16
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Manufacturing Resource Planning (MRP II) MRP (Material Requirement Planning) telah digunakan secara meluas pada industri-industri manufaktur dan menghasilkan pengurangan persediaan secara ratarata sebesar 20-30%. Keberhasilan konsep dasar MRP tersebut mengakibatkan perluasan aplikasinya pada bidang lain selain produksi. (A.H Nasution, p 144) Aplikasi-aplikasi tersebut memperluas peran konsep MRP lebih dari sekadar proses penentuan kebutuhan material. Fenomena ini melahirkan konsep baru yang disebut Perencanaan Sumber Daya Manufaktur (Manufacturing Resource Planning, MRP II). MRP II meliputi perencanaan strategi keuangan sebagaimana perencanaan produksi melalui penggunaan kemampuan simulasi untuk menjawab permasalahan ”apa yang terjadi jika faktor penyebab berubah” (what-if). Melynk dan kawan-kawan (1983) menjabarkan ciri-ciri utama MRP II sebagai berikut : (A.H Nasution, p 145) 1. MRP II adalah sistem dari atas ke bawah (a top down system), dimulai dari formulasi perencanaan strategi bisnis yang diformalkan dan dikemukakan kembali sebagai strategi-strategi fungsional. 2. MRP II menggunakan basis data umum untuk mengevaluasi alternatif-alternatif kebijaksanaan yang mungkin. Data manufaktur dapat dikonversikan menjadi data
17
keuangan, dan prosedur-prosedur formal diadakan untuk menjaga keakuratan perubahan data. Kemampuan ”what-if” digunakan sebagai kebiasaan dalam mengevaluasi perencanaan alternatif. Sistem ini mampu untuk mengolah data detail dalam kebutuhan sumber daya untuk proses evaluasi. 3. MRP II adalah sistem perusahaan secara keseluruhan (a total company system), dimana kelompok-kelompok fungsional berinteraksi secara formal seperti biasanya dan membuat keputusan-keputusan bersama. 4. MRP II adalah sistem nyata bagi pengguna (user-transparent). Penggunaan pada seluruh tingkatan harus mengerti dan menerima logika dan realisme dari sistem tersebut dan tidak bekerja di luar sistem yang diformalkan.
MRP II merupakan suatu sistem terintegrasi yang menyediakan data di antara berbagai aktivitas produksi dan area fungsional lainnya dari bisnis secara keseluruhan. Sistem MRP II mengkoordinasikan pemasaran, manufakturing, pembelian, dan rekayasa melalui pengadopsian rencana produksi serta melalui penggunaan satu data base terintegrasi guna merencanakan dan memperbaharui aktivitas dalam sistem industri modern secara keseluruhan. Pada dasarnya, dalam sistem MRP II perencanaan produksi dikembangkan dari perencanaan strategik bisnis yang melibatkan manajemen puncak dari perusahaan industri itu. (Gaspersz, 1998, p 20) Dalam sistem MRP II, departemen produksi diharapkan untuk memproduksi pada tingkat produksi yang telah ditetapkan dan menjadi komitmen dari manajemen
18
industri itu. Departemen pemasaran kemudian akan memasarkan produk pada tingkat produksi yang telah ditetapkan itu.
2.2 Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam Sistem MRP II Pada dasarnya perencanaan manufakturing (manufacturing planning) mencakup perencanaan terhadap output dan input dari operasi manufakturing yang dikelompokkan dalam dua jenis perencanaan, yaitu perencanaan prioritas (priority planning) yang berkaitan dengan perencanaan output dan perencanaan kapasitas (capacity planning) yang berkaitan dengan perencanaan input. Perencanaan prioritas menentukan produk-produk atau prioritas-prioritas dari operasi manufakturing untuk memenuhi permintaan pasar, seperti: produk apa yang dibutuhkan, berapa banyak yang dibutuhkan, bilamana dibutuhkan, termasuk spesifikasi kualitas, dan lain-lain. Sedangkan perencanaan kapasitas menentukan sumber-sumber daya (input) atau tingkat kapasitas yang dibutuhkan oleh operasi manufakturing untuk memenuhi jadwal produksi atau output yang diinginkan, membandingkan kebutuhan produksi dengan kapasitas yang tersedia, dan menyesuaikan tingkat kapasitas atau jadwal produksi. Perencanaan kapasitas mencakup kebutuhan sumber-sumber daya manufakturing seperti : jam mesin, jam tenaga kerja, fasilitas peralatan, ruang untuk tempat penyimpanan (warehouse space), energi dan sumber-sumber daya keuangan. Dalam sistem MRP II, perencanaan kapasitas tidak mencakup material, karena perencanaan material ditangani oleh fungsi perencanaan prioritas melalui penjadwalan produksi induk (master production
19
scheduling, MPS) dan perencanaan kebutuhan material (material requirement planning, MRP). (Gaspersz, 1998, p 125) Pada dasarnya terdapat empat tingkat dalam hierarki perencanaan prioritas dan kapasitas yang terintegrasi, antara lain: 1. Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya 2. Penjadwalan Produksi Induk (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP) 3. Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) 4. Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta Operations Sequencing
20
Hierarki Tingkat Perencanaan Strategik
Perencanaan Strategik Bisnis
Perencanaan Kapasitas
Perencanaan Prioritas
Manejemen Permintaan
Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP)
Perencanaan Produksi
Tingkat Perencanaan Taktikal
Penjadwalan Produksi Induk (MPS)
Rough-Cut Capacity Planning (RCCP)
Tingkat Perencanaan Operasional
Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)
Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP)
Tingkat Pelaksanaan Dan Pengendalian
Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC)
Pengendalian Kapasitas
Operations Sequencing
Outgoing Products
Pengendalian Input/Output
Keteranga = Hubungan dua arah, termasuk umpan balik n: MPS = master Production Scheduling CRP = Capacity Requirements Planning MRP = Material Requirements Planning PAC = Production Activity Control
Sumber : Vincent Gaspersz (2000, p 127)
Gambar 2.1 Hierarki Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam Sistem MRP II
2.2.1 Perencanaan Produksi Perencanaan produksi merupakan suatu proses penetapan tingkat output manufakturing secara keseluruhan guna memnuhi tingkat penjualan yang direncanakan dan inventori yang diinginkan. Rencana produksi mendefinisikan tingkat manufakturing, biasanya dinyatakan sebagai tingkat bulanan atau lebih, untuk setiap kelompok produk. Rencana produksi harus konsisten dengan Rencana Bisnis, yang dalam sistem MRP II merupakan input bagi proses Perencanaan Produksi. (Gaspersz, 2004, p 128)
21
Perencanaan produksi sebagai suatu perencanaan taktis adalah bertujuan memberikan keputusan yang optimum berdasarkan sumber daya yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi permintaan akan produk yang dihasilkan. Yang dimaksud dengan sumber daya yang dimiliki adalah kapasitas mesin, tenaga kerja, teknologi yang dimiliki, dan lainnya. Keterlibatan menejemen puncak pada tahap perencanaan produksi sangat diperlukan, khususnya perencanaan mengenai penentuan pabrikasi, pemasaran, dan keuangannya. Dari sudut pandang pabrikasi, perencanaan produksi membantu dalam menentukan berapa peningkatan kapasitas yang dibutuhkan dan penyesuaianpenyesuaian kapasitas apa saja yang perlu dilakukan. Dari sudut pandang pemasaran, perencanaan produksi menentukan ”berapa” jumlah produk yang akan disediakan untuk memenuhi permintaan. Dari sudut pandang keuangan, perencanaan produksi mengidentifikasikan besarnya kebutuhan dana dan memberikan dasar dalam pembuatan anggaran. (A.H Nasution, 2003, p 63) Perencanaan produksi dimulai dengan meramalkan permintaan secara tepat sebagai input utamanya. Selain peramalan, input-input untuk peramalan produk tersebut juga harus memasukkan pesanan-pesanan aktual yang telah dijanjikan, kebutuhan spare-part dan servis, kebutuhan persediaan gudang, dan penyesuaian tingkat persediaan sebagaimana yang telah ditentukan dalam perencanaan strategi bisnis.
22
Perencanaan agregat kemudian dikembangkan untuk merencanakan kebutuhan produksi bulanan atau triwulanan bagi kelompok-kelompok produk sebagaimana yang telah diperkirakan dalam peramalan permintaan. Kapasitas kotor harus dipertimbangkan selama periode perencanaan agregat tersebut. Hal ini berarti manajemen harus membuat penyesuaian kapasitas jangka menengah bila tingkat produksi tidak dapat mencapai permintaan yang ada. Bila kecenderungan terjadinya kondisi tersebut berlangsung dalam jangka yang lama, manajemen harus mengubah strategi sumber daya-nya. (A.H Nasution, 2003, p 64)
2.2.2 Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP) Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP) merupakan suatu proses yang mengevaluasi Rencana Produksi guna menentukan sumber daya jangka panjang seperti: tanah, fasilitas, mesin-mesin dan tenaga kerja adalah tersedia. Pada tingkat RRP, produk-produk sering diagregasikan ke dalam kelompok atau famili dari itemitem serupa, dan suatu item typical dalam kelompok digunakan untuk menghitung beban (load) untuk kelompok secara keseluruhan. Apabila sumber-sumber daya itu telah tersedia, rencana produksi dapat dilaksanakan. Namun apabila sumber-sumber daya itu tidak cukup, rencana produksi harus diubah, atau mencari tambahan sumber daya itu. Apabila sumber daya yang direncanakan dan dibutuhkan adalah sama, Rencana Produksi dianggap layak untuk diteruskan ke tingkat hirarki berikut, yaitu: MPS untuk dilaksanakan. (Gaspersz, 1998, p 128)
23
2.2.3 Penjadwalan Produksi Induk (MPS) MPS menguraikan Rencana Produksi untuk menunjukkan kuantitas produk akhir yang akan diproduksi untuk setiap periode waktu (biasanya mingguan apabila menggunakan sistem MRP II atau harian apabila menggunakan sistem JIT) sepanjang horizon perencanaan taktis (biasanya satu tahun). Apabila Rencana Produksi menunjukkan tingkat produksi untuk kelompok produk, MPS menjadwalkan kuantitas spesifik dari produk akhir dalam periode waktu spesifik. (Gaspersz, 1998, p 128) MPS bukan merupakan peramalan, tetapi lebih merupakan suatu jadwal yang berisikan informasi tentang “kapan” produksi harus diselesaikan. MPS semakin berperan pada sistem manufaktur yang besar. Semakin besar sistem tersebut, maka masalah perencanaan dan pengendaliannya menjadi semakin sulit, karena banyaknya jenis item yang diproduksi. (A.H Nasution, 2003, p 64) Berikut adalah contoh tabel MPS dan keterangannya; Tabel 2.1 Contoh Tabel MPS Item No : Lead Time : On Hand : Periode Forecast Actual Order Project Available Balance Available to Promise Master Scheduled Kapasitas Produksi Terpasang (KPT)
Description : Safety Stock : Demand Time Fences : Planning Time Fences : Past Due 1 2 3 4 5 6 7 8 9
24
Keterangan untuk tabel diatas adalah : 1. Item no. menyatakan kode komponen atau material yang dirakit. 2. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk merelease atau memproduksi suatu end item. 3. Safety stock menyatakan cadangan material yang harus ada ditangan sebagai antisipasi kebutuhan dimasa yang akan datang. 4. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 5. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 6. Demand Time Fences ( DTF ) adalah periode mendatang dari MPS di mana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal. 7. Planning Time Fences ( PTF ) adalah periode mendatang dari MPS di mana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya. MPS biasanya dinyatakan sebagai Firmed Planned Order (FPO) dalam PTF. PTF sering ditetapkan pada waktu tunggu kumulatif. Waktu tunggu kumulatif merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi produk sejak awal, yang merupakan jalur waktu terpanjang dari puncak (end items) ke bawah (raw materials) dalam struktur produk.
25
8. Forecast
merupakan
hasil
peramalan
sebelumnya
sebagai
hasil
dari
perencanaan agregat. 9. Actual Order ( AO ) merupakan jumlah pesanan yang telah diterima sebelumnya. 10. Projected Available Balance ( PAB ) merupakan perkiraan jumlah sisa produk pada akhir periode.
PAB t ≤DTF = PAB t 1 + MS t - AO t PAB DTF≤1≤PTF = PAB t -1 + MS t - AO t atau Ft yang paling besar 11. Available to Promise ( ATP ) memberikan informasi berapa banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk pemesanan pelanggan. ATP tidak boleh minus. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi lost sales. ATP = ATPt -1 + MS t - AO 12. Master Schedule ( MS ) merupakan hasil konversi dari perencanaan agregat yang akan diproduksi. 13. Kapasitas produksi Terpasang ( KPT ) merupakan hasil konversi dari perencanaan agregat yang akan diproduksi.
2.2.4 Rough Cut Capacity Planning (RCCP)
RCCP kemudian dibuat untuk menganalisis kemampuan dari kapasitas pabrik pada titik-titik kritis dari proses produksi berdasarkan MPS yang telah dibuat. Perencanaan RCCP menitik beratkan pada operasi-operasi khusus seperti perakitan
26
akhir, pengecatan, atau proses penyelesaian akhir untuk menentukan titik-titik dimana kemacetan mungkin terjadi. Rough Cut Capacity Planning (RCCP) menentukan apakah sumber daya yang
direncanakan adalah cukup untuk melaksanakan MPS. RCCP menggunakan definisi dari unit procduct loads yang disebut sebagai: profil produk-beban (product-load profiles, bills of capacity, bills of resource, atau bill of labor). Penggandaan beban
per unit dengan kuantitas produk yang dijadwalkan per periode waktu akan memberikan beban total per periode waktu untuk setiap pusat kerja (work center). RCCP adalah lebih terperinci daripada RRP, karena RCCP menghitung beban untuk semua item yang dijadwalkan dan dalam periode waktu aktual. (Gaspersz, 1998, p 128) Apabila proses RCCP mengindikasikan bahwa MPS adalah layak, MPS akan diteruskan ke proses MRP guna menentukan bahan baku atau material, komponen dan subassemblies, yang dibutuhkan. Dalam perusahaan yang berorientasi pada kapasitas seperti industri kimia, apabila RCCP mengindikasikan ada masalah dengan MPS, perencana harus mengubah MPS melalui salah satu menjadwalkan ulang pesanan-pesanan pelanggan (customer orders) atau melalui pemberitahuan ke bagian pemasaran untuk tidak menjual melebihi kapasitas yang ada. (Gaspersz, 1998, p 129)
2.2.5 Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)
MRP mengembangkan pesanan-pesanan yang direncanakan untuk bahan baku, komponen, dan subassemblies yang dibutuhkan untuk memnuhi MPS. MRP juga merekomendasikan penjadwalan ulangterhadap open orders apabila due dates dan
27
need dates tidak sama. MRP menggunakan inventori dan Bills of Materials (BOM)
sebagai tambahan pada MPS untuk dijadikan input. (Gaspersz, 2004, p 129) Teknik perencanaan kebutuhan material (Material Requirement Planning, MRP) digunakan untuk perencanaan dan pengendalian item barang (komponen) yang tergantung (dependent) pada item-item di tingkat (level) yang lebih tinggi. Kebutuhan pada item-item yang bersifat tergantung merupakan hasil dari kebutuhan yang disebabkan oleh penggunaan item-item tersebut dalam memproduksi item yang lain, seperti dalam kasus di mana bahan baku dan komponen assembling yang digunakan untuk memproduksi produk jadi. Sebagai contoh, ada hubungan tiga roda untuk satu becak yang diproduksi. Jadi, permintaan untuk produk akhir (becak) mungkin bersifat kontinyu dan tidak tergantung (independent), tetapi permintaan untuk item level yang lebih rendah, yaitu roda becak adalah bersifat tergantung pada kondisi berapa ”jumlah” becak yang akan diproduksi. Sifat kebutuhan yang tergantung ini tidak terjadi secara acak, tetapi terjadi secara lumpy karena adanya penerapan jadwal produksi berdasarkan lot-lot. Meskipun item-
item yang bersifat tergantung mungkin dibutuhkan secara kontinyu, item-item tersebut lebih ekonomis bila diproduksi secara lot-lot. (A.H Nasution, 2003, p 127) Lumpy demand dapat digambarkan sebagai pola yang tidak teratur dan tidak
kontinyu dimana sejumlah besar permintaan dibutuhkan waktu dan hanya sedikit ataupun tidak sama sekali pada suatu waktu yang lain. (A.H Nasution, 2003, p 128)
28
Ada empat kemampuan yang menjadi ciri utama dari sistem MRP, yaitu: 1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat. Maksudnya adalah menentukan secara tepat ”kapan” suatu pekerjaan harus diselesaikan atau ”kapan” material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan pada Jadwal Induk Produksi. 2. Membentuk kebutuhan minimal untuk setiap item. Dengan diketahuinya kebutuhan akan produk jadi, MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (berdasarkan prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item komponen. 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan Maksudnya adalah memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan terhadap pesanan harus dilakukan, baik pemesanan yang diperoleh dari luar atau dibuat sendiri. 4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis. Jika penjadwalan masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, berarti perusahaan tidak memapu memenuhi permintaan konsumen, sehingga perlu dilakukan pembatalan atas permintaan konsumen tersebut. (A.H Nasution, 2003, p 129)
29
Sistem MRP memerlukan syarat pedahuluan dan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Bila syarat pendahuluan dan asumsi-asumsi tersebut telah dipenuhi, maka kita bisa mengolah MRP dengan empat langkah dasar sebagai berikut: 1. Netting (Perhitungan kebutuhan bersih) Kebutuhan bersih (NR) dihitung sebgai nilai dari kebutuhan kotor (GR) minus jadwal penerimaan (SR) minus persediaan di tangan (OH). Kebutuhan bersih dianggap nol bila NR lebih kecil dari atau sama dengan nol. 2. Lotting (Penentuan ukuran lot) Langkah ini bertujuan menentukan besarnya pesanan individu yang optimal berdasarkan hasil dari perhitungan kebutuhan bersih. Metode yang umum dipakai dalam prakteknya adalah Lot-for Lot (L-4-L). 3. Offseting (Penentuan waktu pemesanan) Langkah ini bertujuan agar kebutuhan komponen dapat tersedia tepat pada saat dibutuhkan dengan memperhitungkan lead time pengadaan komponen tersebut. 4. Explosion Langkah ini merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item (komponen) pada level yang lebih rendah daristruktur produk yang tersedia. (A.H Nasution, 2003, p 136-137)
30
Berikut merupakan contoh tabel MRP dan keterangannya; Tabel 2.2 Contoh Tabel MRP Part No : BOM UOM : Lead Time : Safety Stock : Period
PastDue
1
Description : On Hand : Order Policy : Lot Size : 2 3 4 5 6 7
Gross Requirements Scheduled Receipts Projected Available Balance 1 Net Requirement Planned Order Receipts Planned Order Release Projected Available Balance 2
Keterangan dari Tabel 2.2 diatas adalah : 1. Item no. menyatakan kode komponen atau material yang dirakit. 2. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk merelease atau memproduksi suatu end item. 3. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang dirakit. 4. Safety stock menyatakan cadangan material yang harus ada ditangan sebagai antisipasi kebutuhan dimasa yang akan datang. 5. Description menyatakan deskripsi material secara umum.
6. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya.
31
7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan dalam memesan barang. 8. Lot size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang. 9. Gross requirement menyatakan jumlah yang akan diproduksi atau dipakai pada setiap periode. Untuk end item
kuantitasnya sama dengan MPS. Untuk
komponen kuantitasnya diturunkan dari Planned Order Release induknya. 10. Schedule Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada periode tertentu. 11. Projected Available Balance 1 ( PAB 1 ) menyatakan kuantitas material yang ada ditangan sebagai persediaan pada awal periode. PAB 1 dapat dihitung dengan PAB1 = (PAB2)t-1 - (Gross Requirement)t + (Schedule Receipts)t 12. Net requirement menyatakan jumlah bersih dari setiap komponen yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk memenuhi induk MPS. Net Requirement = (PAB1)t + Safety Stock
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan pada periode tertentu. 14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus direlease atau dimanufaktur sehingga komponen ini tersedia ketika ketika dibutuhkan oleh induk itemnya.
32
15. Projected Available Balance 2 ( PAB 2 ) menyatakan kuantitas material yang ada ditangan sebagai persediaan pada periode akhir. PAB2 = (PAB1)t-1 - (Gross Requirement)t + (Schedule Receipts)t + (Planned Order Receipts)t atau,
PAB2 = (PAB1)t + (Planned Order Receipts)t
Menurut Browne (1996, p 359) banyak alasan yang ditemukan untuk performa yang buruk dari sistem MRP pada prakteknya. Beberapa dari ini berhubungan dengan kebutuhan untuk memperluas pengetahuan pada pemikiran MRP dan adanya kebutuhan komitmen dari top management untuk memastikan kesuksesan. Alasan lain, lebih merupakan permasalahan teknis dalam kenyataan, dan mencakup; Lead Times (Waktu tunggu) : MRP mengasumsikan waktu tunggu produksi
diketahui dan pasti. Setiap produk diberikan waktu tunggu produksi yang telah ditetapkan. Waktu tersebut adalah estimasi, dan tidak beruntungnya, pengguna MRP seringkali memperlakukan mereka (waktu tunggu) merupakan angka yang sangat tepat. Design / Quality : Bagian dari perancangan desain lingkungan produksi dan
perhatian pada permasalahan kualitas tidak diberikan oleh instalasi sistem MRP. Sistem MRP cenderung mengasumsikan bahwa lingkungan ada sebagaimana adanya sekarang, dan tidak akan berubah. Ini memberikan peningkatan kebutuhan untuk perancangan desain produk pada koordinasi aktual dari subsistem.
33
Infinite Capacity : MRP mengasumsikan kapasitas tidak terbatas. Sebagai
contoh, ketika MPS diturunkan, semua sumber daya yang digunakan pada lantai produksi diasumsikan dapat memenuhi setidaknya kapasitas yang sesuai untuk memenuhi penjadwalan yang ada. JIT pada penjadwalan produksinya akan membatasi kapasitas. Pada JIT, kartu Kanban digunakan untuk mengendalikan kapasitas.
2.2.6 Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP)
Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) membandingkan kapasitas yang dibutuhkan terhadap projected available capacity untuk open manufacturing orders dan planned manufacturing orders yang dihasilkan oleh sistem MRP. CRP menggunakan routing files dan informasi pusat kerja untuk menghitung beban yang dijadwalkan pada pusat-pusat kerja, dengan menggunakan infinite capacity. Jika projected capacity berbeda dengan yang dibutuhkan oleh projected load, perencana
dapat merekomendasikan tindakan-tindakan korektif kepada manajemen puncak termasuk mengurangi atau menjadwalkan ulang pesanan-pesanan, merekrut atau mengurangi tenaga kerja, mengalihtugaskan pekerja, mensubkontrakkan atau melakukan alternate routings. Apabila CRP mengindikasikan bahwa beban dari pesanan yang dikeluarkan ditambah jadwal MRP dari pesanan yang direncanakan adalah layak dari sudut pandang kapasitas, pesanan yang direncakan itu dikeluarkan ke Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) untuk dilaksanakan.
34
2.2.7 Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta Operations Sequencing
PAC
mengembangkan
jadwal
jangka
pendek
yang
terperinci
dengan
menggunakan component due dates dari MRP dan detailed routings. Jadwal PAC biasanya dalam bentuk hari, atau kadang-kadang jam, dan cenderung mencakup waktu dari satu sampai tiga bulan. PAC melibatkan perencanaan, pengeluaran, dan pengendalian pesanan-pesanan manufakturing. Pengendalian Input/Output memantau kuantitas dari pekerjaan yang datang pada pusat kerja dan yang meninggalkan pusat kerja itu. Perencana produksi membandingkan aktual pekerjaan yang tiba dan banyaknya yang diselesaikan, kemudian mengambil tindakan korektif seperti menambah jam kerja lembur (overtime), mentransfer pekerja di antara pusat-pusat kerja, alternate routings terhadap transfer beban ke pusat kerja lain, atau melakukan splitting dan/atau overlapping operations. Operations Sequencing merupakan suatu teknik simulasi untuk perencanaan
jangka pendek dan priority dispatching dari pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan pada setiap pusat kerja, berdasarkan pada kapasitas sekarang, prioritas, routings, dan informasi lain. PAC
mewakili
pelaksanaan
dan
pengendalian
dari
rencana-rencana
manufakturing yang telah dikembangkan dalam tingkat perencanaan yang lebih tinggi. Pada level ini, pekerjaan benar-benar secara aktual diselesaikan, juga
35
memberikan umpan balik yang bermanfaat untuk digunakan oleh tingkat yang lebih tinggi dalam meningkatkan proses perencanaan mereka. (Gaspersz 1998, p 127) Sistem Just in Time mempunyai pengaruh dalam penerapan PAC. Hal itu dikemukakan Vollman di dalam bukunya Manufacturing Planning & Control Systems. Sistem formal pada pengendalian lantai produksi tidak penting lagi di bawah
JIT. Order Release dapat diselesaikan dengan Kanban atau metodologi sistem tarik lainnya, dan persediaan Work in Process di dalam pabrik dibatasi. Penjadwalan yang mendetail juga tidak diperlukan lagi, karena pesanan mengalir melewati sel-sel dengan jalan yang sudah diketahui, dimana pekerja mengetahui urutan operasi. Penjadwalan detail untuk pekerja dan peralatan bukan lagi permasalahan sejak sistem JIT itu sendiri menentukan penjadwalan. Tidak lagi dibutuhkan pendokumentasian data atau pengawasan, sejak JIT pada dasarnya mengasumsikan hanya dua jenis persediaan, bahan baku dan produk jadi. Penerimaan produk jadi digunakan untuk mengurangi kebutuhan bahan baku dari persediaan. (Vollman, 1997, p168).
2.3 Just In Time
Menurut Browne (1996, p 243) lead time atau throughput time untuk sebuah batch melewati lantai produksi biasanya jauh lebih besar dibandingkan waktu proses
aktual yang diminta untuk sebuah batch. Menurut Browne (1996, p 244) JIT mengusulkan tata letak berdasarkan produk yang melakukan banyak reduksi pada throughput time untuk batch individu dengan mengurangi waktu antrian. Pada tingkat
produksi, layout berdasarkan produk mengurangi throughput time dengan
36
memfasilitasi aliran yang sederhana untuk batch di antara operasi dan stasiun-stasiun kerja.Pada level stasiun kerja, JIT mengurangi throughput time dengan menerapkan U-Shaped Layout. Usaha JIT dalam mengurangi throughput time dapat dilihat dari usahanya dalam mengurangi waktu antrian. Beragam teknik digunakan untuk mengurangi waktu tunggu, dan salah satunya adalah dengan lot produksi dan lot transfer yang kecil. Menurut Browne (1996, p 245) pada sistem manufaktur JIT, satu unit diproduksi dalam setiap waktu siklus dan pada akhir dari waku siklus, sebuah unit pada setiap proses pada lini secara simultan akan dikirim ke proses selanjutnya. JIT, dalam memisahkan lot produksi dari lot transfer dalam situasi lot produksi adalah besar, bertujuan untuk berpindah dari sistem produksi berbasis batch menuju sistem produksi alir. Menurut Krajewski (2007 p 338) sebuah lot (produksi) merupakan jumlah unit yang diproses bersama. Lot yang kecil akan memiliki keuntungan dalam mengurangi rata-rata tingkat persediaan dibandingkan dengan lot yang besar. Lot kecil akan melewati sistem lebih cepat disbanding dengan lot besar. Dengan tambahan, jika terdapat unit yang rusak, lot besar akan menyebabkan waktu tunggu yang lebih lama, karena keseluruhan lot harus diperiksa untuk menemukan unit-unit yang harus dikerjakan ulang. Pada akhirnya, lot kecil akan membantu mencapai beban kerja yang seragam pada sistem. Lot besar akan menghabiskan ruang besar pada kapasitas di stasiun kerja dan karenanya penjadwalan yang kompleks. Lot kecil dapat dikatakan lebih efektif, memungkinkan penjadwal untuk secara efisien mengutilisasikan kapasitas.
37
Menurut Krajewski (2007, p 339) meskipun lot kecil memberikan keuntungan pada operasi, hal itu memiliki kelemahan dalam menaikkan frekuensi setup. Menurut Nahmias (2001, p358) ide yang mendasari JIT, yaitu; 1. Persediaan Work in Process (WIP) dikurangi pada level minimum. Jumlah persediaan WIP yang diperbolehkan adalah perhitungan dengan seberapa ketat JIT diterapkan. Lebih sedikit WIP yang direncanakan dalam sistem, langkah-langkah yang dibutuhkan dalam proses akan lebih seimbang. 2. JIT merupakan sistem tarik. Produksi pada tiap tahap dimulai hanya jika ada permintaan. Aliran informasi pada sistem JIT diproses secara berurutan dari level ke level. 3. JIT lebih luas daripada batasan-batasan pada lantai produksi. 4. Keuntungan dari perluasan JIT 5. Pendekatan JIT membutuhkan komitmen serius yang sama dari top management dan pekerja.
Menurut Stevenson (1996, p685) sistem JIT memiliki beberapa keuntungan penting, yang menarik perhatian dari perusahaan tradisional. Keuntungan utama tersebut adalah : 1. Mengurangi tingkat persediaan in process, produk pembelian, dan produk jadi. 2. Mengurangi kebutuhan area. 3. Meningkatkan kualitas produk dan mengurangi scrap dan pengerjaan ulang
38
4. Mengurangi waktu tunggu manufaktur 5. Fleksibilitas yang tinggi dalam merubah product mix. 6. Melancarkan aliran produksi dengan lebih sedikit gangguan, yang disebabkan oleh permasalahan kualitas.
2.3.1 Konsep Dasar Sistem Kanban
Sistem Kanban merupakan alat implementasi dari metode Just In Time (JIT), yang dikenal sebagai sistem tarik (push system). Menurut Render (2001, p 390) JIT mempercepat proses produksi, sehingga memungkinkan produk dapat lebih cepat diantarkan ke konsumen dan persediaan barang dalam proses pun menurun jumlahnya. Penurunan barang dalam proses ini memungkinkan aset yang sebelumnya disimpan menjadi persediaan dapat dimanfaatkan secara lebih produktif. Sistem Kanban merupakan penerapan JIT pada lantai produksi. Sistem tarik merupakan kebalikan dari sistem dorong (push system), yang telah kita kenal penerapannya dalam sistem MRP (Material Requirement Planning). Menurut Vincent Gaspersz (1998, p.56), pada dasarnya dalam sistem dorong kita akan memindahkan material dan membuat produk dengan cara mendorong material itu sepanjang proses. Aktivitas ini akan berlangsung terus menerus meskipun usatpusat kerja (work centers) tidak mengkonsumsi material pada tingkat yang sama dengan material yang didorong dari proses sebelum (preceding processes). Apabila kita menggunakan sistem dorong (push system), sekali sistem itu beroperasi akan sangat sulit untuk menghentikan proses karena dinamika dari sistem itu. Pekerja yang
39
terlibat dalam sistem dorong akan tidak bereaksi secara cepat terhadap perubahan tiba-tiba dalam permintaan untuk suatu part. Konsep di atas akan berbeda dengan sistem tarik (pull system), karena dalam sistem tarik proses sesudah (subsequent process) akan meminta atau menarik material dari proses sebelum (preceding process) berdasarkan kebutuhan aktual dari proses sesudah (subsequent process).
Menurut Monden (1995, p.22) dengan demikian, selama satu bulan tidak perlu dikeluarkan jadwal produksi secara serentak untuk semua proses. Sebaliknya hanya lini rakit akhir yang perlu diberitahu mengenai berubahnya jadwal . Di banyak fasilitas produksi, sistem ini telah dimodifikasi agar, walaupun disebut kanban, kartu itu tidak ada. Di beberapa kasus, ruang kosong di lantai merupakan tanda bahwa diperlukan lot bahan baku berikutnya. Di kasus-kasus lainnya, digunakan semacam tanda, seperti bendera atau kain untuk mengisyaratkan bahwa saat itu adalah waktu bagi batch berikutnya.
2.3.2 Pengertian Kanban
Menurut Monden (1995, p.23) kanban adalah suatu alat untuk mencapai produksi JIT. Kanban berupa suatu kartu yang biasanya ditaruh dalam amplop vinil berbentuk empat persegi panjang. Dua jenis kanban yang sering digunakan ialah: Kanban pengambilan
dan
Kanban
perintah-produksi.
Suatu
Kanban
pengambilan
menspesifikasikan jenis dan jumlah produk yang harus diambil dari proses terdahulu oleh proses berikutnya, sementara Kanban perintah-produksi menspesifikasikan jenis
40
dan jumlah produk yang harus dihasilkan proses terdahulu.Kanban perintah-produksi sering disebut Kanban dalam pengolahan atau secara sederhana, Kanban produksi. Menurut Gaspersz (1998, p 57) pada dasarnya kanban tarik (withdrawal kanbans) bergerak di antara pusat-pusat kerja (work centers) dan digunakan sebagai alat yang sah untuk memindahkan parts atau material dari satu pusat kerja ke pusat kerja lain. Dalam sistem Kanban, Kanban tarik (withdrawal kanbans) harus selalu mengikuti aliran material dari satu proses ke proses yang lain (dari proses sebelum ke proses sesudahnya). Suatu kanban tarik harus menspesifikasikan nomor part (part number) dan tingkat revisi, lot size, dan proses routing (routing process). Kanban tarik harus menunjukkan nama proses sebelum (preceding process) beserta lokasinya dan proses sesudah (subsequent process) beserta lokasinya. Sekali kanban tarik memperoleh parts, kartu itu harus tetap melekat bersama parts itu sepanjang waktu. Kanban tarik
berfungsi untuk mengambil material atau parts, sedangkan kanban produksi (production kanban) berfungsi sebagai alat yang sah untuk mengeluarkan pesanan produksi kepada proses sebelum (preceding process) agar membuat atau memproduksi parts lagi. Rumus Perhitungan Kanban; Titik Pesan Ulang = penggunaan rerata selama waktu pemesanan + sediaan
pengaman - pesanan telah diberikan tetapi belum diterima Pesanan yang diberikan tetapi belum diterima biasanya nol. (Monden, 2000, p 35) Jumlah Kanban (Sipper, 1998, p 553)
L = tp + tw
41
n=
DL(1 + α) C
np =
nt =
Dt p (1 + α) C Dt w (1 + α) C
Dengan : n = jumlah P dan T-Kanban untuk material yang ditentukan np = jumlah P- Kanban untuk material yang ditentukan nt = jumlah T- kanban untuk material yang diten D = permintaan per unit waktu, biasanya dalam hari (D merupakan rerata permintaan) L = rata-rata waktu tunggu untuk Kanban, dalam fraksi desimal dari satu hari tp = rata-rata waktu proses per kontainer, dalam fraksi desimal dari satu hari tw = rata-rata waktu tunggu selama proses produksi ditambah waktu transportasi per
kontainer, dalam fraksi desimal dari satu hari
C = kapasitas kontainer, dalam unit produk (biasanya tidak lebih dari 10% dari permintaan harian) α = koefisien pengaman (tidak lebih dari 10%)
42
Sumber : Monden Yasuhiro (1995, p 23)
Gambar 2.2 Contoh Kanban Pengambilan
Sumber : Monden Yasuhiro (1995, p 24)
Gambar 2.3 Contoh Kanban Produksi
2.3.3 Aturan Umum Operasi Kanban
Menurut Krajewski (2007, p 345) aturan pengoperasian untuk sistem kanban satu kartu adalah sederhana dan dirancang untuk memfasilitas aliran material sembari mengendalikan level persediaan.
43
1. Setiap kontainer harus memiliki kartu 2. Lini perakitan selalu menarik material dari sel fabrikasi. Sel fabrikasi tidak pernah mendorong material ke lini perakitan karena cepat atau lambat, material akan disediakan yang belum dibutuhkan untuk produksi. 3. Kontainer dari material tidak pernah dipindahkan dari area penyimpanan tanpa kanban terlebih dahulu diletakkan pada pos penerimaan kanban. 4. Kontainer harus selalu terisi dengan jumlah material yang sama. Penggunaan dari kontainer yang tidak standar atau kontainer yang diisi tidak teratur akan merusak aliran produk dari lini perakitan. 5. Hanya material yang tidak rusak yang dapat dikirim ke lini produksi untuk menghasilkan penggunaan material dan jam kerja yang terbaik. Peraturan ini menekankan kembali pernyataan membangun kualitas pada sumber daya, yang merupakan karakteristik penting dalam lean system. 6. Total produksi tidak boleh melebihi jumlah yang diminta pada kanban dalam sistem.
2.3.4 Cara Kerja Sistem Kanban
Menurut Monden (1995, p 29), berbagai langkah yang menggunakan Kanban adalah: 1. Pembawa dari proses berikutnya pergi ke gudang proses terdahulu dengan Kanban pengambilan yang disimpan dalam pos Kanban pengambilan (yakni, kotak atau berkas penerima) bersama palet kosong (peti kemas) yang ditaruh
44
di atas forklift atau jip. Ia melakukannya secara teratur pada waktu yang telah ditentukan. 2. Bila pembawa proses berikutnya mengambil suku cadang di Gudang A, pembawa itu melepaskan Kanban perintah produksi yang dilampirkan pada unit fisik dalam palet (perhatikan bahwa tiap palet mempunyai satu lembar Kanban) dan menaruh Kanban ini dalam pos penerima Kanban. Ia juga meninggalkan palet kosong di tempat yang ditunjuk oleh orang yang ada pada proses terdahulu. 3. Untuk tiap Kanban perintah-produksi yang dilepaskannya, di tempat itu ia menempelkan satu Kanban pengambilan. Ketika menukarkan kedua jenis Kanban itu, dengan hati-hati ia membandingkan Kanban pengambilan dengan Kanban perintah-produksi untuk melihat konsistensinya. 4. Bila pekerjaan dimulai pada proses berikutnya, Kanban pengambilan harus ditaruh dalam pos Kanban pengambilan 5. Pada proses terdahulu, Kanban perintah produksi harus dikumpulkan dari pos penerima Kanban pada waktu tertentu atau bila sejumlah unit telah diproduksikan. 6. Menghasilkan suku cadang sesuai dengan urutan Kanban perintah produksi di dalam pos. 7. Ketika diolah, unit fisik dan Kanban itu harus bergerak secara berpasangan.
45
8. Bila unit fisik diselesaikan dalam proses ini, unit ini dan Kanban perintah produksi ditaruh dalam Gudang A, sehingga pembawa dari proses berikutnya dapat mengambilnya kapan saja.
Sumber : Monden Yasuhiro (1995, p 29)
Gambar 2.4 Langkah Penggunaan Kanban
2.3.5 Mengukur Performa Kanban
Menurut Everett (1996, p 579) dengan memilih kontainer dan kapasitasnya, persediaan dapat dengan hati-hati dan secara visual dikendalikan di antara dua stasiun kerja yang berhubungan. Dengan mengurangi jumlah kartu yang disirkulasikan di antara dua stasiun kerja yang berhubungan, persediaan WIP dapat mencapai nol dan material yang dibutuhkan akan tiba tepat pada waktunya. Produksi yang berjalan
46
dengan sedikit persediaan, adalah tujuan utama dalam perencanaan dan pengendalian produksi sistem tarik Dua metode yang umum dalam mengukur performa dari proses manufakturing adalah flow through time (waktu tunggu manufakturing) dan level persediaan WIP. Flow through time (waktu tunggu manufakturing) merupakan jumlah waktu yang
diperlukan sebuah unit produk untuk dapat melewati keseluruhan proses, dari awal hingga selesai (dalam rata-rata). Pada sistem Kanban, kedua pengukuran ini minimum tergantung kepada jumlah lot. Sebagai contoh, jika sistem Kanban menggunakan 25 stasiun kerja dan ukuran lot adalah 4, maka rata-rata jumlah WIP akan mendekati 100 unit produk. Jika waktu siklus untuk beban yang diseimbangkan adalah dua menit untuk setiap unit (dengan adanya variasi) : satu unit produk akan melewati keseluruhan sistem dalam 200 menit.
2.4 Integrasi Sistem MRP II dan Sistem Kanban
Menurut Gaspersz (1998, p50) MRP II adalah sistem yang didesain khusus untuk mengelola semua sumber daya industri manufaktur. Pada sisi lain sistem Just in Time (JIT) merupakan konsep filosofi perbaikan terus menerus, dengan cara memproduksi output yang diperlukan, pada waktu dibutuhkan oleh pelanggan, dalam jumlah sesuai
kebutuhan pelanggan, pada setiap tahap proses dalam sistem produksi, dengan cara yang paling ekonomis atau paling efisien. (Gaspersz, 1998, p 52). Dalam hal ini MPS dan MRP yang diturunkan dari sistem MRP II akan digunakan sebagai alat yang menerjemahkan perencanaan penjualan ke dalam kadwal produksi
47
dan kebutuhan material. Informasi ini kemudian diberitahukan kepada bagian pembelian untuk merencanakan pembelian berdasarkan prinsip-prinsip pembelian JIT (Just in Time Purchasing) dan bagian produksi untuk menentukan kebutuhan parts harian (daily parts requirement). Berdasarkan kebutuhan aktual harian ini, diterapkan sistem (pull system) menggunakan Kanban untuk memindahkan material atau parts pada lini produksi (production line). Dengan demikian sistem terintegrasi MRP II dan JIT menunjukkan bahwa sistem MRP II merupakan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning). Output dari sistem MRP II dapat digunakan untuk meramalkan kebutuhan material bulanan pada basis proses demi proses. Informasi ini dapat diberikan kepada pekerja yang bertanggung jawab pada masing-masing pusat kerja (work center). Bagaimanapun juga, pekerja yang berada dalam pusat-pusat kerja harus menggunakan informasi ini hanya sebagai ramalan (production forecast), sedangkan komitmen output aktual harus berdasarkan pada permintaan aktual dari kanban tarik (withdrawal kanbans). (Gaspersz, 1998, p 52). Integrasi MRP II dan Kanban menggambarkan adanya integrasi antara push system dan pull system. Menurut Sipper (1998, p 594) sistem dorong dan tarik tidak saling terpisah dab tidak mengalami konflik yang penting satu sama lain. Garis di antara keduanya tidak setajam seperti yang cenderung dipercaya banyak orang. Lebih jauh, keduanya dapat berjalan bersama dengan membangun sebuah sistem hibrid, yang dibangun di atas kekuatan mereka masing-masing. Sesunggunya, banyak perusahaan
48
manufakturing yang telah maju mempraktekan pendekatan hibrid ini. Mereka menggunakan Kanban atau sistem lain yang sama, bersamaan dengan MRP II. Sistem hibrid harus diterapkan secara berbeda pada situasi yang berbeda. Sebagai contoh, pada lingkungan manufaktur dengan aliran yang seragam, MRP II berperan sebagai perencanaan material, dan metode tarik mengendalikan lantai produksi. Pada repetitive batch manufacturing dengan waktu tunggu yang stabil, pesanan yang
dikeluarkan dapat dikendalikan baik dengan MRP II maupun dengan sistem tarik, tetapi perencanaan material harus diatasi dengan MRP II. Menurut Vollman (1997, p 377) pada sebagian besar kasus kebutuhan untuk integrasi meningkat pada perusahaan yang sudah menerapkan sistem MRP dan sedang dalam proses untuk mengimplementasikan beberapa aspek dari JIT. Tekanan untuk menyesuaikan dengan standar kelas dunia, penggunaan dari perbandingan secara global, persaingan yang mengintimidasi, kesemuanya merupakan alasan perlunya perubahan besar dalam melaksanakan manufakturing. Dimanapun ketika ada kombinasi dari MRP dan JIT pada lantai produksi, kita harus bergerak maju dan mundur di dalam sistem. Sebuah sel JIT di tengah-tengah proses yang berada di bawah pengendalian MRP harus dikomunikasikan dengan sistem MRP. Harus ada penyerahan dari MRP ke JIT pada permulaan dari proses JIT dan ditransfer kembali ke MRP pada akhirnya. (Vollman, 1997, p378) MRP dapat dianggap sebagai teknik perencanaan dan penjadwalan, dan Just in Time (JIT) dapat dianggap sebagai cara menggerakkan bahan baku secara cepat.
Keduanya dapat diintegrasikan secara efektif. Tahap pertama adalah mengurangi
49
paket MRP dari harian menjadi mingguan atau bahkan jam-jaman. Paket ini berarti unit waktu dalam sistem MRP. Kedua, rencana penerimaan yang menjadi bagian rencana pemesanan perusahaan dalam suatu sistem MRP dikomunikasikan melalui area perakitan untuk tujuan produksi dan digunakan pada produksi berurut. Ketiga persediaan bergerak dalam pabrik dengan dasar JIT. Keempat pada saat produk selesai diproduksi, produk dipindahkan ke persediaan seperti biasa. (Render, 2001, p 367) Menurut Nahmias (2001, p 397) pada akhirnya permasalahannya bukanlah pada pemilihan antara MRP dan JIT, tetapi untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kedua teknik tersebut.
2.5 Simulasi 2.5.1 Pengertian Simulasi
Simulasi menurut Harrell (2000, p5) adalah imitasi dari sistem dinamis menggunakan model komputer yang bertujuan untuk mengevaluasi dan memperbaiki performa sistem. Pada prakteknya, simulasi biasanya ditampilkan menggunakan software simulasi komersial, seperti ProModel yang memiliki konstruksi permodelan yang dirancang dengan spesifik untuk menggambarkan sifat dinamis dari sistem. Statistik kinerja dikumpulkan selama simulasi dan secara otomatis dirangkum untuk analisa. Dengan penekanan akan persaingan yang ketat dalam hal waktu (time based competition), metode tradisional trial and error untuk mengambil keputusan tidak
50
lagi cukup. Menurut Solberg kemampuan untuk mengaplikasikan pembelajaran trial and error untuk menyesuaikan performa sistem manufakturing menjadi hampir tidak
berguna di lingkungan di mana perubahan terjadi lebih cepat dari pelajaran yang dapat dipelajari. Ada kebutuhan yang besar untuk metode prediksi formal yang didasarkan atas pengertian akan sebab dan akibat. (Harrell, 2000, p 6) Menurut Harrell (2000, p7) kekuatan dari simulasi terletak pada kenyataan bahwa simulasi menyediakan metode analisis yang tidak hanya formal dan dapat diprediksi, tetapi juga mampu untuk secara akurat mengevaluasi performa dari sistem yang bahkan lebih kompleks. Hal yang penting pada pasar kompetisi sekarang ini adalah ”melakukan yang benar dari pertama,” pelajaran yang dapat diambil menjadi jelas : jika pada kali pertama anda tidak sukses, anda mungkin perlu mensimulasikannya. Improvement yang secara tradisional memakan waktu berbulan-bulan dan bahkan
bertahun-tahun untuk mencapai penyesuaian yang baik, dapat diperoleh dalam waktu hari atau bahkan jam. Karena simulasi berjalan dalam waktu yang dipadatkan, minggu dalam sistem operasi dapat disimulasikan hanya dalam beberapa menit, atau bahkan detik. Karakteristik dari simulasi yang membuatnya menjadi alat perencanaan dan pembuat keputusan yang powerful, dapat disimpulkan sebagai berikut; Menangkap ketergantungan dalam sistem Menghitung untuk variabilitas dalam sistem Sanggup untuk memodelkan berbagai sistem Menunjukkan perilaku overtime
51
Lebih murah, lebih cepat, dan tidak mengakibatkan gangguan, dibanding
dijalankan pada sistem aktual Menyediakan informasi dalam beberapa pengukuran performansi Secara visual menarik perhatian orang Menyediakan hasil yang mudah untuk dimengerti dan dikomunikasikan Jalannya waktu dipadatkan, nyata ataupun waktu tunggu. Mendorong perhatian untuk lebih mendetail di dalam perancangan.
2.5.2 Elemen Sistem Dalam Simulasi
Sistem dalam didefinisikan sebagai kumpulan dari elemen-elemen yang difungsikan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Point utama pada definisi ini mencakup kenyataan bahwa (1) sebuah sistem terdiri dari banyak elemen, (2) elemen-elemen ini saling berhubungan dan saling bekerja sama, dan (3) sebuah sistem ada untuk tujuan mencapai tujuan yang spesifik. Dari perspektif simulasi, sebuah sistem dapat dikatakan terdiri dari entiti (entity), aktivitas (activities), sumber daya (resources), dan kendali (controls). (Harrell, 2000, p 25)
2.5.2.1 Entities Entities merupakan items yang diproses di dalam sistem, seperti produk,
konsumen, dan dokumen. Entities yang berbeda dapat memiliki karakteristik yang
52
berbeda, seperti biaya, bentuk, prioritas, kualitas, atau kondisi. Entities dapat dibagi lagi menjadi, Manusia atau animasi (konsumen, pasien, dsb) Benda mati (komponen, dokumen, dsb) Tidak berbentuk (panggilan, surat elektonik, dsb)
2.5.2.2 Activities Activities merupakan tugas yang dilakukan di dalam sistem, yang baik secara
langsung maupun tidak langsung merupakan bagian dari proses suatu entities. Contoh dari entities termasuk, melayani pelanggan, memotong komponen dengan mesin, atau memperbaiki potongan peralatan. Activities biasanya memakan waktu dan seringkali mengikutsertakan penggunaan sumber daya. Activities dapat diklasifikasikan sebagai; Entity processes (check-in, treatment, inspeksi, fabrikasi, dsb) Entity and resource movement (perjalanan forklift, menaiki elevator, dsb) Resource adjustments, maintenance, and repairs (setup mesin, perbaikan
mesin, dsb)
2.5.2.3 Resources Resources adalah pelaku yang melakukan aktivitas. Mereka menyediakan fasilitas
pendukung, peralatan, dan personil yang melakukan aktivitas. Sementara resources memfasilitasi entity processing, resources yang tidak memadai dapat membatasi
53
proses dengan membatasi tingkat dimana proses dapat dilakukan. Resources dapat diklasifikasikan menjadi; Manusia atau animasi (operator, dokter, bagian perbaikan, dsb) Benda mati (peralatan, perlengkapan, lantai produksi, dsb) Tidak berbentuk (informasi, tenaga listrik, dsb)
2.5.2.4 Controls Controls mengatur bagaimana, di mana, dan kapan aktivitas dilaksanakan. Controls memasukkan perintah ke dalam sistem. Pada level tertinggi, controls terdiri
dari jadwal, perencanaan, dan kebijakan. Pada level terendah, controls merupakan prosedur tertulis dan logika pengendalian mesin. Pada keseluruhan level, controls menyediakan informasi dan logika keputusan untuk bagaimana sistem beroperasi.
2.5.3 Membangun Model Dalam ProModel
Menurut Harrell (2000, p142) model simulasi merupakan penggambaran komputer mengenai bagaimana elemen dari sebuah sistem khusus berperilaku dan berhubungan.
2.5.3.1 Elemen Struktural
Objek dari sebuah model menggambarakn elemen struktural dalam sistem, seperti mesin, pekerja, unit produksi, dan area produksi. ProModel secara sederhana mengklasifikasikan klasifikasi objek, sebagai berikut;
54
Entities Æ item yang diproses di dalam sistem Locations Æ tempat di mana enitities diproses atau disimpan Resources Æ pekerja yang digunakan di dalam proses entities Paths Æ Lintasan perjalanan dari entities dan resources di dalam sistem.
2.5.3.2 Elemen Operasional
Elemen operasional mendefinisikan sifat dari elemen fisik yang berbeda di dalam sistem dan bagaimana mereka berhubungan. Ini mencakup routings, operations, arrivals, entity and resource movement, task selection rules, resource schedules, dan downtimes and repairs.
Kebanyakan dari elemen operasional dari sebuah model dapat didefinisikan menggunakan konstruksi yang disediakan secara spesifik untuk memodelkan elemn tersebut. Peraturan operasional untuk masing-masing dapat dipilih dari menus. Berikut adalah elemen operasional yag terdapat dalam ProModel; 1. Routings Mendefinisikan urutan aliran entities dari lokasi ke lokasi. Beberapa peraturan (rules) yang dapat digunakan untuk menyeleksi lokasi selanjutnya dalam routing decision, mencakup; Probabilistic Æ entities dijalankan ke beberapa lokasi tergantung pada
probabilitasnya First Available Æ entities menuju pada lokasi yang pertama kali tersedia
55
By Turn Æ pemilihan lokasi selanjutnya akan dirotasi sesuai dengan lokasi
pada daftar Most available capacity Æ entities akan memilih lokasi dengan kapasitas
yang paling tersedia Until full Æ entities akan menuju sebuah lokasi sampai penuh, dan
kemudian berpindah ke lokasi lain sampai penuh, dan seterusnya Random Æ entities akan secara acak dari daftar lokasi User Condition Æ entities akan memilih dari daftar lokasi sesuai dengan
kondisi yang didefinisikan oleh pengguna 2. Entity Operations Entity operations mendefinisikan apa yang terjadi pada sebuah entity ketika
memasuki suatu lokasi. 3. Entity Arrivals Entity arrivals mendefinisikan waktu, kuantitas, frekuensi, dan lokasi dari entities yang memasuki sistem.
4. Entity and Resource Movement Entities berpindah di dalam sistem dari lokasi ke lokasi untuk diproses. Dan resource juga berpindah ke lokasi-lokasi yang berbeda, jika terdapat
permintaan.
56
5. Acessing Locations and Resources Kebanyakan dari aktivitas dalam simulasi diatur oleh bagaimana entities dapat masuk ke dalam lokasi untuk diproses. Entities dapat diberikan prioritas ketika mengisi lokasi yang sama dengan entity lain. 6. Resource Scheduling Resources secara periodik mempunyai waktu penjadwalan, di mana mereka
tidak tersedia. Hal ini mencakup periode off-shift, istirahat, dan perbaikan pencegahan (preventive maintenance). 7. Downtimes and Repairs Downtimes biasanya terjadi secara periodik sebagai fungsi dari total waktu
yang telah lewat, waktu yang sedang digunakan, atau jumlah waktu yang telah digunakan.
2.5.4 Verifikasi dan Validasi Model 2.5.4.1 Verifikasi Model
Verifikasi model merupakan proses menentukan apakah model simulasi secara benar merefleksikan model konseptual. (Harrell, 2000, p 174) Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk melakukan verifikasi model. Beberapa cara yang umum, yaitu; (Harrell, 2000, p 178)
57
1. Reviewing Model Code Tujuan dari mereview model code yaitu untuk memeriksa kesalahan dan inkonsistensi. Model simulasi dapat diuji baik dari bawah ke atas, ataupun dari atas ke bawah. 2. Checking for Reasonable Output Pada setiap model simulasi, terdapat hubungan operasional dan nilai kuantitatif yang dapat diduga selama simulasi. 3. Watching the Animation Animasi dapat digunakan untuk melakukan verifikasi secara visual apakah simulasi beroperasi sebagaimana seharusnya yang anda pikirkan. Animasi biasanya lebih membantu dalam mengidentifikasi suatu masalah daripada menemukan penyebab dari suatu masalah. 4. Using Trace and Debugging Facilities Informasi trace dan debug menyediakan umpan balik tertulis yang mendetail mengenai apa yang terjadi selama simulasi.
2.5.4.2 Validasi Model
Validasi model merupakan proses menentukan apakah model konseptual secara benar merefleksikan sistem nyata. (Harrell, 2000, p 174)
58
Banyak dari teknik-teknik validasi adalah sama dengan yang digunakan untuk memverifikasi suatu model. Watching the Animation
Animasi visual dari sifat operasional sebuah model dibandingkan dengan pengetahuan seseorang mengenai bagaimana sistem aktual berjalan. Comparing with the Actual System
Baik model dan sistem dijalankan dengan kondisi yang sama dan menggunakan inputs yang sama untuk melihat apakah hasilnya sesuai. Comparing with Other Models
Jika model lain yang telah valid telah dibuat dari proses tersebut, seperti model analisis, spreadsheet models, dan bahkan model simulasi lain yang valid, hasil simulasi dapat dibandingkan untuk dapat mengetahui hasilnya. Conducting Degeneracy and Extreme Condition Test
Ada situasi yang diketahui dimana perilaku model menjadi buruk, menyebabkan variabel response bertumbuh menjadi besar tidak terbatas. Sebagai contoh jumlah items dalam antrian mengacu pada server dimana tingkat pelayanan kurang dari tingkat kedatangan. Situasi ini dapat ditekankan ke dalam model (contoh dengan menaikkan jumlah kedatangan), untuk melihat apakah model berubah sesuai yang diharapakan.
59
Checking for Face Validity Face validity adalah proses bertanya kepada orang yang memiliki
pengetahuan mengenai sistem tersebut, apakah model dan perilaku tampak beralasan. Testing Against Historical Data
Jika terdapat informasi secara historis mengenai baik data operasional maupun tampilan, model dapat diuji menggunakan data operasi yang sama dan membandingkan hasilnya dengan data histori. Performing Sensitivity Analysis
Teknik ini terdiri dari mengganti nilai input model untuk menentukan efek dari perilaku model dan outputnya. Running Traces
Sebuah entity atau urutan kejadian dapat dilacak melalui logika proses model untuk melihat apakah mengikuti perilaku yang seharusnya terjadi pada sistem aktual. Conducting turing tests
Orang yang memiliki pengetahuan mengenai operasi dari sistem diminta untuk memisahkan output dari model dan sistem. Jika mereka tidak dapat mendeteksi, yang mana adalah output aktual, dan yang mana adalah output sistem, hal ini merupakan bukti lain bahwa model telah valid.
60
Metode yang umum dalam melakukan validasi suatu model dari sistem yang telah ada yaitu dengan membandingkan performa model dengan sistem aktual. Setelah menjalankan simulasi model, data performa dibandingkan dengan data pada dunia nyata. Jika data yang cukup tersedia dalam pengukuran performa dari sistem nyata, tes statistik dapat diterapkan, yaitu Student’s t test untuk menentukan apakah sample data baik dari model dan sistem aktual datang dari distribusi yang sama.