BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Jaringan Saraf Propagasi Balik
Jaringan saraf propagasi balik merupakan jaringan saraf yang menggunakan konsep jaringan berlapis jamak. Lapisan pertama adalah lapisan masukan (input) dan yang terakhir adalah lapisan keluaran (output). Lapisan diantara lapisan masukan dan lapisan keluaran disebut dengan lapisan tersembunyi (hidden) (Hermawan, 2006).
Jaringan saraf propagasi balik menerapkan metode pelatihan yang terawasi yaitu metode pelatihan yang memberikan nilai target yang diinginkan dari setiap neuron pada lapisan keluaran. Puspitaningrum (2006, hal:125) menyatakan bahwa istilah “propagasi balik” atau “penyiaran kembali”diambil dari cara kerja jaringan ini, yaitu bahwa gradien error neuron-neuron lapisan tersembunyi diturunkan dari penyiaran kembali error-error yang diasosiasikan dengan neuron-neuron lapisan keluaran. Hal ini karena nilai target untuk neuron-neuron tersembunyi tidak diberikan.
2.1.1 Arsitektur jaringan saraf propagasi balik
Pada jaringan saraf propagasi balik setiap lapisan akan memiliki jumlah neuron yang berbeda, tergantung pada permasalahan yang akan diselesaikannya. Secara umum arsitektur dari jaringan saraf propagasi balik dengan satu lapisan tersembunyi adalah sebagai berikut
Universitas Sumatera Utara
11
Bias
Bias
1
1
xp1 M A S U K A N
. . .
xpi
. . . i
. . .
xpN
Lapisan Masukan
o p1
. . . j
. . .
N
1
k
o pk
. . .
L
Lapisan Tersembunyi
M
K E L U A R A N
o pM
Lapisan Keluaran
Gambar 2. 1 Arsitktur Jaringan Saraf Propagasi Balik
2.1.2 Proses komputasi jaringan
Proses komputasi pada jaringan saraf propagasi balik dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu komputasi maju (pass forward) dan komputasi mundur (pass backward) (Setawan, 1999). Komputasi maju bertujuan untuk menghasilkan nilai keluaran aktual, sedangkan komputasi mundur bertujuan untuk melakukan perubahan nilai bobot pada setiap lapisan.
2.1.2.1 Komputasi maju
Komputasi maju pada jaringan saraf propagasi balik dimulai dari lapisan masukan tetapi neuron-neuron yang melakukan proses komputasi adalah neuron-neuron pada lapisan tersembunyi. Hal ini disebabkan karena neuron-neuron pada lapisan masukan hanya berfungsi meneruskan nilai masukan untuk neuron-neuron pada lapisan tersembunyi.
Universitas Sumatera Utara
12
Proses komputasi maju pada jaringan saraf propagasi balik yang memiliki satu lapisan tersembunyi dapat dijabarkan sebagai berikut. Misalkan Xp = (xp1, xp2, . . . , xpN ) merupakan vektor masukan untuk pola ke p dari setiap neuron pada lapisan masukan yang akan diteruskan ke setiap neuron j pada lapisan tersembunyi. Setiap neuron j pada lapisan tersembunyi untuk selanjutnya akan melakukan proses komputasi seperti yang telah diterangkan pada bab 1 yaitu dengan terlebih dahulu menghitung nilai net input nya. Nilai net input untuk setiap neuron j pada lapisan tersembunyi adalah
N
net hpj
w
h ji
x pi jh
(2.1)
i 1
dimana net hpj = nilai net input neuron ke-j pola ke-p pada lapisan
tersembunyi whji = bobot yang menghubungkan neuron i dengan neuron j
pada lapisan tersembunyi
x pi
= nilai keluaran dari neuron i untuk pola ke-p
jh
= bobot dari neuron bias ke neuron j pada lapisan tersembunyi, neuron bias adalah neuron dengan nilai keluaran selalu sebesar 1
Dengan menggunakan nilai net input pada lapisan tersembunyi ( net hpj ) ini, maka setiap neuron pada lapisan tersembunyi akan diaktifkan oleh fungsi aktifasinya sehingga akan menghasilkan suatu nilai, nilai tersebut adalah
i pj f jh (net hpj )
(2.2)
dimana i pj
= nilai keluaran neuron ke-j pada lapisan tersembunyi untuk pola ke-p
f jh ( net hpj )
= fungsi aktifasi neuron ke-j pada lapisan tersembunyi
Universitas Sumatera Utara
13
Nilai-nilai tersebut yang selanjutnya akan di teruskan sebagai nilai masukan untuk setiap neuron k
pada lapisan berikutnya (lapisan keluaran). Pada lapisan
keluaran proses komputasi yang sama seperti pada lapisan tersembunyi juga terjadi, yaitu dengan menghitung nilai net input dari setiap neuron k pada lapisan keluaran yang di rumuskan sebagai berikut : L o net pk
o kj
w
i pj ko
(2.3)
j 1
dimana net opk = nilai “net input” neuron ke-k pola ke-p pada
lapisan keluaran wkjo = bobot yang menghubungkan neuron j dengan neuron
k pada lapisan keluaran i pj
= nilai keluaran dari neuron j untuk pola ke-p
ko
= bobot ke-k dari neuron bias pada lapisan keluaran, neuron bias adalah neuron dengan nilai keluaran selalu sebesar 1
Dengan menggunakan nilai net input pada lapisan keluaran ( net opk ) ini, maka setiap neuron pada lapisan keluaran akan diaktifkan oleh fungsi aktifasinya sehingga akan menghasilkan nilai keluaran aktual, nilai keluaran aktual tersebut adalah
o pk f ko (net opk )
(2.4)
dimana o pk = nilai keluaran neuron ke-k pada lapisan keluaran untuk pola ke-p f ko (net opk ) = fungsi aktifasi neuron ke-k pada lapisan
keluaran
Setelah diperoleh nilai keluaran aktual pada komputasi maju maka proses komputasi selanjutnya adalah proses komputasi mundur.
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.2.2 Komputasi mundur
Komputasi mundur bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap bobot jaringan. Salah satu aturan pada jaringan saraf yang digunakan untuk melakukan perubahan bobot adalah aturan delta, yang dapat dituliskan dalam persamaan matematika sebagai berikut
w(t 1) w(t ) w(t )
(2.5)
dimana
w(t 1) = bobot pada iterasi ke t+1 w(t )
= bobot pada iterasi ke t
w(t ) = perubahan bobot pada iterasi ke t
Aturan delta melakukan perubahan bobot dengan tujuan untuk meminimalkan error yang terjadi (Fausett, 1994). Perubahan bobot yang meminimalkan error dapat ditentukan dengan menggunakan metode steepest descent yaitu dengan menghitung negatif gradien dari error (Freeman et al, 1992). Error secara eksplisit dapat dipandang sebagai fungsi dari bobot, sehingga untuk menentukan gradien dari error dapat dilakukan dengan menurunkannya secara parsial terhadap bobot (Fausett, 1994).
Aturan delta pada jaringan saraf propagasi balik merupakan aturan delta yang digeneralisasi, karena fungsi aktifasi yang digunakannya adalah fungsi yang dapat diturunkan(Fausett, 1994).
Komputasi mundur pada jaringan saraf propagasi balik dengan satu lapisan tersembunyi dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu komputasi mundur dari lapisan keluaran ke lapisan tersembunyi dan komputasi mundur dari lapisan tersembunyi ke lapisan masukan.
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.2.2.1 Komputasi mundur tahap I
Komputasi mundur tahap I adalah komputasi mundur dari lapisan keluaran ke lapisan tersembunyi yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap bobot- bobot antar kedua lapisan tersebut.
Proses komputasi tahap I dimulai dengan menghitung error yang terjadi untuk setiap pola p melalui fungsi error yang telah ditentukan dan selanjutnya diturunkan secara parsial terhadap bobot pada lapisan keluaran untuk menentukan negatif gradiennya. Pada penelitian ini error tersebut dihitung dengan rumus Mean Squere Error (MSE) yaitu :
Ep
1 M ( y pk o pk )2 2 k 1
(2.6)
dimana E p = error pola ke-p y pk = nilai target neuron ke-k pada pola ke-p o pk = nilai keluaran aktual neuron ke-k pada pola ke-p
sehingga
E p o kj
w
o f ko (net pk ) ( y pk o pk ) (net opk ) wkjo
(2.7)
karena o pk o kj
(net ) w
L wkjo i j ko j 1 wkjo
i pj
(2.8)
maka
E p wkjo
( y pk o pk ) f ko ' (net opk ) i pj
(2.9)
Universitas Sumatera Utara
16
o Pada persamaan (2.9) diatas f ko ' (net pk ) adalah turunan pertama dari fungsi
aktifasi neuron keluaran. Penelitian ini menggunakan fungsi aktifasi sigmoid untuk mengaktifkan neuron-neuron pada lapisan keluaran, yang bentuknya adalah sebagai berikut f ko (net opk )
1 (1 e
net opk
(2.10) )
maka o f ko ' ( net pk )
o pk (1 o pk )
(2.11)
sehingga diperoleh
E p wkjo
( y pk o pk ) o pk (1 o pk ) i pj
(2.12)
o Jika ( y pk o pk ) f ko ' ( net pk ) kita definisikan sebagai faktor kesalahan pada o neuron lapisan keluaran yang disimbolkan dengan pk maka persamaan (2.9) dapat
dituliskan menjadi
E p wkjo
pko i pj
(2.13)
Dengan aturan delta, maka perubahan bobot-bobot antara lapisan tersembunyi dengan lapisan keluaran adalah wkjo (t 1) wkjo (t ) p wkjo (t )
(2.14)
dimana
p wkjo (t )
Ep wkjo
(2.15)
Universitas Sumatera Utara
17
2.1.2.2.2 Komputasi mundur tahap II
Komputasi mundur tahap II adalah komputasi mundur dari lapisan tersembunyi ke lapisan masukan yang bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap bobot- bobot antar kedua lapisan tersebut.
Komputasi mundur tahap II memerlukan analisis matematika yang lebih cermat karena setiap neuron pada lapisan tersembunyi tidak memiliki target yang harus dipenuhi oleh nilai keluarannya, sehingga error pada lapisan tersembunyi tidak dapat ditentukan rumusannya. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah ketika kita akan melakukan perubahan bobot pada lapisan tersembunyi karena secara intuisi nilai error pada persamaan (2. 6) dapat kita hubungkan dengan bobot-bobot pada lapisan tersembunyi ( whji ) (Freeman et al, 1992). Secara matematis hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, dari persamaan (2. 6) kita ketahui bahwa
Ep
1 M ( y pk o pk ) 2 2 k 1
1 M o ( y pk f ko (net pk )) 2 2 k 1
L 1 M o ( y f ( wkjo i pj ko ))2 pk k 2 k 1 j 1
(2.16)
Melalui persamaan (2. 16) dapat dilihat bahwa fungsi error secara eksplisit juga tergantung pada i pj . Sedangkan dari persamaan (2. 1) dan persamaan (2. 2) kita ketahui bahwa nilai i pj merupakan nilai keluaran dari neuron lapisan tersembunyi yang berhubungan dengan bobot-bobot pada lapisan tersembunyi ( whji ) . Hal ini menyebabkan gradien dari E p pada lapisan tersembunyi dapat diperoleh dengan menurunkannya secara parsial terhadap bobot-bobot pada lapisan tersembunyi ( whji ) . Dari persamaan (2. 16) dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
18
L
Ep whji
1 2
M
( y pk f ko ( wkjo i pj ko )) 2 j 1
whji
k 1
o o pk (net pk ) i pj (net pjh ) ( y pk o pk ) (net opk ) i pj (net pjh ) whji k 1 M
(2.17)
karena
o pk ( net opk )
o f ko ( net pk ) o (net pk )
f ko '(net opk )
(2.18)
wkjo
(2.19)
L
( wkjo i pj ko )
o pk
(net ) i pj
j 1
i pj
i pj f jh (net pjh ) (net hpj ) (net hpj )
f jh '(net pjh )
(2.20)
L
(net hpj ) whji
( whji x pi hj ) j 1
whji
x pi
(2.21)
maka persamaan (2. 17) dapat ditulis menjadi
Ep whji
M
f jh '( net hpj ) x pi
(y
pk
o pk ) f ko '( net opk ) wkjo
k 1
M o f jh '(net pjh ) x pi pk wkjo
(2.22)
k 1
Pada persamaan diatas f jh '(net pjh ) merupakan turunan pertama dari fungsi aktifasi neuron lapisan tersembunyi. Penelitian ini menggunakan fungsi aktifasi sigmoid untuk mengaktifkan neuron-neuron pada lapisan tersembunyi, yang bentuknya adalah
Universitas Sumatera Utara
19
f jh (net pjh )
1 (1 e
net hpj
(2.23) )
sehingga f jh ' ( net pjh )
i pj (1 i pj )
(2.24)
M o Jika f jh '(net pjh ) pk wkjo
kita definisikan sebagai faktor kesalahan pada
k 1
neuron lapisan tersembunyi yang disimbolkan dengan pjh maka persamaan (2.22) dapat dituliskan menjadi
E p whji
pjh x pi
(2.25)
Dengan aturan delta, maka perubahan bobot-bobot antara lapisan masukan dengan lapisan tersembunyi adalah whji (t 1) whji (t ) p whji (t )
(2.26)
dimana
p whji (t )
Ep whji
(2.27)
Setiap iterasi t pada komputasi maju dan komputasi mundur dilakukan untuk setiap pola pelatihan p. Satu siklus pelatihan (epoch) adalah suatu keaadaan ketika seluruh pola telah melalui proses komputasi maju dan proses komputasi mundur.
2.1.3 Komputasi pelatihan
Proses komputasi jaringan pada jaringan saraf propagasi balik merupakan proses komputasi yang meminimalisasi kesalahan yang dihitung untuk pola yang sedang dikomputasi dalam jaringan dengan menggunakan fungsi kesalahan yang bertujuan untuk melakukan penyesuaian bobot jaringan (Setawan, 1999). Untuk tujuan penilaian kualitas dan keberhasilan pelatihan, kesalahan harus dihitung untuk semua pola yang dilibatkan dalam pelatihan, kesalahan ini disebut kesalahan pelatihan (Setawan, 1999).
Universitas Sumatera Utara
20
Pada penelitian ini kesalahan pelatihan dihitung dengan Sum Squere Error (SSE). Jika pelatihan pada jaringan saraf propagasi balik akan melibatkan P buah pola, maka kesalahan pelatihan yang dihitung pada setiap epoch untuk penelitian ini di rumuskan sebagai berikut Ee SSE
(2.28)
P
E
p
p 1
dimana Ee
= kesalahan pelatihan untuk setiap epoch
SSE = Sum Squere Error Ep = kesalahan jaringan untuk pola ke p
Pelatihan pada jaringan saraf propagasi balik dilakukan sampai tercapainya kesalahan pelatihan yang diinginkan atau sampai batas epoch maksimum.
2.1.4 Faktor-faktor pada jaringan saraf propagasi balik
Jaringan saraf yang baik adalah jaringan saraf yang mampu mempelajari pola yang ada dengan cepat, sehingga proses pelatihan tidak membutuhkan waktu yang lama dan mempunyai tingkat akurasi yang baik. Pada jaringan saraf propagasi balik ada beberapa faktor yang dapat diteliti untuk melakukan hal tersebut yaitu:
2.1.4.1 Laju pembelajaran ( )
Laju pembelajaran adalah suatu konstanta positip yang digunakan sebagai parameter untuk mengendalikan proses penyesuaian bobot (Setawan, 1999). Penyesuaian bobot yang cepat sangat menentukan tercapainya suatu tingkat konvergensi ke arah error yang diinginkan (Setawan, 1999).
Universitas Sumatera Utara
21
Hubungan laju pembelajaran dengan perubahan bobot pada lapisan keluaran dapat dinyatakan dengan
p wkjo (t )
Ep wkjo
(2.29)
Hal tersebut juga dilakukan terhadap penyesuaian bobot pada lapisan tersembunyi, sehingga perubahan bobot pada lapisan tersembunyi menjadi
p whji (t )
Ep whji
(2.30)
2.1.4.2 Momentum ( )
Momentum merupakan parameter yang berfungsi terutama untuk meningkatkan kecepatan pembelajaran (Setawan, 1999). Penyesuaian bobot dengan momentum akan mempertimbangkan penyesuaian bobot pada langkah sebelumnya. Hal ini menyebabkan perubahan bobot pada lapisan keluaran menjadi
p wkjo (t )
Ep wkjo (t 1) wkjo
(2.31)
Hal yang sama juga terjadi pada perubahan bobot pada lapisan tersembunyi, sehingga perubahan bobot pada lapisan tersembunyi akan menjadi
p whji (t )
Ep whji (t 1) whji
(2.32)
2.1 4.3 Faktor proporsional ( )
Jaringan saraf propagasi balik yang selama ini digunakan untuk berbagai macam aplikasi
adalah
jaringan
saraf
propagasi
balik
yang
standard
(standard
backpropagation) yaitu jaringan saraf propagasi balik yang menggunakan kedua faktor di atas (laju pembelajaran dan momentum).
Universitas Sumatera Utara
22
Pada penelitian ini digunakan faktor ketiga yang disebut sebagai faktor proporsional ( ). Faktor proporsional ini pertama sekali diperkenalkan dan digunakan pada permasalahan XOR (Zweiri et al, 2003). Modifikasi terhadap jaringan saraf propagasi balik dengan menambahkan faktor ketiga yang disebut faktor proporsional akan menyebabkan bertambahnya satu konstanta baru yang menyertainya, konstanta tersebut adalah e(w(t)) (Zweiri et al, 2003). Untuk mendapatkan nilai e(w(t)) maka dapat digunakan rumus berikut ini (Zweiri et al, 2003):
e(w(t )) ek
(2.33)
dimana M
ek ( y pk o pk )
(2.34)
k 1
Faktor ketiga tersebut menyebabkan perubahan bobot pada lapisan keluaran akan menjadi
p wkjo (t )
Ep wkjo (t 1) e( w(t )) o wkj
(2.35)
Sedangkan perubahan bobot pada lapisan tersembunyi akan menjadi
p whji (t )
Ep whji (t 1) e( w(t )) h w ji
(2.36)
Dengan adanya faktor ketiga yang disebut faktor proporsional, maka saat ini pada jaringan saraf propagasi balik telah ada 3 faktor yang dapat diteliti untuk mendapatkan kinerja yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
23
2.2 Transformasi data dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA)
Metode Principal Component Analysis (PCA) merupakan suatu metode matematika untuk merepresentasikan data, mengekstraksi ciri-ciri data tersebut dan mereduksinya dengan cara mentransformasikannya menggunakan eigenvalue dan eigenvektor secara linier(Harahap, 2007).
Suwandi et al (2006 : hal 8 ) menyatakan bahwa kegunaan utama dari Principal Component Analysis (PCA) adalah untuk mengurangi variasi yang ada dengan tetap menjaga informasi yang diperlukan, supaya variasi yang tersisa memang variasi yang paling menonjol dan paling mencerminkan feature yang ada. Sisa variasi yang tersisa ini disebut sebagai Principal Component. Pada proses pengurangan variasi ini dilakukan dengan mereduksi daerah matriks yang mempunyai nilai ciri mulai dari yang paling lemah. Kegunaan lain dari Principal Component Analysis (PCA) adalah akan membuat aplikasi yang menggunakannya akan lebih cepat, karena data yang digunakan sudah direduksi.
Eigenvektor-eigenvektor yang diperoleh pada metode Principal Component Analysis (PCA) merupakan eigenvektor-eigenvektor dari matriks covariance. Untuk memperoleh matriks covariance, terlebih dahulu harus dihitung perbedaan antara data-data tersebut dengan rata-ratanya. Andaikan terdapat M data, maka untuk menghitung rata-ratanya dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: M
i
i 1
M
(2.37)
dimana
= rata-rata
i
= data ke-i
M
= banyak data
Universitas Sumatera Utara
24
Pengurangan setiap data dengan rata-ratanya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini
i
i 1, 2,3,, M
i
(2. 38)
dimana
i = selisih data ke-i dengan rata-rata i = data ke-i
= rata-rata
Selisih tersebut yang selanjutnya akan digunakan untuk menghitung matriks covariance dengan menggunakan rumus:
C
A AT
(2. 39)
dimana C = matriks covariance A
1
2 3 M
AT = transpose matriks A
Dari persamaan 2. 39 dapat disimpulkan bahwa matriks covariance ( C ) tersebut merupakan matriks persegi. Dengan demikian untuk mendapatkan eigenvektor-eigenvektor dari suatu matriks persegi, terlebih dahulu harus dihitung eigenvalue-eigenvalue dari matriks persegi tersebut (Spence et al, 2000).
Untuk hal tersebut kita harus memahami beberapa teori pada aljabar linier mengenai eigenvalue dan eigenvektor. Misalkan B merupakan sebuah matriks persegi berukuran n x n maka sebuah vektor tak nol v disebut eigenvektor dari B, jika Bv = λv
(2.40)
untuk beberapa skalar λ (Spence et al, 2000). Skalar λ tersebut adalah eigenvalue dari B yang berkorespondensi terhadap v (Spence et al, 2000).
Universitas Sumatera Utara
25
Eigenvalue-eigenvalue dari sebuah matriks persegi B yang berukuran n x n merupakan nilai dari λ yang memenuhi
det ( B I n ) 0
(2.41)
dimana
I n = matriks identitas berukuran n x n Persamaan (2.41) diatas merupakan persamaan karekteristik dari B sedangkan
det ( B I n ) disebut polynomial karekteristik dari B. Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa eigenvalue-eigenvalue dari matriks B merupakan akar-akar dari polinomial karekteristik B (Spence et al, 2000). Sehingga Eigenvektor-eigenvektor yang berkorespondensi dengan eigenvalue-eigenvalue dari matriks B tersebut merupakan solusi tak nol dari ( B In ) x 0
(2.42)
Untuk matriks covariance ( C ) yang berukuran sangat besar maka dapat dilakukan suatu modifikasi matematis untuk mendapatkan eigenvektor-eigenvektor dari matriks covariance tersebut sehingga lebih efisien dalam penerapannya. Modifikasi matematis tersebut dilakukan dengan membentuk sebuah matriks baru, misalkan matriks baru tersebut adalah matriks L. Matriks L merupakan matriks yang dibentuk dari perkalian antara matriks AT dengan matriks A, dengan kata lain L = AT A. Misalkan eigenvektor-eigenvektor dari matriks L adalah vi untuk setiap eigenvalueeigenvalue i , maka akan berlaku
Lvi
i vi
AT A vi
i vi
(2.43)
Pada persamaan (2.43) tersebut jika kedua ruas dikalikan dengan A maka akan berlaku
A AT A vi
i Avi
(2.44)
karena AAT = C maka
C Avi
i Avi
(2.45)
Universitas Sumatera Utara
26
Dari persamaan (2.45) dapat disimpulkan bahwa Avi merupakan eigenvektor dari matriks covariance ( C ) untuk eigenvalue yang bersesuaian ( µi ). Transformasi data dengan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) dilakukan untuk mentransformasikan data tersebut ke ruang dimensi yang lebih kecil. Ruang dimensi yang lebih kecil dan merupakan ruang dimensi yang terbaik dapat ditentukan melalui eigenvektor-eigenvektor terbaik, yaitu eigenvektoreigenvektor yang berkorespondensi dengan eigenvalue-eigenvalue terbesar dari matriks covariance ( C ) (Asmat, 2008). Eigenvektor-eigenvektor yang diperoleh melalui modifikasi matematis yang dilakukan untuk mendapatkan eigenvektoreigenvektor pada matriks covariance ( C ) yang berukuran sangat besar juga merupakan eigenvektor-eigenvektor yang terbaik (Asmat, 2008).
Misalkan eigenvektor-eigenvektor terbaik dari matriks covariance ( C ) adalah u 1 , u 2 , u3 , . . . , uk maka
i U T i
, i = 1, 2, 3, . . . , M
(2.46)
dimana i = hasil transformasi data ke-i
UT = [ u1 u 2 u3 . . . uk ]T Principal Component Analysis (PCA) merupakan teknik statistikal yang sering digunakan dalam lingkungan seperti face recognition dan image compression, dan merupakan teknik yang biasa dipakai untuk menemukan pola dalam data dengan dimensi yang besar (Suwandi et al, 2006)
Universitas Sumatera Utara