13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Program EMAS (Expanding Maternal Neonatal And Survival) Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan hasil deklarasi MDGs (Millenium Developmnet Goals) yang telah disepakati oleh 193 negara anggota PBB pada bulan September tahun 2000 di New York. Indoensia ikut menyepakati Deklarasi Milenium bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development Goals (MGDs), namun dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia (Wibowo dan Tim, 2014). Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) kelima, berjalan lambat dalam beberapa tahun terakhir. Rasio kematian ibu, yang diperkirakan sekitar 228 per 100.000 kelahiran hidup, tetap tinggi di atas 200 selama dekade terakhir, meskipun telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu. Hal ini bertentangan dengan negara-negara miskin di sekitar Indonesia yang menunjukkan peningkatan lebih besar pada MDG kelima (Wibowo dan Tim, 2014). Faktor penyebab langsung kematian ibu adalah 1) pelayanan antenatal meliputi : pemeriksaan kehamilan, persiapan persalinan, informasi tanda bahaya, imunisasi, pencegahan unwanted pregnancy, ketersediaan darah. 2) persalinan oleh tenaga kesehatan (72,3%). 3) tempat persalinan sebesar 60% di rumah. 4) dukun yaitu 2 x lipat jumlah bidan, menangani 31,5% persalinan. 5) pelayanan Obstetri
14
Emergency yaitu ketersediaan puskesmas, dan 6) PONEK dan RS PONED belum mencukupi (Wibowo dan Tim, 2014). Faktor yang memperburuk yaitu : a) anemia gizi besi sebesar 40,1% ibu hamil, b) wanita usia subur yang kekurangan energi kronik sebesar 19,7%, c) kekurangan zat gizi mikro seperti Vitamin A dan yodium, d) malaria dan TBC, HIV/AIDS (Wibowo dan Tim, 2014). Berbagai program yang sudah digulirkan oleh pemerintah angka kematian ibu masih tetap tinggi di Indonesia. Dimana data terbaru dasarkan SDKI (2012) angka kematian ibu mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut WHO (2005) hal ini bisa disebabkan oleh berbagai penyebab yaitu penyebab langsung secara medis yaitu terjadinya perdarahan berat, infeksi, aborsi tidak aman, eklamsia, persalinan lama. Sedangkan penyebab tidak langsung secara medis adalah penyakit malaria, anemia, HIV/AIDS dan penyakit kardio vaskuler. Selain dari penyebab diatas, faktor perilaku kesehatan dimana masih rendah pemahaman masyarakat tentang perawatan selama kehamilan dan persalinan serta perilaku secara kesehatan reproduksi dimana usia menikah terlalu muda, jarak antar kelahiran, dan paritas juga menjadi faktor tingginya angka kematian ibu. Program EMAS merupakan program bantuan teknis Pemerintah Amerika kepada Pemerintah Indonesia melalui pendanaan United State Agency for International Development (USAID) di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI selama 5 tahun (2012-2016). Program ini berupaya untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, terutama untuk kesehatan ibu dan anak dibidang fasilitas
15
kesehatan. Pemerintah telah menetapkan kebijakan tentang peningkatan pelayanan kesehatan terutama maternal dan neonatal yang salah satu tujuannya untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak (Alamsyah, 2012). Program EMAS mendukung pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten, dalam berjejaring dengan Organisasi Masyarakat Sipil, fasilitas kesehatan publik dan swasta, asosiasi rumah sakit, organisasi profesi, sektor swasta dan lain-lain. Program ini akan berkontribusi terhadap percepatan penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir sebesar 25 % di Indonesia. Jejaring program EMAS ini adalah JHPIEGO, Save The Children, Muhammadiyah-Aisyiah, Perkumpulan Budi kemulian dan RTI (USAID, 2012). Program EMAS dilakukan di 30 kabupaten dan 6 propinsi yaitu: a.
Sumatera Utara daerah intervensinya adalah Kabupaten
Deli Serdang.
Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Langkat, Kabupaten Karo, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Serdang Bedagai, Kab Simalungun, dan Kota Binjai b.
Banten daerah intervensinya adalah Kabupaten Serang. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pendeglang, dan Kota Cilegon
c.
Jawa Barat daerah intervensinya adalah Kabupaten Bandung. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cianjur, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat. Daerah intervensi lain di Jawa Barat
16
adalah Kabupaten Cirebon. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan d.
Jawa Tengah daerah intervensinya adalah Kabupaten Tegal. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kota Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan. Daerah intervensi lain di Jawa tengah adalah Kabupaten Banyumas. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara
e.
Jawa Timur daerah intervensinya adalah Kabupaten Malang. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kota Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kota Batu, dan Kabupaten Blitar
f.
Sulawesi Selatan. Daerah intervensinya adalah Kabupaten Pinrang. Kabupaten di sekitar daerah intervensi adalah Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, Sidenreng Rappang, dan Kota Pare-Pare.
2.1.1 1.
Tujuan Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS)
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi maternal-neonatal 1)
Memastikan prioritas intervensi medis berdampak besar pada penurunan kematian ibu dan neonates diterapkan di Puskesmas dan Rumah Sakit.
2)
Melakukan pendekatan tata kelola (clinical governance) diterapkan di Puskesmas dan Rumah Sakit.
2. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem rujukan antar Puskesmas dan Rumah Sakit.
17
1)
Melakukan penguatan sistem rujukan, dimana tenaga kesehatan atau bidan yang ada di desa ataupun di Puskesmas merujuk ke Rumah Sakit dalam kondisi yang bersiap.
2)
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjamin akuntabilitas dan kualitas tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan dan pemerintah daerah.
3)
Meningkatkan akses masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan (Hardjono, 2013). Untuk melakukan semua hal tersebut, program EMAS fokus terhadap:
a)
Memperbaiki dan memperkuat jalinan antara Rumah Sakit dan Puskesmas
b)
Menggunakan
teknologi
berbasis
Web
dan
ponsel
sederhana
untuk
meningkatkan komunikasi, memperpendek waktu rujukan, dan memastikan pasien distabilkan kondisinya. c)
Menetapkan sekumpulan standar dan audit berkala yang dapat membantu pihak kabupaten untuk mengenali dan memantau semua kelebihan dan kekurangan dalam sistem rujukan dan memastikan dibuatnya kebijakan dan standar pelayanan yang sesuai.
d)
Mengurangi halangan keuangan dan memastikan semua orang mempunyai akses setara untuk memperoleh jaminan sosial.
18
2.1.2
Konsentrasi Program EMAS Dalam melaksanakan program ini, tidak semua yang berkaitan dengan
kematian ibu dan bayi diintervensi, tetapi terkonsentrasi kepada 7 penyebab kematian maternal dan neonatal, bidang kematian ibu ada 4 penyebab yang akan diintervensi yaitu kejadian perdarahan (hemorrhage), pre ekslamsia berat/eklamsia, infeksi dan partus macet (prolonged labor), sedangkan untuk neonatal yang diintervensi adalah asfiksia, sepsis, dan berat bayi lahir rendah. 2.1.3
Framework dan Intervensi Program EMAS Program EMAS dalam melaksanakan programnya menggunakan pendekatan
Vanguard dimana sistem rujukan yang digunakan adalah satu RS akan dikunjungi Puskesmas dimana disinilah nanti dijalin sistem rujukan, Puskesmas akan merujuk ke RS tertentu untuk meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan professional sehingga pada akhirnya mampu menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Intervensi yang dilakukan melalui quality improvement atau peningkatan kualitas di Rumah Sakit dan stakeholders yang mempunyai kemampuan untuk membuat kebijakan seperti Kepala Dinas Kesehatan, direktur RS khususnya dokter spesialis obgyn dan anak, serta tenaga spesialis lainnya yang mendukung. Selain dari peningkatan kualitas tenaga kesehatan, program ini juga menggunakan SMS sebagai media untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak dengan nama SIJARIEMAS.
19
2.1.4
Roadmap Kegiatan Governace Program EMAS 2012-2016 Program EMAS direncanakan berjalan di Indonesia selama 5 tahun (2012-
2016) dengan berbagai intervensi yang dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak sebesar 25% sehingga tujuan dari MDGs menurunkan angka kematian ibu sebesar ¾ atau menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan 23 per 1000 kelahiran hidup ditahun 2015 tercapai. Program EMAS dalam mengimplementasikan program membagi kegiatan dalam target tahunan sehingga tujuan untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi tercapai. Tabel 2.1 Roadmap Kegiatan Program EMAS 2012-2016 No 1
Tahun 2012
Kegiatan Pembangunan Kelembagaan (Pokja) pembangunan kesadaran, pengenalan teknologi, partisipasi dan transparansi
2
2013
3
2014
4
2015
Peningkatan partisipasi dan transparansi pelayanan melalui maklumat pelayanan dan umpan balik, akses yang baik terhadap pembiayaan Penguatan sistem rujukan dengan dukungan regulasi yang baik, pelayanan berkualitas dan akses yang lebih baik, didukung kolaborasi stakeholders Perluasan partisipasi dan transparansi dalam pelayanan KIA
5
2016
Kelembagaan rujukan yang kuat, kebijakan yang pro MNH, jaminan pembiayaan bagi kelopok miskin, askes yang adil terhadap pelayanan KIA
Capaian SIJARIEMAS, SIGAPKU, SIPPP melalui SMS dan Voice (call center) Penguatan intervensi tahun pertama melalui aplikasi telepon seluler Penguatan intervensi tahun 1 dan ke 2 serta integrasi sistem
Penguatan intervensi tahun 1, ke 2 dan ke 3 serta integrasi dan mengimplementasikan sistem Penguatan intervensi tahun 1, ke 2, ke 3 dan ke 4 serta potensi teknologi baru (innovation)
20
2.2 Perjalanan Program Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan angka kematian ibu dan anak melalui berbagai program yang telah dilakukan pemerintah. 2.2.1 Program Safe Motherhood Safe Motherhood adalah upaya yang dilakukan untuk menekan kematian ibu. Program ini mulai digalakkan ditahun 1988. Di Indonesia upaya Safe Motherhood diartikan sebagai upaya untuk kesejahteraan atau keselamatan ibu. Gerakan yang digunakan untuk menyelamatkan perempuan agar kehamilan dan persalinannya berjalan dengan sehat, aman dan mendapatkan bayi yang sehat. a. Keluarga Berencana, memastikan bahwa setiap orang/pasangan mempunyai akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan waktu yang tepat untuk kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak. Sehingga tidak ada lagi kehamilan yang tak diinginkan. b. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetric bila mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai c. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai pengetahuan, keterampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi. d. Pelayanan obstetric esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetric untuk risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya.
21
Melalui pilar Safe Motherhood ini lahirlah Kebijakan tentang Kesehatan Ibu secara khusus berhubungan dengan pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan perawatan bayi baru lahir yang diberikan di semua jenis fasilitas pelayanan kesehatan, mulai dari Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sampai dengan Rumah Sakit. 2.2.2 Making Pregnancy Safer (MPS) Program Making Pregnancy Safer diluncurkan tahun 2001. Namun program ini merupakan lanjutan dari program Safe Motherhood. Strategi utama dalam MPS yaitu: a.
Meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas;
b.
Membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya;
c.
Mendorong pemberdayaan perempuan dan juga keluarga melalui peningkatan pengetahuan;
d.
Mendorong
keterlibatan
masyarakat
dalam
menjamin
penyediaan
dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. 2.2.3 Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) Salah satu kegiatan dalam Making Pregnancy Safer (MPS) adalah peningkatan deteksi dan penanganan ibu hamil resiko tinggi. Deteksi dini resiko tinggi pada ibu hamil dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bersama dengan masyarakat melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
22
(P4K). Program ini dicanangkan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 2007 yang merupakan salah satu komponen dalam pelaksanaan desa/kelurahan siaga yang tertera dalam rencana strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) adalah program yang dicanangkan dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dengan memantau, mencatat serta menandai setiap ibu hamil. Program ini dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dibantu kader dan tokoh masyarakat dengan menempelkan stiker berisi nama, tanggal taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi dan calon pendonor darah pada rumah yang didalamnya terdapat ibu hamil (Depkes, 2008). Fokus dari kegiatan P4K dari masyarakat adalah notifikasi (pendanaan), penggalangan donor darah, mempersiapkan tabungan ibu bersalin, dan dana sosial bersalin, serta persiapan ambulance desa (transportasi). 2.2.4 Gerakan Sayang Ibu (GSI) Gerakan Sayang Ibu (GSI) adalah suatu gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat, bekerja sama dengan pemerintah untuk peningkatan perbaikan kualitas hidup perempuan melalui berbagai kegiatan yang mempunyai dampak terhadap upaya penurunan angka kematian ibu karena hamil, melahirkan, dan nifas, serta penurunan angka kematian bayi (Runjati, 2010). Gerakan Sayang Ibu bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, utamanya mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi. FaktorFaktor yang memengaruhi tingginya angka kematian ibu dan bayi : (Runjati, 2010)
23
1. Analisis faktor yang berpengaruh terhadap tingginya AKI dan AKB di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pendidikan dan pengetahuan, sosial-budaya, sosial-ekonomi, geografi dan lingkungan, aksesibilitas ibu pada fasilitas kesehatan, serta kebijakan makro dalam kualitas pelayanan kesehatan. 2. Kematian ibu dipengaruhi oleh penyebab langsung dan tidak langsung. 3. Setiap 2 jam terdapat 1 ibu meninggal karena melahirkan. Penyebab langsung kematian ibu adalah : a. Pendarahan b. Infeksi c. Keracunan kehamilan (eklamsia) d. Partus lama e. Aborsi Gerakan Sanyang Ibu dicanangkan oleh presiden secara resmi pada peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 1996 di Karanganyar, Jawa Tengah pada 8 kabupaten. Keberhasilan dari 8 kabupetan membuahkan hasil yang menggembirakan yaitu terjadi peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan, peningkatan jumlah rujukan di rumah sakit, di beberapa daerah terjadi penurunan AKI yang cukup drastis bahkan ada yang 0 (Runjati, 2010). Pelaksanaan GSI membutuhkan upaya-upaya di berbagai bidang. Untuk meningkatkan keefektifan dan menjamin koordinasi kegiatan, dan sumber daya manusia, strategi investasi dirancang dengan hati-hati. Selain itu, upaya penting
24
lainnya untuk menurunkan angka kematian ibu adalah meningkatkan fungsi fasilitas kesehatan rujukan sehingga semua kehamilan maupun kasus-kasus rujukan mendapatkan pelayanan yang memadai. Secara singkat pelaksanaan GSI di lapangan meliputi 2 komponen program yang harus di kembangkan, yaitu Kecamatan Sayang Ibu (KSI) dan Rumah Sakit Sayang Ibu (RSSI) (Runjati, 2010) 2.2.5 Jaminan Persalinan (Jampersal) Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan pelayanan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB paska persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Pengelolaan Jaminan Persalinan dilakukan pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas. Pelayanan persalinan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang berdasarkan rujukan (Kemenkes RI, 2011). Kebijakan operasional Jampersal dilaksanakan sesuai dengan petunjuka teknis yang dikeluarka oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2011) sebagai berikut : 1. Pengelolaan Jaminan Persalinan dilakukan pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan Jamkesmas. 2. Kepesertaan Jaminan Persalinan merupakan perluasan kepesertaan dari Jamkesmas, yang terintegrasi dan dikelola mengikuti tata kelola dan manajemen Jamkesmas
25
3. Peserta program Jaminan Persalinan adalah seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan persalinan. 4. Peserta Jaminan Persalinan dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) di kelas III yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota. 5. Pelaksanaan pelayanan Jaminan Persalinan mengacu pada standar pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). 6. Pembayaran atas pelayanan jaminan persalinan dilakukan dengan cara klaim oleh fasilitas kesehatan. Untuk persalinan tingkat pertama di fasilitas kesehatan pemerintah (Puskesmas dan Jaringannya) dan fasilitas kesehatan swasta yang bekerjasama dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota. 7. Pada
daerah
lintas
batas,
fasilitas
kesehatan
yang
melayani
ibu
hamil/persalinan dari luar wilayahnya, tetap melakukan klaim kepada Tim Pengelola/Dinas Kesehatan setempat dan bukan pada daerah asal ibu hamil tersebut. 8. Fasilitas kesehatan seperti Bidan Praktik, Klinik Bersalin, Dokter praktik yang berkeinginan ikut serta dalam program ini melakukan perjanjian kerjasama (PKS) dengan Tim Pengelola setempat, dimana yang bersangkutan dikeluarkan ijin prakteknya.
26
9. Pelayanan Jaminan Persalinan diselenggarakan dengan prinsip Portabilitas, Pelayanan terstruktur berjenjang berdasarkan rujukan dengan demikian jaminan persalinan tidak mengenal batas wilayah (lihat angka 7 dan 8). 10. Tim Pengelola Pusat dapat melakukan realokasi dana antar kabupaten/kota, disesuaikan dengan penyerapan dan kebutuhan daerah serta disesuaikan dengan ketersediaan dana yang ada secara nasional (Kemenkes RI, 2011). Pelayanan persalinan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang berdasarkan rujukan. Ruang lingkup pelayanan jaminan persalinan terdiri dari (Kemenkes RI, 2011): 1. Pelayanan persalinan tingkat pertama Pelayanan persalinan tingkat pertama adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dan berwenang memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, pelayanan bayi baru lahir, termasuk pelayanan persiapan rujukan pada saat terjadinya komplikasi (kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir) tingkat pertama. Pelayanan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan Puskesmas PONED serta jaringannya termasuk Polindes dan Poskesdes, fasilitas kesehatan swasta yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota. Jenis pelayanan Jaminan persalinan di tingkat pertama meliputi: a. Pemeriksaan kehamilan b. Pertolongan persalinan normal
27
c. Pelayanan nifas, termasuk KB pasca persalinan d. Pelayanan bayi baru lahir e. Penanganan komplikasi pada kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir 2. Pelayanan Persalinan Tingkat Lanjutan Pelayanan persalinan tingkat lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan spesialistik, terdiri dari pelayanan kebidanan dan neonatus kepada ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi dengan risiko tinggi dan komplikasi, di rumah sakit pemerintah dan swasta yang tidak dapat ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan dilaksanakan berdasarkan rujukan, kecuali pada kondisi kedaruratan. Pelayanan tingkat lanjutan diberikan di fasilitas perawatan kelas III di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota. Jenis pelayanan Persalinan di tingkat lanjutan meliputi: a. Pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi (RISTI) dan penyulit b. Pertolongan persalinan dengan RISTI dan penyulit yang tidak mampu dilakukan di pelayanan tingkat pertama. c. Penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir di Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang setara. Peserta jaminan persalinan mendapatkan manfaat pelayanan yang meliputi (Kemenkes RI, 2011):
28
1. Pemeriksaan kehamilan (ANC) Pemeriksaan kehamilan (ANC) dengan tata laksana pelayanan mengacu pada buku Pedoman KIA. Selama hamil sekurang-kurangnya ibu hamil diperiksa sebanyak 4 kali dengan frekuensi yang dianjurkan sebagai berikut: a. 1 kali pada triwulan pertama b. 1 kali pada triwulan kedua c. 2 kali pada triwulan ketiga 2. Persalinan normal 3. Pelayanan nifas normal, termasuk KB pasca persalinan 4. Pelayanan bayi baru lahir normal 5. Pemeriksaan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi 6. Pelayanan pasca keguguran 7. Persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar 8. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi dasar 9. Pelayanan bayi baru lahir dengan tindakan emergensi dasar 10. Pemeriksaan rujukan kehamilan pada kehamilan risiko tinggi 11. Penanganan rujukan pasca keguguran 12. Penanganan kehamilan ektopik terganggu (KET) 13. Persalinan dengan tindakan emergensi komprehensif 14. Pelayanan nifas dengan tindakan emergensi komprehensif 15. Pelayanan bayi baru lahir dengan tindakan emergensi komprehensif 16. Pelayanan KB pasca persalinan.
29
Agar tujuan tersebut dapat tercapai, perlu dilakukan koordinasi yang sebaikbaiknya antara tenaga di fasilitas kesehatan/pemberi layanan dan Dinas Kesehatan selaku Tim Pengelola serta SKPD yang menangani masalah keluarga berencana serta BKKBN atau (BPMP KB) Propinsi (Kemenkes RI, 2011).
2.3 Kesehatan Ibu dan Bayi Program kesehatan ibu dan bayi yang sering disebut sebagai program KIA, adalah suatu program untuk mengupayakan sebuah layanan kesehatan yang di tujukan untuk ibu dan bayi, khususnya dalam menjaga dan memelihara kesehatan ibu hamil, bersalin dan menyusui serta kesehatan bayi dan anak prasekolah. Pada prinsipnya pengelolaan Program KIA adalah meningkatan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif & efisien. Pelayanan KIA diutamakan pada kegiatan pokok Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya. Selain itu program ini juga meningkatan pertolongan persalinan yang lebih ditujukan kepada peningkatan pertolongan oleh tenaga professional secara berangsur. Kemudian meningkatan deteksi dini resiko tinggi ibu hamil baik oleh tenaga kesehatan maupun di masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta penanganan dan pengamatannya secara terus menerus. yang terakhir meningkatan pelayanan neonatal (bayi berumur kurang dari 1 bulan) dengan mutu yang baik dan jangkauan yang setinggi tingginya. Tujuan dari pelaksanaan program kesehatan ibu dan bayi ini adalah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang sehat melalui peningkatan kualitas kesehatan keluarga,
30
khususnya untuk ibu dan bayi dalam rangka mencapai Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera atau yang biasa kita sebut NKKBS. tujuan lain dari program Kesehatan Ibu dan bayi adalah untuk meningkatkan kemandirian keluarga dalam memelihara kesehatan ibu dan bayi. Dalam sebuah keluarga, ibu dan bayi merupakan suatu kelompok yang paling rentan dan peka terhadap berbagai masalah kesehatan, contohnya seperti: kejadian kesakitan dan gangguan gizi, yang seringkali berakhir dengan kecacatan atau kematian. Berikut manfaat dan tujuan dilaksanakannya program kesehatan ibu dan bayi: 1.
Meningkatkan pengetahuan serta kemampuan ibu dalam menjaga dan mengatasi masalah kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi yang tepat.
2.
Meningkatkan pengetahuan serta kemampuan ibu dalam membina balita dan anak prasekolah dalam lingkungan keluarga, mencakup pembinaan, kesehatan ,pertumbuhan dan gizi.
3.
Meningkatakan jangkauan dan kualitas mutu pelayanan kesehatan bagi bayi, anak balita dan prasekolah, ibu hamil, bersalin, nifas, dan menyusui.
4.
Terjadi peningkatan kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh anggotanya dalam mengatasi berbagai masalah berkenaan dengan kesehatan ibu, bayi dan anak prasekolah.
31
2.4 Kematian Ibu Kematian Ibu (Maternal Mortality, Maternal Death, Obstetric Death) adalah kematian wanita ketika hamil atau dalam 42 hari sejak terminasi kehamilan, tanpa memandang lama dan lokasi kehamilan, karena suatu sebab yang berhubungan dengan atau menjadi lebih buruk karena kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan disebabkan kecelakaan (WHO, 2008). Maternal Mortality Rate (MMR, Angka Kematian Ibu/AKI) adalah rasio antara jumlah kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Menurut WHO (2005) Faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. a.
Penyebab utama medis langsung dari kematian ibu adalah faktor yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas seperti perdarahan, pre ekslamsia/eklamsia, infeksi, persalinan macet dan abortus.
b.
Penyebab utama medis tidak langsung kematian ibu adalah faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil seperti malaria, anemia, HIV/AIDS dan penyakit kardio-vaskuler.
c.
Penyebab lainnya yang termasuk pada level mikro (proximate level) adalah prilakuk sehat dimana wanita hamil menggunakan atau tidak menggunakan perawatan persalinan
d.
Perilaku dalam kesehatan reproduksi faktor yang mempengaruhi adalah usia menikah, jarak kelahiran, paritas dan ketidakinginan untuk hamil lagi.
32
e.
Penyebab lainnya pada level mikro (proximate) dan meso (intermediate) level yang terdiri dari: 1)
Akses terhadap pelayanan kesehatan dimana kurangnya ketersediaan peralatan dari perawatan persalinan, kurangnya obat-obatan dan petugas kesehatan yang kurang terlatih, jarak yang jauh dari pelayanan kesehatan, transportasi yang kurang menyebabkan membutuhkan biaya yang mahal.
2)
Sebagian besar kematian ibu terjadi selama menuju layanan kesehatan dan pada masa periode postpartum.
f.
Penyebab lainnya pada level makro (distant level) yaitu kematian ibu disebabkan oleh sosial ekonomi dan faktor budaya dimana kemiskinan, kepercayaan terhadap budaya, pengabaian, gizi dan dominasi orangtua dalam membuat keputusan.
2.5 Kematian Bayi Angka kematian bayi (Infrant Mortality Rate) merupakan salah satu indikator penting
dalam
menentukan
tingkat
kesehatan
masyarakat
karena
dapat
menggambarkan kesehatan penduduk secara umum. Angka ini sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Angka kematian bayi tersebut dapat didefenisikan sebagai kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun (BPS) (Kemenkes RI, 2013). Jadi, Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya kematian bayi berusia di bawah satu tahun per 1.000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu (Maryunani, 2010).
33
Bayi juga merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan maupun serangan penyakit. Kesehatan bayi dan balita harus dipantau untuk memastikan kesehatan mereka selalu dalam kondisi optimal. Pelayanan kesehatan bayi termasuk salah satu dari beberapa indikator yang bisa menjadi ukuran keberhasilan upaya peningkatan kesehatan bayi dan balita. Pelayanan kesehatan pada bayi ditujukan pada bayi usia 29 hari sampai dengan 11 bulan dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi klinis kesehatan (dokter, bidan, dan perawat) minimal 4 kali, yaitu pada 29 hari – 2 bulan, 3 – 5 bulan, 6 – 8 bulan dan 9 – 12 bulan sesuai standar di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu (Kemenkes RI, 2013). Selama ini telah dilakukannya beberapa upaya untuk dapat menekan Angka Kematian Bayi (AKB) dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan dan hasilnya menunjukkan perbaikan yang sangat berarti. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak (Kemenkes RI, 2013).
2.6 Kinerja Petugas Kesehatan (Dokter, Bidan dan Perawat) Menurut Moeheriono (2009) kinerja adalah outcam yang di hasilkan dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode tertentu. Sedangkan kinerja menurut Wirawan (2009) merupkan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
34
tujuan, visi, dan misi organisasi yang di tuangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolak ukur yang di tetapkan oleh organisasi. Menurut Idris (2012) kinerja di lihat dari hal kecepatan, kualitas, layanan dan nilai maksudnya kecepatan dalam proses kerja yang memiliki kualitas yang terandalkan dan layanan yang baik dan memiliki nilai merupakan hal yang di lihat dari tercapainya kinerja atau tidak. 2.6.1 Pengukuran Kinerja dan Penilaian Kinerja Pada umumnya, dan sering sekali pengertian evaluasi kinerja (performance evaluation) dengan pengukuran kinerja
(performance measurement) dianggap
mempunyai kesamaan arti defenisi yang sama. Dalam literatur dan kamus bahasa Indonesia populer, fungsi pemantauan (monitoring) sering dijadikan satu atau gandeng dengan evaluasi (evaluation), sehingga menjadi pemantauan evaluasi karena keduanya memiliki arti kesamaan dalam beberapa hal, diantara hasil kegiatan pemantauan (monitoring) dapat di gunakan dalam melakukan kegiatan evaluasi (evaluation). Oleh karena itu penyebutnya sering digabungkan menjadi satu, yang di sebut “monev” singkatan dari monitoring dan evaluasi (Moeheriono, 2009). Namun demikian, pengertian evaluasi dan monitoring dapat dibedakan. Menurut Notoatmodjo (2010) menyatakan penilaian kinerja merupakan suatu proses menilai hasil karya personil dalam suatu organisasi melalui intrumen kinerja, dan pada hakekatnya merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja personil dengan membandingkan dengan standar baku penampilan. Sendangkan pengukuran
35
kinerja adalah proses penilaian tentang kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan sumber daya manusia untuk menghasilkan barang atau jasa termasuk informasi atau efisiensi serta efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan organisasi (Moeheriono, 2009). Penilaian
prestasi
kerja
(performance
appraisal)
dalam
rangka
pengembangan sumber daya manusia adalah sangat penting artinya hal ini mengigat bahwa dalam kehidupan organisasi setiap orang sumber daya manusia dalam organisasi ingin mendapatkan penghargaan dan perlakuan yang adil dari pemimpin organisasi yang bersangkutan. Menurut Mangku Negara (2010), penilaian kinerja adalah suatu proses dari sistem perundingan yang digunakan organisasi untuk menentukan prestasi pegawai guna memperbaiki keefektipan kerja, hasil yang di capai dengan tolak ukur atau kinerja yang telah di tetapkan, beberapa aspek yang harus ada dalam penilaian kinerja sebagai berikut: a.
Kesetiaan dan kerja sama
b.
Prestasi
c.
Kejujuran.
d.
Kreatifitas
e.
Kedisiplinan
f.
Tanggungjawab
36
2.6.2
Teknik Penilaian Kinerja Moeheriono (2006) menyatakan bahwa di dalam proses penilaian kinerja,
terdapat bebagai macam teknik penilaian yang dapat digunakan, baik yang objektif maupun yang subjektif. Penilaian objektif akan mendasarkan pada data yang masuk secara otentik, baik yang menyangkut perilaku kerja, kepribadian, maupun data mengenai produksi. Sedangkan penilaian yang secara subjektif sangat tergantung pada judgement pihak penilai. Schultz (2001) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan teknik penilaian yang diterapkan untuk tenaga kerja yang melaksanakan fungsi produksi dengan tenaga kerja yang tidak melaksanakan fungsi produksi. Bagi tenaga kerja yang melaksanakan fungsi produksi, tehnik penilaianya akan berorientasi pada jumlah produksi kualitas produksi, ada tidaknya atau jumlah kecelakaan kerja tingkat penghasilan atau upah, absensi dan peranan interaksi dalam kerjasama. Konteks kinerja menggambarkan hasil bukan kemampuan cara kerja atau perilaku seseorang. Kemampuan perilaku menentukan atau mempengaruhi hasil atau tingkat kepercayaan bukan menjadi bagian dari hasil tersebut, pencapaian hasil dapat dinilai menurut pelaku yaitu hasil yang diraih dari individu. Pengukuran kinerja sangat tergantung dengan indikator kinerja yang digunakan, kinerja adalah ukuran kwantitatif dan kualitatif yang telah disepakati dan di tetapkan yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu atau sasaran yang telah di tetapkan (Moeheriono, 2011). Moeheriono (2011) menyatakan bahwa pengukuran kinerja dapat dilakukan melalui beberapa, antara lain sebagai berikut:
37
1. Kualitas kerja, merupakan tingkat dimana hasil akhir yang dicapai mendekati sempurna dalam arti memenuhi tujuan yang diharapkan oleh perusahaan organisasi. 2. Kuantitas kerja, yakni jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah sejumlah unit kerja ataupun merupakan jumlah siklus aktivitas yang dihasilkan tersebut. 3. Ketepatan waktu, merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pekerjaan tersebut pada waktu awal yang diinginkan. 4. Sikap, hal-hal yang berkaitan dengan sikap yang menunjukan seberapa jauh tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan, serta tingkat kemampuan seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain dalam menyelesaikan tugasnya. 5. Efektifitas, tingkat pengetahuan sumber daya organisasi dimana dengan maksud menaikan keuangan. Namun, pengukuran kinerja sangat tergantung dengan indikator kinerja yang di gunakan. Ukuran kinerja adalah ukuran kwantitatif dan kwalitatif yang telah di sepakati dan di tetapkan, yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah di tetapkan. Indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan di hitung dan di ukur serta di gunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun setelah tahap setelah kegiatan selesai. 2.6.3 Indikator Kinerja Indikator kinerja atau performans kadang-kadang di pergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance measures), tetapi banyak pula yang
38
membedakanya. Pengukuran kinerja berkaitan dengan hasil yang dapat di kuantitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian (Wibowo, 2011). Sementara itu indikator kinerja dipakai untuk aktivitas yang hanya dapat di tetapkan secara lebih kualitatif atas dasar perilaku yang dapat diamati. Indikator kinerja juga menganjurkan sudut pandang prospektif (harapan kedepan) dari pada retrospektif (melihat ke belakang). Hal ini menunjukan jalan pada aspek kinerja yang perlu di observasi (Wibowo, 2011). 2.6.4 Instrumen Penilaian Kinerja di Rumah Sakit Instrumen penilaian kinerja maternal, yaitu : 1. Instrumen 1
: Respon Emergensi Obstetri di Rumah Sakit
2. Instrumen 2
: Manajemen Aktif Kala III untuk Mencegah Perdarahan Postpartum di Rumah Sakit
3. Instrumen 3
: Penatalaksanaan Perdarahan Postpartum di Rumah Sakit
4. Instrumen 4
: Penatalaksanaan Preeklamsi Berat/Eklamsia di Rumah Sakit
5. Instrumen 5
: Penatalaksanaan Sepsis Maternal dan Infeksi Berat di Rumah Sakit
6. Instrumen 6
: Persalinan Macet di Rumah Sakit
Instrumen penilaian kinerja neonatal, yaitu : 1.
Instrumen 1
: Respon Emergensi Neonatal di Rumah Sakit
2. Instrumen 2
: Resisuatasi Neonatal di Rumah Sakit
3. Instrumen 3
: Penatalaksanaan Neonatal Sepsis di Rumah Sakit
39
4. Instrumen 4
: Pemberian Steroid Antenatal untuk Mencegah Komplikasi Prematur di Rumah Sakit
5. Instrumen 5
: Insiasi Menyusui Dini dan ASI Eksklusif di Rumah Sakit
6. Instrumen 6
: Perawatan Metode Kaguru (PMK) di Rumah Sakit
7. Instrumen 7
: Pencegahan Infeksi di Rumah Sakit
8. Instrumen 8
: Tata Kelola Klinik di Rumah Sakit
2.7 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Berdasarkan dari berbagai penelitian di atas dapat dikaitkan dengan teori Gibson (2008), dimana terdapat faktor yang memengaruhi seseorang dalam melakukan tugas ataupun kinerja seseorang. Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja seseorang yakni umur, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, kemampuan, pengalaman kerja, sikap, motivasi dan kepemimpinan. 1.
Umur Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa
awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun, dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun. Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan (Harlock, 2004). Umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan. Berdasarkan Lubis (2009) yang mengutip pendapat Ericson (1950), umur usia produktif pada usia dewasa muda (20-40 tahun), usia dewasa matang (40-60 tahun) pada usia ini diharapkan usia telah mapan dan tingkat kedisiplinan terhadap pekerjaan baik, dan usia lanjut pada usia >
40
60 tahun. Robbins (2008) mengungkapkan bahwa ada kualitas positif pada pekerja yang berusia tua, meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Menurut penelitian Mardhiah (2011), terdapat hubungan yang tidak bermakna antara umur dengan kinerja bidan dalam mendukung program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Pekanbaru dengan p > 0,05 yang dikarenakan bidan yang sudah tua hanya mengandalkan ilmu yang sudah didapat di bangku sekolah dulu, meskipun bidan sudah tua, namun belum pernah mengikuti pelatihan, kinerjanya tidak akan sebaik bidan yang pernah mengikuti pelatihan. 2.
Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan karakteristik individu yang dibedakan antara laki-
laki/pria dan perempuan/wanita yang dilihat secara fisik. Sunarto (2003) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar. Sementara studi psikologis telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. 3.
Masa Kerja Lama kerja adalah jangka waktu yang telah dilalui seseorang sejak menekuni
pekerjaan. Lama kerja dapat menggambarkan pengalaman seseorang dalam menguasai bidang tugasnya. Pada umumnya, petugas dengan pengalaman kerja yang
41
banyak tidak memerlukan bimbingan dibandingkan dengan petugas yang pengalaman kerjanya sedikit. Menurut Ranupendoyo dan Saud (1990), semakin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi maka akan semakin berpengalaman orang tersebut sehingga kecakapan kerjanya semakin baik. Masa kerja adalah rata-rata masa kerja responden yang dihitung setelah dia menyelesaikan pendidikannya dan mulai bekerja pertama kalinya sebagai tenaga kesehatan. Lamanya bekerja berkaitan erat dengan pengalaman-pengalaman yang telah didapat selama menjalankan tugas. Pengalaman seseorang dalam melakukan tugas tertentu secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama dapat meningkatkan kedewasaan teknisnya. Semakin lama masa kerja kecakapan seseorang semakin baik karena sudah menyesuaikan dengan pekerjaannya. Menurut Winarni (2008), bidan dengan masa kerja≥ 4 tahun melaksanakan pelayanan kebidanan khususnya menolong persalinan umumnya mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan bidan yang mempunyai masa kerja < 4 tahun. Dengan kondisi demikian umumnya bidan desa yang banyak melakukan pertolongan persalinan dan masa kerja yang cukup lama tentunya mampu memahami dan melaksanakan perannya sebagai bidan desa. Menurut hasil penelitian Yatino (2005) yang menyatakan bahwa masa kerja secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kinerja bidan desa (p>0,05). Ini diduga penyebabnya karena merasa jenuh sehingga kegiatan mereka laksanakan hanya merupakan kegiatan rutin dan sekedar melaksanakan tugas serta sering meninggalkan tugas karena apabila dilihat dari asal daerah.
42
4.
Kemampuan Kemampuan memainkan peran penting dalam perilaku dan kinerja individu.
Sebuah kemampuan adalah sebuah trait (bawaan atau dipelajari) yang mengijinkan seseorang mengerjakan sesuatu mental atau fisik. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa atau sanggup melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan adalah sebuah penilaian terkini atas apa yang dapat dilakukan seseorang. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kapasitas kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam melakukan sesuatu hal atau beragam tugas dalam suatu pekerjaan tertentu. Hasil penelitian Dabi pada tahun 2011 tentang kemampuan, pengalaman dan beban kerja dengan kinerja bida dalam pelaksanaan program imunisasi di Kabupaten Sumba Barat Daya, dimana didapat ada hubungan kemampuan dengan kinerja bidan (p=0,002) dan pengalaman kerja dengan p=0,004. Kemampuan fisik diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina koordinasi tubuh atau keseimbangan, kekuatan, kecepatan dan kelenturan atau fleksibilitas tubuh. Kemampuan fisik ini terutama penting pada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin dan yang lebih terstandar di tingkat bawah dari hirarki perusahaan.
43
Manajemen harus lebih mampu mengidentifikasi kemampuan fisik yang mana yang sesuai dengan jenis pekerjaannya, karena masingmasing karyawan memiliki perbedaan dalam jenis kemampuan fisik tersebut. Jenis-jenis pekerjaan tersebut memiliki tuntutan dan kemampuan yang berbeda terhadap karyawan. Prestasi kerja akan meningkat apabila ada kesesuaian antara kemampuan dan jenis pekerjaannya, oleh karena itu kebutuhan akan kemampuan khusus karyawan, intelektual, maupun fisik secara jelas harus dirincikan dalam persyaratan kemampuan kerja yang diperlukan sehingga mereka dapat menyelesaikan kemampuan kerja sesuai yang diharapkan. Menurut Sugijati tahun 2011 dan sesuai hasil penelitiannya kemampuan bidan memiliki peranan penting dalam pelaksanaan peran dan tugasnya. Dimana faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan delima adalah kemampuan (p = 0,001), pengalaman (p=0,001), motivasi (p=0,002), sikap (p=0,001), persepsi kepemimpinan (p=0,007), dan persepsi terhadap standar (p=0,001). Variabel yang berpengaruh terhadap kinerja adalah kemampuan, pengalaman, sikap dan pengaruh yang paling kuat adalah kemampuan. 5.
Pengalaman Kerja Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor
yang sangat berperan dalam menginterpretasikan stimulus yang kita peroleh. Pengalaman masa lalu atau apa yang telah kita pelajari akan menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi. Misalnya seorang anak yang jika ke dokter selalu diimunisasi dengan disuntik, maka ia akan cenderung menangis jika melihat seorang dokter
44
karena ia takut dokter tersebut akan menyuntik dirinya. Oleh karena itu, berilah pengalaman dan pengetahuan yang positif sehingga seseorang akan mempersepsikan dengan yang lebih positif pula (Notoatmodjo, 2010). 6.
Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu : kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep tentang sesuatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecendrungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Azwar (2012) berpendapat bahwa sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu sehingga pembentukan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor 1) pengalaman pribadi baik yang telah ada maupun yang sedang kita alami ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus interaksi sosial, 2) pengaruh orang lain yang dianggap penting akan sangat mempengaruhi pembentukan sikap kita seperti orang tua, teman dekat, sahabat guru, teman kerja, istri maupun suami, 3) pengaruh kebudayaan tanpa kita sadarai kebudayaan telah menanamkan pengaruh sikap kita terhadap berbagai permasalahan, 4) media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang, 5) lembaga pendidikan dan
45
lembaga agama sangat mempengaruhi pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu serta 6) faktor emosional seseorang yang berfungsi sebagai penyalur frustasi dan pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih per sistem dan tahan lama. Menurut Mardiah (2011), hubungan sikap dan kinerja bidan menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan p > 0,05. Walaupun bidan sudah bersikap baik, namun belum tentu dalam tindakan bidan juga berperilaku baik, karena sikap merupakan perilaku tertutup yang artinya walaupun bidan berperilaku positif dalam mendukung program inisiasi menyusui dini (IMD) namun dalam kenyataannya bisa jadi perilaku bidan yang bersikap negatif lebih baik dibandingkan dengan bidan yang bersikap positif. 7.
Motivasi Motif sering kali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan atau tenaga
tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Menurut Moenir (2006) dalam Robbins (2007) motivasi adalah rangsangan dari luar dalam bentuk benda atau bukan benda yang dapat menumbuhkan dorongan pada orang untuk memiliki, menikmati, menguasai, atau mencapai benda/bukan benda tersebut. Motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang
46
timbul pada atau di dalam seorang individu yang menggerakkan dan pengarahkan perilaku. Konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam intensitas perilaku dan untuk menunjukkan arah tindakan. Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya, mereka yang bersikap positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi, sebaliknya jika mereka bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah, situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. Hasil penelitian Yunalis tahun 2009 tentang Pengaruh Komitmen Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Bidan, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen dan motivasi bidan di desa secara umum kategori sedang. Kinerja tidak mencapai target pelayanan. Komitmen dan motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja bidan dengan nilai p<0,05. 8.
Kepemimpinan Kepemimpinan juga mempengaruhi kinerja karyawan dalam perusahaan.
Menurut Cahyono dan Suharto (2005), kepemimpinan merupakan variabel yang sangat penting dalam mempengaruhi dalam perusahaan, kepemimpinan yang baik adalah dimana dalam memberi pengaruh, informasi, pengambilan keputusan dan dalam memberi motivasi bertujuan untuk meningkatkan atau memajukan perusahaan dan tidak merugikan karyawan, karena kepemimpinan yang baik akan menciptakan
47
suasana yang menyenangkan dan dapat menumbuhkan serta meningkatkan kinerja karyawan.
2.8 Landasan Teori Banyak faktor yang memengaruhi petugas kesehatan dalam memeberikan pelayanan sesuai standar profesinya. Menurut Gibson, (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor dari variabel individu yang terdiri dari kemampuan dan keterampilan, latar belakang, dan demografis. Faktor yang mempengaruhi kinerja yang kedua adalah faktor dari variabel psikologi yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, motivasi, kepuasan kerja dan stres kerja. Sedangkan faktor yang ketiga yang mempengaruhi kinerja adalah faktor organisasi yang terdiri dari kepemimpinan, kompensasi, konflik, kekuasaan, struktur organnisasi, desain pekerjaan, desain organisasi, dan karir. Kemampuan dan keterampilan memainkan peran penting dalam perilaku dan kinerja individu. Sebuah kemampuan adalah sebuah trait (bawaan atau dipelajari) yang mengijinkan seseorang mengerjakan sesuatu mental atau fisik. Keterampilan adalah
kompetensi
yang
berhubungan
dengan
tugas seperti keterampilan
mengoperasikan komputer atau keterampilan berkomunikasi dengan jelas untuk tujuan dan misi kelompok. Manajer harus mencocokkan setiap kemampuan dan keterampilan seseorang dengan persyaratan kerja agar dalam bekerja dapat mencapai kinerja (Gibson, 2008).
48
Aspek dari variabel psikologi adalah persepsi. Persepsi adalah proses kognitif individu
dalam
memilih,
mengatur,
menyimpan,
dan
menginterpretasikan
rangsangan menjadi gambaran dunia yang utuh dan berarti. Oleh karena setiap orang memberi arti dalam setiap rangsangan, individu berbeda dalam melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Cara seorang pekerja dalam melihat keadaan sering kali mempunyai arti yang lebih banyak untuk mengerti perilaku daripada keadaan itu sendiri (Gibson, 2008). Aspek dari variabel psikologi yang kedua adalah Sikap. Sikap merupakan determinan perilaku sebab yang berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek-obyek dan keadaan (Gibson, 2008). Aspek dari variabel psikologi yang ketiga adalah kepribadian. Kepribadian merupakan himpunan karakteristik dan kecenderungan yang stabil serta menentukan sifat umum dan perbedaan dalam perilaku seseorang. Kepribadian dipengaruhi oleh keturunan, budaya, dan faktor sosial. Kepribadian bukan faktor penting dalam perilaku di tempat kerja karena kepribadian dibentuk di luar organisasi. Perilaku seseorang tidak dapat dimengerti tanpa mempertimbangkan konsep kepribadian. Pada kenyataannya, kepribadian adalah juga saling berhubungan dengan persepsi, sikap, belajar, dan motivasi setiap usaha untuk mengerti perilaku menjadi tidak lengkap apabila kepribadian tidak diperhitungkan (Gibson, 2008).
49
Aspek dari variabel psikologi yang keempat adalah motivasi. Motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam seorang individu yang menggerakkan dan pengarahkan perilaku. Konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam intensitas perilaku dan untuk menunjukkan arah tindakan. Manajer lebih suka memotivasi karyawannya secara positif agar karyawan tersebut dapat menjalankan pekerjaannya dan karyawan yang termotivasi akan menghasilkan pekerjaan yang memiliki kualitas yang tinggi. (Gibson, 2008). Faktor psikologis selanjutnya adalah Kepuasan Kerja. Menurut Gibson (2008) kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang dipunyai individu mengenai pekerjaannya. Hal ini dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya, didasarkan pada faktor lingkungan kerja, seperti gaya penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, dan tunjangan. Faktor psikologis yang terakhir adalah Stres kerja. Menurut Gibson (2008), stres kerja merupakan suatu Persepsi penyesuaian, diperantarai oleh perbedaanperbedaan individu dan/atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan/atau fisik berlebihan kepada seseorang. Stres kerja dapat mempengaruhi kinerja dari seorang individu. Selanjutnya faktor yang mempengaruhi kinerja adalah variabel organisasi. Variabel organisasi yang pertama adalah kompensasi. Menurut Werther dan Davis dalam Hasibuan (2009), kompensasi adalah apa yang seorang pekerja terima sebagai
50
balasan dari pekerjaan yang diberikannya (baik upah per jam ataupun gaji periodik didesain dan dikelola oleh bagian personalia). Selain itu kompensasi atau imbalan merupakan total seluruh imbalan yang diterima karyawan sebagai pengganti jasa mereka. Menurut Gibson (2008) sasaran utama program imbalan adalah menarik yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi, mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja, dan memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi. Diharapkan bahwa setiap paket imbalan sebaiknya cukup memuaskan kebutuhan dasar (seperti makanan, tempat tinggal, pakaian), dipandang wajar, dan berorientasi pada individu. Variabel organisasi yang kedua adalah kepemimpinan. Kepemimpinan (leadership) dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok. Variabel ketiga dalam organisasi adalah ketersediaan sumber daya lain yang mendukung suatu petugas dalam melaksanakan kinerjanya agar lebih baik.
51
2.9 Kerangka Konsep Mengacu kepada landasan teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut : Variabel Independen
1. 2. 3. 4. 5.
Variebel Dependen
Faktor Individu : Umur Jenis kelamin Masa kerja Kemampuan Pengalaman kerja
Faktor Psikologis 1. Motivasi 2. Sikap
Kinerja Petugas Kesehatan
Faktor Organisasi: 1. Kepemimpinan 2. Sarana dan prasarana
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian