BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
SIPOC Diagram SIPOC merupakan salah satu cara untuk mengetahui urutan informasi proses pada organisasi tingkat tinggi dengan metode yang terstruktur (Khekale, Chatpalliwar, & Thakur, 2010, p. 3689).
SIPOC merupakan
singkatan dari Suppliers, Inputs, Process, Outputs dan Customers. Kriteria dari SIPOC dijabarkan sebagai berikut: Tabel 2.1 Deskripsi Elemen SIPOC Elemen
Deskripsi
Suppliers
Pemasok dari proses yang dibuat
Inputs
Masukan sebelum tahapan proses
Process
Proses yang berlangsung
Outputs
Hasil dari proses
Customers
Bagian yang menerima hasil dari proses
Sumber: (Khekale, Chatpalliwar, & Thakur, 2010, p. 3689)
SIPOC digunakan untuk memahami setiap langkah proses dan korelasi antar proses (Khekale, Chatpalliwar, & Thakur, 2010, p. 3689).
Sumber: (Kemper, Koning, Luijben, & Does, 2011, p. 304)
Gambar 2.1 SIPOC Diagram
2.2
Diagram Pareto Diagram Pareto merupakan grafik yang memuat urutan klasifikasi suatu data mulai dari urutan yang terbesar hingga yang terkecil, dimulai dari kiri ke kanan (Besterfield, Besterfield-Michna, Besterfield, & BesterfieldSacre, 2003, p. 461).
7 Diagram Pareto merupakan salah satu tool dalam Seven Tools of Quality. Diagram Pareto digunakan untuk mengetahui hasil prioritas serta hubungannya pada suatu masalah serta untuk memisahkan masalah besar dan kecil menurut prioritasnya (Shahin, Arabzad, & Ghorbani, 2010, p. 189). Karena dari hasil Diagram Pareto, 80% dari total keseluruhan dari grafik yang menjadi masalah prioritas. Adapun langkah dalam pembuatan Diagram Pareto adalah sebagai berikut (Besterfield, Besterfield-Michna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, pp. 462-463): 1. Menentukan tipe klasifikasi data (misal: masalah, penyebab, dan lainlain). 2. Memutuskan frekuensi yang digunakan untuk digunakan dalam mengurutkan data. 3. Mengumpulkan data dalam jangka waktu tertentu. 4. Mengurutkan data yang sudah dikumpulkan berdasarkan kategori dari data terbesar sampai dengan data terkecil. Diagram Pareto merupakan quality tools yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas secara terus menerus (continuous improvement) serta menjadi tolok ukur dari perubahan yang dilakukan (Besterfield, BesterfieldMichna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, p. 463).
Sumber: (Fouad & Mukattash, 2010, p. 695)
Gambar 2.2 Diagram Pareto
8 2.3
Ishikawa Chart Ishikawa Chart pertama kali dikenalkan oleh Kaoru Ishikawa pada awal 1940-an yang digunakan untuk membantu meningkatkan produktivitas pada perusahaan Kawasaki (Bilsel & Lin, 2012, p. 138). Ishikawa Chart atau disebut juga fishbone diagram atau cause-effect diagram merupakan salah satu tool yang efektif untuk mengidentifikasi masalah (Bilsel & Lin, 2012, p. 137). Dengan tulang utama (main bone) yang menggambarkan masalah utama dimana tersambung dengan tulang-tulang lainnya yang menggambarkan penyebab permasalahan tersebut (Bilsel & Lin, 2012, p. 137). Ishikawa Chart memiliki kegunaan yaitu untuk mengidentifikasi penyebab permasalahan yang terjadi, untuk mengkategorikan dan mengatur penyebab potensial di berbagai jenis kategori, dan untuk mengidentfikasi variabel kontrol tanpa mengurangi dampak yang akan timbul (Shahin, Arabzad, & Ghorbani, 2010, p. 190).
Sumber: (Bilsel & Lin, 2012, p. 138)
Gambar 2.3 Ishikawa Chart
2.4
Cost of Quality Cost of Quality (COQ) adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memuaskan kebutuhan pelanggan (Wu, Chien, Lin, & Yang, 2011). Klasifikasi dari COQ dirumuskan pertama kali oleh Juran (1951) dan quality guru Feigenbaum (1956) (Ali, Zin, Hamid, & Ayub, 2010, p. 30).
9 Adapun kategori dalam COQ digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Sumber: (V.P. & Sankaranarayanan, 2008, p. 3)
Gambar 2.4 Klasifikasi Cost of Quality dari bagan di atas, penjelasan dari masing-masing kategori adalah sebagai berikut: 1.
Prevention Cost, yaitu segala biaya yang dikeluarkan untuk aktivitasaktivitas yang berkaitan dengan tindakan pencegahan untuk meminimasi biaya perbaikan seperti biaya untuk melakukan pelatihan karyawan, perencanaan kualitas, dan lain-lain (Jaju & Lakhe, 2009, p. 546). Berikut yang termasuk ke dalam prevention cost (Besterfield, Besterfield-Michna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, p. 175): a. Biaya pemasaran b. Pengembangan desain dan konsep produk c. Pembelian material bahan baku d. Biaya operasional e. Biaya administrasi Rumus yang digunakan untuk perhitungan biaya ini adalah sebagai berikut (Suthummanon & Sirivongpaisal, 2011, p. 4):
Keterangan: P
: Prevention cost atau biaya preventif
PM
: Prevention cost untuk material
PM/C : Prevention cost untuk mesin PL
: Prevention cost untuk tenaga kerja
PO
: Prevention cost lainnya
2. Appraisal Cost, yaitu segala biaya yang dikeluarkan untuk mendeteksi error dan mengevaluasi kualitas proses produksi yang berjalan (Ali, Zin, Hamid, & Ayub, 2010, p. 31). Hal-hal yang termasuk ke dalam biaya ini
10 adalah (Besterfield, Besterfield-Michna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, p. 176): a. Purchasing Appraisal Costs b. Operation (Manufacturing or Service) Appraisal Costs c. External Appraisal Costs d. Review of Test and Inspection Data e. Miscellaneous Quality Evaluations Rumus yang digunakan untuk perhitungan biaya ini adalah sebagai berikut (Suthummanon & Sirivongpaisal, 2011, p. 5):
Keterangan: A
: Appraisal cost
AM : Appraisal cost untuk material AM/C : Appraisal cost untuk mesin AL
: Appraisal cost untuk tenaga kerja
AO
: Appraisal cost lainnya
3. Failure Cost, dibagi dua yaitu: a. Internal Failure, yaitu biaya yang dikeluarkan karena produk yang akan dikirim ke konsumen tidak memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan (Sower, Quarles, & Broussard, 2007).
Rumus yang
digunakan untuk perhitungan biaya ini adalah sebagai berikut (Suthummanon & Sirivongpaisal, 2011, p. 5):
Keterangan: IF
: Internal Failure cost
IFM : Internal Failure cost untuk material IFM/C : Internal Failure cost untuk mesin IFL : Internal Failure cost untuk tenaga kerja IFO : Internal Failure cost lainnya b. External Failure, yaitu biaya yang dikeluarkan karena adanya perbaikan produk yang diklaim oleh konsumen setelah dilakukan pengiriman (Sower, Quarles, & Broussard, 2007, p. 124). Rumus yang
11 digunakan untuk perhitungan biaya ini adalah sebagai berikut (Suthummanon & Sirivongpaisal, 2011, p. 5):
Keterangan: EF
: External Failure cost
EFM : External Failure cost untuk material EFM/C: External Failure cost untuk mesin EFL
: External Failure cost untuk tenaga kerja
EFO : External Failure cost lainnya Sehingga, besar biaya kualitas atau Cost of Quality (COQ) dapat dirumuskan sebagai berikut:
COQ digunakan untuk menentukan strategi manajemen untuk peningkatan kualitas, kepuasaan pelanggan serta peningkatan profit yang diperoleh perusahaan (Besterfield, Besterfield-Michna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, p. 173). Semakin tinggi COQ yang dihasilkan, maka sistem manajemen semakin tidak efektif. Adapun keuntungan-keuntungan lain yang didapat dari sistem COQ yang terintegrasi adalah (Uyar, 2008, p. 606): 1. Data-data yang berkaitan dengan kualitas lebih mudah diterima karena sudah terlebih dahulu dikumpulkan dan dianalisis oleh bagian keuangan. 2. Dari hasil COQ dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk investasi yang akan diterapkan. 3. Dari hasil COQ dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih investasi berkaitan dengan segala aktivitas pencegahan. 4. Sistem COQ dapat digunakan untuk mengembangkan performa perusahaan dan tolok ukur untuk kepuasaan pelanggan, produksi serta desain untuk menetapkan target biaya yang lebih baik. 5. Meningkatkan
return
on
investment
(ROI)
perusahaan
karena
berkurangnya biaya yang harus dikeluarkan. Dari COQ, dapat dianalisis strategi yang cocok untuk diterapkan untuk peningkatan kualitas (quality improvement) dengan melihat penyebab
12 utama permasalahan, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dimana biaya pencegahan lebih rendah daripada biaya perbaikan. 2.5
Analytical Hierarchy Process Analytical
Hierarchy Process atau
Proses Hierarki Analitik
dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an untuk mengorganisasikan
informasi
dan
pemilihan
alternatif
yang
paling
diprioritaskan (Marimin, 2004, p. 76). Analytical Hierarchy Process merupakan teknik pengambilan keputusan dari multi kriteria yang dapat membantu pengambilan keputusan secara umum dengan melakukan dekomposisi dari permasalahan yang rumit ke dalam tingkatan hierarki secara objektif (Ali Görener, 2012, p. 195). Metode ini merupakan tools yang digunakan, jika dibandingkan dengan ANP (Analytical Network Process), ANP lebih dikhususkan untuk pengambilan keputusan yang tidak bisa disusun secara hierarki karena antar kriteria memiliki interaksi dan keterkaitan dengan elemen kriteria lainnya, metode ini lebih cocok digunakan untuk jenis pengambilan keputusan untuk produk-produk otomasi atau penyusunan strategi bisnis (Ali Görener, 2012, hal. 197). Analytical Hierarchy Process sangat berguna untuk digunakan dalam pengambilan keputusan secara kompleks dengan membandingkan elemenelemen yang sulit diukur (Kabir & Hasin, 2011, p. 3). Adapun skala prioritas yang digunakan dalam menilai kriteria dalam dekomposisi permasalahan adalah sebagai berikut: Prinsip dasar kerja Analytical Hierarchy Process adalah sebagai berikut (Marimin, 2004, pp. 78-79): 1. Penyusunan Hierarki, yaitu pembuatan diagram yang meliputi persoalan atau keputusan yang akan diambil yang diuraikan menjadi elemen-eleen yang meliputi alternatif dan kriteria. 2. Penilaian kriteria dan alternatif, yaitu penilaian yang dilakukan dengan membandingkan antara dua kriteria dengan nilai skala kepentingan yang berbeda-beda. Adapun skala kepentingan yang digunakan dalam menilai kriteria dalam dekomposisi permasalahan adalah sebagai berikut:
13
Tabel 2.2 Penilaian Skala Kepentingan Intensity of Importance
Definition
1
Equal importance
3
Moderate importance
5
Strong importance
7
Very strong
9
Extreme importance
2,4,6,8
For compromise between the above values
Sumber: (Chakraborty, Ghosh, & Dan, 2011, p. 172)
3. Penentuan prioritas, yaitu melakukan prioritas untuk setiap alternatif dan kriteria dan perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) yang dapat dinilai dengan judgement
yang kemudian
diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. 4. Konsistensi logis, yaitu pengelompokkan semua elemen secara logis dan diperingkatkan secara konsisten. Pengambilan keputusan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process mempunyai tahapan sebagai berikut (Marimin, 2004, pp. 86-89): 1. Penentuan matriks awal, yaitu meliputi matriks masing-masing kriteria dan matriks antar kriteria dengan pembobotan yang dilakukan secara konsisten. 2. Penentuan matriks normalisasi, yaitu membagi nilai bobot setiap kriteria pada matriks dengan nilai total per baris. 3. Melakukan perhitungan Weight Sum Average (WSA) dengan rumus sebagai berikut:
4. Melakukan perhitungan untuk Consistency Vector (CV) dengan rumus sebagai berikut:
5. Melakukan perhitungan lambda (λ) dengan rumus sebagai berikut:
14 6. Melakukan perhitungan Consistency Index (CI) dengan rumus sebagai berikut (Chakraborty, Ghosh, & Dan, 2011, p. 173):
7. Menentukan nilai Random Index yang ditentukan dari berapa banyak kriteria yang digunakan dalam perhitungan AHP dengan rumus sebagai berikut (Chakraborty, Ghosh, & Dan, 2011, p. 173):
Berikut nilai Random Index untuk jumlah kriteria (n) bernilai 1 sampai dengan 10: Tabel 2.3 Random Index
Sumber: (Ali Görener, 2012)
8. Melakukan perhitungan Consistency Ratio (CR), dimana nilai CR harus lebih kecil dari 0,10 atau 10% agar dianggap konsisten.
9. Setelah nilai CR sudah memenuhi syarat, yaitu lebih kecil dari 0,10, maka dilakukan perkalian matriks Row Average masing-masing kriteria dan matriks Row Average antar kriteria dan alternatif yang dipilih adalah yang mempunyai hasil perkalian matriks yang paling besar.
2.6
Peningkatan Produktivitas Kerja Dalam memproduksi suatu barang, produktivitas berkaitan erat dengan kinerja, atau sering kali produktivitas disebut sebagai ukuran performance (kinerja). Produktivitas dapat diartikan seberapa banyak dan seberapa baik kita memproduksi dengan segala sumber daya yang digunakan. Jika kita memproduksi lebih banyak atau lebih baik barang jadi yang sama dengan sumber daya yang lebih sedikit, maka dengan itu produktivitas ditingkatkan (Tangen, 2005, p. 36). Produktivitas disini temasuk seluruh sumber daya manusia dan sumber daya fisik, misalnya orang yang memproduksi barang jadi atau
15 menyediakan servis dan semua aset yang berkaitan untuk dapat memproduksi barang jadi atau menyediakan servis. Sumber daya yang digunakan oleh orang termasuk tanah dan bangunan, fixed dan moving machines dan equipments, tools, bahan baku, inventory, dan aset lain yang sekarang dimiliki (Tangen, 2005, p. 37). Ada beberapa tipe produktivitas sebagai ukuran dari performance yaitu antara lain (Sundjoto, 2008, pp. 56-57): 1. Produktivitas parsial, yaitu produktivitas faktor tunggal yang merupakan rasio dari output terhadap salah satu input. 2. Produktivitas total faktor, yaitu perbandingan dari pengeluaran bersih dengan input tenaga kerja dan pemasukan kapital. 3. Produktivitas total, yaitu perbandingan total pengeluaran secara keseluruhan dan total pemasukan secara keseluruhan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain (Patil & R, 2011, p. 194): 1. Faktor Eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar perusahaan, seperti infrastruktur, transportasi, kondisi sosial ekonomi, dan lain-lain. 2. Faktor Internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam perusahaan, faktor ini dibagi lagi ke dalam dua jenis, yaitu: a. Faktor statis,
faktor ini susah untuk diubah, seperti bahan baku,
teknologi, dan lain-lain. b. Faktor dinamis, faktor ini bisa diubah, seperti metode kerja, manajemen, struktur organisasi, dan lain-lain. Salah satu ukuran dari kinerja dapat diukur dari produktivitas tenaga kerja (labor productivity) yang menyangkut jumlah man hour, man day, dan unit labor cost. Rumus yang digunakan untuk pengukuran ini adalah:
Pengukuran kinerja diketahui sebagai proses pengukuran kerja yang efektif dan efisien (Muthiah & Huang, 2006, p. 462). Adapun beberapa objektif dari pengukuran kinerja antara lain (Muthiah & Huang, 2006, pp. 462-463):
16 1. Mengurangi atau memininimasi total waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan. 2. Mengurangi atau meminimasi biaya set-up. 3. Tepat pada waktu penyelesaian (due date). 4. Mengurangi atau meminimasi rata-rata aliran waktu. 5. Meminimasi waktu mesin menganggur (idle time). 6. Meminimasi rata-rata jumlah pekerjaan di dalam sistem. 7. Meminimasi prosentase keterlambatan pekerjaan. 8. Meminimasi rata-rata keterlambatan pekerjaan. 9. Meminimasi waktu antrian.
2.7
Kaizen Kaizen merupakan terminologi Jepang, yang mempunyai arti yaitu perbaikan secara terus menerus atau continuous improvement (Khan, 2011, p. 177). Konsep ini dikembangkan oleh Dr. W. Edwards Deming, konsep ini yaitu melakukan perubahan kecil yang dilakukan secara berkesinambungan (Khan, 2011, p. 178). Aplikasi konsep kaizen yaitu meliputi (Karkoszka & Honorowicz, 2009, p. 198): 1. Mendefinisikan area atau tempat yang akan dilakukan improvement. 2. Menganalisis dan melakukan seleksi dari kunci permasalahan. 3. Mengidentifikasi penyebab permasalahan. 4. Melakukan perencanaan solusi perbaikan. 5. Mengimplementasi dari solusi perbaikan. 6. Menganalisis dan membandingkan hasil dari solusi perbaikan yang diterapkan. 7. Melakukan standarisasi. Dengan menerapkan kaizen pada perusahaan, kaizen dapat membantu perusahaan untuk beberapa hal yaitu sebagai berikut (Gautam, Kumar, & Singh, 2012): 1. Mengurangi usaha yang perlu dikeluarkan pekerja. 2. Meningkatkan produktivitas kerja. 3. Mengurangi ketegangan pekerja saat bekerja. 4. Mengurangi biaya produksi yang dikeluarkan. 5. Meningkatkan kualitas.
17 2.7.1 Siklus PDSA Siklus PDSA (Plan-Do-Study-Act) pertama kali dikembangkan oleh Shewhart dan kemudian dimodifikasi oleh Deming sebagai salah satu teknik untuk melakukan improvement (Besterfield, Besterfield-Michna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, p. 133). Siklus PDSA merupakan diagram yang menggambarkan
aktivitas
yang dilakukan perusahaan
dalam
upaya
continuous improvement (Reid & Sanders, 2009, p. 148). Adapun empat langkah dalam siklus PDSA adalah sebagai berikut (Besterfield, BesterfieldMichna, Besterfield, & Besterfield-Sacre, 2003, p. 134): 1. Plan, yaitu tahapan dimana dilakukan perencanaan dengan seksama hal yang akan dilakukan untuk pelaksanaan yang jelas dan terarah. 2. Do, yaitu menjalankan rencana yang sudah disiapkan. 3. Study, yaitu mempelajari dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan dari rencana, apakah ada yang tidak sesuai dengan rencana dan bagaimana kendala-kendala yang dialami selama pelaksanaan. 4. Act, yaitu melakukan perubahan pelaksanaan dari hasil evaluasi dan solusi atas permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan untuk perencanaan yang lebih baik lagi ke depannya.
Sumber: (Reid & Sanders, 2009, p. 148)
Gambar 2.5 Siklus PDSA