BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Arti dan Peranan Pengendalian Persediaan
Persediaan dapat diartikan sebagai bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, dan untuk suku cadang dari suatu peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi, ataupun suku cadang. Bisa dikatakan tidak ada perusahaan yang beroperasi tanpa persediaan, meskipun sebenarnya persediaan hanyalah suatu sumber dana yang menganggur, karena sebelum persediaan digunakan berarti dana yang terikat di dalamnya tidak dapat digunakan untuk keperluan yang lain (Herjanto, 2004, hal: 219).
Ristono (2009, hal: 2) menyatakan bahwa persediaan merupakan suatu model yang umum digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan usaha pengendalian bahan baku maupun barang jadi dalam suatu aktifitas perusahaan. Ciri khas dari model persediaan adalah solusi optimalnya difokuskan untuk menjamin persediaan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Persediaan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Menurut Baroto (2002, hal: 53), timbulnya persediaan disebabkan oleh:
a. Mekanisme pemenuhan atas permintaan. Permintaan terhadap suatu barang tidak dapat dipenuhi seketika bila barang tersebut tidak tersedia sebelumnya. Dalam menyiapkan suatu barang diperlukan waktu untuk pembuatan dan pengiriman, sehingga hal ini dapat teratasi dengan pengadaan persediaan.
b. Keinginan untuk meredam ketidakpastian. Ketidakpastian terjadi akibat permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangan, waktu memproduksi barang yang cenderung tidak konstan, dan waktu tenggang (lead time) yang cenderung tidak pasti karena banyak faktor tidak dapat dikendalikan. Ketidakpastian ini dapat diredam dengan mengadakan persediaan.
c. Keinginan
melakukan
spekulasi
yang
bertujuan
untuk
mendapatkan
keuntungan yang besar dari kenaikan harga di masa mendatang.
Persoalan persediaan yang timbul adalah bagaimana caranya mengatur persediaan, sehingga setiap kali ada permintaan, permintaan tersebut dapat segera dilayani dengan biaya yang minimum. Apabila jumlah persediaan lebih besar dibanding permintaan, hal ini dapat menimbulkan dana besar menganggur yang tertanam dalam persediaan, meningkatnya biaya penyimpanan, dan resiko kerusakan barang yang lebih besar. Namun, jika persediaan lebih sedikit dibanding permintaan, hal ini akan menyebabkan kekurangan persediaan (stockout) yang berakibat proses produksi terhenti, tertundanya kesempatan mendapatkan keuntungan, bahkan dapat berakibat hilangnya pelanggan.
Pengendalian persediaan merupakan serangkaian kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus tersedia, kapan pesanan untuk menambah persediaan harus dilakukan, dan berapa besar pesanan harus diadakan. Sistem ini menentukan dan menjamin tersedianya persediaan yang tepat dalam kuantitas dan waktu yang tepat (Herjanto, 2004, hal: 219).
Ristono (2009, hal: 4), menyatakan bahwa tujuan pengendalian persediaan adalah sebagai berikut: 1. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen dengan cepat. 2. Untuk menjaga kontinuitas produksi atau menjaga agar perusahaan tidak mengalami kehabisan persediaan yang berakibat terhentinya proses produksi. 3. Untuk mempertahankan dan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.
4. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari, karena dapat mengakibatkan biaya pemesanan menjadi lebih besar. 5. Menjaga agar persediaan di gudang tidak berlebihan, karena dapat mengakibatkan meningkatnya resiko dan juga biaya penyimpanan di gudang.
Dengan kata lain, tujuan pengendalian persediaan adalah untuk memperoleh kualitas dan jumlah yang tepat dari barang yang tersedia pada waktu dibutuhkan dengan biaya yang minimum untuk keuntungan atau kepentingan perusahaan.
2.2
Fungsi dan Faktor yang Mempengaruhi Persediaan
2.2.1 Fungsi Persediaan
Berdasarkan fungsinya, persediaan dapat dikelompokkan dalam empat jenis, yaitu (Herjanto, 2004):
1. Fluctuation Stock/Persediaan Cadangan Persediaan ini diadakan untuk menjaga terjadinya fluktuasi permintaan yang tidak diperkirakan sebelumnya, dan untuk mengatasi jika terjadi kesalahan/ penyimpangan dalam perkiraan penjualan, waktu produksi dan pengiriman barang. Artinya, persediaan cadangan ini akan mengamankan kegagalan mencapai permintaan konsumen atau memenuhi kebutuhan manufaktur tepat pada waktunya.
2. Anticipation Stock/Persediaan Antisipasi Merupakan jenis persediaan untuk menghadapi permintaan yang tidak dapat diramalkan. Misalnya pada musim permintaan tinggi, tetapi kapasitas produksi pada saat itu tidak mampu memenuhi permintaan maka persediaan antisipasi akan
digunakan.
Persediaan
ini
juga
dimaksudkan
untuk
menjaga
kemungkinan sukarnya diperoleh bahan baku sehingga tidak mengakibatkan terhentinya produksi.
3. Lot Size Inventory Merupakan persediaan yang diadakan dalam jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan pada saat itu. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari harga barang (discount) karena pembelian dalam jumlah yang besar, atau untuk mendapatkan penghematan dari biaya pengangkutan per unit yang lebih rendah. Faktor penentu persyaratan ekonomis antara lain biaya setup, biaya persiapan produksi atau pembelian, dan biaya transportasi (Ginting, 2007).
4. Pipeline/Transit Inventory Merupakan persediaan yang sedang dalam proses pengiriman dari tempat asal ke tempat di mana barang itu akan digunakan. Persediaan ini timbul karena jarak dari tempat asal ke tempat tujuan cukup jauh dan bisa menghabiskan waktu beberapa hari atau beberapa minggu.
2.2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persediaan
Masalah yang dihadapi perusahaan adalah bagaimana menentukan persediaan yang optimal, oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya persediaan. Persediaan yang dimaksud dalam hal ini adalah persediaan dalam kaitannya dengan kegiatan produksi yakni persediaan bahan baku.
Besar kecilnya persediaan bahan baku dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini (Ristono, 2009): 1. Volume atau jumlah yang dibutuhkan, yaitu yang dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Semakin banyak jumlah bahan baku yang dibutuhkan, maka akan semakin besar tingkat persediaan bahan baku. Volume produksi yang direncanakan, hal ini ditentukan oleh penjualan terdahulu dan ramalan penjualan. Semakin tinggi volume produksi yang direncanakan berarti membutuhkan bahan baku yang lebih banyak yang berakibat pada tingginya tingkat persediaan bahan baku.
2. Kontinuitas produksi tidak terhenti, diperlukan tingkat persediaan bahan baku yang tinggi dan sebaliknya.
3. Sifat bahan baku, apakah cepat mengalami kerusakan (durable good) atau tahan lama (undurable good). Barang yang tidak tahan lama tidak dapat disimpan lama, oleh karena itu bila bahan baku yang diperlukan tergolong barang yang tidak tahan lama maka tidak perlu disimpan dalam jumlah banyak.
Sedangkan untuk bahan baku yang sifatnya tahan lama, tidak ada salahnya perusahaan menyimpannya dalam jumlah yang besar. Agar kontinuitas produksi tetap terjaga, maka untuk berjaga-jaga perusahaan sebaiknya memiliki apa yang dinamakan dengan persediaan cadangan (safety stock). Persediaan cadangan atau disebut pula persediaan pengaman adalah persediaan minimal bahan baku yang dipertahankan untuk menjaga kontinuitas produksi.
2.3
Jenis-Jenis Persediaan
Handoko (1984) menjelaskan bahwa setiap jenis persediaan mempunyai karakteristik khusus tersendiri dan cara pengelolaan yang berbeda. Menurut jenisnya, persediaan dapat dibedakan atas:
1. Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang-barang berwujud seperti baja, kayu, dan komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari supplier atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya.
2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan barangbarang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barangbarang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada pelanggan.
2.4
Komponen Biaya Persediaan (Inventory Cost)
Secara umum dapat dikatakan bahwa biaya sistem persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian yang timbul sebagai akibat adanya persediaan. Biaya sistem persediaan terdiri dari biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya kekurangan persediaan (Nasution, 2009):
2.4.1
Biaya Pembelian (Purchasing Cost)
Biaya pembelian adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Besarnya biaya pembelian ini tergantung pada jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang. Biaya pembelian menjadi faktor penting ketika harga barang yang dibeli tergantung pada ukuran pembelian. Situasi ini biasa disebut sebagai quantity discount atau price break dimana harga barang per unit akan turun bila jumlah barang yang dibeli meningkat. Dalam kebanyakan teori persediaan, komponen biaya pembelian tidak dimasukkan ke dalam total biaya sistem persediaan karena diasumsikan bahwa harga barang per unit dipengaruhi oleh jumlah barang yang dibeli sehingga komponen biaya pembelian untuk periode waktu tertentu (misalnya 1 tahun) konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi berapa banyak barang yang harus dipesan.
2.4.2
Biaya Pengadaan (Procurement Cost)
Biaya pengadaan dibedakan atas 2 jenis sesuai asal usul barang, yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang diperlukan diperoleh dari pihak luar (supplier) dan biaya pembuatan (setup cost) bila barang yang diperlukan diperoleh dengan memproduksi sendiri.
1. Biaya pemesanan (ordering cost) Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan pemasok (supplier), pengetikan pesanan, pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan seterusnya. Biaya ini diasumsikan konstan untuk setiap kali pemesanan.
2. Biaya pembuatan (setup cost) Biaya
pembuatan
adalah
semua
pengeluaran
yang
timbul
dalam
mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya ini timbul di dalam pabrik yang meliputi biaya menyusun peralatan produksi, menyetel mesin, mempersiapkan gambar kerja dan seterusnya.
Karena kedua biaya tersebut mempunyai peran yang sama, yaitu pengadaan barang, maka kedua biaya tersebut disebut sebagai biaya pengadaan (procurement cost).
2.4.3
Biaya penyimpanan (Holding Cost/Carrying Cost)
Biaya penyimpanan adalah semua pengeluaran yang timbul akibat menyimpan barang. Besar kecilnya biaya penyimpanan sangat tergantung pada jumlah rata-rata barang yang disimpan. Semakin banyak rata-rata persediaan, maka biaya penyimpanan menjadi besar dan sebaliknya. Biaya ini meliputi: 1. Biaya Memiliki Persediaan (Biaya Modal) Penumpukan barang di gudang berarti penumpukan modal, dimana modal perusahaan mempunyai ongkos (expense) yang dapat diukur dengan suku
bunga bank. Oleh karena itu, biaya yang ditimbulkan karena memiliki persediaan harus diperhitungkan dalam biaya sistem persediaan. Biaya memiliki persediaan diukur sebagai persentase nilai persediaan untuk periode waktu tertentu.
2. Biaya Gudang Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga timbul biaya gudang. Biaya gudang dan peralatannya disewa maka biaya gudangnya merupakan biaya sewa sedangkan bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka biaya gudang merupakan biaya depresiasi.
3. Biaya Kerusakan dan Penyusutan Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan penyusutan karena beratnya berkurang atau jumlahnya berkurang karena hilang. Biaya kerusakan dan penyusutan biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.
4. Biaya Kadaluarsa (Absolence) Barang yang disimpan dapat mengalami penurunan nilai karena perubahan teknologi dan model seperti barang-barang elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya diukur dengan besarnya penurunan nilai jual dari barang tersebut.
5. Biaya Asuransi Barang yang disimpan diasuransikan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran. Biaya asuransi tergantung jenis barang yang diasuransikan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi.
6. Biaya Administrasi dan Pemindahan Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasikan persediaan barang yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya dan biaya untuk memindahkan barang dari, ke, dan di dalam tempat penyimpanan, termasuk upah buruh dan biaya peralatan handling.
2.4.4
Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost)
Biaya kekurangan persediaan adalah biaya yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya persediaan yang lebih kecil dari jumlah yang diperlukan atau biaya yang timbul apabila persediaan yang tidak dapat mencukupi permintaan. Keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena proses produksi akan terganggu dan kehilangan kesempatan mendapat keuntungan atau kehilangan pelanggan karena kecewa sehingga beralih ke tempat lain. Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari: 1. Kuantitas yang tidak dapat Dipenuhi Biasanya diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalti atau hukuman kerugian bagi perusahaan dengan satuan misalnya: Rp/unit.
2. Waktu Pemenuhan Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses produksi terhenti atau lamanya perusahaan tidak mendapatkan keuntungan, sehingga waktu menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang hilang. Biaya waktu pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi gudang dengan satuan misalnya: Rp/satuan waktu.
3. Biaya Pengadaan Darurat Supaya konsumen tidak kecewa maka dapat dilakukan pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang lebih besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya dibandingkan pengadaan normal ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan biaya kekurangan persediaan dengan satuan misalnya: Rp/setiap kali kekurangan. Kadang-kadang biaya ini disebut juga biaya kesempatan (opportunity cost). Ada perbedaan pengertian antara biaya persediaan aktual yang dihitung secara akuntansi dengan biaya persediaan yang digunakan dalam menentukan kebijaksanaan persediaan. Biaya persediaan yang diperhitungkan dalam penentuan kebijaksanaan persediaan hanyalah biaya-biaya yang bersifat variabel (incremental cost), sedangkan
biaya yang bersifat konstan seperti biaya pembelian tidak perlu diperhitungkan karena tidak mempengaruhi hasil optimal yang diperoleh.
2.5
Hubungan antara Tingkat Persediaan dan Total Biaya
Pada pengendalian persediaan, persoalan utama yang ingin dicapai adalah meminimumkan total biaya operasi perusahaan. Hal ini berkaitan dengan berapa jumlah barang yang harus dipesan dan kapan pemesanan itu harus dilakukan.
Keputusan
mengenai
besarnya
jumlah
persediaan
menyangkut
dua
kepentingan yaitu kepentingan pihak yang menyimpan dengan pihak yang memerlukan barang. Keputusan itu bisa dikategorikan menjadi dua yaitu: 1.
Jumlah barang yang dipesan harus ditentukan dan waktu pada saat pemesanan barang masuk konstan.
2.
Jumlah barang yang dipesan dan waktu pesanan harus ditentukan.
Salah satu pendekatan terhadap kedua keputusan ini adalah memesan dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk meminimumkan biaya pemesanan. Cara lainnya adalah memesan dalam jumlah sekecil-kecilnya untuk meminimumkan biaya pemesanan. Tindakan yang paling baik akan diperoleh dengan mempertemukan kedua titik ekstrim tersebut (Supranto, 1988).
Gambar 2.1 berikut memperlihatkan hubungan antara tingkat persediaan dan total biaya (Siagian, 1987). Biaya (Rp)
Total Inventory Cost
Total Biaya Minimum
Holding Cost
Ordering cost 0
Pesanan Optimum
Tingkat Persediaan (Q)
Gambar 2.1 Hubungan antara Tingkat Persediaan dan Total Biaya
Pada gambar 2.1 terlihat bahwa jika Q semakin besar, berarti pemesanan akan semakin jarang dilakukan, sehingga biaya pemesanan (ordering cost) akan semakin kecil. Sebaliknya jika Q semakin kecil, berarti pemesanan akan semakin sering dilakukan, sehingga biaya pemesanan yang dikeluarkan akan semakin besar. Akibatnya jika Q semakin besar (bergeser ke kanan), maka kurva ordering cost semakin menurun.
Biaya penyimpanan (holding cost) digambarkan sebagai sebuah garis lurus yang dimulai pada tingkat persediaan nol (Q = 0). Hal ini disebabkan karena komponen biaya ini secara langsung tergantung pada tingkat persediaan rata-rata. Semakin besar jumlah barang yang dipesan akan mengakibatkan semakin besar tingkat persediaan rata-rata, sehingga biaya penyimpanan akan semakin besar, yang mengakibatkan kurva holding cost semakin meningkat.
Dari gambar 2.1 terlihat bahwa antara holding cost dan ordering cost berhubungan terbalik dimana jumlah keduanya akan menghasilkan kurva total inventory cost yang convex (Mulyono, 2004). Jadi tinggi (jarak) kurva total inventory cost pada setiap titik Q merupakan hasil penjumlahan tinggi (jarak) kedua kurva komponen biaya tersebut secara tegak lurus. Solusi optimal dari fungsi tujuan akan ditemukan pada saat total inventory cost minimum (Subagyo dkk, 2000).
2.6
Model-Model Persediaan
Dalam melakukan pengendalian persediaan, sangatlah penting untuk mengetahui apakah permintaan yang ada termasuk permintaan bebas (independent) atau permintaan terikat (dependent).
Permintaan independent merupakan permintaan atas produk atau barang yang bersifat bebas, artinya tidak ada keharusan membelinya untuk kepentingan proses produksi. Sebagai contoh adalah permintaan untuk barang jadi atau suku cadang pengganti (spare part). Permintaan dependent atau disebut juga permintaan terikat,
merupakan permintaan yang disebabkan jika produk atau barang tersebut tidak ada, maka proses produksi suatu perusahaan tidak akan dapat berjalan.
Model persediaan dapat dibedakan menjadi dua jenis (Taha, 1982), yaitu:
2.6.1
Model Deterministik
Model deterministik ditandai oleh karakteristik permintaan dan periode kedatangan pesanan yang dapat diketahui secara pasti sebelumnya. Model ini terdiri dari dua, yaitu: 1.
Deterministik Statis Pada model ini tingkat permintaan setiap unit barang untuk tiap periode diketahui secara pasti dan bersifat konstan.
2.
Deterministik Dinamik Pada model ini tingkat permintaan setiap unit barang untuk tiap periode diketahui secara pasti, tetapi bervariasi dari satu periode ke periode lainnya.
Model dasar untuk persediaan deterministik adalah model Economic Order Quantity (EOQ). Model ini merupakan model sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah pesanan yang ekonomis, yaitu jumlah pesanan yang memenuhi total biaya persediaan minimum dengan mempertimbangkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan, sehingga diharapkan tidak akan ada kekurangan persediaan.
2.6.2
Model Probabilistik
Model probabilistik ditandai oleh karakteristik permintaan dan periode kedatangan pesanan yang tidak dapat diketahui secara pasti sebelumnya, sehingga perlu didekati dengan distribusi probabilitas. Model ini dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Probabilistik Stationary Pada model ini tingkat permintaan bersifat random, dimana probability density function dari permintaan konstan tidak berubah sepanjang waktu dan tidak dipengaruhi oleh waktu setiap periode.
2. Probabilistik Non Stationary Pada model ini tingkat permintaaan bersifat random, dimana probability density function dari permintaan bervariasi dari satu periode ke periode lainnya.
2.7
Hubungan Kerusakan Produk dengan Backorder
Dalam melakukan pengelolaan persediaan, jenis produk juga harus menjadi perhatian dalam menentukan kebijakan yang optimal. Hal ini disebabkan produk dapat mengalami kerusakan yang mengakibatkan kerugian bagi pemasok maupun pembeli. Kerusakan dapat terjadi ketika produk disimpan terlalu lama dalam persediaan dan ketika produk yang akan disalurkan oleh pemasok berada dalam perjalanan menuju pembeli. Produk yang dapat mengalami kerusakan antara lain susu, minuman segar, sayur-sayuran, daging, bahan makanan, produk pharmasi, gasoline dan lain-lain (Jonrinaldi dan Suprayogi, 2006).
Bentuk kerusakan yang terjadi bermacam-macam, seperti: 1. Damage yaitu kerusakan fisik produk yang disebabkan oleh benturan, gesekan, dan lainnya. 2. Spoilage yaitu kerusakan produk yang disebabkan oleh pembusukan. 3. Dryness yaitu kerusakan produk yang disebabkan oleh kekeringan.
Suatu produk dikategorikan rusak apabila terdapat kerusakan atau cacat pada produk sehingga tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan (Handhajani, 2005). Produk yang mengalami kerusakan tidak dapat diperbaiki, sehingga sebagai gantinya pembeli melakukan backorder (pemesanan kembali) untuk memenuhi kekurangan persediaan.
Backorder (pemesanan tertunda) adalah pemesanan barang atau jasa yang diterima perusahaan tetapi baru dapat dipenuhi kemudian setelah perusahaan mempunyai persediaan. Pemesanan tertunda akibat kekurangan persediaan banyak dilakukan pada perusahaan yang persediaannya bernilai tinggi (mahal) yang dapat
mempengaruhi tingginya biaya penyimpanan. Misalnya Dealer mobil dan mesin industri, jarang memiliki persediaan besar karena alasan ini (Herjanto, 2004).
Ristono (2009, hal: 55) menyatakan bahwa suatu backorder merupakan permintaan yang tidak dapat dipenuhi pada saat sekarang akibat kekurangan persediaan (stockout), tetapi kemudian dipenuhi pada periode yang akan datang. Di dalam situasi yang bersifat backorder, suatu perusahaan tidak kehilangan penjualan (pelanggan yang tidak terpenuhi) ketika persediaan habis. Hal ini dikarenakan pelanggan yang loyal (setia) terhadap produk tertentu akan menolak menggunakan produk lain dan lebih memilih untuk menunggu sampai produk tersebut tersedia. Oleh karena itu, permintaan akan dipenuhi ketika perusahaan menerima pesanan berikutnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa backorder terjadi akibat produk mengalami kerusakan yang menyebabkan kekurangan persediaan (stockout) sehingga sebagai gantinya, pembeli akan melakukan pemesanan kembali kepada pemasok pada periode berikutnya.
2.8
Hubungan antara Pembeli dan Pemasok
Manajemen Rantai Pasok merupakan metode atau pendekatan untuk mengelola aliran produk secara terintegrasi yang melibatkan pihak-pihak pengelola persediaan mulai dari supplier sampai pemakai akhir untuk meminimasi ongkos sistem secara keseluruhan (Pujawan, 2005, hal: 22).
Pengertian Manajemen Rantai Pasok menurut (Jonrinaldi dan Suprayogi, 2006) adalah pendekatan untuk pengelolaan persediaan dan distribusi secara terintegrasi antara pihak pemasok, produsen, distributor, dan pengecer untuk meminimasi ongkos sistem secara keseluruhan. Manajemen Rantai Pasok bertujuan untuk meminimasi biaya untuk seluruh rantai pasok yang terlibat sehingga kebijakan persediaan yang diperoleh merupakan optimal untuk seluruh sistem. Dalam hal ini, pihak rantai pasok yang akan bekerja sama adalah antara pemasok dan pembeli.
Pembeli memesan sejumlah unit produk kepada pemasok. Produk yang dipesan tersebut mengalami kerusakan selama dalam persediaan dengan laju kerusakan π konstan sehingga jumlah yang dipesan π akan lebih besar dari jumlah permintaan π·. Produk yang mengalami kerusakan tersebut tidak dapat diperbaiki
sehingga mengakibatkan kerugian bagi pembeli. Kerugian tersebut digambarkan sebagai biaya kerusakan πΆπ yang harus ditanggung oleh pembeli. Untuk memenuhi pesanan dari pembeli, maka pemasok memproduksi dalam π
batch produksi dalam selang waktu π1 . Sebelum produk tersebut dikirim ke pembeli,
akan terlebih dahulu disimpan dalam persediaan. Selama berada dalam persediaan, produk tersebut mengalami kerusakan. Produk yang telah diproduksi tersebut dikirim dengan beberapa kali π pengiriman dan ukuran pengiriman π unit yang sama dalam
selang waktu π3 . Dalam perjalanan produk tersebut juga akan mengalami kerusakan dan dikenakan biaya transportasi πΉ per pengiriman. Produk yang mengalami
kerusakan selama berada dalam persediaan dan ketika dalam perjalanan tersebut, akan
digantikan pada periode pengiriman produk berikutnya dengan ukuran stockout π½ unit dan biaya backorder πΎ. Oleh sebab itu, pemasok memproduksi produk dalam jumlah
melebihi permintaan pembeli (π > π·) untuk mengantisipasi adanya backorder akibat
kerusakan.
2.8.1 Tingkat Persediaan Pembeli Gambar 2.2 menunjukkan tingkat persediaan pembeli sebagai fungsi dari waktu π
dengan backorder. Dari gambar diketahui bahwa π merupakan jumlah setiap pemesanan, sedangkan π½ merupakan backorder, yaitu jumlah produk yang dipesan
oleh pembeli tetapi belum dapat dipenuhi. (π β π½) menunjukkan on hand inventory,
yaitu jumlah persediaan pada setiap awal siklus persediaan, yaitu persediaan setelah dikurangi backorder.
Gambar 2.2 Tingkat Persediaan Pembeli
Dimana: π = ukuran pengiriman (unit) π½ = ukuran stockout (unit)
π3 = waktu antara dua pengiriman berturut-turut (lead time) π = total waktu siklus (tahun)
Gambar 2.2 di atas merupakan bentuk kurva penggantian kuadratik dengan lead time π3 , karena permintaan dianggap konstan sehingga persediaan berkurang dalam jumlah yang sama dari waktu ke waktu (berkurang secara linier). Pada waktu tingkat persediaan mencapai nol, pesanan untuk batch yang baru dapat diterima, sehingga tingkat persediaan naik kembali sampai q.
Setiap siklus persediaan terdiri dari dua buah kurva pola kuadratik yang menunjukkan adanya dua tahap. Tahap pertama adalah tahap dimana permintaan pembeli dapat dipenuhi dengan on hand inventory. Tahap ini digambarkan sebagai kuva besar yang terletak di atas sumbu datar, dengan tinggi (q - J). Sedangkan tahap kedua adalah tahap dimana on hand inventory sudah nol karena sudah habis dan pesanan konsumen dapat diambil setelah tersedia beberapa waktu kemudian. Tahap ini digambarkan sebagai kurva yang terletak di bawah sumbu datar, dengan tinggi J yang menunjukkan jumlah barang yang tidak terpenuhi akibat kerusakan dan sebagai gantinya pembeli dapat memperolehnya pada periode pengiriman berikutnya (backorder).
2.8.2 Tingkat Persediaan Pemasok
Produk jadi (finished goods) merupakan produk-produk yang telah selesai diproses atau diolah dan siap untuk dikirim kepada pembeli. Pemasok sebagai pihak yang memproduksi produk, sedangkan pembeli adalah pihak yang melakukan permintaan produk kepada pemasok untuk diproduksi. Transaksi diawali dengan pemesanan produk oleh pembeli kepada pemasok dengan biaya pesan π΄, pada suatu horison perencanaan π yang terdiri atas beberapa periode π3 yang sama. Setelah
menerima pesanan dari pembeli, pemasok melakukan setup dengan biaya sebesar πΆ
untuk memulai proses produksi. Pemasok mengeluarkan biaya transportasi πΉ untuk
pengiriman produk sebanyak π pengiriman dengan ukuran yang sama kepada pembeli.
Tingkat persediaan pemasok sebagai fungsi dari waktu π ditunjukkan pada
gambar 2.3. Total waktu siklus π dibagi menjadi dua komponen yaitu π1 adalah waktu
selama pemasok berproduksi, dan π2 adalah waktu dimana pemasok berhenti
berproduksi dan hanya mengirimkan sejumlah unit produk kepada pembeli melalui persediaan yang ada.
Gambar 2.3 Tingkat Persediaan Pemasok
Dimana: π = ukuran produksi per batch produksi (unit) π = laju produksi (unit/tahun)
π· = laju permintaan (unit/tahun)
π1 = waktu pemasok berproduksi
π2 = waktu pemasok berhenti berproduksi π = total waktu siklus (tahun)
2.8.3 Biaya-Biaya Persediaan pada Pemasok dan Pembeli
(Ginting, 2007) Dengan memperhatikan hubungan terintegrasi antara pemasok dan pembeli tunggal seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat lima biaya yang mempengaruhi pengoptimalan total biaya persediaan sebagai berikut:
1. Biaya Pemesanan Biaya pemesanan merupakan biaya yang dikeluarkan pembeli sehubungan dengan pemesanan produk ke pemasok. Besar kecilnya biaya pemesanan tidak tergantung pada kuantitas pesanan tetapi frekuensi pemesanan. Semakin sering memesan produk maka biaya yang dikeluarkan akan semakin besar dan sebaliknya.
2. Biaya Pembuatan Biaya pembuatan adalah semua biaya yang ditimbulkan untuk persiapan memproduksi produk. Biasanya biaya ini timbul di dalam pabrik, yang meliputi biaya menyetel mesin, biaya mempersiapkan gambar kerja, dan sebagainya.
3. Biaya Transportasi/Pengangkutan Biaya ini meliputi seluruh biaya yang menyangkut pengangkutan produk dari pemasok
menuju
pembeli.
(Indrajit,
2002)
Beberapa
kondisi
yang
menimbulkan biaya ini yaitu pengangkutan dari gudang pemasok ke pelabuhan muat, pengangkutan dari pelabuhan muat ke pelabuhan tujuan, pengangkutan dari pelabuhan tujuan ke gudang pembeli, pengangkutan dari gudang pembeli
yang satu ke gudang pembeli yang lain, bongkar muat di pelabuhan muat, bongkar muat di pelabuhan tujuan, dan resiko klaim angkutan yang tak tertagih.
4. Biaya Penyimpanan Biaya penyimpanan merupakan biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penyimpanan produk di gudang. Besar kecilnya biaya ini sangat tergantung pada jumlah rata-rata produk yang disimpan di gudang.
5. Biaya Kerusakan Biaya kerusakan timbul akibat produk yang disimpan dalam persediaan mengalami kerusakan karena tidak dapat bertahan lama. Kerusakan produk dapat juga terjadi ketika produk berada dalam perjalanan menuju pembeli.