BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Gambaran Umum Obyek Penelitian Beberapa istilah tentang kepantaian yang di iginakan adalah sebagai berikut : Pantai adalah daerah perbatasan antara daratan dan lautan yang dipengaruhi oleh
air pasang tertinggi dan air surut terendah (Setyandito,2012) . Daerah pantai (shore area) merupkan salah satu kawasan hunian atau tempat tinggal yang penting di dunia bagi manusia dengan segala macam aktivitasnya. Pantai memberi peranan penting dalam memajukan berbagai sektor termasuk dibidang perekonomian dan distribusi oleh adanya pelabuhan – pelabuhan. Pesisir (coastal area) adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air air laut (Triadmodjo,1999). Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas garis pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bumi di bawahnya (Triatmodjo, 1999). Area Surfzone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah sampai batas naik-turunnya gelombang di pantai. Daerah Surfzone akan menjadi area penelitian.
2.1.1 Definisi Pantai Untuk Keperluan Pengelolaan Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah yang bersifat daratan dengan wilayah yang bersifat lautan. Dimana daerah daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis
surut
terendah,
termasuk
dasar
laut
dan
bagian
bumi
dibawahnya
(Triadmodjo,1999). Beberapa istilah kepantaian yang perlu diketahui dan dipahami diantaranya: •
Daerah pantai atau pesisir adalah suatu daratan beserta perairannya dimana pada daerah tersebut masih dipengaruhi baik oleh aktivitas darat maupun oleh aktivitas
5
6 marine.Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan daratan pantai yang saling mempengaruhi. Daerah pantai sering disebut juga daerah pesisir atau wilayah pesisir. •
Pantai adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut terendah dan pasang tertinggi.
•
Garis Pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan lautan.
•
Daratan Pantai adalah daerah ditepi laut yang masih dipengaruhi oleh aktivitas marine
•
Perairan Pantai adalah perairan yang masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan.
•
Sempadan Pantai
adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi
pengamanan dan pelestarian pantai.
Gambar 2.1.1 Definisi Paerah Pantai untuk Keperluan Pengolahan Pantai (Yuwono,1999; dalam Triatmodjo,1990)
2.1.2 Definisi Pantai Untuk Keperluan Rekayasa/Teknik Pantai Beberapa
definisi
pantai
untuk
keperluan
rekayasa/teknik
pantai
(Triadmodjo,1999) yang perlu diketahui dan dipahami diantaranya: •
Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah sampai batas naik-turunnya gelombang di pantai.
7 •
Breaker zone adalah daerah dimana gelombang yang datang dari laut (lepas pantai ) mencapai ketidak-stabilan dan menyebabkan gelombang pecah.
•
Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai.
•
Offshore adalah daerah dari gelombang (mulai) pecah sampai ke laut lepas.
•
Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat surut terendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tertinggi.
•
Inshore adalah daerah antara offshore dan foreshore.
•
Backshore adalah daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan muka air tertinggi.
•
Coast adalah daratan pantai yang masih terpengaruh laut secara langsung, misalnya pengaruh pasang surut, angin laut, dan ekosistem pantai (hutan bakau, sand dunes ).
•
Coastal area adalah daratan pantai dan perairan pantai sampai kedalaman 100 atau 150 m (Sibayama, 1992).
Gambar 2.1.2 Definisi Paerah Pantai untuk Keperluan Rekayasa pantai (Triatmodjo,1990) Diitinjau dari profil pantai, karakteristik gelombang pecah dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore, backshore. Daerah perbatasan antara inshore dan foreshore adalah batas antara air laut pada saat muka air rendah dan permukaan pantai. Terjadinya gelombang pecah (Breaking wave) di daerah inshore sering menyebabkan
8 terjadinya longshore bar, yaitu gemuk pasir yang memanjang dan kira – kira seajar dengan garis pantai.
Gambar 2.1.3 Karakteristik gelombang di daerah pantai (Triatmodjo,1990) 2.2
Landasan Teori Daerah surfzone
merupakan daerah yang banyak dimanfaatkan baik untuk
keperluan bangunan kepantaian seperti untuk dermaga dan bangunan pantai lainnya. Daerah ini berada antara bagian dalam dari gelombang pecah sampai batas naik-turunnya gelombang di pantai. Gelombang yang terjadi di surfzone- area akan menghasilkan variasi arus dasar yang dipengaruhi oleh kedalaman air pada setiap periode gelombang. Gelombang di laut shortwater dapat dibedakan menjadi beberapa macam tergantung pada gaya pembangkitnya. Gelombang laut dapat ditinjau sebagai deretan dari pulsa-pulsa yang berurutan yang terlihat sebagai perubahan ketinggian permukaan air laut, yaitu dari suatu elevasi maksimum (puncak) ke elevasi minimum (lembah). Gelombang terjadi akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (khususnya melalui angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan (Triatmodjo, 2004). Pada umumnya bentuk gelombang yang terjadi di alam adalah sangat kompleks dan tidak dapat dirumuskan dengan akurat. Akan tetapi dalam mempelajari fenomena gelombang yang terjadi di alam dilakukan beberapa asumsi sehingga muncul beberapa teori gelombang. Akan tetapi dalam bab ini hanya akan dibahas mengenai teori gelombang amplitudo kecil. Teori gelombang ini merupakan teori gelombang yang paling sederhana karena merupakan teori gelombang linier, yang pertama kali diperkenalkan oleh Airy pada tahun 1845.
9 2.2.1 Teori gelombang amplitudo kecil Teori gelombang amplitudo kecil diturunkan berdasarkan persamaan Laplace untuk aliran tak berotasi (irrotation flow) dengan kondisi batas dipermukaan air dan dasar laut. Kondisi batas di permukaan air didapat denga melinearkan persamaan Benouli untuk aliran tak menetap.
Makan akan diperoleh berbagai karakteristik gelombang seperti
fruktuasi,kecepatan dan percepatan partikel, tekanan,kecepatan rambat gelombang, dan sebagainya. Asumsi-asumsi yang diberikan untuk menurunkan persamaan gelombang sebagai berikut (Dalrympel,2002): 1. Air laut adalah homogen, sehingga rapat massanya adalah konstan. 2. Air laut tidak mampu mampat. 3. Tegangan permukaan yang terjadi diabaikan. 4. Gaya Coriolis diabaikan. 5. Tegangan pada permukaan adalah konstan. 6. Zat cair adalah ideal dan berlaku aliran tak berrotasi. 7. Dasar laut adalah horizontal, tetap dan impermeabel. 8. Amplitudo gelombang kecil dibandingkan dengan panjang gelombang. 9. Gerak gelombang tegak lurus terhadap arah penjalarannya. Asumsi-asumsi ini diberikan agar penurunan teori gelombang amplitudo kecil dapat dilakukan. Pada gambar 2.4 menunjukkan notasi-notasi selanjutnya yang akan dipergunakan dalam menurunkan persamaan adalah sebagai berikut: d : jarak antara muka air rerata dan dasar laut η(x,t)
: fluktuasi muka air
a : amplitudo gelombang H : tinggi gelombang = 2.a L : panjang gelombang, yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang
beruruta.
T : periode gelombang, yaitu interval waktu yang diperlukan oleh partikel air untuk kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya. C : cepat rambat gelombang = L/T K : bilangan gelombang = 2π/L σ : frekuensi gelombang = 2π/T
10
Gambar 2.2.1 Sket Definisi Gelombang 2.2.2 Persamaan Gelombang Amplitudo Kecil Teori gelombang amplitudo kecil dapat diturunkan dari persamaan kontinyuitas untuk aliran tak rotasi (Persamaan Laplace ) yaitu : ∂2ϕ
∂2ϕ
+ = 0 ........................................................................................... (2.1) ∂x2 ∂y2
dengan :
u=
∂ϕ
dan
∂x
∂ϕ
v = ∂y ........................................................................... (2.2)
Kondisi batas di dasar laut dari persamaan tersebut adalah kecpatan partikel nol.
v=
∂2ϕ ∂y
di y = -d .............................................................................. (2.3)
Kondisi batas pada permukaan diperoleh dari persamaan Bernoulli untuk alitan tak menetap. ∂ϕ ∂t
1 2
(u2+v2) + gy +
p ρ
= 0 ................................................................. (2.4)
Dengan g adalah percepatan gravitasi bumi, p adalah tekanan dan ρ adalah rapat massa zat cair.
11 Apabila perasamaan tersebut dilinearkan, yaitu dengan mengabaikan u2 dan v2 , dan pada permukaan y = η , serta mengambil tekanan dipermukaan adalah nol (tekanan atmosfer), maka persamaan Bernoulli menjadi :
η=-
1
∂ϕ
g
∂t
| y =η
............................................................................................................................... (2.5)
Dengan anggapan bahwa gelombang adalah kecil terhadap kedalaman, maka kondisi batas di y = 0 adalah kira – kira sama dengan di y = η. Dengan anggapan tersebut maka kondisi batas pada permukaan adalah : 1
η=-g
∂ϕ ∂t
| y =0 .................................................................................... (2.6)
Jadi persaman diatas diselesaikan untuk mendapatkan nilai ϕ. Berdasarkan nilai ϕ yang diperoleh tersebut, sifat –sifat gelombang seperti fluktuasi muka air, kecepatan rambat gelombang, kecepatan partikel air dan percepatan partikel air dapat diturunkan. Penyelesaian persamanaan diferensial tersebut memberikan hasil sebagai berikut :
ϕ=
ag cosh k(d+y) σ
cosh kd
sin (kx - σt) .................................................................. (2.7)
Dengan : ϕ : potensial kecepatan g : percepatan gravitasi σ : frekuensi gelombang k : angka gelombang d : kedalaman laut y : jarak titik vertikal suatu titik yang ditinjau terhadap muka air diam x : jarak horizontal t : waktu
2.2.3 Kecepatan Rambat dan Panjang Gelombang Komponen vertikal kecepatan partikel pada permukaan air v adalah v = ∂η/∂t, dimana η diberikan oleh persamaan (2.6), sehingga :
12 v=
∂η
=
∂t
∂ ∂t
(-
1
∂ϕ
g
∂t
)= -
1
∂2ϕ
g
∂t2
............................................................. (2.8)
karena v = ∂ϕ/∂y, maka persamaan tersebut dapat ditulis : ∂ϕ
= ∂y
1
∂2ϕ
g
∂t2
......................................................................................... (2.9)
Apabila nilai ϕ dari persamaan 2.7 disubstitusikan ke dalam persamaan (2.9), maka akhirnya dapat diperoleh : ∂
ag cosh kd+y
[ ∂y σ
cosh kd
ag
sinh kd+y
[σ k [
cosh kd
agk
sinh kd+y
σ
cosh kd
sin (kx-σt)] = -
sin (kx-σt) ] = [-
1
∂2 ag cosh kd+y
g
∂t2
1 ag gσ
sin (kx-σt) ] = [(aσ)
[σ
(-σ2)
cosh kd cosh kd+y cosh kd
cosh kd+y cosh kd
sin (kx-σt)] sin (kx-σt)]
sin (kx-σt)]
Untuk gelombang amplitudo kecil, Nilai y di permukaan adalah sama dengan di muka air diam, sehingga y = 0; dan persamaan di atas menjadi : σ2 = gk tanh (kd) ................................................................................. (2.10) Oleh karena σ = kC, maka persamaan (2.10) menjadi : g
C2= tanh (kd) ..................................................................................... (2.11) k
Jika nilai k = 2π/L disubstitusikan ke dalam persamaan (2.11), didapat : gL
C2= 2π tanh (kd) ................................................................................... (2.12) Persamaan (2.12) menunjukkan laju penjalaran gelombang sebagai fungsi kedalaman air (d) dan panjang gelombang (L). Jika k = σ/C = (2π/T)/C disubstitusikan ke dalam persamaan (2.11), akan di dapat nilai C sebagai fungsi T dan d.
13 C=
gT 2π
tanh
2πd L
.................................................................................... (2.13)
Dengan memasukkan nilai k =2π/L dan C =L/T ke dalam persamaan (2.12) akan diperoleh panjang gelombang sebagai fungsi kedalaman.
L=
π
tanh
2πd L
.................................................................................. (2.14)
2.2.4 Klasifikasi Gelombang Menurut Kedalaman Bedasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air (d) dan panjang gelombang (L), (d/L),gelombang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu : 1. Gelombang di laut dangkal jika
d/L ≤ 1/20
2. Gelombang di laut transisi jika
1/20 < d/L < ½
3. Gelombang di laut dalam jika
d/L ≥ ½
Gambar 2.2.2 Gerak Orbit Partikel Zat Cair di Laut Dangkal ,laut transisi dan laut dalam (Triatmodjo ,1999)
Selama penjalaran gelombang dari laut dalam ke laut dangkal, orbit partikel mengalami perubahan bentuk hal ini dipengaruhi oleh sifat hidrolika gelombang yang berubah secara relatif terhadap kedalaman panjang dan tinggi gelombang terhadap waktu penjalaran.
14 Apabila kedalaman relatif d/L adalah lebih besar dari 0,5; nilai tanh (2π/L)=1,0 . Sehingga :
C0 = π ................................................................................................ (2.15) dan L0 =
π
................................................................................................ (2.16)
Untuk gelombang laut yang dangkal digunakan persamaan berikut ini: L0 = 1,56 T2 ......................................................................................... (2.17) C = gd ............................................................................................. (2.18) L = gd T = CT .................................................................................. (2.19) Untuk kondisi gelombang di laut transisi, cepat rambat dan panjang gelombang dihitung dengan menggunakan persamaan 2.13 dan 2.14 apabila persamaan 2.13 dibagi dengan 2.15 akan didapat:
L
= L0 = tanh
2πd L
................................................................................ (2.20)
Apabila kedua ruas dari persamaan 2.20 dikalikan dengan d/l maka akan didapat:
= tanh
2πd L
..................................................................................... (2.21)
Fluktuasi muka air dari persamaan (2.6) dengan memasukkan nilai ϕ ke dalam persamaan (2.7), maka η = a cos (kx-σt) .................................................................................. (2.22)
2.2.5 Kecepatan Partikel Zat Cair (Orbital velocity particle ) Dalam teori persamaan gaya gelombang (Dean dan Dalrymple 1984), dapat diketahui kecepatan zat partikel untuk berbagai kedalaman dan waktu (y dan t). Komponen horizontal dan vertikal kecepatan partikel air (u dan v) dapat ditentukan berdasarkan arus pada persamaan (2.2) dengan memasukkan nilai ϕ dari persamaan (2.7) maka di dapat :
15 u= u= u= u=
∂ϕ ∂x
∂
ag cosh k(d+y)
= ∂x [ σ
cosh kd
cosh k(d+y) σ
cosh kd
cos (kx - σt)
ag 2π L cosh k(d+y) 2π cosh kd T ag cosh k(d+y) C
cosh kd
sin (kx - σt)]
cos (kx - σt)
cos (kx - σt) gT
gT sinh kd
mengingat : C = 2π tanh kd = 2π cosh kd maka kecepatan partikel horizontal adalah: u=(
πH T
)
cosh k(d+y) sinh kd
cos (kx - σt) ............................................................. (2.23)
Dengan cara yang sama seperti diatas dapat dicari komponen kecepatan partikel vertikal adalah sebagai berikut :
v= (
πH T
)
sin (kx - σt) .......................................................... (2.24)
Gambar 2.2.3 Distribusi kecepatan partikel zat cair. (A.Zakaria,2009) 2.2.6 Batasan Penggunaan Teori Gelombang Berikut ini akan diberikan gambar mengenai batasan – batasan di dalam pemilihan teori gelombang. Gambar ini didasarkan pada perbandingan H/d dan d/L.
16
Gambar 2.2.4 Daerah penerapan fungsi gelombang fungsi H/d dan d/L. (Triatmodjo ,1999)
2.2.7 Gaya gelombang Gaya hidrodinamik akibat gelombang pada
struktur diantaranya dapat
digolongkan sebagai berikut (Triatmodjo ,1999) : 1. Gaya seret (drag), yaitu gaya yang disebabkan oleh pusaran yang terbentuk saat aliran melewati member yang besarnya sebanding dengan kuadrat kecepatan. 2. Gaya inersia, yaitu gaya yang disebabkan oleh gradien tekanan dalam fluida yang mengalir dan interaksi lokal antara member dengan fluida yang besarnya sebanding dengan percepatan fluida. 3. Gaya difraksi, yaitu sejenis gaya inersia akibat perubahan pola gelombang oleh struktur sehingga mengubah pembebanan pada struktur. 4. Gaya slam dan slap, yaitu gaya inersia yang terjadi saat member melewati permukaan air yang besarnya sebanding dengan kuadrat kecepatan. 5. Gaya vortex shedding, terjadi akibat setiap putaran menyebabkan gaya seret, bergerak menjauhi struktur membuat gaya berfluktuasi bekerja pada struktur. Jika frekuensi naturalnya. Gaya hidrodinamika akibat gelombang pada tiang silinder bergantung pada pola aliran disekitar tiang. Pola aliran ini sangat dipengaruhi oleh derajat ketergangguan aliran
17 oleh adanya tiang. Derajat keterganguan ini ditentukan oleh perbandingan antara diameter tiang dengan panjang gelombang yaitu D/L. Bila D/L kecil (D/L≤ 0.2) maka pola aliran fluida tidak akan terganggu dan besarnya gaya dapat dihitung dengan persamaan Morison (O’Brien dan Morison, 1952). Tapi bila D/L besar (D/L > 0.2) maka pola aliran akan terdifraksi sehingga harus digunakan teori difraksi.
2.2.8 Arus dan Pergerakan Sedimen di Area Surfzones Menurut Horikawa (1988), berdasarkan cara pergerakan sedimen yang ada daerah pantai terbagi menjadi 3 zona yakni, zona lepas pantai (offshore), zona gelombang pecah dan zona ’swash’. Zona lepas pantai merupakan area dari garis gelombang pecah (breaker line) sampai ke arah laut dalam. Pergerakan sedimen yang terjadi pada area ini didominasi oleh gerakan kecepatan orbital air yang disebabkan gelombang. Zona gelombang pecah merupakan area dari gelombang pecah sampai garis pantai (shoreline). Pada area ini, pergerakan sedimen disebabkan oleh kombinasi dari pengaruh gelombang pecah (Hb) dan arus yang disebabkan gelombang. Zona ’swash’ adalah area singgung (interface) antara pantai (daratan) dan perairan, dimana pada area tersebut terjadi run-up dan run-down. Pembagian zona tersebut dapat dilihat pada gambar Area penelitian yang ditinjau adalah zona gelombang pecah serta area surfzones.
Gambar 2.2.5 Pergerakan Sedimen Berdasarkan Cara Pergerakan Sedimennya. (Nizam, 1994)
18 2.3
Karakter Gelombang Pecah Gelombang pecah akan terjadi bilamana kecepatan partikel air horisontal di
permukaan lebih besar dari kecepatan jalarnya atau u > C. Daerah terjadinya gelombang pecah sangat penting, karena pada daerah ini sebagian besar energi yang dipakai untuk pembentukan pantai diperoleh. Ada dua macam kriteria gelombang pecah, yaitu gelombang pecah di air dalam dan gelombang pecah di air dangkal. Galvin (1968), dalam CUR (1987) melakukan pengamatan gelombang pecah dengan kelandaian dasar yang berbeda-beda yaitu 1:5, 1:10, dan 1:20. Dari pengamatan tersebut, tipe gelombang pecah tergantung pada parameter offshore (Ho/Lo tan2 α) dan parameter inshore (HB/gT2). Berdasar data dari pengamatan Galvin, Battjes (1974) menyimpulkan bahwa tipe gelombang pecah dengan parameter similaritas pantai (offshore similarity parameter, ξ0 ) yaitu :
ξ0 =
tanα H0 / L0
Dengan parameter tersebut di atas, tipe gelombang pecah dapat dibedakan sebagai berikut: •
0 < ξ0 < 0.5
: spilling,
•
0.5 < ξ0 < 0.3
: plunging,
•
ξ0 < 0.3
: surging atau collapsing.
Berdasarkan analisa Miche, dalam Nizam (1994), gelombang akan pecah apabila memenuhi kriteria berikut: HB h = 0 .142 tanh( 2π B ) LB LB
2.4
Gangguan Dasar Akibat Gelombang Pecah Plunging Gangguan dasar yang disebabkan oleh plunging breaker dapat dianalogikan dalam
kasus pada submerged vertical jet (Raudkivi, 1991) yang secara umum dipengaruhi oleh : (1) kecepatan aliran jet yang dibangkitkan oleh breaker (pada titik dimana aliran jet memasuki main body aliran), (2) ukuran jet pada titik dimana aliran jet memasuki main body aliran (3) kedalaman aliran.
19 J. Fredsoe and B.M. Sumer, (1997) memperkenalkan parameter plunger berdasarkan variabel tinggi gelombang (H) periode gelombang,(T) kedalaman aliran( d) dan percepatan gravitasi (g) yang dituliskan dalam bentuk persamaan: gH d
. Nilai T gH merepresentasikan jumlah air di lokasi “plunging breaker”
yang memasuki “main body” aliran dan denominator d merepresentasikan jarak penetrasi water jet menuju dasar (Fredsoe and Sumer, 1997). Besarnya ganguan dasar yang diakibatkan oleh proses pecah gelombang berpotensi untuk menghasilkan lubang gerusan.
Gambar 2.4.1 Skema Gangguan Dasar Akibat ”Plunging Breaker”. (J. Fredsoe and B.M. Sumer, 1997)
2.4.1 Perubahan Profil Dasar oleh Gelombang Pecah Pada daerah surfzone, proses pergerakan sedimen di bagi atas dua mekanisme berikut : 1) proses terangkatnya partikel dasar akibat vortex yang dibangkitkan oleh gelombang pecah, dan 2). deposisi material akibat aliran.(Shibayama, T., 1986) Tidak terdapat pendapat yang pasti mengenai saat terbentuknya vortex akibat gelombang pecah. Shibayama (1986) mendapatkan pembangkitan vortex terjadi saat gelombang mencapai tinggi maksimumnya untuk gelombang pecah., sedangkan Fredsoe and Deigaard (1992), berdasarkan pengujian oleh Peregrine (1983) menyatakan pembangkitan vortex terjadi setelah gelombang pecah akibat plunge yang terjadi menghantam tubuh aliran di depannya. Kriteria yang menyatakan terjadinya vortex akibat gelombang didapatkan secara empiris berdasarkan hubungan kecuraman gelombang dalam terhadap kemiringan pantai yang ada.
20 2.4.2 Gerusan Dipengaruhi Oleh Gelombang Herbich (1984), dargahi (1987) dalam Breuser & Raudkivi (1991) menjelaskan tentang aliran yang terjadi pada daerah sekitar pilar jembatan dan karakteristik kedalaman gerusan. Menurut Miller (2003:6) apabila struktur ditempatkan pada suatu arus air, aliran dasar air di struktur tersebut akan berubah, dan kecepatan vertikal aliran akan berubah menjadi tekanan vertikal pada permukaan struktur tiang bulat tersebut tersebut. Tekanan vertikal ini merupakan hasil dari aliran dasar yang membentur tiang berbentuk bulat. Pada dasar struktur tiang bulat, aliran dasar ini membentuk pusaran yang kemudian menyapu sekeliling dan bagian bawah struktur dengan memenuhi seluruh aliran. Hal ini dinamakan pusaran tapal kuda (horseshoe vortex). Pada permukaan air, interaksi aliran dan struktur membentuk busur ombak (bow wave) yang disebut sebagai gulungan permukaan (surface roller). Pada saat terjadi pemisahan aliran pada struktur bagian dalam mengalami wake vortices.Berdasarkan Vanoni (1975) dalam Indra (2000:8) pada umumnya ada tiga jenis sistem gaya pusaran yang bekerja disekitar pilar, yaitu sistem pusaran tapal kuda (horse shoes system), sistem pusaran belakang (wake vortek system) dan sistem pusaran seret (trailling vortex system). Pada umumnya tegangan geser vertikal
meningkat pada bed bagian depan
struktur tiang bulat. Bila bed siudah mulai tergerus maka kedalaman gerusan akan terbentuk disekitar struktur bulat. Karakteristik kedalaman gerusan ini disebut gerusan lokal (local or structure-induced sediment scour). Pada ujung pilar berbentuk bulat membuat pemusatan pusaran yang ditimbulkan oleh aliran dasar. Dimana bentuk tiang sangat berpengaruh didalam menentukan bentuk dan karakteristik gerusan yang terjadi disekitar kaki tiang.
2.5
Kecepatan Puncak Arus Dasar Nilai kecepatan orbital velocity (Uw) pada saat puncak dapat dihitung dengan
menggunakan teori gelombang linear dan didapatkan sebagai fungsi dari tinggi dan periode gelombang pada saat puncak. Kecepatan puncak partikel air (peak orbital velocity) diberikan sebagai berikut : aω
U = sinh(kd) U= U=
H/2 . 2π/T Sinh(kd) πH
TpSinh(kd)
21 πH
Uw = TpSinh(kd) ...................................................................................... (2.25) Dengan ketentuan : Uw
: peak orbital velocity (kecepatan partikel pada saat puncak) (m/s)
H
: Tinggi gelombang (m)
Tp
: Periode gelombang (s)
d
: kedalaman air (m)
k
: angka gelombang
a
: amplitudo (1/2H)
ω
: radian frequency(2π/T)
2.6
Gerusan Pada Pantai Tanpa Struktur Pergerakan sedimen yang terjadi pada daerah surfzone sangat bergantung pada
pola arus yang ada. Karakteristik kecepatan pergerakan arus menentukan tipe gerusan yang akan terjadi. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan partikel adalah periode gelombang, tinggi dan kedalaman gelombang dan kedalaman air.
Gambar 2.6.1 Pergerakan Partikel Dasar dipengaruhi oleh Arus. . Leo C.van Rjin (2013)
22 Leo C.van Rjin (2013) menjelaskan Local Scouring yang terjadi pada daerah surfzone dapat terjadi karena dipengatuhi oleh kecepatan arus partikel air pada dasar pantai. Arus yang terjadi ini dipengaruhi oleh karakteristik gelombang dan kedalaman pantai. Karakteristik gelombang yang terjadi sangat bergantung pada periolde gelombang (T) dan kedalaman air SWL (Sea Water Level).
Gambar 2.6.2 Pola Gerusan tanpa Struktur. Sumber: Rjin,L.C. (2013)
Persamaan kedalaman gerusan Leo C.van Rjin (2013) adalah sebagai berikut : ds max H0
=
(αdU0-Ucr) Ucr
.................................................................................... (2.26)
Dengan ketentuan : ds max : kedalaman gerusan tanpa struktur.(m) H0
: kedalaman air (m)
αd
: faktor hidrolik air kekasaran aliran (1+3r0).
r0
: faktor lengkung hidrolik air, yielding (0,1 sampai dengan 0,5).
Ucr
: kecepatan kritis partikel air, yaitu kecepatan rata – rata terhadap arah vertikal dan horizontal.(m/detik)
U0
: kecepatan awal partikel air. .(m/detik)
Pada teori gelombang telah diperoleh nilai dari kecepatan arus kearah vertikal dan horizontal yaitu orbital velocity , hasil yang diperoleh dari terori gelombang tersebut dapat digunakan kedalam rumus kedalaman gerusan tanpa struktur Leo C.van Rjin (2013), dengan menggunakan nilai kecepatan arus pada teori gelombang sebelumnya.
23 2.7
Gerusan Lokal Pada Struktur Tiang Kedalaman gerusan pada tiang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
yang dibuat oleh (CSU) Colorado State University,1975
dan dideskripsikan oleh
Richardson untuk menghitung kedalaman gerusan lokal pada pilar atau tiang berbentuk silinder dengan arah datang aliran air 00, untuk kondisi live bed scour dan clean water scour.
Gambar 2.7.1 Gerusan pada Struktur Tiang (sumber: FHWA,2001)
ds = 2,0.K1.K2.K3.K4.d b
0
0,65
F00,43 d0 ................................................... (2.27)
Dengan ketentuan, ds : kedalaaman gerusan (m) b : lebar pilar menghadap alairan (m) d0 : kedalaman rata – rata (m) K1 : koefisien bentuk penampang (Tabel 1) K2 : koefisien arah datang aliran air (Tabel 2) K3 : koefisien kondisi dasar saluran (Tabel 3) K4 : koefisien efek gradasi sedimen (0,1) F0 : bilangan Froude untuk kedalaman rata-rata F0 =
U0
................................................................................................ (2.28)
gd0
U : Kecepatan aliran rata-rata (m/detik) U0 : Kecepatan aliran awal (m/detik)
24 Tabel 2.1 Koefisien Koreksi Untuk Bentuk Penampang Pilar (Pier) Bentuk pilar persegi bulat lingkaran silinder kumpulan silinder tajam
k1 1,1 1,0 1,0 1,0 0,9
Gambar 2.7.2 Sket Bentuk Penampang Pilar (sumber: FHWA,2001) Tabel 2.2 Koefisien Koreksi Untuk Arah Datang Aliran Air θ 0° 15° 30° 45° 90°
L/a =4 1,0 1,5 2,0 2,3 2,5
L/a =8 1,0 2,0 2,75 3,3 3,9
L/a =12 1,0 2,5 3,5 4,3 5,0
θ = sudut kemiringan aliran L = panjang pilar
Tabel 2.3 Koefisien Koreksi Untuk Kondisi Dasar Saluran Kondisi Dasar
Tinggi Gundukan(m)
k3
clear water scour
-
1,1
dasar rata dan aliran anti dune
-
1,1
3 > H > 0,6 9>H>3 H>9
1,1 1,1 sampai 1,2 1,3
gundukan kecil gundukan sedang gundukan besar