BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Bank Menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 pengertian bank adalah sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Pengertian di atas memiliki kandungan filosofis yang tinggi. Pengertian yang lebih teknis dapat ditemukan pada Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 792 Tahun 1990. Pengertian bank menurut PSAK Nomor 31 dalam Standar Akuntansi Keuangan (1999: 31.1) adalah: “Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.”
6
7
Sedangkan berdasarkan SK Menteri Keuangan RI Nomor 792 tahun 1990 pengertian bank adalah: “Bank merupakan suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan”. Berdasarkan fungsinya, Rose (2002, p.4) mendefinisikan bank sebagai “intermediasi keuangan dalam menerima dana dari pihak luar dan memberikan pinjaman kepada sejumlah pihak tertentu yang membutuhkan disamping memberikan pelayanan jasa keuangan lainnya”. Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah
suatu
lembaga
keuangan
yang
kegiatannya
menghimpun
dan
menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Dengan kata lain bank adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit serta jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut Irmayanto (2002, p53-59), transaksinya bank dapat dibedakan menjadi Bank Devisa dan Bank Non Devisa. Bank Devisa adalah bank yang dapat mengadakan transaksi internasional seperti ekspor dan impor, jual beli valuta asing, dll. Sedangkan Bank Non Devisa, adalah bank yang tidak dapat melakukan transaksi internasional atau dengan kata lain hanya dapat melakukan transaksi dalam negeri saja.
8
2.2
Pengertian Kredit dan Pembiayaan Menurut UU Perbankan nomor 10 tahun 1998, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
2.3
Unsur–Unsur Kredit Yang menjadi unsur-unsur kredit dalam pemberian kredit adalah : 1. Kepercayaan, yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan baik berupa uang, barang, jasa akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu di masa datang. 2. Kesepakatan, tertuang di dalam perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing. 3. Jangka waktu, mencakup masa pengembalian kredit yang disepakati. 4. Risiko, dimana adanya risiko kerugian yang diakibatkan oleh nasabah sengaja tidak mau membayar kreditnya padahal mampu dan arena nasabah tidak sengaja akibat terjadinya musibah seperti bencana alam.
9
5. Balas jasa akibat dari fasilitas pemberian kredit bank mengharapkan keuntungan berupa bunga secara konvensional dan berupa bagi hasil (secara syariah).
2.4
Jenis-Jenis Kredit Secara umum jenis kredit yang disalurkan bank adalah : 1. Dilihat dari segi kegunaan a. Kredit investasi, digunakan untuk membangun proyek dimana masa pemakaiannya untuk periode lebih lama. b. Kredit modal kerja, digunakan untuk meningkatkan produksi dalam operasionalnya. 2. Dilihat dari tujuan kredit a. Kredit produktif, digunakan untuk peningkatan usaha produksi dan untuk menghasilkan barang atau jasa. b. Kredit konsumtif, digunakan untuk keperluan pribadi dimana tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan. c. Kredit perdagangan, biasanya diberikan kepada agen perdagangan yang membeli barang dalam jumlah tertentu. 3. Dilihat dari segi jangka waktu a. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang jangka waktunya kurang dari 1 tahun, dan maximum 1 tahun, biasanya untuk keperluan modal kerja. b. Kredit jangka menengah, yakni kredit yang jangka waktunya antara 1 sampai 3 tahun.
10
c. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang masa pengembaliannya diantara 3 sampai 5 tahun dan biasanya digunakan untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit, dan kredit perumahan. 4. Dilihat dari segi jaminan Setiap pemberian kredit harus dilindungi dengan suatu barang atau surat berharga minimal senilai kredit yang diberikan. Jenis-jenisnya adalah : a. Kredit dengan jaminan, kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan si calon debitur. b. Kredit tanpa jaminan, kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit ini diberikan dengan melihat prospek usaha, loyalitas calon debitur selama berhubungan dengan bank yang bersangkutan. 5. Dilihat dari segi sektor usaha a. Kredit pertanian b. Kredit peternakan c. Kredit industri d. Kredit pertambangan e. Kredit pendidikan f. Kredit profesi, dll
11
2.5
Risiko dalam Perbankan a. Risiko Kredit (Credit Risk) Risiko kredit terjadi akibat gagalnya penerima kredit (debitur) dalam memenuhi perjanjian kredit untuk melunasi pembayaran angsuran pokok dan pembayaran bunga kredit kepada bank. b. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk) Risiko Likuiditas adalah risiko dimana bank tidak memiliki dana yang cukup dalam memenuhi kewajiban yang segera (current obligations). Risiko likuiditas yang berkaitan dengan sumber dana bank antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan dalam persyaratan yang ditetapkan bank dan perbedaan dalam cara masing-masing pemilik dana menarik kembali dananya dari bank. c. Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk) Risiko tingkat suku bunga adalah risiko yang ditimbulkan oleh terjadinya perubahan atas tingkat suku bunga yang berpengaruh buruk terhadap pendapatan yang diterima atau pengeluaran biaya yang dikeluarkan oleh bank. Risiko tingkat suku bunga yang berkenan dengan upaya bank dalam menghimpun dana ini terkait dengan kemungkinan terjadinya perbedaan antara sensitivitas tingkat suku bunga penempatan dana. d. Risiko Nilai Tukar (Currency Risk) Risiko nilai tukar merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari pergerakan yang memburuk atas nilai tukar mata uang berkenaan dengan
12
terjadinya mismatch antara receivables (tagihan) dan payables (kewajiban) valas. e. Risiko Pasar (Market Risk) Risiko pasar atau risk of capital loss berkaitan dengan terjadinya kerugian atas penanaman modal (capital loss) sebagai akibat dari terjadinya pergerakan harga pasar yang lebih buruk dibandingkan dengan berbagai alternatif penanaman investasi lainnya, seperti pada komoditas tertentu, saham di pasar modal, instrument dengan tingkat suku bunga yang tetap (fixed) atau penanaman pada dasar currency. f. Risiko Permodalan (Capital Adequacy Risk) Risiko modal berkaitan dengan keadaan dimana bank tidak memiliki permodalan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan operasional bank, termasuk jika bank tidak memenuhi kewajiban pemenuhan modal minimum sebagaimana dipersyaratkan oleh otoritas moneter. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia ada beberapa indikator utama dalam menilai kredit perbankan, yaitu : a. Rasio permodalan, yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR) Nilai CAR menunjukkan sejauh mana modal pemilik dapat menutupi aktiva berisiko. Rasio ini penting bagi pihak intern maupun ekstern perusahaan perbankan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mempertahankan
kecukupan
modal.
Ketetuan
besarnya
CAR
ditentukan minimum sebesar 8% berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 3/21/PBI/2001 yang menggambarkan bahwa
13
setiap 8 rupiah modal sendiri dapat menutupi 100 aktiva berisiko. Rasio CAR dihitung dengan formula berikut : CAR =
Modal sendiri x 100% Aktiva ter - timbang menurut resiko
b. Ratio aktiva produktif, yaitu Non Performing Loan (NPL) Rasio ini menggambarkan besarnya kredit bermasalah yang terjadi dalam satu periode. Semakin kecil nilai NPL maksimal sebesar 5% berdasarkan PBI nomor 3/25/PBI/2001 dimana setiap 100 rupiah total kredit yang diberikan terdapat maksimum 5 rupiah kredit yang bermasalah. Rasio NPL dihitung dengan formula berikut : NPL =
Kredit bermasalah × 100% Total Kredit yang diberikan
c. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) 1. PPAP adalah penyisihan yang wajib dibentuk oleh bank untuk menutup risiko kerugian. 2. Besarnya pembentukan PPAP sekurang-kurangnya adalah : a.
1% dari aktiva produktif yang digolongkan lancar.
b.
5% dari aktiva produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus
c.
15% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai.
14
d.
50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai.
e.
100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet yang masih tercatat dalam pembukuan BPR setelah dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai.
3. Ratio PPAP dihitung dengan rumus : PPAP =
2.6
PPAP yang telah dibentuk × 100% PPAP yang wajib dibentuk
Sekilas Mengenai Basel I The Bassel Committee on Banking Supervision didirikan tahun 1974 oleh Gubernur-Gubernur Bank Sentral dari Group of Ten (G10) untuk memberikan perhatian pada regulasi perbankan dan praktek-praktek otoritas perbankan. Basel Committee terdiri dari perwakilan Bank Sentral dan otoritas perbankan dari 11 anggota G10 ditambah Spanyol dan Luxemburg. Anggota dari Basel Commiittee terdiri dari Negara-negara berikut Belgia, Italia, Swiss, Luxemburg, Canada, Jepang, Inggris, Perancis, Belanda, Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Spanyol. Basel Committee mempunyai 3 sasaran utama dalam menciptakan Basel I Accord : -
Memperkuat kesehatan dan stabilitas sistem perbankan internasional
15
-
Menciptakan kerangka kerja yang seimbang untuk mengukur kecukupan modal dari bank yang aktif secara internasional.
-
Menerapkan kerangka kerja tersebut secara konsisten demi mengurangi ketidak setaraan kompetitif antar bank yang aktif secara internasional. Untuk memahami bagaimana Basel I Accord mencapai sasaran
utamanya, pembaca harus lebih dulu memahami konsep aktiva tertimbang menurut risiko Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Basel Committee menemukan sistem untuk membantu bank menentukan tingkat ATMR-nya. Sistem itu didasarkan pada konsep pembobotan risiko berdasarkan serangkaian faktor. Bobot risiko ini didasarkan pada risiko kredit relatif dari masing-masing kelas aktiva. Jadi menurut Basel I Accord, mortgage yang memiliki bobot risiko 50% dapat dikatakan memiliki tingkat risiko setengah dari kredit korporasi yang memiliki bobot risiko 100%. Basel I Accord menciptakan hubungan antara risiko dan modal. Hal ini dilakukan dengan cara menciptakan multiplier yang berbeda-beda, masingmasing untuk kredit kepada pemerintah, kredit kepada bank lain dan kredit perorangan serta kredit korporasi dan mengalikannya dengan target rasio modal. Menurut BSMR (2007, p. A54-A55), target rasio modal adalah rasio modal yang memenuhi syarat ATMR Bank Internasional. Basel Committee menetapkan target rasio modal minimum sebesar 8%. Tidak ada asumsi bahwa 8% harus diterapkan secara universal bagi semua bank di dalam yuridiksi sebuah otoritas perbankan. Committee secara spesifik mengizinkan hal ini dengan alasan bahwa rasio modal minimum bank
16
sesuai ketentuan (regulatory capital) haruslah juga mencerminkan risikorisiko selain risiko kredit. Risiko kredit adalah satu-satunya risiko yang secara spesifik dicakup dalam Basel I Accord. Pada Basel I, Committee tidak hanya menciptakan kerangka kerja pengukuran kecukupan modal namun juga kerangka kerja struktur permodalan bank yang sering disebut sebagai eligible capital. Basel Committee mempertimbangkan bahwa elemen inti dari eligible capital bagi suatu bank adalah modal saham (equity capital). Basel I seringkali dikritik secara tidak tepat dalam hal kurangnya sensitivitas terhadap risiko. Sensitivitas risiko merupakan hal yang fundamental dalam pemikiran Committee pada waktu mengembangkan Capital Accord yang pertama. Tingkat sensitivitas risiko mengalami peningkatan besar pada waktu Basel Committee menerbitkan ”Amandement to the Capital Accord to Incorporate Market Risks” pada bulan Januari 1996, yang selanjutnya dikenal sebagai Market Risk Amandement. Pada tahun 1999 Basel Committee mulai bekerjasama dengan bankbank besar dari negara-negara anggota untuk mengembangkan Capital Accord yang baru. Sasaran umumnya mencakup semua risiko perbankan di dalam rangka kerja kecukupan modal baru yang komprehensif. Accord baru itu dikenal dengan Basel II Jika dalam Basel I penghitungan permodalan sebesar 8% hanya memperhitungkan risiko kredit yang terkandung dalam portfolio aset
17
perbankan yang berpotensi merugikan bank, maka dalam Basel II Accord, penghitungan permodalan diperluas dengan memasukkan risiko operasional dan risiko pasar.
2.7
Sekilas Mengenai Basel II Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembagalembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional. Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan The 1988 Accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standard yang sederhana,
18
mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing- masing individu nasabah. Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang pernah ada dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar “The 1988 Accord” yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional. Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan
19
yang terjadi di pasar maupun perkembangan - perkembangan dalam manajemen risiko. Jika dilihat, Basel II memiliki berbagai kompleksitas dan prakondisi yang cukup berat bagi perbankan. Tetapi wajar jika melihat manfaat yang akan didapat perbankan nanti, berupa penghematan modal dalam menutup risiko yang diambilnya. Manfaat lain, karena Basel II merupakan standard yang diakui secara internasional, akan mudah bagi suatu bank yang akan beroperasi secara global untuk dapat diterima oleh pasar internasional, kalau mengikuti standard ini.
Gambar 2.1 Tiga Pillar pada Basel II Keterangan Gambar : 1. Pilar-1 Minimum Capital Requirement Basel II menghitung kebutuhan modal yang sesuai dengan profil risiko bank, serta memberikan insentif bagi peningkatan kualitas dalam praktek
20
manajemen risiko di perbankan. Menggunakan berbagai alternatif pendekatan dalam mengukur risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional, maka hasilnya adalah perhitungan modal bank yang lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive capital allocation). Dalam berbagai alternatif pendekatan di atas pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu : Standardized Approach yang berlaku untuk seluruh bank dan Internal Model yang dikembangkan secara internal sesuai dengan karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual bank. Komparasi di antara 2 pendekatan di atas, maka internal model secara umum diharapkan dapat menghasilkan perhitungan kebutuhan modal yang lebih tepat sesuai dengan risiko yang dihadapi oleh bank. Ini akan menjadi insentif bagi bank tersebut. Kondisi ini diharapkan menjadi pemicu bagi upaya berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas manajemen risiko sehingga pada saatnya dapat mengoptimalkan insentif yang dapat diperoleh dalam menghitung kebutuhan modal. 2. Pilar-2 Supervisiory Review Process : Dalam menilai kelayakan modal bank, maka selain alokasi modal berdasarkan Pilar-1 harus turut pula dihitung alokasi modal untuk antisipasi kerugian karena risiko-risiko lain seperti risiko likuiditas (liquidity risk), risiko strategis (strategic risk), risiko suku bunga di banking book (interest rate risk in the banking book) dan risiko-risiko lainnya. Selain itu diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas
21
pengawas yang didukung oleh perangkat ketentuan pengawasan sehingga pada waktunya dapat melakukan penilaian secara efektif atas risiko lain selain di Pilar-1 bahkan dapat meminta kesediaan bank untuk menambah modal apabila perhitungan modal bank tersebut dipandang belum memadai 3. Pilar-3 Market Diciplines : Peran aktif masyarakat dalam mengawasi bank dipandang menentukan juga sehingga dari awal masyarakat diharapkan mampu pula menilai risiko yang dihadapi serta mengetahui tingkat kecukupan modal yang dimiliki oleh bank
2.8
Perhitungan Resiko Kredit berdasarkan Basel Basel Committee telah menetapkan target capital ratio minimal sebesar 8% pada Basel I, pada Basel II capital minimum ratio tidak dirubah dan tetap dipertahankan. Capital ratio adalah perbandingan antara jumlah modal yang disediakan oleh bank terhadap kredit yang disalurkan. Pada Basel I besarnya nilai pada RWA ditentukan secara sederhana, sedangkan pada Basel II besaranya nilai pada RWA ditentukan dari beberapa variabel.
22
Rumus perhitungan modal yang harus disediakan bank : ASSET x RW = RWA RWA x 8% = Min. Capital Requirement Dimana : Asset = Nilai total dari asset RW = Bobot Resiko dari asset RWA = Nilai dari Asset yang beresiko Min. Capital Requirement = Modal minimal yang harus disediakan oleh bank
Model kredit dari kedua pendekatan tersebut harus mempunyai risk factors yang sama. Risk factors tersebut adalah: -
Probability of Default (PD)
-
Loss Given Default (LGD)
-
Exposure at Default (EAD)
-
Effective maturity (M)
-
Pinjaman
korporasi
berdasarkan
Basel
II
dibagi
kembali
berdasarkan ukuran dari perusahaan (S) yang diukur berdasarkan perputaran usahanya. Rumusan yang digunakan dalam perhitungan resiko kredit : Bobot Resiko = PD * EAD * LGD * M
23
Perlu diketahui bahwa hanya PD, LGD, dan EAD yang membutuhkan estimasi karena effective maturity dapat ditetapkan berdasarkan perjanjian kredit dan S (perputaran) didaptakan dari informasi mengenai debitur yang telah ada pada Bank.
2.9
Tiga Pendekatan Perhitungan Modal Resiko Kredit pada Basel II Menurut BSMR (2007, p. B3-B10), berdasarkan Basel II Accord terdapat 3 pendekatan untuk mengukur risiko kredit. Metodologi yang membedakan diantara ketiganya adalah pada tingkat kesulitannya. Pendekatan tersebut adalah:
2.9.1
•
Standardized Approach
•
Foundation Internal-Rating Based
•
Advance Internal-Rating Based
Standardized Approach Pendekatan ini telah dikembangkan pada Basel I. Risk Weighted Asset (RWA) digunakan sebagai dasar untuk menghasilkan suatu Persamaan nilai Asset (Asset Equivalent). Bobot risiko pada metode pendekatan Standardized Apporach (Risk Weight) diberikan untuk kelas asset. Berdasarkan Basel II, jika public credit grading tersedia dari lembaga rating, credit grade ini dapat dimasukkan dalam Standardized Approach.
24
Dalam hal ini Basel II memperbolehkan bobot risiko dihasilkan tergantung dari peringkat risiko yang dikeluarkan oleh lembaga rating tersebut. Namun demikian rating yang dikeluarkan oleh lembaga rating tersebut harus sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Basel Committee.
2.9.2
Internal-Rating Based Approach Dalam teori Internal Rating-Based Approach (IRB) dapat dipresentasikan dalam satu pendekatan. Namun demikian dalam prakteknya terdapat 2 pendekatan yang mempunyai beberapa fitur yang sama, tetapi diimplementasikan dengan cara yang berbeda. IRB Approach terbagi menjadi dua pendekatan: •
Foundation IRB approach
•
Advanced IRB approach
Perbedaan antara Foundation IRB dan Advanced IRB approach terletak pada ketentuan dalam pendugaan risk factor.
25
2.10 Tantangan untuk Implementasi Basel II 2.10.1
Standardized Approach Tidak semua debitur mempunyai rating, belum ada lembaga rating yang ditunjuk.
2.10.2
Minimum Requirements untuk IRB Approach Dalam penerapan IRB baik Foundation maupun Advanced Approach harus memenuhi 12 kriteria berikut ini: 1.
Komposisi dari minimum requirements
2.
Kepatuhan terhadap minimum requirements
3.
Design dari rating system yang digunakan
4.
Operasional risk rating system
5.
Corporate Governance & Oversight (pengawasan)
6.
Penggunaan dari internal ratings
7.
Kuantifikasi risiko
8.
Validasi atas estimasi yang dilakukan secara internal
9.
Estimasi LGD & EAD yang ditentukan oleh supervisor
10.
Ketentuan mengenai pengakuan atas Leasing
11.
Perhitungan capital charge atas equity exposures
12.
Ketentuan mengenai Disclosure
26
1. Komposisi minimum requirements Daftar tujuan minimal yang harus terpenuhi dalam penerapan IRB sistem. Ketentuan tersebut antara lain: •
Perbedaan yang jelas antara setiap risiko
•
Pendugaan secara kualitatif atas risiko secara akurat dan konsisten
•
Apakah sistem yang digunakan dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dalam proses pemberian pinjaman.
2. Kepatuhan terhadap minimum requirements Agar
memenuhi
ketentuan
kepatuhan
minimal
bank
harus
menunjukkan kepada pengawas Bank (BI) bahwa penerapan IRBnya telah memenuhi seluruh kriteria IRB approach.
3. Design dari Rating System Bank harus menggunakan satu rating sistem dengan fitur model / design harus mencakup: a. Dimensi rating Dimensi kriteria rating harus memungkinkan rating system untuk dapat membedakan antara risiko debitur wan prestasi (borrower
default)
dan
faktor
spesifik
transaksional (misal agunan, tipe produk).
yang
bersifat
27
b. Eksposur ritel Bank harus sekurang-kurangnya mempertimbangkan berbagai pemicu risiko berikut ini ketika mengalokasikan eksposur pada suatu kelompok asset tertentu: •
Karakteristik risiko peminjam (misalnya jenis peminjam, demografi seperti usia/pekerjaan)
•
Karakteristik risiko transaksi, termasuk jenis produk dan/atau agunan (misalnya perhitungan loan to value, musiman, garansi, dan senioritas (hak tagih pertama vs hak tagih kedua).
•
Eksposur
tunggakan:
Bank
diharapkan
untuk
mengidentifikasi secara terpisah eksposur yang menunggak dan yang tidak menunggak. c. Struktur rating Dalam IRB model, bank harus memiliki minimal 8 peringkat risiko, minimal tujuh peringkat debitur untuk peminjam yang pinjamannya tidak default, dan satu peringkat bagi peminjam yang default. Setiap peringkat harus dideskripsikan dengan jelas. Bank juga harus memperhatikan jika debitur tergabung (“bunched”) dalam satu peringkat. Dalam hal ini rating sistem harus dapat membedakan dalam satu peringkat tersebut, dan
28
akan secara efektif menghasilkan system yang lebih terpisahpisah. d. Kriteria rating Berdasarkan IRB approach, ketentuan mengenai definisi kriteria peringkat harus: • Definisi dan kriteria peringkat harus masuk akal dan sesuai intuisi serta menghasilkan suatu pengelompokan risiko secara jelas. • Pemberian peringkat yang konsisten • Secara jelas memungkinkan pihak ketiga (auditor dan supervisor) untuk memahami dan menggunakan peringkat tersebut. • Konsisten dengan kebijakan dan prosedur perkreditan dalam hal penanganan debitur bermasalah • Menggunakan informasi yang terkini dan menyeluruh mengenai debitur. e. Jangka waktu rating Basel Committee menekankan pentingnya penggunaan time horizon untuk menentukan credit grade debitur yang lebih dari 1 tahun time horizon yang biasanya dihasilkan oleh credit models dan digunakan dalam estimasi probability of default. Dengan pengecualian pada eksposur ritel dimana jangka waktu
29
pinjaman biayanya jangka pendek, bank tidak diperbolehkan untuk menggunakan estimasi PD berdasarkan pada satu 1 tahun time horizon untuk menetapkan bobot risiko dalam perhitungan modalnya. Persyaratan kredit bank serta kesulitan untuk
menghapusbukukan
pinjaman
dari
neraca
pada
umumnya menjadikan penggunaan time horizon yang lebih panjang suatu keharusan. Untuk mendapatkan time horizon ini, maka bank harus menggunakan rata-rata dari one-year PD jangka panjang. Penggunaan time horizon yang lebih panjang mengikuti cara yang digunakan oleh lembaga rating bond, misalnya Moody’s dan S&P. Lembaga ini menggunakan peringkat sebagai bahan pertimbangan dalam menilai kemampuan perusahaan yang dirating untuk mengembalikan kewajibannya dalam berbagai kondisi ekonomi. Tidak terdapat definisi khusus mengenai rata-rata jangka panjang (long-term) pada Basel II oleh karenanya diserahkan kepada masing-masing supervisor yang menentukan hal ini. Namun demikian untuk memverifikasi PD, bank harus menggunakan paling tidak 5 tahun data. f. Penggunaan model Basel Committee menekankan bahwa disamping penggunaan model statistik murni dapat digunakan untuk melakukan
30
estimasi PD, LGD, dan EAD, pertimbangan analis dan pengawasan juga tidak kalah penting khususnya untuk jenis dan kualitas data yang dimasukkan maupun tidak dimasukkan ke dalam model. Penggunaan seluruh model harus melalui proses verifikasi terlebih dahulu. g. Dokumentasi Dokumentasi, Proses dan Prosedur rating system merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam pendekatan IRB. Dokumentasi ini harus mencakup beberapa hal berikut ini: •
Setiap perubahan dalam model
•
Hasil dari supervisory review, dan
•
Metodologi, konstruksi dan validasi model.
4. Operational Risk Rating System Cakupan Rating Grading system IRB rating harus mencakup criteria corporate, sovereign, debitur, dan penjamin. Integritas dari proses rating harus di-maintain dengan memastikan bahwa grading telah dikaji ulang paling tidak setiap tahun sekali, lebih jauh bank harus dapat memasukkan / mengkinikan informasi baru mengenai debitur ke dalam grading system setiap saat. Terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa setiap keputusan untuk memberi atau menolak
31
(melakukan
override)
hasil
grading
dari
model
harus
didokumentasikan. Basel committee menekankan pentingnya me-maintain data dan menggunakannya dalam evaluasi dan backtest atas seluruh aspek yang digunakan dalam model (PD, LGD, EAD). Criteria ini diterapkan juga pada pendekatan IRB Foundation dimana seluruh komponen kecuali PD ditetapkan oleh supervisor. Bank juga diharuskan untuk mengembangkan “stress testing” atas modelnya untuk melihat proyeksi dari kecukupan modal bank (capital adequacy). Stress test ini harus mendapatkan persetujuan dari supervisor dan meliput dampak dari: - kondisi ekonomi yang memburuk - market risk events - kondisi likuiditas.
5. Corporate Governance dan Oversight Corporate Governance mengharuskan: - Seluruh aspek dari proses rating telah disetujui oleh direksi atau oleh sub komite. - Direksi atau anggota komite harus memiliki pemahaman yang sama risk rating system bank dan pemahaman mengenai pelaporan manajemen.
32
- Senior management harus mempunyai pemahaman yang baik mengenai design dan operasional dari rating system. - Manager bertanggung jawab atas fungsi credit control harus mengadakan pertemuan secara periodic untuk mendiskusikan kinerja dari sistem. Laporan credit risk harus mencakup informasi berikut ini: - Profil risiko per credit grade - Migrasi perusahaan antar credit grades - Estimasi parameter untuk setiap credit grades - Perbandingan antara realisasi PD, LGD dan EAD dengan estimasinya - Data default secara historis berdasarkan rating per waktu default dan 1 tahun sebelum default. Credit Risk Control Kriteria yang digunakan untuk menggunakan pendekatan IRB mengharuskan bank untuk membentuk unit credit risk control yang bertanggung jawab terhadap credit system. Control unit ini harus independent dari unit yang bertanggung jawab atas usulan eksposur kredit. Credit risk control unit harus mempunyai tanggung jawab untuk: - uji coba dan monitoring grades - pembuatan dan analisa laporan
33
- menjaga prosedur yang independent untuk memverifikasi definisi rating dan konsistensi dengan pelaksanaannya. - Kaji ulang dan dokumentasi seluruh perubahan dalam system Penggunaan Internal Rating Basel committee menetapkan bahwa internal rating serta estimasi default dan estimasi kerugian harus memberikan peran penting dalam: - Persetujuan kredit - Risk management - Capital allocation internal - Fungsi corporate governance Kriteria IRB memahami bahwa pricing atas setiap transaksi individual dapat dimasukkan ke dalam estimasi parameter tertentu, misalnya PD atau LGD, yang berbeda dari yang digunakan untuk tujuan pelaporan pada Basel II Accord. Bagi
bank
untuk
mengadopsi
IRB
approach,
harus
dapat
menunjukkan bahwa bank telah menggunakan IRB sistem dengan benar paling tidak selama 3 tahun. Oleh karenanya bank yang memenuhi IRB Foundation Approach harus telah melakukan estimasi PD paling sedikit selama 3 tahun, sementara untuk IRB Advanced Approach juga harus mengestimasikan LGD dan EAD paling sedikit selama 3 tahun.
34
2.11 Karakteristik Standardized Approach Menurut BSMR (2007, p. B21-B28), Standardized Approach adalah versi lanjutan dari Pendekatan Basel I untuk meciptakan necara berdasarkan ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Risiko). Standardized Approach yang terdapat dalam Basel II menciptakan bobot risiko yang sama seperti Basel I namun bobot risiko ini dapat digunakan untuk merubah nilai nominal asset ke dalam nilai ATMR untuk perhitungan modal. Pada Basel I bobot risiko didasarkan pada jenis debiturnya (mis. Korporasi atau OECD bank) dan jenis instrumen (misal : Pinjaman, Jaminan dll) yang diketahui dalam penggolongan kelas asset. Bobot risiko yang digunakan adalah 0%, 20%, 50%, 100%. Kekurangan dari Basel I terdapat dalam list berikut :
35
Table 2.1 Versi Kelompok Asset dan Bobot Rresiko yang terdapat dalam Basel I Kelompok Asset
Bobot Resiko %
Kas
0
Pemerintah negara-negara OECD
0
Tagihan dijamin oleh Negara-negara OECD
0
Domestic dan OECD public sector and local goverment Antar Bank (OECD) dan bank-bank pembangunan international
0 to 50
20
Pemerintah Non-OECD
100
Bank non – OECD < 1 tahun
20
Bank non – OECD > 1 tahun
100
Korporasi dan unsecured personal debt
100
Mortgage on residential property
50
Pendekatan Basel II secara fundamental sangat berbeda. Selain untuk menciptakan sensitivitas yang cukup besar terhadap risiko dalam Standardised Approach, Basel II juga membuat kerangka (grid) berdasarkan pinjaman yang diberikan kepada debitur dimana bobot risikonya berhubungan dengan peringkat kredit umum kepada debitur, meskipun masih mengacu pada kelas asset. Hal ini dapat dilihat dari cara pemeringkatan kredit untuk kelas asset yang berbeda yang menghasilkan bobot risiko yang berbeda pula.
36
Kerangka (grids) bobot risko Basel II ditampilkan dalam tabel berikut : Table 2.2 Tagihan kepada sovereigns Peringkat (credit assessment) Bobot risiko
AAA s.d. AA% 0
A+ s.d. A% 20
BBB+ s.d. BBB% 50
BB+ s.d. B-
Dibawah B- dan default % 150
% 100
Tidak ada peringkat % 100
Tabel 2.3 Tagihan kepada bank berdasarkan Option 1 Peringkat (credit assessment sovereign) Bobot risiko
AAA s.d. AA-
A+ s.d. A-
% 20
% 50
BBB+ s.d. BBB% 100
BB+ s.d. B-
Dibawah B- dan default % 150
% 100
Tidak ada peringkat % 100
Tabel 2.4 Tagihan kepada bank berdasarkan Option 2 Peringkat (credit assessment bank) Bobot risiko beerdasarkan Option 2 < tiga bulan Bobot risiko beerdasarkan Option 2 > tiga bulan
AAA s.d. AA%
A+ s.d. A%
BBB+ s.d. BBB%
BB+ s.d. B%
Dibawah Bdan default %
20
20
20
50
150
20
20
50
50
100
150
50
Tabel 2.5 Tagihan kepada corporates Peringkat (credit assessment) Bobot risiko
AAA s.d. AA% 20
A+ s.d. A% 50
BBB+ s.d. BB% 100
Dibawah BB% 150
Tidak ada peringkat % 100
Tidak ada peringkat %
37
Sebagai tambahan, Basel II menggunakan bobot risiko untuk produk retail sebagai berikut : Residential Mortgages (KPR)
35%
Other retail
75%
Contoh : Bank H meminjamkan USD 3 juta untuk debitur korporasi. Debitur korporasi ini memiliki peringkat A+ sampai A-. Dengan menggunakan Basel II Standardized Approach pinjaman ini dikonversikan menjadi ATMR. Risk-weight asset = USD 3 juta X 50% = USD 1.5 juta
Setiap pembuatan ATMR untuk neraca, modal untuk risiko kredit juga harus dihitung dengan memasukkan ratio modal sebagai pengali. Sehingga : Modal untuk risiko kredit = ATMR X Ratio Modal Minimum rasio modal dalam Basel I adalah 8% masih digunakan dalam Basel II terlihat dalam contoh berikut :
Contoh : Minimum modal untuk risiko kredit yang disarankan kepada Bank H untuk pinjaman debitur korporasi adalah : Loan advanced = USD 3 juta Bobot Risiko = 50% ATMR = USD 1.5 juta Minimum modal yang harus dipenuhi = USD 120,000 (1.5m x 8%) Jika jumlah peringkat yang tersedia terbatas, maka prakteknya kerangka Basel II sama dengan Basel I. Kebanyakan kredit eksposur akan diturunkan
38
menjadi kategori yang tidak diperingkat (unrated category) dan bobot risikonya mengacu pada kelas aset dalam Basel I. Tidak hanya dipasar yang sedang berkembang (emerging markets) dimana banyak terdapat debitur korporasi yang belum memiliki peringkat kredit. Contohnya, diawal tahun 2005 hanya ada sekitar 100 perusahaan Jerman yang baru diperingkat. Harus diingat bahwa banyaknya peringkat corporate dan sovereign bonds dipengaruhi oleh fitur dari bonds itu sendiri. Misalnya Peringkat bonds dikeluarkan oleh penerbit yang sama bisa berbeda karena beberapa factor seperti legal covenants, persetujuan dan bahkan security backing-nya. Fiturfitur tersebut harus disesuaikan saat menggunakan peringkat kredit eksternal untuk pinjaman yang diberikan kepada perusahaan yang unsecured.
2.11.1
Rating Agency Criteria Peringkat umum untuk hutang debitur sovereign, bank dan perusahaan didominasi oleh 3 agen pemeringkat yaitu : Moody’s Investors Service, Standard & Poor’s, dan Fitch Ratings. Basel II akan memenuhi permintaan tambahan untuk jasa agen pemeringkat oleh karena itu harus ada kriteria yang jelas yang dapat diterima sebelum agen pemeringkat kredit dapat diterima dalam Basel II.
39
Basel II Accord menggunakan 6 kriteria untuk External Credit Assessment Institution (ECAI) – agen pemeringkat – untuk memastikan kelengkapan persyaratannya. Kriteria tersebut adalah : •
Objectivity – ketegasan teknik analisa yang digunakan.
•
Independence – memastikan bahwa lembaga tersebut bebas dari tekanan ekonomi dan politik.
•
Transparency – ketersediaan metode rating dan besaran penilaian
•
Disclosure – keterbukaan faktor-faktor teknis seperti definisi default, penilaian jangka waktu
•
Resources – Kecukupan pengalaman dan informasi untuk menjamin bahwa penilaian yang dilakukan sudah benar
•
Credibility – dari sudut pandang internal untuk kriteria penilaian tingkat kredit, dari sudut pandang eksternal dapat diterima secara luas dan peringkatnya digunakan. Moody’s Investors Service, Standard & Poor’s, dan Fitch Ratings
telah memenuhi kriteria ini dan hal ini harus juga diikuti oleh agen lainnya. Basel II memperbolehkan secara khusus untuk penggunaan penilaian oleh Export Credit Agencies (ECA) untuk peringkat claims on sovereign entities. Metode risk-scoring yang digunakan harus sama dengan kriteria yang ditetapkan oleh OECD. Bank dapat menggunakan
40
penilaian peringkat ECA yang diakui oleh pengawas bank atau kesepakatan penilaian peringkat dari seluruh ECA yang berparticipasi dalam “Arrangement of Officially Supported Export Credits”. Dengan ketentuan accord yang ada, sangat kecil kemungkinan di beberapa Negara pemeringkatan tersedia dalam jumlah yang cukup untuk dapat menerapkan Standardized Approach untuk melakukan rating atas hutang korporasi. Ratings yang tersedia bagi perusahaan besar yang telah masuk mengeluarkan obligasi. Pemeringkatan ini digunakan dalam metode IRB Foundation Approach bagi bank yang ingin menggunakan pendekatan yang lebih Risk Sensitive dalam aktivitas lending-nya. Perbedaan utama pada Standardized Approach dalam Basel I dan Basel II adalah sebagai berikut: 1. Tagihan kepada Pemerintah Basel II menjadwalkan sovereign grades akan di sesuaikan pada beberapa negara. Berdasarkan diskresi nasional, bobot risiko yang lebih rendah (mendekati 0%) dapat dipergunakan pada eksposure bank kepada pemerintahnya atau bank sentral. Untuk penggunaannya bobot risiko atas eksposur tersebut harus dalam mata uang domestik begitu juga untuk pendanaannya. Claims on banks (Tagihan terhadap Bank) Dalam Basel II Standardized Approach, terdapat dua pendekatan untuk menghitung bobot risiko terhadap tagihan bank ke bank lain (lihat tabel 6.3 dan 6.4). Dikatakan “Option 2“ karena menggambarkan pendekatan untuk bobot risiko korporasi data dapat merefleksikan
41
peringkat external dari bank. Namun, pada kasus dimana bank yang belum diperingkat bobot risikonya 100% diberlakukan dimana akan menimbulkan kesulitan untuk memberikan pinjaman kepada bank kecil yang belum di peringkat. Di lain pihak, dalam Basel I memberikan pinjaman kepada bank yang termasuk OECD bobot risikonya adalah 20%. Untuk mengatasi masalah ini Basel II Accord memperbolehkan menggunakan pendekatan “Option 1”. Opsi ini mengharuskan tagihan kepada bank dilakukan rating masuk dalam satu kategori dibawah sovereign dimana bank berdomisili. Supervisor lokal akan menentukan opsi yang mana yang akan diterapkan pada wilayah yurisdiksinya. 2. Tagihan kepada Korporasi Tabel 6.5 menunjukkan Basel II Standardised Approach dapat mempengaruhi pinjaman korporasi apabila peringkat kreditnya tersedia. Namun, kekurangan peringkat kredit di banyak negara akan berarti bagi beberapa bank bahwa Pendekatan Basel II yang baru hanya merupakan pengembangan dari Basel I. Namun demikian, satu pengembangan terbesar pada Basel II dihasilkan dari kenyataan bahwa banyak obligasi korporasi dijamin dengan commercial real estate. Dalam hal ini, berdasarkan Basel II Standardized Approach memungkinkan bagi supervisor untuk mengurangi bobot risiko hingga 50% dengan beberapa syarat harus dipenuhi.
42
3. Tagihan kepada Perusahaan Sekuritas Dalam kerangka Basel II tagihan untuk perusahaan sekuritas (securities firm) dapat diperlakukan sama seperti tagihan terhadap bank atau tagihan terhadap perusahaan sepanjang perusahaan sekuritas tersebut tunduk pada mekanisme pengaturan dan pengawasan seperti yang diatur dalam Basel II, termasuk persyaratan modal berbasis risiko (risk-based capital), maka tagihan diperlakukan seperti tagihan terhadap bank. Bila tidak maka diperlakukan seperti tagihan terhadap perusahaan. 4. Tagihan kepada Usaha Retail Menggunakan Basel II Standardized Approach dapat berpengaruh secara signifikan terhadap eksposur retail & small busiess. Eksposur ini diberi bobot 75% berdasarkan Basel II, berdasarkan Basel I diberi bobot 100%. Basel II menyebut eksposur ini sebagai “claims included in a regulatory retail portfolio” atau “tagihan termasuk dalam regulatory retail portfolio”. Namun demikian, terdapat beberapa pembatasan pada penggunaan bobot risiko portofolio retail untuk mencover beberapa jenis eksposur tertentu, seperti pinjaman yang dapat diperpanjang (revolving credits) dan pinjaman perseorangan jangka panjang. Oleh karenanya Basel II mengeluarkan beberapa jenis pinjaman yang dapat digunkan oleh pedagang tunggal (sole trader) dan usaha kecil.
43
Terdapat juga pembatasan pada eksposur retail secara agregat kepada satu customer. Tidak boleh melebihi EUR 1 juta, yang sekali lagi akan berdampak pada usaha kecil. Namun demikian, terbukti sulit untuk menilai risiko eksposur retail secara kontinyu maupun periodic terutama pada bank yang kompleks dengan system informasi yang belum terintegrasi/terpusat. Bobot risiko sebesar 75% bagi regulatory retail portfolio menunjukkan bahwa eksposur ini eksposur yang mewakili jumlah eksposur dengan nilai yang kecil-kecil dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya kecenderungan jumlah eksposur ini yang bermasalah terbukti kecil dan biasanya sangat bergantung pada kondisi ekonomi makro. Misalnya tingkat suku bunga dan tingkat pengangguran. 5. Tagihan kepada Property Pinjaman yang sepenuhnya beragun rumah tinggal diperlakukan secara berbeda dalam Basel II. Pada Basel I bobot risiko adalah 50% sementara dalam Basel II dikurangi menjadi 35%. Pengurangan ini bergantung pada pinjaman yang dijamin oleh property yang dimiliki untuk ditempati atau disewakan kepada orang lain oleh debitur. Pengurangan bobot risiko menunjukkan tingginya kualitas jaminan dan
kualitas
kepemilikan
property
yang
dijaminkan
untuk
pinjamannya. Jika pinjaman dijamin dengan adanya hak bagi bank untuk mengambil alih jaminan apabila terjadi wan prestasi maka ada
44
dua sumber pengembalian yang salah satunya berasal dari asset yang dijaminkan. 6. Kredit Macet Tabel Basel II Standardised Approach menunjukkan bahwa peringkat counterparties yang berada di bawah B- bobot risikonya adalah 150%. Untuk pinjaman semacam ini ditentukan oleh agen pemeringkat utama sebagai obligasi spekulatif karena kemampuan untuk membayar pokok dan bunga pinjamannya. Biasanya, pinjaman semacam ini cenderung untuk menjadi default, yang
menimbulkan
pertanyaan
bagi
bank
apakah
telah
mengalokasikan sejumlah modal untuk menutup kewajiban ini, dan / atau bunga serta pokok pinjamannya secara penuh. Proses pengalokasian modal atas kemungkinan bad debts ini dikenal sebagai Pencadangan khusus atau Specific provision. Berdasarkan Basel II bobot risiko sebesar 150% harus diterapkan jika •
Specific provision yang telah dialokasikan atas pinjaman tersebut,
•
Baik pembayaran pokok maupun bunga pinjaman telah menunggak selama lebih dari 90 hari.
Bobot risiko dapat diturunkan dengan pengalokasian specific provision atas pinjaman tersebut. Bobot risiko dapat diturunkan hingga 100% jika masing-masing specific provision lebih besar dari 20% dari jumlah saldo pinjaman. Bobot risiko dapat diturunkan hingga 50% jika
45
specific provision telah dialokasikan lebih dari 50% dari jumlah saldo pinjaman. Kemungkinan berdasarkan
pengurangan Basel
II
bobot
dengan
risiko
dasar
yang
bahwa
diperbolehkan
bank
seringkali
mengharapkan beberapa tagihan yang dapat diselamatkan (recovery) atas pinjaman bermasalah tersebut. Jumlah dari pinjaman dimana bank gagal untuk menyelamatkannya dikenal sebagai Loss Given Default (LGD). Fitur ini digunakan pada IRB approach. 7. Komponen Off-balance sheet Perlakuan Basel II Accord terhadap item dalam off-balance sheet hampir sama dengan Basel I. Dalam Standardised Approach Basel II, item dalam offbalance sheet dikonversikan menjadi credit exposure equivalent (loan equivalent) melalui penggunaan conversion factor (CF).
46
Tabel 2.6 List Utama Instrument Off-balance Sheet dengan Conversion factors Basel I Off-balance sheet item (pos administrative)
CF %
Direct credit substitutes (contoh : guarantees)
100
Certain transaction-related contingent items
50
Short-term self-liquidating trade-related contingencies
20
Sale and repurchase agreements and asset sales with
100
recourse, where the credit risk remains with the bank Forward asset purchases, forward-forward deposits and
100
partly paid shares and securities which represent commitments with certain draw downs Note issuance facilities and revolving underwriting facilities
50
Other commitments with an original maturity of over one
50
year Similar commitments with an original maturity of up to one
0
year, or which can be unconditionally cancelled at any time. Perbedaan utama dalam Basel II untuk CF adalah : •
Komitmen tanpa syarat = 0
•
Komitmen sampai dengan 1 tahun = 20%
•
Komitmen lebih dari 1 tahun = 50%
•
Bobot dari komitmen yang lebih rendah (lihat tabel) atau bobot dari offbalance sheet ( misalnya : jaminan)
•
Securities lending (termasuk pinjaman sebagai jaminan) = 100%
•
L/C (sebagai issuing atau conforming bank) = 20%