BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Masalah Persediaan Dalam Sistem Manufaktur Biasanya suatu perusahaan membagi milik perusahaannya menjadi dua bagian. 1. Pengaturan persediaan atau inventaris diberikan untuk meningkatkan pengurusan pengadaan barang. 2. Pengaturan daya tahan peralatan diberikan untuk mengurus persoalan penggantian dan pemeliharaan peralatan. Menurut
Nasution
(2003,p103),
persediaan
merupakan
sumber
daya
mengganggur (idle resources) yang menunggu proses lebih lanjut. Yang dimaksud dengan proses lebih lanjut tersebut adalah berupa kegiatan produksi pada sistem manufaktur, kegiatan pemasaran pada sistem distribusi atau pun kegiatan konsumsi pangan pada sistem rumah tangga. Masalah persediaan dalam sistem manufaktur lebih rumit bila dibandingkan dengan masalah sistem non manufaktur. Pada sistem manufaktur, ada hubungan langsung antara tingkat persediaan, jadwal produksi dan permintaan konsumen. Oleh karena itu, perencanaan dan pengendaliaan persediaannya harus terintegrasi dengan peramalan permintaan, jadwal induk produksi dan pengendalian produksi. Selain kondisi diatas, sistem manufaktur mempunyai 3 bentuk persediaan, yaitu persediaan bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi. (Nasution 2003, p104)
7 Pengembangan masalah dalam persediaan bahan baku adalah persediaan bahan baku berupa komponen tertentu yang diproduksi secara massal dan dipakai sendiri sebagai sub-komponen suatu produk jadi oleh suatu perusahaan. Dalam hal ini, komponen harus dibuat lebih dahulu dengan kecepatan produksi yang tetap, kemudian digunakan dalam proses produksi lebih lanjut. Laju pemakaian komponen diasumsikan lebih rendah dari laju kecepatan produksi komponen sehingga menghasilkan keputusan berapa jumlah lot yang harus diproduksi agar meminimumkan biaya total persediaan dan biaya produksi. (Nasution 2003, p104) Menurut Nasution (2003, p105), biaya sistem persediaan terdiri dari biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya simpan, dan biaya kekurangan persediaan. Yang termasuk komponen–komponen biaya persediaan adalah sebagai berikut.
Biaya pembeliaan (Purchasing Cost) Biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Besarnya biaya pembelian ini tergantung pada jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang.
Biaya Pengadaan (Procurement Cost) Biaya pengadaan ini dibedakan atas 2 jenis sesuai asal usul barang.
Biaya Pemesanan (Ordering Cost) Semua pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan pemasok (supplier), pengetikan pesanan, pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan seterusnya. Biaya ini diasumsikan konstan untuk setiap kali pesan.
8
Biaya Pembuatan (Setup Cost ) Semua pengeluaran yang timbul dalam mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya ini timbul di dalam pabrik dan meliputi biaya menyusun peralatan produksi, menyetel mesin, mempersiapkan gambar kerja dan seterusnya. Karena kedua biaya tersebut mempunyai peran yang sama, yaitu pengadaan barang, maka kedua biaya tersebut disebut sebagai biaya pengadaan (procurement cost).
Biaya Penyimpanan (Holding Cost/Carrying Cost)
Biaya Memiliki Persediaan (biaya modal) Penumpukan barang di gudang berarti penumpukan modal, di mana modal perusahaan mempunyai ongkos (expense) yang dapat diukur dengan suku bunga bank. Biaya memiliki persediaan diukur sebagai persentase nilai persediaan untuk periode waktu tertentu.
Biaya Gudang Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga timbul biaya gudang. Bila gudang dan peralatannya disewa maka biaya gudangnya
merupakan biaya
sewa, sedangkan
bila perusahaan
mempunyai gudang sendiri maka biaya gudang merupakan biaya depresiasi.
Biaya Kerusakan dan Penyusutan Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan penyusutan karena beratnya berkurang atau pun jumlahnya berkurang karena hilang.
9 Biaya kerusakan dan penyusutan biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.
Biaya Administrasi dan Pemindahan Biaya yang dikeluarkan untuk mengadministrasikan persediaan barang yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya dan biaya untuk memindahkan barang dari, ke, di dalam tempat penyimpanan, termasuk upah buruh dan biaya peralatan handling.
Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost) Bila perusahaan kehabisan barang pada saat permintaan, maka akan terjadi keadaan kekurangan persediaan. Keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena proses produksi akan terganggu dan kehilangan kesempatan mendapat keuntungan atau kehilangan pelanggan yang karena kecewa beralih ke tempat lain. Biaya kekurangan persediaan diukur dari beberapa hal berikut.
Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi Biasanya diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalty (p) atau hukuman kerugian bagi perusahaan dengan satuan rupiah per unit.
Waktu Pemenuhan Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses produksi terhenti, sehingga waktu menganggur dapat diartikan sebagai uang yang hilang.
10 Biaya waktu pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi gudang dengan satuan rupiah per unit.
Biaya pengadaan darurat Supaya konsumen tidak kecewa maka dapat dilakukan pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang lebih besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya dibandingkan pengadaan normal ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan biaya kekurangan persediaan dengan satuan rupiah per sekali kekurangan.
2.2 Model Statis EPQ (Economic Production Quantity) 2.2.1 Sejarah Model EPQ Model EPQ adalah perpanjangan dari model Economic Order Quantity (EOQ). Model EPQ ini dikembangkan oleh E.W. Taft pada tahun 1918.
2.2.2 Model Statis EPQ Model persediaan ini berlaku bagi perusahaan yang pengadaan bahan baku atau komponennya dibuat sendiri oleh perusahaan. Dalam hal ini tingkat produksi perusahaan untuk membuat bahan baku diasumsikan lebih besar daripada tingkat pemakaiannya dan tingkat produksi bersifat tetap (konstan).
11 Tujuan dari model statis EPQ ini adalah menentukan berapa jumlah bahan baku (komponen) yang harus diproduksi, sehingga meminimumkan biaya persediaan yang terdiri dari biaya set-up produksi dan biaya penyimpanan. Parameter-parameter yang dipakai dalam model ini adalah sebagai berikut. D = jumlah kebutuhan barang selama satu periode P = tingkat produksi perusahaan untuk membuat bahan baku selama satu periode A = biaya tetap untuk pemenuhan pemesanan C = biaya variabel dari produksi atau pembelian h = biaya yang berhubungan dengan posisi dari persediaan itu sendiri dalam perusahaan biasa dilambangkan dengan h = iC dimana i adalah indeks carrying cost tahunan
= biaya kerugian (shortage) per unit yang terbebas dari durasi ˆ = biaya kerugian (shortage) per unit per tahun Q = jumlah pemesanan Imax = level persediaan maksimal yang ada b = level pemesanan ulang maksimum yang diizinkan T= panjang siklus, panjangnya waktu antara penerimaan dari pemesanan ulang K = biaya rata-rata tahunan yang adalah fungsi dari suatu ketentuan persediaan T p = waktu yang diperlukan untuk membuat produk jadi selama sub-siklus produksi
12 Q * = nilai minimum order quantity
Gambar 2.1 Sebuah sirklus dengan pada sistem persediaan (Sumber: Johnson dan Montgomery,1974,p29)
Menurut Johnson dan Montgomery (1974, p28), dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa lot size yang digunakan tetap dan demand ratenya konstan, pesanan yang akan dikirimkan dan diterima berada pada interval dengan panjang waktu T
Q . D
Siklus waktu, T, adalah waktu yang diperlukan untuk memakai Q unit pada saat demand rate, D maka akan dihasilkan Q T D . Dengan begitu, dapat dispesifikasikan Q ekuivalen dengan spesifikasi T. Reorder point dipilih supaya posisi backorder adalah b ketika pesanan diterima. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa pemilihan b sama dengan pemilihan reorder point, sejak permintaan selama lead time konstan. Model ini mengasumsikan bahwa input rate, P, adalah terbatas saat menghasilkan lot dan unit-unit ditambahkan ke inventory pada saat itu. Ketika posisi backorder mencapai b, produksi dimulai pada saat production rate, P. Saat P melebihi D, posisi inventori akan meningkat pada saat rate P D , pemenuhan pemesanan ulang
13 dan akhirnya membangun level persediaan yang mencapai maksimum. Waktu untuk menghasilkan sebuah lot adalah T p
Q . Jadi, P Q P D b P D Q1 b P
I max
Selama pada posisi T2 T3 carrying cost terjadi. Selama saat pada T1 T4 backorder dan kerugian karena kehilangan terjadi. Posisi backorder ketika produksi dimulai adalah:
T1
b P D
Inventory dibangun sampai Imax dari posisi nol, T2 I inventory maksimum, T3 Posisi backorder, T4
I max . ( P D)
I max . D
b D
Average inventory over the cycle adalah luas daerah segitiga dalam inventory dibagi T,
I max T2 T3 2T I max D I max Q1 P b P D D 2T D DI max P D I max Q1 P b D P D 2T
I
14 D DI max PI max DI max Q1 P b D DP1 P I 2T PI max D Q 1 b P D DP1 P 2T I max D Q1 P b D1 D P 2T D Q1 P b D Q1 P b D D1 P 2T D 2 Q1 b P 1 T D 2 D1 P D Q1 P b I D 2Q1 P
2
15
Average backorder position over the cycle adalah luas daerah segitiga dalam backorder dibagi T, b T1 T4 2 B T b b b P D D 2T Db Pb Db b DP D 2T b Pb D 2TDP1 P b2 D 2TD1 P 2 1 b T D 2 D1 P 2 b B D 2Q1 P Average cost per cycle adalah jumlah dari procurement, persediaan dan shortage cost selama satu siklus adalah A CQ hT I ˆT B b hT = carrying cost sebuah unit dalam inventori selama T waktu unit
ˆT =carrying cost pemesanan ulang selama suatu waktu
16 Rata-rata biaya tahunan, K perkalian biaya per siklus dengan jumlah siklus per tahun,
D . Q K Q, b
AD bD CD iC I ˆ B Q Q
Substitusi dengan I dan B menghasilkan: 2
D iC Q1 b P AD ˆb 2 bD K Q, b CD Q Q D D 2Q1 2Q1 P P Untuk memperoleh nilai optimum dari order quantity dan backorder maksimum maka ini dapat diperoleh dari: K K 0 Q b
Gambar 2.2 Economic Production Quantity (Sumber: Riggs, 1981, p418 )
17 Berdasarkan Johnson dan Montgomery (1974, p28), untuk mengoptimalkan order quantity yang akan diperoleh maka biaya kerugiannya dianggap tidak terbatas ( b * 0 ) karena tidak ada rencana untuk backorder. Jadi akan diperoleh persamaan: K Q
AD Q D CD iC (1 ) Q 2 P
Dari persamaan tersebut dapat diperoleh nilai minimum order quantity dengan cara: K 0 Q AD iC D 1 0 2 P Q2 iC D AD 1 2 2 P Q 2 AD Q2 D iC 1 P
Q*
2.3
2 AD D iC 1 P
Dasar Perancangan Perangkat Lunak Menurut Sommerville (2001,p6), perancangan perangkat lunak adalah disiplin
perancangan yang berhubungan dengan semua aspek produksi perangkat lunak, dari tahap awal spesifikasi sistem sampai dengan pemeliharaan setelah sistem berjalan.
18 2.3.1 Daur Hidup Perangkat Lunak Salah satu model perancangan perangkat lunak adalah dengan menggunakan model air terjun (waterfall model). Menurut Sommerville (2001,p45) tahap-tahap utama model air terjun yang menggambarkan aktivitas dasar pengembangan perangkat lunak adalah sebagai berikut.
Analisis dan penentuan kebutuhan Tugas, kendala dan tujuan sistem ditentukan melalui konsultasi dengan pemakai sistem. Kemudian ditentukan cara yang dapat dipahami, baik oleh user maupun pengembang.
Desain sistem dan perangkat lunak Proses desain sistem terbagi dalam kebutuhan perangkat keras dan perangkat lunak. Hal ini menentukan arsitektur perangkat lunak secara keseluruhan. Desain perangkat lunak mewakili fungsi sistem perangkat lunak dalam bentuk yang dapat ditransformasikan ke dalam satu atau lebih program yang dapat dieksekusi.
Implementasi dan pengujian unit Dalam tahap ini, desain perangkat lunak direalisasikan dalam suatu himpunan program atau unit-unit program. Pengujian unit mencakup kegiatan verifikasi terhadap suatu unit sehingga memenuhi syarat spesifikasinya.
Integrasi dan pegujian sistem Unit program secara individual diintegrasi dan diuji sebagai satu sistem yang lengkap untuk memastikan bahwa kebutuhan perangkat lunak telah terpenuhi. Setelah pengujian, sistem perangkat lunak disampaikan kepada user.
19
Pengoperasian dan pemeliharaan Secara normal, walaupun tidak selalu diperlukan, tahap ini merupakan bagian siklus hidup yang terpanjang. Sistem telah terpasang dan sedang dalam penggunaan. Pemeliharaan
mencakup perbaikan kesalahan
yang tidak
ditemukan dalam tahap-tahap sebelumnya, meningkatkan implementasi unitunit sistem dan mempertinggi pelayanan sistem yang disebabkan oleh ditemukannya kebutuhan baru.
2.4
State Transition Diagram
2.4.1
Pengertian STD merupakan suatu modeling tool yang menggambarkan sifat ketergantungan
sistem. Pada mulanya hanya digunakan untuk menggambarkan suatu sistem yang memiliki sifat real time seperti proses kontrol, telephone switching system, dan control system.
2.4.2 Simbol dan sifat STD (a) State State adalah kumpulan keadaan dan atribut yang mencirikan seseorang atau suatu benda pada waktu atau kondisi tertentu. Disimbolkan dengan segi empat. simbol state
20 (b) Transition state, Transition state disimbolkan dengan anak panah. simbol transtition state (c) Condition Condition adalah suatu keadaan pada lingkungan eksternal yang dapat dideteksi oleh sistem. (d) Action Action adalah yang dilakukan sistem bila terjadi perubahan state atau merupakan reaksi terhadap kondisi. Aksi akan menghasilkan keluaran atau output. (e) Display Pada screen display menghasilkan tampilan seperti pada Gambar 2.2.
State 1 Condition Action State 2 Gambar 2.3 Condition dan Action (Sumber: Pressman, 1992, p220)
21 2.5
Pseudocode Menurut Pressman (1997,p411), pseudocode adalah suatu bahasa umum yang
menggunakan kosa kata dari suatu bahasa (seperti bahasa Inggris) dan perintah (syntax) dari bahasa lain (seperti bahasa pemograman terstruktur ). Menurut Pege_Jones (1980,p11), pseudocode adalah suatu bahasa pemograman yang informal dan sangat fleksibel, yang tidak dimaksudkan untuk eksekusi pada mesin, tetapi hanya digunakan untuk mengorganisasi cara berpikir pemogram sebelum melakukan coding. Pseudocode dapat menjadi alternatif dalam perancangan perangkat lunak di samping alat bantu berupa diagram. Tidak ada standarisasi dalam hal penulisan pseudocode. Pemogram dapat menulisnya dalam bahasa apa saja yang mereka sukai dan dipadukan dengan bahasa pemograman tertentu. Pemogram juga bebas menggunakan teknik dan aturannya sendiri.