Bab 2 Literature Review 2.1 Work Life Balance Work-life balance merupakan pemenuhan dan pencapaian
alokasi
waktu
yang
seimbang
antara
tanggungjawab terhadap pekerjaan dan keluarga (Yuile et al., 2012). Greenhaus et al. (2002) mendefinisikan work-life balance sebagai pencapaian yang sama atau keadilan atau mendekati itu terhadap tanggungjawab terhadap
pekerjaan
dan
tangungjawab
terhadap
keluarga. Dengan kata lain, pencapaian keseimbangan mencakup
hasil
pengalaman
terhadap
tekanan
pekerjaan dan keluarga. Work-life balance merupakan sebuah praktik yang efektif untuk menghasilkan effect yang positif dalam memandang hubungan antara pekerjaan dan keluarga (Beauregard dan Henry, 2009). Kalliath & Brought (2008) menggambarkan work-life balance merupakan pencapaian dan pemenuhan yang seimbang
terhadap
kebutuhan
keluarga
dan
tanggungjawab terhadap pekerjaan yang menghasilkan kepuasan kerja karyawan serta perasaan adil karyawan terhadap tanggungjawab pekerjaan dan keluarga. Tidak
seimbangnya
tanggungjawab
terhadap
pekerjaan dan keluarga berimplikasi pada terjadinya konflik pekerjaan-keluarga karena adanya tekanan 10
pekerjaan
dan
tekanan
keluarga,
yang
memiliki
pengaruh positif terhadap stres kerja, ketegangan terhadap peran ganda, burnout dan turn over serta memberikan dampak negatif terhadap kepuasan kerja, produktivitas seseorang
dan
dalam
kehadiran
karyawan
menjalankan
sehingga
pekerjaan
dan
tanggungjawabnya membutuhkan dukungan, baik dari pihak
organisasi
maupun
sosial
(keluarga)
(Murtiningrum, 2005; Yuile et al, 2012). Oleh sebab itu, organisasi perlu mempertimbangkan penerapan sebuah kebijakan untuk membantu karyawan memenuhi worklife
balance-nya
sehingga
karyawan
dapat
menghasilkan produktivitas dan kinerja yang optimal.
2.2 Workload dan Reduced workload Workload atau beban kerja merupakan intensitas pekerjaan yang dialokasikan kepada karyawan untuk dikerjakan dalam jangka waktu tertentu (Dasgutpta, 2013; Qureshi et al., 2013; Shah et al., 2011;). Beban kerja yang rasional merupakan win-win situation bagi organisasi di mana studi menunjukkan bukti empiris bahwa karyawan akan berpikir untuk meninggalkan pekerjaan ketika mereka dibebani secara berlebihan (Qureshi et al., 2013). Shah et al. (2011) menyatakan bahwa
karyawan
yang
mampu
melakukan
pekerjaannya akan menikmati beban kerjanya namun ketika tekanan kerja ini menjadi berlebihan maka akan 11
memberikan
dampak
negatif.
Sejumlah
riset
menunjukkan dampak negatif dari tekanan kerja yang berlebihan
dapat
menimbulkan
stres
kerja
dan
memberikan effect negatif terhadap performance yaitu karyawan mengalami penurunan kinerja (Shah et al., 2011;
Suroso
menimbulkan
dan
Siahaan,
ketegangan
2006),
baik
secara
berpotensi psikologis
maupun secara fisik (Bashir dan Ramay, 2010). Reduced
workload
menjadi
senjata
untuk
mempertahankan profesional yang berkualitas dan valuable
skills
membantu
(Barnett
organisasi
dan
Hall,
beradaptasi
2001),
dengan
serta realitas
perubahan tenaga kerja dan mendorong peningkatan keragaman dalam manajemen dan jajaran profesional (Kossek dan Lee, 2008). Banyak profesional khususnya profesional wanita yang skillful untuk menjadi supermom dan super-employee, dengan beban kerja yang berlebihan (overload) mengalami kelelahan (burnout). Reduced workload didefinisikan sebagai bekerja yang kurang dari fulltime atau waktu kerja standar, seperti bekerja 4 hari dalam 5 hari kerja seminggu (Kossek dan Lee, 2008). Adanya profesional yang bekerja lebih dari 40 jam seminggu, reduced workload dapat menjadi bervariasi untuk pengaturan jam kerja tergantung beban kerja dari suatu jenis pekerjaan (Kossek dan Lee, 2008). 12
2.3 Konflik pekerjaan-keluarga Konflik pekerjaan-keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu jenis konflik antar peran di mana beberapa tanggungjawab dari pekerjaan dan domain keluarga tidak kompatibel dan memiliki pengaruh negatif terhadap situasi kerja karyawan (Greenhaus dan Beutell, 1985). Konflik ini muncul sebagai akibat dari
kehidupan
keluarga
atau
pekerjaan
mengganggu
kehidupan
keluarga
kehidupan mengganggu
kehidupan pekerjaan yaitu banyaknya waktu yang dicurahkan untuk menjalankan pekerjaan menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajibannya dirumah, atau urusan keluarga mengganggu urusan pekerjaan seperti
merawat
anak
yang
sakit
menghalangi
seseorang untuk datang di kantor (Frone et al., 1992; Murtiningrum, 2005). Penelitian Susanto (2009) menjelaskan bahwa konflik pekerjaan-keluarga merupakan konflik yang terjadi pada individu akibat menanggung peran ganda yaitu peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarga di mana waktu dan perhatian sebagian besar tercurah pada satu diantaranya (biasanya peran pada pekerjaan) sehingga tuntutan peran lain (dalam keluarga) tidak terpenuhi secara optimal. Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan yaitu,
1)
tiga
time-based
jenis
conflict 13
work-family yaitu
waktu
conflict yang
dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga); 2) Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya; dan 3) behavior-based conflict yaitu berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga). Wanita
lebih
mengalami
konflik
pekerjaan-
keluarga daripada pria sebab seorang wanita secara alamiah harus melahirkan dan merawat anak serta mempunyai tugas merawat keluarga yang lebih besar daripada
pria
(Dhamayanti,
2006;
Frone,
2000).
Artinya, wanita lebih mengalami konflik pekerjaankeluarga karena peran ganda yang dijalankannya yaitu peran dalam pekerjaan maupun keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga
seringkali
memediasi
tuntutan
psikologis terhadap pekerjaan dan ketidaknyamanan dalam bekerja sehingga berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja (Beham & Drobnič, 2009). Konflik pekerjaan-keluarga juga memiliki positif dan signifikan terhadap
stress
kerja
Fleksibilitas
dapat
penugasan
individu
(Murtiningrum,
menjadi agar
konsep dapat
kunci
2005). dalam
melakukan
tanggungjawabnya terhadap keluarga dan pekerjaan 14
secara seimbang (Boles et al., 2001 dalam Dhamayanti, 2006).
2.4 Flexible Working Yuile et. al. (2012) menggambarkan flexible work schedule merupakan jadwal kerja yang fleksibel yang merujuk pada kemampuan karyawan untuk kapan memulai dan menyelesaikan pekerjaan. Flexible work dapat menjadi win-win situation bagi perusahan dan karyawan
melalui
rancangan
pekerjaan
secara
telecommuting yang dapat diartikan sebagai telework, flexi-place
atau
work-at-home
yaitu
susunan atau
rancangan pekerjaan di mana karyawan dapat bekerja di rumah, di kantor, atau di lokasi pelanggan untuk sebagian atau keseluruhan minggu kerja (Blair-Loy & Wharton, 2002), part-time yaitu bekerja kurang dari 30 jam seminggu (Tarrant, 2007), job-share yaitu saling berbagi tanggungjawab dan manfaat terhadap posisi yang sama dengan karyawan yang lain (Gottlieb et al., 1998), compressed workweek yaitu bekerja lebih sedikit atau tidak sama sekali pada hari tertentu dan bekerja dengan dengan jam kerja yang lebih banyak pada hari lainnya misalnya bekerja 37,5 jam dalam 4 hari dan mengambil 1 hari libur (Sundo & Fujii, 2005) dan flexitime yaitu rencana untuk mengatur lebih dan kurangnya jam kerja yang mungkin terjadi (Al-Rajudi, 2012). 15
Rancangan kerja yang lebih fleksibel memiliki jangka waktu atau periode di mana pada hari-hari tersebut karyawan harus hadir. Hal ini dikenal dengan “core time” (Ridgley et al., 2005). Effect rancangan pekerjaan secara fleksibel berfokus pada dampaknya terhadap produktivitas organisasi, dampak terhadap kemampuan karyawan untuk mengatur keseimbangan tanggunggjawab
terhaap
pekerjaan
dan
keluarga,
dampak terhadap stres kerja karyawan dan dampak terhadap sikap dan moral kerja karyawan (Dunham et al., 1987). Flexible
working
dapat
menurunkan
konflik
keluarga-pekerjaan, menurunkan stress kerja yang mengakibatkan menurunnya performa individu yang juga dapat mengakibatkan kurangnya intent to live karyawan dan akhirnya terjadi turn over terutama pada tenaga kerja wanita karena wanita lebih memilih meneruskan
tanggungjawab
keluarga
dibanding
bertahan pada pekerjaan dan mengabaikan komitmen terhadap keluarga (Beham, dkk, 2012). Penelitian Beham dkk (2012) juga membuktikan bahwa karyawan yang bekerja secara part-time memiliki satisfaction work family balance yang lebih baik dibanding karyawan yang bekerja secara ful time. Hal ini terbukti dengan karyawan
yang
bekerja
secara
part-time
dapat
menyeimbangkan kebutuhan pribadi atau keluarga dan 16
kebutuhan
terhadap
memberikan
pekerjaannya
kepuasan
meningkatkan
terhadap
produktivitas
ketidakhadiran.
sehingga
Penelitian
pekerjaannya,
dan
Hilbrecht
dapat
mengurangi et
al.
(2008)
terhadap pekerja wanita di Kanada menunjukkan bahwa telework merupakan penjadwalan yang fleksibel dapat memberikan fasilitas waktu yang optimal bagi pekerja wanita. Dengan adanya telework, maka pekerja wanita yang berstatus sebagai seorang ibu dapat menyelamatkan waktunya dengan tidak bolak balik ke kantor-ke rumah, tidak mengalihkan pengasuhan anak pada pembantu, dapat melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik tanpa membayar pembantu serta dapat meluangkan waktu untuk liburan pribadi.
2.5 Intention to stay Intention keinginan
to
stay
karyawan
dapat untuk
didefinisikan tetap
tinggal
sebagai dalam
organisasi berbasis jangka panjang (Aslam dan Safdar, 2012). Yustrianthe (2008) menyatakan intention to stay atau keinginan untuk tetap bekerja sebagai keinginan individu untuk tetap loyal pada perusahan. Aslam dan Safdar
(2012)
menyatakan
intention
merupakan
pernyataan konseptual tentang fakta-fakta perilaku dan menunjukkan dampak yang kuat terhadap terjadinya turnover melalui sikap karyawan seperti komitmen terhadap organisasi dan kepuasan kerja. Hal ini sejalan 17
dengan pernyataan Andini (2006) yang .menyatakan bahwa tingginya tingkat turnover tenaga kerja dapat diprediksi dari seberapa besar keinginan berpindah yang dimiliki anggota suatu organisasi atau perusahan. Keinginan berpindah pekerjaan dan adanya tunover intention disebabkan adanya ketidakpuasan terhadap pekerjaan (Mobley, 1977). Terjadinya turnover intention dipengaruhi juga oleh adanya stres kerja dan job burnout
sehingga
hal
ini
menunjukkan
bahwa
karyawan berkeinginan untuk meninggalkan organisasi ketika
merasa
stres
dan
kelelahan
dengan
pekerjaannya (Sahsad et al., 2011; Aslam dan Safdar, 2012).
Selain
itu,
terjadinya
tunover
intention
disebabkan juga oleh job stressor (Qureshi et al., 2013). Artinya,
semakin
meningkatnya
job
stressor
menyebabkan keinginan karyawan untuk berpindah pekerjaan akan semakin meningkat. Manajer perlu fokus terhadap karyawannya dan melengkapi karyawannya dengan work life balance untuk mengurangi stres kerja dan mencegah terjadinya turnover sehingga organisasi untuk mempertahankan karyawannya
yang
berkualitas
perlu
menerapkan
strategi untuk mengurangi stres kerja karyawan dan menyediakan kebijakan yang ramah seperti adanya flexible work hours dan timetable sehingga karyawan dapat
membagi
sebagian 18
waktu
dengan
keluarga
mereka (Sahzad, 2011). Kemampuan organisasi untuk mengadopsi jenis kebijakan yang ramah berpengaruh terhadap
respon
karyawan
pekerjaan-keluarga
mereka,
terhadap seperti
kehidupan stres
kerja,
kepuasan/ketidakpuasan kerja, ketidakhadiran, dan terjadinya
turnover
(Triaryati,
2003).
Penerapan
kebijakan ini dapat meningkatkan komitmen karyawan dan membutuhkan dukungan dari manajemen untuk memotivasi dan mengurangi keinginan karyawan untuk berpindah atau tetap tinggal dalam organisasi (Ongori, 2007).
Studi
Almer
dan
Kaplan
(2002)
menguji
pengaruh jam kerja fleksibel pada behavioral outcomes yang terdiri dari dua konstruk yaitu intentions to stay dan kepuasan kerja dengan hasil menunjukkan bahwa profesional pada jam kerja yang fleksibel memiliki kepuasan kerja dan intention to stay yang lebih tinggi daripada profesional pada jam kerja standar.
19