17
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Sejarah Kualitas Pada tahun 1924, W.A. Shewhart yang berasal dari Bell Telephone Laboratories mengembangkan konsep peta pengendalian statistik, yang merupakan permulaan dari statistik pengendalian kualitas. Pada akhir tahun 1920, Harold.F.Dodge dan Harry.G.Romig, yang juga berasal dari Bell Telephone Laboratories mengembangkan statistika berdasarkan teknik pengambilan sampel. Pada pertengahan tahun 1930, metode statistik pengendalian kualitas mulai luas dipergunakan di Western Electric, yang memproduksi sistem Bell. Pada tahun 1946 mulai dibentuk America Society For Quality Control. Organisasi ini mempromosikan penggunaan teknik pengembangan kualitas untuk semua tipe produk dan jasa. Pada tahun 1950, Edward Demings mulai memberikan pengajaran kepada manajer-manajer industri di Jepang dan sejak saat itu metode statistik pengendalian kualitas mulai diajarkan di Jepang. Sejak tahun 1980, metode statistika untuk pengembangan kualitas telah dipergunakan secara luas di Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1990, sertifikat ISO 9000 meningkat di kawasan industri Amerika Serikat dan pada
18
tahun 1997, pendekatan Six Sigma Motorola mulai tersebar di industri-industri lain.
2.1.1.1 Definisi kualitas Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi. Kualitas merupakan hal utama yang mempengaruhi pertimbangan konsumen dari membeli produk. Secara umum, kualitas adalah pemenuhan kebutuhan dan harapan pelanggan atau bahkan dapat melebihi kebutuhan dan harapan dari pelanggan tersebut. Kualitas secara langsung akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan perusahaan, pengeluaran biaya produksi serta kemampuan untuk bersaing dalam pasar. Kualitas merupakan seberapa besar sebuah produk atau jasa pelayanan yang memiliki kemampuan dalam memuaskan konsumen seiring dengan pemenuhan kebutuhan – kebutuhan serta harapan – harapan konsumen. (Hidayat, 2007, p3). Kualitas memiliki definisi yang berbeda berdasarkan penerapannya di bidang kehidupan yang berbeda. Kualitas dalam bidang industri dapat didefinisikan secara konvensional dan secara strategik. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk, seperti performansi (performance), keandalan (reliability), ketahanan (durability), estetika (esthetic), dan sebagainya. Sedangkan definisi strategik menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi
19
keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers). (Hidayat, 2007, p4). Beberapa pakar kualitas mendefinisikan kualitas sebagai berikut: a. Kualitas menurut Philip Crosby Crosby mendefinisikan kualitas sebagai ”Quality is conformance to requirements or specifications” yang berarti kualitas merupakan suatu kesesuaian untuk memenuhi spesifikasi. (Hidayat, 2007, p165). Ia juga menekankan bahwa satu-satunya standar kinerja kualitas adalah zero defect. b. Kualitas menurut Joseph M. Juran Juran mendefinisikan kualitas sebagai ” Quality is customer satisfaction” yang berarti bahwa suatu produk dapat dikatakan berkualitas apabila produk tersebut memiliki kemampuan, seperti dapat diandalkan, memiliki pelayanan yang memadai untuk perbaikan, mudah dipelihara, tahan lama serta mudah digunakan untuk memuaskan konsumen pemakainya. (Hidayat, 2007, p159). c. Kualitas menurut William Edwards Deming Menurut Deming, kualitas harus memiliki tujuan yang berdasarkan pada kebutuhan konsumen di masa sekarang maupun di masa depan. (Hidayat, 2007, p161).
20
d. Kualitas menurut Armand V. Feigenbaum Feigenbaum mendefinisikan kualitas sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa teknik, manufaktur dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan tersebut memenuhi ekspektasi konsumen. (Hidayat, 2007, p168).
2.1.2
Six Sigma Six Sigma dikenal masyarakat sebagai suatu konsep perbaikan dari sebuah proses. Konsep ini telah memberikan warna baru dalam dunia pengendalian proses di seluruh dunia. Pada kenyataanya, Six Sigma banyak berperan dalam perkembangan perusahaan – perusahaan terkemuka di dunia adalah sebuah fenomena yang menarik dan perlu dibahas dan diaplikasikan jika memungkinkan. Six Sigma bukanlah sebuah mode bisnis yang terikat pada satu metode atau strategi tunggal, melainkan lebih kepada suatu sistem yang fleksibel untuk memperbaiki kepemimpinan dan kinerja bisnis. Six Sigma dibangun berdasarkan banyak ide manajemen dan praktik terbaik dari abad – abad yang lalu menciptakan sebuah rumusan untuk sukses bisnis abad 21. Bukti kekuatan Six Sigma telah dilihat dalam keuntungan besar yang dicapai oleh beberapa perusahaan dengan profile yang sangat tinggi dan beberapa tidak begitu tinggi. Beberapa perusahaan seperti Motorolla, GE dan Allied Signal / Honeywell telah meraup berbagai keuntungan dan menjadi tiga perusahaan yang paling sukses di dunia.
21
2.1.2.1 Sejarah Six Sigma Saat ini, keberhasilan dari salah satu perusahaan yang menjadi pemimpin dalam industri elektronik di dunia, Motorolla, memiliki kaitan yang sangat erat dengan Six Sigma. Motorolla adalah perusahaan yang menanamkan konsep yang telah menyebar ke dalam sistem manajemen komprehensif. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, Motorolla merupakan salah satu dari sekian banyak koporat Amerika Serikat dan Eropa dimana produk mereka luncurkan (bersama-sama dengan makanan dan snack lain) dimakan oleh para pesaing Jepang karena Jepang yang mampu menghasilkan produk dengan kualitas tinggi dengan harga yang lebih rendah. Ketika Jepang mengambil alih pabrik Motorolla yang memproduksi televisi di Amerika, dibawah manajemen Jepang, pabrik tersebut ternyata mampu menghasilkan televisi dengan jumlah cacat jauh lebih sedikit dibandingkan
ketika
dikelola
oleh
Motorolla.
Perusahaan
Jepang
melakukannya dengan menggunakan teknologi, tenaga kerja dan desain yang sama dengan yang digunakan oleh Motorolla. Hal ini memperjelas bahwa kesalahan ada pada manajemen Motorolla. Para pemimpin Motorolla saat itu menyadari bahwa kualitasnya memang buruk. Seperti halnya perusahaan-perusahaan lain, ketika itu Motorolla tidak memiliki suatu program kualitas yang cukup berarti, walaupun pada kenyataannya ia memiliki banyak peningkatan program kualitas yang lain. Hal inilah yang mendorong Motorolla untuk mulai berpikir bagaimana ia
22
harus dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi sehingga konsumen merasa puas disertai dengan harga yang murah. Pada tahun 1993, kebanyakan proses yang ada di Motorola sudah mencapai tingkat hampir 6 sigma. Dan setelah empat tahun menerapkan Six sigma, penghematan yang diterima perusahaan mencapai $ 2,2 juta. Pada tahun 1998, Bob Galvin, selaku CEO Motorolla menerima penghargaan Malcom Baldrige National Quality Award (MBNQA) yaitu sebuah penghargaan yang ditujukan bagi perusahaan terbaik yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk perusahaan-perusahaan lain. Pada pertengahan tahun 1987 lahir sebuah pendekatan baru dari sektor komunikasi Motorolla yang pada saat itu dikepalai oleh George Fisher, yang kemudian menjadi top eksekutif di Kodak. Konsep perbaikan inovatif itu dinamakan Six Sigma. Six Sigma memberikan kepada Motorolla sebuah cara yang sederhana dan konsisten untuk mengetahui dan membandingkan kinerja perusahaan dengan keinginan pelanggan (ukuran Six Sigma) dan target ambisius dari kualitas yang praktis sempurna (tujuan Six Sigma). Sebagaimana Six Sigma menyebar ke seluruh perusahaan dengan dukungan yang kuat dari chairman Motorolla, Bob Galvin - Six Sigma memberikan ”otot” ekstra kepada Motorolla untuk mencapai tujuan-tujuan yang pada saat itu sepertinya tidak mungkin : target awal pada awal tahun 1980-an sebesar 10 kali peningkatan pada lima tahun, diperkecil menjadi tujuan 10 kali peningkatan setiap dua tahun – atau 100 kali dalam empat
23
tahun. Meskipun sasaran ” Six Sigma” penting, tetapi perhatian lebih banyak diberikan kepada rata-rata peningkatan dalam proses dan produk. Hanya dua tahun setelah meluncurkan Six Sigma, Motorolla mendapatkan penghargaan MBNQA. Karyawan total perusahaan naik dari 71.000 pada tahun1980, menjadi lebih dari 130.000 saat ini. Namun demikian, dalam dekade antara permulaan Six Sigma pada tahun 1987 dan 1997, prestasiprestasi yang dicapai Motorolla adalah : (Pande; Neuman; Cavanagh, 2002, p8 dan Gaspersz, 2007, p38) a. Pertumbuhan lima kali lipat dalam penjualan, dengan laba meningkat hampir 20 persen per tahun b. Penghematan kumulatif berdasarkan usaha-usaha Six Sigma ditetapkan pada $14 Milyar, termasuk penurunan COPQ lebih dari 84 persen. c. Pendapatan harga saham (share price) Motorolla ditutup pada rate tahunan 21.3 persen. d. Peningkatan produktivitas rata-rata 12.3 persen per tahun e. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99.7 persen.
2.1.2.2 Definisi Six Sigma Sebenarnya apa itu “Six Sigma “? Huruf kecil “Sigma” dalam alphabet Yunani - σ - merupakan symbol yang digunakan untuk notasi statistik untuk menunjukkan “deviasi standar” dari sebuah populasi yang merupakan
24
indicator jumlah “variasi” atau inkonsistensi di semua kelompok item atau proses. (Pande; Neuman; Cavanagh, 2002, p26). Dalam bisnis, Sigma merupakan ukuran yang menunjukkan kinerja perusahaan. Six Sigma pada hakikatnya adalah suatu cara untuk mengelola perusahaan (Pyzdek, 2002, px). Secara statistik Six Sigma adalah suatu ketentuan yang mensyaratkan suatu proses beroperasi pada batas toleransi perekayasaan terdekat paling sedikit
± 6σ dari rata – rata proses. Menurut Vincent Gaspersz (2007, p38) Six Sigma adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (Defect Per Million Opportunity – DPMO) atau bahwa 99.99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan yang ada dalam produk untuk (barang atau jasa) itu. Six Sigma merupakan sebuah terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas berupa suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas dramatik menuju tingkat kesempuranaan (kegagalan 0 zero defect).
GE adalah salah satu perusahaan yang sukses menerapkan Six Sigma menyatakan, “Six Sigma merupakan proses disiplin tinggi yang membantu dalam mengembangkan dan menghantarkan produk mendekati sempurna.” Six Sigma bukan semata-mata merupakan inisiatif kualitas. Six Sigma merupakan
inisiatif bisnis untuk mendapatkan dan menghilangkan penyebab kesalahan
25
atau cacat pada output proses bisnis yang penting di mata pelanggan. (Hendradi, 2006, p2). Menurut Pyzdek (2002, p17), Six Sigma merupakan suatu usaha terus menerus untuk mengurangi variasi proses ke minimum, sehingga proses secara konsisten memenuhi dan melebihi harapan dan persyaratan pelanggan. Dengan pemahaman yang menyeluruh tentang konsep Six Sigma sebagai sebuah pendekatan menajemen berbasis statistika yang menekankan pada tujuannya berupa peningkatan kinerja bisnis serta fokus pada hasil – hasil yang ditargetkan maka dalam bukunya, The Six Sigma Way, Pande; Neuman; Cavanagh,
mendefinisikan
komprehensif
dan
Six
fleksibel
Sigma
untuk
sebagai
mencapai,
sebuah
sistem yang
mempertahankan,
dan
memaksimalkan sukses bisnis. Six sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang disiplin terhadap fakta, data, dan analisis statistik, dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki, dan menanamkan kembali proses bisnis demi tercapainya tingkat kualitas 6σ .
2.1.2.3 Konsep dasar Six Sigma
Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai yang mereka harapkan. Apabila produk (barang atau jasa) diproses pada tingkat kinerja kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3.4 kegagalan per
26
sejuta kesempatan (DPMO) atau bahwa 99.99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan yang ada dalam produk untuk (barang atau jasa) itu. Dengan demikian, Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja proses industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, semakin pula kinerja proses industri. Sehingga 6 – sigma otomatis lebih baik daripada 4 – sigma dan 3 – sigma. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang
memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan yang luar biasa (dramatik) di tingkat bawah dan sebagai pengendalian proses industri yang berfokus pada pelanggan dengan memperhatikan kemampuan proses. Six Sigma Motorolla merupakan suatu metode atau teknik pengendalian
dan peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorolla sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode Six Sigma Motorolla dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen industri frustasi terhadap sistem – sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defects). Banyak sistem manajemen kualitas seperti ISO 9000, Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) dan lain – lain hanya menekankan pada upaya peningkatan terus –
27
menerus berdasarkan kesadaran mandiri manajemen, tanpa memberikan solusi yang ampuh bagaimana terobosan – terobosan harus dilakukan untuk meningkarkan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol. Prinsip – prinsip pengendalian dan peningkatan kualitas Six Sigma Motorolla mampu menjawab tantangan ini, dan terbukti perusahaan Motorolla selama kurang lebih 10 tahun setelah implementasi konsep Six Sigma telah mampu mencapai tingkat kualitas 3.4 DPMO. Six Sigma dapat dijelaskan dalam dua perspektif yaitu :
a. Perspektif Statistik
σ dalam statisitik dikenal sebagai standar deviasi yang menyatakan nilai simpangan terhadap nilai tengah. Suatu proses dikatakan baik apabila berjalan pada suatu rentang yang telah disepakati. Rentang tersebut memiliki batas, yaitu batas atas, USL (Upper Specification Limit) dan batas bawah, LSL (Lower Specification Limit). Proses yang terjadi di luar rentang disebut cacat (defect). Proses 6σ adalah proses yang hanya menghasilkan 3.4 DPMO (Defect Per Million Opportunity). DPMO tidak hanya sekedar cacat saja, namun merupakan rasio cacat dibandingkan dengan peluang jumlah kemungkinan cacat yang terjadi.
28
Sumber : Gasperz, 2007, p40
Gambar 2.1 Six Sigma (definisi Motorolla) Distribusi hanya dibatasi sampai 6σ karena ketika suatu proses berjalan maka pasti terjadi variasi, baik itu pada proses manufaktur maupun pada penghantaran jasa. Variasi dapat disebabkan oleh disperse (lebar proses – spreading process) dan pengukuran lokasi (pusat proses – centering process). Pergerakan variasi pada proses berkisar ± 1.5σ . b. Perspektif Metodologi Six Sigma merupakan pendekatan menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses melalui fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control). DMAIC merupakan jantung analisis Six Sigma yang menjamin voice of customer berjalan dalam keseluruhan proses sehingga produk yang dihasilkan memuaskan keinginan pelanggan.
29
Sumber : Hendradi, 2006, p3
Diagram 2.1 Diagram DMAIC ¾
Define adalah fase menentukan masalah, menetapkan persyaratan – persyaratan pelanggan, dan membangun tim.
¾
Measure adalah fase mengukur tingkat kecacatan pelanggan.
¾
Analyze adalah fase menganalisis sebab – sebab masalah pada proses.
¾
Improve adalah fase meningkatkan proses dan menghilangkan sebab – sebab cacat.
¾
Control adalah fase mengontrol kinerja proses dan menjamin cacat tidak muncul.
2.1.2.4 Peningkatan kapabilitas proses menuju target Six Sigma Setelah kita mengetahui posisi kinerja bisnis dan industri pada saat sekarang, misalnya pada kapabilitas 3 – sigma yang menghasilkan kesalahan atau kegagalan sebesar 66.807 DPMO (Defects per Million Opportunities), maka harus melakukan berbagai upaya peningkatan (improvement) menuju
30
target 6 – sigma (Six Sigma) yang hanya akan menghasilkan 3.4 DPMO. Peningkatan dari kapabilitas proses 3 – sigma menjadi 4 – sigma membutuhkan sekitar 10 kali improvement, peningkatan dari kapabilitas proses 4 – sigma menjadi 5 – sigma membutuhkan sekitar 30 kali improvement, sedangkan peningkatan dari kapabilitas 5 – sigma menjadi 6 – sigma membutuhkan sekitar 70 kali improvement.
Dengan demikian apabila kita menganggap bahwa kinerja bisnis dan industri di Indonesia sekarang masih berada pada tingkat kapabilitas 3 – sigma, maka dibutuhkan sekitar 21.000 (= 10 x 30 x 70) kali peningkatan
untuk mencapai target 6 – sigma. Hal ini berarti semakin tinggi kapabilitas sigma, semakin tinggi pula upaya peningkatan agar mencapai keunggulan dan
kesempurnaan. Berbagai upaya peningkatan menuju kapabilitas 6 – sigma ditunjukkan dalam gambar berikut ini :
Sumber : Gasperz, 2007, p49
Gambar 2.2 Berbagai upaya peningkatan menuju target Six Sigma
31
Berikut tabel DPMO yang mengidentifikasikan berapa banyak kesalahan yang akan muncul jika sebuah aktivitas doulang satu juta kali : Tabel 2.1 Tabel konversi Sigma yang disederhanakan Yield (Probabilitas DPMO (Defect per Sigma (σ ) tanpa cacat) Million Opportunities) 30,9% 690.000 1,0 69,2% 308.000 2,0 93,3% 66.800 3,0 99,4% 6.210 4,0 99,98% 320 5,0 99,9997% 3,4 6,0 Sumber : Pande, Neuman, Cavanagh, 2002, p31
2.1.2.5 Six Sigma versus Three Sigma Six Sigma erat kaitannya dengan kualitas, akan tetapi tidak tepat jika
menyamakan Six Sigma dengan pengertian kualitas secara tradisional. Six Sigma adalah, pada dasarnya, suatu tujuan kualitas proses, dimana Sigma
adalah tolak ukur penting dari variabel dalam proses. Paradigma kualitas secara tradisional mendefinisikan suatu proses sebagai mampu jika sifat proses menyebar, plus dan minus Three Sigma, adalah kurang dari toleransi perekayasaan. Dibawah
asumsi
normalitas,
tingkat
kualitas
Three
Sigma
diwujudkan diwujudkan pada proses yang menghasilkan 99.73%. Six Sigma mensyaratkan bahwa proses beroperasi paling sedikit Six Sigma dari rata – rata proses. Satu aspek yang membingungkan dari literature Six Sigma adalah
32
Motorolla menyatakan bahwa suatu proses yang beroperasi pada Six Sigma akan menghasilkan ketidaksesuaian 3.4 bagian per sejuta (parts per million). Akan tetapi jika tabel distribusi normal yang khusus diperiksa (sangat sedikit keluar ke Six Sigma) seseorang menemukan bahwa ketidaksesuaian yang diharapkan adalah 0.002 PPM. Perbedaan tersebut terjadi karena Motorolla menganggap rata – rata proses dapat menyimpang 1.5 sigma pada salah satu arah. Bidang dari distribusi normal melebihi 4.5 sigma dari rata – rata sesungguhnya 3.4 PPM. Karena bagan control akan dengan mudah menemukan beberapa pergeseran proses dari besaran ini dalam satu contoh tunggal, 3.4 PPM mewakili suatu batas atas tingkat. Berbeda dari kualitas Six Sigma, standar kualitas Three Sigma lama dari 99.73% diterjemahkan pada kegagalan 2.700 PPM, bahkan jika kita mengasumsikan penyimpangan nol. Berikut beberapa contoh nyata yang membandingkan sejumlah masalah yang akan ditemukan dengan tujuan kualitas 99 % versus tujuan kinerja Six Sigma (99.9997 %) : Tabel 2.2 Kualitas 99 % versus kinerja Six Sigma
No 1 2 3 4
Aktivitas
Perfoma Dengan 99 % Dengan Six Sigma Untuk setiap 300.000 surat yang dikirim 3.000 salah kirim 1 salah kirim Setiap 500.000 kali melakukan restart komputer 4.100 berbenturan < 2 berbenturan Untuk 500 tahun dari tutup buku akhir bulan 60 bulan tidak imbang 0,018 bulan tidak imbang Untuk setiap minggu penyiaran TV (per channel) 1,68 jam gagal 1,8 detik gagal mengudara mengudara
Sumber : Pande, Neuman, Cavanagh, 2002, p12
33
Dari tabel terlihat bahwa perbedaan yang terjadi antara proses yang beroperasi dengan performa 99 % baik atau 3 – sigma dengan proses yang beroperasi pada tingkat 6 – sigma atau 99.9997 % baik, cukup jauh berbeda. Untuk itu pandangan terhadap kualitas harus diperluas, tidak hanya terpaku pada hasil performa 3 – sigma yang telah dicapai, dimana sebagian besar perusahaan di dunia pada umumnya sekarang beroperasi pada tingkat 3 – 4 sigma.
2.1.2.6 Biaya kualitas yang buruk (Cost Of poor Quality)
Biaya kualitas dapat didefinisikan dengan sangat beragam, tetapi secara umum biaya kualitas adalah biaya – biaya yang terlihat maupun biaya – biaya yang tidak terlihat yang berhubungan dengan karakteristik kualitas dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan. Biaya kualitas cukup sulit untuk diketahui karena biaya kualitas sering kali tidak nampak secara langsung dalam perhitungan accounting. Biaya kualitas dapat dihitung dengan berbagai cara yaitu berdasarkan biaya tenaga kerja (man hour), biaya pemakaian listrik dan mesin, dan lain – lain. Biaya kualitas dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu : a. Biaya kesesuaian (conformance costs) yaitu biaya yang timbul untuk menjamin produk dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Biaya kesesuaian terdiri – dari biaya pencegahan (prevention costs) dan biaya penghargaan (appraisal costs)
34
b. Biaya ketidaksesuaian (nonconformance costs) yaitu biaya yang diakibatkan oleh produk atau jasa yang tidak sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Biaya ketidaksesuaian terdiri – dari biaya kegagalan internal (internal failure costs) dan biaya kegagalan eksternal (external failure costs).
2.1.2.7 Tools dalam Six Sigma
Di dalam Six Sigma banyak menggunakan tools perbaikan untuk meningkatkan kualitas serta untuk menganalisa masalah yang kompleks. Tools yang digunakan dalam Six Sigma terbagi dalam lima tahap DMAIC
yaitu : 1. Tahap Define, tools yang digunakan pada tahap ini adalah Project Statement dan SIPOC Diagram.
2. Tahap Measure, tools yang digunakan pada tahap ini adalah CTQ Tree, peta control dan perhitungan nilai sigma. 3. Tahap Analyze, tools yang digunakan pada tahap ini adalah Diagram Pareto dan Fishbone Diagram. 4. Tahap Improve, tools yang digunakan pada tahap ini adalah FMEA (Failure Modes and Effect Analysis). 5. Tahap Control, tools yang digunakan pada tahap ini adalah Control Chart dan Mistake Proofing atau Poke Yoke.
35
2.1.2.7.1
Project Statement Tools ini digunakan untuk membantu dalam memfokuskan permasalahan
yang akan diteliti. Elemen – elemen yang ada di dalam Project Statement adalah: a. Business Case (Latar belakang proyek) Yaitu berisi suatu paragraf singkat yang berisi latar belakang suatu permasalahan. b. Problem Statement (Pernyataan masalah) Yaitu berisi pernyataan masalah yang ada disertai dengan nilai – nilai yang menunjukkan permasalahan tersebut. c. Goal Statement (Pernyataan tujuan) Yaitu berisi pernyataan tujuan yang ingin dicapai dengan disertai nilai – nilai angka peningkatan yang ingin diraih. d. Project Scope ( Lingkup proyek) Yaitu berisi pernyataan batasan –batasan sebuah proyek. e. Milestone (Batas waktu) Yaitu berisi batas waktu penyelesaian proyek.
2.1.2.7.2
SIPOC Diagram
SIPOC singkatan dari Supplier Input Process Output Customer. SIPOC adalah sebuah peta proses yang didalamnya teridentifikasi siapa pemasoknya, apa inputnya, bagaimana prosesnya, apa hasilnya dan siapa pemakainya.
36
SIPOC dapat digunakan untuk memastikan bahwa semua orang akan melihat proses dalam cara pandang yang sama. Untuk itulah, SIPOC harus ada pada tahap awal proyek. Proses dipetakan menjadi beberapa langkah yaitu : a. Menamakan proses b. Membuat batasan titik awal dan akhir proses c. Membuat daftar output dan pelanggan d. Membuat daftar input dan pemasok e. Identifikasi, memberi nama dan urutkan langkah – langkah dalam proses
2.1.2.7.3
CTQ (Ctritical to Quality)
CTQ adalah unsur – unsur suatu proses yang secara signifikan mempengaruhi output dari proses itu sendiri. CTQ merupakan atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta merupakan elemen – elemen dari suatu produk, proses atau praktek – praktek yang berdampak langsung bagi kepuasan konsumen. CTQ dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses atau produk yang akan diperbaiki untuk menerjemahkan permintaan permintaan pelanggan. Biasanya bentuknya hanya berupa turunan masalah atau breakdown dari semua
masalah
sampai
tercapai
atau
teridentifikasi
sesungguhnya guna memenuhi keinginan pelanggan.
masalah
yang
37
2.1.2.7.4
Control Chart
Peta control dikembangkan oleh Dr. Walter A. Shewhart pada tahun 1920-an sewaktu ia bekerja pada Bell Telephone Laboratories. Peta control terdiri dari dua macam yaitu peta control variabel dan peta control atribut. Peta control variabel terdiri – dari peta x , peta R dan peta S. Peta pengendali x digunakan untuk menganalisa rata-rata level kualitas dalam proses. Peta pengendali R digunakan untuk mengetahui tingkat keakurasian proses dengan mencari range dari sampel yang diambil dari populasi. Peta pengendali S digunakan untuk menganalisa standar deviasi kualitas dalam proses. Peta kontrol atribut merupakan karakteristik kualitas yang tidak dapat direpresentasikan dengan menggunakan angka numerik. Ada beberapa jenis bagan kendali atribut yaitu: a. Bagan p yaitu bagan untuk bagian yang ditolak karena tidaksesuai terhadap spesifikasi b. Bagan np yaitu bagan kendali untuk banyaknya butir yang tidak sesuai c. Bagan c yaitu bagan kendali untuk banyaknya ketidaksesuaian d. Bagan u yaitu bagan kendali untuk banyaknya ketidaksesuaian per satuan
38
Peta kontrol terdiri dari tiga garis pembatas yaitu : 1. Garis tengah (Center Line/CL) yang merupakan representasi nilai rata-rata karakteristik kualitas yang berada dalam posisi dalam peta pengendali (in control state).
2. Garis Batas Kontrol Atas (Upper Control Limit/UCL) yang merupakan garis horizontal batas atas. 3. Garis Batas Kontrol Bawah (Lower Control Limit/LCL) yang merupakan garis horizontal batas bawah.
2.1.2.7.5
Perhitungan nilai sigma
Perhitungan nilai sigma dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh nilai metric yang mampu menunjukkan perfoma dari suatu proses dalam
menghasilkan produk yang baik. Langkah – langkah yang harus dilakukan untuk menghitung nilai sigma adalah : 1) Menentukan jumlah unit yang akan diperiksa. Unit merupakan sebuah item yang sedang diproses, atau produk atau jasa akhir yang sedang dikirim kepada pelangan. 2) Menentukan jumlah karakteristik yang diperiksa (Opportunity). 3) Menghitung jumlah cacat yang ada pada unit yang diperiksa (defect). Defect adalah kegagalan untuk memenuhi persyaratan pelanggan / kinerja
standar.
39
4) Menghitung nilai sigma : o Hitung Defect per Unit (DPU)
DPU =
D U
o Hitung Total Opportunities (TOP)
TOP = U * OP o Hitung Defect Per Total Opportunities (DPO)
DPO =
D TOP
o Hitung Defect Per Million Opportunities (DPMO)
DPMO = DPO * 1.000.000 o Konversikan DPMO dengan menggunakan tabel nilai sigma
2.1.2.7.6
Diagram Pareto
Bagan pareto merupakan grafik yang merangking data dengan mengklasifikasikan secara menurun dari kanan ke kiri. Kemungkinan data yang diklasifikasi dapat berupa masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian atau kerusakan
dan
lain
sebagainya.
Bagan
pareto
digunakan
untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi tipe-tipe yang tidak sesuai. Melalui bagan pareto maka pengguna dapat mengetahui dengan cepat dan visual dalam mengidentifikasikan frekuensi kerusakan atau ketidaksesuaian yang paling sering terjadi. Kelebihan dari bagan pareto adalah dapat menyediakan dampak
40
secara visual dari karakteristik yang diperlukan untuk ditindaklanjuti atau melakukan perbaikan. Ada 2 skala yang digunakan dalam bagan pareto yaitu skala frekuensi atau mata uang yang terletak di sebelah kiri dan skala persentasi yang terletak di sebelah kanan.
2.1.2.7.7
Fishbone Diagram
Diagram sebab akibat merupakan gambar yang terdiri dari garis dan simbol untuk mempresentasikan hubungan antara sebab dan akibat. Diagram sebab akibat ditemukan oleh Dr. Kaoru Ishikawa pada tahun 1943 dan kadang-kadang diagram sebab akibat disebut sebagai diagram Ishikawa. Diagram ini digunakan untuk menginvestigasi penyebab yang buruk dan mengambil tindakan untuk mengoreksi penyebabnya begitu juga sebaliknya jika terdapat penyebab yang baik maka dapat dipelajari akibat yang diperlukan. Penyebab pada diagram sebab akibat biasanya digolongkan dalam beberapa penyebab utama yaitu metoda, material, pengukuran, manusia, mesin dan lingkungan. Manajemen dan maintenance juga kadang-kadang digunakan sebagai penyebab utama. Setiap penyebab dibagi lagi kedalam sub penyebab yang memiliki penyebab yang lebih spesifik.
41
2.1.2.7.8
FMEA (Failure Modes and Effect Analysis)
FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses dan form untuk mengidentifikasikan dan mendahulukan masalah – masalah potensial (kegagalan). Dengan mengidentifikasikan resiko, maka sumber daya dapat dialokasikan untuk mengurangi atau menghilangkan kegagalan (failure). Berikut ini langkah – langkah dan konsep kunci FMEA : 1. Mengidentifikasi proses atau produk / jasa 2. Mendaftarkan masalah – masalah potensial yang muncul (Failure Modes). Ide – ide masalah potensial mungkin berasal dari berbagai sumber meliputi : brainstorming, analisis proses, benchmarking dan sebagainya. 3. Menilai masalah untuk kerumitan, probabilitas kejadian dan detektabilitas. Dengan menggunakan skala 1 – 10, berikan skor pada masing – masing faktor untuk setiap masalah potensial 4. Menghitung “Risk Priority Number” atau RPN dan tindakan – tindakan prioritas. Rating resiko keseluruhan diperoleh dengan mengalikan tiga skor bersama – sama. 5. Melakukan tindakan – tindakan untuk mengurangi resiko. Dengan memfokuskan pertama – tama pada masalah potensial yang memiliki prioritas tertinggi, maka dapat memikirkan tindakan – tindakan untuk mengurangi salah satu atau semua faktor : keseriusan (severity), kejadian (occurance) dan detektabilitas (detactibility).
42
2.1.2.7.9
Mistake Proofing
Pembuktian kesalahan (Mistake Proofing) menekankan pada deteksi dan koreksi masalah sebelum kesalahan tersebut menjadi defect yang sampai kepada pelanggan. Pembuktian kesalahan memberikan perhatian khusus pada satu perlakuan konstan untuk semua proses, yaitu kesalahan manusia. Ide – ide dasar di balik pembuktian kesalahan juga dikenal dengan nama Jepang Poka Yoke (POH-kuh YOH-kay) yang dikembangkan oleh seorang konsultan
mananjemen Jepang, Shigeo Shingo. Inti dari pembuktian kesalahan adalah pengamatan yang cermat terhadap segala aktivitas dalam proses dan memeriksa serta mencegah masalah di setiap langkah. Pembuktian kesalahan dapat digunakan untuk : a) Menyelaraskan perbaikan dan rancangan proses dari proyek – proyek DMAIC. Bagaimana kesalahan – kesalahan yang jarang terjadi, yang paling menantang, dapat dihindari atau dikelola? b) Mengumpulkan dara dari proses – proses pendekatan kinerja Six Sigma (semakin sempurna sebuah proses, maka semakin sulit untuk diukur) c) Mengeliminasi jenis isu proses dan defect yang diperlukan untuk membuat proses dari Sigma 4.5 ke Sigma 6.
43
2.2
Kerangka Pemikiran Six Sigma merupakan pendekatan menyeluruh untuk menyelesaikan
masalah dan peningkatan proses melalui fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control). Penjabaran dari fase – fase tersebut adalah : 1. Define Define adalah fase yang menentukan masalah, menetapkan persyaratan
– persyaratan pelanggan dan membangun tim. Langkah – langkah yang terdapat dalam fase ini adalah menentukan atau mendefinisikan masalah serta tujuan dari proyek Sigma (melalui Project Statement) dan mengidentifikasi gambaran umum proses secara keseluruhan yang ada di perusahaan dengan menggunakan SIPOC. 2. Measure Measure merupakan fase mengukur tingkat kinerja saat ini. Dengan
melakukan analisis terhadap sistem pengukuran, maka dapat mengetahui variasi yang terjadi apakah berasal dari kesalahan pengukuran atau diakibatkan oleh variasi produk. Tingkat kinerja suatu proses dapat dipantau dengan menggunakan analisis kapabilitas proses. Analisis kapabilitas proses akan membandingkan kinerja suatu proses dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Tahap ini dilakukan pengukuran untuk menentukan karakteristik kunci kualitas (CTQ / Critical to Quality) yang merupakan karakteristik produk yang berhubungan dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan, membuat
44
peta kendali dan menghitung kapabilitas proses, menghitung nilai sigma serta perhitungan COPQ. 3. Analyze
Fase analyze merupakan fase mencari dan menentukan akar sebab dari suatu masalah. Masalah –masalah yang timbul terkadang sangat kompleks yang dapat menimbulkan kebingungan atas masalah yang mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Diagram pareto dapat digunakan untuk memprioritaskan
masalah
yang
harus
ditangani
terlebih
dahulu.
Selanjutnya akar utama suatu permasalahan dapat dianalisis dengan menggunakan diagram cause and effect (Fishbone Diagram) yang akan mem-break down secara detail sebab – sebab suatu masalah. Hasil akhir yang ingin diperoleh dari tahap ini adalah berupa informasi atau pernyataan mengenai sebab akibat terjadinya cacat yang harus diperbaiki. 4. Improve Improve adalah fase untuk meningkatkan proses dan menghilangkan
sebab – sebab cacat. Inti dari tahap ini adalah untuk membuat perbaikan – perbaikan atau mengusulkan tindakan – tindakan yang dapat dilakukan terhadap sebab – sebab permasalahan yang ada dengan tujuan agar penyebab dari permasalahan tersebut dapat diatasi ataupun bahkan dihilangkan. Pada tahap ini hal – hal yang akan dievaluasi mencakup
45
alternatif solusi yang ada, memilih solusi yang tepat dan rencana implementasi. Tools yang digunakan dalam tahap ini adalah FMEA serta melakukan
perencanaan tindakan – tindakan pencegahan yang mungkin dengan menggunakan Problem Identification and Preventive Action sebagai langkah untuk mencegah terjadinya masalah atau kegagalan yang dapat menimbulkan cacat pada produk yang dihasilkan. 5. Control Control adalah fase mengontrol kinerja proses dan menjamin cacat
tidak muncul lagi. Sering kali tahap perbaikan yang telah dilakukan hanya dapat membantu dalam pemecahan masalah untuk jangka waktu singkat saja, tidak untuk jangka panjang sehingga perlu dilakukan tahap pengkontrolan terhadap proses perbaikan yang telah dilakukan dengan cermat dan berkelanjutan. Tujuan dari tahap control ini adalah untuk mengevaluasi proses perbaikan yang telah dilakukan dengan efektif dan efisien serta untuk menjaga kondisi agar tetap stabil dan tidak dapat mengalami penurunan kembali. Pada tahap control ini dilakukan usaha – usaha pengontrolan dengan menggunakan peta kontrol dan pemonitoran proses produksi dengan menggunakan mistake proofing. Dengan penentuan tools tersebut diharapkan dapat mengurangi variasi – variasi yang terjadi (yang mempengaruhi proses produksi) atau bahkan tidak akan timbul lagi.