Bab 2
LANDASAN TEORI
2.1. Konsep Ijime Tindak ijime tidak hanya terjadi di Jepang saja, tetapi juga terjadi di berbagai negara di dunia dengan sebutan yang berbeda tentunya disesuaikan dengan bahasa yang digunakan di negara bersangkutan. Di Jepang disebut dengan “ijime”, tetapi di Amerika dan negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari, ijime disebut sebagai “bullying” (dari kata dasar bully) dan di Indonesia sendiri ijime biasa disebut dengan “intimidasi”. Bila diterjemahkan secara langsung, Mino (2006: 1) menuliskan bahwa “Menteri Pendidikan Jepang mendefinisikan ijime sebagai bentuk dari agresif, fisik atau psikologi, yang dilakukan secara sepihak dan berkelanjutan terhadap seseorang yang lebih lemah dari pada pelakunya.” Juga dilanjutkan oleh pernyataan Ishizaki dalam Mino (2006: 3) bahwa bentuk “kelompok melawan satu orang” merupakan kunci utama dari tindak ijime. Taki dalam Taki et al. (2008: 8) menuliskan definisi ijime bullying seperti berikut: “Ijime bullying is mean behavior or a negative attitude that has clear intention to embarrass of humiliate others who occupy weaker positions in a same group. It is assumed to be a dynamic used to keep or recover one's dignity by aggrieving others. Consequently, its main purpose is to inflict mental suffering on others, regardless of the form such as physical, verbal, psychological and social...”
Terjemahan : “Ijime bullying merupakan perilaku buruk atau sikap negatif yang memiliki maksud jelas untuk menghina dengan mempermalukan orang lain yang menempati posisi lebih lemah di kelompok yang sama. Hal ini diasumsikan sebagai suatu dinamika yang digunakan untuk mempertahankan atau memperbaiki martabat seseorang dengan cara merugikan orang lain. Akibatnya, tujuan utamanya adalah untuk menimbulkan penderitaan mental pada orang lain, apapun bentuknya bisa seperti secara fisik, verbal, psikologis dan sosial…”
11
12 Yang dituliskan oleh Sugimoto (2010: 146) tentang tindak ijime adalah seperti berikut: “Ijime is a collective act by a group of pupils to humiliate, disgrace, or torment a targeted pupil psychologically, verbally, or physically.”
Terjemahan : “Tindak kolektif sekelompok murid untuk menghina, mempermalukan, atau menyiksa murid lain yang menjadi target secara psikologis, verbal atau secara fisik.” Setelah mengetahui definisi ijime, kita juga perlu mengetahui struktur yang terdapat di dalam tindak ijime. Tindak ijime tidak hanya terstruktur dari pelaku dan korban saja, melainkan terstuktur oleh anak-anak yang terbagi dalam beberapa jenis kelompok, seperti yang dituliskan oleh Morita dan Kiyonaga dalam Mino (2006: 3) yaitu: “Ijime is usually structured by four groups of children: the bully (ijimekko) who act as the main perpetrator, the victim (ijimerarekko) who is a target of victimization, the audience (kanshū) who encourages or participates in ijime activities, and the bystanders (boukansha) who silently look on or pretend not to see it.”
Terjemahan : “Ijime umumnya terstruktur oleh empat kelompok anak: pelaku tindak intimidasi (ijimekko) merupakan anak yang menjadi pelaku utamanya, korban (ijimerarekko) merupakan anak yang menjadi target atau korban intimidasi, penonton (kanshū) merupakan anak yang menyorakkan atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan intimidasi, dan pengamat (boukansha) merupakan anak yang secara diam-diam melihat atau berpura-pura tidak melihat kejadian tersebut.” 2.1.1. Jenis Tindak Ijime Tindak ijime tidak hanya terdiri dari satu tindakan saja, melainkan terdiri dari bermacam-macam tindakan, seperti yang dituliskan oleh Taki dalam Taki, Slee, Hymel, Pepler, Sim dan Swearer (2008: 8) bahwa tindak ijime dapat dibagi menjadi empat macam tindakan, yaitu: 1. Fisik Sebagai contoh: memukul, menendang, menampar, mendorong, mengambil barang atau merusak barang milik korban.
13 2. Verbal Sebagai contoh: menghina, mengancam, berkata kasar pada korban. 3. Psikologis Sebagai contoh: memanggil korban dengan julukan dengan tujuan mengganggu atau menggoda korban, bersikap sinis, membuat raut wajah yang merendahkan dan mengancam. (Goncalves dan de Matos, 2008: 83) 4. Sosial Sebagai contoh: tidak memperdulikan, menyebarkan rumor atau gosip, menyebarkan hal-hal buruk mengenai korban sehingga orang lain menjadi tidak menyukai korban, menggunakan komputer, e-mail atau pesan singkat untuk mengganggu korban atau membuat korban terkesan buruk.
Dijabarkan lebih lanjut, Yoneyama (2005: 160-161) menuliskan bahwa ekpresi kekerasan secara fisik tidak hanya terjadi pada murid laki-laki tetapi juga terjadi pada murid perempuan. Selain itu Yoneyama (2005: 160-161) juga menuliskan beberapa jenis tindak ijime, seperti: 1. Secara fisik Dilakukan terhadap korban berupa tindakan menendang dan memukul (memungkinkan juga menggunakan siku untuk menyenggol korban). Bentuk kekerasan fisik lainnya seperti membuat korban tersandung, melemparkan barang ke arah korban, menaruh paku di sepatu atau di bangku korban. 2. Berupa pemaksaan Tindakan berupa pemaksaan seperti menyuruh korban untuk membeli makanan ringan atau cemilan tetapi uang yang diberikan oleh pelaku sebenarnya tidak cukup untuk membeli cemilan tersebut, bentuk lainnya berupa pemerasan uang terhadap korban (hal ini disebut sebagai katsuage). 3. Tindak ijime yang paling umum Tindak ijime ini biasa yang dilakukan di dalam kelas berupa tindak pengabaian terhadap korban, dan mungkin saja seluruh murid dalam satu kelas tersebut bersikap seolah-olah murid yang menjadi korban ijime tersebut tidak pernah ada. 4. Secara verbal Ijime juga dapat berupa tindakan secara verbal dan berupa hinaan, contohnya menggunakan perkataan seperti: bau (kusai), kotor atau pencemaran (kitanai), kuman (baikin), sampah (gomi), mati saja (shine).
14 5. Tidak dikategorikan sebagai tindak fisik maupun verbal Tindak ijime tersebut dilakukan dengan menyembunyikan, merusak atau umumnya membuang barang milik korban ke toilet. 6. Tindak pelecehan seksual Ijime juga dapat berupa tindak pelecehan seksual seperti menelanjangi korban di depan teman-teman yang lain, melaporkan dengan suara kencang tentang kegiatan yang dilakukan korban ketika di toilet dan tindak pelecehan seksual lainnya.
2.1.2. Faktor Penyebab Terjadinya Ijime Dari setiap tindakan yang seseorang ambil dan seseorang lakukan tentu memiliki suatu alasan atau adanya hal yang melatar belakangi (penyebab) orang tersebut untuk melakukannya. Menurut Naito (2009: 15-17) terdapat dua puluh satu penyebab dari ijime yang sudah disosialisasikan oleh para ahli, tetapi yang penulis gunakan hanya tiga penyebab yaitu: 1. 家族の人間関係の希薄化。 2. 少年化・核家族化などによる家族の濃密化。 3. 親や教師や他の子どもたちから痛めつけられて、暴力を学習 した。
Terjemahan : 1. Hubungan antar anggota keluarga yang melemah. 2. Jumlah kakukazoku yang semakin banyak dan kurangnya generasi muda. 3. Rasa sakit yang didapat dari orang tua atau guru atau dari anak lainnya, sehingga membuat seorang anak dapat mempelajari kekerasan. Hal lainnya yang menjadi faktor seorang anak melakukan ijime adalah karena anak yang menjadi pelaku tindak ijime tersebut sebelumnya juga pernah mengalami tindak ijime atau memiliki pengalaman mendapat perlakuan ijime, sehingga dari hal buruk yang menimpa dirinya menumbuhkan keinginan untuk melakukan tindak ijime kepada anak lainnya. Seperti pernyataan yang dituliskan oleh Morita et. al dalam Yoneyama (2008), yaitu: “According to the most comprehensive survey on bullying in Japan, about a quarter of students in primary and junior high school are
15 involved in bullying, and nearly of the student who had been bullied were bullied by close friends. …so that almost 10% of primary school students and over 4% of junior high school students are ‘bully-victims’; i.e., they are bullied and they in turn bully other.”
Terjemahan : “Menurut survei terlengkap mengenai bullying (ijime atau penindasan) di Jepang, berkisar seperempat siswa tingkat SD dan tingkat SMP terlibat dengan tindak penindasan, dan hampir dari seluruh siswa yang pernah mengalami penindasan tersebut mengalaminya karena ditindas oleh teman dekat mereka. …oleh sebab itu hampir 10% siswa tingkat SD dan lebih dari 4% siswa tingkat SMP merupkan ‘pelaku dan korban’; yaitu mereka mengalami penindasan dan kemudian mereka menindas siswa lainnya.” Kemudian hal tersebut juga didukung oleh pernyataan yang dituliskan oleh Taki (2001) dalam Yoneyama (2008), yaitu: “The ‘role’ of perpetrator and victim was found to rotate.” Yang bila diterjemahkan berarti: “ditemukan bahwa ‘peran’ antara pelaku dan korban saling berotasi.” Sehingga seorang pelaku dari tindak ijime mungkin saja sebelumnya merupakan korban dari tindak ijime, ataupun sebaliknya seorang korban dari tindak ijime mungkin saja dahulunya dia merupakan pelaku dari tindak ijime.
2.1.3. Dampak Ijime Dari setiap kegiatan, situasi atau fenomena tentu memiliki suatu hasil atau efek, bisa berupa hasil atau efek yang bersifat positif maupun hasil atau efek yang bersifat negatif. Dampak negatif dari ijime ada beragam seperti memicu murid yang absen dari sekolah (futokō) (Yoneyama, 2008), memungkinkan juga anak yang menjadi anti-sosial bahkan dampak lain yang mungkin saja terjadi adalah korban ijime (ijimerarekko) melakukan tindak bunuh diri atau jisatsu. Seperti yang ditulis oleh Sugimoto (2010: 147) yaitu: “Some children victimized by acts of ijime have committed suicide.” Yang bila diterjemahkan berarti: “Sejumlah anak yang menjadi korban tindak ijime melakukan bunuh diri.” Hal ini didukung oleh pernyataan Shariff (2008: 53), yaitu: “Ijime-jisatsu is one of the disastrous and culturally incidental consequences of the ijime phenomenon in Japan.” Yang bila diterjemahkan berarti: “Ijime-jisatsu merupakan konsekuensi bencana dan insiden budaya dari fenomena ijime di Jepang.”
16
2.2. Konsep dan Dampak Kakukazoku Sejak sekitar tahun lima puluhan, jumlah penduduk kota di Jepang mulai mengalami peningkatan. Bidang industri Jepang mulai maju berkembang dan menjadikan Jepang negara Industri, sehingga menyebabkan terjadinya urbanisasi dari desa ke kota karena lokasi tempat tinggal dan lokasi tempat kerja yang berjauhan. Selain itu karena bidang industri di Jepang mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga menyebabkan bermunculannya tenaga kerja wanita diberbagai bidang pekerjaan, kemudian hal ini juga menjadikan seorang istri menjadi mitra yang sejajar dengan suami dan istri juga memainkan peran ekonomi yang tidak bisa diabaikan begitu saja (Tobing, 2006: 43, 68). Karena bidang industri yang berkembang juga menyebabkan penduduk yang melakukan urbanisasi membentuk keluarga baru yang disebut dengan keluarga batih. Perubahan sistem keluarga di kota juga disebabkan oleh menurunnya jumlah kelahiran dan bertambahnya jumlah keluarga batih (Tobing, 2006: 41, 70). Sejak itu sistem keluarga Jepang bergeser dari sistem keluarga ie (家) menjadi sistem keluarga kakukazoku (核家族). Kakukazoku juga dikenal dengan sebutan keluarga inti atau keluarga batih atau keluarga nuklir. Penjelasan singkat mengenai keluarga batih, yaitu : “Keluarga nuklir adalah bentuk keluarga yang anggotanya terdiri dari hanya satu generasi, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah.” (Tobing, 2006: 41) Salah satu faktor penyebab terjadinya perilaku ijime adalah faktor kakukazoku seperti yang sebelumnya sudah penulis kutip dari Naito (2009: 15-17). Berhubungan dengan hal tersebut, Goodman, Imoto dan Toivonen (2012: 11) menuliskan: “Ijime was also frequently discussed in connection with the ‘ills’ of the nuclear family and the consequences of individualization in a ‘risk society’.”
Terjemahan : “Ijime juga sering dibahas dalam kaitannya dengan ‘penyakit’ dari keluarga batih dan konsekuensi dari individualisasi dalam ‘resiko bermasyarakat’.”
17 Komori, Miyazato dan Orii dalam Cusumano (2003) menuliskan bahwa perkembangan ekonomi Jepang menyebabkan pertumbuhan kebutuhan akan tenaga kerja dan karena itu semakin bertambahnya jumlah keluarga batih. Jumlah suami yang bekerja dengan giat dan jumlah keluarga dengan pendapatan ganda (suami dan istri bekerja) juga semakin meningkat sehingga hal ini menyebabkan kerapuhan pada keluarga Jepang. Selain itu, Ronald dan Alexy dalam Horiguchi (2011: 221) juga menuliskan bahwa dibandingkan dengan sistem keluarga ie yang tradisional, sistem keluarga batih bersifat lebih individualis dan masalah umum dari keluarga batih Jepang menyebabkan kepanikan terhadap moral remaja seperti pembolosan sekolah, tindak intimidasi maupun hikikomori.
2.3. Konsep Fungsi Afeksi Keluarga memiliki banyak fungsi, diantaranya yaitu: fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi ekonomis dan fungsi-fungsi lainnya. Afeksi atau biasa disebut sebagai kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia dan afeksi juga berpengaruh terhadap emosional seseorang. Menurut Fromm, Schindler dan Hayanagi dalam Horton dan Hunt (1984: 277) tentang fungsi afeksi dalam keluarga, yaitu: “Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Pandangan psikiatrik berpendapat bahwa barangkali penyebab utama gangguan emosional, masalah perilaku dan bahkan kesehatan fisik terbesar adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan, hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan assosiasi yang intim.” Afeksi memepengaruhi tingkat emosional seseorang dan dari tingkat emosional seseorang dapat berpengaruh pada tindakan yang dilakukan orang tersebut. Hal ini seperti yang dituliskan juga oleh Horton dan Hunt (1984: 277), bahwa: “Setumpuk data menunjukkan bahwa kenakalan yang serius adalah salah satu ciri khas dari anak yang sama sekali tidak mendapat perhatian atau merasakan kasih sayang. Seperti seorang bayi, yang mendapat perawatan fisik sangat baik, namun tidak ditimang-timang dan tidak mendapat kasih sayang kemungkinan sekali akan berkembang ke suatu kondisi yang secara medis dikenal sebagai marasmus (dari kata yunani yang berarti ‘merana’).”
18 Selain itu juga Levinson dalam Horton dan Hunt (1984: 277) menuliskan bahwa, barang-barang yang diberikan orang tua kepada anak mereka tidak dapat menggantikan waktu maupun kehadiran orang tua bagi seorang anak, karena yang dibutuhkan anak sesungguhnya adalah cinta dan rasa aman yang mereka dapatkan langsung dari orang tua.