Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian berjudul “Pemodelan dan Peramalan Angka Curah Hujan Bulanan Menggunakan Analisis Runtun Waktu (Kasus Pada Daerah Sekitar Bandara Ngurah Rai)”, menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode peramalan Box-jenkins dapat menghasilkan suatu model perilaku hujan. Penggunaan fungsi autokorelasi dan autokorelasi sebagian didapatkan 3 model perilaku hujan
dan
setelah dianalisis maka model perilaku hujan yang paling sesuai adalah model musiman multiplicative (Dharmawan, dkk., 2009). Penelitian berjudul “Pranatamangsa Baru : Improving Food Resilience With Effective Cropping Pattern Planning Using SpatialBased”, menjelaskan bahwa efek pemanasan global menyebabkan iklim berubah sehingga pranatamangsa yang sudah lama digunakan oleh masyarakat Jawa menjadi tidak efektif. Penelitian ini menghasilkan model sistem pranatamangsa baru yang dapat mengatasi masalah perubahan iklim sehingga produksi bahan makanan meningkat dengan metode logika fuzzy (Simanjuntak, dkk., 2012). Perbedaan penelitian yang dilakukan ini dari penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah pada penelitian ini menggunakan
5
6
metode pemulusan eksponensial ganda satu parameter dari brown dan memetakan curah hujan pada web serta memberikan tabel ramalan dan grafik ramalan dibandingkan dengan data sebenarnya.
2.2 Profil Wilayah Boyolali Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah kurang lebih 101.510.0965 ha atau kurang 4,5 % dari luas Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Boyolali terletak antara 110o 22’ BT – 110o50’ BT dan 7o36’ LS – 7o71’LS dengan ketinggian antara 100 meter sampai dengan 1.500 meter dari permukaan laut. − Sebelah timur dan selatan merupakan daerah rendah, sedang sebelah utara dan barat merupakan daerah pegunungan. − Sebelah utara : Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. − Sebelah Timur : Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. − Sebelah Selatan : Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Klaten dan DIY. − Sebelah Barat : Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Jarak bentang : -
Barat – Timur = 48 km
-
Utara – Selatan = 54 km
7
Peta boyolali ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Peta Boyolali
2.3 Iklim Iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam, sehingga kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim. Iklim muncul setelah berlangsung suatu proses fisik dan dinamis yang kompleks yang terjadi di atmosfer bumi. Belakangan ini isu tentang perubahan iklim semakin menghangat seiring dengan semakin seringnya terjadi cuaca ekstrim akibat anomali iklim. Salah satu anomali iklim yang sering berhubungan dengan cuaca ekstrim di Indonesia adalah Anomali El Nino dan La Nina. Salah satu cara untuk mendeteksi kejadian El Nino dan La Nina ini adalah dengan melihat Nilai SOI. Nilai SOI (Southern Oscillation Index) atau Indeks Osilasi Selatan merupakan nilai perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Tahiti (Pasifik timur) dengan tekanan atmosfer di Darwin (pasafik barat) akibat dari perbedaan
8
temperatur pemukaan laut di kedua wilayah tersebut. Nilai SOI dapat dijadikan patokan terjadinya fenomena El Nino dan La Nina. Suatu keadaan dapat dikatakan telah terjadi El Nino apabila nilai SOI berada dalam posisi minus dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan dan begitu sebaliknya untuk menyatakan telah terjadi kejadian La Nina. Semakin negatif nilai SOI berarti semakin kuat kejadian panas (warm event), sebaliknya semakin positif nilai SOI semakin kuat kejadian dingin (cold event). El-Nino adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan munculnya arus air laut yang panas dari waktu ke waktu di kawasan Laut Pasifik bagian timur equator sampai kawasan pantai Peru dan Ekuador. Istilah La-Nina merujuk kepada munculnya arus laut dingin (lebih dingin dari kondisi ratarata) di bagian tengah dan timur ekuator Laut Pasifik (kebalikan dari El-Nino) (Effendy, 2001). 2.3.1. Identifikasi Iklim gregorius di Indonesia Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaannya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut. 1. Iklim Musim (Iklim Muson) Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan Angin Muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin Muson Barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin Muson Timur bertiup sekitar bulan
9
April
hingga
mengakibatkan
bulan
Oktober
wilayah
yang
sifatnya
Indonesia
kering
mengalami
yang musim
kering/kemarau. 2. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas) Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika. 3. Iklim Laut Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi. Iklim di Indonesia per periodik: 1. Oktober - Maret (OMAR): Asia m. dingin (tek.+) dan Australia m. panas (tek.-) Angin Muson Timur Laut; lewat ekuator berbelok ke kiri (Angin Muson Barat Laut). Angin Muson Timur Laut melalui lautan: musim hujan di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi. 2. April - September (ASEP): Australia m.dingin (tek. +) dan Asia m. panas (tek. -) Angin Muson Tenggara; lewat Kat. berbelok ke kanan (Angin Muson Barat Daya). Angin Muson Tenggara melalui gurun membawa angin kering: musim kemarau di Nusa Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan Selatan dan Sulawesi.
10
2.3.2. Identifikasi Iklim Pranatamangsa Di Indonesia, sejak zaman dahulu nenek moyang sudah menggunakan fenomena alam sebagai pedoman dalam bercocok tanam. Selama ribuan tahun menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, akhirnya dibuatkan kalender tahunan bukan berdasarkan kalender Syamsiah (Masehi) atau kalender Komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim
berbunga, dan letak
bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut. 1855 M: bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranatamangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya ditetapkan secara resmi (penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam).
2.4 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Metode ini merupakan metode linier yang dikemukakan oleh brown. Dasar pemikiran dari metode pemulusan eksponensial ganda satu parameter dari Brown ini adalah sama dengan rata-rata bergerak linier karena kedua nilai pemulusan tunggal dan ganda ketinggalan dari data sebenarnya. Jika terdapat unsur trend maka perbedaan nilai pemulusan tunggal dan ganda dapat ditambahkan kepada pemulusan ganda dan disesuaikan untuk trend. Dalam pemulusan eksponensial terdapat satu atau lebih parameter pemulusan yang ditentukan secara eksplisit, dan hasil pilihan ini menentukan bobot yang dikenakan pada nilai observasi.
11
Persamaan yang dipakai dalam implementasi pemulusan eksponensial ganda ditunjukkan berikut ini ᇱ (eksponensial tunggal) ܵ௧ᇱ = ߙ ܺ௧ + (1 – ߙ) ܵ௧ିଵ ᇱᇱ ܵ௧ᇱᇱ = ߙ ܵ௧ᇱ + (1 – ߙ) ܵ௧ିଵ (eksponensial ganda)
ܽ௧ = ܵ௧ᇱ + (ܵ௧ᇱ – ܵ௧ᇱᇱ ) = 2 ܵ௧ᇱ – ܵ௧ᇱᇱ ܾ௧ = ߙ / (1 – ߙ ) (ܵ௧ᇱ – ܵ௧ᇱᇱ ) ܨ௧ = ܽ௧ + ܾ௧ (m ), ݉ adalah jumlah periode ke muka. Untuk inisialisasi analisis pemulusan Eksponensial Ganda dari Brown ini dapat digunakan rumus pada Persamaan 2.1 (Lubis, 2009): ܵଵᇱᇱ = ܵଵᇱ= ܺଵ ܽଵ = ܺଵ
ܾଵ =
ሺమ ିభ ሻାሺరషయ ሻ ଶ
Persamaan 2.1 Analisis Pemulusan Eksponensial Ganda (Lubis, 2009)