BAB 2
TEORl dan METODOLOGI 2.1. Pengendalian Masyarakat (PM) dan Pengawasan Sosial (PS)
Dalam kenyataan kita senantiasa akan menjumpai bentuk PM dan PS sebagai gejala yang menyertai kehidupan warga untuk mengatur diri dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sebelurn menguraikan lebih jauh tentang PM dan PS ini perlu dicatat ada ilmuwan-ilmuwan sosial, termasuk Sajogyo,
yang tidak atau kurang sepakat bahkan menolak penggunaan konsep PM apabila maknanya disepadankan dengan social engineering (SE) atau rekayasa sosial khususnya dalam konteks disiplin sosiologi. Hal ini disebabkan mereka menilai pada konsep tersebut termuat konotasi yang memperlakukan kelompok sasaran sebagai obyek yang dibodohkan
'.
Dalarn suatu uraian Sajogyo secara analitis mengaitkan soal tersebut dengan posisi tugas para penyuluh pertanian dalarn konteks pertanyaan apakah mereka melakukan upaya social engineering, engineering sociology atau clinical sociology. Dikatakannya di sini ada unsur engineering karena kita dapat menemukan usaha dinas pertanian yang berkeinginan merobah sikap dan tingkah laku jutaan petani kepada kemajuan, teknik yang lebih produktif, usahatani yang lebih efisien, dan sebagainya. Dengan kata lain di sini ada ciri formal yang menyertai usaha tersebut. Dalam usaha penyuluhan pertanian itu pula, lanjut Sajogyo, kita sekaligus dapat menjumpai adanya unsur clinical sociology manakala para penyuluh pertanian berhadapan dengan para petani yang hendak disuluh di sawah-sawah dan kampung-kampung tempat tinggal mereka dalam kelompok-kelompok informal kecil. Singkat kata menurut Sajogyo pada ujung kesimpulannya, penyuluhan pertanian itu mempunyai momen engineering Lihat S a y w (1991) , S o s i M T e m p , Pi&to Rwna Baku GUN BBSar IPB,
baik dari segi aplikasi ilmu-ilmu sosial maupun momen clinical sociology, yaitu pada waktu penyuluh secara langsung membina kelompok-kelompok petani di desa mencapai kernajuan yang dicita-citakan Senada dengan itu, Wiradi membahas konsep 'social engineering' dengan rnenyatakan :
....seperti telah disebutkan, pada tahap awal masuk sosiologi di Amenka Serikat, suasana di sana sedang diiiputi oleh semangat reformasi. lstilah 'social reform' sedang populer. Tetapi lama-kelamaan istilah ini pun ditinggalkan karena dianggap terlalu berlebihan tekanannya kepada moralitas, dan juga karena lebih bersifat radikal. Karena itu, ketika kemudian muncul istilah SE, oleh sebagian ilmuwan istilah ini kadang-kadang dipakai sebagai sinonim dengan 'soc~~al reform. Namun sebagian besar ilmuwan menganggapnya berbeda bahkan bertentangan, sebab 'social reform' mengasumsikan bahwa 'masalah sosial' itu akarnya terletak pada tata sosial secara keseluruhan, dan karena 'socia/ reform' bertujuan merubah tata-sosial yang ada. Sedangkan SE bertujuan memecahkan 'masalah-masalah sosial' praktis itu sendin secara pragrmatis, sehingga dianggap tak menganggu kelestarian tata sosial yang ada. Dalam konteks ini Lazarfeld dan Reitz mengatakan bahwa istilah SE sebenarnya hanyalah semacam metafor bagi peranan ilmuwan sosiologi dalam peransertanya untuk metakukan perbaikan masyarakat. Namun demikian dalam perkembangan berikutnya yang terjadi dalam kenyataan justru menjadi berlawanan dengan makna yang melekat padanya. Hal terakhir ini oleh kedua penulis Lazarfeld dan Reitz dijelaskannya melalui 3 (tiga) tahap yang menyertai perkembangan sosiologi di Amerika Serikat. Yang hendak dikemukakan di sini adalah perkembangan pada tahap terakhir yang dicirikan oleh upaya menuju pengembangan sosiologi terapan. Artinya sebagai ilmu ia berusaha menjadi sintesa baru antara sosiologi sebagai
Sajogyo (1971: 426-429), Penelifian //muSosial dan Aplikasinya, &lam Koentjaraningrat (ed), Metodd i Penelitian Masyarekat, LIPI. Jakarta 09, Gunawan Wired (1996: 7-81, Rekeyasa SosieI dalam Menghadapi Era lndusln'alisasi Pertanian, makalah pada seminar nadonal ' Induslrialisasi. Rekayasa Soial, dan Peranan Pemerintah Dalam Fernbangunan Pertanian, Departemen Pectaniin fU, Jakarta.
sistem pengetahuan dan praktek kerja sosial dalam memecahkan rnasalah sosial nyata. Dengan kata lain menuju pembangunan ilmu sosiologi terapan itulah hakekat usaha pencarian sintesa baru, yaitu menjembatani kesenjangan (gap) antara ilmuwan (sosial) dan para penentu kebijakan. Peran ilmuwan sosial sebagai pengelola proses dialektis antara teori dan praktek seperti itu yang oleh Lazarfeld semula diberi metafor social engineer. Jadi, bukan perekayasaan pemecahan masalah itu sendiri
.
Terlepas dari masih terdapatnya kontroversi dalam cara memaharni istilah dan konsep SE dalam kerangka keilmuan, namun seperti telah disebutkan di atas, di tataran empiris SE atau PM (dan PS) ini adalah suatu gejala sosial nyata yang senantiasa hadir dalam kehidupan suatu masyarakat untuk mengatur diri dalam kehidupan berkelompok. PM merupakan suatu bentuk khas PS, yaitu suatu jenis pengawasan sosial yang bersifat formal. Makin berkembang suatu masyarakat makin formal pula bentuk PM dengan segala alat bantu-nya seperti kekuasaan dan hukurn. Sebaliknya PS adalah PM yang tidak formal dan tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan. Menurut Susanto-Sunario usaha menghimpitkan kepentingan antara PM dan PS adalah merupakan upaya setiap pemerintah di mana-mana, karena itu pemerintahan sebagai kekuatan PM perlu selalu mengekang diri agar sistem pengendaliannya (pemerintahannya) tidak menjurus ke arah totaliterisme. Belum jelas benar bagi Pound yang mencetuskan istilah SE pertama kalinya pada tahun 1922, apakah ia memaksudkannya sebagai pengendalian sistem politik terhadap masyarakat atau sebaliknya sebagai pengendalian masyarakat terhadap sistem politik, ataupun sebagai suatu kerja sama antara PM dan PS. Yang penting bagi Pound saat itu hukum yang '
Paul W e l d and JG. Reilz (1975:l-10). An lnbuduction to ApIUed Soddogy , Elsevier, New Yorlc.
adil perlu berpangkal pada kenyataan psiko-sosiologik suatu masyarakat. Pendekatan di atas bermakna- untuk mernberikan pengamanan atas keinginan-keinginan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. PM dengan demikian harus berusaha mengatasi pertentangan dan persaingan antar anggotalgolongan masyarakat. Pertentangan ini selalu berasal pada (a) keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan kesernpatan, serta (c) keterbatasan volume pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dasar 5 .
2.2. Etos Komunal
Adalah menarik untuk lebih jauh melihat apa beda PS dengan kritik
sosial. Kritik sosial jelas Susanto-Sunario lebih lanjut, biasanya dinilai sebagai barometer sosial-politik suatu masyarakat Adanya pendapatpendapat yang menginginkan koreksi atau perbaikan dalam masyarakat menjelaskan adanya gagasan untuk membuka perubahan nilai atau bahkan sistem nilai apabila berjalan cukup lama dan bersifat pervasif. Sehubungan dengan adanya pendapat-pendapat yang berbeda dalam masyarakat, maka seringkali orang menghubungkanfaktor kritik sosial dan PS. Selanjutnya kritik sosial juga sering dihubungkan dengan pendapat umum yang biasanya menginginkan sesuatu yang baru, atau ha1 yang lama telah diketahui untuk segera dilaksanakan. Pertanyaannya kini adalah: Seberapa jauhkah hubungan-hubungan demikian ini tepat ?. Untuk mencari 'jalan ke luar' dari pertentangan ini dengan mengacu pada pemikiran Huxley dan Huxley oleh Susanto-Sunario mula-mula dibahas mengenai 3 jenis etos.
Astiid Susanto-Sunario (1989:141), Komunikasi Pengendalian dan Komunikasi Pengawasan, Sidr Harapan, Jakarta. Uhat pula Astrid Susantc4unafio (1990:15), Komunikasi Sebagd Matmntd Utama Antara Pengendalian Masyarakat dan Pengawasan Sosial, Pidato Guru Besar pada Fisjpol-Univemitas I W a , Jakarta.
Etos tersebut masing-masing adalah etos intuitif, etos nafuralistik, dan etos evolusionalistiks . Namun sebelum menguraikan lebih lanjut ketiga etos tersebut di atas perlu ditegaskan kembali makna konsep etos. Etos di sini adalah norma moral yang pendasaran keberlakuannya datang dari budaya
dan sikap
kolektif, yaitu hasil sosialisasi dan internalisasi warga yang bersangkutan. Pada norma moral ini ada tekanan agar individu-individu warga yang bersangkutan mengambil sikap tanggung jawab dan kewajiban yang mengutarnakan pemenuhan kebutuhan bersama secara merata dan adil (resiprokal). Dalam khazanah kepustakaan ilmu-ilmu sosial. etos ini sering juga dipahami sebagai kebiasaan, adat, watak, cara berbuat dan beberapa arti lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu kelompok atas kelompok lainnya. Etos adalah masalah tentang baik dan buruk, yang bajik dan yang jahat, yang benar (dalam arti adil) dan yang salah, dan seterusnya. Etos sosial (dalam studi ini disebut etos komunal) adalah suatu pleonasme, karena para sosiolog mengartikan etos sebagai sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya
'.
Dalam uraiannya yang rinci Soekito menyebut suatu pernyataan, manusia itu selalu mengalami alienasi, selama ia hidup selarna itu pula ia akan tetap mengalami alienasi. Setiap tindak-tanduk manusia yang menimbulkan ketegangan-ketegangan, membuktikan kekurangan dirinya. Alienasi itulah kekurangan kita sebagai manusia yang sesungguhnya dapat kita kurangi tetapi tidak dapat ditiadakan. Jika kita sebagai manusia telah menyadari
kekurangan
yang
dicerminkan
oleh
tindak-tanduk
atau
tingkahlaku diri kita sehari-hari, maka kita memerlukan orang lain.
' '
T.H. Huxley dan Julian Hwdey (1947) dalam Asrtrid S. Sunatio, (1977:E-10). Makna dan ~ungsikick' Sosial dalam Masyarakaf dan Negam, Prisma, LP3ES. Uhat Wiratmo Soekito (1978:M. 1978) Etos SdaI: Suafu Refleksi, Piisma No 11. LP3ES. Jakatta. Uhat pula Hsruy Pretl FabhiId and 100 authciiiias ((1976: log), Diclona!y Of Sodology And Related Sciences, A LittlefieldAdams, New Jersey.
Kekurangan yang kita alami bukanlah sesuatu yang merintangi kita untuk berusaha rnenyernpurnaKan hidup kita, melainkan justru merupakan dorongan. Oleh karena itu keberadaan orang lain merupakan faktor positif jika dilihat dari sudut etos sosial. Dengan mengembangkan positif
pada orang lain, kita akan lebih
mudah menghayati hak-hak kita, karena kita tidak akan menuntut hak-hak kita tanpa terlebih dahulu menghormati hak-hak orang lain. Menempatkan orang-orang sebagai pribadi berarti memperlakukannya sebagai pribadi, yaitu sebagai seorang yang sebagaimana kita, mempunyai daya-upaya dan keinginan untuk menyempurnakan hidupnya. Kita harus adil terhadap orang lain dan kita akan berlaku demikian hanya apabila kita mengakui dalam perbuatan orang lain terkandung eksistensi berharga. Tanpa pengakuan ini tidak akan mungkin timbul hidup etis, yang dicerminkan dalam perbuatan rnembatasi diri dengan sukarela ' . Kembali pada konsep etos yang di awal paragraf ini hendak kita hubungkan dengan pertanyaan sejauhmana PS, dalam konteks kepentingan yang berhadapan dengan PM, dan kritik sosial saling berkaitan maka kita perlu melihat konsep etos itu secara lebih analitis. Seperti telah disebutkan terdahulu, pertama-tama kita dapat mulai dengan mengajukan uraian apa itu
etos intuitif Etos ini pada dasarnya hendak menggambarkan apa yang oleh pribadi dianggap benar. Hal ini disebabkan karena manusia dalarn hidupnya seringkali akan mengalami konflik mental. Hal ini wajar, sebagai manusia ia juga akan berusaha untuk mengatasi konflik mental ini dengan akibat bahwa dalam dirinya akan terbentuk dengan sendirinya dasar dari hati nuraninya dan kesadaran akan moral, sehingga berkembanglah dalam dirinya suatu
Dalam uraiannya Wiratmo Soekito (ibid. 1978: 57) mengupas pendapatpendapat Ricoeur, Hegel, dan Man y a y ksmudan masingmasing Qpemadapkan satu sama lain, khususnya tenteng apa itu alienasl. dan bagaimana mengurangi atau menhbaskan daripadanya untuk kemudan menympmtakan identitas kemanusiaannya.
sistem etos
0
. Di sini walaupun etos menjadi pedoman manusia dalam
kapasitas individu banyak membantunya dalam membentuk- kesadaran moralnya, namun ditinjau dari segi makro, etos tidak memberi jaminan kepada individu, apakah secara
obyektif yang telah
dilakukannya
berdasarkan etos dan hati nuraninya adalah mutlak berada di landasan yang benar. Selanjutnya etos naturalistik menurut Huxley lebih ditentukan oleh evolusi, otoritas, dan tradisi sehingga unsur kesadaran moral lebih ditentukan oleh unsur biologis-genetik. Tahap dan situasi nyata lingkungan akan menentukan sifat etos yang dianut suatu kelompok. Etos seperti ini mirip dengan pendapat para ahli antropologi yang melihat etos tidak terlepas dari lingkungan dan kelompok. Dalam kondisi naturalistik etos dilandasi pemikiran prinsip resiprokal karena satu sama lain saling memerlukan, saling terdorong memberikan kemanfaatan atau kegunaan sehingga tercapai kemaslahatan sosial. Etos seperti ini tidak tumbuh pertama-tama oleh prinsip transendental, melainkan situasi nyata lingkungan sosial, materi dan non-materi. Ritus agama atau kepercayaan pada gilirannya akan menguatkan pemberian sangsi yang lebih tinggi,
sehingga orang takut untuk berperilaku
menyimpang. Sernua ini akhirnya mempunyai pengaruh psikologis terhadap individu, sehingga ia tidak mau melanggar apa yang oleh kelompoknya dianggap baik, supaya ia tidak hilang muka dan akan dinilai sebagai orang baik. Menghubungkan etos sosial naturalistik dengan kehidupan komunitas petani, kita dapat
menyimak pada uraian Scott yang melihat bahwa di
kebanyakan komunitas tersebut khususnya yang bersifat pra-kapitalis, kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan telah menyebabkan 0
T.H. H d e y dan Julian Huxley (1947), Evolution end E W , &lam Asttid S. Swanto, Makna dan Fungsi Krifk SosiaI dan Negara, (1977:4-9) Piisma, LRES. Jakarta.
timbulnya apa yang mungkin dapat dinamakan secara tepat sebagai etika subsistensi. Etika yang terdapat di kalangan petani Asia Tenggara itu merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas. Etika sosial ini pada gilirannya menimbulkan pengaturan-pengaturan(norma) sosial yang di tataran kehidupan nyata masih kuat bertumpu pada pinsipprinsip resiprositas. Lebih tegas lagi Scott menyebut prinsip safety first allas dahulukan selamat iniiah yang melatar-belakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalislO. Apabila etos intuitif lebih bersifat pribadi, dan etos naturalistik lebih terikat pada tahap perkembangan biologis dan ikatan kolektif manusia, maka menurut Huxley etos berdasarkan teori evolusi adalah etos yang bersifat dinamis. Perkembangan konsep etos hingga ke tahap ini dimungkinkan oleh perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti psikologi. sosiologi, sejarah, dan lain-lain. Etos berdasarkan teori ini memungkinkan manusia berkembang dan menjadi lebih dewasa. Pengertian etos
dalam
rangka
teori
evolusi
terarah
untuk
mengembangkan etos itu sendiri, bukan untuk menghambat manusia. Hal ini dilakukan dengan
memperhatikan
lebih
banyak
pengetahuan
dan
pengalaman serta mencari keserasian antara unsur-unsur tadi. Dengan demikian konsep etos menurut
teori evolusi kurang
mengukur benar-tidaknya suatu tindakan berdasarkan ukuran kelompok saja (sebagaimana yang dilakukan oleh etos naturalistik). Etos berdasarkan teori evolusi justru menilai manusia dalam keutuhannya dan tidak melihatnya terlepas dari lingkungan tersebut. Pikiran bahwa etos dalam teori evolusi melihat perkembangan inividu tidak terlepas dari lingkungannya justru tercerminkan dalam kenyataan bahwa sumbangan pemikiran ilmiah dan'
10
James Scott (1981: &7), Moral Ekonomi Pefani, LBES, Jakarta
pengetahuan justru diperlukan sebanyak mungkin. Perkembangan dan pembentukan suatu moralitas sosial dirasakan hanya dapat te~lujudkan apabila cukup pengetahuan baru yang menunjang usaha manusia dalam menganalisa kenyataan apa yang baik dan apa yang buruk. Apabila pengetahuan rasional diperlukan untuk lebih menjelaskan kenyataan dan memahaminya serta mencari jawabannya melalui proses berpikir secara abstrak, maka juga dalam bidang seni-budaya manusia dapat memperoleh nilai baru (atau nilai lama yang kembali) setelah melalui proses komunikasi. Etos dalam teori evolusi karenanya tidak berbeda dengan etos menurut
teori
naturalistik,
yaitu
ia
tetap
mempertahankan
nilai
operasionalnya. Namun dernikian etos menurut teori evolusi didasarkan pada pengetahuan yang luas dan banyak. Kontrol dalam ha1 ini bersifat disiplin diri karena kepentingan diri dengan adanya disiplin sosial. Manusia menurut etos evolusionistik ini bersikap dan bertindak dengan berwawasan lebih komprehensif. Manusia tetap mencari dan mernperoleh kesempatan untuk rnemenuhi dorongan-dorongan dalam dirinya akan tetapi tetap rnencari keserasian dengan lingkungannya. Ini karena ia sadar bahwa ia tidak hidup sendiri dan juga memerlukan lingkungan itu untuk perkembangannya sendiri. Keserasian dengan lingkungan dengan demikian tidak merupakan tujuan utama, melainkan merupakan sarana dan nilai operasional demi perbaikan hidup individu dengan lingkungannya. Berdasarkan inilah kritik sosial akan dinilai rnasyarakat. Walaupun suatu masyarakat tradisi masih banyak memperlihatkan etos naturalistiknya sehingga mudah terjadi pertentangan antara nilai yang dianut oleh figur-figur kritis dengan nilai masyarakat, namun dalam proses perubahan dan pendewasaan suatu rnasyarakat seorang kritikus dapat saja memberika" surnbangannya. Sumbangan di sini bempa penyadaran pada masyarakat luas untuk tidak rnempertentangkan nilai atau etos intuitif dengan etos
kelompok, melainkan bersama-sama mencari jalan keluar dari masalah. Dari sinilah muncul yang disebut kepekaan sosial (social sensitivity) yang merupakan awal dari lahirnya kritik sosial. Ruang Sosial Semi Otonom: Ajang Dialog Kritis antara Golongan Elit dan Warga Desa Terrnasuk Golongan Periferi.
2.3.
2.3.1. Kritik Sosial
Kritik sosial, apabila kita tempatkan dalam konteks kehidupan komunitas desa (petani) sederhana yang masih dilandasi etos naturalistik, lebih tepat kita sebut sebagai ajang bermusyawarah, ajang bertukar-pikiran atau ajang bersilaturahmi. Ajang bermusyawarah sebagai wacana interaksi yang mengembangkan perbincangan dalam kenyataannya memang dapat terjadi dengan ragam bobot dan skala yang berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri
proses
pergeseran
ajang
sosial
biasa
menuju
ajang
bermusyawarah lebih mudah terjadi apabila pesertanya melibatkan diantaranya figur-figur kritis (pemuka masyarakat dan kalangan terdidik). Hal ini wajar karena mereka dengan etos infuitifnya relatif lebih mampu merumuskan rasa kepekaan sosial dan lebih mampu rnentransformasikannya dengan bahasa yang pas (cocok) pada khalayak warga desa dalam bentuk verbal. Berbicara lebih lanjut tentang para tokoh kritis ini dapat dikatakan bahwa bagi elit desa yang tampil ke atas berkat pilihan warga seperti Kades, jelas posisinya sangat sentral karena ia bertanggung jawab untuk mampu menjembatani dan berkomunikasi antara kepentingan warga desa di satu pihak dan kepentingan elit politik serta elit dunia usaha dari aras atas-desa di pihak lain. Sementara para tokoh kritis lain seperti para pemimpin informal secara teoritik juga berpotensi sama, khususnya untuk menjembatani apirasi warga desa dan golongan periferi terhadap pimpinan desa (Kades).
.
Adalah sangat penting membahas ha1 terakhir ini, karena bagi warga desa-terutama golongan periferi, apabila kita menghubungkan pembicaraan kita tentang dimensi politik, jelas ditunjukkan bahwa aspirasi mereka selama ini tak cukup terakomodasikan dalam institusi-institusi formal seperti Lembaga Ketahanan Musyawarah Desa (LKMD). Soetrisno mengatakan kelompok-kelompok (pembangunan) komunitas di pedesaan secara sosialekonomis sesungguhnya sejak lama tidak lagi bersifat homogen sehingga dapat diduga LKMD lebih berfungsi sebagai wahana yang memperjuangkan kepentingan golongan elit semata. 2.3.2. Negara dan Penataan Pembangunan Masyarakat Desa (Formal): Korporatisasi Institusi-lnstitusi Formal Desa
Dikatakan lebih lanjut oleh Soetrisno bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, negara memiliki peranan yang sentral dalam proses pembangunan. Dimaksudkan dengan kata negara atau
state di sini adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis, yang menata, dan dengan demikian menguasai wilayah yang menjadi wadah kesatuan politis tersebut. Negara tidak hanya membiayai pembangunan tetapi juga merencanakan dan melaksanakan pembangunan, sedang anggota masyarakat hanyalah berfungsi sebagai konsumen pembangunan, dimana mereka tinggal menerima dan menikmati hasil pembangunan yang dibiayai dan direncanakan negara.
Proses pembangunan seperti itu
mempunyai dampak positif dan segi negatif.
Segi positif,
proses
pembangunan dapat berjalan dengan cepat dimana target-target yang ditetapkan negara, dapat dicapai dengan tepat pada waktunya.
Namun,
kelancaran pembangunan itu sangat bergantung pada kemampuan negara menyediakan dana dan kemampuan aparat negara untuk bertindak kreatif. Hal yang terakhir ini sulit diharapkan mengingat aparat negara terikat pada peraturan-peraturan dan target yang telah ditentukan dari pusat secara ketat
.
dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini membuat proses pembangunan berwarna instruktif daripada bersifat dialogis yang dalam jangka panjang mengakibatkan masyarakat sangat tergantung pada negara dan aparatnya dalam ha1 pembangunan." Soetrisno lebih jauh mengatakan suatu pembangunan dikatakan berhasil tidak hanya apabila pembangunan itu menaikkan taraf hidup masyarakat, tetapi juga harus diukur dari sejauh mana pembangunan itu dapat menimbulkan kemauan dan kemampuan dari suatu masyarakat untuk mandiri. Artinya, kemauan masyarakat itu untuk menciptakan pembangunan dan melestarikan serta mengembangkan hasil-hasil pembangunan, baik yang berasal dari usaha mereka sendiri maupun yang berasal dari prakarsa yang datang dari luar masyarakat. Dari segi ini negara dan aparatnya akhirnya tetap merupakan unsur dominan dalam proses pembangunan pedesaan. Hampir semua departemen memiliki program pembangunan pedesaan,
dimana Kades dan aparatnya tetap merupakan 'titik masuk'
(entry point) yang utama bagi semua program pembangunan pedesaan. lnovasi dalam beberapa aspek strategi pedesaan di Indonesia dilakukan juga oleh negara, salah satu yang penting adalah dibentuknya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan diberikannya fungsi penasehat bagi Kades pada lembaga tersebut. Namun dalam kenyataannya LKMD belum dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. LKMD masih merupakan bagian dari perangkat pemerintah desa. Demikian pula inovasiinovasi lain yang dikembangkan di daerah pedesaan masih mencerminkan dominasi negara dalam proses pembangunan. Sentralisme tetap merupakan ciri dalam proses pembangunan pedesaan di negara kita, dan ini terkait dengan kenyataan bahwa masyarakat pedesaan khususnya tidak memiliki
''
Loekman Soelrism (1985:16), Massa Penferal Di Pedesaaan Indonesia: Dimensi Ekonomi-Politik, P r i m No. 3, LP3ES, Jakada.
kelas menengah yang dapat menjadi sumber penggerak pembangunan -atternatif. Ada beberapa akibat penting dari kegagalan negara rnenciptakan kelas menengah. Salah satunya adalah negara dan aparatnya harus menjadi motor
tunggal
penggerak
pernbangunan
(moderninasi)
masyarakat.
Sekaligus dengan itu, negara dan aparatnya sering menjadi obyek kritik apabila terjadi kesalahan dan tidak berhasilnya program moderninasi yang mereka rencanakan. Kritik ini sering menjadi ketegangan-ketegangan politik apabila negara dan aparatnya memiliki tradisi yang tidak menghargai makna kritik dalam proses moderninasii2 Sejalan dengan pendapat Soetrisno, Mas'oed melihat program PMDformal sebagai salah satu mata-rantai yang menghubungkan unit politik negara di satu pihak dan unit politik masyarakat desa di pihak lain. Sebagai bagian
dari
proses
pembangunan
nasional,
PMD-formal
juga
dikonseptualisasikan sebagai proses pengkonsolidasian berbagai wilayah teritorial dan pengintegrasian kehidupan masyarakat dalam berbagai dimensi (sosial, kultur, ekonomi, maupun politik) ke dalam satu unit yang utuh ". Dalam perspektif ini program PMD-formal yang dilakukan pemerintah mengandung dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif. Pertama, PMD-formal merupakan proses memasukkan desa ke dalam negara, yaitu melibatkan masyarakat desa agar berperan-serta dalam masyarakat yang lebih has. Ini dilakukan melalui pengenalan pelembagaan baru dalam kehidupan desa dan penyebaran gagasan modernisasi. Kedua, PMD-formal juga betwujud proses memasukkan negara ke dalam desa. Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan hegemoni negara sehingga
l2Loekman Soetrisno (1988:1325), Negara dan Peranannya d818m Menciptakan Pembangunan Desa yang Man?$ri, Prisma No.1, LRES, Jakarta. Mohtar Mas'oed, (1994: 123128), Pditik, BiBiroloasi dan POembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarla.
merasuk ke dalam kehidupan masyarakat desa dan sering mengakibatkan peningkatan ketergantungan desa terhadap negara. Diungkapkan lebih jauh oleh Mas'oed proses pertama sebenarnya menjanjikan warga desa kemungkinan untuk dilibatkan dalam pembangunan nasional. Melalui program PMD-formal warga desa bisa berharap memperoleh 'akses' ke berbagai jenis sumberdaya pembangunan, material maupun politik yang dimiliki negara. Berbagai jenis proyek pembangunan, baik melalui mekanisme PELITA, yang dilaksanakan berbagai instansi sektoral maupun melalui skema INPRES dan BANGDES (sekarang disebut PMD), telah berfungsi sebagai penyalur banyak sumberdaya ke pedesaan. Sebagian besar kebijaksanaan publik itu telah berhasil memobilisasi penduduk pedesaan sebagai warga dari negara nasional Indonesia, yang bisa menikmati bagian dari hasil pembangunan secara lebih besar, dan yang lebih penting lagi bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara penuh. Dengan kata lain, proses ini bisa membuka jalan menuju partisipasi, modernisasi, dan mungkin juga demokratisasi. Namun harapan itu kurang didukung oleh proses kedua dalam PMDformal, yaitu proses penetrasi negara ke desa. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam praktek masyarakat desa hanya bisa punya akses ke sumberdaya kehidupan negara, kalau negara juga punya akses kehidupan desa. Melalui berbagai aturan main yang mendukung program PMD-formal. negara menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang mempengaruhi kehidupan sosial, politik dan ekonomi seharihari warga desa. Penetrasi itu dilakukan antara lain melalui kooptasi atau pembentukan lembaga baru yang didominasi oleh negara (misalnya, LKMD) maupun melalui pejabat negara yang ditugaskan di desa. Lembaga desa yang berbeda dengan bentuk birokratik baku yangs ditetapkan oleh negara, kehilangan keabsahannya (misalnya, penghapusan berbagai koperasi yang sudah ada di desa untuk digantikan KUD). Bentuk
lain kooptasi itu adalah birokratisasi prosedur desa. Saluran yang seharusnya merupakan pembawa suara desa ke negara berubah menjadi saluran perintah dari negara terhadap warga desa. Penetrasi negara ke dalam kehidupan desa itu berjalan efektif selama Orde Baru antara lain karena dua hal. Pertama, adalah dukungan jaringan administrasi teritorial militer yang sejajar dengan jaringan administrasi teritorial sipil. Kedua, adalah sistem perwakilan kepentingan, yang menghubungkan negara dan masyarakat melalui jaringan organisasiorganisasi fungsional non-ideologis atau 'korporatisme negara'. Penerapan mekanisme ini oleh pemerintah Orde Baru, menurut Mas'oed, telah menghilangkan kemajemukan dalam kehidupan sosial dan politik pedesaan dan munculah pengorganisasian kepentingan masyarakat dalam wadah serba tunggal. Di pedesaan ha1 terakhir terwujud melalui organisasi Pendidikan Kesejahteraaan Keluarga
(PKK)
yang
terutama
untuk
menampung kegiatan kaum wanita, Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai wadah kolektif ekonomi, Karang Taruna untuk wadah kegiatan para remajalpemuda, dan lain-lain. Melalui organisasi-organisasi yang berciri korporatis ini negara secara bersungguh-sungguh mengandalkannya sebagai
satu-satunya
media
penyambung antara negara dan masyarakat. Karena mekanisme inilah yang diyakini bisa meminimalkan konflik sosial dan memaksimalkan produktivitas. Yang dipersoalkan di sini adalah kenyataan bahwa organisasiorganisasi itu kurang diarahkan pada upaya memperjuangkan kepentingan anggotaanggotanya, tetapi justru iebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sarana mengendalikan perilaku masyarakat itu sendiri. Kecenderungan monopolisasi lembaga perwakilan kepentingan itu justru menimbulkan banyak kesempatan bagi para elit desa yang menempati ' posisi strategis sebagai jembatan antara masyarakat desa dengan aktoraktor di luar desa. Menyinggung ha1 terakhir ini Sajogyo mengatakan strategi
pembangunan desa mencirikan dengan kuat bias kota. Ini dimulai dari pembentukan- gagasan-gagasan di pusat yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh birokrat kota dan teknokrat, dan kemudian ia disebarkan dan dlterapkan ke daerah-daerah tanpa didahului dengan suatu proses uji-coba14 Dalam konteks yang demikian ini para pemimpin lokal diketahui menjadi lebih tertarik untuk mengejar karier (dan bisnis) di lingkup atas desa, dan untuk meraih itu semua mereka rnelakukannya dengan berkiprah pada proses-proses yang berjalan dari atas-bawah. Dengan demikian dapat diduga bahwa pemimpin lokal tidak lagi bekerja atas nama lapisan bawah (golongan periferi) yang sesungguhnya perlu diperjuangkan nasibnya. Berdasarkan uraian di atas perlu disoroti secara khusus peranan pemerintah desa, terutama Kades yang semakin berkepentingan untuk berorientasi ke Iuar desa. Untuk memahami sikap ini perlu diperhatikan dua hal. Pertama, adalah proses rekrutmen Kades, dan kedua, adalah anekafungsi yang secara aktual dilakukan oleh para pejabat desa tersebut. Mengenai proses rekrutmen Kades, dari pengamatan Mas'oed dalam karangannya yang sama ditunjukan bahwa keberhasilan seseorang untuk menjadi pejabat desa lebih banyak ditentukan oleh wewenang di luar desa daripada oleh para pemilih dalam desa. Selanjutnya pemahaman mengenai kecenderungan orientasi ke luar elit desa juga bisa dimengerti dari begitu banyaknya fungsi yang harus ditangani oleh kepala desa. Fungsi-fungsi ini rnisalnya di bidang pembangunan pertanian (kredit pertanian) Insus, KUD, dalam bidang kesehatan (misalnya Keluarga Berencana), penarikan pajak (misal, PBB), dan lain-lain. PMD yang dirancang dari atas mendorong penetrasi negara yang rnendalam
dan
meluas
ke
dalam
kehidupan
pedesaan
dan
pengintegrasiannya kedalam kerangka kerja nasional. Selain memberi Sayogyo (1993:58). AgriwIhrre and lndusbi8Iizatibn In Rural Development, &lam Indonesia's Experience Under The New Order (Jan-Paul Dirkse et ed), K I M Press, Leiden.
kesempatan kepada penduduk desa untuk menikmati sumberdaya yang dimiliki
negara,
program
itu
juga
memaksakan
menyeragamkan
pelembagaan desa dengan risiko menghapuskan keunikan lokal. Di hadapan hukum nasional banyak lembaga-lembaga lokal kehilangan keabsahannya. Ditambah dengan mekanisme pengendalian masyarakat yang ketat, kondisi itu rnelemahkan otonomi pedesaan, dan akhirnya memandulkan potensipotensi yang ada di sana untuk menurnbuhkan demokrasi. Memang benar bila dilihat dari latar belakang sejarah lebih ke belakang, maka dalam kenyataannya sebelum kedatangan VOC ke Indonesia sekali pun, pusat kerajaan-kerajaan di Jawa sudah banyak mencampuri otonomi desa yang kemudian diintensifkan oleh masa penjajahan setelah pada tahun 1799 VOC peranannya diarnbil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal itu menurut Tjondronegoro merupakan sebagai awal rnulanya demokrasi 'primitif di daerah pedesaan semakin terdesak dan dihambat pertumbuhannya pada tingkat masyarakat pedukuhan. Lebih lanjut dikatakan Tjondronegoro, dapat dihayati bagaimana lewat kebijaksanaan Van den Bosch dengan Cultuw stelsel-nya (1830-1870) misalnya, mengakibatkan makin menguatnya proses campur tangan dari pihak atas-desa untuk menggali sumber kekayaan bumi kepulauan kita terutama di bidang pertanian sesuai dengan kebutuhan negara penjajah pada rnasa itu. Campur tangan tersebut memanfaatkan pola masyarakat yang sudah ada, dan sebagian berfungsi sebagai feodalI5 .
2.3.2.1. Korporatisasi dan Kepentingan Umum
lmplikasinya
Terhadap
Pelayanan
Adalah menarik untuk mengungkapkan lebih jauh masalah gejala korporatisasi Sebagaimana
institusi-institusi telah
formal
disinggung
pembangunan
pemerintah
secara
di
atas.
sengaja
telah
desa
mengintroduksikan sejumlah institusi formal yang dimaksudkan untuk melancarkan jalannya pembangunan khususnya yang diprakarsai dari atasdesa, termasuk di sini institusi pemerintahan desa. Dalam kaitan ini menarik untuk
memperhatikan
arti
korporatisasi
institusi-institusi
formal
pembangunan desa itu dalam konteks wacana yang lebih luas dan implikasinya terhadap pelayanan kepentingan umum.. Sebagaimana
telah
dijelaskan
di
muka
korporatisasi
yang
dimaksudkan di sini menunjuk pada gejala perlakuan atas institusi-institusi formal pembangunan desa yang cenderung atau bahkan sepenuhnya dikelola sebagai unit perwakilan kepentingan negara yang fungsi dan tujuantujuannya ditata secara hirarkhis oleh negara dan bersifat
memaksa.
Penataan ini berhubungan dengan kehendak memberikan monopoli perwakilan negara untuk suatu kepentingan sesuai dengan kategori fungsiyang diembannya. Selanjutnya untuk menjamin kelancaran atas kepentingan itu, kepada institusi-institusi yang bersangkutan oleh negara dikenakan suatu syarat, yaitu mereka harus tunduk kepada pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan serta dalam artikulasi tuntutan dan dukungan. Sebagai konsekuensi dari ciri institusi yang bersifat korporatis ini dalam konteks kegiatan PMD yang diprakarsai dari atas-desa adalah makin kokohnya cara-cara pendekatan yang teknokratis dan paternalistik. Dengan kata lain, pendekatan serupa ini hanya menyebabkan masyarakat desa menjadi
obyek
semata
dan
keikutsertaan
mereka
dalam
proses
pembangunan lebih disebabkan oleh proses mobilisasi daripada hasil partisipasi yang pro-aktif. Tentu saja uraian yang hanya menyentuh konteks
aras mikro (desa) saja masih memerlukan penjelasan teoritis untuk mendapatkan pemahaman yang lebih makro (aras negara). Dengan kata lain pertanyaan berikutnya adalah bagairnana sebenarnya proses korporatisasi pada institusi-institusi formal desa apabila hendak kita jelaskan
dalam
konteks yang lebih makro (negara). Menjawab ha1 ini Budiman rnenghubungkan gejala korporatisasi ini dengan faktor kemandirian dan kenetralan negara.
Dengan gejala
kemandirian negara yang dimaksud adalah inisiatif yang diambil negara dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Negara yang mandiri adalah negara yang secara sepihak mengambil inisiatif untuk menentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Jelas
bahwa
negara
ini
tentunya
merupakan negara yang secara politis kuat. Peran negara seperti ini oleh Stephan sebagaimana dikutip oleh Budiman disebut Negara Organis. Negara organis adalah negara yang punya kemauan dan kepentingan sendiri dan melakukan intewensi ke dalam kehidupan masyarakat. Konsep kemauan dan kepentingan sendin dari negara adalah kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Konsep kebaikan umum, dengan keharusan moral yang dibebankan kepada
negara
untuk menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat, membuka kesempatan untuk merumuskan dan dengan inistiatif sendiri
memaksakan
perubahan-perubahan
besar
kepada
sebuah
rnasyarakat. Jelas dalam konsep teori Negara Organis ini, negara yang menjadi lembaga politik yang paling penting" . Dihubungkan dengan faktor kedua yaitu kenetralan negara maka perlu dijelaskan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsep tersebut. Budiman
menyebut
negara
dikatakan
netral,
bila
kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang dijalankannya bersifat melayani kepentingan umum, l6 Arief Budiman (1882: 4-7), Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan, LPBES, Jakarta. Alfred Stephan, (1 978:12), The Sfate and Sodety, seperti dikutip oleh Budiman (Ibid 1982: 4).
bukan kepentingan elit negara tersebut. Jadi yang dipakai sebagai ukuran kenetralan di
sini
adalah
hasil
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dikeluarkan oleh sesuatu negara. Kenetralan negara ini apabila dibahas lebih jauh membawa kita kepada dua pemikir besar. Hegel seperti dikutip Budiman percaya kalau warga dibiarkan mengatur dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena
masing-masing
warga
akan
memperjuangkan
kepentingan
subyektufnya melawan kepentingan subyektif warga lainnya. Ini adalah tesis dan anti-tesis yang sintesisnya ditemui dalam pewujudan lembaga negara. Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan dari kepentingan urnum masyarakat. Kepentingan umum ini sebenamya merupakan kepentingan warga juga. Dengan mengikuti kepentingan umum, warga sebenarnya sedang membela kepentingan dirinya sendiri. Namun dalam kenyataannya, kebijaksanaan-kebijaksanaan negara seringkali hanya menguntungkan sekelompok orang dalam masyarakat. Karena itu Marx beranggapan negara wma alat dari segelintir orang yang berkuasa di masyarakat. Negara hanyalah alat dari klas yang berkuasa. Menurut Marx Hegel melakukan kesalahan metodologis. Seharusnya, ide diperoleh dan diangkat dari kenyataan yang empiris, bukan sebaliknya. Aspek
kedua dari kenetralan sebuah negara, yakni
proses
pengambilan keputusannya apakah dijalankan secara demokratis atau tidak. Pengambilan keputusan yang lebih mengikut-sertakan kelompok-kelompok di dalarn
masyarakat
kebijaksanaan yang
lebih
memungkinkan
terjadinya
melayani kepentingan umum.
kebijaksanaanSebaliknya, bila
pengambilan keputusan tidak demokratis maka kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkannya tidak atau kurang mencerminkan kepentingan umum. Pada titik ini, berdasarkan anggapan umum di atas, kita dapats mengatakan bahwa proses yang demokratis merupakan salah satu aspek kenetralan negara. Di sini negara tidak memaksakan kehendaknya dalam
menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaannya, melainkan membiarkan agar masyarakat turut berpartisipasi. Dalam kaitan inilah kita sampai pada pengertian Negara Pluralis. Negara Pluralis adalah negara yang tidak mandiri dalam arti negara tersebut tidak mengambil inisiatif dan memasukkan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam
menyusun kebijaksanaan-
kebijaksanaannya. Semua disusun secara demokratis, dengan partisipasi penuh dari warga masyarakat, baik secara perseorangan maupun sebagai kelompok
dalam
suatu
proses
politik
yang
bersaing.
Hasilnya,
kebijaksanaan-kebijaksanaan negara selalu melayani kepentingan umum.
Semacam bentuk antara Negara Pluralis dan Negara Organis ialah Negara Korporatis. Di sini negara mengambil inisiatif sendiri untuk berperan, tetapi dalam melakukan kebijaksanaan, negara ini memilih atau membentuk kelompok-kelompok berdasarkan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat dan meminta wakil-wakil kelompok tersebut untuk duduk dalam salah satu lembaga negara. Peran wakil-wakil ini adalah memberi masukan-masukan pendapat yang oleh Negara Korporatis kemudian diolah untuk
menentukan
demikian,
kebijaksanaan-kebijaksanaan
politiknya.
Dengan
proses demokratis yang dijalankan oleh negara merupakan
proses demokratis yang datang dari atas, dan sifatnya terbatas. Teori negara korporatis ini di Indonesia terasa sekali dianut oleh rezim yang berkuasa selama PJP I. Di Indonesia semboyan yang paling dikenal dalam kerangka negara korporatis adalah rakyat masih bodoh, karena itu negaralah yang akan merumuskan pembangunan untuk rakyat. 2.3.3. Ruang Sosial Semi Otonom dalam Konteks Teori Kritis
Penataan terhadap institusi-institusi formal desa oleh negara telah membawa fungsi dan tujuan-tujuan institusi-institusi formal
terkungkung
dalam struktur yang bersifat hirarkhis. Implikasinya, baik dalam proses proses pemilihan pimpinan maupun dalam mengartikulasikan tuntutan dan
dukungan, kinerja institusi tersebut menjadi terbatasi oleh kendali negara. Seperti kita ketahui penataan institusi ini berhubungan dengan kehendaknegara untuk memberikan monopoli pelwakilan untuk suatu kepentingan, sesuai dengan kategorinya masing-masing. Bertolak dari pengertian ini penting bagi kita memahami sampai mana ajang-ajang sosial yang eksis dalam komunitas lokal mampu memaknai dirinya sebagai ruang (sosial) semi-otonom. Artinya, ajang sosial
yang
bertransformasi menjadi suatu wacana publik yang menggelar di dalamnya interaksi-interaksi yang menghasilkan dialog-dialog (kritis) antar warga, khususnya dalam rangka menjabarkan secara reflektif kegiatan-kegiatan PMD-formal sehingga kepentingan antar golongan dapat diakomodasikan. Dikatakan sebagai ruang sosial sosial semi-otonom karena ia menunjuk pada suatu fakta bahwa ruang kecil ini dapat menghasilkan kesepakatankesepakatan, aturan, nilai-nilai, bahkan adat-istiadat. Namun sejajar dengan itu ruang tersebut rentan terhadap aturan-aturan atau desakan-desakan kekuasaan yang datang dari luar. Merujuk kini pada Teon Kritis yang ditemukan oleh Habermas dari pikiran Marx adalah menarik untuk kita kaji relevansinya dengan makna keberadaan ruang sosial semi-otonom sebagai ajang proses interaksi yang mengembangkan dialog kritis antara golongan elit dan warga desa, termasuk golongan periferi. Inti pikiran Marx dalam ha1 ini adalah upaya untuk merangsang kesadaran mereka yang tertindas terhadap kemungkinan pembebasannya. Berhadapan dengan penindasan yang dialami kaum buruh dalam sistem kapitalisme Marx membongkar kepercayaan bahwa hukum ekonomi kapitalistik adalah suatu yang alamiah dan abadi. Kapitalisme adalah hasil kerja manusia itu sendiri. Berbagai penindasannya bukan suatu yang tinggal diterima saja, dan apa yang tampak sebagai hukum positif di bidang ekonomi adalah perbuatan rnanusia itu sendiri, hasil sejarah,
sehingga terbuka untuk perubahan. Dengan demikian Marx membuka jalan ke tindakan emansipasi. Namun
menurut
Habermas,
Marx
tidak
mempertahankan
pendekatannya secara konsisten. Marx di bawah saintisme abad 19, memahami teorinya lebih sebagai pola teori ilmu alam: sebagai teori obyektif yang sekedar mendeskripsikan hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat, daripada sebagai suatu kegiatan kritis. Habermas dalarn hubungan ini bicara tentang salah paham positivistik Marx terhadap teorinya sendiri. Sebagai akibat teorinya menjadi dogma sehingga berakibat kehilangan daya pembebas. Marx merosot menjadi seorang positivis sosial, karena menurut Habermas ia mereduksikan manusia pada satu macam tindakan saja, yaitu pada kerja. Marx lupa melihat makna komunikasi, yaitu interaksi simbolik timbal-balik
antar manusia, yang sebenarnya. Marx memang mencoba
memahami interaksi tersebut,
sebagai perkembangan pekerjaan, tetapi
menurut Habermas ha1 itu tak memungkinkan. Pekerjaan dan interaksi komunikasi adalah dua macam tindakan manusia yang walaupun saling mengandaikan, saling mengantarkan dan berkaitan erat, namun tidak dapat dikembalikan satu sama lain. Dengan kata lain Marx hanya memahami interaksi (komunikasi) hanya sebatas dimensi pekerjaan saja, sehingga tak mengherankan teorinya gagal sebagai teori emansipatif. la hanya mengembalikan seluruh perkembangan masyarakat pada perkembangan alat-alat produksi. Sementara Haberrnas menunjukkan meskipun perkembangan alat-alat produksi tetap memainkan peranan dalam
perkembangan masyarakat, namun
ia
tidak
tidak
mempelopori, ia hanya menyusuli suatu perubahan sosial saja. Pekerjaan adalah tindakan rasional yang memiliki rasionalitas. sasaran, ia merupakan tindakan instrumental. Tujuan pekerjaan terletak di luar pekerjaan itu sendiri, karena orang bekerja demi hasil pekerjaan itu
sendiri. Sebaliknya, komunikasi merupakan interaksi yang diantarkan secara simbolis, menurut bahasa dan mengikuti norma-norma. Bahasa harus dapat dirnengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya. lnteraksi komunikasi mengembangkan kepribadian orang, melalui internalisasi peran-peran sosial. Komunikasi yang salah diganjari sangsi. Perkembangan filsafat sosial sejak jaman Marx di abad ke 19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi saja, melainkan dapat mendorong praksis perubahan sosial. Praksis disini bukanlah tingkah laku buta naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial, jadi praksis yang diterangi oleh kesadaran rasionat"
. Habermas sudah
meneliti bahwa Hegel yang
" llmu pengetahuan dan tekndogi yang semula begitu dipercaya untuk membebaskan manusia dari perbatasanperbatasan alamiah dan aosialnya temyata berkembang menjadi 'idedogi' barn, sebab di dalamnya berlaku 'rasionalitas tekndogis'. Hal terakhir ini me-tgisyaratkan pandangan yang pesimitis berhubung rasio tersebut dinilai begitu berkuasa, sehingga menutup jalm pembebasan. Untuk mengatasi ha1 itu Habermas kemudian m w a r k a n suatu skema in-tatif untuk memahami rasionalisasi dalam perkembanan sejarah. Skema ini sesungguhnya betldak dari tewi rasionalisasi Weber, yang memusatkandin pada 'tindakan soaial'.
Habems kemudian menjelaskan adanya dua dmensi pada tindakan dasar manusia yaw dsebut 'keja' yaitu manakala manwia menghadapi alam, dan Interaksi' atau 'kwnikasi' manakala manusia menghadapi lingkungan masyarakat Dalam keterangan yaw lain dsebut dua istilah, yaitu lndakan rasimal bertujuan' (tercakup dalam dimensi keja) dan tindakan komunikal (tenakup &lam dmensi komunikasi). Tindakan yang pertama bersifat instrumental dalam arti untuk memenuhi aturan-aturan teknis berdasarkan pengetahuan empitis untuk meramal hasil-hasilnya, dan mernilih sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan tujuan-tujwn ... suatu tindakan yang juga M a t strategis, karena menymtirnbangkan altematif-altematif terbaik. Tindakan instrumental hanya bisa dilakukan tehadq, kenyataan msosial (alam), dan tindakan strategis diterapkan pada kenyataan sosial. Sementara tindakan kcmunikatif mengacu pa& nm-norma yang d i m t i bersama berdasarkan simbd-simbd yam dpahami t i d l balik. Di sini bahasa sehari-hari menjadi sangat penting sebagai medurn tindakan. ~abe&s kemudan membedakan secara analitis dua segi &lam sisknsosial; &lam apa yang disebutnya ssbagai 'kerangka keja institusional'. Ke&a segi tersebut masing-masing adalah, pertama, subsistem 'tindakan rasional-bertujuan', dan subsistem tindakan kmnikatif. Habermas kemudian memperlihatkan bahwa apa yang d W t 'rasionalisasi' berialan timpang, sebab pmses itu sangat memtingkan salah satu sisi sosial, yakni: tindakan rasionalhrtujuan.
menjadi Bapak seluruh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis memahami praksis bukan hanya sebagai 'kerja', melainkan juga sebagai 'komunikasi' atau dalam ha1 ini adalah interaksi sosial. Mengingat praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubyektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dengan alam, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung, sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas. Hal berikut yang juga digugat oleh Habermas adalah karena dalam filasafat Marx praksis dipahami secara sempit yaitu hanya sebagai kerja ('paradigma kerja' atau 'paradigma produksi' menurut istilahnya) yang kemudian diikuti teori kritis. Dalam Marx dikenal istilah perjuangan kelas revolusioner, yang dimengerti sebagai penaklukan kelas atas kelas. Dengan demikian pada paradigma ini kritik diasumsikan menjadi penaklukan, dan dengan ciri ini kritik tak kurang dari rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan. Untuk memperlihatkan secara lebih analitis 'kerangka keija institusional' ini, berikut ini skema yang diwsun deh Habennas.
interaksi simbdik
uasan
kekuasaan
Padahal bagi Habermas masyarakat yang mengembangkan interaksi komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan kekerasan, melainkan melalui argumentasi. Berangkat dari sini ia mengangankan tercapainya tujuan ilmu-ilmu kritis, dengan kepentingan emansipatorisnya, yaitu membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan.
Otonomi kolektif ini berhubungan dengan pencapaian
konsensus bebas dominasi. Konsensus macam ini bisa dicapai dalam sebuah masyarakat atau komunitas yang diandaikan reflektif yang berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan. Di dalam komunikasi itu, para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya 'klaim-klaim kesahihan (validity claims). Klaim-klaim inilah oleh Habermas dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaaan sebagai hasil konsensus18. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, interaksi itu sendiri juga terganggu, sehingga kita tak perlu mengandaikan meraih konsensus. Dalam ha1 ini Habermas berbicara tentang kritik. Kita melakukan 'kritik estetis' kalau mempersoalkan norma-norma sosial yang dianggap obyektif. Kalau diskursus praktis mengandaikan obyektivitas norma-norma itu, kritik dalam arti ini adalah mempersoalkan kesesuaian dengan penghayatan dunia batiniah kita. Bentuk kritik yang kedua disebut 'kritik terapeutis' yaitu kalau kita menyingkapkan penipuan diri masing-masing pihak yang berinteraksil9 . la Fransisco Bud Hardiman (1990), mtik Medogi, Petfaufan Pengetahuan dan Kepentingan, Kata Pengantar Franz Magnis Suseno, Kanisius. l9 Hebermas &lam bukunya 'Knowledgeand Human Interest' (1971) menyebut secare rinci enam macam klaim. &&al masinp-masing diri kita dapat b6fsepakat tentang dunia alamiah dan objektif, maka kita mencapai klaim 'kebeneran' (M) kalau sepakat tentang pelaksanaan normanormadalam &nia sosial, kita mencapai Waim'ketepatan' (rightness}, kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi , sesearang, kita mencapai klaim otenlitas atau kejujuran (sincefefy). Sedangkan apabila kita &pat menjelaskan macammacamklaim itu dan menmpai kesepakatan atasnya. kita mencapai Maim comprehensibilitas (comprehensibiIify).Setiap komunikasiyang efektlf perlu mencapei klalmWaim tersekrl &n orang-wangyang m a w be&omudkasi dalam arti menghasilkan Waimltlaim itu, disebutnya dmiliki 'kwnpetensi komunikatif. Masyarakat kmunikatif adalah masyarakat yang melakukan knEk melalui argumentad
.
Berdasarkan analisis Habermas tersebut kita dapat memperoleh bantuan untuk memahami sikap-sikap yang ditunjukkan individu atau kelompok yang terlibat berperanserta dalam kegiatan pada suatu ruang sosial semi-otonom. Dihadapkan dengan kepentingan PM dan PS kita dapat mengatakan sikap golongan elit (Kades dan perangkatnya) sebagai kekuatan PM dapat diposisikan sebagai melakukan gerakan komunikasi, yaitu dari penguasa terhadap masyarakat. Sebaliknya warga desa termasuk golongan periferi sebagai kekuatan yang mengemban kepentingan PS melakukan kegiatan komunikasi dari masyarakat kepada masyarakat, termasuk di dalamnya kepada golongan elit. Melalui analis ini pada gilirannya kita lebih dapat mengerti seberapa jauh sebuah interaksi yang menghasilkan dialog dapat berlangsung efektif sehingga dapat memuaskan masing-masing pihak. Seberapa jauh klaimklaim dalam proses-proses interaksi serupa itu dapat diraih sehingga mencapai kompetensi-kompetensi komunikatif. Atau kita juga
dapat
mengatakan seberapa jauh masing-masing pihak atau golongan (elit dan periferi) menjalankan kritik. 2.4. Metodologi Penelitian 2.4.1. Pendekatan Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini perfama-tama saya melandasi diri dengan anggapan bahwa tiap-tiap kehidupan kelompok masyarakat (komunitas) selalu disertai oleh keberadaan kekuatan PM dan PS. Baik PM maupun PS ini bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kehidupan bermasyarakat, yang untuk mendukung efektivitasnya unsur yang disebut pertama lazimnya didukung oleh perangkat kekuasaan dan bahkan sangsi
hukum, sedangkan untuk unsur kedua umurnnya didukung oleh aturan, norma, atau adat istiadat setempatz0. Kekuatan yang menggerakkan PM ini, dengan demikian, datang dari golongan elit sosial, sedangkan kekuatan PS datang dari golongan masyarakat luas, termasuk golongan periferi. Perwujudan PM dan PS ini dalam kehidupan sehari-hari tampak pada kegiatan PMD. Kedua, dalam penelitian ini PM maupun PS saya pahami sebagai dua
kekuatan dan kepentingan yang saling berinteraksi, dalam arti melihat sejauh mana keduanya menunjukkan gejala untuk saling menghimpitkan dirinya satu sama lain (assosiatif), atau sebaliknya sampai mana keduanya justru saling menjauh (dissosiatif). Dalam hubungan terakhir ini aktualisasi norma moral sosial yang berciri resiprokal saya perkirakan menjadi
landasan paling
penting untuk kiprah PM yang dalam kenyataan memberi perhatian cukup besar pada soal pengamanan pemenuhan kebutuhan dasar warga desa yang dirasakan banyak orang lebih adil dan bahkan berpihak pada golongan lemah (periferi). Namun sekaligus dengan itu saya juga tidak hendak mengingkari kenyataan bahwa perhimpitan PM dan PS juga hanya dirnungkinkan apabila kepentingan-kepentingan yang dibawakan oleh masing-masing golongan warga yang bersangkutan terlindungi.
20 Anggapan ini sebagaimana telah diuraikan 8ebelumnya berasal dari tesis yang dajukan deh Astrid SusantPSunario (ibid. 1990: 14). Dikatakannya, &lam masyarakat yang sodah 'maju' atau kor@eks makin banyak masalah y a y perlu dipecahkan, sehingga 8esungguhnya m k i n banyak pula persebaran pusat PM dan PS. Dengan demikian peluang suatu perimpitan antara m t i n g a n PM dan PS dalam pmses kegiatan makin kecil teqadi.
Befbeda dengan masyarakat kompleks pada masyarakat yang lebih sed&na, atau lebih tepat disebut komunitas, saya menggaris bawahi pemyataan beliau yang menyatakan peluang perimpitan antara kepentingan PS dan PM lebih mudah terdpta. Mnya secara teoritis PS relatif mudah menjadkan drinya sebagai bagian integral dari instrumen kekuatan PM, sehingga unwr yang dsebut terakhir ini lebih mengandalkan aturan norma, adat istiadat, atau secara umum moral sosial yang hidup dan danut sebagian , besar warga setempat.
Dengan pengejawantahan etos kornunal yang menjamin keamanan atas kepentingan masing-masing warga dari beragam golongan yang bersifat resiprokal secara teoritis akan membawa situasi yang dapat menghindarkan pengorbanan sosial
yang sering diderita golongan periferi akibat ciri
pembangunan yang berwawasan kapitalistik. Dengan
PM yang bersatu
dengan PS jelas akan lebih mampu rnengatasi berbagai potensi sengketa antar sesama anggota masyarakat. Singkat kata, kesamaan acuan pada etos komunal resiprokal pada warga dari tiap golongan akan sangat menentukan sejauh mana PS dapat menampilkanwajahnya sebagai PM yang tidak formal, dan sebaliknya sejauh mana pula PM dapat berbentuk sebagai PS yang bersifat formal. Diakui dalam praktek perhimpitan penuh antara PM dan PS tidaklah rnungkin terwujud seluruhnya, sehingga pertanyaan berikutnya adalah sejauhmana dapat tercipta suatu ruang sosial semi-otonom yang menggiatkan proses interaksi antar pihak-pihak yang terkait sehingga berkembang di dalamnya dialog kritis. Ketiga, sejajar dengan itu secara ideologis PM dan PS ingin saya tempatkan
dalarn
konteks
kewajiban
moral
bersama
untuk
mengembangkannya sebagai proses dialog karena Pancasila, falsafah negara kita, rnemposisikan pembangunan di Indonesia pada ruang yang memungkinkan bagi kita selaku warga negara untuk rnelakukan suatu penjabaran kritis-reflektif. Maksudnya, dari kebijaksanaan dan implementasi kegiatan pembangunan itulah kita justru dituntut suatu kemampuan untuk rnelakukan pernbebasan dan pada gilirannya pemberdayaan bagi warga warga desa dalam ha I ini, terutama golongan periferi. Keempat, dalam perspektif teori pilihan saya untuk memahami struktur keberadaan PM dan PS sebagai forum dialog dalam berbagai ajang sosial saya a w dari pemikiran Habermas yang diadaptasikan. Artinya, karena studi ini bertolak dari perspektif disiplin sosiologi maka yang hendak
.
dipahami dan ditekankan dari konsep dan ajang peristiwa dialog dan komunikasi
ini
adalah
bagaimana
proses-prases
interaksi
yang
menyertainya. Dasar moral dan kepentingan-kepentingan apa
yang
melandasi proses interaksi sehingga antar pihak-pihak yang menjadi partisipan bersedia mencapai konsensus. Seperti telah disinggung, Habermas mula-mula mendasarkan dirinya pada asurnsi pokok bahwa interaksi komunikasi dan bekerja adalah ragam tindakan dasar manusia. Apabila bekerja adalah sikap manusia terhadap alam, maka interaksi komunikasi adalah sikap manusia terhadap manusia lain. Dalam pekerjaan hubungan antara manusia dengan alam tidak simetris, manusia mengerjakan alam ia aktif, sedangkan alam adalah bahan pasif. Pekerjaan merupakan hubungan kekuasaan karena manusia menguasai alam melalui pekerjaan. Sedangkan interaksi komunikasi adalah hubungan simetris atau timbal balik. lnteraksi komunikasi senantiasa terjadi diantara pihak yang sama kedudukannya, bukan hubungan kekuasaan. lnteraksi komunikasi hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui kebebasannya dan saling percaya. Berdasarkan konteks pemikiran ini maka persoalan krusial yang pertama-tama hendak saya ajukan adalah, norma-norma moral apa yang sesungguhnya sedang mendasari penataan kehidupan masyarakat desa secara keseluruhan. Pertanyaan ini datang karena dari berbagai studi ditunjukan ada gejala keterbelahan moral menyusul adanya pengaruh faktor eksternal yang dibawakan oleh program PMD. Keterbelahan ini terutama dirasakan lewat kinerja kelembagaan pembangunan desa, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tatanan kelembagaan,
termasuk
makna
dan
fungsinya.
Studi
Sajogyo, '
Tjondronegoro, Nordholt, Mas'oed , dan banyak studi lainnya menunjukan secaia jelas keterbelahan moral-ini2'
.
Disadari gejala seperti ini sudah dialarni desa sejak lama lewat berbagai dampak kebijaksanaan pemerintah kolonial, antara lain melalui proses monetisasi ekonomi pedesaan. Narnun gejala PM lewat kekuatan golongan elit atas-desa,
yang diwakili pemerintahan kecamatan dan
kabupaten dalam ha1 ini, terasa makin intensif terutama sejak mernasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) dimana pemerintah secara gencar mendirikan institusi-intitusi korporasi (lewat UU pemerintahan desa No. 5 tahun 1979) untuk menggantikan banyak kelembagaan tradisional. Dari sini kemudian muncul persoalan-persoalan di pedesaan seperti
Dalam watu makalah yang disampaikan pa& forum FA0 (1972) yang bejudul Modernization W&wt Development In Rural Java, Sayogyo mempeilihatkanpenrbahanperubahanyang malanda pedesaaan d Jawa melalui kekuatan PM yang dikelda deh gdongan elit atas desa, baik melalui perangkat hukum, kekuasaaan, maupun alas nama programpmgrampenbangunan (modemisad). Perubahanpetubahan tersebut antara lain dlunjukan Iewat kineja pemerintahan desa yang dnilai makin bemri monditik, entitas desa lebih menampakkan ketergantungan yang makin tinggi terhadap sumberdaya luar (misalnya &lam ha1 pengadaan dana). Hukum dan latanan sosial makin berfungsi sebagai penjamin kelanggengan 'statusquo' atas slruktur yang bdaku, &n Itu semua berakibat golongan perifen tidak cukup mernperdeh pehatian. Stud lain yang menyinggung langsung maupun tak Ianpermasalahan 'ketehlahan moral' masyarakat desa &lam konteks kelembagaan ini juga dinyatakan &lam karya Tjonc!msg~o(op cit 1984: 254). Stud yang menggunakan paradigma 'organisad-lembaga' memisahkan kedua entilas tersebut dengan sejumlah karakteristik pembeda, dimana 'organisasi modem' (ssbagai hasil introduksi pihak atas desa-desa) tedihat sangat dikat deh ketundukan alas kuasa (power complience), sedangkan 'lembaga' Wsi deh alas kebutuhan (need complience). Dikatakan ada bidang mtak yang mambelah antara organisad &n lernhga d pedesaan, sehingga d antara keduanya t d p t a kekurangserasian&lam penjalinan fungsi.
Sementara &ri ilmuwan sosial lainnya. yaitu Nordhdt &lam Ojo Dumeh (1987: 31). parsoalan yang dijumpai diungkapkan &lam turnusan pemyataan: telah terjadi dilema antara pembangunan atas perintah a h parkembangan atas musyawarah. Mnya pare pejabat dalam aparat pemerintahan tewtama mereka yang ferlibai dalam pelaksanaan kebqakan itu, diatas segala-gafanya berkepentingen untuk 'hidup selamat' dalam dstam yang bedaku. Walaupun disamping ilu mungkin q a mmka akan melaksanakan keweiibannya 'sebagaimanapatutnya: Sementara masyarakaf desa (petani) akan menilai kegiatan pembangunan' yang diprakmi pemerintah pusat itu dari sudut dan kepentingan mereka sendid. Dalam ha1 terakhir ini disadari masalah pokok yang dihadapi masymkat petani ialah, di desa terdapat behagai gdongan berdasarkan kepenthgan, masingmasingmenurutkadudukan ekonomi- pditik mereka dalam masyaraket ihr.
lemahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan PMD khususnya yang diintroduksikan oleh pihak atas-desa. Padahal dalam suatu studi di tahun di awal 1970-an Hofsteede telah melaporkan bagaimana proses-proses yang menghasilkan (menuju) adanya persetujuan atau penolakan usul-usul dari pihak warga desa oleh masyarakat desa yang bersangkutan banyak ditentukan oleh hasil-hasil kornpromi antara para pemimpin informal dengan Kades dalarn proses pengambilan keputusan. Namun yang membedakan dengan studi ini adalah tinjauan Hofsteede dipusatkan pada keputusan-keputusan rapat desa, sehingga keputusan-keputusan pada ajang-ajang sosial lain yang lebih bersifat informal dan terletak di bawah-desa tidak diberi perhatian"
.
Dalam kaitan studi ini saya hendak meletakkan anggapan bahwa titik genting (crucial point) yang memungkinkan terjadinya proses interaksi dialogis antara kekuatan dan kepentingan PM dan PS dalam suatu ajang sosial adalah berkaitan dengan sejauhmana etos komunal resiprokal mampu memberikan pendasaran moral dalam proses tersebut. Dengan kata lain. sejauh mana ajang sosial yang tergelar dalam kehidupan komunitas desa setempat mampu bertransformasi menjadi ruang sosial semi-otonom yang mempertautkan kepentingan golongan elit dan warga desa termasuk golongan periferi di tataran praksis dalam pendasaran etos komunal yang bersifat resiprokal. Dalam konteks ini menempatkan peranan ruang sosial semi-otonorn dengan lebih proporsional dalam konstelasi penyelenggaraan kegiatan PMDformal khususnya yang diprakarsai dari atas-desa adalah sikap yang amat bijaksana, karena berimplikasi praktis dan langsung. Dengan sikap ini pula kita dapat berharap kemandegan saluran-saluran formal penjalinan fungsional anfar
''
WMF Hofsteede (1971) Villages, Nijmegen
kelembagaan-kelembagaan
dapat diatasi, PMD
dapat '
Decision Making Processes in Four West Javanese
diwujudkan, perkembangan atas musyawarah akan mendapatkan tempat
- dibandingkan pembangunan atas perintah, atau modernization without development diharapkan dapat bergeser menjadi modernization with development.
2.4.2. Replikabilitas dan Sirkularitas Pokok PeneIitian Dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi, lazirn dijumpai suatu rancangan penelitian (baru) rnengaitkan dirinya secara substantif dengan karya penelitian yang mendahuluinya. Keterkaitan tersebut dapat menyentuh sebagian atau mencakup seluruh tahap-tahap penelitian itu sendiri, yang meliputi
pilihan
pokok
penelitian,
konsep-konsep yang
digunakan,
metodologi, temuan-temuan, sampai dengan kesimpulan yang ditariknya. Keterkaitan atau kesejajaran ini sudah barang tentu dapat didorong oleh alasan yang berbeda-beda, diantaranya adalah untuk melakukan verikasi, falsifikasi atau
perluasan atas
pokok
penelitian terdahulu.
Untuk
menguraikan ha1 ini lebih rinci, pertama-tama perlu dikemukakan dua konsep yang menjelaskan makna keterkaitan dan perluasan pokok penelitian, yaitu: Replikabilitas: menerangkan tentang arti pengulangan suatu penelitian dalam bentuk yang sama. Apabila penelitian memang dapat diulang dalam bentuk yang sama maka dipercaya kita dapat mengetahui dengan pasti, apakah keteranganlinformasi yang diperolehnya hanya bersifat kebetulan saja atau benar-benar sesuai dengan kenyataan (verifikasilfalsifikasi penelitian). Sirkularitas: menerangkan tentang sifat berputar dari serangkaian penelitian-penelitian ilmiah, dimana pokok penelitian yang pernah dikaji sebelumnya diajukan kembali sebagai pokok penelitian berikutnya, dan seterusnya. Namun pokok penelitian yang disebut terakhir ini tingkat kerumitannya berbeda dengan penelitian terdahulu. Singkatnya, melakukan perluasan pokok penelitian.
.
Dalam hubungan dengan replikabilitas dan sirkularitas pokok penelitian tersebut, maka dapat saya nyatakan bahwa sejak semula penelitian ini memang mengacu pada sejumlah studi empiris, dimana sebagian dari landasan teori, temuan, ataupun metodologi penelitian yang digunakannya saya ajukan kembali. Namun begitu penelitian ini tidak bermaksud untuk mempercanggih studi-studi terdahulu atau bermaksud rnelakukan verifikasi ataupun falsifikasi, melainkan digunakan sebagai dasar pengetahuan empiris. Studi-studi (karya yang diangkat dari disertasi) tersebut masingmasing adalah: 1. Sediono MP. Tjondronegoro (1984), Social Organization And Planned Development In Rural Java, Oxford University Press, Singapore.
2. Nico Schulte Nordholt (1987), Ojo Dumeh: Kepernimpinan Lokal Dalam Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
3. WMF Hofsteede (1971), Decision Making Processes In Four West Javanese Villages, Nijmegen. 2.4.3. Paradigma Utama ~enelitian" Penelitian ini melandasi dirinya dengan teori kritis yang mengacu pada gagasan Habermas dengan adaptasi dan modifikasi di beberapa hal. Teori kritis ini pada dasamya bertolak dari upaya merefleksikan rnasyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan 23 Lihat Egon G.Guba dan Yvonna S. Lincdn (1994: 107-108), Competing Paradigms in Qualitative Research, &lam Handbodc of Qualitative Research (Norman K. Deiuin dan l m n a S. ed), Sage Publications, London. Di sini kedua pengarang mewmuskan paradigma &gai suatu seperangkat k e y a k i ~ ndasar (basic beliefs) atau pandangan dunia (world view) tentang sifat dunia, tempat individu di dalamnya, dan lingkup kemungkinan hubungan-hubongannya terhadap dunia sefta bagian+agiannya. Paradigma adalah hasil konstruksi manusia. Paradigma mencakup tiga unsur yang saling kaitmngait: (a) ontdogi, yaitu pendinan. mengenai bentuk dan sifat realitas sarta ha1 apa yang dapat diketahui tentang realitas tersebut, (b) epistemologi. yaitu pendinan tentang sifat hubungan antam peneliti dan responden atau tineliti, ha1 yang dapat diketahui dali responden atau tineliti, dan pendinan tentang cara peneliti mendapatkan apa saja yang dia yakini dapat dketahui dad responden atau tineliti. Dalam ha1 ini pilihan ontdogi mengarahkan pilihan epistemologi, dan belikutnya mengarahkan pilihan metodologi.
dan emansipasi. Walaupun demikian dengan penggunaan teori ini tidak ada pretensi pada diri peneliti untuk berusaha mengubah situasi sosial secara serta-merta, walaupun diakui memang terkandung kepentingan praksis, yaitu bagaimana mendapatkan jalan ke luar (solusi) dari masalah yang sedang dihadapi. Di sinilah proses-proses interaksi yang asosiatif antar berbagai pihak seperti peneliti, tineliti, dan para pengambil keputusan di atas-desa (aparat Dinas PMD tingkat kecamatan dan kabupaten) penting diupayakan, sehingga dari proses tersebut dapat dihasilkan konsensus-konsensus (mutual understanding). Dengan kata lain, melalui pemikiran kritis dalam refleksi-diri yang dikembangkan dalam studi ini, maka yang ingin peneliti raih dalam studi ini bersifat ganda, yaitu pertama berupaya untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar, dan kedua kepentingan yang bersifat p r a k s i ~ Sekaligus ~~. dengan ini dapat nyatakan pula sikap saya selaku peneliti yaitu dengan melakukan upaya penjabaran yang bersifat reflektif dari proses yang bersifat (inter) subyektif (hasil kerjasama peneliti dengan tineliti di lapangan) tersebut diharapkan ada sumbangan yang dapat diberikan. Sumbangan dimaksud berupa upaya mengangkat masalah-masalah aktual yang mendesak masuk menjadi wacana sosial (publik), sehingga pada gilirannya memungkinkan adanya kesepakatan-kesepakatan yang berguna sebagai jalan ke luar terbaik (saat itu). Penjabaran reflektif yang diartikan di sini saya kaitkan dengan masalah-masalah yang timbul dari kegiatan PMD-formal 2 5 . Kesepakatan Inter subyektivitas antara peneliti dan tineliti, termasuk di sini para pengambil keputusan di atasdesa, untuk selanjutnya akan diamati dalam pertanyaan sejauh mana ada kesesuaian pemahaman dari
''
Bandingkan Mohtar Buch4 (kata Pengantar, 1993) &lam Tandon Rajesh dan Walter Femandes, Riset Pam'sipatws:Riset Pembebasan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
"
Bandingkan Thomas Mc Carthy (Kata Pengantar 1979:Vii) dalam Juergen Habermas. Communication and The Evolution Society. Bacon Press, Boston..
masing-masing pihak atas pemaknaan situasi dan persoalan yang ada di lapangan. Subyektivitas peneliti dirumuskan dengan hipotesis-hipotesis pengarahnya, sementara subyektivitas tineliti diamati dari gagasan-gagasan yang muncul khususnya dalarn proses-proses dialog yang terjadi dalam ruang sosial semi otonom2' . 2.4.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Di atas-desa peneliti melakukan sejumlah wawancara individu dan kelompok dengan sejumlah pejabat resmi pemerintah daerah dan para pemuka masyarakat tingkat kecamatan dan kabupaten untuk mendapatkan gambaran Sumedang yang lebih komprehensif dan kontekstual. Sekaligus dengan itu peneliti juga berkesempatan melakukan wawancara kelompok dengan sejumlah Kades (8 orang) di lingkungan kabupaten Sumedang yang penting untuk mendukung pemahaman apa saja sesungguhnya masalah yang secara umum dihadapi desa baik secara terpisah maupun kolektif. Apa aspirasi yang paling kuat
di kalangan para Kades tentang PMD-formal
maupun PMD-swadaya dalam segala dimensi persoalannya.. Sementara di aras desa, menyadari akan begitu banyaknya jumlah fenomena ajang sosial di kehidupan warga desa kasus tentu saja menuntut peneliti untuk melakukan cara yang strategis agar bisa memperoleh data yang diperlukan dan sekaligus valid. Dalam kaitan ini pilihan peneliti adalah memakai balai desa, rumah kediaman Kades, dan masjid untuk melakukan pengamatan,
dan
sekaligus
melibatkan
diri
dalam
perbincangan-
perbincangan yang hampir setiap malam terjadi antara Kades dan warga. Warga dari beragam golongan yang datang berkunjung rata-rata per malam
26 Tineliti yang drnakwdan d sini adalah warga desa dari beragam gdongan yang bertindak sebagai rnitra peneliti. Jadi bukan responden ~eperliyang dikenal &lam penelitian kmnsional d m a ~ pembagian kewenangannya d m p d i t i tirpng. M u disanpaikan lstilah ini digunakan antara lain deh Mohtar B U M dalam kah pengantamya peda buku Walter femandes dan Mesh Tandon (ed, 1985,) Risef Patbkipatoris, Riset Pembebsssn, Gmmda Utama. Jakarta.
mencapai 5-10 orang, mulai dari warga biasa, guru, pengurus koperasi, tamu-tamu pejabat kecamatan, kabupaten, dan sebagainya. Sementara di masjid secara ajeg peneliti mengunjunginya terutama saat sembahyang maghrib dan isya, karena waktu-waktu tersebut cukup ramai dengan jamaah, yaitu sekitar 20-25 orang
Apalagi mereka juga
merniliki kebiasaan untuk bertukar pikiran sehabis sembahyang malam tentang berbagai hat terrnasuk soal-soal yang menyangkut kegiatan PMD. Sudah barang tentu saya juga menggunakan ragam metoda pengumpulan dan analisis data yang biasa digunakan pada paradigma penelitian lain yang lebih berciri positivistik dan post-positivistik yang keduanya ini untuk memberikan gambaran awal tentang situasi sosial lokal. Dalam ha1 ini saya melakukan cara pengamatan (obse~asi)atas obyekobyek visual, pencatatan dan analisis terhadap atas dokumen-dokumen tertulis,
studi
riwayat
hidup
(interpretive biography),
dan
analisis
antropologis. Hal terakhir ini saya lakukan khususnya untuk rnemahami fenomena-fenomena bekerjanya ikatan dan kehidupan kekerabatan serta berprosesnya ajang-ajang sosial yang berkadar sebagai ruang sosial semiotonom. Hal terakhir ini dimaksudkan sebagai suatu penganalogian bahwa proses-proses interaksi yang menghasilkan dialog kritis dalam ruang sosial semi-otonom merupakan keinginan kognitif yang timbul dari desakan orang per
orang
dan
kelompok-kelompok
untuk
mempertahankan
dan
melanggengkan kehidupannya. Jadi suatu kepentingan emansipatoris dari rasio. Pertu diterangkan lebih lanjut mengenai metoda riwayat hidup ini. Metoda ini mencakup kajian dan pengumpulan data kehidupan pribadi dan cerita-cerita yang menguraikan momen-momen penting (turning-point moments) dalam kehidupan individu. Dengan kata lain pokok bahasan metoda biografi ini adalah pengalaman hidup seseorang, yang dalam ha1 ini
penyajian tekstualnya saya gubah dalam teks ilmiah sesuai dengan relevansinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam studi riwayat hidup pada dasarnya bertolak dari bagaimana manusia (responden) memberikan makna terhadap hidupnya, khususnya yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang dinilainya penting di aras kehidupan komunitas. Dengan demikian ia rnenguji suatu kehidupan atau bagian dari suatu kehidupan seseorang (tokoh) yang didekati melalui pertanyaan individual. Perlu saya garis bawahi studi riwayat hidup ini digunakan untuk menyajikan tokoh kades yang dalam studi ini memainkan peranan sentral. 2.4.5. Hipotesis Pengarah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik sejumlah hipotesis penelitian. Hipotesis-hipotesis ini pada dasarnya ditujukan sebagai panduan kerja studi peneliti di lapangan (working guideline), dibandingkan sebagai uji kebenaran (truth) yang hendak dibuktikan di lapangan''
. Artinya,
dengan
panduan ini lingkup dan arah penelitian diharapkan lebih terpusat dan tajam, sekaligus dapat membantu untuk menetapkan pilihan yang paling tepat atas segi-segi praktis yang menyertai penelitian ini. Hal terakhir ini mencakup diantaranya: cara pengumpulan, analisis atau menafsirkan data, dan cara pengungkapan atau deskripsinya (presentasi).
Di samping itu hipotesis
tersebut sebenarnya juga merupakan cerminan pemahaman subyektivitas saya atas masalah-masalah di lapangan (komunitas desa kasus) yang akan diuji kesesuaiannya dengan subyektivitas tineliti, terutama yang muncul dari hasil dialog dialog kritis pada ruang sosial semi-otonom. Hipotesis-hipotesis penelitian ini saya susun mengikuti suatu urutan berpikir sebagai berikut : -
''
JOhn Creswell, (1994: 69-70), Resemrch Desogn: Qualitative 6 Quanfifative Approaches, Ssge Publication s,London.
1. Timpangnya kedudukan beragam golongan sosial (di aras materiil) yang
menjadi pendukung beragam institusi PMD-formal bentukan pemerintah (pernerintah desa dan LKMD) diduga berpengaruh penting pada pembentukan corak kesadaran internal beragam golongan tersebut (di aras immateriillnormatif) yang akan mempengaruhi kinerja institusi yang membawakan PMD formal. Hal terakhir ini diperkirakan akan berbias elitis khususnya pada proses pencapaian tujuan program-programnya. 2. Pada sisi lain adanya pedoman normatif pada missi yang diemban oleh
institusi-institusi tersebut, yang bertujuan mengangkat kesejahteraan warga desa khususnya warga golongan periferi (lapisan bawah), diduga tidak cukup mampu mempengaruhi kinerja institusi yang bersangkutan. Diperkirakan pedoman normatif tersebut hanya akan berlaku sebagai kategori imperatif yang bersifat simbolik saja, sehingga
tidak mampu
menjalin persambungan rasional dengan sikap dan perilaku yang berkembang dalam institusi yang bersangkutan. 3. Dalam konteks itu semua praktek PM yang digulirkan pemerintah melalui
prakarsa kegiatan PMD-formal khususnya yang
ditujukan
untuk
kepentingan golongan periferi diduga hanya akan dikelola secara ad hoc dan pragmatis saja, tanpa suatu tuntunan norma moral sosial yang otentik. 4. Kegiatan-kegiatan yang hanya bersifat ad hoc tersebut dinilai akan menjadi kendala bagi institusi-institusi PMD-formal desa untuk berkiprah lebih fungsional. Artinya, institusi-institusi ini diduga kurang atau tidak mampu mentransformasikan beragam gagasan dan program dari atasdesa menjadi suatu kegiatan PMD-partisipatif yang menumbuhkan dialog kritis; suatu syarat untuk memahami persoalan dan aspirasi warga desa secara lebih otentik, terutama mengenai nasib golongan periferi (wargh lapisan bawah).
2.4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian mengambil satu kecamatan, yaitu di Kecamatan Situraja-Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pilihan atas kecamatan tersebut berdasarkan pertirnbangan, pertarna saya memiliki sejumlah pengalaman penelitian khususnya di lingkup Kabupaten Sumedang, antara lain rnelalui penyusunan skripsi Sarjana S-I di akhir tahun 70-an, dan sejumlah penelitian lain di tahun-tahun berikutnya secara cukup intensif. Dengan pengalaman-pengalaman ini saya berharap penjalinan hubungan dengan informan, responden, tineliti, dan pengenalan situasi lapangan tidak lagi menjadi kendala penting. Kedua, lokasi Kecamatan Situraja pernah menjadi ajang studi peneliti asing (Andrea Wilcox Palmer di tahun 1950-an, dan Pudjiwati Sajogyo tahun 70-an) yang tentu saja bermanfaat untuk memberikan bekal kesejarahan. Selain itu dijumpai gejala pada sejumlah desa di lingkup kecamatan tersebut yang memperlihatkan variasi cukup menarik dilihat dari intensitas kegiatan PMD yang berlangsung di dalamnya. Pada desa kasus penelitian diperlihatkan suatu kernampuan membangun kegiatan yang relatif berskala besar sehingga mampu melibatkan berbagai kalangan rnasyarakat bahkan menjangkau partisipan di luar kabupaten Sumedang itu sendiri. Selain itu desa yang bersangkutan kini juga
dijadikan desa perintis untuk berbagai proyek atau program
pembangunan yang dilancarkan pemerintah daerah. WaMu penelitian dilakukan sepanjang tahun 1997 hingga awal tahun 1998 secara terputus-putus. Hal ini dilakukan antara lain agar peneliti
senantiasa dapat membuat jarak dengan pokok masalah yang sedang digeluti dan ini penting untuk mengkritisi arah pelaksanaan penelitian di sarnping tentunya untuk mendapatkan validitas penelitian. Secara praktis manfaat yang dapat dipetik dengan upaya terakhir ini adalah saya selaku peneliti dapat
terus rnengupayakan penalaman
baru untuk menjawab pokok penelitian ini, misalnya untuk
penajaman
mengatur pengamatan, menyusun pertanyaan-pertanyaan baru,
atau
mengidentitikasi informan, responden, dan tineliti baru, dan sebagainya. lhtisar Bab ini berisi pembahasan teori dan metodologi. Pada bab teori saya mencoba untuk secara konsisten menguraikan sejumlah konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengenai PM dan PS, etos komunal, ruang sosial semi-otonom, PMD, dan termasuk mengenai golongan elit dan periferi. Selanjutnya
masing-masing
konsep
tersebut
dicoba
untuk
dipertautkan satu sama lain dalam konteks bangunan teori yang kemudian dijadikan
landasan
penelitian ini. Menyertai studi ini dikembangkan
metodologi penelitian dengan teori kritis sebagai paradigma utama. Teori kritis yang diacu berdasar pada gagasan Habermas dengan berbagai penyesuaian sehingga dinilai menjadi lebih adaptif dan operasional atau researchable. Di dalam uraian metodologi penelitian ini saya menyertai pula uraian yang mengetengahkan pendekatan penelitian dan secara berturut-turut diikuti dengan soal replikabilitas dan sirkularitas penelitian, teknik pengumpulan dan analisis data, hipotesis pengarah, dan akhirnya ditutup dengan keterangan lokasi dan waktu penelitian.