BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1.Kualitas Terdapat banyak pengertian terhadap kualitas. Salah satu pengertian singkat dari kualitas “Quality is customer satisfaction and loyalty” (Gryna, 2001, p4). Dalam sektor yang berbeda akan menghasilkan pengertian kualitas yang berbeda. Berikut merupakan definisi kualitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain : ¾
Kualitas adalah keseluruhan dari ciri-ciri dan karakteristik dari suatu barang atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang penuh maupun yang di tetapkan (ISO 9000, 1992).
¾
Kualitas adalah kemampuan bagi kegunaan (Juran, 1974).
¾
Kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik dari barang atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang telah di tetapkan maupun yang muncul secara tidak (ANSI/ASQC Standard A3, 1987).
langsung
19
¾
Kualitas adalah karakteristik fisik maupun non fisik yang merupakan sifat dasar dari suatu barang atau merupakan salah satu ciri yang khusus (Webster’s New World Dictionary).
¾
Kualitas di tentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut (Scherkebach, 1991).
2.2. Pelayanan Teknologi Informasi (IT Service) Pelayanan (Service) adalah berbagai macam aktivitas/keuntungan yang di tawarkan oleh satu pihak ke pihak lainnya baik yang sifatnya berwujud maupun tidak (Kotler, 1996, P2). Dalam dunia manufacturing yang sangat berkembang saat ini, pelayanan internal dalam
sebuah
perusahaan
sangat
dibutuhkan
untuk
memperlancar
proses
berlangsungnya produksi secara keseluruhan. Salah satu dari pelayanan tersebut adalah pelayanan informasi. Informasi ini sangat penting untuk menyediakan datadata produksi. Data-data ini dapat berupa data material produksi, data keuangan, data logistik, dan data tenaga kerja. Semua data tersebut disediakan oleh sebuah bagian dari perusahaan yang bertugas untuk mengelola informasi. Bagian tersebut adalah bagian Teknologi Informasi. Sebagai penyedia layanan bagi semua konsumen internal dalam sebuah perusahaan, bagian teknologi informasi bertanggung jawab untuk menjaga,
20
memelihara, dan menyediakan semua hal yang menjamin data dan informasi tersebut dapat disampaikan ke konsumen (user). Komponen-komponen dalam teknologi informasi yang mendukung untuk menyediakan informasi sampai ke konsumen dengan baik antara lain adalah hardware, software, dan network yang terjaga dengan baik. Pengertian dari Pelayanan Teknologi Informasi (IT Service) adalah kumpulan dari komponen-komponen yang saling berhubungan yang tersedia untuk mendukung satu proses bisnis maupun lebih (M unicipal Information System Association of British Columbia, 2004). 2.3. Six Sigma Six Sigma merupakan suatu Sistem M anajemen Kualitas yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dengan memenuhi keinginan customer lebih dari yang diharapkan. Secara harafiah, Six Sigma merupakan alat untuk mengukur penyimpangan yang terjadi dari proses yang dilakukan. Rentang nilai Sigma yang digunakan adalah 1 hingga 6, makin tinggi nilai Sigma yang diperoleh maka makin sempurna proses yang dilakukan. Six Sigma adalah suatu metode terstruktur yang digunakan untuk memperbaiki proses yang di fokuskan pada usaha mengurangi variasi pada proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (barang/jasa yang di luar spesifikasi) dengan
21
menggunakan statistik dan problem solving tools secara intensif (Aditya Syahrizal, 2003). Penerapan Six Sigma jelas memiliki fokus pada peningkatan mutu, baik pada barang maupun jasa ke palanggan, yang berarti melakukan lebih baik, sumber daya yang lebih efisien. M elakukan dengan lebih cepat dan dengan mutu yang lebih tinggi dari perspektif permintaan pelanggan. Berdasarkan permintaan pelanggan karena merekalah yang memutuskan akan menggunakan barang/jasa yang dihasilkan atau tidak. Semakin baik upaya untuk secara terus menerus memenuhi harapan atau bahkan melampaui harapan pelanggan itulah yang menjadi titik utama penerapan mutu dalam Six Sigma. Penerapan konsep Six Sigma dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pertama ke dalam yang berarti peningkatan efisiensi dan efektivitas seluruh proses yang saling terkait dan kedua keluar yang berarti peningkatan pemenuhan layanan yang melebihi harapan pelanggan. Pelanggan pun dapat dilihat dari masing-masing sisi, yaitu pelanggan internal adalah bagian atau divisi (user) yang akan menggunakan layanan divisi lain yang terkait dan pelanggan eksternal adalah mereka yang akan menggunakan barang atau jasa yang dijual oleh suatu perusahaan. Jika terjadi proses peningkatan mutu, yang disertai dengan peningkatan kinerja, baik dalam bentuk kecepatan (speed), ketepatan (accuracy), tingkat kepuasan
22
pelanggan (customer satisfaction level), efisiensi kerja (efficiency) dan efektivitas kerja (effectiveness), maka secara langsung/tidak akan berpengaruh terhadap penghasilan bersih (Net Income) perusahaan atau dalam konsep mutu dikenal dengan istilah “Quality Net Income (QNI)”. Dengan dilakukan peningkatan mutu dalam penerapan Six Sigma, maka perusahaan akan memperoleh dampak positif yaitu berupa penghematan dalam pengeluaran. Ada 6 komponen utama konsep Six Sigma (Pande, 2002,p8) : 1. Benar-benar mengutamakan pelanggan : pelanggan bukan berarti hanya pembeli tapi bisa juga rekan kerja, pemerintah, masyarakat umum pengguna jasa dan lainlain. 2. M anajemen yang berdasarkan data dan fakta : bukan berdasarkan opini atau pendapat tanpa dasar. 3. Fokus pada proses, manajemen dan perbaikkan : Six Sigma sangat tergantung pada kemampuan dalam mengerti proses yang dipadu dengan manajemen yang bagus untuk melakukan perbaikkan. 4. M anajemen yang proaktif : peran pemimpin dan manajer sangat penting dalam mengarahkan keberhasilan menuju suatu perubahan. 5. Kolaborasi tanpa batas : kerja sama antar tim/departemen. Selalu mengejar kesempurnaan, tapi masih toleran pada masalah kecil.
23
Produk dari teknologi yang terdiri dari banyak komponen yang kompleks memberikan banyak peluang terjadinya cacat (defect) atau gagal (failure). M otorola mengembangkan program Six Sigma pada akhir tahun 1980-an sebagai tanggapan atas tuntutan dari produk ini. Fokus dari Six Sigma adalah untuk mengurangi variasi dalam karakteristik kualitas produk utama pada level dimana kegagalan (failure) atau cacat (defect) bisa di hindari secara maksimal (Douglas, 2001, p23).
Gambar 2.1 Normal Distribution Center At the Target Sumber : Introduction to statistical Quality Control (Douglas, 2001, p24)
24
Gambar 2.2 Normal Distribution With The Mean Shifted 1.5σ From The Target Sumber : Introduction to Statistical Quality Control (Douglas, 2001, p24) Gambar 2.1 menunjukkan sebuah normal probability distribution sebagai model dari karakteristik kualitas dengan spesifikasi batasan pada standart deviasi tiga pada tiap bagian titik tengahnya. Saat ini model itu telah tidak digunakan bahwa dalam situasi ini peluang memproduksi sebuah produk dalam batasan ini adalah 0,9973 yang dapat disamakan dengan 2700 bagian per sejuta (parts per million-ppm) adalah cacat. Ini menunjukkan three Sigma quality performance (kualitas 3 sigma), dan sebenarnya terdengar cukup baik. Akan tetapi, jika di perkirakan sebuah produk mengandung kumpulan dari 100 komponen atau bagian dan seluruh bagian itu haruslah tidak cacat untuk produk untuk berfungsi secara memuaskan. Peluang dari setiap unit produk cacat adalah : 0,9973 x 0,9973 x … x 0,9973 = (0,9973)100 = 0,7631
25
Artinya sekitar 23,7% dari produk yang di produksi di bawah kualitas tiga Sigma akan cacat. Ini bukanlah situasi yang dapat diterima karena banyak produk dari teknologi tinggi dibuat dari ribuan komponen. Konsep dari Six Sigma M otorola adalah mengurangi variasi dalam proses sehingga spesifikasi batasannya adalah standar deviasi enam dari titik tengah. Dan pada gambar 2.1, hanya akan ada 2 bagian per semilyar adalah cacat. Di bawah kualitas enam Sigma, peluang tidak cacatnya setiap produk hipotesis di atas adalah 0,9999998 atau 0,002 ppm. Ini adalah sebuah situasi yang lebih baik. Ketika konsep Six Sigma dikembangkan pada awalnya, sebuah asumsi dibuat bahwa ketika proses mencapai tingkat kualitas enam Sigma, titik tengah proses masih merupakan pokok persoalan yang mengganggu yang bisa mengakibatkannya bergeser menjadi standar deviasi 1,5 dari target. Situasi ini ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Dengan skenario ini, proses akan memproduksi sekitas 3,4 ppm cacat. 2.3.1. Tahapan DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) Dalam six sigma terdapat tahapan yang digunakan untuk menerapkan dan memelihara kualitas yang ingin dicapai. Tahapan-tahapan tersebut merupakan sebuah lingkaran fungsi management yang terdiri dari kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a.
Define
26
Pada tahap ini tim pelaksana pengidentifikasi permasalahan, spesifikasi pelanggan dan menentukan tujuan (pengurangan cacat/biaya dan target waktu), misalnya membuat Rich Picture contohnya flowchart. b. Measure Tahap untuk memvalidasi permasalahan, mengukur atau menganalisis permasalahan dari data yang ada, misalnya mengumpulkan data, membuat diagram pareto dan sebagainya. c. Analyze M enentukan faktor-faktor yang paling mempengaruhi proses (significant few opportunities), artinya mencari satu atau lebih faktor yang jika diperbaiki akan memperbaiki proses secara signifikan. d. Improve M endiskusikan ide-ide untuk memperbaiki system berdasarkan hasil analisa terlebih dahulu, melakukan percobaan untuk melihat hasilnya. Jika hasilnya bagus maka akan dibuatkan prosedur bakunya (Standard Operating Procedure – SOP). e. Control M embuat rencana dan design pengukuran agar hasil yang sudah bagus dari perbaikan tim bisa berkesinambungan. Jadi SOP ini dibuatkan
27
semacam matrik untuk selalu dimonitor dan dikoreksi bila sudah dimulai menurun ataupun jika diperlukannya perbaikan lagi. 2.4. Perangkat (Tools) dalam Six Sigma Dalam analisa six sigma, digunakan beberapa perangkat untuk mendukung dalam melakukan analisa. Perangkat-perangkat tersebut antara lain adalah: 2.4.1
Diagram Alir (Flowchart)
Diagram alir adalah sebuah diagram yang menggambarkan urutan proses dan kondisi dari proses yang dimulai dari saat proses tersebut dilakukan sampai dengan proses tersebut selesai. Diagram alir dapat membantu dalam mendefinisikan sebuah proses dan mengetahui titik-titik dari proses yang membutuhkan perhatian yang lebih mendalam. Simbol-simbol yang digunakan untuk membuat diagram alir antara lain adalah sebagai berikut.
28
Gambar 2.3. S imbol dalam Diagram Alir Sumber: The Design for Six Sigma (Dana Ginn, 2004, p117) 2.4.2. Diagram Pareto Analisa Pareto adalah proses dalam memperingkat peluang untuk menentukan peluang potensial mana yang harus dikejar lebih dahulu. Analisi Pareto harus digunakan pada berbagai tahap dalam suatu program peningkatan kualitas untuk menentukan langkah mana yang diambil berikutnya. Pareto Diagram adalah grafik batang yang menunjukkan masalah berdasarkan urutan banyaknya kejadian. Secara umum, ada 2 tipe dari Pareto Diagram, yaitu : 1. Result-Category Diagram
29
Diagram ini memfokuskan pada pengklasifikasian dan hal penting yang relative dari hasil yang bisa diobsevasi. 2. Cause-Category Diagram Diagram ini memfokuskan pada pengklasifikasian dan hal penting yang relative dari sebab yang telah di deteksi. 2.4.3. Grafik Kontrol (Control Chart) Grafik kontrol pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924 dengan maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special-causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab-umum (common-causes variation). Pada dasarnya setiap Grafik Kontrol memiliki (Gaspersz, 1998, p107): 1. Garis Tengah (Central Line), yang biasa dinotasikan sebagai CL. 2. Sepasang batas kontrol (Control Limits), dimana satu batas kontrol ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol atas (Upper Control Limit), biasa dinotasikan sebagai UCL, dan yang satu lagi ditempatkan dibawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol bawah (Lower Control Limit), biasa dinotasikan sebagai LCL. 3. Tebaran nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Jika semua nilai-nilai yang ditebarkan (diplot) pada grafik itu berada
30
didalam batas-batas kontrol tanpa memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dianggap sebagai berada dalam keadaan terkontrol atau terkendali secara statistikal, atau dikatakan berada dalam pengendalian statistikal. Namun, jika nilai-nilai yang ditebarkan pada grafik itu jatuh atau berada di luar batas-batas kontrol atau memperlihatkan kecenderungan tertentu atau memiliki bentuk yang aneh, maka proses yang berlangsung dianggap sebagai berada dalam keadaan di luar kontrol (tidak terkontrol) atau tidak berada dalam pengendalian statistikal sehingga perlu di ambil tindakan korektif untuk memperbaiki proses yang ada. 2.4.3.1. Jenis-jenis Grafik Kontrol Jenis Grafik Kontrol yang digunakan ditentukan berdasarkan jenis data yang terkumpul. Dalam konteks pengendalian statistikal terdapat 2 jenis data, yaitu : 1. Data Atribut (Attributes Data), yaitu data kualitatif yang dapat dihitung untuk pencatatan dan analisis. 2. Data Variabel (Variabels Data) merupakan data kuantitatif yang diukur untuk keperluan analisis. Berdasarkan jenis data, Grafik Kontrol dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : 1. Grafik Kontrol untuk Data Variabel Grafik kontrol data variabel digunakan untuk data kontinu/variabel (ukuran) dan biasanya dipakai untuk memonitor beserta kontrol input (x variabel) yang
31
mempengaruhi kinerja proses. Grafik-grafik Kontrol untuk data variabel antara lain Grafik Kontrol X-bar dan R, Grafik Kontrol individual X dan M R. 2. Grafik Kontrol untuk Data Atribut Grafik Kontrol data atribut digunakan untuk proporsi dan data hitungan. Khususnya, Grafik Kontrol data atribut digunakan untuk menampilkan dan mengawasi proporsi atau hitungan beberapa karakteristik fokus perhatian (misalnya proporsi produk yang tidak memenuhi syarat, jumlah pelanggan yang dilayani dan sebagainya). Grafik-grafik Kontrol untuk data atribut antara lain Grafik Kontrol p, Grafik Kontrol np, Grafik Kontrol c, Grafik Kontrol u. 2.4.3.2. Grafik Kontrol c dan Grafik Kontrol μ Grafik Kontrol c dan μ diaplikasikan dalam satu kondisi untuk nilai cacat yang terdapat dalam sebuah unit output dalam sebuah proses kerja. Atau dalam satu kondisi dimana kita berkepentingan dengan sejumlah cacat (defect) yang diketemukan dalam unit output hasil kerja, seperti misalnya jumlah kesalahan yang diketemukan dalam pengisian suatu invoice. (Sritomo, 2003, p290). Grafik Kontrol atau Peta Kontrol c digunakan untuk memantau proses variasi karena fluktuasi cacat per item atau kelompok barang. Peta Kontrol ini berguna bagi untuk mengetahui bukan hanya berapa banyak item yang tidak sesuai tapi berapa banyak cacat yang ada per item. M engetahui berapa banyak cacat yang ada pada bagian dalam sebuah proses produksi, mungkin dalam beberapa kasus sama
32
pentingnya dengan mengetahui berapa banyak bagian yang rusak. (Issa Bass, 2007, p154). Grafik Kontrol c digunakan untuk jumlah sampel lot sizes (n) yang sama, sedangkan Grafik Kontrol μ digunakan jika nilai n berlainan. Berikut ini adalah formulasi untuk masing-masih Grafik Kontrol: a. Grafik Kontrol c Garis tengah atau nilai tengah atau CL dirumuskan sebagai berikut:
Dimana,
Batas
c
= Jumlah cacat kesalahan
N
= Banyaknya kelompok sampel lot Kontrol Atas dan Batas Kontrol Bawah atau UCL dan LCL
dirumuskan sebagai berikut:
b. Grafik Kontrol μ Garis tengah atau nilai tengah atau CL dirumuskan sebagai berikut:
Dimana,
33
Batas
c
= Jumlah cacat yang dijumpai per sampel
k
=
Kontrol Atas dan Batas Kontrol Bawah atau UCL dan LCL
dirumuskan sebagai berikut:
2.4.4. Perhitungan DPMO (Defect Per Million Opportunities) Perhitungan
DPMO
(Defect Per
Million
Opportunity)
dilakukan
untuk
menghitung penyebaran defect (cacat) per sejuta kesempatan yang ada (Forrest. 1999. Implementing Six Sigma. p137). Unit (U) Jumlah dari bagian, sub-kelompok, kelompok, atau sistem yang diperiksa atau di uji. Opportunity (O) Karakteristik yang diperiksa atau diuji. Defect (D)
34
Segala sesuatu yang mengakibatkan ketidakpuasan pelanggan atau ketidaksesuaian. Defect Per Unit (DPU) DPU = D/U (Defect/Unit) Total Opportunities (TOP) TOP = UxOP (UnitxOpportunity) Defect Per Opportunity (DPO) or Probability of a Defect DPO = D/TOP (Defect/Total Opportunities) Defect Per Million Opprtunities (DPMO) DPM O = DPOx1,000,000 (Defect Per Opportunitiesx1,000,000) 2.4.5. Diagram Fishbone Fishbone Diagram adalah diagram yang digunakan untuk mengetahui faktorfaktor penyebab yang potensial atau nyata (input) yang menyebabkan efek tertentu (output) (Sky M ark, 2005). Fishbone Diagram juga disebut sebagai suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat (Gasperz, 1998, p62). Berkaitan dengan pengendalian proses statistikal, diagram ini dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang
35
disebabkan oleh fakta-fakta penyebab itu. Fakta-fakta penyebab itu antara lain adalah Man, Machine, Material, Method, Measurement, dan Environtment. Berikut ini adalah contoh bentuk fishbone yang lengkap.
Gambar 2.4. Diagram Fishbone Sumber: Six Sigma Workbook for Dummies (Craig Gygi, 2006, p58) Langkah-langkah membuat Fishbone Diagram : (Douglas, 2001) 1. M engidentifikasi masalah atau sesuatu yang akan dianalisa. 2. Tuliskan faktor-faktor yang menjadi penyebab Tuliskan didalam kotak yang terdapat di atas dan di bawah panah yang telah dibuat. Isinya adalah kategori-kategori yang menjadi penyebab seperti yang telah disebutkan di atas.
36
3. Identifkasi faktor penyebab yang lebih terinci Carilah faktor-faktor yang lebih terinci yang mempunyai pengaruh pada faktor utama tersebut, apabila terdapat faktor terinci yang kompleks maka pisahkan lagi ke dalam sub faktor. 4. M engalisa diagram Analisa penyebab-penyebab yang ada dari tiap kategori, lalu tandai penyebab yang potensial, setelah itu urutkan penyebab dari yang peranannya paling mempengaruhi masalah. 2.4.6. FMEA (Failure Mode Effect Analysis) FM EA (Failure Mode Effect Analysis) merupakan suatu metodologi dalam membantu mengidentifikasi kerusakan/kegagalan dan merekomendasikan solusi korektif untuk memperbaiki kegagalan yang teridentifikasi sebelum barang/jasa disalurkan kepada pelanggan (Stamatis, 2003, p223). Terdapat banyaknya tipe FM EA, tetapi yang utama terdiri dari : ¾ System/Concept – S/CFM EA S/CFM EA dibuat untuk mengidentifikasi masalah yang berpotensial dengan konsep atau rancangan yang berpotensial. ¾ Design – DFM EA
37
DFM EA dibuat sebelum produksi pada saat perancangan dan melibatkan pembuat daftar failure modes yang berpotensial dan sebab atas failure modes tersebut. ¾ Manufacturing or Process – PFM EA PFM EA merupakan teknik analitikal yang mengidentifikasi failure modes proses produk yang berpotensial, menilai pengaruh yang potensial pada pelanggan dari kerusakan (failure) yang ada, mengidentifikasi sebab proses yang berpotensial dan mengidentifikasi variabel proses yang signifikan fokus pada pengendalian untuk pencegahan dan pendeteksian kondisi kerusakan. ¾ Machinery – M FM EA MFM EA
adalah
suatu
metodolodi
yang
membantu
dalam
pengidentifikasian failure mode yang mungkin terjadi dan menentukan sebab dan pengaruh dari failure modes. MFM EA lebih berfokus pada eliminasi dari persoalan yang menyangkut keamanan (safety issues) dan memecahkan safety issue itu berdasarkan prosedur yang spesifik antara pelanggan dan penyelia. Selain tipe-tipe yang di sebut di atas, juga terdapat banyak tipe lain dari FM EA seperti service, software dan juga environmental. Unsur-unsur yang terdapat dalam pembuatan FM EA, antara lain :
38
¾ Potential failure mode muncul saat fungsi dari item tidak memenuhi syarat-syarat yang ada. ¾ Potential effects of failure mode merupakan deskripsi konsekuensi dari proses yang gagal. ¾ Severity merupakan penilaian numerik dimana penilaian diberikan dengan mempertimbangkan failure mode effect yang ada berdasarkan rating yang telah ditetapkan. ¾ Potential causes of failure mode merupakan penyebab dari potential failure mode yang telah teridentifikasi. ¾ Occurrence merupakan angka estimasi dari frekuensi atau angka kumulatif dari kegagalan yang terjadi. ¾ Current Control adalah mekanisme, metode, pengujian, prosedur atau pengendalian yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebab dari kegagalan atau mendeteksi failure mode. ¾ Detection merupakan penilaian angka dari probabilitas yang diberikan pengendalian untuk menemukan penyebab khusus atau failure mode untuk mencegah kegagalan tersebut sampai pada pihak pelanggan. ¾ Risk Priority Number (RPN) RPN = S x O x D S = Severity O = Occurrence
39
D = Detection 2.5. ITIL V3 (Information Technology Infrastructure Library Version 3) Tidak ada definisi yang khusus untuk ITIL V3. Pada prakteknya ITIL V3 biasa dijabarkan sebagai sebuah metode atau IT Management untuk memberikan dan menyediakan kerangka kerja yang bertujuan untuk mengidentifikasi, merencanakan, dan memberikan dukungan berupa pelayanan teknologi informasi kepada bisnis atau perusahaan. Dalam pengertiannya, sebagian trainer memberikan penjelasan bahwa ITIL V3 adalah sebuah kerangka kerja dari infrastruktur teknologi informasi yang berisi kumpulan dari pengalaman praktis terbaik (best practices) dan petunjuk untuk membantu memberikan fasilitas demi tercapainya kualitas pelayanan teknologi informasi yang baik. ITIL V3 bertujuan untuk memberikan garis besar terhadap proses manajemen dan prosedur untuk membantu bisnis dalam mencapai kualitas finansial yang bagi sebuah perusahaan melalui teknologi informasi. Sejarah munculnya ITIL adalah sebuah kumpulan dari pengalaman dan best practices untuk pengelolaan layanan teknologi informasi yang digagas pada akhir 1980-an oleh organisasi yang bernama CCTA yang sekarang bernama Office of Government of Commerce di Inggris. Latar belakang munculnya ITIL adalah didasari oleh metode yang ditulis oleh Demings yang telah memperkenalkan beberapa metode dalam tulisannya antara lain
40
adalah six sigma, total quality management, lean production, dan Toyota production system. Dari beberapa kerangka kerja dan metode-metode yang populer digunakan untuk industri tersebutlah ITIL dibangun dengan mengutamakan pelayanan dalam teknologi informasi. ITIL V3 merupakan pengembangan dari versi-versi sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan metode terbaik seiring dengan perkembangan perindustrian dan teknologi informasi yang cukup pesat. Adapun kerangka kerja dalam ITIL V3 ini berisi tentang beberapa pedoman berikut ini: 1. Service Strategy Dalam menerapkan strategi untuk pelayanan teknologi informasi, harus disesuaikan dengan visi dan misi dari sebuah perusahaan atau bisnis. Harus dapat dipastikan bahwa strategi pelayanan yang akan diberikan berfokus pada kebutuhan konsumen, baik konsumen internal ataupun konsumen eksternal. Strategi ini juga harus sesuai dan sejalan dengan elemen-element proses yang akan dilakukan. Selain itu dalam penerapan strategi ini harus disesuaikan dengan tujuan dari bisnis atau perusahaan, kebutuhan bisnis atau perusahaan, dan konsep dasar manajement pelayanan. Strategi pelayanan teknologi ini dapat berupa instruksi, kebijakan, atau tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah penyedia layanan teknologi informasi yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan atau oleh Chief Information Officer (CIO). Strategi yang berupa garis besar tersebut harus
41
didefinisikan menjadi strategi-strategi untuk tingkatan operasional agar tujuan utama dari pelayanan secara global dapat terwujud. 2.
Service Design M enyediakan petunjuk dalam membuat dan memelihara dari sebuah kebijakan dalam pelayanan teknologi informasi. Sehingga dalam melakukan perancangan terhadap pelayanan teknologi informasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan bisnis baik untuk saat ini ataupun untuk masa yang akan datang. Rancangan atau desain teknis yang telah dibuat harus terdokumentasi baik dari segi arsitektur dan infratruktur teknologi informasi, atau sebuah inovasi pelayanan teknologi informasi yang akan dilakukan demi tercapainya sebuah solusi untuk proses bisnis.
3. Service Transition Adalah pengelolaan dan koordinasi proses, sistem, dan fungsi yang dibutuhkan
untuk
mengemas,
membangun,
melakukan
tes,
dan
mengimplementasikannya ke tingkat produksi sesuai dengan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen. (Jan van Bon. Service Transition based on ITIL V3. 2008. p21). Dari perngertian tersebut diketahui bahwa setelah menentukan strategi dan membuat desain, maka diperlukan sebuah transisi sebelum sebuah perubahan atau penerapan sistem atau pelayanan kepada konsumen dilakukan perlu dilakukan tes, dokumentasi, dan validasi terhadap kelayakannya.
42
4. Service Operation M erupakan bagaimana memberikan pelayanan teknologi informasi yang baik kepada konsumen. Pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam mengelola pelayanan ini diperlukan beberapa pengamatan dan kontrol terhadap insiden yang terjadi, permintaan akan perbaikan atau pelayanan, permasalahan teknologi informasi, dan manajemen pencatatan dan indentifikasi masalah. 5. Continual Service Improvement Untuk dapat menjaga agar pelayanan tetap berlangsung dengan baik, perlu dilakukan
perbaikan
terhadap
pelayanan teknologi informasi secara
berkelanjutan. Proses-proses dan metode-metode yang telah dijelaskan sebelumnya di atas jika diperlukan harus dilakukan peninjauan ulang sehingga dapat diketahui kekurangan-kekurangan
yang terjadi yang
memerlukan perbaikan. Kelima tahapan tersebut dapat digambarkan dalam sebuah lingkaran konsep pelayanan ITIL V3 (ITIL V3 Lifecycle) berikut ini.
43
Gambar 2.5. ITIL V3 Lifecycle