ekonomi dari sisi pengguna dapat dilihat dari kemampuan finansial seseorang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh harga atau biaya yang dibebankan kepada pengguna jasa pelayanan tersebut, sehingga apabila biaya dari pelayanan kesehatan tertentu mudah untuk dijangkau maka orang akan cenderung untuk berobat ke sana. 3. Aksesibilitas Sosial Aksesibilitas sosial adalah kondisi nonfisik dan nonfinansial yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Aksesibilitas sosial berhubungan dengan dapat atau tidak diterimanya pelayanan kesehatan itu secara sosial, kepercayaan, dan perilaku.
35
2.4. Landasan Teori Menurut Depkes dalam Fibriana (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu adalah faktor medik, faktor non medik, dan faktor pelayanan kesehatan. Faktor medik, meliputi faktor empat terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat), komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas yang merupakan penyebab langsung kematian maternal (meliputi perdarahan, infeksi, keracunan kehamilan, komplikasi akibat partus lama, trauma persalinan), beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama hamil (kekurangan gizi, anemia, bekerja fisik berat selama kehamilan). Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal, meliputi terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk, ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan perawatan di RS. Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), yang meliputi belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko, masih rendahnya cakupan ANC dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, dan masih seringnya pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda-tanda kehamilan. Hal itu semua berkaitan dengan terlambat mengambil keputusan merujuk, terlambat mencapai RS rujukan, terlambat mendapatkan pertolongan di RS rujukan, dan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan.
36
2.5. Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Non Medik: - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan Keluarga - Sosial Budaya - Keputusan Merujuk Kematian Ibu Faktor Pelayanan Kesehatan: - ANC - Tenaga Pemeriksa Kesehatan - Tempat Pemeriksaan Kesehatan - Penanganan yang Adekuat - Akses Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian