17
Bab 2
LANDASAN TEORI
2.1. Peluang
Peluang adalah suatu nilai untuk mengukur tingkat kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak pasti (uncertainty event). Menurut Sudjana (1992), peluang merupakan suatu peristiwa yang terjadi dibandingkan dengan banyaknya peristiwa. Misalnya bahwa suatu peristiwa (A) dapat terjadi dengan n(A) cara dari n(S) kemungkinan cara yang sama, maka peluang kejadian A sukses adalah:
P A
nA nS
Peluang dari kejadian A yang gagal adalah:
P Ac
1
nA nS
Atau P A c
1 P A
1 P A
Jumlah dari peluang untuk mendapatkan sukses dan peluang untuk gagal adalah selalu sama dengan 1 atau dapat ditulis: P Sukses
P Gagal
P A
P Ac
1
Besarnya nilai kemungkinan bagi munculnya suatu kejadian adalah selalu diantara nol dan satu. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai 0 ≤ P(A) ≤ 1, dimana P(A) menyatakan nilai kemungkinan bagi munculnya kejadian A. Jika terdapat dua kejadian yang bersifat mutually exclusive, maka probabilita terjadinya kejadian A atau terjadinya kejadian B adalah jumlah dari P(A) dan P(B). Dengan kata lain, terjadinya kejadian A
18
atau kejadian B adalah sama dengan satu. Dalam probabilita kondisional terjadinya kejadian A dikondisikan dengan terjadinya kejadian B dahulu. Probabilita kondisional terjadinya kejadian A dengan kondisi terjadinya kejadian B dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: P AB
PBAP A PB
2.2. Peluang Bersyarat (Conditional Probability)
Pada suatu percobaan akan menghasilkan dua atau lebih kemungkinan peristiwa yang akan terjadi. Peluang akan terjadinya peristiwa B dengan syarat peristiwa A telah terjadi terlebih dahulu adalah:
P BA
P A B P A
P A .P B PA
Yang menyatakan bahwa: P(B A) = peluang peristiwa B terjadi dengan syarat peristiwa A terjadi lebih dahulu P(A B) = peluang peristiwa A dan peristiwa B terjadi bersamaan P(A)
= peluang terjadinya peristiwa A
2.3. Teorema Bayes
Teorema Bayes dikemukakan oleh seorang pendeta presbyterian Inggris pada tahun 1763 yang bernama Thomas Bayes. Teorema Bayes digunakan untuk menghitung probabilitas terjadinya suatu peristiwa berdasarkan pengaruh yang didapat dari hasil observasi.
19
Antara Teorema Bayes dengan teori peluang terdapat hubungan yang sangat erat, karena untuk membuktikan Teorema Bayes tidak terlepas dari penggunaan teori peluang, dengan kata lain teori peluang adalah konsep dasar bagi Teorema Bayes.
Teorema Bayes menerangkan hubungan antara probabilitas terjadinya peristiwa A dengan syarat peristiwa B telah terjadi dan probabilitas terjadinya peristiwa B dengan syarat peristiwa A telah terjadi. Teorema ini didasarkan pada prinsip bahwa tambahan informasi dapat memperbaiki probabilitas. Teorema Bayes ini bermanfaat untuk mengubah atau memutakhirkan (meng-update) probabilitas yang dihitung dengan tersedianya data dan informasi tambahan.
Syarat-syarat Teorema Bayes bisa digunakan untuk menentukan pengambilan keputusan, yaitu (Ferry N. Idroes, 2008): a. Berada pada kondisi ketidakpastian (adanya alternative tindakan) b. Peluang prior diketahui dan peluang posterior dapat ditentukan c. Peluangnya mempunyai nilai antara nol dan satu.
Sesuai dengan probabilitas subyektif, bila seseorang mengamati kejadian B dan mempunyai keyakinan bahwa ada kemungkinan B akan muncul, maka probabilitas B disebut probabilitas prior. Setelah ada informasi tambahan bahwa misalnya kejadian A telah muncul, mungkin akan terjadi perubahan terhadap perkiraan semula mengenai kemungkinan B untuk muncul. Probabilitas untuk B sekarang adalah probabilitas bersyarat akibat A dan disebut sebagai probabilitas posterior. Teorema Bayes merupakan mekanisme untuk memperbaharui probabilitas dari prior menjadi probabilitas posterior. Teorema Bayes dapat diperoleh dari konsep teori peluang bahwa rumus Teorema Bayes adalah sebagai berikut: Andaikan S menyatakan ruang sampel dari beberapa percobaan dan k adalah kejadian Ai,…,Ak dalam S sedemikian hingga Ai,…,Ak saling k
asing dan
A
i
S . Sehingga dapat dikatakan kejadian k tersebut membentuk partisi
i 1
atau bagian dari S. jika k kejadian Ai,…,Ak membentuk sebuah partisi dari S dan jika B
20
adalah kejadian lain dalam S, maka kejadian akan membentuk partisi atau bagian untuk B.
P B Ai P Ai
P Ai B
k
P B Ai P Ai i 1
Keterangan: P(Ai B)
= Peristiwa A akan terjadi dengan syarat peristiwa B terjadi lebih dulu
P(Ai)
= Peluang peristiwa A
P(B Ai)
= Peristiwa B akan terjadi dengan syarat peristiwa A terjadi lebih dulu
P(B)
= Peluang peristiwa B
Bukti: P Ai B
P Ai B
P Ai B PB
P A1
Dengan: k
PB
P Ai P B Ai i 1
P Ai
P Ai B
B
P Ai P B Ai
P Ai P B Ai k
P Ai
B
i 1
Maka didapat:
P Ai B
P Ai P B Ai k
P Ai P B Ai i 1
B
P Ai B P A2 B ... P Ai
B
21
2.4. Bootstrapping
Pada saat ini Bootstrap sudah menjadi metode standard dalam ilmu statistika modern. Ide dasar dari Bootstrap adalah membangun data bayangan (pseudo data) dengan menggunakan informasi dari data asli. Namun demikian, penulis tetap harus memperhatikan sifat-sifat dari data asli tersebut, sehingga data bayangan akan memiliki karakteristik semirip mungkin dengan data asli.
2.4.1. Bootstrap Untuk Data Independen
Bootstrap merupakan metode simulasi yang berbasis pada data dan seringkali digunakan sebagai alat dalam statistika inferensia. Penggunaan kata Bootstrap ini diambil dari frase “to pull oneself up by one’s bootstrap” (Efron, Tibshirani, 1993). Resampling untuk data independen (iid-independent identical distributed) merupakan metode Bootstrap yang paling sederhana. Misalkan X1, X2,…, Xn yang berdistribusi P. Resample untuk data iid dilakukan dengan cara melakukan pengambilan sampel dari data asli secara acak dengan pengembalian (replacing sample).
2.4.2. Bootstrap Untuk Data Dependen
Bootstrap untuk data dependen merupakan area riset yang sangat berkembang. Resampling pada data dependen harus dibangun sedemikian rupa sehingga struktur ketergantungan antara data tidak hilang. Salah satu aplikasi dari Bootstrap dari data dependen ini adalah untuk mencari selang kepercayaan dari parameter-parameter model peramalan yang bersesuaian. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan metode Bootstrap adalah sebagai berikut:
22
1. Memberikan nilai indeks 1 sampai n pada error hasil peramalan. Melakukan resampling dengan pengembalian pada index error. Kemudian index error diganti dengan nilai error sebenarnya. 2. Menggunakan hasil perhitungan error pada langkah 1 untuk membangun sejumlah 1000 sampel bootstrap error. Masing-masing sampel berisi n buah random sampling error. 3. Membangun 1000 time series baru 4. Mengestimasi nilai-nilai parameter time series baru yang dibangun pada langkah 3. Parameter yang dihasilkan adalah parameter yang baru dan berjumlah 1000 buah 5. Melakukan pengurutan nilai-nilai parameter dari yang terkecil hingga yang terbesar. 6. Memperoleh 95% confidence interval dengan cara membuang sejumlah 2,5% pada urutan parameter bagian atas dan sejumlah 2,5% pada urutan parameter bagian bawah. Parameter yang baru memiliki tingkat kepercayaan 95%.
2.4.3. Bayesian Bootstrapping
Bootstrapping untuk teorema Bayes dapat digunakan untuk mengukur potensi kerugian risiko operasional. Pendekatan ini dikembangkan untuk menunjukkan bagaimana pengukuran risiko operasional teorema Bayes dapat diestimasi dengan pendekatan bootstrapping. Untuk menghitung besarnya potensi kerugian operasional value at risk dengan pendekatan Bayesian Bootstrapping dipergunakan rumus sebagai berikut:
Xp
1
ln p
Keterangan: Xp = operasional value at risk
23
μ = rata-rata σ = simpangan baku ξ
= kemiringan
p
= selang kepercayaan
(Muslich,2007)
Dengan n
xi i 1
x
n n
xi 2
x
2
i 1
n 1
n n 1 n 2
xi
x
3
2.5. Manajemen Risiko Operasional
2.5.1. Definisi
Manajemen risiko operasional merupakan serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko pasar yang timbul dari kegiatan usaha bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada ketersediaan informasi yang digunakan untuk menilai risiko.
Bagi otoritas pengawasan bank, penerapan manajemen risiko akan mempermudah penilaian terhadap kemungkinan kerugian yang dihadapi bank yang dapat mempengaruhi
24
permodalan bank dan sebagai salah satu dasar penilaian dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan bank. Adapun tahap evolusi manajemen risiko operasional dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a. Identifikasi dan pengumpulan data Dalam tahap ini perusahaan perlu melakukan mapping berbagai risiko operasional yang ada dalam perusahaan dan menciptakan suatu proses untuk mengumpulkan dan menjumlahkan data kerugian.
b. Penyusunan metrics dan tracking Dalam tahap ini perusahaan perlu menyusun metric dan key risk indicator untuk tiap risiko operasional yang telah diidentifikasi dalam tahap sebelumnya. Dalam penyusunan ini termasuk pula penyusunan sistem tracking data dan informasi frekuensi dan severitas suatu risiko tertentu.
c. Pengukuran Dalam tahap ini perusahaan perlu menyusun suatu metode untuk kuantifikasi risiko operasional dari semua unit kerja.
d. Manajemen Dalam tahap ini perusahaan perlu melakukan konsolidasi hasil yang diperoleh dari tahap tiga untuk mendapatkan perhitungan alokasi modal untuk menutup kerugian risiko operasional dan analisis kinerja berbasis risiko dan redistribusi portofolio untuk menyesuaikan profil risiko perusahaan yang diinginkan.
25
2.5.2. Kejadian Risiko Operasional
Risiko operasional sangat terkait dengan banyaknya masalah yang timbul karena kelemahan proses di dalam bank. Namun demikian, risiko operasional tidak hanya terdapat pada bank saja, tetapi pada setiap jenis usaha. Risiko operasional merupakan risiko yang penting yang dapat mempengaruhi nasabah secara harian. Itu sebabnya mengapa bank meningkatkan fokus perhatiannya pada proses, prosedur dan pengawasan yang sejalan dengan risiko operasional.
Lembaga Pengawas Perbankan telah mendorong bank-bank untuk melihat proses operasional seluas mungkin dan mempertimbangkan events yang memiliki frekuensi rendah tetapi memiliki dampak yang tinggi (low frequency/high impact) selain risiko kredit dan risiko pasar.
Kejadian risiko operasional dikelompokkan dalam dua faktor yaitu frekuensi dan dampak. Frekuensi adalah seberapa sering suatu peristiwa operasional itu terjadi, sedangkan dampak adalah jumlah kerugian yang timbul dari peristiwa tersebut. Pengelompokkan risiko operasional didasarkan pada seberapa sering peristiwa terjadi dan dampak kerugian yang ditimbulkan (severity). Misalkan ada empat jenis kejadian operasional (events), yaitu: a. Low Frequency/High Impact (LFHI) b. High Frequency/High Impact (HFHI) c. Low Frequency/Low Impact (LFLI) d. High Frequency/Low Impact (HFHI)
Secara umum manajemen risiko operasional memfokuskan kepada dua jenis kejadian, yaitu low frequency/high impact (LFHI) dan high frequency/low impact (HFLI). LFHI sangat sulit untuk dipahami dan diprediksi serta memiliki potensi untuk menghancurkan bank. Sedangkan HFLI dikelola dengan meningkatkan efisiensi usaha, even ini umumnya sudah dipahami dan dianggap sebagai “the lost of doing business”.
26
Bank mengabaikan suatu kejadian yang memiliki low frequency/low impact (LFLI) karena membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mengelola dan memantau dibandingankan dengan tingkat kerugian yang timbul bila terjadi. Sedangkan high frequency/high impact (HFHI) tidak relevan karena bila kejadian ini terjadi bank secara cepat akan menderita kerugian yang besar dan harus menghentikan usahanya. Kerugian ini juga tidak berkelanjutan dan pengawasan bank akan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan praktik-praktik bisnis yang buruk.
2.5.3. Expected Loss dan Unexpected Loss
Pada saat menghitung kebutuhan modal risiko operasional, bank diwajibkan menghitung berdasarkan kepada expected loss dan unexpected loss. Expected Loss adalah kerugian yang terjadi dalam operasional bank secara normal atau dapat disederhanakan sebagai “the lost of doing business”. Karenanya bank berasumsi bahwa kerugian ini merupakan bagian dari operasional bank. Beberapa bank juga telah memasukkan expected loss dalam struktur harga produk. Bila suatu bank dapat membuktikan kepada lembaga pengawas bahwa bank telah menghitung expected loss, maka expected loss itu tidak perlu dihitung lagi dalam perhitungan modal regulasi. Dalam hal ini modal regulasi risiko bank sama dengan unexpected loss.
Bank menggunakan metode statistik dalam memprediksikan expected loss di masa yang akan datang dengan menggunakan data dan pengalaman di masa yang lalu. Metode sederhana untuk menghitung expected loss adalah dengan menggunakan nilai rata-rata (mean) dari kerugian aktual dalam suatu periode tertentu. Unexpected loss adalah kerugian yang berasal dari even yang tidak diharapkan terjadi atau suatu peristiwa ekstrim dan memiliki probabilitas terjadinya sangat rendah. Unexpected loss secara tipikal berasal dari even yang memiliki low frequency/high impact.
27
Bank berusaha untuk memprediksi unexpected loss dengan menggunakan statistik sama seperti dalam expected loss. Unexpected loss dihitung dengan menggunakan data dan pengalaman internal bank. Untuk menghitung unexpected loss bank dapat menggunakan a. Data internal yang tersedia b. Data eksternal dari bank lain c. Data dari scenario risiko operasional
Untuk menghitung expected loss dan unexpected loss dalam Bassel II, bank diwajibkan untuk memiliki data historis kerugian risiko operasional internal dan eksternal yang mencakup definisi-definisi risiko operasional yang berbeda dan berbagai macam kategori. Untuk memastikan pendekatan yang konsisten diantara bank-bank, Basel II Accord menetapkan suatu set definisi jenis-jenis kerugian operasional.
2.5.4. Kategori Kejadian Risiko Operasional
Cara yang paling mudah untuk memahami risiko operasional di bank adalah dengan mengkategorikan risiko operasional sebagai risiko. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kejadian operasional yang dapat menyebabkan kerugian dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan risiko operasional ke dalam sejumlah kategori kejadian risiko yang didasarkan pada penyebab utama kejadian risiko. Risiko operasional selanjutnya dapat dibagi dalam beberapa subkategori seperti risiko yang melekat pada: a. Risiko proses internal b. Risiko manusia c. Risiko sistem d. Risiko kejadian dari luar (external events)
28
2.6. Pengukuran Risiko Operasional
Basel II Accord membolehkan bank untuk menghitung pendapatan risiko operasional di mana BIS (Bank for International Settlement) memberikan beberapa pilihan metode yang dapat digunakan oleh suatu bank yaitu: a. Basic Indicator Approach (BIA) b. Standardized Approach (SA) c. Advanced Measurement Approach (AMA) (Ferry N. Idroes,2008)
2.6.1. Basic Indicator Approach (BIA)
Basic Indicator Approach merupakan pendekatan yang paling sederhana dan dapat digunakan oleh semua bank untuk menghitung kebutuhan modal risiko operasional berdasarkan Basel II. BIA menggunakan total gross income suatu bank sebagai indikator besaran eksposur. Dalam hal ini, gross income mewakili skala kegiatan usaha dan oleh karena dapat digunakan untuk menunjukkan risiko operasional yang melekat pada bank. Persentase yang digunakan dalam formula BIA ditetapkan sebesar 15%, dengan penetapan persentase tersebut jumlah modal risiko operasional yang dipersyaratkan pada tahun tertentu adalah gross income dikalikan 15%. Formula untuk menghitung modal risiko operasional bank dapat dirumuskan sebagai berikut: 3
GI i * K BIA
Dengan:
i 1
n KBIA = besarnya potensi risiko operasional GIi
= gross income rata-rata selama 3 tahun
α
= 15% (ketetapan)
n
= jumlah tahun dalam tiga tahun terakhir
29
2.6.2. Standardized Approach (SA)
Standardized Approach mencoba mengatasi kurangnya sensivitas risiko dari Basic Indicator Approach dengan cara membagi aktivitas dalam delapan jenis bisnis dan menggunakan pendapatan kotor (gross income) dari tiap jenis bisnis yang digunakan sebagai indikator risiko operasional atas masing-masing jenis bisnis. Delapan jenis bisnis tersebut adalah: a. Corporate Finance dengan beta 18% b. Trading and Sales dengan beta 18% c. Retail Banking dengan beta 12% d. Commercial Banking dengan beta 15% e. Payment and Settlement dengan beta 18% f. Agency Services dengan beta 15% g. Asset Management dengan beta 12% h. Retail Brokerage dengan beta 12% (GARP,2007)
Dengan membagi bank menjadi bisnis yang berbeda-beda dan memberikan persentase
yang
berbeda
kepada
tiap
jenis
bisnis,
Standardized
Approach
menghubungkan areal bisnis bank dan risikonya dengan pembebanan modal risiko operasional. Menurut Standardized Approach jumlah modal agregat diambil dari rataratanya untuk menghasilkan jumlah modal regulasi risiko operasional yang dibutuhkan. Modal regulasi agregat untuk tahun tunggal dihitung dengan menambahkan hasil gross income dikalikan dengan faktor beta untuk setiap jenis bisnis dengan mengabaikan apakah gross income untuk tiap jenis bisnis bernilai negatif dan jumlah keseluruhan untuk tahun tertentu negatif. Maka angka tersebut akan diganti dengan nol untuk perhitungan rata-rata. Berdasarkan Basel Committee (Basel Capital Accord I) perhitungan nilai ratarata Standardized Approach selalu dihitung selama tiga tahun terakhir dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
30
n
Max K SA
Dengan:
GI i *
i
,0
i 1
3 KSA = pembebanan modal risiko operasional menurut metode SA GIi = gross income untuk masing-masing jenis bisnis βi
= nilai beta untuk masing-masing jenis bisnis
2.6.3. Advanced Measurement Approach (AMA)
Metode Advanced Measurement Approach (AMA) merupakan perhitungan kebutuhan modal untuk risiko operasional dengan menggunakan model yang dikembangkan secara internal oleh bank. Dibandingkan dengan model yang standard, pendekatan model AMA lebih menekankan pada analisis kerugian operasional. Untuk bank yang ingin menerapkan model AMA dalam pengukuran risiko operasional harus mempunyai database kerugian operasional sekurang-kurangnya dua hingga lima tahun ke belakang. Bank yang ingin menggunakan metode ini harus memiliki teknologi yang tinggi sehingga dengan bantuan teknologi tersebut dapat dibuat model yang menangkap, menyeleksi dan melaporkan informasi risiko operasional eksternal untuk tujuan validasi model.
Basel
Committee tidak menentukan model untuk AMA karena
bank
diperbolehkan menggunakan sistem pengukuran risiko operasional internal mereka. Menurut standard kuantitatif Basel Committee, kategori risiko operasional dapat dikelompokkan dalam 7 tipe, yaitu: a. Penyelewengan internal b. Penyelewengan eksternal c. Praktik kepegawaian dan keselamatan kerja d. Klien, produk dan praktik bisnis e. Kerusakan terhadap asset fisik perusahaan f. Terganggunya bisnis dan kegagalan sistem
31
g. Manajemen proses, pelaksanaan dan penyerahan produk dan jasa
2.7. Sifat-Sifat Deskriptif Statistik
Pengukuran potensi kerugian risiko operasional dan untuk melakukan pemodelan pada suatu bank perlu terlebih dahulu mengetahui karakteristik dari distribusi kerugian operasional. Adapun distribusi kerugian risiko operasional dapat dikelompokkan menjadi distribusi frekuensi kerugian operasional dan distribusi severitas kerugian operasional.
2.7.1. Distribusi Frekuensi Kerugian Operasional
Distribusi frekuensi menunjukkan jumlah atau frekuensi terjadinya suatu jenis kerugian operasional dalam suatu periode tertentu, tanpa melihat nilai kerugian. Distribusi frekuensi kerugian operasional merupakan distribusi diskrit yaitu distribusi atas data yang nilai data harus bilangan integer karena jumlah bilangan merupakan bilangan bulat positif.
2.7.1.1. Distribusi Binomial
Distribusi binomial merupakan salah satu distribusi diskrit yang berguna untuk memodelkan masalah probabilitas dari frekuensi atau jumlah sukses atas suatu aktivitas yang bersifat independen. Distribusi binomial dinyatakan dengan dua parameter yaitu m yang menunjukkan kerugian operasional tertentu yang bersifat independen dan identik sedangkan q yang menunjukkan probabilitasnya dan r menyatakan kejadian ke-i dimana r>0. Probabilitas fungsi distribusi binomial dinyatakan sebagai berikut: Pk
m qk 1 q r
m k
, k = 0,1,…m
32
Dengan parameter distribusi binomial yang dapat diestimasi sebagai berikut:
q
JumlahObservasiKejadian MaksimumJumlahKemungkinanKejadian
Distribusi Binomial memiliki mean dan varians sebagai berikut: Mean = E (x) = np Varians = V (x) = np(1-p) = npq
2.8. Model Value at Risk
Salah satu tantangan yang dihadapi pada risiko operasional adalah mengukur risiko pasar secara konsisten terhadap seluruh posisi risiko yang sensitive terhadap perubahan harga pasar. Hal ini telah dapat dijawab dengan perkembangan model Value at Risk (VaR). pada tahun 1994, J.P. Morgan mempopulerkan konsep Value at Risk sebagai alat ukur risiko. VaR adalah kerugian yang dapat ditoleransi dengan tingkat kepercayaan (keamanan) tertentu. Pada sebelumnya model VaR ini, limit risiko ditentukan berdasarkan jumlah dari instrument tertentu yang dimiliki oleh bank. Dengan cara ini evaluasi terhadap level risiko masing-masing limit sulit dilakukan.
2.8.1. Variabel Value at Risk
Variable-variabel utama dalam perhitungan VaR ada;ah jumlah data historis yang digunakan untuk menghitung volatilitas dan jumlah hari untuk proyeksi harga pasar di waktu mendatang. Basel mensyaratkan data historis yang digunakan adalah minimal satu tahun. Walaupun mungkin bank menggunakan periode yang lebih lama dan perlu diingat bahwa bank harus konsisten terhadap periode historis yang ditentukan untuk menjaga stabilitas perhitungan VaR.
33
2.8.2. Model Perhitungan VaR
Perhitungan VaR untuk trading book dalam jumlah besar merupakan perhitungan yang kompleks harus dapat mencakup interaksi berbagai faktor risiko dalam mensimulasikan perubahan harga pasar. Model vaR menghitung risiko dengan membuat distribusi kerugian yang mungkin terjadi selama periode waktu tertentu untuk masing-masing posisi risiko yang dimiliki.
Distribusi tersebut dapat dilakukan dengan proses dua langkah yaitu langkah pertama dimana distribusi harga pasar di waktu mendatang dihitung berdasarkan data historis. Adapun faktor utama dalam perhitungan distribusi tersebut adalah volatilitas historis. Hal ini dapat dilakukan untuk menghitung seberapa besar deviasi perubahan harga pasar terhadap nilai mean dan pada umumnya hasilnya dapat dinyatakan sebagai annual percentage. Sebagai contoh, jika volatilitas 20% per tahun diterapkan pada harga saham 100 berarti harga saham akan berfluktuasi antara 80 dan 120 dalam periode 12 bulan ke depan. Volatilitas historis dapat digunakan sebagai input dalam model untuk mensimulasikan pergerakan harga pasar di waktu mendatang.
Langkah kedua yaitu menilai kembali masing-masing posisi risiko menggunakan distribusi harga pasar untuk membuat distribusi perubahan nilai dalam posisi risiko secara keseluruhan. Adapun tingkat kerugian yang mendekati confidence level yang digunakan oleh bank berdasarkan Basel adalah mensyaratkan sebesar 99% dengan menggunakan asumsi bahwa distribusi kerugian adalah distribusi operasional. Analisis ini dilakukan berulang-ulang untuk seluruh posisi risiko dan kemudian nilainya dijumlahkan untuk memperoleh nilai total VaR. nilai VaR ini dapat dijumlahkan karena masing-masing telah dihitung dengan dasar yang konsisten oleh karena perbandingan risiko antar area bisnis yang berbeda-beda.