BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Entrepreneurship (Kewirausahaan) Menurut
Hisrich,
Peters,
dan
Shepherd
(2008:10),
kewirausahaan
(entrepreneurship) adalah proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi. Dengan demikian kewirausahaan adalah proses penciptakan bisnis yang berasal dari ide orisinal yang memiliki peluang tinggi dan kesanggupan untuk menanggung segala kerugian.
2.1.1 Manfaat Kewirausahaan Menurut Zimmerer, Scarborough, dan Wilson (2008:11-14), sebelum mendirikan
usaha
bisnis
apa
pun,
setiap
calon
wirausahawan
harus
mempertimbangkan manfaat-manfaat dari kepemilikan bisnis kecil: 1.
Peluang untuk menentukan nasib dana sendiri.
Memiliki perusahaan sendiri memberikan kebebasan dan peluang bagi para wirausahawan untuk mencapai apa yang penting baginya. Para wirausahawan ingin “mencoba memenangkan” hidup mereka, dan mereka menggunakan bisnis mereka untuk mewujudkan kenginan itu. Seperti Doug Danforth, para wirausahawan meraih penghargaan intrinsic dengan mengetahui faktor pendorong di belakang bisnis mereka.
2.
Peluang untuk melakukan perubahan.
Semakin banyak wirausahawan yang memulai bisnis karena mereka melihat peluang untuk membuat perubahan yang menurut mereka penting. Mungkin berupa keinginan menyediakan perumahan murah yang layak untuk keluarga di negara sedang berkembang atau mendirikan program daur ulang untuk melestarikan sumber daya bumi
yang
terbatas,
para
wirausahawan
11
kini
menemukan
cara
untuk
12 mengombinasikan kepedulian sosial mereka dengan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
3.
Peluang untuk mencapai potensi sepenuhnya.
Bisnis-bisnis
yang
dimiliki
para
wirausahawan
merupakan
alat
untuk
mengungkapkan dan mengaktualisasikan diri. Mereka mengetahui bahwa satusatunya batasan terhadap keberhasilan mereka adalah segala hal yang ditentukan oleh kreativitas, antusiasme, dan visi mereka sendiri.
4.
Peluang untuk meraih keuntungan yang menakjubkan.
Walaupun uang bukan daya dorong utama bagi kebanyakan wirausahawan, keuntungan bisnis merupakan faktor motivasi yang penting untuk mendirikan perusahaan. Kebanyakan wirausahawan tidak pernah menjadi superkaya, tetapi banyak di antara mereka yang memang menjadi makmur.
5.
Peluang untuk berperan dalam masyarakat dan mendapat pengakuan atas usaha sendiri.
Pemilik bisnis kecil sering kali merupakan warga masyarakat yang paling dihormati dan paling dipercaya. Kesepakatan bisnis berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati adalah cara perusahaan kecil. Para pemilik perusahaan kecil menyukai kepercayaan dan pengakuan yang diterima dari pelanggan yang telah mereka layani dengan setia selama bertahun-tahun. Studi yang dilakukan oleh National Federation of Independent Business menemukan bahwa 78% orang Amerika yakin bahwa bisnis kecil memberikan pengaruh positif terhadap arah negara, hanya satu tingkat dibawah ilmu pengetahuan dan teknologi.
6.
Peluang untuk melakukan sesuatu yang akan disukai dan bersenang-senang dalam mengerjakannya.
Kebanyakan wirausahawan yang berhasil memilih masuk dalam bisnis tertentu sebab mereka tertarik dan menyukai pekerjaan tersebut.Mereka membuat hobi mereka menjadi perkerjaan mereka sehingga mereka senang melakukannya. Para wirausahawan ini mengikuti nasihat Harvey McKay: “Carilah pekerjaan yang dana sukai dan dana tidak akan pernah merasa terpaksa harus melakukannya sehari penuh
13 dalam hidup dana.” Yang menjadi penghargaan besar bagi wirausahawan bukanlah tujuannya, melainkan perjalannya.
2.1.2 Kelemahan Kewirausahaan Menurut Zimmerer, Scarborough, dan Wilson (2008:17–20), beberapa kelemahan kewirausahaan mencakup berikut ini: 1.
Ketidakpastian pendapatan
Membuka dan menjalankan perusahaan tidak memberikan jaminan bahwa seorang wirausahawan akan memperoleh pendapatan yang cukup untuk hidup. Beberapa perusahaan kecil sangat sulit memperoleh pendapatan yang cukup besar agar dapat membayar pemilik/manajernya secara layak. Pada masa awal usahanya, pemilik sering kali kesulitan melunasi kewajiban keuangannya dan mungkin hidup dari tabungan. Pendapatan tetap yang diperoleh dari pihak tempat ia bekerja sudah tidak ada lagi.
2.
Risiko kehilangan seluruh investasi
Menurut penelitian baru-baru ini, 35% dari perusahaan baru gagal dalam waktu dua tahun dan 54% tutup dalam waktu empat tahun. Setelah enam tahun, 64% perusahaan baru akan gulung tikar. Penelitian ini juga memperlihatkan ketika sebuah perusahaan menciptakan setidaknya data pekerjaan di awal-awal tahun, kemungkinan kegagalan setelah enam tahun merosot menjadi 35%.
Gambar 2.1 Jumlah jam per minggu yang digunakan oleh wirausahawan untuk usahanya Sumber : Zimmerer, Scarborough, Wilson (2008)
14 3.
Kerja lama dan kerja keras
Menurut survei yang baru-baru ini dilakukan oleh Dun dan Bradstreet, 65% wirausahawan membuktikan dirinya selama 40 jam atau lebih dalam seminggu untuk perusahaan mereka. Dalam banyak perusahaan baru, enam sampai tujuh hari kerja tanpa uang lembur di hari libur merupakan hal biasa. Bahkan, satu studi yang dilakukan oleh American Express menemukan bahwa 29 persen dari pemilik perusahaan kecil tidak mempunyai rencana mengambil cuti tahunan.
4.
Kualitas hidup yang rendah sampai bisnis mapan
Panjangnya jam kerja dan kerja keras yang diperlukan untuk mendirikan perusahaan akan menyita hidup wirausahawan. Pemilik perusahaan sering menyadari bahwa peran mereka sebagai suami atau istri dan ayah atau ibu menjadi terabaikan akibat pendirian bisnis.
Gambar 2.2 Usia wirausahawan ketika memulai usahanya Sumber : Zimmerer, Scarborough, Wilson (2008)
5.
Tingkat stress yang tinggi
Memulai dan mengelola perusahaan dapat menjadi pengalaman yang sangat berharga, tetapi juga bisa menjadi pengalaman penuh tekanan yang tinggi. Kegagalan sering berarti kehancuran keuangan, dan itu menciptakan tingkat ketegangan dan kekhawatiran yang tinggi. Beberapa wirausahawan menanggung beban mengelola perusahannya sendirian karena mereka tidak bisa mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain walaupun karyawan mereka mampu melakukannya.
15 6.
Tanggung jawab penuh
Sebuah jajak pendapat mengenai perusahaan kecil nasional yang baru-baru ini dilakukan oleh National Federation of Independent Businesses menemukan bahwa 34% dari pemilik perusahaan tidak memiliki seseorang yang dapat dijadikan tempat bertanya sewaktu membuat keputusan bisnis yang penting. Bila tidak ada seorang pun tempat bertanya, tekanan bisa menggunung degan tiba-tiba. Menyadari bahwa keputusan yang mereka ambil merupakan penyebab keberhasilan atau kegagalan akan mengakibatkan dampak merusak pada beberapa orang. Para pemilik perusahaan kecil dengan segera menyadari bahwa mereka sendirilah bisnisnya.
7.
Keputusasaan
Sepanjang usahanya membangun perusahaan yang berhasil, para wirausahawan akan selalu menghadapi berbagai macam hambatan, beberapa diantaranya tampaknya tidak dapat diatasi. Dalam menghadapi kesulitan seperti itu, keputusasaan dan kekecewaan menjadi emosi yang biasa dirasakan. Wirausahawan yang sukses akan menyadari bahwa setiap perusahaan mengalami hal-hal yang berat sepanjang jalannya, dan mereka mengarungi waktu-waktu sulit dengan bekerja sungguh keras dan memiliki cadangan optimism yang banyak sekali.
2.2
Waralaba (Franchise) Menurut Sanny (2015), waralaba adalah suatu bentuk perjanjian bisnis yang
telah diakui untuk menawarkan kemungkinan keberhasilan yang tinggi dalam suatu bisnis. Waralaba dapat didefinisikan sebagai pengaturan bisnis yang legal di mana pemilik produk, proses atau jasa (pewaralaba) lisensi pihak lain (terwaralaba) untuk menggunakannya dalam pertukaran beberapa jenis pembayaran (Watson et al,. 2005 dalam Sanny, 2015). Waralaba telah menjadi strategi bisnis yang populer di banyak industri di seluruh dunia (Hoffman dan Preble, 1993; Hoy dan Stanworth, 2003; Kaufmann, 1999; Kaufmann dan Dant, 1999 dalam Sanny, 2015). Sistem waralaba adalah formula bisnis diakui untuk pertumbuhan yang stabil dalam beberapa tahun terakhir, meskipun, sistem itu cukup lama. Dengan demikian dapat dijelaskan waralaba adalah suatu bentuk perjanjian bisnis, dimana merek, produk, maupun proses dalam melakukan bisnis waralaba akan dibeli. Sehingga pihak yang telah membayar biaya royalti sudah terikat
16 perjanjian bisnis waralaba dengan menggunakan merek, produk, maupun kinerja penjualan dalam menjalankan bisnis waralaba.
2.2.1 Kriteria Waralaba Menurut Wijatno (2009:258–259) disebutkan bahwa waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1.
Memiliki ciri khas usaha
Suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain yang sejenis dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas tersebut. Misalnya sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, penataan dan cara distribusi yang merupakan karakteristik dari pewaralaba.
2.
Terbukti sudah memberikan keuntungan
Pengalaman pewaralaba yang telah dimiliki kurang lebih lima tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya. Hal ini dibuktikan dengan masih bertahan dan berkembanganya usaha tersebut dengan menguntungkan.
3.
Memiliki standar atas pelayanan barang atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis
Pewaralaba memiliki standar secara tertulis (Standard Operational Procedure/SOP) agar terwaralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja sama yang jelas dan sama.
4.
Mudah diajarkan dan diaplikasikan
Bentuk usaha tersebut mudah dilaksanakan sehingga terwaralaba yang belum memiliki
pengalaman
atau
pengetahuan
mengenai
usaha
sejenis
dapat
melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pewaralaba.
5.
Adanya dukungan yang berkesinambungan
Dukungan dari pewaralaba kepada terwaralaba secara terus-menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan dan promosi.
17 6.
Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar
Hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten dan rahasia dagang, telah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.
2.2.2 Jenis-jenis Waralaba Menurut Zimmerer, Scarborough, dan Wilson (2008:259–267) ada tiga dasar waralaba, yaitu: 1.
Waralaba nama dagang (tradename franchising) Meliputi suatu merek seperti True Value Hardware atau Western Audio. Disini, terwaralaba membeli hak untuk memakai nama dari pewaralaba tanpa pembatasan bahwa ia hanya mendistribusikan produk-produk tersebut dengan nama pewaralaba tersebut.
2.
Waralaba distribusi produk (product distribution franchising) Artinya pewaralaba memberikan hak kepada terwaralaba untuk menjual produkproduk tertentu dengan nama merek dan merek dagang pewaralaba melalui jaringan yang selektif dan terbatas. Cara ini biasa digunakan untuk memasarkan mobil (Chevrolet, Lincoln, Chrysler), bensin (Exxon, Sunoco, Texaco), minuman ringan (Pepsi, Coca Cola), sepeda (Schwinn), alat rumah tangga, kosmetik, dan produk lainnya. Kedua metode waralaba ini mengizinkan terwaralaba menggunakan beberapa identitas induk perusahaan.
3.
Waralaba murni (pure franchising) dikenal juga sebagai waralaba komprehensif (comprehensive franchising) atau waralaba format bisnis (business format franchising) yang meliputi pemberian format bisnis secara lengkap kepada terwaralaba termasuk izin menggunakan nama dagang, produk atau jasa yang dijual, fisik pabrik, metode pengoperasian, rencana pemasaran, proses pengendalian kualitas, sistem komunikasi dua arah, dan layanan-layanan lain yang diperlukan untuk mendukung bisnis. Singkatnya, terwaralaba membeli hak untuk sepenuhnya menggunakan semua elemen operasi bisnis terpadu. Waralaba murni merupakan jenis yang paling cepat berkembang dan paling umum di antara ketiga jenis waralaba, jumlah gerainya empat kali lebih banyak daripada gerai waralaba merek dagang dan waralaba distribusi produk. Waralaba ini
18 banyak ditemui dalam restoran cepat saji, hotel, perusahaan layanan bisnis, agen penyewaan mobil, lembaga pendidikan, peritel alat kecantikan, dan berbagai jenis bisnis lainnya.
2.2.3 Keuntungan Waralaba Menurut Info Franchise Indonesia (2013:8), membeli usaha waralaba memiliki banyak keuntungan antara lain: 1.
Terwaralaba dapat menggunakan merek pewaralaba selama masa perjanjian waralaba yang telah disepakati. Mereka yang sudah tinggi ekuitasnya cenderung berpotensi lebih besar dalam memenangkan persaingan merebut customer dibanding dengan memulai bisnis sendiri.
2.
Sistem bisnisnya sudah teruji. Membeli waralaba juga identik dengan membeli sistem. Selain merek, kunci terpenting lainnya dalam bisnis adalah sistem. Sistem disini mencakup manajemen, keuangan, pemasaran, alur pasokan dan logistik (supplay chain) serta sumber daya manusia.
3.
Adanya bantuan pelatihan atau training yang dilakukan oleh training yang dilakukan oleh pewaralaba kepada karyawan maupun pemilik, baik sebelum pembukaan outlet maupun setelah pembukaan outlet.
4.
Pewaralana akan memberikan bantuan pendampingan dan bimbingan bisnis terhadap terwaralaba baik pra-operasional maupun pasca-operasional.
5.
Pewaralaba akan memberikan berbagai dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.
6.
Berbagai pengalaman pewaralaba. Pewaralaba akan mentransfer pengalamannya dalam mengelola derainya sehingga kendala-kendala yang terjadi dilapangan relatif lebih mudah diatasi.
19
2.2.4 Kerugian Waralaba Menurut Zimmerer, Scarborough dan Wilson (2008:267-272) menemukakan bahwa keuntungan waralaba sebagai berikut: 1.
Iuran waralaba dan royalti terus-menerus
Boleh dikatakan setiap pewaralaba menetapkan sejenis iuran dan meminta bagian dari pendapatan penjualan yang dihasilkan sebagai pengganti atas penggunaan nama, produk atau jasa, dan sistem bisnis. Biaya pendirian waralaba sering mencangkup berbagai iuran tambahan. Kebanyakan waralaba membebankan iuran waralaba di muka untuk hak penggunaan nama perusahannya. Sebagai contoh, Closets by Desaign, sebuah perusahaan yang merancang dan memasang lemari dinding dan pengaturan garasi, pusat hiburan, dan sistem kantor dirumah, mengenakan iuran waralaba berkisar dari $24.500 sampai dengan $39.000, yang termasuk lisensi untuk wilayah ekslusif serta pelatihan dan dukungan manajemen. Pewaralaba juga mengenakan iuran royalti yang berlanjut sebagai cara untuk pembagian keuntungan. Royalti ini biasanya dihitung berdasarkan persentase dari penjualan kotor dengan suatu pembayaran minimum, atau berupa iuran tetap (flat fee) yang dipungut dari terwaralaba.
2.
Sepenuhnya mengikuti operasi standar
Meskipun terwaralaba adalah pemilik bisnis, ia tidak memiliki otonomi seperti yang dimiliki pemilik mandiri. Untuk melindungi citra publiknya, pewaralaba mewajibkan terwaralaba untuk mempertahankan stdanar operasi tersebut. Contohnya, para terwaralaba McDonald’s harus mengoperasikan usaha mereka sesuai petunjuk waralabanya, yang menspesidikasikan hampir setiap rincian untuk menjalankan waralaba tersebut, termasuk seberapa banyak daging burger yang dihasilkan per pon daging sapi (10), berapa lama memanggang roti burger (17 detik), dan seberapa banyak pembersih yang harus digunakan untuk membersihkan mesin milkshake (1 paket untuk 2,5 galon air). Jika terwaralaba terus-menerus gagal memenuhi persyaratan minimum standar yang telah ditetapkan oleh pewaralaba, lisensinya bisa dihentikan. Banyak pewaralaba yang menentukan pemenuhan standarnya dengan melakukan inspeksi rutin dan menjadi pelanggan misterius (mistery shopper). Para pelanggan misterius bekerja untuk suatu perusahaan survei dan walaupun, mereka
20 tampak seperti pelanggan lainnya, mereka dilatih untuk mengamati serta kemudian mencatat dalam sebuah daftar periksa (checklist) mengenai kinerja suatu waralaba atas berbagai stdanar utama, seperti kebersihan, kecepatan layanan, penampilan dan sikap para karyawan, serta berbagai hal lainnya.
3.
Batasan dalam pembelian
Dalam mempertahankan standar kualitas, terwaralaba mungkin disyaratkan untuk membeli produk, peralatan khusus, atau barang-barang lain dari pewaralaba atau dari pemasok yang ditunjuk. Sebagai contoh, Kentucky Fried Chicken mengharuskan terwaralaba hanya menggunakan bumbu yang diracik oleh perusahaan tertentu karena citra buruk dapat terbentuk apabila terwaralaba menggunakan produk yang lebih rendah kualitasnya untuk menekan biaya. Dalam keadaan tertentu, pengaturan pembelian seperti ini dapat dituntut ke pengadilan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang antimonopoly, tetapi pada umumnya pewaralaba secara hukum mempunyai hak untuk memastikan bahwa terwaralabanya mempertahankan standar kualitas yang ditentukan. Pewaralaba boleh menetapkan harga produk-produk yang dijualnya, tetapi mungkin tidak menetapkan harga jual produk yang dijual oleh terwaralabanya.
4.
Lini produk terbatas
Dalam banyak kasus, perjanjian waralaba menetapkan bahwa terwaralaba hanya boleh menjual produk yang disetujui oleh pewaralaba. Terwaralaba harus menghindari menjual barang yang tidak disetujui oleh pewaralaba, kecuali bila bersedia mengambil risiko pencabutan lisensi. Beberapa pewaralaba meminta adanya saran-saran produk dan inovasi dari terwaralabanya. Sebagai contoh, David Brdanon, CEO Domino’s Pizza, mengatakan bahwa sistem waralaba perusahaan tersebut sama seperti “bekerja dengan 1350 wirausahawan.”
Salah
seorang terwaralaba
menciptakan kantung panahan panas yang dapat digunakan para karyawan pengiriman Domino untuk menjaga pizza tetap panas, sementara lainnya menciptakan Spoodle, gabungan dari sendok dan botol yang mengukur secara tepat jumlah saus pizza dan meratakannya dengan cepat serta rata.
5.
Syarat kontrak dan pembaruannya
21 Beberapa pihak pewaralaba bersedia untuk bernegosiasi atas berbagai syarat dalam kontrak mereka, tetapi banyak pewaralaba bersedia untuk bernegoisasi atas berbagai syarat dalam kontrak mereka, tetapi banyak pewaralaba yang sudah terkenal tidak mau melakukannya karena mereka tahu bahwa mereka tidak harus melakukannya. Kontrak waralaba tersebut sangatlah penting karena mengatur hubungan pewaralabaterwaralaba selama masa berlakunya, yang mungkin bisa selama 20 tahun. Bahkan, rata-rata lama waktu kontrak waralaba adalah 10,3 tahun. Akan tetapi, salah satu penelitian yang dilakukan oleh Federal Trade Commission menemukan bahwa 40 persen dari para pembeli baru waralaba mendanatangani kontrak tanpa membacanya. Para terwaralaba harus memahami berbagai syarat dan aturan yang mengatur pembaruan kontrak waralaba mereka pada tanggal jatuh tempo perjanjiannya aslinya. Dalam banyak kasus, para terwaralaba akan diminta untuk membayar biaya pembaruan dan memperbaiki berbagai kekurangan yang ditemukan di berbagai gerai mereka atau untuk memodernkan serta meningkatkan gerai-gerai tersebut.
6.
Program pelatihan yang tidak memuaskan
Manfaat utama dari membeli sebuah waralaba adalah pelatihan yang diberikan pihak pewaralaba kepada pihak terwaralaba agar dapat menjalankan dengan baik operasi waralaba tersebut. Akan tetapi, kualitas program pelatihan waralaba dapat sangat berbeda-beda. Calon terwaralaba harus waspada terhadap pewaralaba yang tidak bertanggung jawab yang menjanjikan jasa, nasihat, dan bimbingan, tetapi tidak memberikan apa-apa. Sebagai contoh, pewaralaba mengandalkan pewaralaba untuk memberikan program pelatihan yang dikatakannya sebagai “program pelatihan ektensif dan mendalam” setelah membayar iuran bantuan teknis yang cukup besar. Program itu ternyata hanya berupa seperangkat brosur dan petunjuk belajar sendiri. Contoh lain adalah seorang wirausahawan yang tidak sabar yang telah membayar iuran awal waralaba tanpa menyelidiki waralabanya dan tidak mendapatkan kabar apa pun lagi dari pewaralaba. Meskipun sudah dibuat peraturan pengungkapan untuk mengurangi keparahan masalah ini, sifat-sifat tidak jujur tetap mengancam pada calon terwaralaba yang tidak melakukan persiapan.
7.
Kejenuhan pasar
Seperti yang banyak ditemukan oleh para pewaralaba restoran cepat saji,yoghurt, dan es krim, kejenuhan pasar adalah bahaya yang nyata. Subway, contohnya, berkembang
22 dari hanya 166 gerai pada tahun 1981 menjadi hampir 25000 gerai saat ini (dan berencana menambah 30000 lokasi pada tahun 2010). Waralaba yang berkembang demikian cepat akan menyebabkan risiko dekatnya lokasi antar gerai, sehingga saling memakan penjualan. Meskipun beberapa pewaralaba menawarkan proteksi teritorial, yang lainnya tidak demikian. Pelanggaran territorial telah menjadi masalah persaingan yang sengit dalam waralaba ketika pewaralaba yang ingin tumbuh terus itu telah kehabisan lokal yang baik dan kini membentuk waralaba baru dalam jarak yang berdekatan dengan yang sudah ada. Pada beberapa daerah di negara ini, para pewaralaba menjadi kecewa, mengeluhkan bahwa pasar sudah terlalu jenuh dan penjualannya menurun.
8.
Kurangnya kebebasan
Ketika para terwaralaba mendatangtangani kontrak, mereka setuju untuk menjual produk atau jasa dari pewaralaba dengan mengikuti rumusan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ciri waralaba ini merupakan sumber kesuksesan sistem, tetapi hal ini juga sering menyebabkan terwaralaba merasa bahwa mereka harus melapor kepada seorang “bos”. Pewaralaba ingin memastikan kesuksesan terwaralaba dan memantau dengan cermat kinerja terwaralabahanya untuk menyakinkan bahwa terwaralaba tersebut mengikuti spesifikasi yang telah ditentukan.
2.3
Perilaku Konsumen (Consumer Behavior) Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard dalam Umar (2005:49-50)
mendefinisikan perilaku konsumen sebagai suatu tindakan yang langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa perilaku konsumen tadi terbagi dua bagian, yang pertama adalah perilaku yang tampak, variabel-variabel yang termasuk ke dalamnya adalah jumlah pembelian, waktu, karena siapa, dengan siapa dan bagaimana konsumen melakukan pembelian. Yang kedua adalah perilaku yang tampak, variabel-variabel antara lain adalah persepsi, ingatan terhadap informasi dan perasaan kepemilikan oleh konsumen. Terhadap dua faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu faktor sosial budaya yang terdiri atas kebudayaan, budaya khusus, kelas sosial, kelompok sosial dan referensi serta keluarga. Faktor yang lain adalah faktor
23 psikologis yang terdiri dari atas motivasi , persepsi, proses belajar, kepercayaan, dan sikap. Dengan demikian perilaku konsumen dapat diartikan proses yang dilakukan oleh
seseorang
atau
organisasi
dalam
mencari,
membeli,
menggunakan,
mengevaluasi dan membuang produk tersebut setelah dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Hdani Irawan (2012) dalam Sunyoto (2015:5), perilaku konsumen Indonesia dikategorikan menjadi 10, yaitu: 1) Berpikir jangka pendek (short term perspective), ternyata sebagian besar konsumen Indonesia hanya berpikir jangka pendek dan sulit untuk diajak berpikir jangka panjang, salah satu cirinya adalah dengan mencari yang serba instan. 2) Tidak terencana (dominated by unplanned behavior). Hal ini tercermin pada kebiasaan impulse buying, yaitu membeli produk yang kelihatan menarik (tanpa perencanaan sebelumnya). 3) Suka berkumpul. Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan suka berkumpul (sosialisasi). Salah satu indikator terkini adalah situs social networking seperti Facebook dan Twitter sangat diminati dan digunakan secara luas di Indonesia. 4) Gagap teknologi (not adaptive to high technology). Sebagian besar konsumen Indonesia tidak begitu menguasai teknologi tinggi. Hanya sebatas pengguna biasa dan hanya menggunakan fitur yang umum digunakan kebanyakan pengguna lain. 5)
Berorientasi pada konteks (context, not content oriented). Konsumen kita cenderung menilai dan meimilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru lebih menarik ketimbang hal itu sendiri.
6) Suka buatan luar negeri (receptive to COO effect). Sebagian konsumen Indonesia juga lebih menyukai produk luar negeri daripada produk dalam negeri, karena bisa dibilang kualitasnya juga lebih bagus dibdaningkan produk di Indonesia 7) Beragama (religious). Konsumen Indonesia sangat peduli terhadap isu agama. Inilah salah satu karakter khas konsumen Indonesia yang percaya pada ajaran agamanya. Konsumen akan lebih percaya jika perkataan itu ditemukan oleh
24 seorang tokoh agama, ulama atau pendeta. Konsumen juga suka dengan produk yang mengusung simbol-simbol agama. 8) Gengsi (putting prestige as important movie). Menurut Hdani Irawan, ada tiga budaya yang menyebabkan gengsi. Konsumen Indonesia suka bersosialisasi sehingga mendorong orang untuk pamer. Budaya feudal yang masih melekat sehingga menciptakan kelas-kelas social dan akhirnya terjadi “pemberontakan” untuk cepat naik kelas. Masyarakat kita mengukur kesuksesan dengan materi dan jabatan sehingga mendorong untuk saling pamer. 9) Budaya local (strong in subculture). Sekalipun konsumen Indonesia gengsi dan menyukai produk luar negeri, namun unsur fanatisme kedaerahannya ternyata cukup tinggi. Ini bukan berarti bertentangan dengan hukum perilaku yang lain. 10) Kurang peduli lingkungan (low consciousness towards environment). Salah satu karakter konsumen Indonesia yang unik adalah kekurang pedulian mereka terhadap isu lingkungan. Tetapi jika melihat prospek ke depan kepedulian konsumen terhadap lingkungan akan semakin meningkat, terutama mereka yang tinggal diperkotaan.
2.3.1 Model Perilaku Konsumen Model perilaku konsumen dapat dilihat pada gambar sebagai berikut (Henry Assael, 1992 dalam Suyoto, 2015:81):
Gambar 2.3 Model perilaku konsumen Sumber : Suyoto (2015)
25
Gambar diatas menunjukkan adanya interaksi antara pemasar dengan konsumennya. Komponen pusat dari modal ini adalah pembuatan keputusan konsumen yang terdiri atas proses merasakan dan mengevaluasi informasi merek produk, mempertimbangkan bagaimana alternatif mereka dapat memenuhi kebutuhan konsumen, dan pada akhirnya memutuskan merek apa yang akan dibeli. Terdapat tiga faktor yang memengaruhi pilihan konsumen, yaitu: a.
Konsumen individual
Dimana pilihan untuk membeli suatu produk dengan merek tertentu dipengaruhi oleh hal-hal yang ada pada diri konsumen seperti kebutuhan, persepsi terhadap karakteristik merek, siap, kondisi demografis, gaya hidup dan karakteristik kepribadian individu akan memengaruhi pilihan individu terhadap berbagai alternatif merek yang tersedia.
b.
Lingkungan yang mempengaruhi konsumen
Pilihan konsumen terhadap merek dipengaruhi oleh lingkungan yang mengitarinya, etika seorang konsumen melakukan pembelian suatu merek produk, mungkin didasari oleh banyak pertimbangan. Mungkin seseorang membeli sesuatu merek produk karena meniru teman atau juga mungkin karena tetangga telah lebih dulu membeli.
c.
Stimuli pemasaran atau strategi pemasaran
Dalam hal ini pemasar berusaha memengaruhi konsumen dengan menggunakan stimuli-stimuli pemasaran seperti iklan dan sejenisnya agar konsumen bersedia memilih merek produk yang ditawarkan. Strategi pemasaran yang lazim dikembangkan oleh pemasar, yaitu yang berhubungan dengan produk apa yang akan ditawarkan, penentuan harga jual produk, strategi promosi dan bagaimana melakukan distribusi produk kepada konsumen.
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Menurut Philip Kotler (1993) dalam Sunyoto (2014:261-271), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen, antara lain: 1.
Faktor Eksternal
26 Faktor-faktor lingkungan eksternal yang memengaruhi perilaku konsumen antara lain:
a.
Kebudayaan
Kebudayaan adalah kompleks yang mencangkup mencakup pengertian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencakup segala cara-cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Jadi perilaku konsumen sangat ditentukan oleh kebudayaan yang melingkupinya, dan pengaruhnya akan selalu berubah setiap waktu sesuai dengan kemajuan atau perkembangan zaman dan masyarakat itu. Bentuk kebudayaan khusus lainnya adalah serikat-serikat keagamaan, kebangsaan, persaudaraan dan lain-lain, yang memberikan identifikasi pada orang-orang yang menjadi anggotanya.
b. Kelas Sosial Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen yang bertahan lama dalam
sebuah
masyarakat,
yang
tersusun
secara
hierarki
dan
yang
keanggotaannya mempunyai nilai minat dan perilaku yang sama (Philip Kotler, 1993:225, dalam Sunyoto, 2014).
c.
Keluarga
Keluarga digunakan menggambarkan berbagai macam bentuk rumah tangga. Setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan meiliki selera dan keinginan yang berbeda. Oleh karena itu perusahaan dalam mengidentifikasikan perilaku konsumen harus mengetahui siapa perlu, pengambil inisiatif, pembeli atau siapa yang memengaruhi keputusan untuk membeli dengan mengetahui peranan dari masing-masing anggota keluarga, maka perusahaan dapat menyusun program-program pemasaran dengan lebih baik dan terarah.
d.
Kelompok Referensi dan Kelompok Sosial
1) Kelompok Referensi Kelompok referensi adalah kelompok yang menjadi ukuran seseorang untuk membentuk kepribadian perilakunya. Orang umumnya sangat dipengaruhi oleh
27 kelompok referensi mereka dengan tiga cara pertama, kelompok referensi pada seseorang perilaku dan gaya dan konsep jati diri seseorang karena orang tersebut ingin menyesuaikan diri yang dapat memengaruhi pilihan produk dan merek seseorang (Philip Kotler, 1993:228 dalam Sunyoto, 2014).
28
2) Kelompok Sosial Semenjak manusia dilahirkan sudah mempunyai hasrat atau keinginan pokok, yaitu: a) Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (masyarakat). b) Keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekelilingnya. Untuk dapat mengetahui alam dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Sehingga timbul kelompok-kelompok sosial dalam kehidupan manusia.
2.
Faktor Internal a.
Motivasi
Menurut Basu Swastha DH dan T. Hani Hdanoko (1997) dalam Sunyoto (2014:265), Motivasi adalah suatu dorongan kebutuhan dan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan. Para ahli psikologis telah mnegembangkan teori-teori motivasi manusia. Tiga dari teori-teori tersebut yang terkenal antara lain:
1) Teori Motivasi Freud Freud mengasumsikan bahwa kekuatan-kekuatan psikologi yang membentuk perilaku pembeli sebagain besar berasal dari bawah sadar. Semua keinginan atau dorongan ini tidak pernah terhapuskan atau terkendali secara sempurna. Mereka muncul dalam mimpi, dalam salah bicara atau menulis, atau dalam perilaku yang neurotis. Jadi, menurut Freud, seseorang tidak dapat memahami sepenuhnya motivasinya berasal dari mana.
2)
Teori Motivasi Maslow
Abraham Maslow berusaha menjelaskan mengapa orang didorong oleh kebutuhan tertentu pada waktu tertentu. Dalam urutan kepentingannya, kebutuhan itu adalah kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan pernyataan diri. Bila seseorang berhasil dalam memuaskan suatu kebutuhan yang penting, maka kebutuhan
29 tersebut bukan merupakan motivasi lagi, dan orang tersebut akan berusaha memuaskan kebutuhan yang paling penting berikutnya.
3)
Teori Motivasi Herzberg
Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (1998) dalam Sunyoto (2014:266), Frederick
Hezberg
mengembangkan
teori
motivasi
dua
faktor,
yang
membedakan antara faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan dan faktorfaktor yang menyebabkan kepuasan.
b. Persepsi Persepsi
didefinisikan
sebagai
proses
dimana
seseorang
memilih,
mengorganisasikan dan mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti di dunia ini (Philip Kotler, 1993:241 dalam Sunyoto, 2014:270). Persepsi dapat melibatkan penafsiran seseorang atas suatu kejadian berdasarkan pengalamanmasa lalunya. Pada pemasar perlu bekerja keras untuk memikat perhatian konsumen agar pesan yang disampaikan dapat mengenai pada sasaran.
c. Belajar Belajar menjelaskan perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman (Philip Kotler, 1993:241 dalam Sunyoto, 2014:270). Proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara manusia yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan khusus tertentu. Perubahan perilaku seseorang terjual melalui keadaan saling memengaruhi antara dorongan, melalui keadaan saling memengaruhi antara dorongan rangsangan, petunjuk-petunjuk penting jawaban, faktor penguat dan tanggapan. Proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen ingin menaggapi dan memperoleh suatu kepuasan, atau sebaliknya tidak terjadi apabila konsumen merasa dikecewakan oleh produk yang kurang baik.
d.
Kepribadian dan Konsep diri
1) Kepribadian Kepribadian adalah pola sifat individu yang dapat menetukan tanggapan untuk bertingkah laku. Kepribadian mencakup tanggapan untuk bertingkah laku.
30 Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan ciri-ciri sifat dan watak yang khusus yang menentukan perbedaan perilaku dari tiap-tiap individu, dan yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain. 2) Konsep diri Konsep diri merupakan implikasi yang sangat luas dalam proses pembelian konsumen, maka dapat digunakan dalam menentukan segmentasi pasar, periklanan, pembungkusan, personal selling, pengembangan produk dan distribusi.
e.
Kepercayaan dan Sikap
1) Kepercayaan Kepercayaan ini merupakan citra produk dan merek. Orang bertindak atas kepercayaannya jika sebagian dari kepercayaan ini salah dan menghambat pembelian, maka produsen akan melakukan kampanye untuk membantah kepercayaan ini.
2)
Sikap
Sikap menggambarkan penilaian kognitif yang baik maupun tidak baik, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa objek atau gagasan (Philip Kotler, 1992: 203 dalam Sunyoto, 2014:271).
2.4
Komunikasi (Communication) Menurut Taleghani (2011) dalam Uripi dan Wijayanto, komunikasi
didefinisikan sebagai dialog interaktif antara perusahaan dan partnernya, yang berlangsung selama tahap pra-penjualan, tahap penjualan, tahap mengkonsumsi, dan tahap pasca konsumsi. Kemampuan pewaralaba untuk dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya dan tepat waktu, memberikan informasi yang dapat dipercaya, memberikan informasi yang cepat ketika meluncurkan produk baru, memberikan informasi tepat waktu dan informasi yang selalu akurat akan meningkatkan kepuasan hubungan antara terwaralaba dengan pewaralaba. Dengan demikian komunikasi dapat didefinisikan suatu elemen terpenting untuk membina suatu hubungan antara pewaralaba dan terwaralaba sehingga dapat membuat hubungan semakin baik selama berjalananya hubungan bisnis waralaba.
31 Tanpa ada komunikasi bagaimana pewaralaba dan terwaralaba dapat menjali suatu hubungan yang baik demi berjalannya sistem waralaba. Dari pihak pewaralaba juga mengaharapkan komunikasi dapat membimbing terwaralaba menjalanin sistem waralaba dengan baik tanpa adanya kesulitan apapun, sedangkan pihak terwaralaba juga menginginkan yang sama. Jika terwaralaba mendapatkan kesulitan melalui komunikasi juga terwaralaba bisa tau permasalahannya dimana dan apa solusinya.
2.5
Kepuasan Terwaralaba (Franchisee’s Satisfaction) Storbacka,
Strandvik
dan
Gronroos
(1994)
dalam
Berndt
(2009),
mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi kognitif dan afektif dari pelanggan, berdasarkan pengalaman pribadi dari pelanggan di sejumlah episode layanan yang berbeda dalam konteks hubungan. Tidak hanya kepuasan terkait dengan harapan, tetapi ada juga komponen emosional, seperti kesenangan, kepuasan atau kenikmatan yang dialami oleh pelanggan (Zeithaml et al 2006:. 110 dalam Berndt, 2009). Dengan demikian tingkat kepuasan terwaralaba bisa dilihat fasilitas yang diberikan oleh pewaralaba, baik program pelatihan, bantuan operasional yang diberikan, dan segala sesuatu yang mendukung waralaba tersebut. Semua itu merupakan bahan yang akan dipertimbangkan oleh terwaralaba untuk dapat merasakan kepuasan akan bisnis waralaba yang dijalani.
2.5.1 Pelatihan (Training) Menurut Barkoff dan Selden (2008:74), dokumen waralaba harus membahas konten program pelatihan, durasi, dan lokasi. Program pelatihan pewaralaba untuk terwaralaba baru, tidak hanya mengajarkan keterampilan, pengetahuan, dan pengetahuan manajemen, tetapi juga dapat membantu menyelaraskan harapan, sikap yang baik, membuat keinginan dan kepercayaan terwaralaba untuk berhasil, mengajarkan keterampilan kewirausahaan, mengembangkan kemauan untuk bekerja sama untuk saling menguntungkan, dan menciptakan spirit untuk program waralaba. Salah satu tujuan program pelatihan, adalah untuk menciptakan sebuah kesetiaan yang kuat dalam terwaralaba untuk sistem waralaba dan memberikan dasar untuk hubungan masa depan yang sukses. Untuk memaksimalkan nilai kedua pihak, terwaralaba dan pewaralaba, program pelatihan harus sangat terstruktur dan sistematis yang tepat. Seorang pewaralaba akan selalu berhak untuk mengakhiri
32 perjanjian waralaba jika terwaralaba gagal untuk menyelesaikan program pelatihan. Pewaralaba selalu menawarkan program pelatihan untuk terwaralaba dan personilnya. Ini mungkin opsional atau wajib, tergantung pada konten mereka dan lokasi. Pewaralaba biasanya tidak akan mengenakan biaya secara terpisah untuk pelatihan yang mereka tawarkan kepada terwaralaba baru dan jumlah minimum personil. Biaya ini biasanya tercakup dalam biaya waralaba awal, meskipun pewaralaba selalu berhak untuk biaya secara terpisah untuk karyawan tambahan yang mengikuti program pelatihan. Dalam hampir semua kasus, bagaimanapun, terwaralaba bertanggung jawab atas perjalanan dan biaya hidup yang dikenakan personilnya saat menghadiri program pelatihan
2.6
Keunggulan
Kompetitif
Pewaralaba
(Franchisor’s
Competitive
Advantage) Keunggulan kompetitif dari sistem waralaba tidak hanya merupakan sumber penting untuk menarik terwaralaba baru tetapi juga merupakan elemen penting untuk menjaga loyalitas terwaralaba dalam sistem waralaba (Falbe dan Welsh 1998 dalam Chiou, Hsieh, dan Yang 2004). Keunggulan kompetitif ini dapat berasal dari nama merek, skala ekonomi, atau pengerjaan secara efisien dari sistem waralaba. Dalam lapisan yang sama, layanan yang disediakan oleh pemilik waralaba merupakan dasar untuk meningkatkan kualitas hubungan terwaralaba sejak hubungan waralaba dimulai dengan terwaralaba (Teixeira 1994 dalam Chiou, Hsieh, Yang 2004). Dengan demikian keunggulan kompetitif pewaralaba sangat penting untuk menarik perhatian calon terwaralaba maupun yang sudah menjadi terwaralaba. Karena, jika suatu bisnis waralaba tidak mempunyai keunggulan maka tidak ada hal yang menarik bagi pihak luar untuk menjalankan bisnis waralaba tersebut. Tidak adanya inovasi yang dikembangkan yang dapat mengakibatkan munculnya sikap switching behavior bagi terwalaba.
2.7
Kerangka Pemikiran Dengan demikian faktor-faktor apa saja mempengaruhi pihak terwaralaba
untuk melakukan switch behavior, berganti menjadi pihak pewaralaba dalam bisnis waralaba berjenis sama, yaitu makanan.
33 Latihan Kepercayaan
Komunikasi
Switch Behavior
Pedoman Operasional
Keunggulan kompetitif pewaralaba
Gambar 2.4 Kerangka Pemikian Switch Behavior
2.8
Hipotesis Berdasarkan landasan teori yang mencakup tinjauan pustaka dan hasil
penelitian yang relevan serta kerangka pemikiran, maka hipotesis yang diajukan adalah “Faktor-faktor: 1) komunikasi dilakukan secara rutin antara pewaralaba dan terwaralaba, 2) komunikasi dilakukan secara rutin antara pewaralaba dan terwaralaba, 3) pewaralaba menekankan komunikasi dua arah, 4) pewaralaba memberikan petunjuk pengoperasian. 5) pewaralaba mengajarkan kita bagaimana menggunakan petunjuk pengoperasian, 6) pewaralaba memberikan kursus pelatihan yang rutin, 7) percaya atas kontrak, 8) percaya pada informasi yang diberikan oleh pewaralaba, 9) percaya akan kemampuan pewaralaba, 10) pewaralaba mengajarkan toko kami untuk menangani permasalahan akuntansi, 11) pewaralaba mendukung dalam kegiatan promosi, 12) pewaralaba memberikan dukungan untuk distribusi fisik (misalnya kecepatan pengiriman), 13) pewaralaba mendukung perawatan fasilitas pendukung bagi terwaralaba, 14) pewaralaba menangani beberapa konsumen terkait program yang bermanfaat untuk toko kami, 15) dibandingkan dengan sistem waralaba yang lainnya, pewaralaba kami menghemat waktu dalam pembelian persediaan, 16) bergabung dengan sistem waralaba menghemat waktu lebih banyak daripada melakukannya sendiri, dan 17) jika kita meninggalkan sistem waralaba ini, pelanggan kami masih akan datang kembali ke toko kami adalah merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi terwaralaba melakukan switch behavior menjadi pewaralaba”.