BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Maskapai Penerbangan
2.1.1 Konsep Umum Bisnis Penerbangan Manurung (2010) menjelaskan bahwa jasa komersial angkutan udara di dunia dimulai di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1938. Amerika Serikat mengadakan kongres yang hasilnya mempermudah entry usaha penerbangan swasta. Deregulasi tersebut membuat industri penerbangan tumbuh dengan cepat. Antara tahun 1945 sampai 1951 muncul 90 perusahaan penerbangan lokal yang mendapatkan sertifikat Civil Aeronautics Board (CAB). Hal tersebut mengakibatkan adanya persaingan yang ketat di antara perusahaan-perusahaan penerbangan di pasar yang sama di AS. Awalnya, industri penerbangan memiliki regulasi yang ketat dari otoritas penerbangan pemerintah. Namun pada tahun 1978 di AS muncul deregulasi penerbangan khusus kebebasan dalam kebijakan harga. Persaingan tarif pun mulai terjadi sehingga munculah penerbangan bertarif rendah (low fare airlines). Agar mencapai keuntungan yang diharapkan, perusahaan penerbangan pun berupaya meningkatkan
volume
penjualan.
Upaya-upaya
14
yang
dilakukan
tersebut
15
mengakibatkan persaingan yang keras untuk memperebutkan pasar angkutan udara (Manurung, 2010). Manurung (2010) kembali menjelaskan, perubahan lingkungan dalam industri penerbangan seperti yang disebutkan di atas mengarahkan harga tiket ke harga yang lebih rendah. Namun ada juga perubahan lingkungan yang membawa harga menjadi lebih tinggi. Pada tahun 1973, embargo Arab atas minyak dunia membawa dampak yang luar biasa pada industri penerbangan. Harga minyak melonjak tajam hingga mencapai 222%. Padahal proporsi fuel cost pada biaya penerbangan telah mencapai 20%-30% dan biaya tenaga kerja mencapai 45% dari total biaya operasi perusahaan penerbangan. Perubahan pada faktor biaya minyak dan tenaga kerja merupakan masalah bagi industri penerbangan di AS. Dengan kondisi persaingan yang ketat lalu ditambah dengan kenaikan kedua faktor biaya tersebut, pemerintah AS kembali melakukan deregulasi di tahun 1978. Tujuan deregulasi tersebut adalah untuk menjadikan industri penerbangan menjadi lebih mermutu dengan memperhatikan efisiensi, inovasi, harga rendah, dan pilihan layanan. Ternyata deregulasi baru tersebut mendorong perusahaan meningkatkan frekuensi penerbangan untuk mencapai skala ekonomi, sehingga tekanan persaingan semakin tinggi di industri ini (Manurung, 2010). Untuk mengantisipasi pertumbuhan trafik tersebut, mendorong industri lain yang sejenis untuk mengambil langkah penyesuain. Contohnya pada perusahaan pesawat terbang lain, perusahaan memproduksi pesawat jet berbadan lebar (widebody aircraft) sehingga mampu mengangkut penumpang lebih banyak. Tetapi
16
kebijakan ini tidak memperbaiki kondisi, karena berakibat load factor rata-rata anjlok menjadi 50% di tahun 1970 dari 70% sebelumnya di tahun 1950. Demikian yang disebutkan oleh Chan dan Barry (2005) dalam buku Manurung (2010). Hal tersebut merupakan masalah yang ketiga, yaitu kemerosotan utilitas kapasitas perusahan penerbangan. Ketiga masalah tersebut menurunkan pendapatan perusahaan penerbangan dan meningkatkan pengeluaran investasi pada pembelian pesawat baru berbadan lebar. Posisi ini yang menjadikan para pemain pada industri penerbangan mengalami ”stuck-in-the-middle” (Manurung, 2010). Di tengah permasalahan tersebut, muncullah maskapai Southwest Airlines pada tahun 1970-an. Perusahaan maskapai ini menampilkan model baru pada industri penerbangan. Inovasi yang dijalankan berorientasi pada low fare airlines. Bentuk pelayanan yang diberikan sangat berbeda dengan full service carrier yang berelaku pada saat itu. Mulai dari rute terbang yang pendek dari poin ke poin, memiliki pesawat dengan tipe yang sama, tidak memiliki nomor tempat duduk, tanpa adanya agen penjualan, dan tidak menyajikan makanan dan minuman yang menjadikan harga menjadi lebih murah (Carpenter dan Sanders, 2007 dalam buku Manurung, 2010). Manurung (2010) mengatakan dalam bukunya, walaupun model bisnis serba minim dan hanya pada pasar domestik di AS, Southwest Airlines membangkitkan kekuatan persaingan pada sektor industri penerbangan untuk meraih profit yang konsisten. Perusahaan tersebut menduduki peringkat 10 di antara perusahaan penerbangan dunia dalam hal passenger-kilometres pada tahun 2004, dan di peringkat ke-3 sesudah Delta Airline dan American Airlines dalam hal jumlah penumpang. Southwest Airlines dapat dijadikan panutan bagi perusahaan penerbangan global,
17
terutama bagi new entrants seperti Lion Air di Indonesia, Air Asia di Malaysia, Jet Star dan Virgin Blue di Australia, Ryanair dan Eastjet di Eropa, dan lainnya. Dengan demikian, bagi perusahaan penerbangan ada 3 dominan logic strategi, yaitu low fare airlines, full service airlines, dan campuran antara keduanya (Manurung, 2010).
2.1.2 Low Fare Airlines Konsep penerbangan ”tanpa embel-embel” telah ada cukup lama, bahkan sudah berkembang selama beberapa tahun terakhir. Maskapai yang pertama kali mulai mengoperasikan konsep ini adalah maskapai dari AS pada tahun 1970. Beberapa tahun setelah maskapai ini berkembang di AS, beberapa maskapai di Eropa, Amerika Selatan, dan Asia Pasifik mulai mengikuti strategi ini. Walaupun banyak yang menganggap pasar low cost carrier sebagai pasar yang sukses, namun banyak perusahaan maskapai yang mengalami kegagalan di tengah kompetisi dan permintaan pasar (Doring, 2009). Menurut Doring (2009), ”No-Frills” (penerbangan ”tanpa embel-embel”) atau low fare airlines dapat didefinisikan sebagai tindakan pengoperasian untuk biaya yang lebih rendah. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengirimkan inti produk, di kasus penerbangan ini adalah untuk menerbangkan penumpang dari A ke B, dan tidak fokus pada keutamaan tertentu seperti tempat duduk yang nyaman atau makanan yang enak. Tujuan dari konsep ini adalah harga murah bagi para konsumennya, dan untuk
18
membentuk keunggulan kompetitif dibandingkan maskapai lainnya. Poon & Waring (2010) juga menjelaskan, model bisnis penerbangan low fare airlines merupakan istilah untuk maskapai yang mengurangi pelayanan di dalam pesawat, perjalanan dari poin ke poin, pemanfaatan pesawat yang tinggi, hanya memiliki satu tipe pesawat, meminimalisir reservasi tiket dengan teknologi IT, dan para karyawannya melakukan multi role dalam pekerjaannya.
2.1.2.1 Model Bisnis Low Fare Airlines Dalam memilih strategi yang kompetitif, kunci dari pertimbangan untuk strategi perusahaan adalah bagaimana mengkonfigurasikan persamaan nilai, sehingga dapat memenuhi tuntutan pelanggan dengan yang terbaik. Untuk strategi low fare airlines, berarti perusahaan berusaha untuk mencapai harga serendah mungkin untuk layanan mereka. Struktur biaya merupakan perbedaaan yang jelas antara LCC dengan maskapai yang menggunakan full service airlines (Lawton dan Salomko, 2005). Selain itu, Lawton dan Salomko (2005) menunjukkan bahwa perbedaan utama antara maskapai yang menggunakan full service airlines dan LSA adalah struktur biaya, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu layanan tabungan (contohnya tanpa ada makanan dan minuman gratis), penghematan operasional (contohnya terbang dari poin ke poin), dan overhead saving (contohnya penjualan melalui internet dan birokrasi yang efisien).
19
Doganis (2001) dalam Manurung (2010) berpendapat bahwa LSA memulai dengan dua keunggulan biaya yang timbul dari sifat pengoperasian LSA, yaitu kepadatan tempat duduk yang tinggi dan pemanfaatan pesawat terbang yang lebih tinggi sehari-harinya. Dengan
menghapus kelas bisnis dan konfigurasi ulang
pesawat, FSA secara signifikan dapat meningkatkan jumlah kursi di dalam pesawat. Secara keseluruhan, Doganis menghitung bahwa FSA harus mampu beroperasi dengan biaya kursi yang hanya terisi 40%—50% dari keseluruhan. Jika hal ini dikombinasikan dengan differensiasi factor beban yang dignifikan dan rendahnya biaya distribusi, maka biaya penumpang FSA dapat turun menjadi sekitar sepertiga dari penerbangan tradisional atau full service airlines.
2.1.2.2 Strategi Pemasaran Low Fare Airlines Low fare airlines telah merevolusi industry penerbangan di Indonesia dan membuat seluruh lapisan masyarakat mampu menggunakannya. Tidak ada keraguan bahwa maskapai LFA di Indonesia telah luar biasa sukses, tetapi tidak semua maskapai telah sukses berkompetisi di pasar ini. Daniel Doring (2009)
berpendapat
bahwa
maskapai-maskapai
yang
berkompetisi dengan konsep LFA telah ada sejak pertengahan tahun 90-an, dengan menyederhanakan model bisnisnya jika dibandingkan denga maskapai tradisional. Maskapai dengan konsep low fare airlines telah menjadi sukses karena keuntungan dari biaya per unit, yang memberikan kemungkinan untuk menawarkan harga murah.
20
Melalui strategi tersebut mereka telah merangsang permintaan pasar, dan menaikkan pendapatan. LFA telah menciptakan pasar yang sangat kompetitif, yang juga sangat mempengaruhi maskapai tradisional. Daniel
Doring
(2009)
juga
mengatakan
bahwa
maskapai
pertama
menggunakan strategi ini dengan sukses adalah Southwest Airline di AS. Strategi LFA yang orisinil adalah sebagai berikut: 1)
Harga rendah
2)
Tingginya jumlah penerbangan
3)
Pelayanan dari poin ke poin
4)
Tidak ada makanan atau minuman gratis dalam pesawat
5)
Tidak ada nomor kursi
6)
Penerbangan jarak pendek
7)
Penerbangan bukan ke airport utama
Penerbangan jarak pendek disini diartikan dalam buku Manurung (2010) sebagai rute yang berjarak 400-600 mil atau 600-900km. Biasanya jarak tersebut ditempuh dalam waktu 3-3,5 jam. Beberapa maskapai bertujuan untuk menawarkan harga yang sangat rendah agar dapat berkompetisi dengan transportasi yang lain, seperti kereta api, kapal laut, dan lainnya. Untuk itu, maskapai tersebut memiki focus utama pada pemotongan biaya di setiap bagian dari industri tersebut (Daniel Doring, 2009).
21
2.1.3 Full Service Airlines Menurut Manurung (2010), konsep full service lebih dikenal dengan model bisnis penerbangan tradisional (legacy carriers). Dalam konsep ini, yang ditekankan adalah layanan yang lengkap dan berkualitas juga dengan harga yang premium. Layanan yang diberikan dilakukan secara menyeluruh, frekuensi penerbangan yang fleksibel, adanya pemberian fasilitas lounge, pemberian makanan dan minuman, tempat duduk yang longgar dengan fasilitas televisi, dan sebagainya. Untuk mendukung layanan yang berkualitas, bandara yang digunakan pun adalah bandar udara utama. Untuk operasional pemasaran masih mengandalkan agen tiket sebagai mitra penjualan. Jumlah tempat duduk dan tiket yang dijual pun sudah diatur. Hal inilah yang menjadikan sistem reservasi dan rute penumpang pada full service sangat kompleks. Agar tercipta desain layanan yang berkualitas dan fleksibel, konsep ini menggunakan jenis pesawat besar atau berbadan lebar, dengan tipe pesawat yang berbeda pula, sehingga utilisasi rata-rata hanya 60% dari maksimum jam penerbangan per hari (Manurung, 2010).
2.1.4 Low Fare Airlines Versus Full Service Airlines Ada berbagai macam hal yang membedakan konsep low fare airlines dan full service airline seperti dalam tabel di bawah ini:
22
Table 2.1 Karakteristik Low Fare Airlines dan Full Service Airlines Features
Low Fare Airlines
Full Service Airlines
Generic Strategy
Cost leadership
Differentiation
Umumnya kecil, tetapi Jenis Pesawat
Tipe pesawat besar pemain utama - Point to point jarak pendek (400-600 -
Rute gabungan short
nautical miles) haul/medium dan long-haul - Rute utamanya short Model Operasional
-
Tipe pesawat dan mesin
haul bermacam-macam - Tipe pesawat seragam -
Utilisasi moderate (^)%)
- Utilisasi tinggi (70%80%)
Pasar
Cheap travel sector of
Normally in competition with other
the market,
FSCs, leading to differentiation by
segmentation by time of
class (quality) of service, with high
booking dan pilihan
service image, including:
penerbangan dengan kuliatas dan jasa dasar, seperti:
- Frekuensi schedule dan fleksibilitas penerbangan. - Layanan dalam penerbangan
23
- Tidak ada catering (harus membayar)
extensive. - Pengguna airport utama.
- Pengguna airport typically secondary Inventory management simplified: direct or
Pre arranged tickets and seats:
online bookings, ticket
reservation system complex, due to
less, no use of travel
feeder routes: use of travel agents.
Inventory Management
agents. Sumber: Manurung (2010) Penerbangan jarak pendek disini diartikan dalam buku Manurung (2010) sebagai rute yang berjarak 400-600 mil atau 600-900km. Biasanya jarak tersebut ditempuh dalam waktu 3-3,5 jam.
2.1.5 PT. Indonesia AirAsia PT. Indonesia AirAsia adalah salah satu maskapai yang menggunakan konsep penerbangan berbiaya rendah (low fare airlines). Indonesia AirAsia membawa konsep penerbangan berbiaya rendah yang sebelumnya telah dikembangkan oleh maskapai penerbangan South West di Amerika dan Ryan Air di Eropa. Mengacu pada kesuksesan mereka, induk perusahaan AirAsia yang berada di Malaysia tertarik untuk mengembangkan konsep itersebut di Indonesia. AirAsia masuk pada tahun
24
2004 dengan menggunakan maskapai penerbangan Awair (Air Wagon International) yang sedang bermasalah dan berhenti beroperasi. Awair berubah nama menjadi PT. Indonesia AirAsia pada tanggal 1 Desember 2005 dan diluncurkan kembali pada tanggal 8 Desember 2005 sebagai maskapai penerbangan berbiaya rendah dengan menggunakan konsep yang sama dengan Grup AirAsia (AirAsia, 2007). Visi dari AirAsia adalah menjadi maskapai penerbangan berbiaya rendah yang terbesar di Asia dan melayani 3 milyar orang yang sekarang dilayani dengan konektivitas yang kurang baik dan tarif yang mahal. Misi dari AirAsia adalah: Untuk menjadi perusahaan terbaik untuk bekerja dimana karyawan diperlakukan sebagai bagian dari keluarga besar. Menciptakan brand ASEAN yang diakui secara global. Mencapai biaya terendah, sehingga setiap orang dapat terbang dengan AirAsia. Mempertahankan produk berkualitas tinggi, menggunakan teknologi untuk mengurang biayam dan meningkatkan kualitas layanan. Nilai perusahaan AirAsia adalah dengan membuat model berbiaya rendah melalui penerapan strategi utama berikut: -
Safety first, bermitra dengan provider pemeliharaan paling terkenal di dunia dan sesuai dengan operasi penerbangan dunia.
-
Pemanfaatan pesawat tinggi
25
Ada beberapa faktor keberhasilan AirAsia yang disebutkan oleh Sen Ze dan Jayne Ng (2007) dalam bukunya, yaitu: 1. Model bisnis yang menguntungkan. Dengan modal capital yang begitu besar diperlukan untuk mendapatkan pesawat dan membayar pilot beserta staf lain, selain itu pula untuk memenuhi biaya bahan bakar yang meningkat, dan biaya lainnya, AirAsia mampu mendapatkan keuntungan dalam tahun pertama operasinya. Ini merupakan langkah yang diperlukan keahlian dan keberanian. Berikut model bisnis yang menguntungkan yang menjadi salah satu faktor keberhasilan AirAsia:
Perjalanan adalah industri besar Di seluruh dunia, milyaran orang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alasan masing-masing dan hal ini akan terus berlangsung sampai akhir masa. Jika memulai suatu bisnis, salah satu cara untuk meningkatkan peluang keberhasilan adalah dengan berkerja dalam suatu industri yang menjanjikan banyak prospek. Industri perjalanan tidak diragukan lagi sebagai bisnis besar yang memberikan peluang tersebut, dan AirAsia sadar akan hal ini. Dengan cerdasnya, AirAsia menawarkan produk dan jasanya kepada konsumen yang menginginkan tarif murah.
Orang selalu terbang Tidak ada bisnis yang lebih baik dari bisnis yang berulang, dimana konsumen yang sama merasa puas. Dalam industri perjalanan berbiaya tinggi, konsumen yang berulang adalah yang selalu diharapkan.
26
Dengan adanya permintaan untuk transportasi secara terus-menerus, maka masuk akala jika penyedia jasa perjalanan melihat pada konsumen
berulang
sebagai
pendukungnya.
Cara
AirAsia
melakukannya adalah dengan menawarkan diskon dan promosi tarif rendah.
Asia adalah pasar besar Asia merupakan benua terbesar di dunia, dengan penduduk daratan yang padat di dunia. Begitu juga dengan Indonesia yang dengan penduduk terbanyak keempat di dunia. AirAsia tahu, dalam jangka waktu yang lama ke depan cukup untuk dinikmati hasilnya.
AirAsia bertahan sebagai model bisnis yang mapan Model maskapai udara berbiaya rendah AirAsia merupakan hasil salinan dari Eropa dan Amerika. AirAsia memilih model yang telah terbukti keberhasilannya dengan biaya yang rendah dalam pasar yang besar dan menggunakan model yang benar juga dengan mengontrol biaya, membuat AirAsia meraih keberhasilannya.
Model armada biaya rendah menjaga biaya tetap rendah sampai di tingkat minimum Berikut beberapa cara AirAsia menurunkan biaya: Dengan meniadakan makanan, namun tetap menjualnya bagi mereka yang membutuhkan. Sebagian besar penerbangan butuh waktu 3 sampai 3,5 jam perjalanan, yang memungkinkan untuk menggunakan awak
27
kabin yang sama untuk penerbangan balik dari tujuan kedatangan kembali ke tujuan pemberangkatan dengan penumpang baru. Hal ini dapat menurunkan biaya gaji awak kabin. Tidak ada biaya yang dimasukkan untuk akomodasi awak kabin pada tujuan kedatangan karena mereka kembali ke rumah di hari yang sama. AirAsia merencanakan tujuannya dengan cermat, dengan terbang hanya ke tempat-tempat yang dapat dicapai dalam 3 sampai 3,5 jam. Konsumen didorong untuk membeli tiket pada internet untuk mengurangi kebutuhan akan konter tiket dan staf, dan juga tanpa adanya tiket, tetapi hanya kode tiket dan rincian penerbangan yang dapat dicetak sendiri oleh pelanggan. AirAsia mencari landasan termurah. Jika ada rute penting dan tidak dapat menghindari landasan yang mahal, maka tidak semua fasilitas digunakan, seperti jembatan layang. Parkiran pesawat pun berada di samping ruangan terjauh dari pusat bandara.
Melakukan hedging terhadap biaya bahan bakar Bahan bakar dapat mengabiskan 60% dari total biaya operasional. AirAsia membayar bahan bakar dimuka untuk menjaga harga terendah, sehingga meminimalkan resiko kenaikan harga bahan bakar.
28
Model bisnis yang menguntungkan Pesawat tidak membawa muatan penuh setiap harinya, maka AirAsia menawarkan tiket rendah. Dan kunci untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi AirAsia adalah dengan lebih banyak rute dan lebih banyak pesawat.
Dengan harga rendah semacam itu, setiap orang dapat terbang Maskapai berbiaya rendah dapat memasuki sumber prospek baru yang belum pernah ada sebelumnya, contohnya penumpang yang tidak dapat bepergian dengan maskapai layanan penuh. Hanya dengan beberibu rupiah saja (jika orang tersebut bersabar menunggu harga promosi) orang yang sebelumnya tidak mampu bepergian dengan pesawat udara, sekarang dapat bepergian sesuai tujuan mereka.
Media menyukai kisah AirAsia AirAsia
mendapat
publisitas
gratis
di
media
karena
kisah
keberhasilannya. Selain itu Tony Fernandes, CEO AirAsia mengetahui bagaimana masuk ke dalam kekuatan media. 2. Menghasilkan keuntungan walaupun menjual tiket dengan harga murah. AirAsia menjual tiket dengan harga yang sangat murah secara reguler dan tetap dapat menghasilkan ratusan milyar. Tidak setiap tempat duduk di setiap pesawat akan terisi, namun AirAsia tahu berdasarkan pengalaman rute-rute mana yang paling sibuk. Daripada membiarkan tempat duduk itu kosong, lebih baik AirAsia menawarkan dengan harga yang sedemikian rendah. Bukan merupakan masalah menjual tempat duduk sekali jalan dengan harga Rp 2.475
29
jika memang tempat duduk tersebut tidak akan ditempati. Sehingga AirAsia mengumumkan harga ini ke masyarakat umum dan mendapatkan manfaat dari publisitas yang beredar. Kalaupun tempat duduk itu tidak terjual, AirAsia tetap memperkuat posisinya dalam benak konsumen sebagai maskapai biaya rendah yang sebenarnya. Ringkasnya, dengan mengiklankan tempat duduk yang sangat murah untuk tujuan tertentu, AirAsia:
Menjual tempat duduk yang jika tidak ditawarkan pun akan kosong Pesawat yang terisi penuh dapat memberikan kesan lebih baik kepada penumpang, yang meyakinkan bahwa maskapai tersebut berjalan dengan baik.
Menjual tempat duduk berminggu-minggu sebelumnya, mengisi penuh pesawat lebih dari yang dapat dilakukan sebelumnya Banyak konsumen yang memesan tiket berbulan-bulan sebelumnya untuk dapat terbang ke tujuan tertentu, sehingga dapat menikmati tarif yang jauh lebih murah walaupun mereka tidak yakin dapat pergi pada tanggal tersebut. Namun tidak masalah kehilangan Rp 50.000 dalam suatu kegiatan yang tidak dapat mereka hadiri pada tanggal tersebut.
Menarik keingintahuan dari prospek yang bahkan tidak akan berpikir untuk terbang Setiap orang terbiasa akan harga tinggi untuk sebuah tiket udara, sehingga ketika harga tiket lebih murak daripada harga bus, maka orang akan tertarik untuk terbang.
30
Menggiring sebagian prospek menjadi pelanggan yang membayar harga reguler jika tempat duduk termurah habis Dapat memungkinkan untuk menggiring konsumen untuk membeli tiket harga reguler yang masih jauh lebih murah daripada tiket yang ditawarkan maskapai udara lain.
Memungkinkan para peragu untuk mengalami layanannya AirAsia memberikan pengalaman terbang yang menyenangkan walaupun dengan model harga yang rendah. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa tingkat kenyamanan dan kepuasan tidak diperuntukkan demi keuntungan semata.
Lebih jauh memperkuat posisinya sebagai maskapi biaya rendah Iklan reguler tentang harga yang rendah merupakan hal kuat yang secara permanen akan melekatkan nama maskapai di benak pelanggan.
Menciptakan pemasaran mulut ke mulut melalui iklan dan dari pengalaman pelanggan Jika konsumen puas, maka merupakan iklan yang potensial bagi AirAsia, yang menyebarkan kata kepada ratusan teman dan kontak.
Dengan mudah meraih kesadaran cepat diingat, perlahan menyisihkan pesaing dari benak prospek dan pelanggan AirAsia memperoleh keberhasilan karena pemahamannya yang tepat, dan dengan pemasaran yang agresif serta kampanye publisitas yang terus mengisi media secara reguler.
31
3. Keuntungan sebagai yang pertama bergerak. Model maskapai berbiaya rendah bukan model yang baru dan teruji. AirAsia hanya menyesuaikan model yang teruji oleh Ryanair dan Easyjet. Dengan model yang dimiliki ini, AirAsia mencanangkan dengan sebuah tagline yang sederhana dan efektif “Now Everyone Can Fly (Sekarang Setiap Orang Dapat Terbang).” Strategi sederhana ini member keuntungan kepada penggerak pertama dalam sebuah pasar yang didominasi oleh maskapai udara layanan penuh uang menetapkan tarif udara yang terlampau tinggi. AirAsia mengiklankan ongkos rendahnya secara teratur di media, terutama surat kabar. Tony Fernandes juga memberikan wawancara secara berkala mengenai kemajuan AirAsia.
2.1.6 PT. Garuda Indonesia Sejarah penerbangan komersial di Indonesia berada pada masa perjuangan rakyat Indonesa dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Penerbangan komersial pertama menggunakan pesawat DC-3 Dakota dengan registrasi RI 001 dari Calcutta ke Rangoon pada tanggal 26 Januari 1949 dan diberi nama “Indonesian Airways”. Selanjutnya pada tanggal 28 Desember 1949, pesawat tipe Douglas DC-3 Dakota dengan registrasi PK-DPD yang sudah dicar dengan logo “Garuda Indonesian Airways” terbang dari Jakarta ke Yogyakarta untuk menjemput Presiden Soekarno. Ini adalah penerbangan yang pertama kali dengan nama Garuda Indonesian Airways.
32
Pada tahun 1950, Garuda Indonesia resmi menjadi Perusahaan Negara. Saat itu perusahaan memiliki 38 buah pesawat yang terdiri dari 22 jenis DC3, 8 pesawat laut Catalina, dam 8 pesawat jenis Convair 240. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1956, Garuda Indonesia membawa penumpang jamaah haji ke Makkah, dan pada tahun 1965 memulai perjalanan terbangnya ke Eropa dengan tujuan akhir Amsterdam. Sepanjang tahun 80an, armada Garuda Indonesia dan kegiatan operasionalnya mengalami restrukturisasi besar-besaran. Pada masa itu, perusahaan mendirikan Pusat Pelatihan Karyawan, Garuda Training Center yang terletak di Jakarta Barat. Selain pusat pelatihan, Garuda Indonesia juga membangun Pusat Perawatan Pesawat, Garuda Maintenance Facility (GMF) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Garuda Indonesia menyusun strategi jangka panjang sampai tahun 2000 pada awal tahun 90an. Selain itu juga perusahaan meningkatkan jumlah armada, sehingga Garuda Indonesia termasuk dalam 30 besar maskapai penerbangan di dunia. Di awal tahun 2005, Garuda Indonesia di bawah kendali manajemen yang baru, membuat perencanaa baru bagi masa depan perusahaan. Upaya membangun kekuatan keuangan perusahaan, Garuda Indonesia memiliki hutang sewa pembiayaan dengan Europian Export Credit Agency (ECA) yang merupakan bagian terakhir dalam restrukturisasi dan diselesaikan pada tanggal 21 Desember 2010. Per akhir Desember 2010, struktur kepemilikan saham perusahaan adalah 85,8% milik Pemerintah Republik Indonesia, 10,6% milik PT. Bank Mandiri, 1,4% milik PT. Angkasa Pura, dan 2,2% milik PT. Angkasa Pura II.
33
Sampai akhir 2010, Garuda Indonesia mengoperasikan 89 pesawat yang terdiri dari 3 pesawat jenis Boeing 747-400, 6 pesawat jenis Airbus 330-300, 5 pesawat jenis Airbus 330-200, dan 33 pesawat jenis Boeing 737 Classic (seri 300, 400, 500) dan 42 pesawat Boeing 737-800 NG. Armada pesawat ini terbang ke 36 rute penerbangan domestic dengan rata-rata 434 kali penerbangan per minggu dan 25 rute internasional dengan 338 kali penerbangan per minggu dengan 12,5 juta penumpang. Perusahaan memiliki 6.273 karyawan, termasuk 537 orang siswa yang tersebar di kantor pusat maupun kantor cabang. Garuda Indonesia memiliki 4 anak perusahaan untuk mendukung kegiatan operasionalnya, yang focus pada produk atau jasa pendukung bisnis perusahaan induk, yaitu PT. Abacus Distribution System, PT. Aero Wisata, PT. Garuda Maintenance Facility Aero Asia, dan PT. Aero Systems Indonesia. Visi dari Garuda Indonesia adalah: “Menjadi perusahaan penerbangan yang handal dengan menawarkan layanan yang berkualitas kepada masyarakat dunia menggunakan keramahan Indonesia.” Sedangkan misi Garuda Indonesia adalah: “sebagai perusahaan penerbangan pembawa bendera bangsa (flag carrier) Indonesia yang mempromosikan Indonesia kepada dunia guna menunjang pembangunan ekonomi nasional dengan memberikan pelayan yang professional.” Selain itu, Garuda Indonesia juga memiliki nilai perusahaan, yakni: “Tata nilai perusahaan yang disebut sebagai ‘Fly-Hi’ terdiri dari:
34
Efficient & effective, loyalty, customer centricity, honesty & openness, dan integrity,” Garuda Indonesia juga memiliki tujuan perusahaan, yaitu: “Untuk mencapai visi perusahaan maka tujuan perusahaan adalah menjadi maskapai penerbangan terkemuka dengan reputasi yang sejajar dengan maskapai kelas dunia lainnya. Sedangkan sasaran perusahaan yang hendak dicapai adalah menciptakan perusahaan yang
terus
tumbuh
dan
berkembang
dengan
keuntungan
berkelanjutan.” Dalam mewujudkan sasaran-sasaran strategi pertumbuhan Quantum Leap 2015, Garuda Indonesia telah mendapatkan beberapa pencapaian penting di tahun 2010, yaitu: -
Memperoleh pengakuan sebagai 4-Star Airline dan penghargaan The World’s Most Improved Airline dari Skytrex serta Airline Turnaround of the Year dari Center of Asia Pasific Aviation (CAPA).
-
Memperoleh perpanjangan sertifikasi IOSA (IATA Oparational Safety Audit) sampai tahun 2012 dan menerapkan Integrated Operational Control System (IOCS) yang mengintegrasikan sistem guna memonitor pergerakan pesawat, jadwal penerbangan, dan juga pergerakan anak pesawat.
-
Menandatangani perjanjian untuk bergabung dengan aliansi global SkyTeam dimana Garuda Indonesia diwajibkan untuk memenuhi persyaratan dari SkyTeam dan pada tahun 2012, akan menjadi anggota penuh.
35
-
Dengan mengeluarkan seragam baru bagi awak kabin dan frontliners yang menciptakan citra dengan menampilkan desain batik khas Indonesia, Garuda Indonesia menyempurkan konsep layanan Garuda Indonesia Experience.
-
Telah menyelesaikan restrukturisasi hutang dengan seluruh kreditur termasuk Europian Export Credit Agency (ECA).
-
Telah melakukan persiapan akhir untuk go public dan siap melakukan penawaran umum perdana saham di Bursa Efek Indonesia pada awal tahun 2011.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Factors Influencing Mode Selections of Low-cost Carriers and a Full-service Airline in Thailand (Faktorfaktor yang Mempengaruhi Pemilihan Low-cost Carriers dan Full Service Airline di Thailand)
Dalam jurnal Thanasupsin, Chaichana, & Pliankarom (2010) yang berjudul Factors Influencing Mode Selections of Low-cost Carriers and a Full-service Airline in Thailand atau “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Low-cost Carriers dan Full Service Airline di Thailand,” disebutkan ada beberapa penelitian lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli tiket maskapai low fare airlines atau full service airline, yaitu sebagai berikut:
36
1. Pada penelitian Mason (2001), para pebisnis yang melakukan perjalanan jarak pendek sangat sensitive mengenai harga tiket pesawat yang harus dibayar. Para pebisnis yang menggunakan low fare airlines sangat mengacu pada seberapa besarnya perusahaan tempat mereka bekerja, proses pemesanan tiket, saluran untuk memesan tiket, harga, layanan di dalam pesawat, skema frequent flyer, dan business lounges. 2. Pada penelitian lain di Afrika oleh Fourie dan Lubbe (2006), disebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi para business traveler dalam pemilihan FSA dan LFA. Di antaranya adalah program frequent flyer, jadwal/jumlah penerbangan, makanan dan minuman dalam pesawat, fasilitas airport lounge, adanya pilihan tempat duduk business class, dan pilihan pre-seating. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga bukanlah factor penting dalam menentukan FSA atau LFA. 3. AirAsia (2006) melakukan survey terhadap konsumen mengenai penerbangan jarak pendek. Hasil survey tersebut mengungkapkan bahwa yang menjadi perhatian konsumen dalam memilih maskapai penerbangan adalah harga, jumlah dan rute penerbangan, dan waktu perjalanan, bukan poin frequent flyer, makanan, ataupun kemudahan pemesanan. 4. Pada penelitian O’ Connell and Williams (2005) juga telah mempelajari persepsi penumpang FSA dan LFA yang melibatkan Ryan Air, Aer Lingus, AirAsia, dan Malaysia Airlines. Dilaporkan bahwa penumpang yang bepergian dengan maskapai yang menggunakan model FSA memperhatikan kelebihan, kualitas, jadwal penerbangan, koneksi, program frequent flyer, dan
37
kenyamanan, sedangkan konsumen yang menggunakan LFA focus terhadap harga. Pada penelitian Thanasupsin, Chaichana, & Pliankarom (2010) sendiri menyimpulkan bahwa alasan pemilihan model maskapai udara pada masyarakat Thailand adalah: 1) harga, 2) keamanan, 3) kenyamanan, 4) pelayanan, 5) saluran distribusi pembelian tiket, dan 6) ketepatan waktu. Disebutkan pula, bahwa faktor yang paling mempengaruhi penumpang FSA dalam memilih tiket adalah ketepatan waktu, dimana itu merupakan kelemahan dari LFA. Sedangkan faktor yang paling mempengaruhi keputusan penumpang LFA adalah harga, dimana harga yang merupakan kekuatan dari LFA. Dikatakan pula, apabila LFA dalam melakukan ketepatan waktu dalam penerbangan dengan level yang sama dengan LFA, maka konsumen akan ada kenaikkan penumpang sekitar 40%.
38
2.2.2 How do Consumers Value Airline Services Attributes? A Stated Preferences Discrete Choice Model Approach (Bagaimanakah Konsumen Menilai Atribut Layanan Sebuah Maskapai Penerbangan?)
Dalam jurnal Pereira, Almeida, Menezes, dan Vieira (2007) yang berjudul How do Consumers Value Airline Serivces Attributes? A Stated Preferences Discrete Choice Model Approach atau “Bagaimanakah Konsumen Menilai Atribut Layanan Sebuah Maskapai Penerbangan?” telah diadakan penelitian factor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli tiket maskapai penerbangan. Penelitian tersebut dilakukan pada calon penumpang maskapai penerbangan di bandara Funchal, Portugis kepada 325 orang calon penumpang. Atribut yang digunakan untuk mengukur factor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian tiket tersebut adalah harga, penalty pada perubahan tiket, ketepatan waktu, kenyamanan, dan frekuensi penerbangan. Atribut yang digunakan pada variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) harga, 2) penalty untuk perubahan tiket, 3) makanan, 4) kenyamanan: ruang kaki di antara kursi (leg-room), 5) frekuensi penerbangan: 2, 4, dan 6 kali penerbangan per hari,
39
6) reliability (jaminan ketepatan waktu): ada atau tidaknya kompensasi untuk keterlambatan, ada atau tidaknya tiket gratis untuk perjalanan yang sama, dan tiket diganti uang kembali. Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini bahwa para konsumen di bandara Funchal, Portugis bersedia membayar dengan harga lebih tinggi demi mendapatkan pelayanan dan ketepatan waktu keberangkatan.
2.2.3 Service Quality, Satisfaction, and Behavioural Intention: A Study of Low-cos Airline Carriers in Thailand (Kualitas
Pelayanan,
Kepuasan
dan
Perilaku
Keinginan: Penelitian Low-cost Carriers di Thailand)
Saha dan Theingi (2009) dalam jurnalnya yang berjudul Service Quality, Satisfaction, and Behavioural Intention: A Study of Low-cos Airline Carriers in Thailand atau ”Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Perilaku Keinginan: Penelitian Low-cost Carriers di Thailand” menuliskan bahwa kualitas pelayanan sangat berhubungan dengan kepuasan konsumen dan keuntungan perusahaan. Dimensi kualitas pelayanan yang tradisional, yaitu reliability (kehandalan), assurance (jaminan), tangibility (berwujud), empathy (empati), dan responsiveness (responsif) telah dikembangkan pada penelitian ini agar sesuai dalam mengukur kualitas layanan
40
dalam pembahasan low service airlines dan disimpulkan menjadi 4 (empat) faktor yang luas, yaitu: 1) tangible factors (faktor-faktor yang berwujud), seperti baru/tidaknya pesawat, tempat duduk, dan air conditioning (AC), 2) flight schedule factors (faktor-faktor jadwal penerbangan), seperti kenyamanan jadwal dan ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan penerbangan, 3) flight attendants (pramugara/i), seperti pakaian dan penampilan, pengetahuan dalam memberikan pelayanan, dan keramahan pada penumpang, dan 4) ground staff (staf lapangan), menyangkut hal-hal yang digunakan oleh pramugara/i. Keempat faktor tangible factors, flight schedule factors, flight attendants, dan ground staff tersebut dikatakan akan mempengaruhi kepuasan konsumen. Saha dan Theingi kembali mengukur dimensi kepuasan dengan 3 (tiga) hal, yaitu: 1) kepuasan dengan harga, 2) kepuasan dengan pelayanan, dan 3) kepuasan secara keseluruhan dengan maskapai. Apabila konsumen mendapatkan kepuasan, maka akan mendorong konsumen untuk melakukan keputusan pembelian lagi di masa yang akan datang. Sehingga, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan konsumen, dan kepuasan konsumen mempengaruhi keputusan pembelian.
41
Hasil yang diungkapkan dalam penelitian ini bahwa variabel jadwal memiliki pengaruh positif yang paling kuat dan memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan variabel lainnya terhadap kepuasan penumpang dan juga terhadap keputusan pembelian.
2.2.4 Service Quality and Satisfaction for Low Cost Carriers (Kualitas Pelayanan dan Kepuasan untuk Low Cost Carriers)
Ariffin, et al (2010) menuliskan dalam jurnal Service Quality and Satisfaction for Low Cost Carriers atau ”Kualitas Pelayanan dan Kepuasan untuk Low Cost Carriers” bahwa sebagian besar penumpang melihat suatu maskapai penerbangan dari kualitas pelayanannya sebagai variabel multi-dimensi, yang terdiri dari kehandalan (reability), jaminan (assurance), berwujud/nyata (tangibles), empati empathy), dan responsif (responsiveness). Dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan Ariffin, et al adalah: 1) Caring (kepedulian) dan tangible (berwujud) -
Tingkat pengetahuan karyawan dalam menanggapi pertanyaanpertanyaan penumpang
-
Kenyamanan dari kursi maskapai
-
Tingkat komunikasi dalam situasi yang tidak biasa
42
-
Keramahan karyawan
-
Fleksibilitas dari tiket yang dibeli
-
Profesionalisme dalam menangani bagasi
-
Tingkat kepercayaan yang ditransmisikan ke penumpang
-
Penampilan karyawan secara keseluruhan
-
Perilaku para wisatawan lainnya
2) Reliability (kehandalan) -
Keterlambatan kedatangan pesawat
-
Penundaan waktu keberangkatan
-
Waktu menunggu untuk klaim bagasi
-
Antrian penumpang hingga duduk di pesawat
3) Responsiveness (responsif) -
Pemesanan tiket melalui call center
-
Pemesanan tiket di konter tiket
-
Pemesanan tiket melalui situs web
-
Respon awak kabin terhadap permintaan penumpang
4) Affordability (keterjangkauan) -
Harga tiket
5) Visual Attractiveness (daya tarik visual) -
Material yang menunjang daya tarik visual (desain exterior dan interior, desain tempat duduk, konter tiket, dll.
43
Penelitian ini mengungkapkan bahwa caring dan tangible, reliability, dan responsiveness merupakan faktor yang paling penting yang dapat membantu mendapatkan kepuasan penumpang. Walaupun maskapai penerbangan dengan konsep Low Fare Airlines harus fokus pada atribut yang menciptakan keunggulan kompetitif seperti harga, perusahaan maskapai penerbangan juga harus memperhatikan faktorfaktor lainnya.
2.2.5 How Much Airline Customers are Willing to Pay: An Analysis of Price Sensitivity in Online Distribution Channels
(Seberapa
besar
konsumen
maskapai
penerbangan ingin membayar: analisis sensitivitas harga pada saluran distribusi secara online)
Dalam jurnal Garrow, Jones, dan Parker (2006) yang berjudul How Much Airline Customers are Willing to Pay: An Analysis of Price Sensitivity in Online Distribution Channels atau ”Seberapa besar konsumen maskapai penerbangan ingin membayar: analisis sensitivitas harga pada saluran distribusi secara online,” mengatakan bahwa pada penelitian tersebut memfokuskan pada pemahaman akan kesediaan para wisatawan yang akan bepergian untuk membayar jasa pesawat terbang dan kesediaan mereka untuk membayar beberapa layanan tertentu di pasar Amerika Serikat.
44
Pada penelitian ini, ada beberapa hal yang digunakan untuk meneliti faktor yang mempengaruhi keinginan konsumen untuk membayar, yaitu: 1) Harga: ketika harga mengalami penurunan 2) Pelayanan: penerbangan non-stop vs connecting flight (penerbangan dengan transit) 3) Adanya pilihan jadwal penerbangan (waktu keberangkatan dikatakan lebih penting dari waktu kedatangan, dan tidak disukainya penundaan waktu keberangkatan). 4) Perilaku pembelian secara online. Kesimpulan yang didapat pada penelitian tersebut adalah bahwa pada penumpang yang akan melakukan perjalanan bisnis lebih mementingkan layanan dibandingkan penumpang yang akan liburan, seperti memilih penerbangan non-stop. Sedangkan para penumpang yang akan liburan melakukan pemesanan secara online dan lebih sensitif terhadap harga.
2.2.6 Pemahaman terhadap Segmentasi Pelanggan: Suatu Usaha untuk Meningkatkan Efektifitas Pemasaran Jasa Penerbangan
Dalam jurnal Natalisa (1999), dikatakan bahwa konsumen dalam industri maskapai penerbangan dibagi menjadi 3 (tiga) segmen, yaitu konsumen yang mengadakan perjalanan bisnis, perjalanan wisata, dan yang mengunjungi teman dan
45
kenalan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepuasan dan ketidakpuasan konsumen maskapai penerbangan domestik tidak dibedakan oleh variabel harga, tetapi dibedakan oleh variabel: 1) Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan, 2) Kesesuaian antara kualitas layanan dengan promosi, dan 3) Faktor situasi (on time performance). Temuan lain yang diperoleh pada penelitian tersebut yang menggunakan obyek penelitian dari ketiga segmen konsumen (bisnis, wisatawan, dan kunjungan teman dan kenalan) menunjukkan bahwa: 1) Variabel persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan merupakan variabel yang paling signifikan yang mempengaruhi kepuasan konsumen. 2) Variabel
situasi
(on
time
performance)
merupakan
variabel
yang
mempengaruhi kepuasan pada segmen perjalanan bisnis. 3) Variabel harga tidak terbukti sebagai variabel yang mempengaruhi kepuasan konsumen pada segmen wisatawan dan kunjungan teman dan kenalan.
2.3 Konsep Penelitian Dari keenam jurnal yang telah dijelaskan sebelumnya, terlihat dimensi yang paling banyak digunakan untuk mengukur keputusan pembelian tiket dalam model bisnis full service airlines dan low fare airlines adalah harga,dan kualitas pelayanan seperti pada tabel 2.1. Dimensi harga dan kualitas pelayanan juga merupakan dimensi yang paling banyak digunakan juga berpengaruh paling signifikan pada keputusan
46
pembelian tiket dalam model bisnis full service airlines dan low fare airlines. Dan jika dikaitkan dengan kondisi keselamatan dan keamanan maskapai penerbangan di Indonesia yang masih sangat mengkhawatirkan, maka selain harga dan kualitas pelayanan, dalam penelitian ini penulis menambahkan dimensi keamanan untuk mengukur sejauh mana pengaruhnya dalam keputusan pembelian tiket.
Tabel 2.2 Dimensi yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Tiekt dalam Model Bisnis Full Service Airlines dan Low Fare Airlines
Jurnal
Jurnal
Jurnal
Jurnal
Jurnal
Jurnal
1
2
3
4
5
6
Harga
v
V
V
v
v
v
Keamanan
v
Kualitas Pelayanan
v
v
V
v
v
v
Dimensi
Sumber: Hasil pengolahan penulis (2011) Keterangan: Jurnal 1 : Factors Influencing Mode Selections of Low-cost Carriers and a Fullservice Airline in Thailand Jurnal 2 : How do Consumers Value Airline Serivces Attributes? A Stated Preferences Discrete Choice Model Approach
47
Jurnal 3 : Service Quality, Satisfaction, and Behavioural Intention: A Study of Lowcos Airline Carriers in Thailand Jurnal 4 : Service Quality and Satisfaction for Low Cost Carriers Jurnal 5 : How Much Airline Customers are Willing to Pay: An Analysis of Price Sensitivity in Online Distribution Channels Jurnal 6 : Pemahaman terhadap Segmentasi Pelanggan: Suatu Usaha untuk Meningkatkan Efektifitas Pemasaran Jasa Penerbangan.
2.3.1 Harga Dalam penelitian Dinawan (2010), menurut sudut pandang konsumen, harga adalah sesuatu yang diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu (Zeithaml, 1998). Sedangkan menurut Ferdinand (2000), harga merupakan salah satu variabel penting dalam pemasaran, di mana harga dapat mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli suatu prosuk karena alasan-alasan tertentu. Harga yang rendah atau harga yang kompetitif adalah alasan ekonomis dari konsumen, tetapi harga juga dapat dijadikan indikator kulaitis jika dilihat dari sisi alasan psikologis. Oleh karena itu, harga dirancang sebagai salah satu instrumen penjualan sekaligus sebagai kompetisi yang menentukan. Sedangkan menurut Stanton (1994), harga diartikan sebagai sejumlah nilai uang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang ditetapkan oleh pembeli atau penjual untuk satu harga yang sama terhadap semua pembeli. Disebutkan pula bahwa harga adalah sejumlah uang
48
(ditambah dengan produk jika memungkinkan) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanan (dalam Dinawan, 2010). Harga merupakan indikator seberapa besar pengorbanan yang diperlukan untuk membeli suatu produk sekaligus dijadikan sebagai indikator. Harga dari sudut pandang konsumen seringkali digunakan sebagai indikator value jika harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang dan jasa. Value didefinisikan sebagai manfaat yang dirasakan terhadap harga (Zeithaml, 1988 dalam Dinawan, 2010). Harga mahal, murah, ataupun standar dari kesan konsumen akan mempengaruhi kepuasan dan aktifitas pembelian selanjutnya. Kesan inilah yang menciptakan nilai persepsi konsumen terhadap suatu barang. Jika konsumen kecewa setelah membeli produk atau jasa, maka kemungkinan selanjutnya konsumen tidak akan membeli produk atau jasa tersebut, sehingga dapat beralih ke kompetitor. Kesan konsumen terhadap harga dipengaruhi oleh harga produk atau jasa lain yang dijadikan referensi (reference price). Reference price merupakan apapun bentuk harga yang dapat dijadikan konsumen sebagai dasar perbandingan untuk menilai harga barang lain (Shiffman dan Kanuk, 2000 dalam Dinawan, 2010). Dinawan (2010) menyebutkan, Dharmmestha (1999) menjelaskan bahwa konsumen akan menjadi loyal pada merek berkualitas, bergengsi, dan eksklusif apabila ditawarkan dengan harga yang wajar. Namun ada pula konsumen yang loyal terhadapt produk atau jasa dengan harga yang murah. Namun, setelah ada merek lain dengan harga yang lebih murah, konsumen akan beralih ke merek tersebut.
49
Harga juga merupakan seberapa besar pengorbanan (sacrifice) yang diperlukan untuk membeli suatu produk dan dijadikan sebagai indikator kualitas (Monroe, 1990 dalam Dinawan 2010). Penelitian Rao dan Monroe (1989) dalam Dinawan (2010) menyebutkan bahwa konsumen memiliki anggapan adanya hubungan yang positif antara harga dan kualitas suatu produk, makan mereka akan membandingkan antara produk yang satu dengan yang lainnya, kemudian konsumen akan mengambil keputusan untuk membeli suatu produk.
2.3.2 Kualitas Pelayanan 2.3.2.1 Pelayanan Kusumah (2011) menuliskan dalam penelitiannya, menurut Kotler (2005), pelayanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Natalisa (2005) menjelaskan bahwa pelayanan terhadap pelanggan yang dilakukan suatu maskapai penerbangan bertujuan untuk memuaskan konsumen pada saat melakukan perjalanan. Pelayanan yang baik maka akan menjadikan konsumen merasa puas, sehingga akan timbul loyalitas yang tinggi, dan kemungkinan besar akan menarik konsumen lain yang potensial, yang akan meningkatkan penjualan atau market share. Kemudian Natalisa (2005) membagi pelayanan maskapai penerbangan berdasarkan jenisnya:
50
Pelayanan di tempat penjualan (point-of-sale service) Pelayanan di tempat penjualan tiket memiliki peranan yang cukup penting karena penumpang tidak membeli barang dan jasa yang dapat disentuh intangible product), tetapi membeli tiket dengan berharap untuk mendapatkan kepuasan. Perencanaan pada tempat penjualan tiket diperlukan tiga kebijakan yang berbeda, yaitu: i. Tersedianya fasilitas bagi penumpang yang melakukan transaksi langsung dengan maskapai penerbangan. ii. Maskapai penerbangan berjadwal menjual sebagaian tiketnya melalui maskapai lain. Kondisi ini dapat terjadi ketika penumpang membeli sebuah tiket untuk perjalanan multi sektor yang melibatkan lebih dari satu maskapai penerbangan. iii. Maskapai penerbangan harus memberikan kesempatan kepada penumpang untuk melakukan transaksi dengan agen perjalanan (travel agent. Setiap maskapai penerbangan harus memberikan pembinaaan kepada staf agen perjalanan dan memastikan bahwa agen perjalanan mendapatkan informasi yang tepat dan akurat mengenai produk yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan yang bersangkutan.
51
Pelayanan di bandara Pelayanan di bandara merupakan pelayanan sebelum keberangkatan pada check-in counter dan ruang tunggu, juga pada saat kedatangan pada transfer-desk dan tempat penyerahan bagasi. i. Pelayanan check-in Pada umumnya, penumpang menginginkan penanganan check-in yang cepat, ramah, sopan, dan efisien dalam penempatan tempat duduk, penanganan transfer, dan penanganan bagasi. Maskapai penerbangan menyediakan beberapa check-in counter dengan mengelompokkan penumpang pada tempat yang terpisah dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada penumpang. Penumpang kelas utama dan bisnis diberikan check-in counter yang terpisah dari penumpang kelas ekonomi. Untuk beberapa kota besar, maskapai penerbangan bahkan memberikan kemudahan dengan menyediakan city check-in. Penumpang dapat melaporkan keberangkatannya dari kota tanpa harus mengantri di bandara dengan fasilitas ini. Garuda Indonesia dan Merpati merupakan maskapai domestik yang menawarkan city check-in pada konsumennya. ii. Transfer penumpang dan bagasi Untuk melakukan transfer penumpang dan bagasi yang akan melanjutkan perjalanannya diperlukan ketepatan, kecepatan, dan ketelitian.
52
iii. Ruang tunggu Maskapai penerbangan masing-masing menawarkan kelebihan fasilitas
ruang
tunggu
yang
dimilikinya,
terutama
untuk
penumpang kelas bisnis dan utama, seperti menyediakan interior ruang tunggu yang nyaman, makanan, serta minuman cuma-cuma yang istimewa, pelayanan superior, dan fasilitas yang lengkap. iv. Penyerahan bagasi Setiap maskapai penerbangan harus memastikan agar bagasi segera dapat diterima ketika penumpang tiba di tempat tujuan. Pelayanan di udara (inflight service) Inflight service juga merupakan produk maskapai yang sangat penting. Komponen utama dalam inflight service, yaitu: i. Menu makanan dan minuman (meals and drinks) Menu makanan dan minuman setidaknya harus diperhatikan cara penyajian makanan, rasa, jenis makanan, dan kualitasnya secara keseluruhan. Rasa, kualitas, dan variasi untuk minuman juga harus diperhatikan. ii. Hiburan pada saat penerbangan (inflight entertainment) Biasanya, hiburan yang disediakan di pesawat adalah musik dan video. Hiburan ini sangat penting terutama untuk penerbangan jarak jauh.
53
iii. Awak kabin Awak kabin sangat penting dalam sebuah penerbangan, baik untuk pelayanan selama penerbangan maupun untuk keselamatan penerbangan. Jumlah awak kabin harus disesuaikan dengan jumlah penumpang yang ada, agar mereka dapat membantu penumpang dalam keadaan darurat. Awak kabin diharuskan ramah, efisien, bersikap penolong, dan mampu berkomunikasi dengan baik dengan penumpang. iv. Interior pesawat Interior pesawat seperti keadaan kabin dan tempat duduk, kebersihan di dalam pesawat, dan kebersihan kamar kecil juga merupakan hal-hal yang harus diperhatikan pada setiap maskapai penerbangan. v. Barang cetakan dan gift away Membagikan barang cetakan secara cuma-cuma, baik majalah, surat kabar, atau barang cetakan lainnya yang memuat informasi tentang perusahaan untuk memenuhi harapan konsumen.
2.3.2.2 Konsep Kualitas Pelayanan
54
Kualitas pelayanan merupakan sikap yang berhubungan dengan keunggulan suatu jasa pelayanan atau pertimbangan konsumen tentang kelebihan suatu perusahaan (Parasuraman, et al, 1985 dalam Kusumah, 2011). Parasuman,
Zeithmal,
dan
Berry
(1985)
dalam
Kusumah
(2011)
mengembangkan pendekatan kualitas yang banyak dijadikan acuan dalam penelitian, salah satunya adalah model SERVQUAL (Service Quality). Disebutkan pula bahwa SERVQUAL dibangun atas dua faktor, yaitu persepsi pelanggan atas layanan nyata mereka terima dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan. Service Quality didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang mereka peroleh. Dalam kualitas pelayanan, dibagi beberapa dimensi menurut Zeithaml, Bery, dan Parasuraman dalam Kusumah (2011), yaitu: 1. Bentuk fisik yang berwujud (tangibles) Merupakan kondisi fisik yang ada dalam memberikan pelayanan meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Dimensi ini biasanya digunakan oleh perusahaan untuk menaikkan image di mata konsumen. 2. Kehandalan (reliabilty) Merupakan kemampuan memberikan kinerja pelayanan yang dijanjikan dengan handal dan akurat. 3. Daya tanggap (responsiveness) Merupakan keinginan para staf untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan cepat.
55
4. Jaminan (assurance) Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dapat dipercaya dari para staf untuk membangun kepercayaan pelanggan. 5. Empati (emphaty) Merupakan perhatian secara individu yang diberikan oleh penyedia jasa agar pelanggan merasa penting, dihargai dan dimengerti oleh perusahaan. Dalam jurnal Saha dan Theingi (2009), kelima dimensi tradisional tersebut (tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty) disesuaikan untuk mengukur
kualitas
pelayanan
dalam
konteks
maskapai
penerbangan,
dan
menghasilkan 4 (empat) dimensi kualitas pelayanan, yaitu: 1. Tangible factors (faktor bentuk fisik yang berwujud), seperti: pesawat baru, kenyamanan tempat duduk, dan alat pendingin (AC). 2. Faktor jadwal penerbangan, seperti: kenyamanan jadwal penerbangan, ketepatan waktu keberangkatan dan waktu tiba. 3. Awak kabin, seperti: pakaian dan penampilan, pengetahuan dalam memberikan pelayanan, dan keramahan pada penumpang. 4. Ground staff (staff bandara), seperti: melayani penumpang di bandara sampai masuk ke dalam pesawat.
2.3.2.3 Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Keputusan Pembelian
56
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam kualitas pelayanan (Parasuraman, et al, 1985) dalam Kusumah (2011), yaitu: 1. Dibandingkan kualitas barang, kualitas pelayanan lebih sulit dievaluasi oleh pelanggan. 2. Persepsi kualitas pelayanan dihasilkan dari perbandingan antara kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang diberikan secara nyata. 3. Selain diperoleh dari hasil akhir sebuah layanan, evalusi kualitas juga mengikutsertakan evaluasi dari proses layanan tersebut. Kusumah (2011) juga menyebutkan menurut Brady dan Cronin dalam Remiasa dan Lukman (2007), persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan terdiri dari tiga kualitas, yaitu kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil. Ketiga kualitas ini membentuk pada keseluruhan persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan. Dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, setiap pelaku usaha harus mengutamakan kepentingan pelanggan dan juga harus memperhatikan dimensi kualitasnya. Agar pelanggan tidak mengurungkan niatnya ketika melakukan keputusan pembelian.
2.3.3 Keamanan Kata ‘keamanan’ merupakan bentuk kata benda dari kata sifat ‘aman’ yang berasal dari kata ‘security’ yang berarti bebas dari bahaya (Wojowasito, dkk, 2004). Dimensi ini diwujudkan oleh konsumen dalam bentuk perasaan yang bebas akan rasa
57
bahaya, resiko yang dihadapi, dan keragu-raguan dalam melakukan transaksi yang berhubungan dengan atau melalui perusahaan. Keamaan didefinisikan oleh Crie (2001) sebagai suatu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap aset-aset agar tidak terjadi atau terhindar dari kerugian atau kehilangan (Nugroho, 2006). Sedangkan Sudjono (2009) menyebutkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dijelaskan definisi keamanan penerbangan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan hokum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur. Menurut Rhoades & Waguespack (1999), ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi keamanan operasi maskapai penerbangan, yaitu: 1) Stabilitas keuangan, 2) Kualitas perawatan pesawat, 3) Sikap manajemen, dan 4) Kemampuan pilot. Jenis peristiwa yang terkait dengan keamanan, yaitu: 1) Kecelakaan, merupakan kejadian yang terkait dengan pengoperasian pesawat udara di mana setiap orang mengalami kematian atau cedera serius. 2) Insiden, merupakan kejadian selain kecelakaan yang mempengaruhi keselamatan operasi. Contoh: malfungsi mekasik, pemogokan burhu, kebakaran atau asap di kabin, dll.
58
3) Tabrakan udara, merupakan peristiwa tabrakan yang mungkin terjadi saat ketinggian pesawat kurang dari 500 kaki. 4) Penyimpangan yang dilakukan pilot, merupakan tindakan pelanggaran yang dilakukan pilot yang melewati batas wilayah udara yang ditentukan. Contoh: penyimpangan ketinggian udara, operasi yang dilakukan tanpa hati-hati, dll. Semakin rendah jumlah peristiwa yang terkait dengan keamanan terjadi, maka semakin baik pula suatu maskapai penerbangan.
2.3.4 Keputusan Pembelian Tiket 2.3.4.1 Keputusan Pembelian Menurut Setiadi (2003), keputusan pembelian merupakan keputusan konsumen mengenai apa yang dibeli, membeli atau tidak, kapan, dimana, dan bagaiman cara membayarnya. Proses pembelian meliputi: 1. Tahap pra pembelian, dimana perilaku yang terjadi meliputi mencari infornasi dan mengambil dana. 2. Tahap pembelian, dimana perilaku konsumen meliputi tindakan yang berhubungan dengan toko, mencari produk atau jasa, dan melakukan transaksi. Sedangkan menurut Howard dan Shay (1998) dalam Dinawan (2010), proses membeli (buying intention) seorang konsumen melalui lima tahapan, yaitu: 1. Pemenuhan kebutuhan (need).
59
2. Pemahaman kebutuhan (recognition). 3. Proses mencari barang (search). 4. Proses evaluasi (evaluation). 5. Pengambilan keputusan pembelian (decision). Yang mendasari proses pembelian adalah informasi mengenai suatu produk yang juga memunculkan suatu kebutuhan. Konsumen akan mempertimbangkan dan memahami kebutuhan tersebut, jika penilaian sudah jelas, maka konsumen akan mulai mencari produk yang dibutuhkan tersebut untuk dievaluasi dan pada akhirnya akan terciptalah suatu pengambilan keputusan untuk membeli ataupun tidak membeli sesuai dengan pertimbangan konsumen. Dalam Dinawan (2010) ada dua model proses pembelian yang dilakukan konsumen menurut Swasta (1990), yaitu: 1. Model phenomenologis, yaitu model perilaku konsumen yang berusaha melibatkan perasaan mental dan emosional yang dialami konsumen dalam memecahkan masalaha pembelian. 2. Mode
logis,
yaitu
model
perilaku
konsumen
yang
berusaha
menggambarkan struktur dan tahap-tahap keputusan yang diambil konsumen mengenai: a. Jenis, bentuk, modal, dan jumlah yang akan dibeli. b. Tempat dan saat pembelian. c. Harga dan cara pembayaran. Boyd et al (2000) dalam Dinawan (2010) menjelaskan, setelah konsumen mengumpulkan dan mendapatkan informasi suatu produk, konsumen akan
60
menggunakan informasi tersebut untuk mengevaluasi karakteristik produk, pelayanan yang diberikan, harga, kenyamanan, personil, dan fisiknya. Konsumen biasaya akan memilih yang memperlihatkan ciri yang paling penting bagi konsumen. Dalam Dinawan (2010) menyebutkan pendapat Koeswara (1995) bahwa suatu pembelian tidak langsung terjadi, tetapi dengan mengetahui, mengenal, dan kemudian memiliki produk tersebut. Ada lima tahap dalam proses pembelian, yaitu: 1. Mengetahui masalahnya (Recognation of problem) 2. Mencari informasi (Search of information) 3. Mengevaluasi setiap alternatif (Evaluation of alternative) 4. Memilih salah satu alternatif (Choice) 5. Menentukan hasil pilihan (Outcome) Keputusan atau niat untuk membeli merupakan sesuatu yang berhubungan dengan sencara konsumen untuk membeli produk tertentu dan juga berapa banyak unit yang dibutuhkan untuk periode tertentu. Setiadi (2003) mendefinisikan keputusan pembelian sebagai pernyataan mental konsumen yang merefleksikan rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu. Pengetahuan akan keputusan pembelian sangat diperlukan para pemasar untuk mengetahui niat konsumen terhadap suatu produk maupun untuk memprediksikan perilaku konsumen di masa mendatang. Keputusan atau niat untuk membeli terbentuk dari sikap konsumen terhadap produk keyakinan konsumen terhadap kualitas produk, sehingga akan membatalkan keputusan atau niat membeli konsumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku keputusan pembelian konsumen menurut Kismono (2001) adalah sebagai berikut:
61
- Faktor budaya yang merupakan penentu yang paling fundamental dalam membentuk keinginan dalam keputusan pembelian karena didasari oleh suatu persepsi, referensi, dan proses sosialisasi lingkungan. - Faktor sosial yang merupakan faktor yang mempengaruhi teman, keluarga, dan peranan sosial dalam masyarakat. - Faktor kepribadian yang perupakan faktor karakteristik pribadi yang mempengaruhi tingkah laku. - Faktor psikologis yang terdiri atas motivasi, persepsi, pembelajaran, dan keyakinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku proses keputusan menurut Angel (2001) adalah: 1.
2.
Pengaruh lingkungan yang meliputi:
Budaya
Kelas sosial
Pengaruh pribadi
Sikap
Situasi
Perbedaan individu yang sangat penting meliputi:
Sumber daya konsumen
Motivasi dan keterbatasan
Pengetahuan
Sikap
62
3.
Kepribadian, gaya hidup, dan demografi
Proses psikologis dasar, meliputi:
Pengelolaan informasi
Pembelajaran
Perubahan sikap dan perilaku
Suatu perusahaan harus mengidentifikasi konsumen, sasarannya, dan proses keputusan mereka sebelum menencanakan pemasaran. Program pemasaran perlu dirancang untuk menarik dan mencapai kunci keberhasilan guna menciptakan keputusan pembelian konsumen.
2.3.4.2 Tiket Tiket merupakan suatu dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga atau perusahaan yang di dalamnya berisi rute, tanggal, harga, dan data penumpang yang digunakan untuk melakukan suatu perjalanan. Darsono (2004) berpendapat bahwa tiket adalah salah satu dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh maskapai penerbangan dan merupakan kontrak tertulis dari salah satu pihak, yang di dalamnya berisikan ketentuan yang harus dipenuhi oleh penumpang selama memakai jasa penerbangan, dan data penerbangan penumpang yang mempunya masa periode waktu tertentu. Tiket juga dapat diartikan sebagai suatu tanda terima atau kwitansi
63
dari perusahaan penerbangan kepada penumpang atas sejumlah uang yang dibayarkan.
Saha dan Theingi (2009) mengukur dimensi keputusan pembelian tiket yaitu dengan:
2.4
1.
Membeli kembali tiket maskapai penerbangan yang sama.
2.
Membeli tiket maskapai penerbangan lain yang sejenis.
Teori Desain Penelitian Untuk membuat suatu penelitian, diperlukan menyusun suatu desain
penelitian sebelumnya. Malhotra (2004) mendefinisikan desain penelitian (research design) sebagai kerangka kerja yang digunakan dalam melakukan sebuah penelitian. Research design memberikan prosedur yang penting secara detail untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga dapat menjawab permasalahan dari riset pemasaran. Research design diklasifikasikan menjadi dua, yaitu exploratory dan conclusive research design.
Menurut Santoso dan Tjiptono (2004), pada tahap pertama
penelitian dilakukan secara exploratory. Exploratory research design dilakukan dengan menelaah literature yang membahas kasus serupa. Pada tahap selanjutnya, conclusive research terbagi menjadi dua, yaitu data yang bersifat deskriptif (descriptive research) dan causal research. Causal research bertujuan untuk mendapatkan bukti hubungan sebabakibat atau pengaruh dari variable-variabel penelitian.
64
Santoso dan Tjiptono (2004) juga menjelaskan dalam bukunya, bahwa penelitian deskriptif terbagi menjadi dua macam, yaitu cross-sectional dan longitudinal. Pada crosssectional, informasi yang didapatkan dari sampel tertentu hanya dikumpulkan satu kali. Cross-sectional terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu single cross-sectional dan multiple cross-sectional. Dinamakan single cross-sectional apabila hanya ada satu sampel dari populasi target dan informasi yang dikumpulkan dari sampel tersebut hanya satu kali. Sedangkan apabila ada dua sampel atau lebih maka disebut multiple cross-sectional. Selanjutnya pada longitudinal, melibatkan sampel tetap dari elemen populasi yang diukur berulang kali. Populasi diartikan sebagai jumlah keseluruhan semua anggota yang diteliti, sedangkan sampel merupakan bagian yang diambil dari populasi (Istijanto, 2006).
Terdapat dua teknik pengambilan sampel, yaitu probability sampling dan non probability sampling. Probability sampling adalah metode sampling yang setiap anggota populasinya memiliki peluang spesifik dan bukan nol untuk dapat terpilih sebagai sampel. Sedangkan non probability sampling, setiap unsur dalam populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, bahkan probabilitas anggota populasi tertentu untuk terpilih tidak diketahui (Santoso dan Tjiptono, 2004). Kedua sampling tersebut memiliki jenis yang berbeda. Probability sampling terdiri dari simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic/quast random sampling, dan multistage sampling (Santoso dan Tjiptono, 2004). Simple random sampling adalah ketika setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Stratified random sampling
65
digunakan jika pengambilan sampel dilakukan berdasarkan ciri tertentu dari populasi untuk keperluan penelitian. Pada cluster sampling, unsur-unsur populasi dibagi salam sub kelompok, contohnya dengan menggunakan dasar wilayah administrasi pemerintahan atau batas alam. Sedangkan dalam systematic/quasi random sampling, unsur-unsur populasi dipilih dengan jarak interval yang sama. Dan pada multistage sampling, sampel dipilih secara bertahap (berulang kali) sampai pada keadaan dimana dipandang telah cukup untuk mengambil keputusan. Santoso dan Tjiptono (2004) juga menyebutkan bahwa jenis-jenis yang terdapat pada non probability sampling yaitu quota sampling, convenience sampling, purposive sampling, dan snowball sampling. Quota sampling merupakan metode memilih sampel yang mempunyai cirri-ciri tertentu dalam jumlah atau kuota yang diinginkan. Pada convenience sampling sampel dipilih dari orang yang paling mudah dijumpai, misalnya di pusat perbelanjaan. Jika sampel merupakan orang-orang yang memiliki ciri-ciri khusus, maka dinamakan purposive sampling. Sedangkan pada snowball sampling meminta responden untuk memberikan informasi mengenai rekanrekan lainnya, sehingga didapatkan responden tambahan. Pengelompokkan status sosial ekonomi responden berdasarkan pengeluaran belanja kebutuhan sehari-hari per bulan yang didapatkan dari AC Nielsen (2007), yaitu: SSE A1
: > Rp 3.000.000
SSE A2
: Rp 2.000.000 – Rp 3.000.000
SSE B
: Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000
SSE C1
: Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000
66
SSE C2
: Rp 700.000 – Rp 1.000.000
SSE D
: Rp 500.000 – Rp 700.000
SSE E
: < Rp 500.000
Sedangkan pengelompokkan umur berdasarkan Indonesia consumer survey 2011 dari AC Nielsen, yaitu 18-29 tahun, 30-45 tahun, 46-55 tahun, dan 56-65 tahun. Secara umum, Malhotra (2004) membagi marketing research data menjadi data primer (primary data) dan data sekunder (secondary data). Primary data adalah data yang dihasilkan secara langsung oleh peneliti untuk tujuan tertentu guna untuk menjawab masalah penelitian. Sedangkan secondary data adalah data yang dikumpulkan dari sumber-sumber yang sudah ada sebelumnya untuk berbagai macam tujuan.