BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1
Pengukuran Kinerja Organisasi
2.1.1
Pengertian Kinerja Kinerja merupakan prestasi nyata yang ditampilkan seseorang setelah yang
bersangkutan menjalankan tugas dan pernannya dalam organisasi. Kinerja menggambarkan deskripsi sitematik tentang relevansi pekerjaan dengan kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki individu atau kelompok.Menurut Otley (1999) Kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang di dala melakukan pekerjaan. Menurut Rogers (1994) kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja itu sendiri (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tjuan-tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi. Definisi mengenai kinerja organisasi dikemukakan oleh Syarifuddin & Tangkilisan (2004) sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi tersebut. Menurut Veithzal Rivai (2004:309) “kinerja adalah : “merupakan perilaku yang nyata
yang
ditampilkan
setiap
orang
sebagai
prestasi
kerja
yang
dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”. Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berjalan sendiri tetapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan, dan sifat-sifat individu. Dalam melakukan suatu kinerja sangat dibutuhkannya suatu produktivitas kinerja yang baik agar dapat melakukan pekerjaan dengan baik, hal tersebut dapat diartikan bahwa produktivitas menurut Paul Mali (1976:6) berkaitan dengan “bagaimana menghasilkan atau meningkatkan hasil barang dan jasa setinggi mungkin dengan memanfaatkan segala sumber daya secara efisien.” Adapun beberapa fakorfaktor yang mempengaruhi produktivitas kinerja yang dikemukakan oleh Anoraga (1992:34)
adalah sebagai berikut : pekerjaan yang menarik, upah yang baik,
kemanan dan perlindungan dalam pekerjaan, penghayatan atau maksud dan makna pekerjaan, lingkungan atau suasana kerja yang baik, promosi dan perkembangan diri
merasa sejalan dengan perkembangan perusahaan/organisasi, merasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi, pengertian dan simpati atas persoalan-persoalan pribadi, kesetiaan pimpinan pada diri si pekerja, dan disiplin kerja yang keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah : • Faktor personal/individual, meliputi : pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen, yang dimiliki oleh setiap individu. • Faktor kepemimpinan, meliputi
: kualitas dalam memberikan dorongan,
semangat, arahan dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader. • Faktor tim, meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim. • Faktor sistem, meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi. • Faktor kontekstual (situasional), meliputi : tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. Menurut Campbell (1990) menyatakan hubungan fungsional antara kinerja dengan atribut kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor knowledge, skill, dan motivasi. Knowledge mengacu pada pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai (knowing what to do), skill mengacu pada kemampuan untuk melakukan pekerjaan (the ability to do well), motivasi adalah mengacu dorongan dan semangat untuk melakukan kerja. 2.1.2
Pentingnya Pengukuran Kinerja Di Organisasi Publik Kinerja dalam suatu organisasi publik harus berjalan dengan baik dengan
maksud dengan melakukan kinerja organisasi yang baik, organisasi dapat mencapai hasil yang sudah menjadi tujuan organisasi atau sudah ditentukan oleh organisasi sebelumnya. Dalam arti kinerja organisasi adalah tingkat pencapaian hasil dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sehingga dalam mencapai suatu kinerja yang baik perlu dilakukannya pengukuran kinerja.
Pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan organisasi. Dalam konteks organisasi publik, kesuksesan organisasi itu akan digunakan untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan publik. Masyarakat akan menilai kesuksesan organisasi publik melalui kemampuan organisasi dalam memberikan pelayanan publik yang relatif murah dan berkualitas. Mengukur kesusksesan organisasi publik tidaklah semudah mengukur kesuksesan suatu perusahaan bisnis. Untuk bisa mengukur sukses atau tidaknya organisasi publik perlu diketahui beberapa hal penting berikut : 1. Apa yang sebenarnya akan diukur? 2. Skala atau ukuran apa yang digunakan? 3. Berapa toleransi kesalahan (margin of error) yang dapat ditermia? 4. Siapa yang akan mengukur? 5. Untuk siapa informasi kinerja tersebut dan apa yang akan mereka lakukan dengan laporan hasil kinerja itu? 2.1.3
Pengertian Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja merupakan bagian penting untuk produktivitas seseorang
yang dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Pengukuran
kinerja
lebih
menitikberatkan
pada
upaya
untuk
melakukan
perbandingan antara hasil yang dicapai dengan rencana atau standar yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar unutk melakukan penilaian kinerja, yaitu untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Menurut Robertson (2002) pengukuruan kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. D. Stout (dalam Yuwono 2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses.
Menurut Anderson
dan
Clancy (Sony
Yuwono,
dkk,
2002: 21),
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut: “feedback from the accountant to management that provides information about how well the action represent the plants; it also identifies where manager may need to make corrections or adjustment in future planning and controlling activities”. Dalam artian pengukuran kinerja merupakan suatu tolok ukur atau bagi manajemen perusahaan dalam menentukan kebijakan perusahaan, apakah kinerja perusahaan sudah baik dari segi keuangan maupun non keuangan. Jadi pengukuran kinerja adalah proses menilai kemajuan pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi guna mendukung pencapaian misi organisasi, termasuk menilai efisiensi dan efektifitas dari aktivitas-aktivitas organisasi. Pengukuran kinerja sangat penting dilakukan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditentukan dengan baik dan sesuai. Dengan melakukan pengukuran kinerja organisasi dapat mengetahui kinerja yang dilakukan sudah seusai dengan standar, serta sasaran dan kriteria yang telah ditentukan. 2.1.3.1 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Menurut John Isaac Mwita (2000) tujuan pengukuran kinerja adalah unutk menilai hasil kinerja (performance outcome) ataukah menilai perilaku (personality), oleh karena itu, suatu organisai seharusnya membedakan antara outcome (hasil), perilaku (proses), dan alat pengukuran kinerja yang tepat. Menurut Vincent Gaspersz (2005: 68), tujuan dari pengukuran kinerja adalah untuk menghasilkan data, yang kemudian apabila data tersebut dianalisis secara tepat akan memberikan informasi yang akurat bagi pengguna data tersebut. Berdasarkan tujuan pengukuran kinerja, maka suatu metode pengukuran kinerja harus dapat menyelaraskan tujuan organisasi perusahaan secara keseluruhan tujuan organisasi secara keseluruhan (goal congruence). Pengukuran kinerja merupakan bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik organisasi non profit maupun swasta. Namun, karena sifat dan karakteristik organisasi non profit berbeda dengan sektor swasta, penekanan dan orientasi pengukuran kinerjanya pun terdapat perbedaan. Tujuan dilakukan pengukuran kinerja di organisasi non profit adalah : 1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi 2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
3. Memperbaiki kinerja periode berikutnya 4. Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian reward dan punishment 5. Memotivasi pegawai Secara umum, tujuan pengukuran kinerja sektor publik adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2002:122) : 1. Mengkomunikasikan strategi secara lebih mantap 2. Mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi. 3. Mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai goal congruence. 4. Alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif rasional. Pengukuran kinerja memperhatikan suatu hubungan perencanaan yang ditetapkan organisasi dengan hasil yang dicapai untuk menilai keberhasilan suatu organisasi. Perencanaan tersebut berisikan strategi-strategi yang bertujuan untuk kelangsungan hidup organisasi yang dapat diukur karena perusahaan tidak dapat mengelola apapun dengan baik jika yang direncanakan tidak dapat diukur. Dengan melakukan pengukuran kinerja dapat membuat suatu organisasi terus bertahan dikarenakan adanya kinerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan, sehingga kinerja organisasi yang telah diukur dapat berjalan baik untuk melangsungkan pencapaian tujuan suatu organisasi. Menurut kedua ahli Hamel dan Prahalad (1994), perusahaan harus secara proaktif mengembangkan berbagai kompetensi inti yang diperlukan untuk sampai di masa depan. Dalam pencapaian perusahaan untuk bertahan hingga masa depan maka diperlukan pengembangan strategi. Untuk menciptakan suatu pengembangan strategi yang baik maka diperlukan suatu pengukuran kinerja. Kaplan dan Norton berpendapat bila perusahaan tidak bisa mengukur strategi yang dibuat, maka perusahaan tidak akan bisa mengelola strategi tersebut. Atau menurut kata-kata Kaplan dan Norton, “if you can’t measure it. You can’t manage it”. Hal ini juga berarti bila strategi yang dikembangkan perusahaan bisa diukur, maka secara
otomatis perusahaan kemungkinan besar akan dapat mengelola dengan baik strategi yang dibuat tersebut. Pengukuran tujuan maupun strategi yang dibuat perusahaan tidak hanya mencangkup aspek finansial. Menurut Kaplan dan Norton, pengukuran tujuan maupun strategi yang hanya melihat sisi finansial saja memang memiliki kegunaan yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis di era tahun 1970-an, tetapi ukuran tunggal ini sudah tidak memadai lagi saat ini setidak-tidaknya karena dua alasan. Pertama, ukuran finansial hanya menceritakan sesuatu yang telah dilalui perusahaan. Hal ini sebagai konsekuensi logis karena ukuran finansial menggunakan data-data keuangan historis. Dalam kaitan ini Kaplan dan Norton (1996:7) menyatakan : “But financial measure tell the story of past event, an adequate story for industrial age comapanies for which investements in long term capabilities and customer relationship were not critical for success. These financial measure are inadequate, however, for guiding and evaluating the journey that information companies must make to create future value through invesment in customers, suppliers, employees, processes, technology and innovation.” (ukuran finansial menceritakan kejadian di masa lalu, cerita yang memadai bagi perusahaan diera industri dimana pada masa itu kemampuan investasi dalam jangka panjang serta hubungan pelanggan bukan merupakan hal yang penting dalam meraih keberhasilan. Tetapi ukuran finansial tersebut tidak memadai untuk menjadi pemandu dan alat evaluasi bagi perjalanan perusahaan-perusahaan di era informasi dimana mereka harus menciptakan nilai di masa yang akan datang melalui investasi di bidang pelanggan, pemasok, karyawan, proses, teknologi dan inovasi) Untuk itu perusahaan belum cukup apabila hanya mengandalkan pada pengukuran dari finansial saja tidak menjamin suatu perusahaan akan bertahan untuk di masa depan atau jangka panjang, karena pengukuran finansial hanya mengukur untuk jangka pendek saja sehingga tidak memikir kan jangka panjang atau masa depan untuk perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan pengukuran non finansial untuk jangka panjang perusahaan. Untuk pengukuran kinerja dengan mengukur dari finansial dan non finansial, Kaplan dan Norton mengajukan Balance Scorecard sebagai model pengukuran kinerja karena dapat mengukur dari segi finansial dan non finansial.
2.1.4
Pengertian Organisasi Organisasi merupakan unit sosial yang dinamis. Organisasi yang baik akan
selalu mengalami proses perubahaan menuju kondisi yang lebih baik. agar mampu meraih suskes, maka batasan dari organisasi (pembagian input dan output) seperti juga pada proses ekternalnya, patut dikelola sebaik mungkin (Schermerhorn, 2000) Menurut Robbin (1990) organisasi dapat di definisikan sebagai suatu entitas sosial yang di koordinasikan secara sadar, diikuti pembatasan-pembatasan yang secara relatif berkesinambungan dengan pengidentifikasian rambu-rambunya secara jelas serta senantiasa berupaya meraih pencapaian tujuan atau sekumpulan tujuannya secara bersama-sama. Organisasi merupakan suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, sebagai suatu kesatuan yang memiliki tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan (Mathis dan Jackson). Organisasi adalah perpaduan secara sistematis bagian-bagian yang saling bergantung atau berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui kewenangan, koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapai tujuan yang telah di tentukan. (Dimock) Menurut Dr. Sondang P. Siagian (2006) organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terkai dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang didalamnya terdapat seorang atau beberapa orang yang disebut atasan dan seseorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan. Berdasarkan dari definisi organisasi, Daft (1989) menjelaskan empat prinsip utamanya, yaitu : 1. Organisasi merupakan entitas-entitas sosial yang terdiri atas manusia dan kelompok manusia. Fungsi penting dari keberadaan organisasi sepenuhnya hanyalah dan tiada lain sebagai wahana interaksi antar manusia. 2. Organisasi akan senantiasa terarah pada tujuan tertentu, dikarenakan keberadaan tujuan itulah merupakan perwujudan dari alasan berdirinya suatu organisasi. Tanpa formulasi tujuan berarti tak akan ada alasan bagi berdirinya
organisasi. Tanpa adanya tujuan yang jelas, hal ini berarti organisasi tidak lagi memiliki alasan bagi kehadirannya atau keberadaannya terhenti. 3. Organisasi mengandung sistem-sistem yang dikoordinasikan secara rasional agar mampu meraih tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas-tugas keorganisasian secara objektif dipilah ke dalam berbagai departemen agar tercapai tingkat efisiensi dan efektivitas yang semakin tinggi. 4. Organisasi memiliki rambu-rambu pembatas yang relatif teridentifikasi secara jelas, yang menentukan unsur mana saja yang termasuk bagian atau bukan dari organisasi. 2.1.4.1 Jenis-Jenis Dan Perbedaan Organisasi Organisasi memiliki tanggung jawab untuk : (1) menciptakan nilai; dan (2) mendistribusikan nilai yang tercipta (membagi, menyediakan untuk, dan sebagainya kepada para pengguna berikut stakeholder (pemangku kepentingan = individuindividu maupun organisasi-organisasi lain) yang telah menyediakan saranasarananya untuk saling bekerja sama agar mensukseskan pelaksanaan aktivitas organisasi. Finalisasi dari keseluruhan penciptaan dan pendistribusian nilai-nilai yang direalisasikannya, maka dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis organisasi, yaitu : •
Organisasi Publik/Sosial Murni
: lebih ditekankan pada upaya
memecahkan probelmatika kemasyarakatam, sehingga penciptaan dan pendistribusian nilai-nilai publik/ kemasyarakatan menjadi fokus utamanya. •
Organisasi Sosial-Ekonomi
: berupaya meraih, baik tujuan
sosial maupun ekonomi, namun penciptaan dan pendistribusian nilai-nilai kemasyarakatan lebih di utamakan dan nuansa ekonomi secara terselubung. •
Organisasi Ekonomi-Sosial
:lebih mengutamakan penciptaan
dan pendistribusian nilai-nilai ekonomi ketimbangan nilai-nilai ketimbang nilai-nilai publik/kemasyarakatan.
•
Organisasi Swasta (Perusahaan)
: yang akan bergerak atas dasar
rasionalitas, yang menempatkan penciptaan dan penditribusian nilai-nilai ekonomi. Keempat jenis organisasi tersebut dihubungkan dengan penciptaan bobot nilai publik-kemasyarakatan dan nilai ekonomis. (Heene et. al,2000) Terdapat beberapa aspek yang membedakan antara organisasi sektor publik dengan sektor bisnis dan sosial. Perbedaan tersebut terkain dengan tujuan organisasi, sumber pembiayaan, kepemilikan, pola pertanggungjawaban, struktur organisasi karakteristik anggaran, pemangku kepentingan (stakeholder), dan sistem akuntansi yang digunakan. Berikut perbedaannya dari keempat jenis organisasi :
Tabel 2.1 Perbedaan empat jenis organisasi Aspek
Sektor Bisnis
Sektor Publik
Sektor Sosial
Perbedaan Tujuan
• Mencari
Organisasi
laba
(profit oriented)
• Non profit
• Non profit
• Pelayanan
• Pelayanan
Publik
sosial
• Penyediaan barang
dan
kemanusiaa dan
n
jasa komersial Sumber
Setoran
Pendanaan
ditahan,hasil
utang,laba perusahaan hasil usaha,utang
penjualan,utang,
negara,hibah,penjualan
penerbitan saham
aset
Kepemilikian Dimiliki
modal,laba Pajak,PNBP,retribusi,
pemegang Dimiliki negara atau Dimiliki
saham Pertanggung- Kepada jawaban
Donasi,pendapatan
seluruh rakyat pemegang Kepada
saham dan investor
rakyat
oleh
masyarakat dan Kepada
parlemen
masyarakat
(DPR/DPRP)
pemberi dana
dan
Struktur
Sturktur
Organisasi
bisnis
Karakteristik
birokrasi Struktur ogranisasi
(pemerintah)
• Tertutup untuk
Anggaran
Sistem
organisasi Struktur
• Terbuka untuk
publik
publik
• Merupakan
• Merupakan
dokumen
dokumen
rahasia
publik
Accrual accounting
Akuntasi
• Cash
sosial • Terbuka untuk publik
• Cash
accounting • Accrual accounting • Fund
accounting • Accrual accounting • Fund
accounting • Budgetary accounting
accounting • Budgetary accounting
• Commitment accounting Standar
Standar
Akuntansi
bisnis
akuntansi Standar (Standar Pemerintah
Akuntansi Standar Akuntansi Organisasi Nirlaba
Akuntasi Keuangan)
2.1.4.2 Pengertian Organisasi Nirlaba Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundang-undangan, organisasi jasa
sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa para petugas pemerintah. Banyak hal yang membedakan antara organisasi nirlaba dengan organisasi lainnya (laba). Pada organisasi laba, pemilik jelas memperoleh untung dari hasil usaha organisasinya. Dalam hal donatur, organisasi nirlaba membutuhkannya sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan organisasi laba yang telah memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari keuntungan usahanya. Dalam hal penyebaran tanggung jawab, pada organisasi laba telah jelas siapa yang menjadi Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur Pelaksana. Sedangkan pada organisasi nirlaba, hal ini tidak mudah dilakukan. Ciri – ciri organisasi nirlaba : Sumber
daya
entitas
berasal
dari
para
penyumbang
yang
tidak
mengharapakan pembayaran kembali atas manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan. Menghasilkan barang dan/ atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran entitas. 2.1.5
Pengertian Klinik Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
028/MENKES/PER/I/2011, Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat dan bidan) dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis). Klinik memiliki 2 jenis pelayanan, yaitu : 1. Klinik Pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar. 2. Klinik Utama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.
Menurut Dendy Sugono dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) , Klinik memiliki pengertian,yaitu : • (bagian) rumah sakit atau lembaga kesehatan tempat orang berobat dan memperoleh advis medis serta tempat mahasiswa kedokteran melakukan pengamatan terhadap kasus penyakit yag diderita para pasien • Balai pengobatan khusus • Organisasi kesehatan yang bergerak dalam penyediaan pelayanan kesehatan kuratif (diagnosis dan pengobatan), biasanya terhadap satu macam gangguan kesehatan. 2.2 2.2.1
Balance Scorecard Sejarah Balance Scorecard Konsep Balance Scorecard dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David
P. Norton yang berawal dari studi tentang pengukuran kinerja di sektor bisnis. Balance scorecard pertama kali muncul pada tahun 1992 dalam artikel yang ditulis oleh Kaplan dan Norton di majalan Harvard Business Review edisi Januari-Februari (Suwardi L. Dan Prima Biromo, 2007:17). Pada tahun 1996 Kaplan dan Norton merevisi BSC yang telah mereka susun sebelumnya dan pada tahun itulah muncul istilah strategy map (peta strategi). Peta strategi merupakan suatu panel instrumen yang memetakan sasaran strategi (SS) organisasi dalam suatu kerangka hubungn sebab akibat yang menggambarkan keseluruhan perjalanan strategi organisasi. Peta strategi memudahan organisasi untuk mengkomunikasikan keseluruhan strateginya kepada seluruh anggota organisasi agar seluruh bagian organisasi memahami strategi yang sedang dijalankan oleh perusahaan. Unit organisasi yang menyusun peta strategi adalah unit organisasi yang mendefinisikan visi dan misinya dengan jelas serta memiliki proses manajemen yang lengkap (input/sumber daya, proses internal, dan output/outcome). 2.2.2
Pengertian Balance Scorecard Menurut Suwardi dan Prima Biromo (2007:16), Balance Scorecard-BSC
adalah suatu alat manajemen kinerja (performance management tool) yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan
memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan non finansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat. Balance scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balances). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja suatu organisasi atau skor individu. Kartu skor juga dapat digunakan untuk merencanakan skor yang hendak diwujudkan di masa depan. Melalui kartu skor, skor yang hendak diwujudkan organisasi/individu di masa depan di bandingkan dengan hasil kinerja sesunggguhnya. Hasil perbandingan ini digunakan untuk melakukan evaluasi atas kinerja organisasi/individu yang bersangkutan. Kata berimbang
(balance)
di
masksudkan
untuk
menunjukan
bahwa
kinerja
organisasi/individu diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan panjang, internal dan eksternal. (Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan, Sekertariat Jendral Kementrian Keuangan, 2010: 3). Sedangkan menurut Yuwono, dkk (2007) Balance Scorecard merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif dalam memberikan pemahaman kepada manajer tentang performance bisnis. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat perspektif yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui mekanisme sebab akibat, perspektif keuangan menjadi tolok ukur bagi ketiga perspektif lainnya. Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa balanced scorecard adalah sistem manajemen strategik yang menerjemahkan misi dan strategi suatu organisasi dalam tujuan dan ukuran operasional. Tujuan dan ukuran dikembangkan untuk empat perspektif yaitu: perspektif keuangan, perspektif konsumen, perspektif proses bisnis, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Balanced Scorecard memiliki beberapa keunggulan yaitu : 1.
Penggunaan 4 perspektif Menambahkan 3 perspektif tambahan pada perspektif keuangan yang telah ada, yang membuat BSC menjadi lebih komperhensif sebagai sebuah strategi manajemen dan indikator pengukuran kinerja.
2.
Penggunaan Indikator Lead and Lag
Indikator Lag adalah pengukuran yang menjelaskan sesuatu telah terjadi, sedangkan indikator Lead sebaliknya menceritakan sesuatu mengenai masa depan. 3.
Hubungan Sebab-Akibat Jika kita memiliki sejumlah indikator yang terkait dengan cara kinerja sekarang dimana satu indikator mejadi indikasi kinerja yang baik dimasa depan dari indikator yang lain, maka kita telah membangun peta hubungan sebab-akibat.
2.2.3
Pengertian Visi Visi merupakan statemen atau rumusan mengenai apa yang ingin dicapai atau
diharapkan oleh sebuah organisasi pada kurun waktu tertentu. Visi juga merupakan obsesi manusia organisasional ke masa depan, dengan rentang waktu tertentu bahkan tanpa batasan. Visi adalah pandangan jauh ke depan, mendalam dan luas yang merupakan daya pikir abstrak yang memiliki kekuatan dan dapat menerobos batas-batas fisik, waktu, dan tempat (Gaffar, 1995). Menurut Cortada (1993) mendefinisikan visi sebagai “ A view of your enviroment will enable our tremendous future success” definisi ini menyiratkan bahwa kesuksesan yang bermakna pada masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan siapapun dalam memandang lingkungan secara cermat, karena faktorfaktor lingkungan itu amat menentukan kesuksesan menggapai masa depan itu. Menurut McLaughlin (1995) mendefinisikan visi sebagai berikut : “Vision : The long term future desired state of an organization in the vision statment are the areas that organization needs to care about in ordr to succeed” definisi ini menempatkan istilah visi ke dalam konteks keorganisasian. Pertama, visi merupakan statemen atau rumusan mengenai apa yang ingin dicapai atau diharapkan oleh sebuah organisasi pada kurun waktu tertentu. Rumusan visi itu harus dapat dipahami maknanya dan menggambarkan perilaku atau tindakan yang harus dibuat oleh manusia organisasi. Kedua, harapan itu merupakan sebuah kemasan cita-cita organisasi untuk rentang waktu sekitar 7 sampai 20 tahun, visi menempel pada organisasi bukan pada subjek, dengan demikian tidak perlu berganti pimpinan berganti pula visi. Ketiga, statemen visi harus secara jelas menggambarkan area kebutuhan organisasi untuk memelihara sebuah tatanan kerja bagi pencapaian sebuah
kesuksesan. Keempat, visi organisasi merupakan instrumen manusia organisasional dalam merangsang insprasi dan motivasi kerjanya. Berdasarkan sudut pandang dunia bisnis, menurut Quigley (1993) mengemukakan bahwa, “Vision is addressed to all those interested in the art of leadership and management, whether their interest is business annd institutionally oriented, serious or casual”. Visi ini ditujukan kepada semua mereka yang tertarik dalam seni kepemimpinan dan manajemen, apakah minat mereka adalah bisnis dan kelembagaan berorientasi, serius atau santai. Visi terdiri dari tiga unsur utama, yaitu values, mission dan goals (Quigley, 1993). Berbeda urutan namun sama unsurnya dengan pendapat Quigley, Gaffar (1995) berpendapat bahwa visi terdiri dari tiga unsur utama, yaitu : • Nilai • Tujuan, dan • Misi Mengutip pengalaman yang dikembangkan oleh American Productivity & Quality Center, Tilaar (1997) mengemukakan bahwa visi terdiri dari beberapa komponen yang akan menentukan pengembangan, perubahan, dan keberhasilan kita, Komponen-Komponen tersebut menurut Tilaar meliputi : •
Misi
•
Rancangan kerja
•
Sumber daya
•
Keterampilan profesional
•
Motivasi, dan
•
Insentif
2.2.4
Pengertian Misi Nisjar dan Winardi (1997) mengemukakan bahwa misi merupakan deskripsi
alasan bagi ekstensi suatu organisasi, yang mencerminkan tujuan fundamentalnya. Sejalan dengan pendapat Nisjar dan Winardi di atas, Quigley (19930 menulis : “Estabilsh your values before you start writting your mission statment.” Tanamkan nilai-nilai sejati organisasi, sebelum misinya ditulis.
Misi adalah rumusan langkah-langkah yang merupakan kunci untuk memulai melakukan inisiatif, mengevaluasi, dan mempertajam bentuk-bentuk kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam visi (Tilaar, 1997). Menurut Peter Drucker (1968: 66) misi (mission) dari sebuah perusahaan dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti : “what is our business?”, “who is our customer?”, “what does the customer buy?”, “what is value to the customer?”, dan “what will our business be?”. Pearce dan Robinson (2005) menyebutkan bahwa pernyataan misi yang dibuat perusahaan setidak-tidaknya mengandung tiga komponen yaitu: sensitivitas terhadap keinginan pelanggan (sensitivity to customer wants), perhatian terhadap masalah mutu/kualitas (concern for quality) dan pernyataan visi perusahaan (statement of company vision). David (2007:64) memperluas komponen misi dengan menyebutkan bahwa terdapat sembilan karekteristik yang harus terangkum dalam suatu misi perusahaan, dan karena misi perusahaan merupakan bagian dari proses strategic management yang akan dipublikasikan kepada masyarakat, maka misi perusahaan sebaiknya mencakup komponen pokok tersebut, yang terdiri dari : Customer – secara eksplisit misi harus menyebutkan siapa yang menjadi pelanggan bagi produk perusahaan. Product or service – dalam hal ini spesifik perusahaan haru menyebutkan produk atau jasa apa yang di hasilkan oleh perusahaan. Market – penyataan misi menetapkan di pasar mana produk perusahaan akan bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh pesaing. Technology – pernyataan misi menyebutkan arah pengembangan teknologi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Concern for survival, growth and profitability – dalam hal ini pernyataan misi menunjukan secara jelas komitmen perusahaan terhadap kelangsungan hidup perusahaan, pertumbuhan dan kemampuan untuk menghasilkan laba (profitabilitas). Philosophy – dalam hal ini pernyataan misi akan menjelaskan kepercayaan (beliefs), nilai (value), aspirasi dan prioritas etis perusahaan.
Self-concept – dalam hal ini pernyataan misi akan menjelaskan apa yang menjadi kompetensi unggulan (distinctive) dari perusahaan dibandingkan pesaingnya. Concern for public image – dalam hal ini pernyataan misi akan menunjukkan apakah perusahaan memiliki respons terhadap masalah-masalah sosialisasi kemasyarakatan maupun terhadap masalah lingkungan. Concern for employees – dalam hal ini pernyataan misi akan menunjukan apakah karyawan merupakan aset yang berharga bagi perusahaan. Misi bagi suatu perusahaan akan menggambarkan bisnis apa yang sedang dan akan dijalankan oleh perusahaan serta tujuan kualitatif apa yang ingin dicapai perusahaan melalui keberadaannya di bidang bisnis tertentu.
Gambar 2.1 Hierarki Perencanaan
Jadi, Misi adalah pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan oleh lembaga dalam usahanya mengwujudkan Visi. Dalam operasionalnya orang berpedoman pada pernyataan misi yang merupakan hasil kompromi intepretasi Visi. Misi merupakan
sesuatu yang nyata untuk dituju serta dapat pula memberikan petunjuk garis besar cara pencapaian Visi. Pernyataan Misi memberikan keterangan yang jelas tentang apa yang ingin dituju serta kadang kala memberikan pula keterangan tentang bagaimana cara lembaga bekerja. 2.2.5
Pengertian Strategi Pada awalnya konsep strategi (strategy) didefinisikan berbagai cara untuk
mencapai tujuan (ways to achieve ends). Ditinjau secara etimologi, rasanya tidaklah terlampau sulit untuk mencari asal muasal kata “strategi: serta perkembangannya kemudian. Pengertian “strategi” bersumber dari kata Yunani Klasik, yakni “strategos” (jendral), yang pada dasarnya diambil dari pilahan kata-kata Yunani untuk “pasukan” dan “memimpin”. Menurut Bracker (1980) menyatakan penggunaan kata kerja Yunani yang berhubungan dengan “strategos” ini dapat diartikan sebagai “perencanaan dan pemusnahan musuh-musuh dengan menggunakan cara yang efektif berlandaskan sarana-sarana yang dimiliki”. Definisi strategi di buat menjadi suatu artian yang lebih modern, menurut Bracker, ada beberapa elemen umum yang dijumpai pada berbagai pendefinisian yang ada selama ini, yang secara langsung akan mengaitkan strategi dengan : 1. Posisi suatu organisasi di dalam lingkungannya; dan 2. Upaya penggunaan sarana-sarana organisatoris untuk mewujudkan tujuantujuan organisasi (Bracker, 1980) Sejalan dengan perkembangan konsep manajemen strategi (strategy management), strategi tidak didefinisikan hanya semata-mata sebagai cara untuk mencapai tujuan karena strategi dalam konsep manajemen strategi mencakup juga penetapan berbagai tujuan itu sendiri ( melalui berbagai keputusan strategi [strategic desicions] yang dibuat oleh perusahaan) yang diharapkan akan menjamin terpeliharanya keunggulan kompetitif perusahaan. Berikut ini diberikan beberapa definisi dari konsep strategi yang di kemukakan. Menurut Chandler and Andrews (Besanko, dkk., 2007), di mana strategi dalam pengertian ini mencakup juga penetapan berbagai tujuan serta arah usaha perusahaan dalam jangka panjang. Menurut Alfred Chandler strategi adalah “the determination of long term goals of an enterprise and the adoption of courses of action and the allocation of
resources necessary for carrying out these goals.” Yang berarti strategi adalah penentuan tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan dan penerapan program dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan tersebut. Menurut Mintzberg, konsep “strategi” itu sekurang-kurangnya mencakup lima arti yang saling terkait, dimana strategi adalah suatu : • Perencanaan untuk semakin memperjelas arah yang ditempuh organisasi secara rasional mewujudkan tujuan-tujuan jangka panjangnya. • Acuan yang berkenaan dengan penilaian konsistensi ataupun inkonsistensi perilaku seprta tindakan yang dilakukan oleh organisasi; • Sudut pemposisian yang dipilih organisasi saat memunculkan aktivitasnya • Suatu perspektif menyangkut visi yang terintegrasi antara organisasi dengan lingkungannya, yang menjadi tanpa batas bagi aktivitasnya, • Rincian langkah taktis organisasi yang berisi informasi untuk mengelabui para pesaing. Tujuan dari menentukan tujuan dan sasaran strategis adalah untuk menentukan tujuan strategi berikut sasaran strategis secara tepat, sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang dan akan dihadapi organisasi. Tujuan menyusun isu strategis, formulating strategis, tema strategis dan pemetaan strategis adalah pengujian apakah isu strategis dan tema strategis yang akan dipakai dalam Balanced Scorecard sudah cukup baik dan mendukung pencapaian visi dan misi organisasi. Berdasarkan isu strategis dan tema strategis disusun pemetaan strategis. Pemetaan strategis adalah rencana pemetaan strategis ke dalam kerangka empat perspektif Balanced Scorecard sehingga, semuanya dapat terintegrasi dalam tujuan dan sasaran strategis yang ingin dicapai organisasi. 2.2.6
Prespektif- perspektif dalam Balanced Scorecard Kaplan dan Norton mengajukan balance scorecard sebagai model sistem
manajemen strategik yang akan menerjemahkan misi dan strategi perusahaan menjadi berbagai tujuan(objectives) dan ukuran ukuran dalam empat perspektif, yaitu : perspektif keuangan (financial perspective), perspektif pelanggan (customer
perspective), perpektif proses bisnis internal ( internal business process perspective), dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth perspective). 1. Perspektif Keuangan (financial perspective) Ukuran keuangan/finansial masih merupakan salah satu unsur penting untuk mengukur pencapaian tujuan perusahaan karena ukuran finansial memberikan gambaran ringkas bagi perusahaan mengenai konsekuensi ekonomi dari berbagai tindakan yang dilakukan perusahaan. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan akan memberikan gambaran apakah implementasi strategi maupun pencapaian tujuan memberikan kontribusi keuangan perusahaan sebelumnya (bottom-line/laba). Tujuan-tujuan keuangan bisa dinyatakan dalam bentuk profitabilitas (Kaplan dan Norton, 1996:26) yang diukur misalnya dalam bentuk operating income, return on capital employeedROCE, atau yang saat ini banyak digunakan dalam bentuk economic value added-EVA. Meskipun organisasi nirlaba tidak mengejar laba namun organisasi perlu memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya secara berkelanjutan. Persepektif keuangan dalam organisasi nirlaba terkait dengan upaya untuk meningkatkan kinerja keuangan dengan cara meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian fiskal yang dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan. Setiap ukuran yang dipilih harus menjadi hubungan sebab akibat yang berakhir pada tujuan finansial. Pada umumnya ukuran-ukuran yang dipakai adalah rasio-rasio keuangan (Ahmad Rodoni dan Herni Ali HT, 2010:178) seperti dibawah ini : a. Rasio Likuiditas Menurut Fred Weston, dikatakan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Sedangkan menurut Kasmir (2008;110), rasio likuiditas merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk
membayar
utang-utang
(kewajiban) jangka
pendeknya yang jatuh tempo, atau rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membiayai dan memenuhi kewajiban (utang) pada saat ditagih.
Menurut Harahap (2009:301), rasio likuiditas merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Untuk dapat memenuhi kewajibannya yang sewaktuwaktu ini, maka perusahaan harus mempunyai alat-alat untuk membayar yang berupa aset-aset lancar yang jumlahnya harus jauh lebih besar dari pada kewajiban-kewajiban yang harus segera dibayar berupa kewajiban-kewajiban lancar. Jenis-jenis Rasio Likuiditas yang dapat digunakan perusahaan untuk mengukur kemampuan yaitu: •
Rasio Lancar (Current Ratio) Rasio lancar merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek atau utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih secara keseluruhan. Rasio lancar dapat pula dikatakan sebagai bentuk untuk mengukur tingkat keamanan (margin of safety) suatu perusahaan. Current Assts Current Ratio = Current Liabilities
•
Rasio Sangat Lancar (Quick Ratio atau Acid Test Ratio) Rasio ini juga disebut Rasio Cepat, merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi atau membayar kewajiban atau utang lancar (utang jangka pendek) dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan nilai persediaan (Inventory).
Current Assets - Inventory Quick Ratio = Current Liabilities •
Rasio Kas (Cash Ratio) Disamping kedua rasio yang sudah dibahas diatas, terkadang perusahaan juga ingin mengukur seberapa besar uang yang benar benar siap untuk digunakan untuk membayar utangnya. Artinya dalam hal ini perusahaan tidak perlu menunggu untuk menjual atau menagih utang lancar lainnya
yaitu dengan menggunakan rasio lancar. Rasio kas merupakan alat yang digunakan untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang. Ketersediaan uang kas dapat ditunjukkan dari tersedianya dana kas atau yang setara dengan kas seperti rekening giro atau tabungan bank (yang dapat ditarik setiap saat). Dapat dikatakan rasio ini menunjukkan kemampuan sesungguhnya bagi perusahaan untuk membayar utang-utang jangka pendeknya.
Cash or Cash Equivalent Cash Ratio = Current Liabilities
•
Ratio Perputaran Kas Menurut James O. Gill, rasio ini berfungsi untuk mengukur tingkat kecukupan modal kerja perusahaan yang dibutuhkan untuk membayar tagihan dan membiayai penjualan. Artinya rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat ketersediaan kas untuk membayar tagihan (utang) dan biaya-biaya yang berkaitan dengan penjualan. Hasil perhitungan rasio perputaran kas dapat diartikan sebagai berikut:
1. Apabila rasio tagihan perputaran kas tinggi, ini berarti ketidak mampuan perusahaan dalam membayar tagihan. 2. Sebaliknya apabila rasio perputaran kas rendah dapat diartikan kas yang tertanam pada aktiva yang sulit dicairkan dalam waktu singkat sehingga perusahaan harus bekerja keras dengan kas lebih sedikit.
Penjualan Bersih Rasio Perputaran Kas = Modal Kerja Bersih •
Inventory To Net Working Capital
Rasio ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah persediaan yang ada dengan modal
kerja perusahaan. Modal kerja tersebut terdiri dari pengurangan antara aktiva lancar dengan utang lancar.
Inventory to Net Working Capital = Inventory
Current Assets – Current Liabilities b. Rasio Leverge Rasio solvabilitas mengukur kemampuan organisasi dalam membayar seluruh kewajiban baik kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang apabila sekiranya organisasi pada saat itu dilikuidasi atau dibubarkan. Jenis – jenis Rasio Solvabilitas yang dapat digunakan organisasi untuk mengukur kemampuan, yaitu : •
Total Utang Dibandingkan dengan Total Aktiva (Total Debt to Assets Ratio)
Total Utang Total Debt to Assets Ratio = Total Aktiva •
Rasio Utang Terhadap Ekuitas (Debt to Equity Ratio - DER)
Total Utang Rasio Utang Terhadap Ekuitas = Jumlah Ekuitas • Rasio Utang Terhadap Pendapatan (Debt to Income Ratio)
Total Utang Rasio Utang Terhadap Pendapatan = Pendapatan c. Rasio Aktivitas (Activity Ratio) Rasio aktivitas adalah rasio yang mrngukur efektivitas perusahaan dalam menggunakan atau memanfaatkan sumber daya yang dimiliki
Rasio aktivitas terdiri dari : • Rata –Rata Umur Piutang Piutang dagang Rata- Rata Umur Piutang =
x 365 hari Penjualan
. Rata – rata umum piutang menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk melunasi piutang atau merubah piutang menjadi kas. Semakin lama rata-rata semakin besar dana yang tertanam pada piutang. • Perputaran Aset Tetap ( Fixed Assets Turn Over)
Penjualan Perputaraan Aset Tetap = Aset Tetap
Perputaran aset tetap menunjukkan sejauh mana kemampuan perusahaan perusahaan menghasilkan penjualan. Berdasarkan aktiva tetap yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin efektif penggunaan aktiva tetap. • Perputaran persediaan (Inventory Turn Over)
HPP Perputaran persediaan = Persediaan
Perputaran persediaan menunjukkan berapa kali persediaan berputar dalam satu tahun. Semakin tinggi perputaran persediaan menandakan efektivitas manajemen persediaan sebaliknya semakin rendah perputaran persediaan.
persediaan
menandakan
adanya
mismanajemen
• Total Assets Turn Over Ratio Rasio
peputaran
total aktiva
adalah
rasio yang
mengukur
perputaran atau pemanfaatan dari semua aktiva perusahaan.
Sales Total Assets Turn Over Ratio = Total asset
d. Rasio Profit Margin Ratio profit margin mengukur tingkat efektifitas manajemen perusahaan yang tercermin dari hasil yang dicapai perusahaan dalam penjualan investasi yang dilakukan perusahaan. Rasio yaang dipakai adalah operating profit margin yaitu rasio yang menunjukkan besarnya laba hasil operasi (sesudah semua biaya dan pengeluaran dikurangi kecuali bunga dan pajak) yang dihasilkan dari setiap rupiah oenjualan bersih. Operating profit margin dapat dirumuskan sebagai berikut : Operating profit margin = Operating Income / Net Sales e. Rasio Profitabilitas Profitabilitas perusahaan harus dilihat sebagai faktor pendorong dalam memantau aspek likuiditas dan solvabilitas. Dalam jangka panjang, perusahaan menghasilkan keuntungan yang cukup dari usahanya sehingga mampu membayar kewajibannya. Kerugian terus menerus akan segera memperburuk solvabilitas perusahaan dan apabila perusahaan akan memperluas usahanya, perusahaan memerlukan retained earning untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam jangka pendek, kerugian segera akan menurunkan likuiditas perusahaan. Lebih
lanjut,
profitabilitas
perusahaan
akan
mempengaruhi
kemampuan perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan dari luar. •
Laba bersih terhadap penjualan (Net income/Sales) Rasio ini biasanya disebut “margin laba” atas penjualan (profit margin on sales) Weston dan Copeland, 2003), rasio ini menunjukan sebaik apakah pengelolaan biaya operasi apakah
perusahaan telah menghasilkan banyak penjualan untuk menutup biaya tetap dan masih menyisakan laba yang layak (Gill dan Chatton, 2003). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut : NIS = (Laba Bersih / Penjualan) x 100% •
Laba bersih terhadap total aktiva (Net Income/ Total Assets) Rasio ini mengukur efektivitas pemakaian total sumber daya oleh perusahaan (Wetson dan Copeland, 2003). Dengan rumusnya: NITA = (Laba bersih/ Total Aktiva) x 100%
2. Perspektif Pelanggan ( customer perspective) Perspektif pelanggan dalam Balanced Scorecard mengidentifikasikan bagaimana kondisi pelanggan dan segmen pasar yang telah dipilihh organisasi untuk bersaing dengan kompetitor. Segmen yang telah dipilih ini mencerminkan keberadaan pelanggan tersebut sebagai sumber pendapatan. Perspektif ini biasanya terdiri dari beberapa pengukuran , ukuran tersebut terdiri dari : a. Kepuasan pelanggan, yaitu tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan oleh organisasi. b. Retensi
pelanggan,
yaitu
tingkat
kemampuan
organisasi
untuk
mempertahankan hubungan dengan pelanggannya yang mungkin seperti seberapa besar organisasi berhasil mempertahankan pelanggan baru. c. Akuisisi pelanggan baru, yaitu tingkat kemampuan organisasi demi memperoleh dan menarik pelanggan baru. d. Pangsa pasar yang meningkat di segmen sasaran menggambarkan seberapa besar penjualan yang dikuasai oleh organisasi dalam segmen tertentu.
Untuk mencapai berbagai ukuran pencapaian dalam perspektif pelanggan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan sungguhsungguh oleh organisasi karena merupakan unsur yang mempengaruhi, yaitu : 1. Atribut produk dan jasa serta fasilitas 2. Hubungan dengan pelanggan 3. Citra dan reputasi organisasi
Kemampuan memberikan pelayanan secara profesional merupakan tuntutan yang tidak dapat ditolak mengingat konsumen dalam hal ini selalu berada pada posisi yang dirugikan, hal teersebut diperkuat dengan telah diberkaukannya Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yang pada dasarnya mengatur hak konsumen, dimana konsumen harus diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur, tidak diskriminatif, serta untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakannya. Kebijakan peningkatan kepuasaan pelanggan merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk memperbaiki citra organisasi. Konsumen harus dilindungi kepentingannya dalam memperoleh produk atau jasa, Selain indikator pengukuran yang telah dijelaskan diatas, ada 3 indikator yang biasanya digunakan dalam untuk menilai kualitas pelayanan organisasi yang berkaitan dengan kepuasan bagi pelanggan, diantaranya : Dalam perkembangannya ternyata kebutuhan konsumen dapat dipelajari dari beberapa literatur yang ada, dalam perkembangannya banyak dimensi yang harus dipahami dari konsumen. Pemahaman konsumen dapat ditelusuri lewat apa yang disebut dengan Customer Relationship Management (CRM). Vanessa (2007:35) menyebutkan bahwa : fokus dari CRM itu sendiri adalah untuk memperbaiki tingkat kepuasan konsumen, meningkatkan loyalitas konsumen, dan meningkatkan pendapatan dari konsumen yang ada, dalam menghadapi tingkat persaingan, globalisasi dan perputaran konsumen serta perkembangan biaya pengakuisisian konsumen.
Quality Service
Quality Satisfaction
Quality Loyality
Customer Relationship Management Gambar 2.2 Pengelolaan hubungan dengan konsumen - Quality Service : Kebijakan peningkatan kualitas pelayanan merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk memperbaiki citra pelayanan kepada konsumen.
Konsumen harus dilindungi kepentingannya dalam memperoleh produk atau jasa yang dibelinya. Jadi perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada konsumen harus berorientasi pada kepentingan konsumen bukan sebaliknya. Penilaian kualitas layanan terdiri dari : a. Tangible (Bukti Fisik) Indikator
ini
berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
menyediakan fasilitas fisik, peralatan, alat-alat komunikasi dan penampilan para personel dengan baik. b. Reliability (Kehandalan) Indikator ini berkaitan dengan kemampuan memberikan pelayanan yang tepat, dapat diandalkan dan dapat dipercaya. c. Responsiveness (Tanggapan) Indikator
ini
berkaitan
dengan
kesediaan
untuk
memberikan bantuan dan tidak membiarkan pelanggan menunggu terlalu lama untuk dilayani. d. Assurance (Jaminan) Indikator ini berkaitan dengan kemampuan karyawan untuk bersikap ramah, sopan, komunikatif dan dapat menghargai pelanggan. e. Empaty (Empati) Indikator ini berkaitan dengan kemampuan dan kemauan organisasi dalam memahami kebutuhan pelanggan. - Kepuasaan pelanggan Kepuasan pelanggan berkaitan mengenai kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh organisasi. Pada banyak organisasi didunia, tingkat pelayanan yang membuat konsumen merasa puas adalah pelayanan yang berpihak kepada konsumen. Jika pelayanan yang diberikan berpihak kepada konsumen, maka konsumen akan merasa bahwa kepentingannya diperhatikan. Belum banyak organisasi pelayanan umum menciptakan image sebagai perusahaan dengan layanan berkelas dunia ( customer satisfication).
- Loyalitas Pelanggan Loyalitas pelanggan berkaitan dengan kesetiaan pelanggan terhadap Klinik tiga Mandiri dikarenakan pelayanan dan fasilitas dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan 3. Perspektif Proses Bisnis Internal Proses bisnis internal adalah serangkaian aktiitas yang ada dalam bisnis kita secara internal yang kerap disebut dengan rantai nilai (value chain ). Dalam organisasi yang menghasilkan barang maupun jasa, pada umumnya rantau nilai terdiri dari pengembangan produk atau jasa baru, marketing, layanan purna jual, dan kesehatan lingkungan. Pada bagian ini, para eksekutif perusahaan melakukan identifikasi terhadap proses internal perusahaan yang akan memungkinkan perusahaan : •
Memberikan
proposisi
nilai
yang
akan
menarik
dan
mempertahankan pelanggan dari target segmen pasar tertentu. •
Memuaskan ekspetasi pemegang saham dengan memberikan pengembalian keuangan (financial return) yang sangat bagus.
Pengukuran proses bisnis internal terutama difokuskan pada proses internal perusahaan yang akan memiliki dampak paling besar terhadap kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan keuangan perusahaan. Dalam kaitan ini Kaplan dan Norton (1996:96) memperkenalkan konsep internal-process value chain- dimana konsep ini mengintegrasikan inovasi yang akan dilakukan perusahaan terhadap proses internalnya dengan memerhatikan kebutuhan konsumen saat ini dan di masa yang akan datang tersebut. Hansen dan Mowen (2005) mengungkapkan tiga jenis proses yang ada pada rantai nilai perusahaan: a. Proses inovasi Yang dimaksud dengan inovasi adalah penciptaan produk, proses baru, maupun inovasi produk juga dapat didefinisikan sebagai pengembangan atas produk yang sudah ada. Inovasi proses adalah pengembangan proses baru dalam memproduksi produk-produk dan menyampaikannya
kepada
para
pelanggan. Tujuan dari proses inovasi meliputi peningkatan jumlah produk baru, peningkatan persentase pendapatan dari produk utama, dan penurunan waktu pengembangan produk baru. Ukuran-ukuran yang digunakan, antara
lain jumlah produk baru versus produk yang direncanakan, persentase pendapatan total dari produk utama, dan waktu siklus pengembangan (waktu untuk pasar). b. Proses operasi Proses ini dimulai dengan pesanan pelanggan dan diakhiri dengan pengiriman pesanan
tersebut.
Tujuan-tujuan
dari
proses
operasi, antara lain
peningkatan kualitas proses, peningkatan efisiensi proses, dan penurunan waktu proses. Ukuran-ukuran untuk kualitas proses mencakup biaya kualitas, keluaran output, dan persentase unit yang cacat. Efisiensi proses dapat diukur, terutama dengan memperhatikan biaya proses dan produktivitas proses. Selain itu, waktu proses juga menjadi faktor yang mempengaruhi efisiensi. c. Proses layanan purna jual Tujuan proses layanan purna jual adalah peningkatan kualitas pelayanan peningkatan efisiensi kualitas, dan penurunan waktu proses. 4. Prespektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Perspektif keempat dalam model BSC adalah pembelajaran dan pertumbuhan (learning and gorwth). Dalam perspektif ini, para manajer perusahaan harus mengidentifikasi berbagai infrastruktur yang harus dibangun perusahaan untuk menciptakan pertumbuhan dan perbaikan kinerja secara terus-menerus dalam jangka panjang. Perusahaan tidak akan dapat memenuhi kebutuhan konsumen di masa yang akan datang bila hanya mengandalkan teknologi dan kemampuan yang dimiliki perusahaan selama ini.
Kemampuan organisasi untuk melakukan pembelajaran (learning) dan tumbuh (growth) berasal dari tiga sumber, yakni : •
Employee capabilities (kemampuan karyawan)
•
Information system capabilities (kemampuan sistem informasi)
•
Organizational
procedures
(prosedur
organisasi
yang
akan
memungkinkan karyawan memiliki motivasi dan insiatif dalam bekerja). Produktivitas mempunyai keterkaitan atau memberikan dampak terhadap kegiatan lainnya. Produktivitas dapat meningkatkan kepuasan kerja,
mendorong terjadinya penyederhanaan kerja, meningkatnya keterpaduan, dan spesialisasi kerja. Unutk meningkatkan produktivitas karyawan maka dibutuhkannya
evaluasi
kinerja.
Evaluasi
kinerja
dilakukan
untuk
memberikan penilaian terhadap hasil kerja atau prestasi kerja yang diperoleh organisasi, tim atau individu. Kinerja karyawan yang baik dipengaruhi dari kepuasaan karyawan, motivasi karyawan, komitmen organisasi, dan kehadiran karyawan. •
Kepuasaan kerja Kebanyakan orang percaya bahwa pekerja yang puas adalah pekerja yang produktif. Alasannya adalah pekerja yang puas cendrung ingin semakin terlibat dalam pekerjaan sehingga lebih produktif.
•
Motivasi karyawan Robert Heller (1998:6) menyatakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk bertindak. Motivasi merupakan proses psikologis yang membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada pencapaian tujuan atau goal-directed behavior (Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, 2001:205). Manajer perlu memahami proses psikologis ini apabila mereka ingin berhasil membina pekerja menuju pada penyelesaian sasaran organisasi. Sedangkan menurut Stephen P.Robbins (2003:156) menyatakan motivasi sebagai proses yang menyebabkan intensitas, arah, dan usaha terus – menerus individu menuju pencapaian tujuan. Abraham Maslow mengembangkan Hierarchy of Needs Theory dan mengelompokkan motivasi dalam lima tingkat yang disebutnya sebagai kebutuhan : psikologi, rasa aman, hubungan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
•
Komitmen Organisasi Komitnen organisasional mencerminkan tingkat dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen
terhadap tujuannya. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan dan kuat antara komitmen organisasi dan kepuasan. Manajer disarankan meningkatkan kepuasan kerja dengan maksud untuk menimbukan tingkat komitmen yang lebih tinggi.
Selanjutnya,
komitmen
yang
lebih
tinggi
dapat
memfasilitasi produktivitas lebih tinggi. •
Kehadiran karyawan Kehadiran karyawan yang kurang merupakan hal mahal dan manajer secara tetap mencari cara untuk menguranginya. Satu rekomendasi yaitu meningkatkan kepuasan kerja. Dengan kata lain, kepuasan meningkat, kemangkiran akan turun.
2.2.7
Balance Scorecard pada Organisasi Publik (non profit) Semenjak diperkenalkan konsepsinya, sesungguhnya penerapan BSC di
organisasi publik telah banyak pula menuai hasil (Kaplan, 1996). Bagi organisasiorganisasi publik yang telah menerapkan BSC sesuai dengan konteksnya masingmasing, akhirnya seringkali mengalami kesulitan untuk bisa memahami bahwa perspektif finansial, dan yang terutama sekali pengendaliannya berdasarkan atas tolok-tolok ukur kinerja finansial, sangatlah memainkan peranan penting dalam struktur BSC. Dalam praktik pun dapat cepat melihat bahwa organisasi-organisasi publik sering pula menerapkan struktur BSC pada situasi-situasi tertentu, namun dengan menempatkan perspektif pelanggan, ketimbang perspektif finansial, di urutan paling atas. Dengan menempatkan perspektif pelanggan diurutan paling atas, paling tidak menunjukkan mereka masih menekankan bahwa tujuan akhir dari organisasi publik bukan terletak pada upaya meraih sasaran-sasaran (objek-objek) finansial, akan tetapi semata-mata hanya demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pelanggan perorangan ataupun warga masyarakat (Brandt, 2003). Selanjutnya Kaplan dan Norton menyaranakan agar dalam membangun BSC bagi suatu organisasi publik, sebaiknya beranjak dari sebuah misi yang bersifat umum. Lalu menjabarkan misi itu menjadi satu kesatuan sasaran (objek) yang berjangka
panjang,
dan
kemudian
mengadopsinya
sebagai
masukan
bagi
pengembangan BSC, dimana memuat keseluruhan perspektif BSC, untuk nantinya direalisasikan menjadi aktivitas utama dari kiprah organisasi publik. 2.3
SWOT Formulasi strategi merupakan perencanaan jangka panjang yang berkaitan
dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Formulasi strategi dimulai dengan kegiatan analisis situasional
yaitu suatu proses untuk
menemukan kecocokan strategic antara peluang yang ada dilingkungan eksternal persahaan dengan kekuatan internal yang dimiliki perusahaan sementara pada saat yang sama memperhitungkan berbagai ancaman yang ada di lingkungan luar perusahaan dan kelemahan internal perusaan (Wheelen dan Hunger, 2004:109). Dapat dikatakan bahwa esensi dari strategi adalah peluang dibagi dengan kapasitas (capacity) yang terbentuk oleh sumber daya dan kemampuan yang dimiliki perusahaan (Wheelen dan Hunger, 2004:109) dan dapat dirumuskan menjadi : SA = O/(S-W) Di mana : SA = Strategic Alternative O = Opportunity S = Strength W = Weakness 2.3.1
Pengertian SWOT Salah satu alat analisis situasional yang paling bertahan lama dan banyak
digunakan oleh perusahaan dalam melakukan formulasi strategi adalah analisi SWOT (Strength, weakness, opportunities dan threats). Hasil dari analisi SWOT adalah identifikasi distinctive competencies perusahaan yang berasal dari sumber daya dan kemampuan internal yang dimiliki perusahaan serta sejumlah peluang yang selama ini belum dimanfaatkan perusahaan,misalnya akibat adanya kekurangan dalam kemampuan internal perusahaan. Kendati analisis SSWOT merupakan alat analisis yang bertahan paling lama serta banyak digunakan oleh perusahaan untuk melakukan analisis situasional dalam formulasi strategi, alat analisis ini memperoleh sejumlah kritik sebagaimana disebutkan Wheelen dan Hunger sebagai bertikut :
• Analisi SWOT menghasilkan daftar peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang sangat panjang. • Analisi SWOT tidak menggunakan pembobotan yang dapat mencerminkan prioritas dari masing-masing faktor strategis yang dianalisis • Analisi SWOT sering kali menggunakan kata-kata atau frasa yang mengandung arti ambigu/mendua. • Faktor yang sama dapat di tempatkan dalam dua kategori, misalnya kekuatan bisa juga sekaligus dianggap kelemahan perusahaan. • Tidak ada kewajiban untuk melakukan verifikasi atas suatu opini dengan data atau analisis • Analisis SWOT hanya menggunakan analisis tunggal • Hasil analisis SWOT sering kali tidak memiliki keterkaitan secara logis dengan implementasi strategi. Menurut Rangkuti (2009;19) Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. 2.3.2
Sintesis Faktor-faktor Eksternal
Sebelum membuat matrik faktor startegi eksternal, perlu diperhatikan faktor strategi eksternal (EFAS). Berikut ini adalah cara-cara penentuan Faktor Eksternal (EFAS): 1. Susun dalam kolom 1 , yang berisi peluang dan ancaman 2. Beri bobot masing-masing faktor dalam kolom 2, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai
dengan
0,0
(tidak
penting).
Faktor-faktor
tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis. 3. Tentukan rating (dalam kolom 3) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 5 (hebat) sampai dengan 1(jelek) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating +5, tetapi jika peluangnya kecil,diberi rating +1). Pemberian nilai rating ancaman adalah kebalikannya. Misalnya, jika nilai ancaman sangat besar, ratingnya adalah 1. Sebaliknya, jika nilai ancamannya sedikit ratingnya 5. Setiap rating adalah penilaian mengenai
seberapa baik seorang analis mempercayai bahwa manajemen perusahaan mengatasi setiap faktor eksternal. 5
Hebat
4
3
Di atas rata-rata
Rata-rata
2
Di bawah rata-rata
1
Jelek
4. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh skor dibobotkan untuk faktor tersebut dalam kolom 4. 2.3.3
Sintesis Faktor-faktor Internal Setelah faktor-faktor strategis internal suatu perusahaan diidentifikasi,
suatu tabel IFAS (Internal Factors Analysis Summary) disusun untuk merumuskan faktor-faktor strategis tersebut dalam kerangka strength and weaknes persusahaan. Tahapanya adalah: 1. Tentukan
faktor-faktor
yang
menjadi
kekuatan
serta
kelemahan
perusahaan dalam kolom 2. Beri bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari1,0 (paling penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Berdasarkan pengaruh faktor- faktor tersebut terhadap posisi startegis perusahaan. ( semua bobot tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,00) 3. Hitung
rating
(dalam
kolom
3)
untuk
masing-masing
faktor
dengan memberikan skala mulai dari 5 (sangat baik) sampai dengan 1 (sangat buruk berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan. Variable yang bersifat positif (semua variabel yang masuk kategori kekuatan) di beri nilai mulai dari +1 (sangat buruk) sampai dengan +5 (sangat baik) dengan pesaing utama. Sedangkan variabel yang bersifat negatif (semua variable kategori kelamahan) kebalikannya. Contohnya, jika kelemahan perusahaan besar sekali dibandingkan dengan rata-rata industri, nilainya adalah 1, sedangkan jika kelemahan perusahaan dibawah rata-rata industri, nilainya adalah 5.
5
Sangat baik
4.
4
Di atas rata-rata
3
Rata-rata
2
Di bawah rata-rata Sangat buruk
Kemudian kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan dalam kolom 5. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 5,0 (sangat baik) sampai dengan 1,0 (sangat buruk).
2.4
Penelitian Terdahulu Desi Areva, S.Pd (2012) Analisis Pengukuran Kinerja Dengan Sistem
Balance Scorecard Pada Rumah Sakit Yos Sudarso Padang. Berdasarkan temuan penulis mencoba untuk mengukur kinerja Rumah Sakit Yos Sudarso dengan menggunakan system balanced scorecard berdasarkan perspektif keuangan. Data yang telah penulis peroleh yaitu laporan neraca tahun 2000 s/d 2002 dan laporan rugi laba tahun 2000 s/d 2002. Mengukur kinerja dengan menggunakan system balance scorecard tolok ukur- tolok ukur yang penulis gunakan berdasarkan tehnik analisa data yaitu : Return On Investment tahun 2002 mengalain kenaikan dari tahun 2001 dan 2000 masing-masing 1%. Sedangkan dari tahun 2000 ke 2001 tidak mengalami perubahan baik itu peningkatan maupun penurunan. Besarnya ROI akan berubah kalau ada perubahan profit margin atau assets turnover, baik masingmasing atau kedua-duanya. Usaha mempertinggi ROI dengan memperbesar profit margin adalah bersangkutan dengan usaha untuk mempertinggi efisiensi di sektor produksi, pendaoatan dan administrasi. Usaha mempertinggi ROI dengan memperbesar asset turnover adalah kebijaksanaan investasi dana dalam berbagai aktiva, baik aktiva lancar maupun aktiva tetap. Return On Assets dari tahun 2000 sampai tahun 2002 tidak mengalami peningkatan maupun penurunan. Return On Asset adalah perbandingan antara laba bersih setelah pajak terhadap total aktiva. Suatu trend angka ratio yang cendrung tetap, memberikan gambaran bahwa Rumah Sakit Yos Sudarso kurang mampu untuk lebih efisien lagi dalam menggunakan total aktivanya. Pada tahun 2002 current ratio Rumah Sakit Yos Sudarso sebesar 64,20% atau 0m6420 :1. Artinya setiap Rp.1 hutang lancar di jamin dengan Rp. 0,6420 aktiva lancar. Hasil ini sangat rendah dibandingkan dengan standar current ratio yag
1
sebaiknya dimiliki oleh suatu perusahaan menurut Munawir, S (1995;73) yaitu 200% atau 2:1. Apabila hasil current ratio tidak mencapai standar ini maka dapat dikatakan perusahaan mengalami kesulitan untuk membayar lancar pada saat jatuh tempo. Jadi bila hasil current ratio Rumah Sakit Yos sudarso dinilai berdasarkan pendapat Munawir adalah sangat rendah karena jumlah aktiva lancar tidak mampu menutupi jumlah hutang lancar. Untuk tahun 2002 quick ratio Rumah Sakit Yos Sudarso adalah 55,70%. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa Rumah Sakit Yos Sudaro meakukan investasi yang sangat besar karena quick ratio Rumah Sakit Yos Sudarso tahun 2000 lebih rendah dari current ratio tahun 2000. Pada tahun 2002 waktu yang diperlukan Rumah Sakit Yos Sudarso untuk mengumpulkan piutangnya adalah 10 hari. Hasil ini mengalami penurunan di bandingkan dengan tahun 2001 dan 2000 masing-masingnya adalah 3 hari dan 6 hari. Semakin sedikit waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan piutang, maka semakin baik bagi perusahaan dan juga menunjukan baiknya kinerja karyawannya. Perputaran piutang dari tahun 2000 ke tahun 2001 mengalami penurunan sebanyak 8,82 kali, sedangkan dari tahun 2001 ke tahun 2002 mengalami penurunan sebanyak 17,25 kali. Kalau ratio semakin rendah berarti ada over investment dalam piutang sehingga memerlukan analisa lebih lanjut, mungkin karena bagian kredit dan penagihan bekerja tidak efektif atau mungkin ada perubahan dalam kebijaksanaan pemberian kredit. Untuk tahun 2002 asset turn over Rumah Sakit Yos Sudarso adalah 1,67 kali. Semakin tinggi perputaran aktiva usaha akan menghasilkan pendapatan yang semakin tinggi bagi perusahaan. Siti Khadijah Nasution (2009) Pengukuran Kinerja Rumah Sakit Dengan Balance Scorecard. Walaupun pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard ini lebih banyak digunakan di perusahaan-perusahaan bisnis yang menghasilkan barang/produk, tetapi dapat juga diterapkan pada rumah sakit yang bergerak dalam usaha jasa. Sehingga dapat diketahui kemampuan rumah sakit kinerja rumah sakit dapat juga diukur melalui kinerja pelayanan berupa BOR, ALOS, BTO, TOI, NDR, GDR, Rata-rata Kunjungan Poliklinik per hari, (Wijono, 1999). Berdasarkan bagan evaluasi penilaian kinerja di atas, maka selain akan diukur fakta-fakta kinerja rumah sakit yang ada, hasil pengukuran kinerja akan dibandingkan dengan target rumah sakit sendiri serta memobilisasi dan mengeksploitasi aktiva tak berwujudnya. Sebagai contoh Peel Memorial Hospital Vancouver
Canada
menggunakan
Balanced
Scorecard
sebagai
kerangka
pengukuran kinerja dan evaluasi serta menerapkannya ke dalam perencanaan strategik organisasi untuk meningkatkan kinerja-nya. Mayo Clinic, sebuah intitusi kesehatan di United States juga mengembangkan sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced Scorecard untuk unit bisnis rawat jalan. John R Griffith, John G King dalam Journal of Healthcare Management edisi Jan/Feb 2000 dan Chee W Chow et. al dalam Journal yang sama edisi Mei 1998 juga menganjurkan penggunaan Balanced Scorecard dalam organisasi kesehatan. Balanced Scorecard sendiri dipelopori oleh Robert S.Kaplan dan David P.Norton, Balanced Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu skor (scorecard) dan (2) berimbang (balanced). Kartu skor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja seseorang. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja personel diukur secara berimbang dari dua aspek: keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ekstern. Balanced Scorecard menyediakan rerangka komprehensif dan koheren untuk menilai kinerja organisasi. Balanced Scorecard mengukur kinerja rumah sakit melalui 4 perspektif, yaitu: finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Dari segi pembelajaran dan pertumbuhan, ukuran-ukuran yang digunakan adalah kapabilitas pekerja (kepuasan kerja pegawai, turnover, produktivitas pegawai), kapabilitas sistem informasi, dan motivasi, pemberdayaan dan keselarasan (empowering). Selanjutnya perspektif pertumbuhan dan pembelajaran ini akan berpengaruh terhadap proses bisnis internal, ukuran-ukuran yang digunakan dalam perspektif ini adalah inovasi, proses, dan layanan purna jual. Kinerja proses bisnis internal akan berpengaruh terhadap kinerja pelanggan, yang diukur dari: pangsa pasar, kepuasan pelanggan, retensi dan akuisisi pelanggan. Pada akhirnya ke-3 perspektif kinerja akan bermuara kepada kinerja keuangan, yang dapat diukur dari likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan performance.(Kaplan & Norton, 1996) Untuk ukuran-ukuran standar dari industri rumah sakit. Dengan diketahuinya gambaran kinerja rumah sakit melalui 4 perspektif tersebut, maka dapat dilakukan proses-proses perbaikan yang dibutuhkan untuk membuat rumah sakit dapat survive. Cindy Nulion Kurnia Putri (2011) Identifikasi Masalah Kinerja Pelayanan Rawat Jalan Berdasarkan Perspektif Balanced Scorecard Di UPTD PUSKESMAS REJOSO KAB. NGANJUK TAHUN 2011. UPTD Puskesmas Rejoso merupakan satu-satunya puskesmas yang dipersiapkan Pemerintah Kabupaten Nganjuk untuk menerapkan Balanced Scorecard. Balanced Scorecard adalah kerangka kerja baru
mengintegrasikan berbagai ukuran yang diturunkan dari strategi institusi. Yang mana dapat memberi hasil penilaian yang sangat lengkap dan terpadu, mencakup aspek finansial dan non finansial. Berdasarkan PERDA Nomor 02 Tahun 2009, tarif pelayanan rawat jalan adalah gratis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah kinerja pelayanan rawat jalan berdasarkan perspektif Balanced Scorecard di UPTD Puskesmas Rejoso. Jenis penelitian yaitu kualitatif. Instrumen penelitian adalah check list, lembar klarifikasi dan observasi, panduan wawancara, dimana ada 4 informan inti dan 1 informan triangulasi. Analisis data menggunakan content analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pelayanan rawat jalan berdasarkan perspektif Balanced Scorecard di UPTD Puskesmas Rejoso baik. Masalah kinerja ada pada employees and organization capacity perspective. Kinerja pelayanan pada customer and stakeholder perspective baik, masalah kinerja ada pada indikator penanganan keluhan (66,67%). Kinerja pelayanan pada financial perspective baik, dan tidak ada masalah kinerja. Kinerja pelayanan pada internal business perspective baik, masalah kinerja ada (33,33%). Kinerja pelayanan pada employees and organization perspective cukup, masalah kinerja ada pada indikator pelatihan pegawai (41,67%). Disarankan bagi UPTD Puskesmas Rejoso, kepada pimpinan puskesmas untuk mendiseminasikan protap dan memperbaiki media penyampaian keluhan pelanggan. Untuk Dinas Kesehatan agar mengkoordinir daftar kebutuhan pelatihan dari puskesmas. Dan untuk tim pendamping (FKM UNAIR) sebaiknya memperbaiki penggunaan istilah pada perspektif dan mengakaji ulang indikator keberhasilan yang digunakan. Josep Bisbe & Joan Barrub s (2010) The Balanced ScoreCard as a Management Tool for Assessing and Monitoring Strategy Implementation in Health Care Organization. Strategi sering gagal dalam organisasi, termasuk organisasi perawatan kesehatan, bukan karena desain yang lemah tetapi karena mereka diimplementasikan dengan buruk. Sejak implementasi strategi sangat penting untuk keberhasilan lanjutan dari setiap organisasi, studi alat manajemen tertentu yang dapat membantu dalam hal ini membuat sangat menarik. Pada artikel ini, kita telah meninjau beberapa kontribusi, dilema, dan keterbatasan yang berkaitan dengan salah satu alat manajemen khusus, BSC, dengan harapan bahwa hal itu akan lebih baik diimplementasikan dan dievaluasi dalam organisasi perawatan kesehatan. Dalam formulasi awal, BSC dikandung sebagai instrumen pengukuran multidimensi yang terintegrasi indikator finansial dan nonfinansial . Balance Scorecard telah
berkembang ke arah penggabungan peta strategi (yaitu, berbagi peta dari urutan sebab-akibat yang mewakili model bisnis organisasi ). Ketika mempertimbangkan penerapan BSC sebagai alat manajemen dalam organisasi perawatan kesehatan, adalah penting untuk memperhitungkan kekhususan dari sektor ini. Akibatnya, artikel ini membedakan antara aspek desain BSC dan yang berkaitan dengan penerapannya. Mengenai desain, informasi disediakan untuk mengatasi 3 keprihatinan utama: a) perspektif untuk mempertimbangkan; b) implikasi menggabungkan peta strategi, dan c) memerintahkan perspektif dalam urutan sebabakibat. Artikel ini juga mengusulkan serangkaian refleksi pada penggunaan BSC dalam organisasi perawatan kesehatan (yaitu, tingkat organisasi di mana untuk memulai penerapan BSC, perbedaan antara penggunaan BSC untuk memfasilitasi pengambilan keputusan dan memberikan insentif, dan yang indikator yang digunakan). Dalam terjemahannya untuk bidang manajemen kesehatan , baik perkembangan teoritis dan pengalaman nyata dengan penerapan BSC telah menunjukkan kebutuhan untuk beradaptasi alat generik dengan realitas sektor dan untuk masing-masing organisasi. Beruntung, mengingat bahwa adaptasi diperlukan, BSC telah terbukti cukup fleksibel untuk menyesuaikan situasi strategis yang berbeda dan dengan demikian dapat membantu untuk meningkatkan implementasi strategi dan pengukuran dan pemantauan hasil dalam organisasi perawatan kesehatan . Ana R. L. Calhau (2009) Conception of a Balanced Scorecard System to the Traumatology Department of the Hospital Garcia de Orta. Dalam penelitian ini, alat pengukuran kinerja, Balanced Scorecard ( BSC ), dilaksanakan dengan sukses di Traumatologi Departemen Hospital Garcia de Orta. Solusi dan sumber daya yang tersedia adalah akurat, cukup untuk menghadapi secara efisien. Selain itu, dalam departemen dengan anggaran negara, kepentingan dari beberapa tingkatan bersaing, kadang-kadang memiliki kekhawatiran lebih dalam adopsi solusi kompromi dari dalam praktek prinsip-prinsip dan konsep manajemen yang ketat. Dalam perjalanan pelaksanaan BSC tidak dapat diabaikan bahwa beberapa sektor kesehatan dianggap tidak pantas untuk merefleksikan hal ini menjadi model manajemen lingkungan umum digunakan dalam kesatuan kewirausahaan yang mencari keuntungan. Ini akan menjadi, salah satu elemen kontras utama antara apa yang disebut " tradisional " visi dan misi yang harus berlaku dari sekarang. Fakta bahwa seseorang berhadapan dengan organisasi kesehatan masyarakat menuntut beberapa perubahan dalam model
pertama kali dikemukakan oleh Kaplan dan Norton. Salah satu perubahan itu adalah pada tingkat perspektif. Begitu penting untuk menjelaskan konsep klien, mengidentifikasi target pasar departemen kesehatan masyarakat dan memahami kebutuhan konstituen pasar yang dalam rangka untuk lebih melayani mereka. Pada akhirnya, diperoleh scorecard dengan 20 tujuan, 26 ukuran, yang didistribusikan untuk 4 perspektif : pasien / stakeholders, anggaran, proses internal dan pertumbuhan dan pembelajaran. Untuk realisasi pekerjaan , pengumpulan data numerik dan informasi yang berguna dan relevan adalah salah satu langkah fundamental, tidak hanya untuk memahami model kerja pelayanan, tetapi juga untuk perkembangan metodologi. Namun, ini akhirnya menjadi salah satu tugas yang paling sulit dalam seluruh proses. Untuk itu , lima kesulitan utama memiliki kontribusi : -
Ketidaktahuan keberadaan, atau jika tidak adanya, langkah-langkah tertentu oleh orang-orang klinis dan administrasi ;
-
Pengetahuan tentang adanya langkah-langkah tertentu;
-
Ketidakmampuan untuk penggalian data dari informasi sistem ;
-
Penyebaran informasi ;
-
Konflik data .
Hal ini masih disebut bahwa untuk Rumah Sakit Garcia de Orta, tidak ada visi yang ditetapkan. Karena visi merupakan fakta bahwa hal itu berkaitan langsung dengan tujuan jangka panjang, serta dengan aspirasi masa depan, akan muncul dalam definisi Rumah Sakit, sehingga konsepsi disarankan. Bersamaan dengan tujuan dan ukuran definisi, itu mulai dibangun peta strategis. Perkembangannya menunjukkan sangat berguna, yang memungkinkan deteksi inkonsistensi dan kesenjangan dalam hubungan sebab dan akibat, menuntut banyak perhatian oleh direktur departemen dan tim yang tersisa. Namun, produk akhir menawarkan deskripsi grafis dari strategi, sehingga lebih dimengerti dan rentan untuk menerima masukan yang berharga dari banyak sumber. Namun, revisi periodik diperlukan tidak hanya di tingkat peta strategis, tetapi juga pada tingkat tindakan, untuk menjamin bahwa hal tersebut diperbarui. John G. Watson (2008) Implementing A Balanced Scorecard In A Not-Proft Organization. Kerangka konseptual balanced scorecard telah diimplementasikan dan dimafaatkan secara efektif selama bertahun-tahun dengan jumlah yang besar untuk profit organisasi. Baru-baru ini, model telah efektif digunakan untuk organisasi
nirlaba juga. Dalam tulisan ini penulis telah menggambarkan bagaimana pendekatan Balance Scorecard telah dilaksanakan di sebuah pusat rehabilitasi. Dalam melaksanakan pendekatan Balance Scorecard, pusat rehabilitasi telah menempatkan penekanan yang sama pada perspektif konsumen dan perspektif keuangan. Fokus sama ini didasarkan pada perlunya pusat untuk melaksanakan misi utama untuk konsumen, kebutuhan untuk menjaga stabilitas keuangan dalam pusat. Penekanan pada kedua perspektif ini telah menjadi keharusan agar pusat untuk secara efisien dan efektif melayani pelanggan. Sedangkan penggunaan Balanced Scorecard dalam proses perencanaan jangka panjang untuk pusat relatif baru, proses tersebut telah diterima oleh manajemen organisasi. Tantangan ke depan untuk pusat ini adalah untuk langkah-langkah untuk tujuan strategis dari pusat. Hal ini diakui merupakan proses yang sangat sulit karena hasil nyata tidak mudah diukur. Perumusan ukuran hasil adalah proses pengembangan yang berkesinambungan. Hal ini dirasakan proses ini pasti akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pusat rehabilitasi dalam jangka panjang.
2.5
Kerangka Pemikiran Dari uraian di atas maka dapat digambarkan sebagai berikut
Klinik Tiga Mandiri
Visi dan Misis Klinik Tiga Mandiri Kinerja Organisasi
Pengukuran Kinerja Organisasi Menggunakan BSC
Perspektif keuangan
Prespektif pelanggan
Prespektif proses bisnis internal
Prespektif pembelajaran dan pertumbuhan
Analisis
SWOT
Strategi
Kesimpulan
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Dapat dijabarkan yaitu penulis melakukan penelitian terhadap Klinik Tiga Mandiri, kemudian penulis mencari informasi mengenai visi dan misi serta kinerja organisasi Klinik Tiga Mandiri, langkah selanjutnya, penulis menerapkan Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja yang berdasarkan empat perspektif (keuangan,
pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil dari penerapan tersebut akan di analisis, setelah dianalisis maka akan memberikan suatu kesimpulan dan diterapkan kedalam SWOT guna untuk memberikan perencanaan strategi baru untuk Klinik Tiga Mandiri mencapai tujuan masa depan semakin baik.