BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Jalan Tol Jalan tol merupakan suatu sarana berbayar yang ditujukan bagi setiap pengguna kendaraan yang ingin melakukan perjalanan jarak dekat maupun jarak jauh, agar mendapatkan jarak yang lebih dekat, nyaman dan aman. Maka dari itu jalan tol memiliki beberapa kriteria penting yang telah diatur dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 adalah sebagai berikut : a.
Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas yang tinggi;
b.
Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 kilometer per jam dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 kilometer per jam.
c.
Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat (MST) paling rendah 8 ton;
d.
Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran, dan dilengkapi dengan fasilitas penyebrangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan;
e.
Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna jalan tol, harus diberi bangunan pengaman yang memiliki kekuatan dan struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan;
f.
Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, marka jalan, dan/atau alat pemberi isyarat lalu lintas;
g.
Ketentuan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(6)
dilaksanakan
berdasarkan peraturan lalu lintas dan angkutan jalan; h.
Ketentuan persyaratan teknik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut peraturan Mentri.
Pengguna jalan tol juga telah diatur dalam pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 dimana : a.
Jalan tol hanya diperuntukan bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor roda empat atau lebih;
b.
Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokan berdasarkan jenis angkutan dan tonasenya;
c.
Jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Mentri pada Keputusan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 370/KPTS/M/2007.
2.2
Pihak Pengelola Jalan tol merupakan infrastruktur yang dikelolah oleh banyak pihak. Kementrian Pekerjaan Umum membentuk suatu badan yang bertugas untuk mengatur penggunaan penyelengaraan jalan tol yang disebut Badan Pengatur Jalan Tol ( BPJT). Badan Pengatur Jalan Tol ( BPJT) memiliki tugas (menurut pasal 6 Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 295/PRT/M/2005 Tentang Badan Pengatur Jalan Tol) sebagai berikut : a.
Merekomendasikan tarif awal dan penyesuaian tarif tol kepada mentri (kementrian pekerjaan umum);
b.
Melakukan pengambilan hak pengusahaan jalan tol yang telah selesai masa konsesinya dan merekomendasikan pengoperasian selanjutnya kepada mentri ( kementrian pekerjaan umum);
c.
Melakukan pengambilan hak sementara pengusahaan jalan tol yang telah gagal dalam pelaksanaan konsesi, untuk kemudian dilelangkan kembali pengusahaannya;
d.
Melakukan persiapan pengusahaan jalan tol yang meliputi analisa kelayakan finansial, study kelayakan dan penyimpangan amdal;
e.
Melakukan pengadaan investasi jalan tol melalui pelelangan secara transparan dan terbuka;
f.
Membantu
proses
pembebasan
tanah
dalam
hal
kepastian
ketersediaannnya dana yang berasal dari badan usaha dan membuat mekanisme pembuatannya;
g.
Memonitor pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan tol yang dilakukan oleh badan usaha; dan
h.
Melakukan pengawasan terhadap badan usaha atas pelaksanaan seluruh kewajiban perjanjian pegusahaan jalan tol dan melaporkannya secara periodik kepada mentri (kementrian pekerjaan umum).
Menurut Roseily(2013), Jalan tol merupakan salah satu infrasturktur yang dibangun oleh pemerintah. Namun pihak yang mengelolah dapat dilakukan oleh badan usaha yang memenuhi persyaratan. Adapun kegiatan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan. Di Indonesia, beberapa jalan tol dikelolah oleh badan usaha (operator) yang bertanggung jawab atas beberapa ruas jalan tol . Tabel 0.1 Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) No. Nama Badan Usaha Jalan Tol 1 PT. BINTARO SERPONG DAMAI 2
PT. BOSOWA MARGA NUSANTARA
3
PT. CITRA MARGA NUSAPHALA PERSADA TBK
4
PT. CITRA MARGATAMA SURABAYA
5 6
PT. JALAN TOL SEKSI IV PT. JASA MARGA
Ruas Tol Serpong - Pondok Aren Ujung Pandang Tahap 1 Harbour – Road Ir. Wiyoto Wiyono, Msc Ss Waru - Bandara Juanda Waru (Aloha) - Wonokromo - Tg. Perak Makassar Seksi IV Lingkar Dalam Kota Jakarta Padalarang - Cileunyi Jakarta-Bogor Jakarta-Tangerang Semarang Seksi A, B, C Surabaya-Gempol Bogor-Purwakarta-Padalarang Prof.DR Ir. Soedyatmo (Cengkareng) Palikanci JORR E1-3,W2-S2,E3,E1-4 JORR Seksi E1 Selatan (Taman MiniHankam Raya) JORR Selatan (Pd. Pinang - Taman Mini) Jakarta - Bogor - Ciawi Belmera
Tabel 0.2 Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) (Lanjutan) No. Nama Badan Usaha Jalan Tol 6 PT. JASA MARGA
Ruas Tol JORR E2 (Cikunir-Cakung) JORR W2 Selatan (Pd.Pinang-Veteran) Ulujami - Pondok Aren Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran Gempol – Pasuruan Semarang – Solo JORR W2 Utara
7
PT. MARGABUMI MATRARAYA
Surabaya – Gresik
8
PT. MARGA MANDALA SAKTI PT. BINA PURI NINDYACIPTA KARYATAMA PT. CITRA WASPPHUTOWA PT. JAKARTA LINGKAR BARAT
Tangerang – Merak
9 10 11
12
SATU PT. KRESNA KUSUMA DYANDRA MARGA
Ciranjang – Padalarang Depok – Antasari JORR Seksi W1
Bekasi - Cawang - Kp. Melayu
13
PT. LINTAS MARGA SEDAYA
Bogor-Palimanan
14
PT. MARGABUMI ADHIKARAYA
Gempol – Pandaan
15
PT. MARGA HANURATA INTRINSIC
Kertosono – Mojokerto
16
PT. MARGA NUJYASUMO AGUNG
Surabaya – Mojokerto
17
PT. MARGA SARANA JABAR
Bogor Ring Road
18
PT. MARGA SETIAPURITAMA
Semarang – Batang
19
PT. MARGA TRANS NUSANTARA
20
PT. MTD CTP EXPRESSWAY
Kunciran – Serpong Cikarang (Cibitung) - Tj. Priok (Cilincing)
21 22 23 24 25 26
PT. PEJAGAN PEMALANG TOL ROAD PT. PEMALANG BATANG TOL ROAD PT. SEMESTA MARGA RAYA PT. TRANS JABAR TOL PT. TRANS-JAWA PAS PRO JALAN TOL PT. TRANSLINGKAR KITA JAYA
Pejagan – Pemalang Pemalang – Batang Kanci – Pejagan Ciawi – Sukabumi Pasuruan – Probolinggo Cinere – Jagorawi
Sumber : Roseily (2013) Dalam tabel di atas dapat dilihat, jalan tol Jakarta – Bogor – Ciawi di pegang oleh PT. Jasa Marga cabang Jagorawi yang berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah.
2.3
Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol Menurut Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) (berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum jalan tol), Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol. Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas (kecepatan penanganan hambatan lalu lintas), keselamatan dan unit pertolongan atau penyelamat dan bantuan pelayanan (berdasarkan pasal 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum jalan tol). Besaran ukuran yang harus dicapai untuk masing-masing aspek dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. Keseluruh aspek-aspek Standar Pelayanan Minimum (SPM) harus terpenuhi. Karena aspek-aspek tersebut menjadi penunjang utama agar pengguna jalan tol dapat aman dan merasa nyaman.
Tabel 0.3 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol SUBSTANSI
STANDAR PELAYANAN MINIMUM
NO PELAYANAN
INDIKATOR
CAKUPAN / LINGKUP
TOLOK UKUR
- Kondisi Jalan Tol
- Kekesatan
- Seluruh Ruas Jalan Tol
- > 0,33 mm
- Ketidakrataan
- Seluruh Ruas Jalan Tol
- IRI < 4 m/km
- Tidak ada Lubang
- Seluruh Ruas Jalan Tol
-100%
- Kecepatan Tempuh Rata-rata
- Jalan Tol Dalam Kota
- >1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol
1
2
- Kecepatan Tempuh Rata- Rata
Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005
Tabel 0.4 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol (lanjutan)
- Jalan Tol Luar Kota
-
- Aksesibilitas
- Kecepatan Transaksi Rata rata
- >1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan Non Tol
Gerbang Tol sistem terbuka -
- < 8 detik setiap kendaraan
Gerbang Tol sistem tertutup :
• Gardu masuk
- < 7 detik setiap kendaraan
• Gardu Keluar
- < 11 detik setiap kendaraan
- Kapasitas Sistem Terbuka
- < 450 kendaraan per jam per Gardu
3
- Jumlah Gardu Tol
4
- Mobilitas
- Kecepatan Penanganan Hambatan Lalu Lintas
-
Kapasitas Sistem Tertutup
• Gardu Masuk
- < 500 kendaraan per jam
• Gardu Keluar
- < 300 kendaraan per jam
- Wilayah Pengamatan/ observasi Patroli
- 30 menit per siklus pengamatan
- Mulai Informasi diterima Sampai ke Tempat Kejadian :
-
Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005
< 30 menit
Tabel 0.5 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol (lanjutan)
- Sarana Pengaturan Lalu Lintas : 5
- Keselamatan • Perambuan
- Penanganan Akibat Kendaraan Mogok
- Melakukan penderekan ke Pintu Gerbang Tol terdekat/ Bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis)
- Patroli Kendaraan Derek
- 30 menit per siklus pengamatan
- Kelengkapan dan Kejelasan Perintah dan Larangan serta Petunjuk
-100%
• Marka Jalan
- Fungsi dan Manfaat
- Jumlah 100 % dan Reflektifitas > 80 %
• Guide Post / ReflektoR
- Fungsi dan Manfaat
- Jumlah 100 % dan Reflektifitas > 80 %
• Patok Kilometer Setiap 1 km
- Fungsi dan Manfaat
-100%
- Penerangan Jalan Umum (PJU) Wilayah Perkotaan
- Fungsi dan Manfaat
- Lampu Menyala 100%
Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005
Tabel 0.6 SPM (Standar Pelayanan Minimum) Jalan Tol (lanjutan)
- Pagar Rumija
- Fungsi dan Manfaat
- Keberadaan 100 %
- Korban Kecelakaan
- Dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan
- Kendaraan Kecelakaan
- Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan tol)
- Ruas Jalan Tol
- Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam
- Penanganan Kecelakaan
- Pengamanan dan Penegakan Hukum
Sumber : Peraturan Mentri Pekerjaan Umum nomor 392/PRT/M/2005
2.4
Kondisi Jalan Tol Dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) terdapat 3 indikator dan masing
masing indikator tersebut memiliki lingkup atau cakupan dan tolak ukur. Menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol ketiga indikator berikut lingkup atau cakupan dan tolak ukurnya adalah : a.
Kekesatan Menurut SNI 6748:2008, kekesatan adalah koefisien gesekan antara permukaan perkerasan yang basah dengan permukaan penguji yang sedang bergerak pada kecepatan dan sudut arah gerakan tertentu. Cakupan dari kekesatan adalah seluruh luas jalan tol yang memiliki besaran tolak ukur > (lebih besar) dari 0,33 µm. Untuk mengetahui kekesatan suatu jalan, dilakukan pengujian menggunakan alat uji pendulum British (British Pendulum Tester,BPT). Berikut adalah cara untuk melakukan pengujian kekesatan menurut SNI 4427:2008 :
1. Basahi permukaan uji dengan air yang cukup dan ratakan dengan kuas. Lakukan beberapa kali peluncuran bandul sampai mendapatkan hasil yang konsisten, tetapi tidak perlu dicatat. Catatan : Selama peluncuran batang pendulum, segera tangkap ketika batang pendulum berbalik arah. Pada saat memulai peluncuran, angkat alat uji untuk mencegah kontak antara karet peluncur dengan permukaan uji. Setiap peluncuran batang bandul, jarum penunjuk sebelumnya harus dikembalikan pada posisi sampai menyentuh sekrup pembatas batang pendulum; 2. Ukur temperatur pada permukaan yang berdekatan dengan benda uji, dengan cara memberi air atau membasahi permukaan agar kontak penuh dengan dasar termometer, kemudian catat temperaturnya. Bila sudah menunjukan angka tetap, lakukan pengujian; 3. Basahi kembali permukaan uji dan lakukan peluncuran batang pendulum sebanyak 4 kali. Basahi kembali setiap kali sebelum peluncuran dan catat hasilnya; Catatan : Lakukan 4 kali peluncuran untuk peluncur karet alam atau 5 kali peluncuran untuk karet sintetisyang ditentukan dalam AASHTO M 261. Selama peluncuran bandul harus dilakukan dengan hati-hati, sehingga peluncur sejajar dengan permukaan yang diuji dan tidak miring agar karet peluncur tidak hanya menyentuh salah satu sisi bidang kontak. Bila terpasang miring, maka data yang diperoleh memberikan indikasi bacaan BPN yang keliru. Untuk mengurangi masalah ini dapat dilakukan dengan cara menyelipkan per klip kecil pada slot sebagaimana diperlihatkan pada gambar. Per klip tersebut akan tetap diam pada pelat punggung peluncur. b. Kerataan jalan Menurut Sudarwo dan Sugiharto (2004), tingkat kerataan jalan merupakan salah satu faktor atau fungsi pelayanan dari suatu perkerasan jalan yang sangat berpengaruh pada kenyamanan pengemudi. Pada Standar Pelayanan Minimum (SPM), IRI (International Roughness Index) ≤ 4m/km merupakan tolak ukur kerataan jalan tol.
c. Tidak ada lubang Survei untuk aspek ini adalah dengan pemantauan langsung lokasi penelitian, dengan melihat apakah ada lubang, retakan, atau bekas tambalan yang sudah menurun. Karena lubang dapat menyebabkan kenyamanan pengguna tol berkurang seperti benturan yang dapat merusak kendaraan bahkan dapat menyebabkan kecelakaan. Maka dari itu tolak ukur mengenai tidak adanya lubang pada Standar pelayanan Mutu (SPM) di jalan tol adalah 100%.
Gambar 0.1 Kondisi Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) Menurut Yani, A et al. (2012), kerusakan jalan pada perkerasan lentur diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu : -. Retak kulit buaya (Alligator Cracking) Retak yang berbentuk sebuah jaringan dari sebidang persegi banyak, kecilkecil menyerupai kulit buaya dengan lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. -. Amblas (Depression) Bentuk kerusakan yang terjadi ini berbentuk berupa amblas atau penurunan permukaan perkerasan pada lokasi tertentu (setempat) dengan atau tanpa retak. Memiliki kedalaman lebih dari 2 cm dan dapat menampung air.
-. Tambalan dan tambalan galian utilitas (Patching and Utility Cut Patching) Tambalan dapat dikelompokan kedalam cacat permukaan, karena pada tingkat tertentu (jika jumlah atau luas tambalan banyak) akan menggangu kenyamanan. -. Lubang (Potholes) Kerusakan ini berbentuk seperti mangkok yang dapat menampung atau meresapkan air. -. Sungkur (Shoving) Kerusakan ini membentuk jembulan pada lapisan aspal. Kerusakan biasanya terjadi pada lokasi tertentu dimana kendaraan berhenti pada kelandaian yang curam atau tikungan tajam. -. Pelepasan butir (weathering/Raveling) Kerusakan ini berupa terlepasnya sebagian butir pada permukaan perkerasan yang umumnya terjadi secara meluas. Kerusakan ini biasanya dimulai dengan terlepasnya material halus dahulu yang kemudian berlanjut terlepasnya material yang lebih besar. -. Kemudian ada juga kerusakan yang berada pada pertemuan jalan dengan bahu jalan, dan sambungan pelat yang sifatnya menampung air atau meresapkan air. Oglesby (1996:275) mengelompokan kerusakan pada perkerasaan kaku menjadi beberapa tipe kerusakan. Yaitu : -. Distorsi Distorsi yang terutama terdiri dari faulting (pergeseran vertikal dari pelat beton pada sambungan atau retakan), sering kali dianggap sebagai kelemahan utama perkerasan beton dengan sambungan. Ada dua faktor yang menjadi penyebab faulting pertama adalah hilangnya dukungan pelat dan yang kedua adalah erosi pada tanah bawah (subbase). Pada tempat terjadinya faulting, pasti terdapat air bebas diatas pondasi atas dan lendutan perkerasan yang melintang pada sambungan akibat beban gandar yang berat. Hal ini menyebabkan menyambungnya material halus dari sambungan atau bergeraknya partikel halus ke bangian pelat sebelum sambungan. Hal ini bahkan dapat terjadi pada pondasi atas yang diperkuat dengan semen, sehingga memberikan gambaran betapa besar gaya yang timbul dibawah perkerasan tersebut.
-. Retak Retak pada perkerasan beton mempunyai beberapa bentuk dan dapat terjadi baik akibat pembebanan maupun akibat perubahan temperatur atau kelembaban. Jenis yang paling umum adalah retak pada bagian sudut. -. Disintegrasi Disintegrasi pada umumnya berbentuk “retak keawetan” (D-cracking = durability cracking) , retak sisik, atau retak rambut. Umumnya diakibatkan oleh masalah-masalah yang berkaitan dengan desain campuran atau konstruksi. -. Polished aggregate Agregat timbul keluar sehingga menyebabkan permukaan menjadi tidak mulus. 2.5
Kecepatan Tempuh Rata-Rata Kecepatan tempuh rata-rata memiliki cakupan jalan tol dalam dan luar kota dan memliki tolak ukur (menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum). sebagai berikut : a.
Kecepatan tempuh rata-rata jalan tol dalam kota harus ≥ (lebih besar atau sama dengan) 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol;
b.
Kecepatan tempuh rata-rata jalan tol luar kota harus ≥ (lebih besar atau sama dengan) 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non-tol
Menurut Roseily (2013), uji kecepatan tempuh rata-rata dilakukan pada saat hari biasa (jam sibuk pagi dan sore) dan pada saat hari libur dengan menggunakan metode Test-Car Runs/ Test Vehicle menggunakan average car. Kecepatan tempuh rata-rata yang baik juga menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih menggunakan jalan tol. 2.6
Aksesibilitas Aksesibilitas memiliki indikator kecepatan transaksi rata-rata dan jumlah gardu tol. Uraian cakupan dari aksesibilitas (menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 dan pasal 39 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol) dan tolak ukur ialah :
a.
Kecepatan transaksi rata-rata : 1. Gerbang tol sistem terbuka Sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan membayar tol pada saat melewati gerbang masuk atau gerbang keluar. Tolak ukur untuk gerbang tol sistem terbuka adalah ≤ 8 detik setiap kendaraan. 2. Gerbang tol sistem tertutup Sistem pengumpulan tol yang kepada penggunanya diwajibkan mengambil tanda masuk pada gerbang masuk dan membayar tol pada gerbang keluar. Tolak ukur untuk gerbang tol sistem tertutup adalah ≤ (lebih kecil atau sama dengan) 7 detik setiap kendaraan pada gardu masuk dan ≤ (lebih kecil atau sama dengan) 11 detik setiap kendaraan pada gardu keluar.
b.
Jumlah gardu tol : 1. Kapasitas sistem terbuka Menurut Standar Pelayanan Minimum (SPM), kapasitas gardu pada gerbang tol sistem terbuka haruslah ≤ (lebih kecil atau sama dengan) 450 kendaraan per gardu perjam. Hal ini di maksudkan agar tidak terjadi antrian panjang didepan gardu loket pembayaran, baik masuk maupun keluar. 2. Kapasitas sistem tertutup Menurut Standar Pelayanan Minimum (SPM), kapasitas gardu pada gerbang tol sistem tertutup haruslah ≤ (lebih kecil atau sama dengan) 500 kendaraan per gardu perjam pada gardu masuk dan haruslah ≤ (lebih kecil atau sama dengan) 300 kendaraan per gardu perjam pada gardu keluar. Hal ini di maksudkan agar tidak terjadi antrian panjang didepan gardu loket pembayaran, baik masuk maupun keluar.
Gambar 0.2 Gerbang Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)
2.7
Mobilitas Indikator mobilitas (menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol) adalah kecepatan penanganan hambatan lalu lintas yang memiliki beberapa cakupan, yaitu : a. Wilayah pengamatan / observasi patroli Wilayah pengamatan / observasi patroli dilakukan dengan waktu 30 menit per siklus pengamatan pengamatan di sepanjang jalan tol Jagorawi. b. Mulai informasi diterima sampai ketempat kejadian Waktu yang diperlukan mulai informasi diterima sampai tiba ditempat kejadian adalah ≤ (lebih kecil atau sama dengan) 30 menit. c. Penanganan akibat kendaraan mogok Penanganan akibat kendaraan mogok adalah dengan melakukan penderekan ke pintu gerbang tol terdekat / bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi secara gratis tanpa di pungut biaya selama masih didalam wilayah jalan tol Jagorawi. Pemungutan biaya akan dilakukan bila penderekan dilakukan hingga keluar dari area jalan tol Jagorawi. d. Patroli Kendaraan Derek Patroli dilakukan 30 menit per siklus pengamatan di sepanjang jalan tol Jagorawi.
2.8
Keselamatan Indikator keselamatan (menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol) adalah kecepatan penanganan hambatan lalu lintas yang memiliki beberapa cakupan, yaitu : a. Sarana pengaturan lalu lintas Sarana pengaturan memiliki fungsi untuk mengatur keselamatan pengguna jalan tol untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Menurut PP No.32 tahun 2011, keselamatan lalu lintas adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan dan / atau lingkungan. Sarana pengaturan memiliki beberapa indikator, seperti :
1. Perambuan Perambuan memiliki cakupan berupa kelengkapan dan kejelasan perintah dan larangan serta petunjuk dengan tolak ukur sebesar 100%. Menurut Tata Cara Pemasangan Rambu dan Marka Jalan Perkotaan No. 01/P/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga dengan ketentuan penempatan harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga mudah terlihat dengan jelas bagi pemakai jalan dan tidak merintangi lalu-lintas kendaraan atau pejalan kaki.
Gambar 0.3 Perambuan Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)
2. Marka jalan Marka jalan memiliki cakupan fungsi dan manfaat yang memiliki jumlah 100% dan memiliki refleksitas ≥ (lebih besar atau sama dengan) 80%. Menurut pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1965 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yang meliputi marka adalah tanda garis membujur, garis melintang, kerucut lalu-lintas (lane divider) serta lambang-lambang lainnya yang ditempatkan pada atau di atas permukaan jalan
Gambar 0.4 Garis Marka Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)
3. Guide post / reflektor Guide post / reflektor adalah tepian jalan yang berguna membantu pengendara untuk mengetahui jalur kendaraan, terutama pada saat malam hari di jalan yang kurang pencahayaan, dan pada saat turun kabut yang mengurangi jarak pandang. Guide post / reflektor memiliki cakupan fungsi dan manfaat dan memiliki jumlah 100% dan memiliki refleksitas ≥ (lebih besar atau sama dengan) 80%.
Gambar 0.5 Guide Post / Reflektor Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) 4. Patok kilometer setiap 1 kilometer Patok kilometer setiap 1 kilometer memiliki cakupan fungsi manfaat dan memiliki tolak ukur sebesar 100% yang dimana merupakan suatu keharusan keberadaannya. Patok kilometer umumnya berada diantara pembatas jalan.
Gambar 0.6 Patok Kilometer Setiap 1 Kilometer Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014)
b.
Penerangan jalan umum (PJU) Penerangan jalan umum (PJU) wilayah perkotaan memliki cakupan fungsi dan manfaat yang memiliki tolak ukur lampu menyala 100% yang dimana merupakan keharusan. Menurut Spesifikasi Lampu Penerangan Jalan Perkotaan No. 12/S/BNKT/1991 yang dikeluarkan oleh Bina Marga, lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian median jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan di sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan (intersection), jalan layang (interchange, overpass, fly over), jembatan dan jalan di bawah tanah (underpass, terowongan). Untuk mengurangi penggunaan energi listrik, sekarang sudah banyak jalan tol yang menggunakan panel surya sebagai sumber energi untuk lampu penerangan.
Gambar 0.7 Lampu Penerangan Jalan Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) c.
Pagar rumija Pagar rumija memliki cakupan fungsi dan manfaat yang memiliki tolak ukur keberadaan 100%. Pagar rumija harus memiliki kekuatan yg dapat meredam
benturan
akibat
tabrakan
kendaraan,
hal
ini
agar
meminimumisir tingkat kematian akibat kecelakaan. d.
Penanganan kecelakaan Penanganan kecelakaan memiliki cakupan sebagai berikut : 1. Korban kecelakaan dengan tolak ukur dievakuasi secara gratis ke rumah sakit rujukan.
2. Kendaraan kecelakaan di derek gratis sampai ke pool derek yang masih dalam wilayah jalan tol. Menyikapi maraknya derek liar yang justru merugikan pengguna jalan tol, maka mobil patroli di siapkan dan melakukan patroli setiap 30 menit per siklus jalan.
Gambar 0.8 Alat Berat Untuk Mengevakuasi Kecelakaan Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) e.
Pengamanan dan penegak hukum Pengamanan dan penegak hukum memiliki cakupan ruas jalan tol dan memiliki tolakr ukur keberadaan Polisi Jalan Raya (PJR yang siap di panggil 24 jam. Polisi yang berpatroli bertugas mengamankan dan membantu pengguna jalan tol yang suatu saat membutuhkan bantuan secara tiba-tiba dalam berbagai hal.
2.9
Unit Pertolongan atau Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan Menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol memiliki indikator dan tolak ukur sebagai berikut : a.
Ambulans Ambulans memliki cakupan seluruh luas jalan tol dan memiliki tolak ukur berupa 1 unit ambulans per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan paramedis). Ambulans disediakan untuk membawa
korban kecelakaan ke rumah sakit terdekat. Disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan dapat dengan cepat melakukan pertolongan.
Gambar 0.9 Ambulans Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) b.
Kendaraan derek Kendaraan derek memiliki cakupan seluruh ruas jalan tol dan memiliki tolak ukur untuk LHR > (lebih besar dari) 100.000 kendaraan / hari disediakan 1 unit per jarak 5 kilometer atau minimum 1 unit kendaraan derek, dan untuk LHR ≤ (lebih kecil atau sama dengan dari) 100.000 kendaraan / hari disediakan 1 unit perjarak 10 kilometer atau minimum 1 unit kendaraan derek.
c. Polisi patroli jalan raya (PJR) Polisi patroli jalan raya (PJR) memiliki cakupan seluruh ruas jalan tol dan memiliki tolak ukur untuk LHR > (lebih besar dari) 100.000 kendaraan / hari disediakan 1 unit per jarak 15 kilometer atau minimum 1 unit dan untuk LHR ≤ (lebih kecil atau sama dengan dari) 100.000 kendaraan / hari disediakan 1 unit perjarak 20 kilometer atau minimum 1 unit kendaraan derek. d.
Patroli jalan tol Patroli jalan tol memiliki cakupan seluruh jalan tol dengan tolak ukur untuk 1 unit per jarak 15 km atau minimum 2 unit.
e.
Kendaraan rescue Kendaraan rescue memiliki cakupan seluruh ruas jalan tol dengan tolak ukur memiliki 1 unit per ruas jalan tol (dilengkapi dengan peralatan penyelamatan)
Gambar 0.10 Truk dan Mobil Rescue Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) f.
Sistem informasi Sistem informasi memiliki cakupan informasi dan komunikasi kondisi lalu lintas dengan tolak ukur memilikinya disetiap gerbang masuk. Berfungsi untuk memantau setiap kondisi di jalan tol dan memberikan informasi tersebut kepada pengguna jalan tol.
Gambar 0.11 Papan Sistem Informasi Jalan Tol Jagorawi (Dokumentasi, 2014) 2.10
Transaksi Gerbang Tol Jalan tol Jagorawi memberlakukan transaksi tebuka dan transaksi tertutup. Transaksi terbuka ialah pengguna langsung membayar pada gerbang masuk tol, sedangkan transaksi tertutup ialah pengguna mengambil KTM (Kartu
Tanda Masuk), kemudian membayar pada gerbang tol tujuan. Pembayaran dapat menggunakan pembayaran tunai maupun dengan menggunakan kartu berlangganan. Opsi penggunaan kartu berlangganan dimaksudkan agar kecepatan transaksi di loket pembayaran menjadi lebih cepat. Berikut adalah ringkasan jenis transaksi di jalan tol Jagorawi. Tabel 0.7 Jenis Transaksi Gerbang Tol Gerbang Tol
Tujuan Wilayah dan Asal
Ciawi
Ciawi, Gadog, Puncak, Sukabumi Kota Bogor Bagian Barat (Istana Bogor, Bogor Kebun Raya) Sentul Perumahan Sentul City dan Jalan Tol Selatan Bogor Ring Road Sirkuit Sentul, Babakan Madang, Sentul Kandang Kuda, Ciluer Citeureup Citeurup, Cibinong Wilayah Kranggan Khusus Lalu Lintas Kranggan dari Jakarta Gunung Putri Gunung Putri ke arah Jonggol Kawasan Golf Cimanggis (khusus dari Cimanggis arah Jakarta) menuju arah Jakarta Cimanggis Barrier Gate seluruh transaksi dari arah Utama Bogor/Ciawi Cibubur Barrier Gate transaksi untuk menuju Utama Bogor Cibubur Wilayah Cibubur dan sekitarnya Satelit Pasar Rebo Ke arah Kampung Rambutan dan JORR Akses dari Kampung Rambutan dan Dukuh JORR menuju Jakarta (dan sebaliknya) Ramp Taman Akses dari wilayah Taman Mini, Kramat Mini Jati menuju Jakarta dan sebaliknya
Transaksi
Tertutup Tertutup Tertutup Tertutup Tertutup Tertutup Tertutup Tertutup, Terbuka Tertutup Tertutup Tebuka Tebuka Tebuka Tebuka
(Sumber : http://www.jasamarga.com/id/layanan-jalan-tol/jagorawi.html diakses pada 02 Maret 2014 ) 2.11
Analytical Hierarchy Process (AHP) Menurut Roseily (2013), Dalam setiap aspek kehidupan, kita seringkali dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang krusial dan menentukan. Pilihan-pilihan tersebut harus diputuskan sebijak mungkin dengan alasan yang ilmiah, logis dan terstruktur. Hal ini juga sering terjadi dalam dunia teknik sipil, contohnya ketika
pemerintah sebuah daerah ingin memutuskan untuk menggunakan jasa kontraktor untuk mengerjakan proyek pembangunan jalan, tentunya pihak pemerintah harus menyeleksi kontraktor-kontraktor yang ada berdasarkan kriteria-kriteria yang objektif dan relevan dengan proyek yang bersangkutan. Permasalahan seperti ini dapat diselesaikan dengan suatu metode matematika yaitu metode analytical hierarchy process (AHP). Metode AHP ini dikembangkan oleh seorang ahli matematika, Thomas L. Saaty sejak tahun 1970. Dengan metode ini, pengambilan keputusan atas permasalahan yang kompleks akan disederhanakan dengan memecah-mecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya, lalu disusun menurut tingkatannya (hierarki), kemudian dinilai atau diberi bobot secara numerik (berskala) mengenai tingkat kepentingan (importance) dari setiap kriteria, sehingga diperoleh hasil berupa kriteria yang menjadi prioritas tertinggi dan memiliki pengaruh lebih besar pada kondisi tersebut. Dengan demikian, suatu keputusan (khususnya yang bersifat multikriteria dan perlu dinilai oleh banyak pihak) akan menjadi lebih efektif dengan didasari metode ini. Menurut Saaty (1990), dalam menentukan kriteria dari setiap permasalahan yang akan dinilai perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut : a.
Lengkap, artinya setiap kriteria harus mencakup semua bagian yang penting, yang tentunya relevan dan dapat digunakan untuk mengambil keputusan.
b. Operasional, artinya setiap kriteria tersebut harus bermakna atau berdampak bagi pengambil keputusan sehingga dapat benar-benar dipahami. c.
Tidak berlebihan, artinya setiap kriteria disusun sewajarnya dan tidak memiliki arti atau pengertian ganda.
d. Minimum, artinya dalam pemilihan jumlah kriteria harus seminimum mungkin agar permasalahan dapat menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Saaty dalam teorinya juga mendeskripsikan bahwa ada 4 prinsip dalam mengambil keputusan secara AHP (Analytic Hierarchy Process), yaitu : a.
Decomposition, yaitu mengurai suatu permasalahan yang kompleks ke dalam bagian-bagiannya secara hierarki.
b.
Comparative judgments, yaitu membandingkan setiap pasangan elemen atau kriteria di dalamnya dengan skala numerik (angka) untuk menghasilkan tingkat kepentingan atau prioritas dari masing-masing elemen. Skala yang digunakan adalah angka 1-9 dengan penjelasan seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 0.8 Nilai Skala AHP dalam Kuisioner Intensitas Kepentingan 1
3
5
Definisi Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lainnya Elemen yang satu esensial atau sangat penting dibanding elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain
Penjelasan Kedua elemen memberikan kontribusi yang sama terhadap tujuan Pengalaman dan pertimbangan sedikit memihak pada sebuah elemen dibanding elemen lainnya Pengalaman pertimbangan secara kuat mendukung satu elemen atas elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominasinya telah terlihat dalam praktek Bukti yang mendukung bahwa Satu elemen mutlak lebih suatu elemen memiliki tingkat 9 penting dari yang lainnya penegasan tertinggi atas elemen lainnya sangat jelas dan dominan Nilai-nilai antara diantara Nilai ini diberikan jika diperlukan 2, 4, 6, 8 dua pertimbangan yang adanya kompromi antara nilaiberdekatan nilai diatas. Kebalikan dari nilai diatas, jika aktivitas a mendapat satu angka tertentu (1-9), bila dibandingkan dengan aktivitas b maka b mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan a. 7
c.
Synthesis of Priority, yaitu penentuan prioritas di setiap tingkatan elemen mulai dari kriteria yang paling kecil yang disebut prioritas lokal. Untuk mendapatkan prioritas global, maka perlu dilakukan sintesis antara prioritas lokal.
d.
Logical Consistency, yaitu pengujian tingkat konsistensi pada input untuk setiap kriteria agar menjadi relevan dengan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini dilakukan untuk menghindari data masukan yang tidak konsisten sehingga dapat menyebabkan analisis menjadi kurang valid.
Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, metode AHP ini memiliki landasan aksiomatik berikut :
a.
Resiprocal
Comparison,
artinya
bahwa
matriks
perbandingan
berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A adalah n kali lebih penting daripada B, maka B adalah 1/n kali lebih penting dari A. b.
Homogenity,
artinya
membandingkan
sesuatu
dalam yang
melakukan sejenis
atau
perbandingan se-level.
harus
Misalnya,
membandingkan apel dengan bola tenis tidak mungkin dalam hal rasa, namun akan lebih relevan jika membandingkannya dalam hal berat atau ukuran. c.
Dependence, artinya setiap tingkatan (level) mempunyai kaitan (complete hierarchy) satu sama lain walaupun mungkin ada hubungan yang tidak sempurna (incomplete hierarchy).
d.
Expectation, artinya menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan preferensi dari pengambilan keputusan. Penilaian dapat merupakan data kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif.
Langkah kerja proses pengambilan keputusan berdasarkan metode AHP adalah sebagai berikut : a.
Menentukan tujuan atau menetapkan alternatif yang akan dipilih maupun disusun prioritasnya.
b.
Menguraikan setiap kriteria penilaian ke dalam struktur hierarki.
Gambar 0.12 Struktur Hierarki (Sumber:http://fikryekaurplanits.blogspot.com/2013/01/analisis-ahp-analitycalhierarcy-process.html diakses pada 2 maret 2014)
c.
Memberikan penilaian dari setiap perbandingan berpasangan antar kriteria.
d.
Menghitung bobot dari setiap kriteria dengan matriks perbandingan berpasangan dengan susunan seperti pada Tabel 2.7 :
Tabel 0.9 Matriks Perbandingan Berpasangan C1
C2
...
Cn
C1
P11
P12
...
P1n
C2
P21
P22
...
P2n
...
...
...
...
...
Cn
Pn1
Pn2
...
Pnn
C adalah kriteria, P adalah nilai perbandingan antar kriteria berpasangan, dan n adalah banyaknya kriteria yang dibandingkan. Untuk mendapatkan matriks normalisasi, kuadratkan matriks tersebut, jumlahkan nilai di setiap baris, kemudian hitung totalnya. Bobot (eigenvector) dari setiap kriteria adalah persentase di masing-masing baris. Susunannya seperti pada Tabel 2.6. Tabel 0.10 Menghitung Bobot Setiap Kriteria C1
C2
...
Cn
C1
P11
P12
...
P1n
C2
P21
P22
...
P2n
...
...
...
...
...
Cn
Pn1
Pn2
...
Pnn
Jumlah Baris T1 = P11+P12+...+P1n T2 = P21+P22+...+P2n ... Tn = Pn1+Pn2+...+Pnn
ܣൌ ܶ ୀଵ
Bobot T1/A
T2/A ... Tn/A
T adalah hasil penjumlahan nilai kriteria di setiap baris dan A adalah hasil penjumlahan dari semua nilai T. e.
Menentukan CI (Consistency Index) dengan persamaan berikut : CI =
f.
λma x -n n-1
....................................... 2.1
Menentukan rasio konsistensi (CR) dengan cara membagi indeks konsistensi (CI) dengan indeks random (RI). CR =
ூ RI
........................................... 2.2
Tabel 2.7 berikut adalah nilai rata-rata indeks random (RI) untuk setiap ordo
matriks
tertentu
berdasarkan
perhitungan
Saaty
dengan
menggunakan 500 sampel.
Tabel 0.11 Indeks Random (RI) Ordo 1 RI
g.
0
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Matriks perbandingan dikatakan konsisten jika nilai rasio konsistensi lebih kecil atau sama dengan 0,10 atau 10%.
Dalam artikel mengenai Analytical Hierarchy Process, Nadja Kasperczyk dan Karlheinz Knickel (2010) merangkum beberapa kelebihan metode AHP menurut para peneliti lainnya, di antaranya sebagai berikut : a.
Keuntungan dari AHP dibanding metode multi-kriteria lain adalah fleksibilitas dan daya tarik intuitif bagi para pengambil keputusan dan kemampuannya untuk memeriksa inkonsistensi (Ramanathan, 2001). Umumnya, pengguna metode ini berpendapat bahwa input data dalam bentuk perbandingan berpasangan lebih mudah dan nyaman.
b.
Selain itu, metode AHP memiliki keuntungan yang berbeda yang mengurai suatu pemecahan masalah menjadi bagian-bagian penyusunnya dan membangun sebuah hierarki dari kriteria. Di sini, kepentingan setiap elemen (kriteria) menjadi jelas (Macharis et al., 2004).
c.
AHP membantu menangkap penilaian evaluasi baik secara subyektif maupun obyektif. Selain itu, AHP juga menyediakan mekanisme yang berguna untuk memeriksa konsistensi dari penilaian evaluasi dan
alternatif, sehingga AHP dapat mengurangi keragu-raguan dalam pengambilan keputusan. d.
Metode AHP mendukung pengambilan keputusan berkelompok melalui konsensus dengan menghitung rata-rata geometris dari perbandingan berpasangan individu (Zahir, 1999).
e.
AHP diposisikan secara unik untuk membantu pada situasi model ketidakpastian dan berisiko karena mampu menurunkan skala penilaianpenilaian yang biasanya tidak ada (Millet & Wedley, 2002).
Dalam bukunya yang berjudul “Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk”, Marimin. (2009) juga menguraikan beberapa keuntungan yang diperoleh bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP, yaitu : a.
Kesatuan, artinya AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.
b.
Kompleksitas, artinya AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
c.
Saling
ketergantungan,
ketergantungan
artinya
elemen-elemen
AHP
dapat
dalam
suatu
menangani sistem
saling
dan
tidak
memaksakan pemikiran linier. d.
Penyusunan hierarki, artinya AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
e.
Pengukuran, artinya AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.
f.
Konsistensi, artinya AHP melacak konsistensi logis dari pertimbanganpertimbangan yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas.
g.
Sintesis, artinya AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
h.
Tawar-menawar, artinya AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
i.
Penilaian dan konsesus, artinya AHP tidak memaksakan konsesus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.
j.
Pengulangan
proses,
artinya
AHP
memungkinkan
organisasi
memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan. Di samping kelebihan-kelebihan tersebut, beberapa pengamat menyatakan ada beberapa kelemahan dari metode AHP ini, di antaranya sebagai berikut : a.
Banyak peneliti telah lama mengamati beberapa kasus di mana penyimpangan peringkat dapat terjadi ketika AHP atau beberapa variannya digunakan. Triantaphyllou (2001) membuktikan bahwa pembalikan peringkat tidak mungkin terjadi apabila menggunakan varian perkalian AHP.
b.
Menurut Belton (1986) dan Gear (1997), masalah utama dari kebalikan peringkat AHP adalah interpretasi terhadap bobot kriteria. Namun, AHP dan beberapa variannya dianggap oleh banyak orang sebagai metode MCDM (Multi Criteria Decision Making) yang paling dapat diandalkan.
c.
Metode AHP dapat dianggap sebagai metode agregasi lengkap dari jenis aditif. Masalah dari agregasi tersebut adalah bahwa dapat terjadi kompensasi antara skor yang baik pada beberapa kriteria dan skor buruk pada kriteria lain. Informasi yang rinci dan seringkali penting dapat hilang oleh agregasi tersebut.
d.
Dengan AHP masalah keputusan didekomposisi menjadi beberapa subsistem, sehingga ada sejumlah besar perbandingan berpasangan harus diselesaikan. Pendekatan ini memiliki kelemahan bahwa jumlah perbandingan berpasangan yang akan dibuat, dapat menjadi sangat besar (n (n-1) / 2), dan dengan demikian akan menjadi pekerjaan yang memakan waktu (Macharis et al., 2004).
e.
Kelemahan lain yang penting dari metode AHP adalah keterbatasan penggunaan skala 9 angka. Kadang-kadang, pembuat keputusan mungkin kesulitan untuk membedakan di antara skala. Juga, metode AHP tidak dapat mencakup fakta apabila alternatif A ternyata 25 kali lebih penting daripada alternatif C (Murphy, 1993; Belton dan Gear, 1983; Belton, 1986). Dari diskusi tentang pembatasan skala ini, Hajkowicz et al. (2000)
memodifikasi prosedur dalam studi mereka dengan menggunakan skala 2 angka, karena kendala waktu dari pengambil keputusan. Jadi para pengambil keputusan hanya menunjukkan apakah kriteria yang satu lebih atau kurang penting atau sama pentingnya daripada kriteria yang lainnya. Dalam penelitian ini, AHP menjadi metode yang sangat efektif dalam mengolah data penilaian di dalam penentuan prioritas dari setiap substansi pelayanan yang ada di dalam SPM (standar pelayanan minimum) jalan tol berdasarkan hasil pengumpulan data kuesioner. Analisis data tersebut akan menghasilkan susunan prioritas (peringkat) untuk menentukan tindak lanjut pengambil keputusan dalam pemenuhannya, sehingga setiap keputusan yang diambil bersifat kalkulatif dan diharapkan dapat sesuai dengan penilaian responden.