6
BAB 2 LANDASAN TEORI
Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penerapan metode Modified k-Nearest Neighbor untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy.
2.1. Diabetic Retinopathy
Diabetic retinopathy merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler dari penyakit diabetes melitus. Penyakit ini menyerang pembuluh darah di retina yang dapat menyebabkan penurunan fungsi penglihatan hingga kebutaan pada penderita (Khan et al., 2011).
2.1.1. Karakteristik diabetic retinopathy
Karakteristik
awal
yang
menandakan
diabetic
retinopathy
adalah
ditemukannya mikroaneurisma pada retina (Singh, 2008). Mikroaneurisma merupakan area berbentuk kantung-kantung kecil menonjol pada pembuluh darah di retina. Karena berukuran kecil, mikroaneurisma sulit untuk dilihat secara langsung. Karakteristik lain yang muncul adalah vena pada retina mulai mengalami dilatasi berkelok-kelok dan adanya infiltrasi lipid ke dalam retina yang terlihat seperti bercak kekuningan yang disebut dengan eksudat. Pertumbuhan
mikroaneurisma
yang
terjadi
secara
terus
menerus
menyebabkan pembuluh darah yang memberi nutrisi ke retina tersumbat. Sebagian pembuluh darah yang tersumbat pecah sehingga mengakibatkan munculnya titik atau bercak pendarahan pada retina (haemorhages). Penyumbatan dan pecahnya pembuluh darah membuat sebagian area retina kekurangan nutrisi. Area yang kekurangan nutrisi
Universitas Sumatera Utara
7
kemudian memberikan sinyal pada tubuh untuk membuat pembuluh darah baru agar nutrisi dapat didistribusikan kembali. Pembentukan pembuluh darah baru disebut dengan neovaskularisasi. Adapun pembuluh darah baru yang terbentuk bersifat abnormal, berukukan kecil dan tipis (NEI, 2012). Diabetic retinopathy mempengaruhi fungsi penglihatan karena pembuluh darah abnormal yang baru terbentuk rentan pecah dan dapat mengakibatkan pendarahan. Jika pendarahan terjadi pada makula, yaitu bagian mata yang mengatur ketajaman penglihatan, maka makula akan mengalami pembengkakan dan ketajaman penglihatan akan terganggu. Kondisi ini dikenal dengan istilah macular edema. Tetapi jika pendarahan terjadi pada permukaan retina, maka akan muncul bintik atau area hitam yang menghalangi penglihatan. Pendarahan pada permukaan retina yang semakin meluas menyebabkan area yang menghalangi penglihatan juga akan semakin meluas, yang lama kelamaan akan menyebabkan kebutaan. Perbedaan penglihatan orang normal dan penderita diabetic retinopathy ditunjukkan pada Gambar 2.1.
(a)
(b)
Gambar 2.1. (a) penglihatan orang normal; (b) penglihatan penderita diabetic retinopathy (NEI, 2012)
2.1.2. Faktor resiko diabetic retinopathy
Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terkena diabetic retinopathy adalah sebagai berikut. 1. Lamanya seseorang menderita diabetes melitus Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus maka semakin besar resiko terkena diabetic retinopathy.
Universitas Sumatera Utara
8
2. Tipe diabetes melitus Penderita diabetes melitus tipe 2 lebih beresiko terkena diabetic retinopathy jika dibandingkan dengan penderita diabetes melitus tipe 1. 3. Hipertensi Penderita diabetes melitus yang memiliki tekanan darah yang tinggi lebih beresiko terkena diabetic retinopathy. 4. Kehamilan Wanita hamil yang menderita diabetes melitus memiliki resiko yang lebih besar terkena diabetic retinopathy dibandingkan wanita yang tidak hamil. 5. Usia Penderita diabetes melitus yang berusia 13 hingga 50 tahun lebih beresiko terkena diabetic retinopathy. 6. Kolesterol Penderita diabetes melitus yang memiliki kolesterol tinggi lebih beresiko terkena diabetic retinopathy.
2.1.3. Gejala diabetic retinopathy
Diabetic retinopathy tidak memiliki gejala yang signifikan hingga kerusakan terjadi pada retina. Adapun beberapa gejala yang muncul adalah sebagai berikut. 1. Penglihatan menjadi kabur. 2. Muncul objek-objek hitam yang menghalangi penglihatan. 3. Kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan. 4. Sakit pada area mata.
2.1.4. Pemeriksaan diabetic retinopathy
Pemeriksaan diabetic retinopathy dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu visual acuity test, tonometry, dan dilated eye exam (NEI, 2006). Visual acuity test merupakan pengukuran kemampuan penglihatan standar menggunakan eye chart sedangkan tonometry merupakan pengukuran tekanan pada bagian dalam mata. Dilated eye exam merupakan pemeriksaan yang memberikan cairan ke mata untuk memperbesar pupil
Universitas Sumatera Utara
9
sehingga memungkinkan dokter mata untuk melihat keadaan bagian dalam mata, termasuk retina. Pemeriksaan lain yang dilakukan untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy adalah menggunakan fundus photography, fluorescein angiography, dan optical coherence tomography (OCT) (Mahesh, 2013). Fundus photography memanfaatkan pantulan sinar cahaya pada gelombang tertentu yang dipancarkan ke pupil mata. Citra yang didapat dari fundus photography memberikan informasi tentang keadaan retina seperti mikroaneurisma, eksudat, pendarahan, dan pembuluh darah. Citra hasil fundus photography ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Fundus photography
Citra fluorescein angiography terbentuk dari sejumlah foton yang dipancarkan dari zat pewarna fluorescein. Sebelum angiography dilakukan, zat pewarna fluorescein disuntikkan kepada penderita terlebih dahulu. Zat pewarna fluorescein akan beredar ke seluruh tubuh, termasuk retina. Ketika zat pewarna fluorescein berada di retina, maka proses angiography dilakukan. Citra fluorescein angiography dapat memberikan informasi tentang pembuluh darah, mikroaneurisma, makula, dan pendarahan pada retina secara lebih jelas jika dibandingkan dengan citra hasil fundus photography. Citra fluorescein angiography ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Universitas Sumatera Utara
10
Gambar 2.3. Citra fluorescein angiography
Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan metode yang digunakan untuk menghitung ketebalan jaringan dengan cara mengukur waktu pembiasan dari satu lapisan jaringan ke lapisan jaringan berikutnya. OCT dapat dianalogikan sebagai ultrasonography yang menggunakan sinar cahaya, bukannya gelombang suara. Citra yang didapat dari OCT memberikan informasi mengenai saraf optik dan struktur retina. Citra OCT dapat digunakan untuk melihat lapisan retina, pembengkakan makula, kerusakan saraf optik, dan pembengkakan saraf optik. Citra OCT ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Citra Optical Coherence Tomography (OCT)
2.1.5. Pencegahan diabetic retinopathy
Semua penderita diabetes melitus, baik tipe 1 atau tipe 2, beresiko menderita diabetic retinopathy. Semakin lama seseorang menderita diabetes melitus, maka akan semakin besar pula resiko terkena diabetic retinopathy. Diabetic retinopathy biasanya ditemui
Universitas Sumatera Utara
11
pada seseorang yang telah menderita penyakit diabetes melitus selama lebih dari 15 tahun (Klein et al., 1984). Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena diabetic retinopathy bagi penderita diabetes melitus adalah dengan cara mengontrol kadar gula dalam darah, tekanan darah, dan kolesterol darah. Deteksi dini diabetic retinopathy juga dapat dilakukan guna mencegah diabetic retinopathy. Deteksi dini yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes melitus adalah sebagai berikut. 1. Orang dewasa dan anak-anak berumur lebih dari 10 tahun yang menderita diabetes melitus tipe 1 harus menjalani pemeriksaan mata lengkap dalam waktu lima tahun setelah didiagnosis menderita diabetes melitus. 2. Penderita diabetes melitus tipe 2 harus segera menjalani pemeriksaan mata lengkap segera setelah didiagnosis menderita diabetes melitus. 3. Pemeriksaan mata bagi penderita diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 harus dilakukan secara rutin setiap tahun. 4. Frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi bila satu atau beberapa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan frekuensi pemeriksaan dapat ditingkatkan bila pada hasil pemeriksaan ditemukan tanda-tanda diabetic retinopathy. 5. Perempuan hamil yang menderita diabetes melitus harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trisemester pertama hingga satu tahun setelah persalinan (Fong, 2003).
2.1.6. Pengobatan diabetic retinopathy
Terdapat beberapa pengobatan yang bisa dilakukan oleh penderita diabetic retinopathy.
Bagi
penderita
dibetic
retinopathy
yang
belum
mengalami
neovaskularisasi, pengobatan yang paling tepat adalah dengan mengontrol kadar gula dalam darah, tekanan darah, dan kolesterol. Sedangkan bagi penderita diabetic retinopathy yang sudah mengalami neovaskularisasi, pengobatan yang bisa dilakukan adalah menjalani bedah laser yang disebut dengan scatter laser treatment. Scatter laser treatment mampu mengurangi pembuluh darah abnormal pada permukaan retina sehingga dapat meningkatkan dan memperbaiki fungsi penglihatan. Akan tetapi scatter laser treatment memiliki efek samping, yaitu menurunnya kemampuan melihat
Universitas Sumatera Utara
12
warna dan kemampuan melihat di malam hari. Scatter laser treatment sebaiknya dilakukan saat pembuluh darah abnormal belum pecah. Jika pembuluh darah abnormal sudah pecah, maka dibutuhkan prosedur pembedahan yang disebut dengan vitrectomy. Vitrectomy berkerja dengan cara mengganti cairan vitreous mata dengan cairan yang disebut dengan salt solution (NEI, 2012).
2.2. Citra
Citra didefenisikan sebagai fungsi dua dimensi f(x,y), dimana x dan y merupakan koordinat spasial dan luasan dari f untuk tiap pasang koordinat (x, y) disebut intensitas atau level keabuan citra pada titik tertentu. Jika x, y, dan nilai intensitas f bersifat terbatas (finite), maka citra disebut dengan citra digital (Gonzales et al., 2002). Citra digital dapat juga dikatakan sebagai sebuah matriks dimana indeks baris dan kolomnya menyatakan suatu titik pada citra dan elemen matriksnya yang disebut sebagai elemen gambar atau piksel menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut. Citra digital dapat diklasifikasi menjadi citra biner, citra keabuan, dan citra warna.
2.2.1. Citra biner (binary image)
Citra biner merupakan jenis citra yang paling sederhana karena hanya memiliki dua nilai, yaitu hitam atau putih. Citra biner merupakan citra 1 bit karena hanya memerlukan 1 bit untuk merepresentasikan tiap piksel. Jenis citra ini banyak ditemukan pada citra dimana informasi yang diperlukan hanya bentuk secara umum atau outline, misalnya pada Optical Character Recognition (OCR). Citra biner dibentuk dari citra keabuan melalui operasi thresholding, dimana tiap piksel yang nilainya lebih besar dari threshold akan diubah menjadi putih (1) dan piksel yang nilainya lebih kecil dari threshold akan diubah menjadi hitam (0). Contoh citra biner ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 2.5. Citra biner
2.2.2. Citra keabuan (grayscale image)
Citra keabuan menggunakan warna hitam sebagai warna minimum, warna putih sebagai warna maksimum dan warna diantara hitam dan putih, yaitu abu-abu. Abuabu merupakan warna dimana komponen merah, hijau, dan biru mempunyai intensitas yang sama. Contoh citra keabuan ditunjukkan pada Gambar 2.6. Jumlah bit yang diperlukan untuk tiap piksel menentukan jumlah tingkat keabuan yang tersedia. Misalnya untuk citra keabuan 8 bit, tingkat keabuan yang tersedia adalah 28 atau 256.
Gambar 2.6. Citra keabuan
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.3. Citra warna (color image)
Citra warna memiliki piksel dimana warna yang dimiliki oleh tiap piksel tersebut merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru. Tiap warna dasar menggunakan 8 bit penyimpanan, sehingga tingkatan warna yang tersedia adalah 256. Jadi untuk tiga warna dasar pada setiap piksel memiliki kombinasi warna sebanyak 224 atau sekitar 16777216 warna. Contoh citra warna ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Citra warna
2.3. Pengolahan Citra
Pengolahan citra adalah metode yang digunakan untuk memproses atau memanipulasi citra digital sehingga menghasil citra baru (Gonzales at al., 2002). Tujuan utama dari pengolahan citra adalah bagaimana mengolah dan menganalisis citra sebaik mungkin sehingga dapat memberikan informasi baru yang lebih bermanfaat. Beberapa teknik pengolahan citra yang digunakan adalah sebagai berikut.
2.3.1. Cropping
Cropping berfungsi untuk menghasil bagian spesifik dari sebuah citra dengan cara memotong area yang tidak diinginkan atau area berisi informasi yang tidak diperlukan. Cropping dapat digunakan untuk menambah fokus pada objek, membuang bagian citra yang tidak diperlukan, memperbesar area tertentu pada citra, mengubah
Universitas Sumatera Utara
15
orientasi citra, dan mengubah aspect ratio dari sebuah citra. Cropping menghasilkan citra baru yang merupakan bagian dari citra asli dengan ukuran yang lebih kecil. Jika citra cropping digunakan untuk proses lain, waktu pemrosesan akan lebih cepat karena bagian yang diproses hanya bagian yang diperlukan saja.
2.3.2. Scaling
Scaling merupakan salah satu operasi yang paling banyak digunakan dalam pengolahan citra. Scaling digunakan untuk mengubah resolusi dari sebuah citra, baik itu memperkecil atau memperbesar resolusi citra (Pratt, 2007). Scaling juga dapat digunakan untuk menormalisasi ukuran semua citra sehingga memiliki ukuran yang sama.
2.3.3. Grayscaling
Grayscaling merupakan proses mengubah citra warna (RGB) menjadi citra keabuan. Grayscaling digunakan untuk menyederhanakan model citra RGB yang memiliki 3 layer matriks, yaitu layer matriks red, green, dan blue menjadi 1 layer matriks keabuan. Grayscaling dilakukan dengan cara mengalikan masing-masing nilai red, green, dan blue dengan konstanta yang jumlahnya 1, seperti ditunjukkan pada persamaan 2.1.
(2.1) Dimana :
= piksel citra hasil grayscaling = konstanta yang hasil penjumlahannya 1 = nilai red dari sebuah piksel = nilai green dari sebuah piksel = nilai blue dari sebuah piksel
Green channel merupakan salah satu jenis grayscaling yang mengganti nilai setiap piksel pada citra hanya dengan nilai green dari piksel citra tersebut, seperti ditunjukkan pada persamaan 2.2.
Universitas Sumatera Utara
16
(2.2)
Grayscaling pada citra retina menggunakan green channel dikarenakan citra green channel memiliki contrast yang lebih baik sehingga mampu membedakan antara fitur (pembuluh darah, eksudat, mikroneurisma) dengan permukaan retina secara lebih jelas (Putra, 2010).
2.3.4. Perbaikan citra (Image enhancement)
Perbaikan citra merupakan proses yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter pada citra sehingga ciri pada citra dapat lebih ditonjolkan. Perbaikan citra memungkinkan informasi yang ingin ditampilkan atau diambil dari sebuah citra menjadi lebih baik dan jelas. Perbaikan citra yang dilakukan adalah perbaikan kontras dengan menggunakan metode contrast stretching. Contrast Stretching mampu mengatasi kekurangan cahaya atau kelebihan cahaya pada citra dengan memperluas sebaran nilai keabuan piksel (Gonzales at al., 2002). Contrast stretching merupakan metode perbaikan citra yang bersifat point processing, yaitu pemrosesan hanya bergantung pada nilai intensitas keabuan masing-masing piksel, tidak tergantung dari piksel lain yang ada disekitarnya. Contrast stretching dilakukan dengan persamaan 2.3.
(2.3)
Dimana :
= piksel citra hasil perbaikan = piksel citra asal = nilai minimum dari piksel citra input = nilai maksimum dari piksel citra input = nilai grayscale maksimum
Universitas Sumatera Utara
17
2.3.5. Thresholding
Salah satu teknik yang digunakan untuk mengubah citra keabuan menjadi citra biner adalah thresholding. Thresholding sering disebut dengan proses binerisasi. Thresholding dapat digunakan dalam proses segmentasi citra untuk mengidentifikasi dan memisahkan objek yang diinginkan dari background berdasarkan distribusi tingkat keabuan atau tekstur citra (Liao, 2001). Proses thresholding menggunakan nilai batas (threshold) untuk mengubah nilai piksel pada citra keabuan menjadi hitam atau putih. Jika nilai piksel pada citra keabuan lebih besar dari threshold, maka nilai piksel akan diganti dengan 1 (putih), sebaliknya jika nilai piksel citra keabuan lebih kecil dari threshold maka nilai piksel akan diganti dengan 0 (hitam). Proses thresholding dilakukan dengan persamaan 2.4.
(2.4)
Dimana :
= piksel citra hasil binerisasi = piksel citra asal T
= nilai threshold
2.3.6. Erosi
Erosi merupakan salah satu operasi morfologi citra. Operasi morfologi citra merupakan teknik pengolahan citra yang didasari pada bentuk atau morfologi fitur dalam sebuah citra. Operasi morfologi diterapkan pada citra biner karena berorientasi pada bentuk objek. Erosi digunakan untuk menghapus titik-titik objek menjadi bagian dari background berdasarkan structure element yang digunakan. Selain dapat menghapus titik-titik objek kecil, erosi juga dapat memperkecil ukuran objek berukuran besar dengan cara menghapus piksel pada tepi objek tersebut (Phillips, 2000). Structure element merupakan matriks berukuran m × n yang memiliki titik pusat. Erosi dilakukan dengan persamaan 2.5.
Universitas Sumatera Utara
18
(2.5) Dimana :
= citra hasil erosi = citra asal = structure element = himpunan titik = structure element yang ditranslasi oleh
Proses erosi dilakukan dengan cara membandingkan setiap piksel pada citra asal dengan titik pusat structure element. Structure element digeser dari piksel awal sampai piksel akhir citra asal. Jika ada bagian structure element yang berada diluar citra asal, maka piksel citra asal yang berada di titik poros structure element akan dihapus (dijadikan background).
2.3.7. Inversi
Inversi merupakan proses negatif pada citra, dimana setiap nilai piksel pada citra dibalik dengan acuan threshold yang diberikan. Inversi sering digunakan untuk memperjelas warna putih atau abu-abu pada bagian gelap di sebuah citra (Jain, 1989). Untuk citra 8 bit atau citra dengan derajat keabuan 256, proses inversi dilakukan dengan persamaan 2.6.
(2.6)
Dimana :
= piksel setelah inversi = piksel citra asal
2.3.8. Perkalian citra
Perkalian citra merupakan operasi pada piksel yang digunakan untuk mengatur tingkat kontras pada citra (Solomon, 2011). Perkalian citra juga dapat digunakan untuk menghilangkan bagian tertentu pada citra dengan cara mengalikan citra dengan citra mask yang merupakan citra biner. Perkalian citra dilakukan dengan persamaan 2.7.
Universitas Sumatera Utara
19
(2.7)
Dimana :
= piksel citra hasil perkalian = piksel citra asal = piksel citra mask
2.4. Gray Level Co-occurence Matrix (GLCM)
Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) merupakan metode analisis tekstur yang diperkenalkan oleh Haralick pada tahun 1973. Metode ini biasanya digunakan dalam pengenalan tekstur, segmentasi citra, analisis warna pada citra, klasifikasi citra, dan pengenalan objek (Rao et al., 2013). GLCM merupakan ciri statistik orde dua yang merepresentasikan hubungan ketetanggaan antar dua piksel dalam sebuah citra grayscale di berbagai arah dan jarak tertentu, dimana arah dinyatakan dalam sudut, misalnya 0, 45, 90, 135, dan seterusnya, sedangkan jarak dinyatakan dalam jumlah piksel, misalnya 1, 2, 3, dan seterusnya. Komponen utama dalam GLCM adalah arah dan jarak antara dua piksel. Arah ketetanggaan yang mungkin antara dua buah piksel adalah 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, dan 315 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Arah ketetanggaan antara dua piksel
Universitas Sumatera Utara
20
8 arah ketetanggaan antara dua piksel dapat direduksi menjadi 4 arah, yaitu 0, 45, 90, dan 135. Arah 0, 45, 90, dan 135 merupakan transpose dari arah 180, 225, 270, dan 315 (Fegurson, 2007). Misalkan untuk matriks framework pada arah 0, tambahkan matriks framework 0 dengan matrik transponse-nya untuk mendapatkan matriks framework pada arah 0 dan 180. Komponen penting lainnya adalah jarak antara piksel referensi dengan piksel tetangga. Jarak antar piksel ditunjukkan pada Gambar 2.9 dimana r menunjukkan piksel referensi dan n menunjukkan piksel tetangga. Pemilihan jarak antar piksel harus diperhatikan. Semakin besar jarak yang digunakan, semakin sedikit nilai kookurensi yang didapat (Fegurson, 2007).
Gambar 2.9. Jarak antar piksel
Langkah awal untuk membuat GLCM adalah membuat matriks framework. Matriks framework merupakan matriks yang menunjukkan hubungan ketetanggaan antara piksel referensi dengan piksel tetangga untuk arah dan jarak tertentu. Matriks framework berukuran G × G, dimana G menyatakan banyaknya tingkat keabuan yang dimiliki oleh sebuah citra grayscale. Matriks framework dari sebuah citra grayscale ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Universitas Sumatera Utara
21
1
0
2
2
3
2
0
0
1
2
1
1
(0, 0) (0, 1) (0, 2) (0, 3) (1, 0) (1, 1) (1, 2) (1, 3) (2, 0) (2, 1) (2, 2) (2, 3) (3, 0) (3, 1) (3, 2) (3, 3)
(a)
(b)
Gambar 2.10. (a) Citra grayscale dalam bentuk matriks; (b) Matriks framework
Pada Gambar 2.10, citra grayscale (yang ditunjukkan dalam bentuk matriks) memiliki 4 tingkat keabuan, yaitu 0, 1, 2, dan 3, sehingga matriks framework yang terbentuk berukuran 4 × 4. Baris pada matriks framework menunjukkan piksel referensi, sedangkan kolom pada matriks framework menunjukkan piksel tetangga. Kolom pertama pada baris pertama yang memiliki nilai (0, 0) menunjukkan seberapa banyak piksel 0 yang bertetangga dengan piksel 0 pada jarak dan arah tertentu, kolom kedua pada baris pertama yang memiliki nilai (0, 1) menunjukkan seberapa banyak piksel 0 yang bertetangga dengan piksel 1 pada jarak dan arah tertentu, dan seterusnya. Setelah matriks framework dibuat, tentukan arah dan jarak yang diinginkan, kemudian hitung nilai kookurensi dari tiap piksel referensi dengan piksel tetangganya berdasarkan arah dan jarak tersebut. Selanjutnya isikan nilai kookurensi pada matriks framework. Matriks framework yang telah diisi dengan nilai kookurensi selanjutnya akan disebut dengan matriks kookurensi. Contoh matriks kookurensi berdasarkan citra grayscale (dalam bentuk matriks) pada Gambar 2.10 ditunjukkan pada Gambar 2.11 dimana arah yang digunakan adalah 0 dan jarak yang digunakan adalah 1.
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
0
0
1
0
Gambar 2.11. Matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0
Matriks kookurensi yang didapat selanjutnya ditambahkan dengan matriks transpose-nya agar menjadi simetris. Pembentukan matriks simetris ditunjukkan pada Gambar 2.12.
Universitas Sumatera Utara
22
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
0
1
1
0
1
1
1
0
1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
+
(a)
2
1
2
0
1
2
2
0
1
2
2
2
1
0
0
0
1
0
=
(b)
(c)
Gambar 2.12. (a) Matriks kookurensi; (b) Matriks transpose; (c) Matriks simetris
Setelah matriks kookurensi menjadi simetris, selanjutnya matriks akan dinormalisasi ke bentuk probabilitas dengan cara membagi masing-masing nilai kookurensi dengan jumlah semua nilai kookurensi yang ada pada matriks, sehingga hasil penjumlahan semua nilai pada matriks adalah 1. Normalisasi matriks ditunjukkan pada Gambar 2.13.
0,111
0,056
0,111
0
0,056
0,111
0,111
0
0,111
0,111
0,111
0,056
0
0
0,056
0
Gambar 2.13. Normalisasi matriks
Langkah selanjutnya setelah proses normalisasi dilakukan adalah menghitung ciri atau fitur statistik GLCM. Beberapa ciri atau fitur statistik yang diusulkan oleh Haralick adalah sebagai berikut.
2.4.1. Contrast
Contrast digunakan untuk mengukur variasi pasangan tingkat keabuan dalam sebuah citra. Contrast dihitung dengan menggunakan persamaan 2.8.
Universitas Sumatera Utara
23
(2.8)
Dimana
merupakan matriks yang telah dinormalisasi.
2.4.2. Homogenity
Homogenity atau Inverse Different Moment (IDM) digunakan untuk mengukur homogenitas citra dengan level keabuan sejenis. Homogenity dihitung dengan menggunakan persamaan 2.9.
(2.9)
2.4.3. Energy
Energy atau Angular Second Moment (ASM) digunakan untuk mengukur homogenitas sebuah citra. Energy dihitung dengan menggunakan persamaan 2.10.
(2.10)
2.4.4. Entropy
Entropy digunakan untuk menghitung level ketidakteraturan citra. Entropy dihitung dengan menggunakan persamaan 2.11.
(2.11)
Universitas Sumatera Utara
24
2.4.5. Variance
Variance digunakan untuk mengukur persebaran diantara mean kombinasi antara piksel referensi dengan piksel tetangga. Variance dihitung dengan menggunakan persamaan 2.12.
(2.12)
2.4.6. Correlation
Correlation digunakan untuk menghitung keterkaitan piksel yang memiliki level keabuan i dengan piksel yang memiliki level keabuan j. Correlation dihitung dengan menggunakan persamaan 2.13.
(2.13)
dimana
dan
ditunjukkan pada persamaan 2.14 dan persamaan 2.15.
(2.14)
(2.15)
2.5. Modified k-Nearest Neighbor
Modified k-Nearest Neighbor (MkNN) merupakan pengembangan dari metode kNearest Neighbor (kNN). Jika kNN mengklasifikasikan data pengujian berdasarkan skor tertinggi dari beberapa kelas pada k data pelatihan dengan jarak terdekat, maka
Universitas Sumatera Utara
25
MkNN mengklasifikasikan data pengujian berdasarkan bobot tertinggi dari beberapa kelas pada k data pelatihan tervalidasi dengan jarak terdekat (Parvin, 2008). Dengan
adanya
validasi
pada
data
pelatihan,
MkNN
mampu
mengklasifikasikan data pengujian dengan lebih baik. Validitas memberikan informasi lebih banyak tentang keadaan data pelatihan pada ruang fitur, bukan hanya label kelas dari masing-masing data pelatihan saja. MkNN memberikan kesempatan yang lebih besar kepada data pelatihan yang memiliki validitas yang lebih tinggi dan memiliki jarak yang dekat dengan data pengujian, sehingga pemberian label atau kelas pada data pengujian tidak terlalu terpengaruh terhadap data yang tidak begitu stabil (Parvin, 2008). MkNN terdiri dari dua tahapan. Tahapan pertama adalah menghitung validitas data pelatihan. Tahapan selanjutnya adalah mengklasifikasikan data pengujian dengan menggunakan gabungan dari weighted kNN dan validitas dari data pelatihan yang telah didapat sebelumnya. Validitas data dari tiap data pelatihan tergantung dari data pelatihan lain yang menjadi tetangganya. Tahapan yang dilakukan untuk melakukan validasi data pelatihan adalah sebagai berikut. 1. Tentukan nilai H, dimana H merupakan banyaknya data pelatihan y yang bertetangga dengan data pelatihan x. Nilai H adalah 10% dari jumlah data pelatihan (Parvin, 2008). 2. Hitung jarak antara data pelatihan x dengan semua data pelatihan lainnya (y) menggunakan Euclidean distance yang ditunjukkan pada persamaan 2.16.
(2.16)
Dimana :
= jarak dari data x ke data y = elemen ke-i dari data x = elemen ke-i dari data y n
= jumlah elemen dari data x dan data y
Universitas Sumatera Utara
26
3. Ambil H buah data pelatihan y yang memiliki jarak terdekat dengan data pelatihan x. 4. Hitung validasi data pelatihan x menggunakan persamaan 2.17.
(2.17)
Dimana :
= validitas data ke-x = jumlah data tetangga = kelas dari data pelatihan ke-x = kelas dari data pelatihan ke-y = fungsi similaritas data
Fungsi similaritas
ditunjukkan pada persamaan 2.18.
(2.18)
Setelah validasi semua data pelatihan didapatkan, klasifikasi dari data pengujian bisa dilakukan. Adapun langkah untuk mengklasifikasi data pengujian adalah sebagai berikut. 1. Tentukan nilai dari k, dimana k adalah jumlah data pelatihan dengan jarak terdekat yang digunakan sebagai pembanding dalam mengklasifikasikan data pengujian. 2. Hitung jarak antara data pengujian dengan semua data pelatihan menggunakan rumus Euclidean distance pada persamaan 2.9. 3. Ambil k buah data pelatihan yang memiliki jarak terdekat. 4. Hitung bobot dari masing-masing k data pelatihan dengan persamaan 2.19.
(2.19)
Universitas Sumatera Utara
27
Dimana:
= bobot dari data pelatihan ke-x = validitas dati data pelatihan ke-x = jarak dari data pengujian ke data pelatihan x
5. Jumlahkan bobot data pelatihan yang memiliki kelas yang sama. Kelas dengan bobot tertinggi merupakan kelas dari data pengujian.
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang identifikasi diabetic retinopathy telah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Pada tahun 2012, Setiawan membandingkan kinerja Support Vector Machine (SVM) dengan k-Nearest Neighbor (KNN) untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy. SVM merupakan metode yang mencari hyperplane terbaik yang berfungsi sebagai pemisah dua buah class pada ruang input dengan cara mengukur margin dari hyperplane tersebut, sedangkan KNN merupakan metode yang mengklasifikasikan data berdasarkan data pelatihan dengan jarak yang paling dekat. Metode ektraksi fitur yang digunakan adalah Two Dimensional Linear Discriminant Analysis (2DLDA). Akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 84% dengan menggunakan SVM dan 80% dengan menggunakan KNN. Dillak et al. pada tahun 2013 menggunakan jaringan saraf tiruan dalam mengidentifikasi diabetic retinopathy. Metode ekstraksi fitur yang digunakan adalah 3D-GLCM. Eliminasi optic disc dilakukan pada citra retina untuk meningkatkan hasil akurasi. Adapun akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 95%. Selanjutnya pada tahun 2011, Vajayamadheswaran et al. menggunakan metode Radial Basis Function (RBF) untuk mengidentifikasi diabetic retinopathy. Identifikasi dilakukan berdasarkan keberadaan eksudat dalam citra retina. Contextual Clustering digunakan untuk ektraksi fitur pada citra, yang kemudian hasilnya akan dijadikan input pada jaringan RBF. RBF merupakan model jaringan saraf tiruan yang mentransformasi input secara nonlinear dengan menggunakan fungsi aktivasi Gaussian pada hidden layer dan kemudian dilanjutkan dengan proses linear pada output layer. Akurasi yang didapat pada penelitian ini adalah 96%. Rangkuman dari penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
28
Tabel 2.1. Penelitian terdahulu No. 1.
Peneliti Setiawan
Tahun
Metode yang digunakan
Akurasi
2012
Support Vector Machine
84%
K-Nearet Neighbor
80%
2.
Dillak et al.
2013
Neural Network
95%
3.
Vajayamadheswaran et al.
2011
Radial Basis Function
96%
Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah gabungan metode yang digunakan untuk identifikasi diabetic retinopathy, yaitu Gray Leve Cooccurrence Matrix (GLCM) sebagai metode ektraksi fitur dan Modified kNearest Neighbor (MkNN) sebagai metode klasifikasi. Pada proses ekstraksi fitur, terdapat 6 fitur yang diambil dari masing-masing citra dengan jarak 1 dan arah 0, 45, 90, dan 135 sehingga menghasilkan 24 fitur yang selanjutnya digunakan dalam proses klasifikasi.
Universitas Sumatera Utara