BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Definisi Arsitektur Berkelanjutan Menurut Avinash Shivajirao Pawar (2012:1) mengenai arsitektur berkelanjutan yaitu, bangunan yang berkelanjutan atau bangunan hijau merupakan hasil dari sebuah desain yang berfokus pada peningkatan efisiensi penggunaan sumber energi, air, dan material, dan mereduksi dampak negatif bangunan terhadap kesehatan manusia selama bangunan tersebut berdiri, melalui desain yang baik, konstruksi, pengoprasian, perawatan, dan pembuangan limbah bangunan. Maka dari itu, penulis akan melakukan penelitian dan perancangan rumah susun dengan berfokus pada pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternative untuk penghuni rumah susun.
2.2
Rumah Susun
2.2.1 Definisi Rumah Susun Menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
2.2.2 Tujuan Rumah Susun Menurut Pasal 3 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, Penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu. 17
18
Sedangkan tujuan dari peremajaan Rumah Susun Penjaringan menurut Dinas Perumahan dan Gedung (2014), adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah yang diperuntukan hanya bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) dengan sistem sewa, sehingga diharapkan ada peningkatan secara ekonomi bagi penguninya dan dapat digantikan oleh warga MBR lainnya yang terkena program pemprov DKI Jakarta.
2.2.2.1 Masyarakat Berpenghasilan Rendah Pengertian Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut
Permenpera
No.5/PERMEN/M/2007,
MBR
adalah
masyarakat dengan penghasilan dibawah dua juta lima ratus ribu rupiah perbulan
Pola Hidup Masyarakat Berpenghasilan Rendah Menurut Paulus Hariyono dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Kota Untuk Arsitek, masyarakat golongan ini biasanya hidup secara outdoor living. Untuk mengisi waktu luang, biasanya mencari hiburan yang tidak membutuhkan biaya seperti mengobrol dengan tetangga dekat.. Selain sebagai hiburan, kegiatan ini juga memperat ikatan masyarakatnya sehingga mereka menjadi mudah apabila membutuhkan bantuan dan pertolongan. Pola hidup seperti ini disebut sebagai pola hidup komunal.
2.2.3 Klasifikasi Rumah Susun Berdasarkan hak kepemilikan, rumah susun dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : a. Rumah Susun Sederhana Sewa ( Rusunawa ), adalah rumah susun sederhana yang disewakan kepada masyarakat perkotaan yang tidak mampu untuk membeli rumah atau yang ingin tinggal untuk sementara waktu misalnya para mahasiswa, pekerja temporer dan lain lainnya. b. Rumah Susun Sederhana Milik ( Rusunami ), adalah rumah susun dengan sistem kepenghunian melalui mekanisme kepemilikan secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
19
2. Berdasarkan ketinggian lantai, menurut Perda DKI Jakarta No. 7/1991 tentang bangunan dalam Wilayah DKI Jakarta dan (Paul,2001): a. Bangunan Rendah ( Low Rise Building ) : memiliki ketinggian 2-6 lantai dan menggunakan tangga sebagai sarana sirkulasi vertikalnya. Jenis ini dikenal dengan sebutan walk-up flat. b. Bangunan Sedang ( Medium Rise Building ) : memiliki ketinggian di atas 9 lantai dan harus menggunakan elevator listrik sebagai sarana sirkulasi vertikalnya. c. Bangunan Tinggi ( High Rise Building ) : memiliki ketinggian di atas 9 lantai dan harus menggunakan elevator listrik sebagai sarana sirkulasi vertikalnya.
2.2.4 Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun Standar perencanaan Rusun diperlukan agar harga jual/sewa Rusun dapat terjangkau oleh kelompok sasaran yang dituju, tanpa mengurangi asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, keserasian Rusun dengan tata bangunan dan lingkungan kota. Berdasarkan PP nomor 4/ 1988 mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun, adalah sebagai berikut: 1. Kepadatan Bangunan Dalam mengatur kepadatan (intensitas) bangunan diperlukan perbandingan yang tepat meliputi luas lahan peruntukan, kepadatan bangunan, Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). 2. Lokasi Rusun dibangun di lokasi yang sesuai rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, terjangkau layanan transportasi umum, serta dengan mempertimbangkan keserasian dengan lingkungan sekitarnya 3. Tata Letak Tata letak Rusun harus mempertimbangkan keterpaduan bangunan,
lingkungan,
memperhatikan
kawasan
faktor-faktor
keseimbangan dan keserasian.
dan
ruang,
kemanfaatan,
serta
dengan
keselamatan,
20
4.
Jarak Antar Bangunan dan Ketinggian Jarak antar bangunan dan ketinggian ditentukan berdasarkan persyaratan
terhadap
bahaya
kebakaran,
pencahayaan
dan
pertukaran udara secara alami, kenyamanan, serta kepadatan bangunan sesuai tata ruang kota. 5.
Jenis Fungsi Rumah Susun Jenis fungsi peruntukkan Rusun adalah untuk hunian dan dimungkinkan dalam satu Rusun/ kawasan Rusun memiliki jenis kombinasi fungsi hunian dan fungsi usaha.
6. Luasan Satuan Rumah Susun
Ukuran ruang hunian untuk beraktivitas dan sirkulasi disesuaikan dengan standar hunian 9m2/orang. Luas sarusun minimum 21 m2, dengan fungsi utama sebagai ruang tidur/ruang serbaguna dan dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur. Tabel 2.1 Tipe Unit Rumah Susun Tipe Unit
Fasilitas
2
Tipe 21 m Tipe 24 m2 Tipe ini biasanya untuk keluarga muda atau seseorang yang belum memiliki keluarga
- 1 kamar tidur - ruang tamu/keluarga - kamar mandi - dapur/pantry
Tipe 30 m2 Tipe 36 m2 Tipe 42 m2 Tipe 50 m2 Tipe ini untuk keluarga yang sudah memiliki anak
- 2 kamar tidur - ruang tamu / keluarga - kamar mandi / WC - dapur / pantry - ruang makan
Sumber : Rosfian, 2009
7. Kelengkapan Rumah Susun Rusun harus dilengkapi prasarana, sarana dan utilitas yang menunjang kesejahteraan, kelancaran dan kemudahan penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. 8. Transportasi Vertikal •
Rusun bertingkat rendah dengan jumlah lantai maksimum 6 lantai, menggunakan tangga sebagai transportasi vertikal;
•
Rusun bertingkat tinggi dengan jumlah lantai lebih dari 6 lantai, menggunakan lift sebagai transportasi vertikal.
21
Arsitektur Gedung Rumah Susun Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
:
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi, dibuatlah ketentuan sebagai berikut : 1.
Persyaratan Penampilan Bangunan Gedung a. Bentuk denah bangunan gedung rusuna bertingkat tinggi sedapat mungkin simetris dan sederhana, guna mengantisipasi kerusakan yang diakibatkan oleh gempa. b. Dalam hal denah bangunan gedung berbentuk T, L, atau U, atau panjang lebih dari 50 m, maka harus dilakukan pemisahan struktur atau delatasi untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat gempa atau penurunan tanah. c. Denah bangunan gedung berbentuk simetris (bujursangkar, segibanyak, atau lingkaran) lebih baik daripada denah bangunan yang berbentuk memanjang dalam mengantisipasi terjadinya kerusakan akibat gempa. d. Atap bangunan gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan yang ringan untuk mengurangi intensitas kerusakan akibat gempa.
Gambar 2.1 Contoh Denah Bangunan Rumah Susun Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2007
22
2.
Perancangan Ruang Dalam a. Bangunan rusuna bertingkat tinggi sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan pribadi, kegiatan keluarga/ bersama dan kegiatan pelayanan b. Satuan rumah susun sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan dapur, kamar mandi dan kakus/WC
3.
Persyaratan Tapak Besmen Terhadap Lingkungan a. Kebutuhan besmen dan besaran koefisien tapak besmen (KTB) ditetapkan berdasarkan rencana peruntukan lahan, ketentuan teknis, dan kebijaksanaan daerah setempat. b. Untuk keperluan penyediaan Ruang Terbuka Hijau Pekarangan (RTHP) yang memadai, lantai besmen pertama (B-1) tidak dibenarkan keluar dari tapak bangunan (di atas tanah) dan atap besmen kedua (B-2) yang di luar tapak bangunan harus berkedalaman sekurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah tempat penanaman.
4.
Sirkulasi dan Fasilitas Parkir a. Sirkulasi harus memberikan pencapaian yang mudah, jelas dan terintegrasi dengan sarana transportasi baik yang bersifat pelayanan publik maupun pribadi. b. Sistem sirkulasi yang direncanakan harus telah memperhatikan kepentingan bagi aksesibilitas pejalan kaki termasuk penyandang cacat dan lanjut usia. c. Sirkulasi harus memungkinkan adanya ruang gerak vertikal (clearance) dan lebar jalan yang sesuai untuk pencapaian darurat oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan kendaraan pelayanan lainnya. d. Sirkulasi perlu diberi perlengkapan seperti tanda penunjuk jalan, rambu-rambu, papan informasi sirkulasi, elemen pengarah sirkulasi (dapat berupa elemen perkerasan maupun tanaman), guna mendukung sistem sirkulasi yang jelas dan efisien serta memperhatikan unsur estetika.
23
e. Setiap bangunan rusuna bertingkat tinggi diwajibkan menyediakan area parkir dengan rasio 1 (satu) lot parkir kendaraan roda 4 untuk setiap 5 (lima) unit hunian yang dibangun. f. Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah penghijauan yang telah ditetapkan. g. Perletakan Prasarana parkir bangunan rusuna bertingkat tinggi tidak diperbolehkan mengganggu
kelancaran lalu lintas, atau
mengganggu lingkungan di sekitarnya.
5. Pertandaan ( Signage ) a. Penempatan pertandaan (signage), termasuk papan iklan/reklame, harus membantu orientasi tetapi tidak mengganggu karakter lingkungan yang ingin diciptakan/dipertahankan, baik yang penempatannya pada bangunan, kaveling, pagar, atau ruang publik. b. Untuk penataan bangunan dan lingkungan yang baik untuk lingkungan/kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat mengatur pembatasan-pembatasan ukuran, bahan, motif, dan lokasi dari signage.
6. Pencahayaan Ruang Luar Bangunan Gedung a. Pencahayaan ruang luar bangunan harus disediakan dengan memperhatikan karakter lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan. b. Pencahayaan yang dihasilkan harus memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari dalam bangunan dan pencahayaan dari jalan umum. c. Pencahayaan
yang
dihasilkan
dengan
telah
menghindari
penerangan ruang luar yang berlebihan, silau, visual yang tidak menarik,
dan
pemeliharaan.
telah
memperhatikan
aspek
operasi
dan
24
2.2.5 Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 03-7013-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Sederhana, fasilitas di lingkungan rumah susun merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang antara lain dapat berupa bangunan perniagaan atau perbelanjaan (aspek ekonomi), lapangan terbuka, pendidikan, kesehatan, peribadatan, fasilitas pemerintahan dan pelayanan umum, pertamanan serta pemakaman (lokasi diluar lingkungan rumah susun atau sesuai rencana tata ruang kota).
Perancangan Fasilitas Rumah Susun Dalam melakukan perancangan fasilitas lingkungan pada rumah susun sederhana, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan guna memenuhi kebutuhan penghuni. Hal ini telah dijelaskan pula dalam Standar Nasional Indonesia, yaitu bahwa fasilitas lingkungan yang ditempatkan pada lantai bangunan rumah susun harus memenuhi kebutuhan sebagai berikut : a. Maksimal 30% dari jumlah luas lantai bangunan b. Tidak ditempatkan lebih dari lantai 3 (tiga) bangunan rumah susun.
Atas ketentuan tersebut maka luasan lahan yang digunakan untuk fasilitas lingkungan rumah susun harus diperhatikan. Luas lahan yang diperuntukan sebagai fasilitas lingkungan harus memenuhi ketentuan : a. Luas lahan untuk fasilitas rumah susun seluas-luasnya 30% dari luas seluruhnya. b. Luas lahan untuk fasilitas ruang terbuka, berupa taman sebagai penghijauan, tempat bermain anak, dan atau lapangan olah raga seluas-luasnya 20% dari luas lahan fasilitas lingkungan rumah susun
25 Tabel 2.2 Peruntukan Luas Lahan Rumah Susun
No
Jenis Peruntukan
1 2 3 4
Bangunan untuk hunian Bangunan fasilitas Ruang Terbuka Prasarana Lingkungan
Luas Lahan Maksimum Minimum (%) (%) 50 10 20 20
Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7013-2004)
Jenis Fasilitas Rumah Susun Lingkungan
rumah
susun
harus
dilengkapi
dengan
fasilitas
Iingkungan berupa ruang dan atau bangunan sesuai dengan tabel dibawah ini yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia. Tabel 2.3 Fasilitas Lingkungan Rumah Susun No. 1
2
Jenis Fasilitas Lingkungan Fasilitas niaga
Fasilitas pendidikan
-
3
Fasilitas kesehatan
4
Fasilitas peribadatan
5
Fasilitas pelayanan umum
6
Ruang terbuka
-
Fasilitas Yang Tersedia Warung Toko-toko perusahaan dan dagang Pusat perbelanjaan Ruang belajar untuk pra belajar Ruang belajar untuk sekolah dasar Ruang belajar untuk sekolah lanjutan tingkat pertama Ruang belajar untuk sekolah menengah umum Posyandu Balai pengobatan BKIA dan ruamah bersalin Puskesmas Praktek dokter Apotek Musola Masjid kecil Kantor RT Kantor/balai RW Post hansip/siskamling Pos Polisi Telepon umum Gedung serba guna Ruang duka Kotak Surat Taman Tempat bermain Lapangan olah raga Peralatan usaha Sirkulasi Parkir
Sumber : Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7013-2004)
26
Tinjauan Sarana Tinjauan sarana berdasarkan SNI-03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Fasilitas Lingkungan Rumah Susun Sederhana, yaitu : a.
Fasilitas Niaga ( Warung ) -
Maksimal penghuni yang dapat dilayani adalah 250 penghuni
-
Berfungsi sebagai penjual sembilan bahan pokok pangan.
-
Lokasi di pusat lingkungan rumah susun dan mempunyai radius 300m
-
Luas lantai minimal adalah sama dengan luas satuan unit rumah susun sederhana dan maksimal 36m2 ( termasuk gudang kecil )
b.
Fasilitas Pendidikan (tingkat Pra Belajar) -
Maksimal penghuni yang dapat dilayani adalah 1000 penghuni dimana anak-anak usia 5-6 tahun sebanyak 8%.
-
Berfungsi untuk menampung pelaksanaan pendidikan pra sekolah usia 5-6 tahun.
-
Berada di tengah-tengah kelompok keluarga/digabung dengan taman-taman tempat bermain di RT/RW.
-
c.
Luas lantai yang dibutuhkan sekitar 125 m2 (1,5 m2/siswa).
Fasilitas Kesehatan. -
Maksimal penghuni yang dilayani adalah 1000 penghuni.
-
Berfungsi memberikan pelayanan kesehatan untuk anak-anak usia Balita.
-
Berada di tengah-tengah lingkungan keluarga dan menyatu dengan kantor RT/RW.
-
Kebutuhan minimal ruang 30 m2, yaitu ruangan yang menampung segala aktivitas.
d.
Fasilitas Peribadatan. Fasilitas peribadatan harus disediakan di setiap blok untuk kegiatan peribadatan harian, dapat disatukan dengan ruang serbaguna atau komunal, dengan ketentuan:
27
-
Jumlah penghuni minimal yang mendukung adalah 40 KK untuk setiap satu musholla. Di salah satu lantai bangunan dapat disediakan satu musholla untuk tiap satu blok, dengan luas lantai 9 – 36 m2. Jumlah penghuni minimal untuk setiap satu masjid kecil adalah 400 KK.
e.
Fasilitas Pemerintahan dan Pelayanan Umum. -
Siskamling. o Jumlah maksimal penghuni yang dapat dilayani adalah 200 orang. o Dapat berada pada lantai unit hunian. o Luas lantai minimal adalah sama dengan unit hunian terkecil.
-
Gedung Sebaguna. o Jumlah maksimal yang dapat dilayani adalah 1000 orang. o
Dapat berada pada tengah-tengah lingkungan dan di lantai dasar.
o -
f.
Luas lantai minimal 250 m2.
Kantor Pengelola.
Fasilitas Ruang Terbuka. -
Tempat Bermain. o Maksimal dapat melayani 12 – 30 anak. o Berada antara bangunan atau pada ujung-ujung cluster yang mudah diawasi. o Luas area minimal 75 – 180 m2.
-
Tempat Parkir o Berfungsi untuk menyimpan kendaraan penghuni (roda 2 dan 4). o Jarak maksimal dari tempat parkir roda 2 ke blok hunian terjauh 100 m, sedangkan untuk roda 4 ke blok hunian terjauh 400 m.
28
o Tempat parkir 1 kendaraan roda 4 disediakan untuk setiap 5 keluarga, sedang roda 2 untuk setiap 3 keluarga. o 2 m² tiap kendaraan roda 4; 1,2 m² untuk kendaraan roda 2 dan satu tamu menggunakan kendaraan roda 4 untuk tiap 10 KK.
2.3
Air
2.3.1 Definisi Air Definisi air berdasarkan SNI 19-6728.1-2002 tentang Penyusunan neraca sumber daya – Bagian 1: Sumber daya air spasial, menyebutkan bahwa air adalah semua air yang terdapat di dalam dan berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut. Air
dibedakan
menjadi tiga jenis yaitu air baku, air bersih, dan air minum.
a. Air Baku Berdasar SNI 6773:2008 tentang Spesifikasi unit paket Instalasi pengolahan air dan SNI 6774:2008 tentang Tata cara perencanaan unit paket instalasi pengolahan air, yang disebut dengan Air Baku adalah air yang berasal dari sumber air pemukaan, cekungan air tanah dan atau air hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum. Tidak semua air baku bisa diolah, oleh karena itu dibuatlah ketentuan sebagai standar kualitas air baku yang bisa diolah.
Karakteristik Air Baku Standar kualitas air adalah baku mutu yang ditetapkan berdasarkan sifatsifat fisik, kimia, radioaktif maupun bakteriologis yang menunjukkan persyaratan kualitas air tersebut. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air, air menurut kegunaannya digolongkan menjadi : Kelas I : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
29
Kelas II : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, Peternakan, air untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kelas III : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
b. Air Bersih Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum, dimana persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia, biologis dan radiologis, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping (Ketentuan Umum Permenkes No.416/Menkes/PER/IX/1990)
Kebutuhan Air Bersih Kebutuhan air dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan untuk keperluan rumah tangga, industri, pengelolaan kota dan lainlain. Untuk memproyeksi jumlah kebutuhan air bersih dapat dilakukan berdasarkan perkiraan kebutuhan air untuk berbagai macam tujuan ditambah perkiraan kehilangan air. Standar kebutuhan air ada 2 macam yaitu : (Ditjen Cipta Karya, 2000) −
Kebutuhan Domestik Standar kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari seperti ; memasak, minum, mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya.
30 Tabel 2.4 Pemakaian Air Domestik per Orang No
Penggunaan Gedung
1. 2.
Rumah Biasa Rumah Mewah
3.
Rumah Susun / Apartemen
Pemakaian Air (Liter/hari) 60-250 250 atau lebih 100-250
Keterangan
- Bujangan 120 L - Kelas menengah 180L - Kelas mewah 250 L
Sumber : RSNI T-01-2003
Tabel 2.5 Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Orang/hari Penggunaan Air Mandi Bilas toilet Cuci Pakaian Cuci Piring Kebersihan Rumah Tangga Cuci Mobil Siram Taman Minum dan Masak Jumlah Kehilangan (Leak) Jumlah
Liter 38 10 26 18 32 22 10 9 165 135 300
Galon 10.03 2.64 6.87 4.76 8.45 5.81 2.64 2.38 43.59 35.66 79.25
Persentase 13% 3.5% 8% 6% 11% 7% 3.5% 3% 55% 45% 100%
Sumber : Dasar-dasar Arstitektur Ekologis, 2006.
*( 1 L = 0.264172 Gallon ) −
Kebutuhan non domestik Standar kebutuhan air non domestik adalah kebutuhan air bersih diluar keperluan rumah tangga. Kebutuhan air non domestik antara lain : •
Penggunaan komersil dan industri Yaitu penggunaan air oleh badan-badan komersil dan industri.
•
Penggunaan umum Yaitu
penggunaan
air
untuk
bangunan-bangunan
pemerintah, rumah sakit, sekolah-sekolah dan tempattempat ibadah.
31
c. Air Minum Pengertian air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syaratsyarat kesehatan yang dapat diminum. Alasan dan teknis yang mendasari penentuan standar kualitas air minum adalah efek-efek dari setiap parameter jika melebihi dosis yang telah ditetapkan. Pengertian dari standar kualitas air minum adalah batas operasional dari criteria kualitas air dengan memasukkan pertimbangan non teknis, misalnya kondisi sosial-ekonomi, target atau tingkat kualitas produksi, tingkat kesehatan yang ada dan teknologi yang tersedia. Sedangkan criteria kualitas air merupakan putusan ilmiah yang mengekspresikan hubungan dosis dan respon efek, yang diperkirakan terjadi kapan dan dimana saja unsur-unsur pengotor mencapai atau melebihi batas maksimum yang ditetapkan, dalam waktu tertentu. Dengan demikian, maka criteria kualitas air merupakan referensi dari standar kualitas air. Berdasarkan
Permenkes
No.416/Menkes/Per/IX/1990,
yang
membedakan antara kualitas air bersih dan air minum adalah standar kualitas setiap parameter fisik, kimia, biologis, dan radiologis maksimum yang diperbolehkan.
2.4
Konservasi Air Penghematan air atau konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui metode teknologi atau perilaku sosial. Penggunaan air bersih secara umum adalah untuk memenuhi kegiatan mandi, cuci, kakus, minum, dan irigasi lansekap. Menurut KepMenKes No. 907/MENKES/SK/VII/2002, bahwa diwajibkan melakukan pengelolaan dan pengawasan sumber mata air, dengan cara sebagai berikut :
2.4.1
Pengurangan Pemakaian Air Penggunaan air untuk kegiatan sanitasi masih sangat diperlukan karena keberadaan air identik dengan kebersihan. Untuk fixture sanitasi, selain tiga tipe dasar toilet yang umum (gravity, valve, dan pressured) juga ada peturasan (urinal) untuk tempat buang air kecil bagi lakilaki. Untuk sistem keran, termasuk bentuk keran tembok (faucets) dan keran wastafel
32
(lavatory). Sedangkan untuk mandi, penggunaan fixtures adalah dalam bentuk shower (Fadem and Conant, 2008). Kondisi pemborosan air juga dipengaruhi kurangnya kesadaran dan perilaku hemat air, seperti lupa menutup keran dan kurangnya perawatan pada water fixtures. Usaha untuk melaksanakan penghematan air kini semakin berkembang dengan banyaknya produk peralatan plambing yang semakin menekankan penghematan air. Upaya penghematan air dari teknologi keran dan toilet cukup berperan dalam menghemat penggunaan air bisa sekitar 30% dari total kebutuhan air domestik. Penggunaan air bersih untuk menyiram toilet kini juga disadari tidak perlu dilakukan.
2.4.2
Sumber Air Alternatif a.
Daur Ulang Air Limbah Daur ulang air adalah penggunaan kembali air bekas pakai yang melalui pengolahan air kotor untuk menghilangkan kontaminan menjadi air yang dapat digunakan kembali (Maczulak, 2010). Air kotor (greywater) yang dapat diproses kembali menjadi air bersih berasal dari wastafel dan shower, dan dapat dikumpulkan kembali serta ditampung dalam tangki di bawah tanah (basement) atau di lantai dasar. Air ini dapat digunakan untuk menggelontor toilet, make up cooling water, dan irigasi lansekap. Air hujan untuk irigasi tidak perlu diolah sebagai upaya reuse. Namun, kondisi hujan yang tidak menentu terkadang membuat ketersediaannya menjadi berkurang sehingga tetap memerlukan penyiraman manual. Penggunaan air dari sumber daur ulang air limbah gedung untuk mengurangi kebutuhan air dari sumber air utama.
b.
Pengumpulan Air Hujan. Indonesia secara umum memiliki curah hujan yang relatif tinggi serta bulan basah yang relatif panjang sehingga potensial untuk dijadikan salah satu sumber air. Tapi, pada kenyataannya, air hujan hanya dibuang ke saluran kota dan tidak dapat diserapkan kembali ke tanah. Saluran kota
pun
memiliki
kemampuan
yang
terbatas
sehingga ketika musim hujan tiba sering terjadi bencana banjir.
33
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air harus didorong karena rendahnya kualitas sumber air bersih permukaan dan upaya mengonservasi sumber air bawah tanah.
c.
Sumur Resapan Pemakaian air tanah harus mempertimbangkan faktor kelestarian air tanah yang meliputi faktor kualitas dan kuantitas air. Salah satu cara mempertahankan kuantitas air tanah adalah dengan menerapkan sumur resapan. Untuk membangun sumur resapan agar dapat memberikan kontribusi yang optimum diperlukan metoda perhitungan berikut (Sunjoto, 1992): 28
2.5
Sistem Pemanenan Air Hujan
2.5.1
Air Hujan Hujan adalah sebuah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh di permukaan. (Wibowo, H. 2008). Air hujan disebut juga dengan air angkasa. Beberapa sifat kualitas dari air hujan, yaitu : − Bersifat lunak karena tidak mengandung larutan garam dan zat-zat mineral. − Air hujan pada umumnya bersifat lebih bersih − Dapat bersifat korosif karena mengandung zat-zat yang terdapat di udara seperti NH3CO2 agresif, ataupun SO2. Adanya konsentrasi SO2 yang tinggi di udara yang bercampur dengan air hujan akan menyebabkan terjadinya hujan asam (acid rain).
Berdasarkan BMKG, curah hujan mempunyai satuan dalam milimeter. Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas permukaan horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Atau sejumlah air hujan yang jatuh sebanyak 1 liter/m², sebagai ilustrasi :
34
− Curah hujan 10 mm pada luasan 100 m² = 1000 liter air = 1 meter kubik air − Curah hujan 100 mm pada luasan 1 km² = 100 juta liter air = 100 ribu meter kubik air
Dari segi kuantitas, air hujan tergantung pada besar kecilnya curah hujan. Sehingga air hujan tidak mencukupi untuk persediaan umum karena jumlahnya berfluktuasi. Begitu pula bila dilihat dari segi kontinuitasnya, air hujan tidak dapat diambil secara terus menerus, karena tergantung pada musim. Pada musim kemarau kemungkinan air akan menurun karena tidak ada penambahan air hujan. Menurut pedoman penentuan tebal perkerasan lentur dengan metode analisa komponen yang dikeluarkan oleh Dirjend Bina Marga, kategori curah hujan dibagi menjadi 2, yaitu : − Curah hujan tinggi > 600 mm / tahun − Curah hujan rendah < 600 mm / tahun Untuk data curah hujan pada wilayah Penjaringan, Jakarta Utara diambil dari hasil penelitian curah hujan pada Stasiun BMKG Kemayoran, Jakarta Pusat, dan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.5.2
Sistem Pemanenan Air Hujan Pemanenan air hujan (PAH) merupakan metode atau teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap bangunan, permukaan tanah, jalan atau perbukitan batu dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber suplai air bersih. (Budi Harsoyo, 2010: 33-35). Dilihat dari ruang lingkup implementasinya, teknik ini dapat digolongkan dalam 2 (dua) kategori, yaitu : 1. Teknik pemanenan air hujan dengan atap bangunan (roof top rain waterharvesting), dan 2. Teknik pemanenan air hujan (dan aliran permukaan) dengan bangunan reservoir, seperti dam parit, embung, kolam, situ, waduk, dan sebagainya.
35
Perbedaan dari kedua kategori di atas adalah bahwa untuk kategori yang pertama, ruang lingkup implementasinya adalah pada skala individu bangunan rumah dalam suatu wilayah permukiman ataupun perkotaan, sementara untuk kategori yang kedua skalanya lebih luas lagi, biasanya untuk suatu lahan pertanian dalam suatu wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) ataupun subDAS.
2.5.3
Komponen Sistem Pemanenan Air Hujan Sistem PAH umumnya terdiri dari beberapa sistem yaitu: tempat menangkap hujan (catchment area), saluran air hujan yang mengalirkan air hujan dari tempat menangkap hujan ke tangki penyimpanan (conveyance), filter, reservoir (storage tank), saluran pembuangan, dan pompa. Gambar 2.2 menunjukkan skema ilustrasi sistem PAH dengan menggunakan atap rumah
Gambar 2.2 Skema Teknik Panen Hujan dengan Atap Rumah Sumber: Harsoyo, Budi, 2011
a.
Area Penangkap (Catchment Area) Area penangkapan air hujan (catchment area) merupakan tempat penangkapan air hujan dan bahan yang digunakan dalam konstruksi permukaan tempat penangkapan air hujan mempengaruhi efisiensi pengumpulan dan kualitas air hujan. Bahan-bahan yang digunakan untuk permukaan tangkapan hujan harus tidak beracun dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas air
36
hujan. Umumnya bahan yang digunakan adalah bahan anti karat seperti alumunium, besi galvanis, beton, fiber-glass shingles, dll. Pada area penangkap air hujan perlu diperhatikan koefisien runoff atau aliran airnya yang tergantung dari pemakaian bahan. Semakin tinggi koefisien runoff nya semakin air dapat mengalir sehingga dapat mengambil air hujan secara maksimal pada permukaan penangkap air tersebut.
Gambar 2.3 Runoff Coefficients Sumber : Harvesting Rainwater for Landscape Use, Patricia H, 2006
Ada beberapa jenis elemen bangunan yang dapat digunakan sebagai area tangkapan air hujan, diantaranya adalah sebagai berikut : •
Atap Bangunan Elemen ini merupakan elemen yang lazim digunakan untuk menangkap air hujan. Sesuai dengan namanya, teknik pemanenan air hujan dengan atap bangunan pada prinsipnya dilakukan dengan memanfaatkan atap bangunan (rumah, gedung perkantoran atau industri) sebagai daerah tangkapan airnya (catchment area) dimana air hujan yang jatuh di atas atap kemudian disalurkan melalui talang untuk selanjutnya dikumpulkan dan ditampung ke dalam tangki, seperti terlihat pada gambar 2.4. Menggunakan atap rumah secara individual memungkinkan air yang akan terkumpul tidak terlalu signifikan, namun apabila diterapkan seecara masal maka air yang terkumpul akan sangat melimpah.
37
Gambar 2.4 Ilustrasi Sistem PAH Menggunakan Atap Sumber : Anie, 2011
Menurut Renhata Katili, 2012, keuntungan dari penggunaan atap sebagai pengumpul air hujan adalah air yang terkumpul akan lebih sedikit terkontaminasi karena posisinya
berada
diatas
bangunan.
Selain
itu,
tidak
membutuhkan biaya tambahan untuk menangkap air hujan karena atap itu sendiri sudah pasti tersedia di setiap rumah. Namun, ada beberapa kekurangan tipe pengumpulan air hujan dengan menggunakan atap yaitu ukurannya yang terbatas. Dan akan sangat mahal apabila atap ini dibuat ekstra sendiri untuk menangkap air hujan (tidak ada dalam eksisting). •
Permukaan Tanah Menggunakan permukaan tanah merupakan metode yang sangat sederhana untuk mengumpulkan air hujan. Dibandingkan dengan sistem atap, PAH dengan sistem ini lebih banyak mengumpulkan air hujan dari daerah tangkapan yang lebih luas. Air hujan yang terkumpul dengan sistem ini lebih cocok digunakan untuk pertanian, karena kualitas air yang rendah. Air ini dapat ditampung dalam embung atau danau kecil. Namun, ada kemungkinan sebagian air yang tertampung akan meresap ke dalam tanah.
38
•
Gambar 2.5 Ground Catchment Sumber : Anie, 2011
Balkon Pada acara The Rainwater Utilization Idea Contest, ada beberapa ide yang memikirkan air hujan akan mengalir di dinding
bangunan.
Kazuo
Nagado
mengusulkan
mengumpulkan air hujan ini dengan membangun atap di lantai pertama. (Sumber: Rainwater and You,1995)
Gambar 2.6 Penangkap Air Hujan Menggunakan Balkon dan Kanopi Sumber : Rainwater and You, 1995.
39
•
Blooming Flowers
Gambar 2.7 Blooming Flowers Sumber : Rainwater and You, 1995.
Apa yang dimaksud dengan "rain-blooming flowers?" Jika anda memiliki payung vinil ekstra yang dibeli pada saat hujan yang tak terduga, mengapa tidak memanfaatkan ekstra baiknya dari kelebihan tersebut. Yuko Kanbayashi muncul dengan ide kreatif. Pertama, membuat dua lubang di batang payung hanya di mana ia bergabung dengan pipa penghubung. Kemudian, potong sekitar 1 cm dari ujung poros. Pasang tabung
vinyl
pada
menggantungkannya
ujung secara
poros
terbalik,
tersebut. payung
Cukup ini
akan
mengumpulkan air hujan yang akan mengalir melalui tabung vinyl. Dengan cara ini pengumpulan air hujan sangat mudah dilakukan
bahkan
di
Rainwater and You,1995)
kompleks
perumahan.
(Sumber:
40
Gambar 2.8 Blooming Flowers Sumber : Rainwater and You, 1995.
Ada anggota lain yang memiliki gagasan
rain-
blooming flowers, Kaoru Hotta dan putranya. Mereka mengubah tenda kerai di balkon menjadi tangkapan air hujan. Yang perlu dilakukan hanya memperbaiki ujung tenda menjadi polyvinyl chloride selokan, dan bergabung dengan pipa fleksibel (bukan downspout) ke selokan. Baru-baru ini, desain tenda yang sangat berwarna-warni, jadi jika banyak jenis rainwater-cathchment-flowers mekar pada balkon, akan menyenangkan
pandangan.
(Sumber:
Rainwater
and
atap
atap
You,1995) •
Dinding Bangunan Mengumpulkan
air
hujan
dari
dan
menghadap langit adalah umum, tetapi air hujan juga dapat dikumpulkan dari permukaan vertikal bangunan karena hujan biasanya tidak jatuh tepat vertikal. dalam banyak kasus, itu jatuh pada miring dan dalam beberapa kasus, "jatuh bangun". Jumlah air hujan yang dikumpulkan dari permukaan vertikal bangunan seperti yang telah dianggap sebagai 50% dari yang
41
dari permukaan horizontal dari daerah yang sama, tetapi ada laporan bahwa itu benar-benar diukur 7%. Bahkan jika itu hanya 7% jumlah total air hujan yang dikumpulkan akan menjadi besar karena bahkan salah satu dinding bangunan beberapa kali lebih besar atap dan ada banyak gedung-gedung tinggi di daerah perkotaan. (Sumber: Rainwater and You,1995)
Gambar 2.9 Tangkapan Air Hujan Menggunakan Dinding Sumber : Rainwater and You, 1995.
b.
Sistem Pengalir Air Hujan Sistem pengaliran air hujan (conveyance system) biasanya terdiri dari saluran pengumpul atau pipa yang mengalirkan air hujan yang turun di atap ke tangki penyimpanan (cistern or tanks). Saluran pengumpul atau pipa mempunyai ukuran, kemiringan dan dipasang sedemikian rupa agar kuantitas air hujan dapat tertampung semaksimal mungkin/Ukuran saluran penampung bergantung pada luas area tangkapan hujan, biasanya diameter saluran penampung berukuran 20-50 cm (Abdulla et al., 2009).
42
Gambar 2.10 Saluran Pengumpul Sumber : Anie, 2011
Gambar 2.11 Pipa Pengumpul dan Dop Cap Sumber : Anie, 2011
c.
Filter Filter dibutuhkan untuk menyaring sampah (daun, plastik, ranting, dll) yang ikut bersama air hujan dalam saluran penampung (Gambar 2.12) sehingga kualitas air hujan terjaga. Dalam kondisi tertentu, filter harus bisa dilepas dengan mudah dan dibersihkan dari sampah.
Gambar 2.12 Filter Sumber : Anie, 2011
43
Gambar 2.13 Filtrasi Air Hujan Sumber : Tatyalfiah, 2012
d.
Tangki (Cistern or tank) Tangki alami (kolam atau dam) dan tangki buatan (Cistern or tank) merupakan tempat untuk menyimpan air hujan. Berdasarkan buku panduan Rainwater Harvesting Guidebook Planning and Design (2009), penempatan tempat penyimpanan air dibagi menjadi 3, yaitu : •
Penyimpanan air atas tanah ( Above-Ground Storage ) Teknik penympanan tangki atas tanah adalah dengan meletakkan tangki air di atas tanah. Air hujan dialirkan dengan daya gravitasi.
Gambar 2.14 Sistem Tangki Penyimpanan Atas Tanah Sumber : Guidelines for Installing a Rainwater Collection and Utilization System, 2009.
44
•
Penyimpanan air bawah tanah ( Below-Ground Storage ) Metode tangki penyimpanan bawah tanah adalah dimana tangki air ditempatkan di dalam tanah seperti pada Gambar 2.15. Air hujan digunakan kembali menggunakan pompa.
Gambar 2.15 Sistem Tangki Penyimpanan Bawah Tanah Sumber : Guidelines for Installing a Rainwater Collection and Utilization System, 2009.
Gambar 2.16 Sistem Tangki Penyimpanan Bawah Tanah Sumber : Sistem Pengumpulan dan Penggunaan Semula Air Hujan, 2012.
•
Penyimpanan di permukaan bangunan (Surface Storage) Untuk
metode
penyimpanan
air
di
permukaan
bangunan, air hujan bisa ditampung di atas atap yang rata. Atap bangunan ini harus menggunakan bahan yang tidak mudah larut dan tidak mudah bocor. Aplikasi ini jika digunakan dalam area perumahan akan terbatas dan lebih sesuai digunakan di bangunan institusi, komersial dan industri.
45
Gambar 2.17 Sistem Tangki Penyimpanan Permukaan Bangunan Sumber : Guidelines for Installing a Rainwater Collection and Utilization System, 2009.
Gambar 2.18 Sistem Tangki Penyimpanan Permukaan Bangunan Sumber : Renhata Katili, 2009.
Gambar 2.19 Bentuk Tangki Penyimpanan Air Hujan Dekat Area Tangga Sumber : Sistem Pengumpulan dan Penggunaan Semula Air Hujan, 2012.
Sistem pemanenan air hujan di rumah susun telah dilaksanakan di flat biaya rendah Proyek Perumahan Rakyat Sri Stulang, Johor Baru, Malaysia seperti dalam Gambar 2.19. Tangki beton dibangun sebagai bagian dari struktur bangunan dan air hujan digunakan untuk mencuci tangga dan lantai.
46
Gambar 2.20 Sistem Tangki Penyimpanan Permukaan Bangunan Sumber : Rainwater and You, 1995.
Tangki pada gambar 2.20 disebut juga sebagai "tangki air hujan ultra tipis". Tangki ini terbuat dari blok beton dan tampak seperti hanya sebuah dinding blok beton biasa. Namun, masing-masing blok berlubang sehingga air hujan dapat disimpan di dalamnya. Blok seharusnya tidak memiliki partisi dalam, tidak ada ujung tersembunyi dan juga sebaiknya harus tahan air. Blok harus ditempatkan secara bergantian di atas pondasi beton bertulang yang berlabuh oleh tulangan di setiap sudut dinding dan setiap 1,8 m. Blok berlabuh oleh tulangan harus diisi dengan beton. Pipa untuk bergabung setiap bagian blok harus dimasukkan ke dalam lapisan terendah.
e.
First Flush Device First flush device: apabila kualitas air hujan merupakan prioritas, saluran pembuang air hujan yang tertampung pada menitmenit awal harus dibuang. Tujuan fasilitas ini adalah untuk meminimalkan polutan yang ikut bersama air hujan.
f.
Pompa (Pump) Pompa (Pump) dibutuhkan apabila tangki penampung air hujan berada di bawah tanah.
47
2.5.4
Pembahasan Perhitungan Jumlah Air yang Dapat Dipanen Heryani (2009) dalam tulisannya yang berjudul Teknik Panen Hujan : Salah Satu Alternatif Untuk Memenuhi Kebutuhan Air Domestik menjelaskan bahwa potensi jumlah air yang dapat dipanen (the water harvesting potential) dari suatu bangunan atap dapat diketahui melalui perhitungan secara sederhana, sebagai berikut: (Q) Debit air yang dapat dipanen (m³) = (C) Koefisien Run Off x (I) Intensitas Air Hujan (mm) x (A) Luas area (m²)
Gambar 2.21 Ilustrasi bangunan penampung air hujan dari atap rumah Sumber: Harsoyo, Budi, 2011
Sebagai ilustrasi (seperti disajikan pada Gambar 2.21), untuk suatu areal tangkapan hujan dengan luas 200 m², curah hujan tahunan 500 mm, maka jumlah air yang dapat dipanen ditetapkan sebagai berikut : •
Dengan luas area = 200 m2 dan jumlah curah hujan tahunan = 500 mm, maka volume air hujan yang jatuh di area tersebut: = 20.000 dm2 x 5 dm = 100.000 liter
•
Dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen (20% hilang karena evaporasi atau kebocoran), maka volume yang dapat dipanen : = 100.000 x 0.8 = 80.000 liter/tahun.
48 Tabel 2.7 Curah Hujan Historis (1989-2008) DAS Ciliwung
Sumber : UPT Hujan Buatan – BPPT. 2008
Berikut di bawah ini dibuat ilustrasi lebih lanjut untuk menunjukkan bagaimana teknik Pemanenan Air Hujan dapat memberikan kontribusi dengan hasil yang cukup signifikan untuk dijadikan sebagai solusi alternatif terhadap permasalahan krisis ketersediaan air baku di Jakarta : Misalnya, untuk suatu atap bangunan dengan luas area 100 m2 (= 10.000dm2); dan Jumlah curah hujan tahunan untuk wilayah DKI Jakarta berdasarkan data pada Tabel 2.7 adalah 1.929 mm/tahun (19,29 dm); maka Volume air hujan yang jatuh di satu atap rumah dengan luas atap 100 m2 dalam satu tahun adalah sebanyak : = 10.000 dm2x 19,29 dm = 192.900 liter/tahun Dengan asumsi hanya 80% dari total hujan yang dapat dipanen (sesuai Ilustrasi pada Gambar 2.12 sebelumnya; 20% hilang karena evaporasi atau kebocoran), maka volume air yang dapat dipanen :
= 80% x 192.900 liter = 154.320 liter/tahun.
Dari volume air tampungan yang dapat dipanen sebanyak 154.320 liter/tahun atau setara dengan 40.763 galon air (1 liter= 0,264 galon), jika air galonan diasumsikan seharga Rp.1.000,00 galon air saja, maka dari segi pengeluaran
satu
keluarga
Rp.40.763.000,000/ tahun.
sudah
terjadi
penghematan
sebanyak
49
− Menghitung penyimpanan dan sisa pemakaian air yang ditampung Menghitung air sisa pemakaian yang ditampung di tangki yang akan digunakan pada saat musim kemarau dan tidak ada hujan. Tabel 2.8 Sample Storage and Use Worksheet
Tabel 2.8 Sample Storage and Use Worksheet Sumber : Harvesting Rainwater for Landscape Use, Patricia H, 2006
2.6
Studi Banding
2.6.1
Studi Banding Proyek Sejenis Studi banding dilakukan pada Rumah Susun Sindang, Jakarta Utara dan Rumah Susun Tambora, Jakarta Barat. Studi banding dilakukan untuk mengetahui standar luasan ruang yang ada di rumah susun yang ada di Jakarta beserta masalah ada pada bangunan rumah susun tersebut.
50
51
52
53
2.6.2
Studi Banding Sistem Pemanenan Air Hujan a.
Pusat Kesenian Kota oleh KAMJZ Architects Arsitek
: KAMJZ Architects
Lokasi
: Taichung, Taiwan
Klien
: Taichung City
Project Leader
: Maciej Jakub Zawadzki
Partner in Charge
: Marek Kuryłowicz
Collaboration
: Buro Happold
Chief Design Consultant: Prof. Ewa Kuryłowicz Tim
: Bartosz Świniarski, Michał Polak, Łukasz
Wenclewski, Bogusz Ostalski, Zuzanna Góra, Magdalena Mularzuk Ukuran
: 63,000 sqm
Proposal desain Pusat Kesenian Kota Taichung oleh KAMJZ Arcihtects
ini
bertujuan
untuk
memberikan
peluang
untuk
menggunakan fitur lokal untuk melindungi lokasi itu sendiri, mengubah faktor-faktor pembatas yang ada menjadi sebuah fitur proyek yang menarik. Dengan curah hujan tahunan rata-rata 2500 mm dan iklim sangat dipengaruhi oleh musim hujan, Taiwan merupakan negara yang menerimabanyak air hujan. Oleh karena itu, para arsitek berfokus pada agenda pengendalian air lokal, ‘Water Damper Towers’, dengan bangunan sebagai perwujudannya.
Gambar 2.22 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
54
Taiwan secara resmi diklasifikasikan oleh PBB sebagai ‘negara defisit air’ dengan jumlah air hujan per orang hanya 1/6 dari rata-rata dunia dan kekurangan air biasanya muncul setiap tahun antara bulan Maret dan Mei. Dikarenakan populasi yang tinggi, dan juga topografi dengan bukit yang terjal menyebabkan air mengalir ke laut dan distribusi hujan terdistribusi tidak merata, dan hanya 20% dari air yang tersisa untuk konsumsi air, hal ini membuat air hujan sebagai sumber daya yang sangat penting dan berharga di pulau itu. Jika sumber daya air tidak dapat dialokasikan dengan baik, masalah-masalah lain yang terkait akan terus bertambah.
Gempa Bumi – Permasalahan Besar Negara Taiwan Taiwan merupakan zona seismik aktif, pada Pacific Ring of Fire di tepi barat dari piringan pantai Filipina. Para geologis telah mengidentifikasi 42 kejanggalan aktif pada pulau ini. Gempa bumi paling sering terjadi di pantai timur dan menyebabkan kerusakan kecil namun gempa yang lebih kecil di bawah pulau itu sendiri secara historis ternyata terbukti lebih merusak. Diantara tahun 1901 dan tahun 2000, telah terjadi 91 gempa bumi besar di Negara Taiwan, 48 diantaranya mengakibatkan korban jiwa. Gempa bumi yang paling terakhir terjadi adalah berupa 921 gempa bumi, yang menyerang pada tanggal 21 September 1999, dan
memakan 2415 korban jiwa.
Pemantauan potensi bencana saja tidak cukup. Standar konstruksi yang buruk telah disalahkan atas korban-korban yang disebabkan oleh gempa bumi besar ini. Banyak bangunan dan fasilitas modern di Taiwan yang telah dibangun dengan pemikiran konstruksi yang aman dari gempa bumi tetapi kesluruhan strategi diterapkan dari bawah ke atas yang dapat membantu untuk meningkatkan ketahanan gempa dari seluruh kepentingan kota untuk bangkit.
55
Gambar 2.23 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Untuk mencapai standar Zero Carbon and Energi Plus dan mengamankan keselamatan bangunan, banyak perangkat teknologi yang digunakan. Biaya produksi mereka mahal dan terkadang tidak berkelanjutan. Di Taichung City Cultural Center mereka mengusulkan sebuah bangunan yang melalui kinerjanya mengumpulkan sumber daya, menghasilkan energi dan dengan melakukan hal ini merupakan langkah pertahanan terhadap kondisi lingkungan yang bermusuhan ini. Semua faktor pembatas seperti udara terlalu panas dan polusi akan diperangi dengan cara alami dengan angin dan air.
Mitigasi Bencana – Melawan Gempa dengan Mengumpulkan Air. Dengan mengumpulkan air, bangunan dapat terlindungi dari bencana lokal. Massa bangunan ini akan berperan sebagai mekanisme defensif peredam gempa. Gelombang dan berat air yang bergerak di dalam tangki tertutup terbukti menjadi penyeimbang kekuatan gempa dan membantu untuk mengatur osilasi dari struktur bangunan. Dibarengi dengan sistem struktur primitif, meminimalkan koneksi diagonal, profil tinggi dan bentuk bertingkat yang berperan terbaik di lokasi seismic, fasilitas tersebut akan menjadi bangunan tahan bencana.
56
Gambar 2.24 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Pertahanan Sumber Daya – Bangunan sebagai Ladang Air Keberlanjutan
dalam
arsitektur
selalu
dimasukkan
ke
dalam
pendekatan top-down, dimana bangunan tersebut menerima asupanasupan yang berkelanjutan untuk mendapatkan produksi energi. Dalam rangka untuk menghasilkan sistem energi yang optimal, desain harus memiliki pendekatan bottom-up yang lebih. Seluruh daerah mungkin dan harus digunakan untuk memanen air. Keuntungan yang paling baik di permukaan akan jauh lebih besar jika tidak ada bangunan sama sekali. Untuk meningkatkan hal ini sebanyak mungkin, di TCCC bangunan dirancang untuk meminimalkan rasio cakupan. Dengan mengangkat bagian dari lansekap, seluruh kompleks diperhalus dari penggalian bawah tanah yang meningkatkan ketahanan air dan menyediakan ruang hijau sebanyak mungkin. Plaza utama, seluruh jalan masuk dan trotoar dan area lantai dasar dengan sistem pengumpulan multi-layer memiliki desain berpori permeable untuk menyimpan air.
Teras Air – Sebuah Tipologi Bangunan Baru Bangunan ini akan dibangun dengan kompilasi bertulang antara kolam bertingkat beton membentuk sistem pengumpulan air hujan, rantai kolektor akan bermula pada plaza yang diangkat. Area lantai dasar akan bebas dan terbuka yang dimana akan memaksimalkan keuntungan dari air sebanyak mungkin. Plaza ini akan menampilkan serangkaian bukaan yang akan diperlukan untuk menurunkan air terhadap lapisan lantai dasar.
57
Konsep bentuk Pragmatic Formless – Pergerakan Air sebagai Inspirasi Utama. Fasad dirancang untuk estetis yang menarik namun praktis, menempatkan fokus yang kuat pada pengumpulan air hujan dan perbaikan terhadap kualitasnya pula. Terdiri dari serangkaian patung dengan bentuk cair, yang mendorong gerakan alami dari air dengan menyalurkan ke teras, dimana hal ini akan berperan sebagai satu set talang besar hujan di bagian atas dan kolam di bagian bawah dari bangunan mengumpulkan limpasan air yang akan bergerak terus menerus.
Gambar 2.25 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Rangkaian modifikasi permukaan spiral akan membentuk jalan air untuk mendorong air untuk beperan secara alami. Pergerakan air tergantung pada kecepatan itu dan cara jatuh bisa menciptakan ambient berbeda dan armosfer di tempat-tempat itu akan diperlukan. Aliran yang deras akan memperkeras suara yang dihasilkan dan tidak tepat bila ditempatkan di area membaca dimana aliran air yang lambat akan lebih dibutuhkan sebagai contoh. Dari setiap tingkatan air akan disimpan dan dipindahkan ke core utama dimana akana di filtrasi di tangki air. Ketika terjadi air yang ditampung terlalu banyak oleh kolam tunggal, air limpasan akan tumpah keluar dan kaskade akan turun menuju teras selanjutnya atau ke plaza utama yang berlubang yang nantinya akan mengarah ke lantai dasar.
58
Gambar 2.26 Section Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Water Circulation / Gathering / Cooling Air hujan aiakan ditangkap oleh atap dan teras bangunan. Ruang baca, Ruang pameran, dan ruang arsip dengan tumpukan buku dan karya seni yang berharga akan dipisahkan menggunakan fasad dari aliran air yang memungkinkan untuk menciptakan dan memelihara iklim mikro yang diinginkan. Fasad air yang akan berperan sebagai perangkat pendingin dan membawa sinar matahari siang di tempat-tempat khusus. Hal ini akan menampilkan tingkat di mana air akan dikirim langsung ke tangki inti yang akan disaring dan didaur ulang. Air dari atap akan mengalir ke tangki peredam yan gjuga akan tampil sebagai filtering dan perangkat penyimpanan. Ekstra limpasan air akan jatuh ke plaza dan kemudian melalui lubang pada lapisan penahan di lantai dasar. Air yang telah disaring kemudian akan mengalir ke tangki pengumpul air di tingkat bawah tanah yang juga akan menggunakan tenaga hidrolik untuk mengusir kotoran dari air kota yang melayang selama musim topan. Pada saat yang sama tidak akan mempengaruhi pasokan air hilir dan kapasitasnya. Daur ulang air yang tersimpan akan digunakan untuk membilas toilet dan penyiram api. ( Sumber : Archdaily.com, 2014)
59
Gambar 2.27 City Cultural Center by KAMJZ Architects Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
b.
Capture The Rain Duo Ryszard Rychlicki dan Agnieszka Nowak, dari H3AR, dianugerahi penghargaan khusus untuk usulan mereka dalam kompetisi 2010 pencakar langit eVolo. Kompetisi eVolo menarik desainer inovatif dan telah menerima ratusan proposal eksentrik. Untuk proyek ini, dirancang oleh mahasiswa tahun ke-4, pencakar langit ini terdiri dari sistem talang untuk menangkap curah hujan sebanyak mungkin. Air ditangkap dan diproses oleh gedung dapat digunakan untuk pembilasan toilet, mesin cuci, menyiram tanaman, membersihkan lantai dan aplikasi domestik lainnya.
Gambar 2.28 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
60
Air yang telah dipanen oleh bangunan akan memasok 85 litres air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk ( masingmasing rata-rata penggunaan air harian 150 liter/hari )
Gambar 2.29 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Awalnya, dalam merancang menara, siswa difokuskan pada membentuk dan pemodelan permukaan atap untuk mengoptimalkan air hujan yang dikumpulkan. Namun setelah bekerja dengan sistem atap, siswa mengembangkan skin treatment untuk membuat bangunan berubah menjadi mesin raincollecting yang kohesif.
Gambar 2.30 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
61
Di bawah permukaan atap, penampungan air dalam bentuk corong besar dan bidang buluh, berfungsi sebagai unit pengolahan air hydro botanic. Unit memproses air menjadi air yang dapat digunakan yang selanjutnya ditransmisikan ke apartemen. (Sumber : Archdaily.com, 2014)
Gambar 2.31 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Gambar 2.32 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
Gambar 2.33 Capture The Rain by H3AR Sumber: archdaily.com diakses pada 29 Mei 2014
62
Kesimpulan : Dari 2 proyek diatas yang menggunakan sistem pemanenan air hujan, dapat disimpulkan bahwa air hujan mampu ditangkap oleh berbagai macam elemen-elemen bangunan dari mulai atap, fasad, plat lantai dan sebagainya, serta perletakan penyimpanan air hujan tersebut yang fleksibel seperti yang terdapat pada Pusat Kesenian Kota di Taiwan yang meletakkannya pada core bangunan sekaligus sebagai elemen yang mempercantik ruangan.
2.7
Hipotesa Berdasarkan studi literatur dan studi banding yang dilakukan, dapat ditarik suatu hipotesa bahwa, untuk dapat menghimpun air hujan diperlukan tangkapan yang dapat berupa elemen-elemen bangunan, seperti atap, fasad, plat lantai dan sebagainya.
Dalam
penggunaan
sistem
pemanenan air hujan, variabel yang digunakan adalah curah hujan yang turun pada daerah tersebut, luas penampang penangkap air hujan yang dirancang, serta kebutuhan air yang akan digantikan oleh air hujan. Bentuk dan material atap yang digunakan juga akan mempengaruhi debit air hujan yang dapat dihimpun. Itu semua pada akhirnya akan mempengaruhi luasan tangki yang diperlukan untuk menyimpan air yang telah dihimpun. Sehingga, perlu diperhatikan pula bentuk tangkapan air hujan dan material yang digunakan di perancangan rumah susun ini. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba merancang sistem pemanenan air hujan yang akan diterapkan pada rumah susun Penjaringan. Kemudian diprediksikan jumlah air yang dihasilkan atau dihimpun oleh sistem pemanenan air hujan pada rumah susun Penjaringan mampu memenuhi kebutuhan bilas toilet para penghuni rumah susun Penjaringan, Jakarta Utara sepanjang tahun, baik saat musim penghujan maupun musim kemarau.