Bahan Ajar Sosiologi Kelas XI Ilmu-ilmu Sosial Semester 1
Bab 2 PERMASALAHAN SOSIAL Disusun oleh: Agus Santosa SMA Negeri 3 Yogyakarta 3.2 Mengidentifikasi berbagai permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat 4.2 Melakukan kajian, pengamatan dan diskusi mengenai permasalahan sosial yang muncul di masyarakat Kegiatan Pembelajaran sesuai silabus Mengamati: Mengenali berbagai permasalahan sosial yang ada di masyarakat sekitar Menanya: Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang berbagai permasalahan sosial di masyarakat (kemiskinan, kriminalitas, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakadilan) melalui contoh-contoh nyata dan mendiskusikannya dari sudut pandang pengetahuan Sosiologi berorientasi pemecahan masalah yang menumbuhkan sikap religiositas dan etika sosial Mengeksperimenkan/mengeksplorasikan: Melakukan survey di masyarakat setempat tentang permasalahan sosial (kemiskinan, kriminalitas, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakadilan) melalui observasi, wawancara, dan kajian dokumen/literatur dengan menggunakan panduan yang telah dipersiapkan sebelumnya Mengasosiasikan: Menginterpretasi data hasil survey tentang permasalahan sosial (kemiskinan, kriminalitas, kesenjangan sosial ekonomi dan ketidakadilan) dikaitkan dengan konsep keragaman kelompok sosial Mengomunikasikan: Mempresentasikan hasil survey tentang permasalahan sosial dan pemecahannya sesuai hasil pengamatan Definisi atau Batasan Sosiologis mengenai Permasalahan Sosial Sama dengan gejala-gejala sosial lainnya, permasalahan sosial merupakan gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya interaksi sosial di antara para warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan atau kepentingan dalam hidupnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa interaksi sosial dalam masyarakat dapat berlangsung mendekatkan (asosiatif) atau pun menjauhkan (disosiatif). Kalau interaksi sosial yang bersifat asosiatif menghasilkan gejala-gejala sosial yang normal sehingga dalam masyarakat terjadi keteraturan sosial, interaksi sosial disosiatif menghasilkan gejala-gejala abnormal atau gejala-gejala yang sifatnya patologis sehingga masyarakat mengalami ketidakteraturan sosial dalam bentuk disorganisasi atau disintegrasi sosial. Gejala-gejala abnormal itu terjadi karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehinga menciptakan kekecewaan-kekecewaan atau kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Gejala demikian dapat menimbulkan penderitaan pada sebagian besar warga masyarakat. Dalam kajian Sosiologi, gejala-gejala abnormal demikian dinamakan masalah sosial. Tentu para siswa sudah tidak asing dengan pengertian masalah, bahwa masalah adalah gejala-gejala yang terjadi (das sein) tidak sebagaimana yang diharapkan (das sollen) oleh sebagian besar warga masyarakat. Masalah tersebut disebut sosial karena berhubungan dengan hubungan di antara
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
1
warga masyarakat dan menyangkut tentang kemasyarakatan (pranata atau institusi sosial).
nilai-nilai
sosial
dan
lembaga-lembaga
Apa bedanya masalah sosial dengan perilaku menyimpang? Apakah bunuh diri (suicide), perceraian, penyalahgunaan narkotika, perjudian, banyaknya gelandangan di kota-kota besar, dan semacamnya merupakan masalah sosial? Berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di sebagian besar warga masyarakat, perilaku-perilaku tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan melanggar norma-norma sosial. Maka gejala-gejala tersebut dapat dikategorikan sebagai gejala-gejala yang menyimpang. Tetapi apakah gejala-gejala tersebut membahayakan kehidupan kelompok atau masyarakat, menyebabkan terjadinya kepincangan dalam ikatan-ikatan sosial, atau menghambat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok warga masyarakat sehingga menimbulkan keresahan sosial (social unrest)? Pertanyaanpertanyaan ini digunakan untuk menjawab apakah suatu gejala sosial merupakan permasalahan sosial atau bukan.
Sumber gambar: http://www.fahdisjro.com/2014/09/permasalahan-sosial.html (Minggu, 5 Oktober 2015, pukul 07.38) Apakah sempitnya lapangan kerja merupakan masalah sosial? Ukuran-ukuran Sosiologis terhadap Masalah Sosial Dalam menentukan apakah suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat (masalah masyarakat) merupakan permasalahan sosial atau bukan, beberapa ukuran yang digunakan adalah 1.
Kriteria utama Kriteria utama masalah sosial adalah terjadinya ketidaksesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan atau tindakan-tindakan sosial, dengan kata lain adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
2
tentang apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup. Hanya saja, tidak ada ukuran yang pasti sejauhmana kepincangan yang terjadi itu dapat diklasifikasikan sebagai permasalahan sosial atau bukan, sangat tergantung pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan kepekaan masyarakat atas hal tersebut. Ukuran umum yang dipakai adalah apakah gejala tersebut tersebut (telah) menimbulkan social unrest atau tidak (belum). 2.
Sumber Pada awalnya, masalah sosial dibatasi pada masalah yang bersumber dari gejala-gejala sosial, tidak saja perwujudannya yang bersifat sosial, tetapi harus juga bersumber dari kondisi-kondisi dan proses-proses sosial. Hal demikian tidak memuaskan pada banyak ahli Sosiologi, karena kepincangan-kepincangan yang bersumber dari gempa bumi, banjir, letusan gunung api, mewabahnya suatu penyakit, dan semacamnya tidak dapat disebut sebagai permasalahan sosial. Dapat saja kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh gagalnya panen. Akhirya sumber permasalahan sosial tidak dibatasi pada kondisi-kondisi dan proses-proses sosial saja, tetapi yang palin pokok adalah gejala-gejala tersebut menimbulkan masalah sosial.
3.
Pihak yang menentukan suatu masalah merupakan masalah sosial atau bukan Barangkali dapat dinyatakan bahwa orang banyaklah yang berhak menentukan suatu masalah merupakan masalah sosial atau bukan. Tetapi segolongan orang yang berkuasa (elite) pun dapat menentukannya, karena golongan tersebut walaupun jumlahnya sedikit memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar dari orang-orang lain untuk membuat dan menentukan kebijakan sosial. Tidak mudah dibayangkan apabila setiap orang harus menentukan sendiri nilai-nilai atau ukuran-ukuran tertentu kemudian dilebur menjadi satu pendapat. Terdapat stratifikasi, diferensisasi, dan juga kepentingankepentingan, sehingga jika hal tersebut dilakukan akan timbul berbagai konflik kepentingan. Seorang sosiolog atau pihak yang berwenang mengambil keputusan/kebijakan harus bisa menangkap sikap-sikap masyarakat, karena sebenarnya sikap-sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan suatu masalah merupakan masalah sosial atau bukan.
4.
Permasalahan sosial manifest dan laten Permasalahan sosial manifest adalah permasalahan sosial yang memang dianggap masalah oleh masyarakat. Namun, ada masalah-masalah sosial yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat tetapi tidak diakui bahwa hal tersebut merupakan masalah. Yang demikian disebut sebagai permasalahan sosial latent.
5.
Perhatian masyarakat terhadap permasalahan social Suatu kejadian yang merupakan permasalahan sosial belum tentu mendapat perhatian oleh masyarakat, sebaliknya kejadian yang mendapat perhatian penuh oleh masyarakat belum tentu merupakan masalah sosial. Tingginya tingkat pelanggaran lalu lintas oleh masyarakat mungkin tidak banyak mendapat perhatian masyarakat, tetapi kecelakaan kereta api yang memakan korban banyak jiwa mendapatkan perhatian penuh masyarakat. Perhatian masyarakat atas masalah sosial dipengaruhi antara lain oleh (1) jarak sosial, jarak sosial yang dekat lebih mampu menimbulkan simpati masyarakat, (2) manifest social problems lebih mendapat perhatian dari masyarakat daripada latent social problems, karena yang pertama masyarakat memiliki keyakinan akan mampu mengatasinya, sedang yang kedua masyarakat merasa tidak berdaya untuk mengatasinya.
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
3
Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya Soerjono Soekanto mengklasifikasikan permasalahan sosial menurut faktor-faktor yang menjadi sumbernya, yaitu 1. 2. 3. 4.
Faktor ekonomi, misalnya kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya Faktor Biologis, misalnya penyakit menular Faktor Biopsikologis, misalnya neurosis, disorganisasi jiwa, bunuh diri, dan sebagainya Faktor Kebudayaan, misalnya perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik ras, konflik etnis, konflik keagamaan, terorisme, dan sebagainya.
Klasifikasi lainnya didasarkan pada kepincangan-kepincangan yang terjadi karena warisan fisik (misalnya masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya alam), warisan biologis (misalnya bertambah dan berkurangnya penduduk, migrasi, dan sebagainya) dan warisan sosial dan kebijakan sosial (misalnya depresi, pengangguran, hubungan minoritas dengan mayoritas, pendidikan, politik, pelanggaran hokum, agama, pengisian waktu luang, perencanaan sosial, dan sebagainya). Beberapa Masalah Sosial Penting Masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat ada bermacam-macam, seperti kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, peperangan, pelanggaran terhadap norma-norma sosial, seperi pelacuran, delinkuensi anakanak, alkoholisme, penyimpangan seksual, berbagai masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, birokrasi, dan sebagainya. Tidak mungkin semua dibahas di kelas XI ilmuilmu Sosial, hanya beberapa dari berbagai masalah tersebut yaitu kemiskinan, kejahatan, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta ketidak-adilan. 1. Kemiskinan Kemiskinan (poverty) merupakan suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental dan fisiknya. Pada masyarakat sederhana, kemiskinan bukanlah merupakan masalah sosial, karena masyarakat tersebut beranggapan bahwa keadaan mereka sudah merupakan takdir, sehingga tidak ada upaya-upaya untuk mengatasinya. Kemiskinan baru merupakan masalah sosial ketika ditetapkannta taraf hidup. Pada masyarakat modern, kemiskinan merupakan masalah sosial, karena sikap masyarakat yang tidak menginginkan adanya keadaan tersebut. Miskin dalam masyarakat kota tidak selalu berarti kurang makan, pakaian, atau perumahan, melainkan karena kondisi ekonominya tidak dapat cukup untuk memenuhi taraf hidup. Macam-macam kemiskinan a. Menurut jenisnya, terdapat tiga jenis kemiskinan, yaitu 1) Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang terjadi karena perbandingan di antara kelas ekonomi dalam masyarakat 2) Kemiskinan subjektif, yaitu kemiskinan menurut perasaan individu 3) Kemiskinan absolut, merupakan kemiskinan yang terjadi ketika tingkat hidup seseorang tidak memungkinnya untuk dapat memenuhi keperluan-keperluan hidupnya yang mendasar, sehingga kesehatan fisik dan mentalnya terganggu. Yang dimaksud kebutuhan hidup mendasar adalah kebutuhan hidup yang diperlukan agar dapat hidup layak, seperti pangan (makanan), sandang (pakaian), papan (rumah tempat tinggal), kesehatan, dan pendidikan. Di antara kebutuhan-kebutuhan tersebut yang paling mendasar adalah pangan. Jika tingkat nutrisi dan gizi konsumsi pangan seseorang rendah, maka berdampak pada rendahnya harapan hidup dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
4
Atas dasar hal tersebut, Prof. Sayogya menentukan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan gizi menimal yang diperlukan oleh rata-rata setiap orang. Dari penelitiannya, ditentukan garis kemiskinan adalah tingkat konsumsi per kapita per tahun yang setara dengan 240 kg beras di perdesaan dan 360 kg beras di perkotaan. IMF menetapkan garis kemiskinan pada pendapatan per kapita US D 50 di perdesaan dan US D 75 di perkotaan (1974). Garis tersebut dinilai banyak orang adalah garis pada keadaan yang sangat miskin, sehingga dalam perkembangannya, Kementerian dalam negeri pernah menggunakan ukuran sembilan bahan pokok (sembako), atau yang sekarang dikenal dengan Upah Minimum Propinsi, dengan asumsi kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum bagi sebuah keluarga yeng terdiri atas seorang suami, seorang isteri, dan dua orang anak.
1 2 3
Upah Minimum Beberapa Propinsi di Indonesia 2014 UMP PROVINSI 2013 (Rp) 2014 (Rp) NANGGROE ACEH D 1,550,000 1,750,000 SUMATERA UTARA 1,375,000 1,505,850 SUMATERA BARAT 1,350,000 1,490,000
4 5 6 7 8 9
RIAU KEPULAUAN RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN BANGKA BELITUNG BENGKULU
1,400,000 1,365,087 1,300,000 1,350,000 1,265,000 1,200,000
1,700,000 1,665,000 1,502,300 1,825,600 1,640,000 1,350,000
10 11 12 13 14 15
LAMPUNG JAWA BARAT DKI JAKARTA BANTEN JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA
1,150,000 850,000 2,200,000 1,170,000 830,000 947,114
1,399,037 1,000,000 2,441,301 1,325,000 910,000 988,500
16 17 18 19 20 21
JAWA TIMUR BALI NTB NTT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN
866,250 1,181,000 1,100,000 1,010,000 1,060,000 1,337,500
1,000,000 1,542,600 1,210,000 1,150,000 1,380,000 1,620,000
22 23 24 25 26 27
KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR MALUKU MALUKU UTARA GORONTALO SULAWESI UTARA
1,553,127 1,752,073 1,275,000 1,200,622 1,175,000 1,550,000
1,723,970 1,886,315 1,415,000 1,440,746 1,325,000 1,900,000
28 29
SULAWESI TENGGARA SULAWESI TENGAH
11,25,207 995,000
14,00,000 1,250,000
NO.
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
5
NO.
PROVINSI
UMP 2013 (Rp)
2014 (Rp)
30 SULAWESI SELATAN 1,440,000 1,800,000 31 SULAWESI BARAT 1,165,000 1,400,000 32 PAPUA 1,710,000 1,900,000 33 PAPUA BARAT 1,720,000 1,870,000 Sumber: bisnis.liputan6.com dan beberapa sumber lainnya. b. Menurut sumber/faktor penyebabnya Berdasarkan sumber atau faktor penyebabnya dapat diindentifikasi tiga macam kemiskinan, yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. 1) Kemiskinan natural Kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kelangkaan atau ketiadaan sumberdaya alam, juga oleh sebab-sebab natural yang lain seperti cacat fisik bawaan lahir, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Beberapa ahli menyebutnya sebagai persistent poverty. 2) Kemiskinan kultural Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh berkembangnya the culture of poverty (kebudayaan kemiskinan), yang meliputi sikap, tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang tidak tidak produktif dalam arti ekonomi. Oscar Lewis mengemukakan beberapa dari kebudayaan kemiskinan, yaitu sikap malas dan rendahnya etos kerja sikap pasrah menerima nasib mengutamakan status dari pada fungsi dan prestasi mentalitas meremehkan mutu sikap tidak disiplin dan tidak menghargai waktu sikap tidak jujur hidup bermewah-mewah (hedonis) dan boros; ketidakmampuan menunda kesenangan (affectivity) tiadanya sikap percaya diri (mentalitas bangsa terjajah) prasangka buruk terhadap perubahan dan pembangunan 3) Kemiskinan struktural Kemiskinan struktural disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari struktur sosial masyarakat, misalnya kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi asep produksi yang tidak merata, korupsi, kolusi, serta tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Menurut Bagong Suyanto, dkk., kemiskinan struktural terjadi karena eksploitasi kelas sosial di atasnya, bukan karena kesalahan internal si miskin. Berbeda dengan para penganut teori modernisasi yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor dari si miskin seperti kemalasan dan rendahnya kompetensi dan keterampilan, tidak dimilikinya etika kewirausahaan, budaya yang tidak terbisa dengan kerja keras, dan sebagainya (lihat: the culture of poverty), kemiskinan struktural bersumber pada struktur yang tidak adil dan tindakan kelas sosial yang berkuasa yang dengan kekayaan dan kekuasaanya mengeksploitasi orang-orang dari kelas yang tidak berkuasa. Ciri-ciri kemiskinan struktural a) Kecil peluang terjadinya mobilitas sosial naik di kalangan masyarakat kelas bawah (miskin) BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
6
b) Ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya c) Terjadi apa yang disebut deprivation trap (perangkap kemiskinan), yang terdiri atas lima unsur, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima hal ini kaitmengait satu dengan lainnya sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang meminimalkan peluang hidup orang (keluarga) miskin. 2. Kejahatan Kejahatan merupakan gejala sosial yang bisa terjadi di hampir semua masyarakat. Secara sosiologis, orang menjadi jahat diperoleh dengan cara yang sama dengan orang berperilaku baik, yaitu melalui proses belajar (EH Sutherland), yaitu proses-proses seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, indentifikasi, pembentukan konsep diri, atau kekecewaan-kekecewaan yang agresif. Perilaku jahat dipelajari melalui interaksinya dengan orang lain, yaitu orang-orang dengan kecenderungan perilaku menyimpang, merusak, atau melawan hukum. Ada perbedaan pengertian kejahatan menurut hukum dan kejahatan menurut kriminologi. Menurut hukum kejahatan adalah perilaku yang melanggar undang-undang pidana. Sedangkan menurut kriminologi, kejahatan tidak hanya yang melawan undangundang pidana, tetapi semua perbuatan yang menimbulkan cidera pada pihak lain atau ancaman bagi masyarakat, atau menghambat kelancaran tatanan dalam masyarakat. Contoh perilaku yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan: penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, pencurian tanpa atau dengan kekerasan, penipuan, dan sebagainya. Para ahli sosiologi membuat klasifikasi yang berbeda, sehingga dalam Sosiologi dikenal adanya kejahatan tanpa korban (crime without victims), kejahatan terorganisasi (organized crime), dan kejahatan kerah putih (white collar crime). Crime without victim Tidak semua kejahatan menimbulkan penderitaan pada pihak lain. Kejahatan demikian dinamakan kejahatan tanpa korban (victimless Crime), contohnya berjudi, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, bermabuk-mabukan, hubungan seksual tidak sah yang dilakukan secara sukarela oleh orang-orang dewasa, Walaupun tidak menimbulkan penderitaan bagi orang lain secara langsung, tetapi oleh sebagian besar warga masyarakat atau oleh pihak yang berkuasa dianggap sebagai perbuatan tercela. Perbuatan-perbuatan tersebut secara tidak langsung sebenarnya juga bisa menimbulkan penderitaan bagi pihak lain, seperti tindakan pemabuk di jalan raya bisa menimbulkan cidera pihak lain, pekerja seks komersial dapat menyebarkan penyakit menular seksual, AIDS, dan sebagainya. Organized victim Kejahatan terorganisasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh komplotan berkesinambungan untuk memperoleh uang, kekuasaan, atau keuntungan-keuntungan lainnya, yang dilakukan dengan halan menghindari hokum, melalui penyebaran rasa takut, tindakan korupsi, monopoli secara tidak sah atas jasa tertentu, pemutaran uang hasil kejahatan dalam bentuk saham, penyediaan barang-barang secara melanggar hukum, seperti penjualan barang-barang hasil kejahatan, bisnis pelacuran, perjudian gelap, peminjaman uang dengan bunga tinggi, dan sebagainya. Kejahatan-kejahatan demikian bahkan bisa lintas negara (transnational organized crime), seperti kejahatan oleh organisasi-organisasi dengan jaringan global. Misalnya BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
7
penyelundupan senjata, bahan nuklir, obat terlarang, money laundering, perdagangan anak-anak dan perempuan, penyelundupan tenaga asing, dan sebagainya. White Collar Crime Kejahatan kerah putih merupakan konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh EH Sutherland dan merujuk pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau orang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Termasuk kejahatan kategori ini adalah penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan atau negara, penipuan, dan sebagainya. Pada awalnya, kejahatan ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white collar crime pada umumnya dilakukan oleh penguasa atau pengusaha di dalam menjalankan peran dan fungsinya. Keadaan keuangan yang relatif kuat memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat dan hukum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan orang-orang ini kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya, karena keuangan dan kekuasaannya yang kuat. Para pelaku white collar crime pada umumnya berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak mengalami gangguan, pada masa anak-anak dan remajanya tidak mengalami hambatan dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkannya, terpenuhi kebutuhan gizi dan nutrisinya sehingga memiliki kecerdasan yang tinggi, bersifat praktis pragmatis, tetapi tidak atau kurang memiliki prinsip-prinsip moral yang kuat. Tetapi yang menjadikan kejahatan jenis ini spesifik, adalah kedudukan dan peranan yang melekat pada pelakunya. Corporate Crime Corporate crime merupakan kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi formal (perusahaan) dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Karena tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh badan hukum, pelakunya tidak dapat dipidana. Ada empat jenis corporate crime: (1) kejahatan terhadap konsumen, (2) kejahatan terhadap public, (3) kejahatan terhadap pemilik perusahaan, dan (4) kejahatan terhadap karyawan. Contoh kejahatan terhadap konsumen adalah kasus biscuit beracun di Indonesia pada tahun 1989 (Tempo, 4 November 1989 dan 6 Januari 1990), sebabnya adalah pemekar biscuit ammonium bikarbonat tertukar dengan sodium nitrit yang beracun. 3. Kesenjangan Sosial-Ekonomi Kesenjangan atau gap merujuk pada perbedaan jarak sosial atau tingkat pendapatan antara dua kelas sosial atau ekonomi. Pembangunan masyarakat yang terlalu sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang cukup jauh di antara kelas-kelas dalam masyarakat. Kesenjangan ekonomi dapat meliputi kesenjangan luas pemilikan atau penguasaan lahan pertanian di perdesaan, kesenjangan pemilikan alat-alat produksi di perkotaan, kesenjangan peranan dalam proses produksi, dan kesenjangan tingkat pendapatan. Secara nasional, kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat dari distribusi pendapatan nasional. Jika 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah mendapatkan kurang dari 12 persen pendapatan nasional, berarti masyarakat tersebut mengalami kesenjangan ekonomi yang tinggi. Apabila 40 persen penduduk perpendapatan rendah tersebut mendapatkan 12 sampai dengan 17 persen pendapatan BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
8
nasional, berarti masyarakat tersebut mengalami kesenjangan yang sedang, dan apabila 40 persen penduduk berpendapatan rendah mendapatkan lebih dari 17 persen pendapatan nasional, berarti kesenjangan ekonominya rendah. Jika kesenjangan ekonomi merupakan perbedaan atau jarak di antara kelas-kelas pendapatan, maka kesenjangan sosial terwujud pada perbedaan gaya hidup, perbedaan aspirasi sosial, dan jarak sosial. Perbedaan gaya hidup antara lain tampak pada bentuk rumah, gaya bahasa, gaya pakaian, pemilikan kendaraan, dan sebagainya. Perbedaan aspirasi sosial misalnya tampak pada perbedaan sikap politik dan pandangan tentang pendidikan, kesehatan, pembangunan. Perbedaan aspirasi sosial dapat berdampak pada perbedaan peluang hidup di antara kelas sosial yang berbeda. Sedangkan perbedaan jarak sosial terwujud dalam kesediaan menerima orang-orang yang berasal dari lapisan atau kelas sosial yang berbeda dan solidaritas (kesetiakawanan sosial). 4. Ketidakadilan Hampir semua bangsa dan umat manusia di dunia mendambakan perdamaian, harkat kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan dalam hubungan antar anak bangsa, antar warga negara dan penguasa, antar bangsa, dan antar manusia sedunia. Penyelenggara pemerintahan di manapun selalu dibebani tugas untuk menciptakan dan memelihara perdamaian, harkat kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3827/ketidakadilan-dan-kekerasan). Namun, dalam hubungan antar manusia, perorangan atau kelompok terjadi peristiwaperistiwa yang berupa ketidakadilan, misalnya diskriminasi, rasialisme, seksisme, dan lain-lainnya. Diskriminasi merupakan perlakuan yang berbeda terhadap orang atau kelompok dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam hal pendidikan. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu sering dijumpai normanorma, adat, atau kebiasaan yang tidak mendukung atau bahkan melarang kaum perempuan untuk berpartisipasi seluas-luasnya dalam pendidikan formal. Perlakuan yang semacam juga terjadi dalam hal pekerjaan, penghasilan, kekuasaan atau peluang politik. Dalam interaksinya dengan kaum laki-laki perempuan juga sering mengalami bentuk kekerasan, seperti pelecehan seksual, perkosaan, atau kekerasan domestik (domestic violelence). Sumber bahan: 1. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed). 2006. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group. 2. Kamanto Soenarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yasbit FE UI. 3. Moh Amaluddin. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Jakarta: UI Pers. 4. Moh Soerjani, Rofiq Ahmad, dan Rozy Munir. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Jakarta: UI Pers. 5. Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
9
BAB 2 PERMASALAHAN SOSIAL|
[email protected]
10