6
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Metode Kuadrat Terkecil
Persamaan regresi linier yang biasa didefinisikan dengan menggunakan metode pendugaan parameter Ordinary Least Square (OLS), secara umum dapat dituliskan : Y = β 0 + β 1 X 1 +…β pX p +μ
(2.1)
Dimana Y : variabel dependen β 1 : koefisien regresi X 1 : variabel independen μ : nilai eror regresi Vektor galat μ diasumsikan menyebar N (0, σ2I) Jika dilakukan pengamatan sebanyak n, maka model persamaan regresi linier berganda ke-I adalah Y i = β 0 + β 1 X i1 +…β p X ip +μ
(2.2)
p = 1, 2, …, n i =1,2,…,p
Persamaan estimasi regresi linier berganda adalah 𝑌𝑌� = 𝛽𝛽̂0 + 𝛽𝛽̂1 𝑋𝑋𝑖𝑖1 + ⋯ + 𝛽𝛽̂𝑝𝑝 𝑋𝑋𝑖𝑖𝑖𝑖
(2.3)
Secara matriks, bentuk penaksir kuadrat terkecil (least square) dari parameter tersebut adalah : 𝛽𝛽̂ = (𝑋𝑋 𝑇𝑇 𝑋𝑋)−1 𝑋𝑋 𝑇𝑇 𝑌𝑌
(2.4)
Universitas Sumatera Utara
7
Dengan 𝛽𝛽� : vektor dari parameter yang ditaksir (p+1) x 1
X : matriks variabel independen berukuran n x (p+1) Y : vektor observasi dari variabel dependen berukuran (n x 1)
Uji signifikansi parsial yaitu uji untuk mengetahui variabel mana saja yang mempengaruhi variabel dependen secara signifikan. Hipotesis yang digunakan adalah H0 : βk = 0 H 1 : β k ≠ 0 dengan k = 1, 2, 3, …p Dengan taraf signifikansi adalah α = 5% Dengan statistik uji yang digunakan adalah � 𝛽𝛽
𝑡𝑡ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖 = 𝑆𝑆𝑆𝑆 �𝛽𝛽𝑘𝑘� � ~𝑡𝑡𝑛𝑛−2−𝑘𝑘
(2.5)
𝑘𝑘
Dengan keputusan tolak H 0 jika |t hit | > t (df, 1-α/2) . Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan dapat dihilangkan dalam model. Di mana df : n-2-k n : jumlah pengamatan k : jumlah variabel bebas
2.2
Regresi Spasial
Regresi spasial adalah metode untuk memodelkan suatu data yang memiliki unsur spasial. Model umum regresi spasial atau juga biasa disebut Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dalam bentuk matriks (Le Sage 1999; Anselin 2004) dapat disajikan sebagai berikut : 𝐲𝐲 = ρ𝐖𝐖𝐲𝐲 + 𝐗𝐗𝛃𝛃 + 𝐮𝐮 𝐮𝐮= λ𝐖𝐖𝐮𝐮+ 𝛆𝛆
(2.6) (2.7)
𝛆𝛆 ~ N(0 ,σ2I)
Universitas Sumatera Utara
8
Dengan y
: vektor variabel dependen berukuran n x 1
X
: matriks variabel independen dengan ukuran n x (k+1)
𝛃𝛃
: vektor koefisien parameter regresi dengan ukuran (k+1) x 1
ρ
: parameter koefisien spasial lag variabel dependen
λ
: parameter koefisien spasial lag pada error
u, 𝛆𝛆
: vektor error dengan ukuran n x1
W
: matriks pembobot dengan ukuran n x n
n
: jumlah amatan atau lokasi (i = 1, 2, 3, …,,n)
I
: matriks identitas dengan ukuran n x n
Pada persamaan (2.6) dapat dinyatakan dalam bentuk 𝐲𝐲 -ρ𝐖𝐖𝐲𝐲 = 𝐗𝐗𝛃𝛃 + 𝐮𝐮
(2.8)
(I-ρ𝐖𝐖)𝐲𝐲 = 𝐗𝐗𝛃𝛃 + 𝐮𝐮
Sedangkan pada persamaan (2.7) dapat dinyatakan dalam bentuk (I-λW)𝐮𝐮 = 𝛆𝛆 atau 𝐮𝐮 =(I-λW)-1 𝛆𝛆
(2.9)
Persamaan (2.8) dan (2.9) disubtitusi ke persamaan (2.6), maka akan diperoleh bentuk persamaan yang lain yaitu : (I-ρ𝐖𝐖)𝐲𝐲 = 𝐗𝐗𝛃𝛃 +(I-λW)-1 𝛆𝛆
(2.10)
Pendugaan parameter pada model umum persamaan regresi spasial dalam bentuk matriks (Anselin, 1988) yaitu : 𝛽𝛽̂ = (𝑋𝑋 𝑇𝑇 𝑋𝑋)−1 𝑋𝑋 𝑇𝑇 (𝐼𝐼 − 𝜌𝜌𝜌𝜌)𝑦𝑦
(2.11)
Universitas Sumatera Utara
9
2.3 Spatial Autoregressive Model (SAR) Jika nilai ρ≠0 dan λ=0 maka model regresi spasial akan menjadi model regresi spasial Mixed Regressive-Autoregressiv atau Spatial Autoregressive Model (SAR) atau disebut juga Spatial lag Model (SLM) (Anselin, 1988) dengan bentuk persamaannya yaitu : 𝐲𝐲= ρ𝐖𝐖𝐲𝐲 +𝐗𝐗𝛃𝛃+ 𝛆𝛆
(2.12)
𝛆𝛆 ~ N( 0, σ2I)
Model persamaan (2.12) mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen. Pada persamaan tersebut, respon variabel y dimodelkan sebagai kombinasi linier dari daerah sekitarnya atau daerah yang berimpitan dengan y, tanpa adanya eksplanatori variabel yang lain. Bentuk penaksir dari metode SAR adalah 𝛽𝛽̂ = (𝑋𝑋 𝑇𝑇 𝑋𝑋)−1 𝑋𝑋 𝑇𝑇 (𝐼𝐼 − 𝜌𝜌𝜌𝜌)𝑦𝑦
(2.13)
Dan penduga untuk ρ adalah
𝜌𝜌� = (𝑦𝑦 𝑇𝑇 𝑊𝑊 𝑇𝑇 𝑊𝑊𝑊𝑊)−1 𝑦𝑦 𝑇𝑇 𝑊𝑊 𝑇𝑇 𝑦𝑦 2.4
Spatial Error Model (SEM)
Jika ρ=0 d an ≠ λ0 , maka persamaan (2.6) menjadi model Spatial Error Model (SEM) dengan bentuk persamaannya yaitu 𝐲𝐲=𝐗𝐗𝛃𝛃 + ,
𝛆𝛆 ~ N (0, σ2I)
𝐮𝐮= λ𝐖𝐖𝐮𝐮+ 𝛆𝛆
(2.14)
Model galat spasial adalah model regresi linier yang pada peubah galatnya terdapat korelasi spasial. Bentuk parameter penduga dari model SEM adalah
Universitas Sumatera Utara
10
T β� = ��X − λ�WX� �X − λ�WX��
−1
T
�X − λ�WX� �y − λ�Wy�
(2.15)
Untuk penduga parameter λ diperlukan suatu iterasi numerik untuk mendapatkan penduga untuk λ yang memaksimalkan log kemungkinan tersebut.
2.5 Signifikansi Parameter Regresi Spasial
Anselin (2003) menyatakan bahwa salah satu prinsip dasar penduga Maksimum Likelihood adalah asymptotic, artinya semakin besar ukuran n maka kurva akan semakin mendekati kurva sebaran normal. Pengujian signifikansi parameter regresi (β) dan autoregresif (ρ dan λ) secara parsial yaitu didasarkan pada nilai ragam galat (σ2), sehingga statistik uji signifikansi parameter yang dipergunakan yaitu 𝑍𝑍ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 =
𝜃𝜃� 𝑠𝑠. 𝑏𝑏(𝜃𝜃)
Dimana β (θ) merupakan asymptotic standard error. Melalui uji parsial masingmasing parameter θ dengan hipotesis H0 : θ = 0 H1 : θ ≠ 0 Dimana θ merupakan parameter regresi spasial (yaitu β, λ, dan ρ), apabila Z hitung ≥ Z(α/2) atau ρ = value < α/2, maka keputusan tolak H 0 , artinya koefisien regresi layak digunakan pada model.
2.6 Efek Spasial
Berikut akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan efek spasial yaitu :
Universitas Sumatera Utara
11
2.6.1 Efek Heteroskedastisitas (Spatial Heterogenity)
Efek heterogenitas adalah efek yang menunjukan adanya keragaman antar lokasi. Jadi, setiap lokasi mempunyai struktur dan parameter hubungan yang berbeda. Pengujian efek spasial dilakukan dengan uji heterogenitas yaitu menggunakan uji Breusch-Pagan test (BP test) Keragaman spasial menggunakan uji Breusch-Pagan (Anselin, 1988). Hipotesis yang diuji adalah: H 0 ∶ 𝜎𝜎12 = 𝜎𝜎22 = ⋯ = 𝜎𝜎𝑛𝑛2 = 𝜎𝜎 2 (ketidakragaman antar wilayah/varians sama) H 1 : minimal ada satu 𝜎𝜎𝑖𝑖2 ≠ σ2 (terdapat keragaman antar wilayah / bersifat
heteroskedastisitas)
Statistik uji Breusch-Pagan (BP) adalah 1
2 BP = � � ℎ𝑡𝑡 𝑧𝑧 (𝑧𝑧 𝑡𝑡 𝑧𝑧)−1 𝑧𝑧 𝑡𝑡 ℎ ~ 𝑥𝑥(𝑝𝑝) 2
Elemen vektor h adalah 𝑒𝑒 2
h i =� 𝜎𝜎𝑖𝑖2 − 1� dengan e i adalah kuadrat galat untuk pengamatan ke-i dan Z adalah vektor y berukuran n × 1 yang sudah dinormal standarkan untuk setiap pengamatan.
Kriteria uji BP �
2 ≤ 𝑥𝑥(𝑝𝑝), 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝐻𝐻0
2 > 𝑥𝑥(𝑝𝑝) , 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝐻𝐻0
Universitas Sumatera Utara
12
2.6.2 Efek Defendensi Spasial (Spatial Dependence)
Spatial dependence muncul berdasarkan hukum Tobler I (1979) yaitu segala sesuatu saling berhubungan dengan hal yang lain tetapi sesuatu yang lebih dekat mempunyai pengaruh yang besar. Penyelesaian yang dilakukan jika ada efek dependensi spasial, adalah pendekatan area.
Anselin (1988) menyatakan bahwa uji untuk mengetahui Spatial dependence di dalam error suatu model adalah dengan menggunakan statistik Moran’s I dan Langrange Multiplier (LM).
2.6.2.1 Moran’s I
Moran’s adalah sebuah tes statistik lokal untuk melihat nilai autokorelasi spasial, yang mana digunakan untuk mengidentifikasi suatu lokasi dari pengelompokan spasial atau autokorelasi spasial. Menurut Lembo (2006) dalam Kartika (2007) autokorelasi spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang. Cliff dan Ord (1973, 1981) menghadirkan uji statistik Moran’s I untuk sebuah vektor observasi Y n = (Y n1 , …, Y nn) pada n lokasi. Rumus Moran’s I untuk matrik pembobot (W) tidak dalam bentuk normalitas, adalah
I = ∑𝑛𝑛
𝑛𝑛
𝑛𝑛 𝑖𝑖=1 ∑𝑗𝑗 =1 𝑤𝑤 𝑖𝑖𝑖𝑖
−
𝑒𝑒𝑛𝑛 ′𝑊𝑊𝑛𝑛 𝑒𝑒𝑛𝑛
(2.16)
𝑒𝑒𝑛𝑛 ′𝑒𝑒𝑛𝑛 1
Dengan e ni = Y ni - ∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1 𝑌𝑌𝑛𝑛𝑛𝑛 adalah sebuah vektor deviasi untuk rata-rata sampel Wn
𝑛𝑛
= [W nij ] adalah matrik bobot spasial. Rumus Moran’s I dengan matrik
pembobot (W) dalam bentuk normalitas, persamaan (2.16) direduksi menjadi I=
𝑒𝑒𝑛𝑛 ′𝑊𝑊𝑛𝑛 𝑒𝑒𝑛𝑛
(2.17)
𝑒𝑒𝑛𝑛 ′𝑒𝑒𝑛𝑛
Nilai ekspektasi dari Moran’s I (Lee dan Wong, 2001) adalah E(I) = I 0 = −
1
𝑛𝑛−1
(2.18)
Universitas Sumatera Utara
13
Jika I > I 0 , maka nilai autokorelasi bernilai positif, hal ini berarti bahwa pola data membentuk kelompok (cluster), I = I 0 artinya tidak terdapat autokorelasi spasial, dan I < I 0 artinya nilai autokorelasi bernilai negatif, hal ini berarti pola data menyebar.
Uji statistik Moran’s I, dibatasi oleh 1.0 (yang berarti klaster spasial bernilai autokorelasi positif) dan -1.0 (yang berarti klaster spasial berniali autokorelasi negatif). Nilai autokorelasi spasial dikatakan kuat, apabila nilai tinggi dengan tinggi atau nilai rendah dengan rendah dari sebuah variabel berkelompok dengan daerah sekitarnya (common side).
Moran’s I scatterplot adalah sebuah diagram untuk melihat hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi (distandarisasi) dengan rata-rata nilai amatan dari lokasilokasi yang bertetanggaan dengan lokasi yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001). Jika I > I 0 maka nilai autokorelasi bernilai positf,sedangkan jika I < I 0 maka nilai autokorelasi bernilai negatif. Pembagian kuadrannya (Perobelli dan Haddad, 2003) adalah
0.50 0.25
Kuadran II Low-High
Kuadran I High-High
Kuadran III Low-Low
Kuadran IV High-Low
0.00 -0.25 -0.50
-0.50
-0.25
0.00
0.25
0.50
Kuadran I disebut High-High, menunjukan nilai observasi tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai observasi yang tinggi berlawanan dengan kuadran III disebut Low-Low, menunjukan nilai observasi rendah dikelilingi oleh daerah
Universitas Sumatera Utara
14
yang mempunyai nilai observasi rendah. Kuadran II dai nilai observasi disebut Low-High menunjukan nilai observasi rendah dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai observasi tinggi berkebalikan dengan kuadran IV disebut HighLow, menunjukan nilai observasi tinggi dikelilingi oleh daerah yang mempunyai nilai observasi yang rendah (Kartika, 2007).
2.6.2.2 Lagrange Multiplier (LM) Test
Uji LM (Lagrange Multiplier) digunakan untuk menentukan apakah model memiliki efek spasial atau tidak. Lagrange Multiplier (LM) yang mana pada tes ini, nilai sisa dari kuadrat terkecil dan hitungan matrik bobot spasial W. Bentuk tes LM (Anselin, 1988), yaitu LM SEM : LM = (1/T)(eTW 2 Y/ σ2)2 ~ 𝑥𝑥 2
(2.19)
P
T = tr [(W1 + W 1 ΄)* W2 ] σ2 =
𝑒𝑒 ′ 𝑒𝑒 𝑛𝑛
LM SAR : LM = (eTW 1 Y/ σ2)2 (D +T)-1 D = σ-2(βW 1 X)′S(βW2 X) S=I-X(XTX)-1XT
Dengan e : nilai residu dari hasil OLS n : banyak observasi
Pada uji Lagrange Multiplier (LM), ada tiga hipotesis yang dilakukan, yaitu : 1. Untuk SAR, H 0 : ρ = 0 dan H 1 : ρ ≠ 0 2. Untuk SEM, H 0 ∶ λ = 0 dan H 1 ∶ λ ≠0
3. Untuk mixture Model, H 0 ∶ ρ, λ =0 dan H 1 ∶ ρ, λ ≠0
Dalam mengambil keputusan, tolak H 0 jika LM > 𝑥𝑥 2 atau nilai probabilitas < α P
Universitas Sumatera Utara
15
2.7 Matriks Keterkaitan Spasial (Spasial Weight Matrices)
Bentuk umum matriks spasial (W) adalah 𝑊𝑊11 W=� ⋮ 𝑊𝑊𝑛𝑛1
… ⋱ …
𝑊𝑊1𝑛𝑛 ⋮ � 𝑊𝑊𝑛𝑛𝑛𝑛
(2.20)
Pembentukan matriks keterkaitan spasial yang sering disebut matrik W dapat menggunakan berbagai teknik pembobotan. Anselin (2002) mengusulkan 3 (tiga) pendekatan untuk mendefenisikan matriks W, yaitu contiguity,distance, dan general. Matriks W berdasarkan persentuhan batas wilayah yang bertetangga, yaitu interaksi yang memiliki persentuhan batas wilayah (common boundary). Sebuah matriks W yang dibentuk adalah simetrik dan diagonal utama selalu bernilai nol seperti jika W mn diberi nilai 1, maka W nm bernilai 1 juga. Pada prakteknya, definisi batas wilayah tersebut memiliki beberapa alternatif. Secara umum terdapat berbagai tipe interaksi, yaitu Rook contiguity, Bishop contiguity dan Queen contiguity.
Berikut penjelasannya : a. Rook contiguity ialah persentuhan sisi wilayah satu dengan sisi wilayah yang lain yang bertetanggaan. Pada gambar 2.1, wilayah 1 bersentuhan dengan wilayah 2 sehingga W12 = 1 dan yang lain 0 atau pada wilayah 3 bersentuhan dengan wilayah 4 dan 5 sehingga W34 =1, W35 = 1 dan yang lain 0. b. Bishop contiguity ialah persentuhan vertek wilayah satu dengan wilayah tetangga yang lain. Pada gambar 2.1, wilayah 2 bersentuhan titik dengan wilayah 3 sehingga W23 = 1 dan yang lain 0. c. Queen contiguity ialah persentuhan baik sisi maupun vertek wilayah satu dengan wilayah yang lain yaitu gabungan rook contiguity dan bishop contiguity. Contoh W32 = 1, W 34 = 1, W35 = 1 dan yang lain 0.
Universitas Sumatera Utara
16
(4)
(3)
(5)
(2)
(1)
Gambar 2.1 : Ilustrasi dari contiguity Sumber : (James P. Lesage, 1998)
Matriks W yang merefleksikan queen contiguity pada gambar 2.1 adalah
W queen =
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
0
0
1
1
0
Universitas Sumatera Utara
17
Matriks queen contiguity atau rook contiguity yang sudah diperoleh, dibentuk kedalam bentuk matriks normalitas, yaitu matriks dimana jumlah dari setiap barisnya adalah satu, sehingga matriks normalitas dari matrik W queen tersebut adalah
W queen =
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
1
1
2
0
1
0
3
0
0
0
2
0 1 2 1 2
3
0 1 2
3 1 2
0
2.8 Teori Graf
Teori graf adalah cabang kajian yang mempelajari sifat-sifat graf. Secara informal, suatu graf adalah himpunan benda-benda yang disebut simpul (vertex atau node) yang terhubung oleh sisi (edge) atau busur (arc). Biasanya graf digambarkan
sebagai kumpulan titik-titik (melambangkan simpul) yang
dihubungkan oleh garis-garis (melambangkan sisi) atau garis berpanah (melambangkan busur). Suatu sisi dapat menghubungkan suatu simpul dengan simpul yang sama. Sisi yang demikian dinamakan gelang (loop).
Gambar 2.2 : Graf dengan 6 simpul dan 7 sisi
Universitas Sumatera Utara