BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Entrepreneurship Entrepreneurship adalah sifat bisnis, termasuk kemampuan untuk melihat
peluang dan menentukan keputusan kritis. Dalam bukunya Be a Smart and Good Entrepreneur Hendro & Chandra W.W.(2006) menjelaskan entrepreneurship adalah suatu kemampuan untuk mengelola sesuatu yang ada dalam diri anda untuk dimanfaatkan dan ditingkatkan agar lebih optimal sehingga bisa meningkatkan taraf hidup anda di masa mendatang. Menurut Hisrich (2004, p9), entrepreneurship adalah proses membuat sesuatu yang baru dengan nilai dari konsumsi waktu dan daya yang diperlukan, memperkirakan keuangan, fisik, dan resiko sosial, dan mendapatkan penghargaan hasil dari moneter dan kepuasan personal dan kebebasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa entrepreneurship adalah kemampuan untuk melihat, mengelola dan menentukan keputusan pada setiap peluang dan memanfaatkannya sehingga mampu meningkatkan taraf hidup dimasa depan. Entrepreneurship
tidak
hanya
diterapkan
dalam
bisnis
perorangan,
entrepreneurship juga diterapkan dalam lingkungan perusahaan, disebut juga sebagai intrapreneurship. Penelitian ini menggunakan Intrapreneur sebagai salah satu variabel penelitian. 2.2
Pengertian Intrapreneurship Intrapreneurship adalah kewirausahaan (entrepreneurship) dalam perusahaan
(enterprenership inside of the organization) atau dapat dikatakan bahwa intrapreneurship adalah entrepreneuship yang ada di dalam perusahaan. Konsep intrapreneurship pertama muncul pada tahun 1973 oleh Susbauer dalam tulisannya yang berjudul “Intracoporate Entrepreneurship : Programs in American Industry”, 11
12 dan kemudian dipopulerkan oleh Pinchott (1985) dan Burgelman (2007) dalam disertasinya. Princhott (1985) mendefinisikan seorang intrapreneur adalah seorang yang memfokuskan pada inovasi dan kreativitas dan yang mentransformasi suatu mimpi atau gagasan menjadi usaha yang menguntungkan yang dioperasikannya dalam lingkup lingkungan perusahaan. Oleh karena itu, agar sukses intrapreneurship harus diimplementasikan dalam strategi perusahaan (Budiharjo, 2011:152). Harris (2009) mendefinisikan intrapreneur adalah karyawan di perusahaan yang berani untuk mengambil risiko. Intrapreneurship represent the initiation and implementation of innovative systems and practices within an organization, by some of its staff under the supervision of a manager who takes the role of an intrapreneur, in order to improve the economical performance of the organization, by using a part of its resources, namely those that previously have not been used in an appropriate manner. Intrapreneurship improves the economical and financial performance of the company, by applying a more efficient use of the resources and by using a suitable motivational system for its employees (Istocescu, 2003, journal of entrepreneurship vs intrapreneurship (2011, p972). Konsensus yang meningkat telah diperoleh pada konsep entrepreneurship sebagai proses pengungkapan dan pengembangan peluang untuk menciptakan nilai melalui inovasi dan perebutan peluang tanpa menganggap sumber daya (manusia dan kapital) atau lokasi entrepreneur dalam perusahaan baru atau yang sudah ada (Churchill, dalam Antoncic & Hisrich 2001). Mungkin definisi yang lebih luas intrapreneurship adalah entrepreneurship dalam organisasi saat ini.(Jurnal Peran Intrapreneurship Dalam Membangun Daya Saing Kultural di Perguruan Tinggi: Sebuah Kerangka Penelitian, 2012, p259)
13 2.2.1 Faktor Pendorong Intrapreneurship Antonic (2007) yang dikutip Budiharjo (2011) menyebutkan antesenden intrapreneurship dibagi menjadi dua yaitu lingkungan (environment) dan organisasi (organization). a) Faktor lingkungan yang positif meliputi dinamisme peluang teknologi, pertumbuhan industry, dan permintaan untuk produk baru, sedangkan antesenden untuk lingkungan yang tidak dikehendaki meliputi perubahan yang tidak dikehendaki dan persaingan yang tinggi. b) Dari sisi organisasi, karakteristik organisasi yang dapat mendorong intrapreneurship adalah system terbuka, kendali formal pada aktivitas intrapreneurship,
pemindahan
intensif
pada
lingkungan,
dukungan
organisasional, dan nilai-nilai perusahaan. Dalam penelitiannya, Antonic (2007) membuktikan bahwa intrapreneurship berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan (company growth), dan dibuktikan pula bahwa dimensi lingkungan dan karakteristik organanisasi (organization characteristics) berkorelasi positif dengan intrapreneurship. 2.2.2 Eesley
Faktor Penghambat Intrapreneurship dan
Longenecker
(2006,
dikutip
oleh
Budiharjo,
mengemukakan 10 hambatan utama dalam intrapreneurship meliputi : 1. Menghukum kesalahan yang disebabkan oleh tindakan risk taking 2. Gagasan-gasasan tanpa tindak lanjut 3. Tidak ada dorongan intrapreneurship 4. Unhealthy politicking dalam organisasi 5. Komunikasi yang buruk antar karyawan dan juga pada pelanggan 6. Karyawan tidak didorong berpikir untuk mencari peluang 7. Misi, sasaran perusahaan tidak jelas 8. Kurang dukungan manajemen 9. Penghasilan keputusan beresiko yang tidak diberi reward 10. Keterbatasan waktu dan sumber daya
2011)
14 2.2.3
Karakteristik Intrapreneurship
Berdasarkan pendapat Antonic (2003) mengemukakan intrapreneurship memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. understand the environment. Intrapreneur harus mengerti semua aspek lingkungannya, baik dari lingkungan internal perusahaan maupun lingkungan eksternal perusahaan. 2. visionary and flexible. Intrapreneur harus memiliki kemampuan untuk mewujudkan ide-idenya menjadi kenyataan, dapat beradaptasi dan bekerja secara efektif dalam situasi yang berbeda. 3. encourage team work. Intrapreneur harus memiliki kemampuan untuk membangun tim kerja dan tim tersebut bekerja dengan disiplin. 4. encourage open discussion. Intrapreneur harus mampu mengadakan diskusi terbuka dalam usahanya membentuk tim kerja yang bagus. 5. builds a coalition of supporters. Intrapeneur dapat mencapai tujuannya dengan membangun koalisi untuk mendukung inovasinya. Koalisi dapat terdiri dari pekerja dan manajemen puncak. 6. Persists. Intrapeneur harus tekun dan gigih dalam bekerja agar tujuan dapat tercapai. 2.3
Pengertian Leadership Leadership adalah seni seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan,
agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Dari literature diketahui ada teori yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Ada pula yang menyatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok-kelompok / orang-orang, dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin. Teori lain mengemukakan bahwa pemimpin muncul karena situasi yang memungkinkan ia ada
15 Menurut
Handoko
(2008:155)
bahwa
leadership
adalah
proses
mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Menurut Danim (2007:136) Leadership adalah proses kerjasama diantara manusia untuk mencapai tujuan, sebagai suatu bentuk energi yang memotori setiap usaha bersama, yang memberikan model untuk di teladani, yang menimbulkan semangat kerja, dan yang mempercayai bawahan untuk mengendalikan diri sendiri. According to Manz and Neck (2004) self-leadership is a process in which leaders exercise self-influence to motivate and direct personal behavior in all aspects of their lives. This, in other words, creates the ultimate form of intrinsic motivation and removes the need for extrinsic rewards. (Journal of Leadership and Organizational Studies, 2005, Volume 11, Number 4 ) 2.3.1 Jenis – Jenis Leadership
Ada berbagai macam jenis Leadership, antara lain sebagai berikut:
1.
Leadership transaksional Model leadership ini berfokus pada transaksi antar pribadi, antara manajemen dan karyawan dua karastristik yang melandasi leadership transaksional adalah: a) Para pemimpin menggunakan penghargaan kontingensi untuk kinerja para karyawan. b) Para pemimpin melaksanakan tindakan korektif hanya ketika para bawahan gagal mencapai tujuan kinerja.
2.
Leadership karismatik Leadership ini menekankan prilaku pemimpin yaang simbolis. Pesan- pesan mengenai visi dan memberikan inspirasi, komunikasi non-verbal, daya tarik terhadap nilaai- nilai ideologos, stimulasi intelektual terhadap para pengikut oleh pemimpin, penampilan kepercayaan diri sendiri dan untuk kinerja yang melampaui panggilan tugas.
3.
Leadership Visioner
16 Leadership
ini
merupakan
kemampuan
untuk
menciptakan
dan
mengartikulasi suatu visi yang realistis, dapat dipercaya, atraktif dengan masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi yang terus tumbuh dan terus meningkat.
2.3.2 Ciri – Ciri Leadership Menurut Davis yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2003, p.290-291), ciri-ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah : 1. Kecerdasan (Intelligence) Penelitian-penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin
yang mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi
daripada pengikutnya, tetapi tidak sangat bebrbeda.
2. Kedewasaan, Sosial dan Hubungan Sosial yang luas Pemimpin cenderung mempunyai emosi yang stabil dan dewasa atau matang, serta mempunyai kegiatan dan perhatianyang luas.
3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi Pemimpin secara relatif
mempunyai motivasi dan dorongan
berprestasi yang tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk nilai intrinsik.
4. Sikap-sikap hubungan manusiawi Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat
pengikut-pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi
dan berorientasi pada bawahannya. 2.3.3 Indikator Leadership Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan, motivasi dan dorongan yang lebih tinggi daripada bawahannya. Disamping itu untuk melihat gaya leadership seorang pemimpin dapat dilihat melalui indikator-indikator :
17
Menurut Siagian (2002, p.121), indikator-indikator yang dapat dilihat sebagai berikut: 1. Iklim saling mempercayai. 2. Penghargaan terhadap ide bawahan. 3. Memperhitungkan perasaan para bawahan. 4. Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan. 5. Perhatian pada kesejahteraan bawahan. 6. Memperhitungkan
faktor
kepuasan kerja
para
bawahan
dalam
menyelesaikan tugas tugas yang dipercayakan padanya. 7. Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan professional. 2.4
Kepuasan Kerja Karyawan Wibowo (2008, p299) mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap positif
atau negatif yang dilakukan individu terhadap pekerjaan mereka. Robbins (2009, p300) mengatakan walaupun kepuasan kerja merupakan sikap bukan prilaku, tetapi hasilnya penting bagi manajer karena karyawan yang puas lebih rajin masuk kerja, memiliki kinerja yang lebih baik, dan niat untuk bertahan di organisasi. Locke (1996:187) dalam Adiko Winnetouw (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah apa yang dirasakan oleh seseorang pekerja atas pekerjaan mereka, hal ini menunjukan bahwa sejauh mana individu merasakan hasil yang sesuai dari yang mereka harapkan dari sesuatu pekerjaan sehingga nantinya akan secara langsung mempengaruhi kinerja karyawan. Davis (dalam Iriana dkk, 2004) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sekumpulan perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka. (Jurnal Economia, Vol.8, p14) Menurut Veithzal Rivai (2004, p309) mengatakan bahwa kinerja merupakan prilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap dan prilaku positif atau negatif yang nyata dan dirasakan serta dilakukan oleh karyawan, menunjukan
18 perasaan individu dari hasil yang sesuai dari yang mereka harapkan pada suatu pekerjaan. 2.4.1 Teori Kepuasan Kerja Karyawan Menurut Wexley dan Yulk (1977) dalam bukunya yang berjudul Organizational Behaviour and Personnel Psycology halaman 99 yang dikutip oleh Moch. As’ad (2004, p105) ada dasarnya teori – teori tentang kepuasan kerja yang lazin dikenal ada tiga macam yaitu: 1. Discrepancy Theory Discrepancy theory yang dipelopori oleh porter menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih apa yang seharusnya diinginkan dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudia Locke dalam Moch. As’ad (2004, p105) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang menurut presepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Orang akan puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat “discrepancy”, tetapi merupakan discrepancy positif. Sebaliknya, semakin jauh dari kenyataan yang dirasakan itu bahwa standar minimum sehingga menjadi negatif discrepancy, makan main besar pula ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. 2. Equity theory Equity theory dikembangkan oleh Adams (1963). Adapun pendahulu dari teori ini yaitu Zaleznik (1958) dikutip dari Locke (1969). Dalam equity theory, kepuasan kerja seseorang tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas situasi. Perasaan keadilan atau ketidakadilan atas suatu situasi diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Menurut Wexley dan Yulk (1997) dalam Moch. As’ad (2004, p105) Menurut teori ini, elemen – lemen dari equity ada tiga yaitu:
19 a) Input Input adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman kerja, dan kecakapan. b) Out comes Out
comes
adalah
sesuatu
yang
berharga
yang
dirasakan
pegawai/karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya, seperti gaji, status, symbol dan penghargaan. c) Comparation Person Comparation Person adalah dengan membandingkan input, outcomes terhadap orang lain. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Akan tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan, akan menimbulkan ketidakpuasan. (Moch. As’ad, 2004, p105). Kelemahan dari teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan kerja seseorang juga ditentukan oleh individual differences (misalnya pada waktu orang melamar kerja apabila ditanya tentang beasrnya upah/gaji yang diinginkan.) Locke, 1969 dikutip oleh Moch. As’ad, 2004, p105 mengatakan bahwa selain itu, tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan.
3. Two Factor Theory Menurut two factor theory, kepuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variabel yang kontinyu. Herzberg dalam Moch. As’ad, 2004, p105 membagi situasi yang mempengaruhi perasaan seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu, kelompok satisfiers dan motivator yang terdiri dari presasi pengakuan, dan tanggung jawab. Yang kedua yaitu, kelompok sebagai sumber ketidak puasan atau dissatisfiers yang terdiri dari prosedur kerja, upah/gaji, dan hubungan antar karyawan/pegawai. Pendapat Horald E. Burt yang dikutip oleh Moch. As’ad, 2004, p112 tentang faktor – faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja sebagai berikut:
20 a) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan antara pimpinan dengan pegawai, kondisi fisik, situasi kerja, dan sugesti dari teman kerja. b) Faktor individual, yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya, umur orang saat kerja, dan jenis kelamin. c) Faktor – faktor luar antara lain, keadaan keluarga karyawan/pegawai, rekreasi, dan pendidika. 2.4.2 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja Karyawan Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Menurut John M. Ivancevich, Robert Konopaske dan Michael T. Matteson (2011, p77) mengatakan ada 4 faktor penting yang berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan: 1. Pembayaran (Pay) Jumlah pembayaran yang diterima dan keadilan yang diterima dari pembayaran tersebut 2. Pekerjaan itu sendiri (Work itself) Banyaknya tugas-tugas kerja yang dianggap menarik dan menyediakan kesempatan untuk belajar dan menerima tanggung jawab 3. Kesempatan promosi (Promotion opportunities) Ketersediaan kesempatan untuk kemajuan karir 4. Pengawasan (supervision) Kompetensi teknis dan kemampuan interpersonal dari atasan alngsung seseorang. 5. Rekan Kerja (Co-workers) Banyaknya rekan kerja yang bersahabat, kompeten dan mendukung. 6. Kondisi kerja (Working conditions) Tingkat dari lingkungan fisik pekerjaan yang nyaman dan mendukung produktivitas. 7. Keamanan kerja (Job Security) Keyakinan bahwa posisi seseorang relatif aman dan kelanjutan pekerjaan dengan organisasi sebagai harapan yang masuk akal.
21 Menurut Smith (dalam Robbin, 2001 dan Noor Arifin dalam Jurnal Economia Vol.8 (2012, p14-15) mengatakan bahwa ada beberapa faktor-faktor penentu kepuasan kerja karyawan, yaitu sebagai berikut: 1. Pekerjaan itu sendiri Sejauh mana pekerjaan menyediakan kesempatan seseorang untuk belajar memperoleh tanggung jawab dalam suatu tugas tertentu dan tantangan untuk pekerjaan yang menarik. 2. Bayaran atau Upah Upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain dalam posisi kerja yang sama. 3. Kesempatan untuk promosi Kesempatan seseorang untuk meraih atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi. 4. Atasan Kemampuan atasan untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab para bawahan. 5. Rekan Kerja Sejauh mana rekan kerja secara teknis cakap dan secara sosial mendukung tugas rekan kerja lainnya. Menurut pendapat Gilmer(1966) dalam bukunya Moch. As’ad, 2004, p114 tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: 1. Kesempatan untuk maju Dalam hal ini tidak adanya kesempatan untuk memperoleh kesempatan peningkatan pengalaman dan kemampuan kerja selama bekerja.
2. Keamanan Kerja Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang amat sangat mempengaruhi perasaan kerja karyawan selama bekerja.
22 3. Gaji/Upah Gaji/upah lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan tidak jarang orang yang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.
4. Manajemen Kerja Manajemen kerja yang baik adalah yang memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman.
5. Kondisi Kerja Dalam hal ini adalah tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir.
6. Pengawasan Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over.
7. Faktor intrinsik dari pekerjaan Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas yang meningkatkan atau mengurangi kepuasan.
8. Komunikasi Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pimpinan banyak dipakai untuk mentukan jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak pimpinan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat atau prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan kepuasan kerja.
9. Aspek sosial dalam pekerjaan Aspek sosial dalam pekerjaan merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.
10. Fasilitas
23 Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
2.5 Kerangka Pemikiran
Intrapreneurship
Kepuasan Kerja Karyawan
Leadership
Keterangan: Garis merah : Pengaruh secara Invidual Garis Hitam : Pengaruh secara simultan
Hipotesis Hipotesis merupakan dugaan sementara yang dimaksud untuk menjawab permasalahan yang ada. Hipotersis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Ha : Ada pengaruh antara intraprenuership (X1) terhadap kepuasan kerja karyawan (Y) Ho : Tidak ada pengaruh antara intraprenuership (X1) terhadap kepuasan kerja karyawan (Y) 2. Ha : Ada pengaruh antara Leadership (X2) terhadap kepuasan kerja karyawan (Y) Ho : Tidak ada pengaruh antara Leadership (X2) terhadap kepuasan karyawan (Y) 3. Ha : Ada pengaruh antara intrapreneurship (X1) dan Leadership (X2) terhadap kepuasan kerja karyawan(Y) Ho : Tidak ada pengaruh antara intrapreneurship (X1) dan Leadership (X2) terhadap kepuasan kerja karyawan (Y)