BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Teori-teori Dasar/Umum Bab ini berisi teori-teori dasar atau teori umum beserta sumber dan
pengarangnya. Teori dasar berikut menjadi dasar dan panduan yang digunakan dalam menyusun penulisan ini. 2.1.1 Pengertian Sistem Menurut Satzinger et al (2010:6), sistem adalah kumpulan dari beberapa komponen yang saling berhubungan dan bekerja sama untuk mencapai sebuah hasil. Sedangkan menurut O’Brien dan Marakas (2010:573), sistem merupakan kumpulan dari komponen - komponen yang saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan dengan menerima input dan menghasilkan output dengan melalui proses-proses yang ada. Maka dapat disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan dari beberapa komponen yang saling berhubungan dan terintegrasi yang terdiri dari input lalu diproses untuk menghasilkan sebuah output. 2.1.2 Pengertian Informasi Menurut Satzinger et al (2005:7), informasi adalah kumpulan data yang diproses dan disimpan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pengguna. Sedangkan menurut O’Brien dan Marakas (2010:35), informasi adalah data yang telah di proses dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan end user. Sehingga dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa informasi merupakan kumpulan data yang didapat dari aktivitas bisnis sehari – hari lalu di proses dan di olah untuk memenuhi kebutuhan pengguna. 2.1.3 Pengertian Sistem Informasi Menurut Laudon (2010:46), sistem informasi adalah pengumpulan, proses, penyimpanan, analisa dan menyebarkan informasi dengan sebuah tujuan. Sedangkan menurut Satzinger et al (2012:4), sistem informasi adalah seperangkat komponen komputer yang saling terkait yang mengumpulkan, memproses, menyimpan dan menyediakan output berupa informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan bisnis. Menurut O’Brien dan Marakas (2010:4) sistem informasi adalah gabungan dari people, hardware, software, communications network, data resources, policies 5
6 dan procedures yang menyimpan, mengubah, menyebarkan informasi dalam sebuah organisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem informasi adalah komponen yang terdiri dari people, hardware, software, network, database, dan prosedur yang mengolah, menyimpan, menyebarkan informasi di dalam sebuah organisasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. 5 aktivitas sistem informasi menurut O’Brien dan Marakas (2010:35) : 1.
Input of Data Resources
Data tentang transaksi bisnis atau kegiatan lainnya harus disimpan dan disiapkan untuk diolah oleh aktivitas input. Input dilakukan berdasarkan form – form atau dokumentasi dari transaksi bisnis sehari – hari. Misalnya data tentang penjualan, maka form – form yang dibutuhkan seperti order form, surat pembayaran, dan lain – lain. Kemudian data tersebut di input ke dalam sistem komputer. 2.
Processing of Data into Information
Data yang telah dikumpulkan dan di input akan diolah seperti mengkalkulasi, membandingkan, menyortir, mengelompokkan dan merangkum data tersebut. Dalam aktivitas ini, data akan dianalisa dan dimanipulasi dan menjadi informasi bagi end users. 3.
Output of Information Products
Data yang telah di proses akan menjadi sebuah output berupa informasi untuk memudahkan end user dalam melihat informasi yang dibutuhkannya. Contoh informasi yang dihasilkan adalah laporan, grafik, dan lain – lain. 4.
Storage of Data Resources
Storage atau penyimpanan diperlukan dalam aktivitas sistem informasi karena informasi atau data ada mungkin akan digunakaan ke depannya. Sehingga data dan informasi tersebut harus disimpan di sebuah database. Data yang tersimpan biasanya diatur menggunakan sebuah sistem DBMS untuk memudahkan pencarian data. 5.
Control of System Performance
Sebuah sistem informasi menghasilkan feedback tentang input, proses, output dan aktivitas penyimpanannya. Feedback tersebut harus dievaluasi dan dimonitor untuk mengetahui apakah sistem tersebut sudah memenuhi standar yang ditetapkan atau belum, dan bila belum memenuhi standar maka sistem tersebut harus disesuaikan dan dikembangkan agar dapat memenuhi standar.
7 2.1.4 Pengertian Proses Bisnis Brown et al (2012:670), proses bisnis adalah sebuah rantai aktivitas yang diperlukan untuk mencapai sebuah hasil seperti pemenuhan pesanan pelanggan. Sedangkan menurut Weske (2007:5), proses bisnis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terkoordinasi dalam lingkungan organisasi. Kegiatan ini dilakukan untuk mewujudkan tujuan bisnis dan setiap proses bisnis telah ditetapkan oleh masing – masing organisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses bisnis merupakan aktivitas-aktivitas di dalam sebuah perusahaan terdiri dari input, process, output yang saling terintegrasi dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya dengan menggunakan sumber daya perusahan untuk mencapai hasil yang diinginkan perusahaan. 2.1.5 Database Menurut Satzinger et al (2010:488), database adalah suatu kumpulan dari sebuah data yang saling berhubungan dan tersimpan yang diatur dan dikendalikan dari pusat. Menurut O’Brien dan Marakas (2010:174) database adalah sebuah kumpulan dari data yang terkait dan saling terintegrasi. Database merupakan kumpulan data yang telah disimpan dan data tersebut dapat digunakan dalam beberapa aplikasi. Data yang disimpan dalam database menggunakan sebuah program aplikasi dan sebuah perangkat untuk menyimpannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa database merupakan sebuah kumpulan dari data yang berisikan catatan tentang kegiatan operasional perusahaan yang saling berhubungan dan tersimpan secara terintegrasi dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat menghasilkan informasi yang dibutuhkan oleh para pengguna. 2.1.6 Database Management System ( DBMS ) Menurut Satzinger, Jackson, dan Burd (2010:488), Database Management System (DBMS ) adalah sebuah sistem software yang mengatur dan mengendalikan akses menuju database. Rainer et al (2013) berpendapat bahwa DBMS merupakan sekumpulan program yang memudahkan pengguna untuk menambah, menghapus, mengakses, memodifikasi, dan menganalisa data yang tersimpan di sebuah tempat. Sedangkan menurut O’Brien dan Marakas (2010:560) DBMS merupakan satu set pemrograman komputer yang mengendalikan pembuatan, pengelolaan, dan pemanfaatan database dalam sebuah organisasi. Maka dapat disimpulkan bahwa DBMS merupakan sebuah software yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, melakukan akses ke database perusahaan.
8
2.2
Teori-teori Khusus Teori khusus merupakan teori pendukung yang dibuat untuk memenuhi kriteria
dari pembahasan topik yang terkait. 2.2.1 Bank Berikut adalah teori – teori yang berhubungan dengan bank seperti pengertian bank dan penjelasan mengenai kredit. 2.2.1.1 Pengertian Bank Dalam UU No. 10 tahun 1998 dalam pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Menurut Supramono (2009:45), perubahan istilah lembaga keuangan menjadi badan usaha, lebih menunjukkan bahwa bank kedudukannya sebagai perusahaan yang mencari keuntungan. Sedangkan istilah lembaga keuangan bukan merupakan perusahaan yang non profit oriented dan lebih tampak sebagai lembaga pemegang kas dan bersifat sosial. 2.2.1.2 Pengertian Kredit Supramono (2009:151) menyebutkan bahwa hingga sekarang belum ada undang – undang yang mengatur tentang tata cara pengkreditan, karena hingga saat ini undang – undang yang dibentuk hanya tentang perbankan, jaminan utang, dan tentang fidusia. Dalam pasal 1 ayat 11 UU perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga yang telah disepakati. Undang – undang perbankan hanya mengatur tentang lembaga yang memberikan kredit, sehingga pembentuk undang – undang kurang memperhatikan masalah kredit. Ketentuan yang menyangkut kredit hanya satu pasal yaitu pada pasal 8 UU perbankan, sehingga pada undang – undang tersebut tidak disebutkan tentang macam – macam kredit. Menurut Supramono (2009:154) macam – macam kredit dapat dilihat dari beberapa segi yaitu dari jangka waktu, kegunaan, pemakaian, dan sektor yang dibiayai bank. Berikut adalah macam – macam kredit menurut Supramono (2009:154)
9 1.
Segi jangka waktu
Dilihat dari segi jangka waktunya terdapat 3 macam kredit yaitu kredit jangka pendek, kredit jangka menengah, dan kredit jangka panjang. a.
Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang berjangka waktu paling lama satu tahun.
b.
Kredit jangka menengah, yaitu kredit jangka menengah adalah kredit yang diberikan bank untuk jangka waktu antara satu tahun sampai dengan tiga tahun.
c.
Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang mempunyai jangka waktu lebih dari tiga tahun.
2.
Segi kegunaan
a. Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan bank kepada nasabah untuk kepentingan penanaman modal yang bersifat ekspansi, modernisasi maupun rehabilitasi perusahaan. b. Kredit modal kerja yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai operasional usaha nasabah. c. Kredit profesi, yaitu kredit yang diberikan hanya untuk kepentingan profesi yang berhubungan dengan debitur. 3.
Segi pemakaian
a. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank untuk membeli kebutuhan hidup sehari – hari. b. Kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan bank yang ditujukan untuk keperluan usaha nasabah agar produktivitasnya dapat meningkat. 4.
Segi sektor yang dibiayai
a. Kredit pertanian, yaitu kredit yang diberikan untuk usaha pertanian. b. Kredit perternakan, yaitu kredit yang diberikan untuk usaha perternakan. c. Kredit perhotelan, yaitu kredit yang diberikan untuk usaha perhotelan. d. Kredit percetakan, yaitu kredit yang diberikan untuk usaha percetakan. e. Kredit pengangkutan, yaitu kredit yang diberikan untuk usaha pengangkutan. f. Kredit perindustrian, yaitu kredit yang diberikan untuk usaha perindustrian. Berikut adalah unsur – unsur yang terdapat dalam pemberian fasilitas kredit menurut Toejekam (1998:2-3): a. Waktu
10 Mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut menyatakan bahwa terdapat jarak antara saat persetujuan kredit dan pada saat pelunasannya. b. Kepercayaan Merupakan suatu hal yang melandasi pemberian kredit oleh pihak kreditur terhadap debitur bahwa dalam jangka waktu yang telah ditentukan, debitur akan mengembalikan sesuai dengan kesepakatan yang disetujui oleh kedua pihak. c. Penyerahan Merupakan pernyataan bahwa pihak kreditur menyerahkan pinjaman atau kredit terhadap debitur dan harus dikembalikan sesuai dengan jangka waktu dan kesepakatan yang telah ditentukan. d. Risiko Permasalahan yang mungkin akan muncul dalam proses pemberian kredit dan pelunasan kredit. Semakin panjang proses sebuah kredit maka risikonya akan semakin besar. Risiko yang terjadi menjadi tanggungan bank, maupun risiko yang disengaja oleh nasabah maupun yang tidak disengaja. e. Persetujuan / Perjanjian Pernyataan persetujuan dari pihak kreditur dan pihak debitur bahwa telah sepakat terhadap ketentuan – ketentuan kredit yang telah disepakati oleh kedua pihak dan dapat dibuktikan menggunakan sebuah perjanjian tertulis. 2.2.1.3 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Menurut UU No.9 tahun 1995 yang dikutip oleh Hesti (2011:31) usaha mikro didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal dalam arti belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum. Hasil penjualan tahunan bisnis tersebut paling banyak Rp. 100.000.000 dan milik warga negara Indonesia. Sedangkan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau yang memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 dan milik warga negara Indonesia. Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia kepada semua Bank Umum di Indonesia No. 3/9/BK, tanggal 17 Mei 2001, usaha kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
11 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 3. Milik warga negara Indonesia. 4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. 5. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Sedangkan usaha menengah menurut Instruksi Presiden No.10 Tahun 1999 adalah: 1. Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 2. Milik warga negara Indonesia. 3. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar. 4. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. 2.2.2 Business Process Reengineering Hammer
dan
Champy
(1993:48)
mendefinisikan
business
process
reengineering (BPR) sebagai pertimbangan mendasar dan perancangan ulang yang radikal terhadap proses bisnis dalam sebuah perusahaan, dengan tujuan untuk mencapai peningkatan yang drastis terhadap kinerja saat ini dari segi biaya, pelayanan dan kecepatan. Sedangkan Davenport (1993) mendeskripsikan business process reengineering (BPR) sebagai analisis dan perancangan terhadap alur kerja dan proses dalam organisasi, aktifitas bisnis harus dipandang lebih dari kumpulan tugas individu atau bahkan fungsional, kegiatan tersebut harus dapat dipecah menjadi proses yang dapat dirancang untuk efektivitas yang maksimum. Menurut Satzinger et al (2010:16) business process reengineering (BPR) adalah sebuah teknik yang berusaha untuk mengubah sebuah proses yang dilakukan dalam fungsi bisnis dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja secara radikal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa business process reengineering (BPR) merupakan sebuah rekayasa ulang secara radikal terhadap proses bisnis di dalam
12 sebuah perusahaan yang dianggap kurang efisien atau masih belum maksimal dengan tujuan untuk mencapai peningkatan yang drastis dari segi waktu, pelayanan, kecepatan dan biaya sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh perusahaan. Menurut Davenport dan Short (1990) terdapat 5 langkah untuk melakukan pendekatan BPR, yaitu : 1.
Mengembangkan visi dan tujuan bisnis.
2.
Mengidentifikasi proses bisnis yang akan di rekayasa ulang.
3.
Memahami dan mengukur proses yang ada.
4.
Mengidentifikasi IT levers.
5.
Merancang dan membuat sebuah prototype dari proses baru.
Menurut Shin dan Jamella (2002:352) alasan mengapa sebuah perusahaan perlu untuk melakukan BPR yaitu karena terjadinya masalah bisnis pada perusahaan karena hasil dari proses bisnis yang ada tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan. Sehingga para manajemen senior menganggap masalah bisnis ini karena masalah performa dan peluang. Hal ini menyebabkan perusahaan untuk focus terhadap merubah proses yang ada sehingga dapat memecahkan masalah yang ada dan meningkatkan hasil dari proses bisnis tersebut. Berikut adalah faktor – faktor yang dapat menyebabkan kegagalan BPR menurut Sturdy (2010:6) : 1.
Masalah pada komunikasi dan terjadinya penolakan dalam perusahaan.
Komunikasi dan komitmen merupakan aspek penting dalam melakukan BPR, sehingga komunikasi yang tidak memadai antara tim BPR dan bagian lain yang terlibat untuk melakukan perubahan dapat menyebabkan penolakan dalam melakukan BPR sehingga hal ini dapat menghambat terjadinya BPR dalam perusahaan. 2.
Kurangnya kesiapan perusahaan untuk melakukan perubahan.
Pada saat melakukan BPR, semua pihak yang terlibat harus siap untuk melakukan perubahan secara radikal. Kurangnya kesiapan dalam melakukan perubahan dapat disebabkan karena kurangnya tekad atau motivasi dari pihak yang terlibat, dan pihak yang terlibat tidak berani untuk melakukan perubahan yang radikal. 3.
Masalah yang terkait dengan menciptakan budaya baru untuk perusahaan.
13 Dalam melakukan BPR, kita juga merubah budaya yang telah diterapkan oleh perusahaan, sehingga banyak pihak yang tidak ingin mengikuti budaya baru karena telah merasa nyaman dengan budaya lama yang lebih lama telah diterapkan. 4.
Kurangnya pelatihan dan pendidikan yang diberikan.
Kurangnya pemahaman tentang BPR dan tidak adanya teori yang diberikan maka dapat menyebabkan kegagalan dalam melakukan mekanisme BPR. Sehingga pada saat melakukan BPR, diberikan pelatihan dan pendidikan terhadap pihak – pihak yang terlibat. 5.
Kurangnya dukungan dari pihak manajemen.
Kurangnya perhatian dan dukungan yang diberikan oleh manajemen puncak menjadi salah satu penyebab kegagalan terjadinya BPR, karena tanpa adanya dukungan penuh dan bantuan dari manajemen puncak maka harus berjuang lebih keras untuk membuat semua pihak berkomitmen dalam melakukan BPR. 6.
Tim BPR yang kurang efektif.
Untuk mencapai keberhasilan dalam implementasi BPR, perusahaan harus membentuk sebuah tim yang dapat saling bekerja sama dan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dan setiap tim harus memiliki sebuah kepala tim yang berguna sebagai penengah ketika terjadi konflik. Kurang efektifnya sebuah tim dapat disebabkan karena : a.
Kurangnya pelatihan yang diberikan.
b.
Kurangnya komunikasi antar anggota.
c.
Kurangnya wewenang yang dimiliki oleh anggota tim.
d.
Keterampilan yang kurang memadai.
e.
Kurangnya kredibitas staff dan keterlibatannya dalam tim.
7.
Masalah yang berhubungan dengan tujuan dan pengukuran.
Kesulitan dalam menentukan langkah yang akan dipilih karena perusahaan tidak memiliki tujuan yang jelas dalam melakukan BPR sehingga perusahaan akan kesulitan dalam mengukur kinerja proyek BPR apakah dapat bermanfaat bagi perusahaan atau tidak, dan karena tidak adanya tujuan yang jelas, maka tim BPR menghabiskan waktu yang banyak dalam menganalisa proses yang ada. 8.
Masalah yang berhubungan dengan sumber daya yang digunakan dalam
BPR.
14 Sebelum melakukan BPR, perusahaan harus memastikan bahwa sumber daya yang dibutuhkan dalam melakukan BPR dapat terpenuhi. Kegagalan proyek BPR dapat disebabkan karena kekurangan sumber daya yang dimiliki perusahaan dari segi biaya, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya seperti teknologi. 2.2.3 Business Process Management (BPM) Berikut adalah penjelasan mengenai business process management menurut Jetson dan Nelis pada buku Business Process Management tahun 2008. 2.2.3.1 Definisi Business Process Management Menurut Weske (2012:5) BPM adalah sebuah konsep, metode, teknik untuk mendukung design, administrasi, konfigurasi, kebijakan dan analis terhadap bisnis proses yang telah berjalan. Sedangkan menurut Jeston dan Nelis (2008:11) BPM lebih dari sebuah software, lebih dari mengembangkan atau merekayasa ulang proses yang ada, tetapi juga berhubungan dengan masalah – masalah manajerial, dan bukan sekedar terlibat saja namun juga merupakan bagian dari manajemen, lebih dari sekedar permodelan yaitu tentang implementasi dan eksekusi proses sehingga membutuhkan analis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa BPM merupakan sebuah konsep, metode, teknik yang tidak hanya merekayasa ulang proses yang ada tetapi juga terlibat dengan masalah – masalah manajerial yang ada dan berfokus pada meningkatkan perfoma perusahaan dengan cara mengatur dan mengelola proses bisnis yang ada pada perusahaan. 2.2.3.2 Tahapan Implementasi Business Process Management Berikut adalah gambaran dari tahapan implementasi dari Business Process Management menurut Jeston dan Nelis (2008:53)
15
Gambar 2.1 Framework BPM Sumber : “Business Process Management” (Jeston dan Nelis,2008:53)
Berikut adalah 10 framework BPM menurut Jeston dan Nelis (2008:53) : 1. Organization Foundation Phase. Fase ini berguna untuk memastikan bahwa strategi, visi, tujuan strategis, bisnis dan pemicu dalam melakukan BPM harus dimengerti dan dipahami oleh anggota tim proyek. Strategi harus dikomunikasikan dan disebarkan ke para stakeholder (terutama manajemen dan staff yang terlibat) sampai semua hal tersebut menjadi budaya yang kuat di dalam perusahaan. Dalam fase ini output yang didapat yaitu visi dan misi, goals, objectives, strategic intent, strategi implementasi perusahaan, konteks atau model bisnis, strategi pembeda utama perusahaan. 2. Process Foundation Phase. Fase ini merupakan dasar melakukan proyek BPM yang berhubungan dengan proses organisasi dan rancangan proses arsitektur. Proses arsitektur berisi tentang seperangkat aturan, prinsip, pedoman dan model untuk implementasi BPM di seluruh organisasi. Proses arsitektur memberikan dasar untuk merancang dan merealisasikan
16 inisiatif proses BPM, dimana prosesnya, IT dan arsitektur bisnis sejalan dengan strategi organisasi. Dalam fase ini output yang dihasilkan yaitu dokumentasi dan proses arsitektur perushaan, gambaran proses perusahaan, daftar proses end-to-end, 3. Technology Foundation Phase. Fase ini membahas gambaran sistem serta teknologi dan tools yang sedang digunakan oleh perusahaan untuk mendukung para pihak yang membutuhkan dan para pihak yang terlibat dalam proses yang sedang berjalan. Output yang dihasilkan dari fase ini yaitu peralatan dan teknologi yang digunakan, sistem yang sedang digunakan, gambaran arsitektur, canonical data dan data sources dictionary. 4. BPM Foundation Phase. Fase ini membantu kita untuk menentukan bagaimana dan dimana kita memulai proyek BPM. Tujuan dan visi harus searah dengan strategi organisasi dan proses arsitektur untuk memastikan bahwa tujuan dan visi tersebut meningkatkan atau menambah nilai pada strategi organisasi. Pada saat unit bisnis dan proses telah dipilih dan tujuan proses telah disetujui, proyek harus dimulai untuk memaksimalkan kemungkinan berhasil. Output yang dihasilkan yaitu stakeholder yang terlibat dalam proyek, harapan stakeholder, process selection matrix, daftar proses bisnis yang telah diidentifikasi dan matrik awal, proses yang diutamakan dalam fase elaborasi, dan manajemen proyek. 5. Elaboration Phase. Tujuan dari fase ini agar anggota tim proyek dan bisnis mengerti jalannya proses bisnis yang sedang berjalan sehingga bisa melakukan tahapan selanjutnya yaitu inovasi atau perancangan ulang. Fase ini mencakup kumpulan metrik yang tepat untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang proses yang sedang berjalan, dan menentukan mana yang menjadi prioritas untuk dilakukannya inovasi atau perancangan ulang. Dalam proses ini beberapa informasi yang dibutuhkan yaitu informasi tentang transaksi perusahaan, data transaksi perusahaan, biaya pekerja per proses, biaya IT dan beban lainnya pada saat menjalankan proses berdasarkan biaya per harinya. Output yang dihasilkan yaitu metrik yang tepat untuk memulai dasar untuk pengembangan, pengukuran antara performa sebelumnya dan perancangan yang akan
17 datang, activity-based costing, root cause analysis, people capability matrix, available information, improvement priorities dan quick wins. 6. Improvement Phase. Fase ini bertujuan untuk membuat proses yang masuk ke dalam lingkup proyek lebih efisien dan lebih efektif sehingga sesuai dengan harapan stakeholder sekarang dan yang akan datang sehingga dilakukan fase improvement / innovate terhadap proses yang masuk ke dalam lingkup proyek. Di dalam fase ini akan menunjukkan gap yang terjadi antara proses lama dan proses baru sehingga dapat dijadikan perbandingan antara proses lama dan proses baru. Output yang dihasilkan yaitu redesigning process models, simulation models dan activity-based costing details, people capability matrix,capacity planning, feasibility validation, gap analysis,updated business case. 7. People and Techonology Development Phase. Fase people dan technology merupakan sebuah fase yang penting dalam pelaksanaan proses BPM, tujuan dari people phase adalah untuk memastikan bahwa orang yang akan melaksanakan proses baru sejalan dengan organisasi dan tujuan proses yang ditentukan pada fase sebelumnya. Sedangkan pada fase teknologi, memilih proses yang telah di rekayasa lalu menentukan proses mana yang memerlukan otomatisasi untuk lebih memaksimalkan BPM. Output yang dihasilkan dari fase ini adalah role redesign / organizational structure redesign, RASCI model, performance management and measurement, people core capability gap analysis, BPM implementation scenarios, business application connectivity, software specification and design, software development and configuration. 8. Deployment Phase. Fase deployment merupakan fase untuk melakukan implementasi terhadap perancangan dari fase – fase BPM sebelumnya. Strategi implementasi dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti yang telah dijelaskan pada fase sebelumnya, yaitu dengan menggunakan cara big bang, relay, parallel, atau combination. 9. Monitor and Benefit Realization Phase. Fase ini bertujuan untuk memastikan bahwa implementasi dari proyek BPM yang dilakukan memiliki hasil seperti yang diharapkan oleh para stakeholder. Untuk memastikan hal tersebut maka perlu adanya performance measurement dan feedback loop.
18 Output yang dihasilkan dari fase ini yaitu benefits summary plan, benefits milestone network matrix, benefits delivery matrix, benefits realization register. 10. Continuous Improvement Phase. Fase terakhir dari BPM framework adalah continuous improvement phase yang berguna untuk memastikan bahwa implementasi BPM yang telah dilakukan pada organisasi akan terus dikembangkan dan terus ditingkatkan. Hasil dari fase ini adalah mekanisme untuk mengelola proses bisnis, dan proses telah dikelola dan ditingkatkan. 2.2.4 Tools dalam BPM Berikut adalah tools yang digunakan dalam melakukan fase – fase di dalam business process management. 2.2.4.1 RASCI Model Menurut Jetson, dan Johan Nelis (2010, p.172), RASCI model merupakan singkatan dari Responsibility, Accountable, Supportive, Consulted and Informed. Biasanya lebih dikenal dengan RACI adalah matriks yang berguna untuk membantu dalam identifikasi aktifitas, peran, dan tanggung jawab seseorang dalam fase proyek. Model ini membantu menjelaskan apa yang harus diselesaikan dan oleh siapa untuk membuat proses baru bisa dilakukan. -
Responsibility: orang yang bertanggung jawab untuk melakukan sebuah
aktivitas. -
Accountable: orang yang memberikan otoritas atau menyetujui suatu pekerjaan
sebelum pekerjaan tersebut di proses. -
Supportive : orang yang menyediakan sumber daya atau informasi lainnya untuk
mendukung kelengkapan sebuah proses atau aktivitas. -
Consulted: orang yang memiliki informasi atau kemampuan yang diperlukan
untuk menyelesaikan sebuah proses atau aktivitas. -
Informed: orang yang perlu tahu hasil dari sebuah proses atau aktivitas, tetapi
tidak perlu diberi tahu pada saat eksekusi.
19
Gambar 2.2 RASCI Model Sumber : “Business Process Management” (Jetson dans Nelis,2010:172) 2.2.4.2 Prosess Selection Matrix & Process Worth Matrix Menurut Jeston dan Nelis (2008:109), process selection matrix adalah sebuah cara untuk menunjukkan seluruh proses bisnis dalam unit bisnis yang terkait, biasanya digambarkan dalam satu halaman dan PSM merupakan sebuah cara untuk memahami dan menunjukkan tingkat kerumitan dari sebuah proses dan jumlah proses. Kegunaan dari process selection matrix menurut Jeston dan Nelis (2008:362) adalah : 1. Memungkinkan pemilihan proses yang membutuhkan analisa lebih lanjut dan penentuan ruang lingkup proyek. 2. Memberikan gambaran tentang proses end-to-end utama atau kegiatan utama dan kesamaan atau variasi pada proses.
Gambar 2.3 Process Selection Matrix Sumber : “Business Process Management”(Jeston dan Nelis,2008:110)
20 Vertical axis (main processes) berasal dari end-to-end process dan horizontal axis (scenarios) menunjukkan aspek yang memberikan analisis yang lebih rinci dari proses yang tercantum pada vertical axis. Sedangkan menurut Jeston dan Nelis (2008:112), process worth matrix digunakan untuk menentukan proses bisnis mana yang akan diinvestasikan.
Gambar 2.4 Process Worth Matrix Sumber : “Business Process Management”(Jeston dan Nelis,2008:111)
Berikut adalah definisi isi matrix menurut Keen (1997:25): 1.
Assets : segala proses yang menghasilkan pendapatan bagi perusahaan lebih dari
pengeluaran dan asset yang digunakan. 2.
Liability : segala biaya atau asset yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
menghasilkan asset. 3.
Identity : menentukan hal yang membedakan organisasi dari para pesaingnya,
berdasarkan pelanggan dan stakeholder. 4.
Priority : proses yang mendukung dan membantu keefektifan proses identity.
5.
Background : proses yang mendukung aktivitas operasional perusahaan setiap
harinya, termasuk administrasi, HR dan pengelolaan dokumen. 6.
Mandated: proses yang berhubungan dengan faktor eksternal perusahaan dan
merupakan sebuah keharusan, seperti undang – undang dan kepatuhan. 2.2.4.3 Organizational Relationship Map Menurut Jeston dan Nelis (2008:94) organizational relationship map menunjukkan hubungan dan alur proses di antara berbagai divisi atau departemen dalam organisasi. Sehingga dapat membantu untuk mengetahui dimana terjadi
21 pemutusan dalam setiap aliran proses. Sehingga dapat membantu penyebaran proses end-to-end di seluruh struktur organisasi untuk meminimalisir kesalahan.
Gambar 2.5 Organization Relationship Map Sumber, “Business Process Management”(Jeston dan Nelis:2008:94)
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5, bagian yang memiliki latar belakang abu – abu merupakan bagian internal perusahaan sedangkan yang tidak memiliki latar belakang merupakan bagian eksternal perusahaan. 2.2.4.4 Activity-Based Costing (ABC) Menurut Jeston dan Nelis (2008:387) activity-based costing merupakan sebuah alat yang digunakan untuk meghitung biaya dari setiap proses yang dilakukan. ABC membuat keberhasilan dari proyek BPM lebih terukur, dan membuat biaya proses dapat lebih transparan, mudah dimengerti dan dapat diatur. ABC merupakan sebuah alat untuk mengamankan keputusan organisasi dari sisi biaya dan untuk mencapai pengurangan biaya dalam jangka panjang. Keuntungan dari penggunaan ABC adalah kemampuan untuk mengetahui komponen biaya proses sehingga harga dan biaya menjadi lebih terarah, kemampuan untuk membandingkan berbagai proses dan mengidentifikasi area mana yang perlu untuk dilakukan perbaikan sehingga biaya yang dikeuarkan dapat lebih rendah. 2.2.4.5 Root Cause Analysis Menurut Tomic dan Brikic (2011:16) root cause analysis merupakan langkah – langkah dengan urutan tertentu untuk mengidentifikasi, menyelidiki, dan mengelompokkan akar penyebab sebuah di dalam sebuah kejadian.
22 Berikut merupakan 4 langkah dalam melakukan root cause analysis menurut Rooney dan Heuvel (2004) : 1. Data Collection. Langkah
pertama
merupakan
mengumpulkan
data,
sehingga
dapat
melengkapi informasi apa saja yang dibutuhkan dan memahami kejadian yang
terjadi.
Sebagian
waktu
dihabiskan
untuk
menganalisa
dan
mengumpulkan data. 2.Causal factor charting. Menyediakan struktur bagi para penyelidik untuk mengatur dan menganalisa informasi yang dikumpulkan selama penyelidikan untuk mengatur dan menganalisis informasi yang dikumpulkan selama penyelidikan dan mengidentifikasi kesenjangan dan kekurangan yang terjadi. 3.Root cause identification. Ketika semua faktor penyebab telah diidentifikasi, langkah dilakukan dengan menggunakan sebuah diagram keputusan untuk mengidentifikasi alasan pokok atau alasan untuk setiap faktor penyebab. Dalam langkah ini, identifikasi dapat membantu untuk menemukan cara untuk mengatasi masalah yang terjadi. 4.Recommendation generation implementation. Memberikan
rekomendasi
untuk
melakukan
implementasi
terhadap
pemecahan masalah yang ditemukan pada langkah ke 3 (root cause identification). Dan perusahaan harus memastikan bahwa rekomendasi yang diberikan akan diawasi hingga implementasi selesai. 2.2.4.6 PCM (People Capability Matrix) Menurut Jetson dan Nelis (2008:136) people capability matrix merupakan sebuah framework yang digunakan untuk mengatur dan mengembangkan orang yang terlibat langsung dalam proses. Dilakukan perbandingan antara PCM terhadap proses sekarang dan PCM proses baru untuk melihat gap yang terjadi. Garis horizontal pada matrix menunjukkan kemampuan atau kompetensi utama yang dibutuhkan oleh setiap proses untuk menyelesaikan tugas atau aktifitas, sedangkan garis vertical menunjukkan end-to-end process model, gabungan dari beberapa proses atau satu proses.
23
Gambar 2.6 People Capability Matrix Sumber: “Business Process Management” (Jeston dan Nelis:2008:94)
2.2.4.7 BPMN (Business Process Management Notation) Menurut Jetson dan Nelis (2008:196) BPMN merupakan sebuah notasi standar untuk permodelan proses bisnis. BPMN digunakan untuk permodelan grafis antara alat permodelan bisnis proses dan aplikasi BPM yang digunakan, dengan demikian, BPMN digunakan untuk melengkapi standar BPM lainnya.
Gambar 2.7 BPMN Diagram Sumber: “The current struggle with BPMN. Business Process Management Journal”(Recker, 2010:184)
24
Menurut Flowers dan Edeki(2013:35-40) BPMN diagram mempunyai 4 kategori elemen grafik, yaitu : 1. Flow Objects Dalam kategori ini terdapat aktivitas dan gateway. Aktivitas yang dimaksud adalah proses yang dilakukan oleh para aktor dan gateway menunjukkan bahwa adanya keputusan yang dibuat. 2. Connection Objects Merupakan garis yang menghubungkan elemen – elemen pada diagram. Connection objects terdapat sequence flows (menghubungkan elemen pada swimlane yang sama), message flows (menghubungkan elemen dari pools yang berbeda) dan associations (menghubungkan input dan output terhadap elemen lainnya) 3. Swimlanes Komponen ini digunakan untuk menjelaskan siapa aktor yang melakukan suatu aktivitas atau tindakan tersebut. 4. Artifacts Merupakan elemen yang mengelompokkan dan meganotasikan model, sehingga pembaca dapat mengerti dengan baik maksud dari aktivitas dan tindakan yang dilakukan. 2.2.4.8 Activity Diagram Menurut Satzinger et al (2012:57) activity diagram adalah sebuah diagram alur kerja yang menggambarkan berbagai pengguna kegiatan, orang yang melakukan aktivitas masing-masing, dan aliran sekuensial kegiatan ini.
25
Gambar 2.8 Activity Diagram Sumber :“Systems Analysis and Design in a Changing World” (Satzinger et al,2010:58) Berikut adalah penjelasan dari simbol – simbol dari gambar di atas menurut Satzinger et al (2012:58) : 1. Starting activity : simbol yang digunakan untuk memulai aktivitas pada proses yang berjalan. 2. Swimlane heading : kolom pada diagram aktivitas yang berisi semua kegiatan aktor atau unit organisasi. 3. Transition arrow : panah yang digunakan sebagai penunjuk alur aktivitas. 4. Activity : merupakan aktivitas yang dilakukan dalam proses yang berjalan. 5. Synchronazion bar : simbol yang membagi alur menjadi beberapa alur karena aktivitas dilakukan secara bersamaan. 6. Decision activity : simbol pada diagram aktivitas yang menandakan bahwa terdapat perbedaan transisi. 7. Ending activity : simbol yang digunakan sebagai akhir dari aktivitas pada proses yang berjalan. 2.2.5 Analisis Strategi Bisnis Berikut merupakan analisa yang digunakan untuk menganalisa strategi bisnis yang dimiliki oleh perusahaan.
26 2.2.5.1 Analisis Competitive Force Menurut Brown et al (2012:259) competitive force model merupakan kerangka 5 kekuatan kompetitif yang dikemukakan oleh Porter untuk melakukan prediksi terhadap peluang dan ancaman oleh perusahan – perusahaan dalam industri yang sama dan digunakan sebagai penilaian strategis dan perencanaan. Menurut Porter (1985:19) competitive force merupakan sebuah kerangka pikir tentang bagaimana sebuah nilai diciptakan dan dibagi antara potensi dan pelaku industri yang ada karena pada kenyataannya persaingan dalam dunia bisnis lebih dari persaingan dengan kompetitor yang ada, dan competitive force merupakan sebuah kerangka yang berisi analisis komptetitor, pembeli, pemasok, teknik untuk membaca pasar, dan cara untuk melakukan langkah kompetitif dan sebuah kerangka untuk memprediksi perubahan industri.
Gambar 2.9 Competitive Force Sumber:”Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors”(Porter 1998:43)
Berikut adalah penjelasan kerangka competitive force menurut Porter (1998:44): 1. Threat of new entrants
27 Pendatang baru dalam dunia industri merupakan sebuah ancaman karena membawa kapasitas baru, keinginan untuk mendapatkan pangsa pasar, dan melakukan persaingan dalam mendapatkan sumber daya. Sehingga agar dapat bersaing, kita dapat mengurangi harga jual produk / jasa namun hal tersebut dapat mengurangi keuntungan yang didapat dan banyak perusahaan. 2. Rivalry Among Existing Firms Persaingan dengan kompetitor yang sudah ada biasanya dilakukan dengan cara persaingan harga, persaingan promosi, pengenalan produk, dan meningkatkan pendekatan terhadap pelanggan dan jaminan produk. Persaingan dapat terjadi karena salah satu pesaing atau lebih merasa memiliki peluang atau tekanan untuk memperbaiki posisi mereka. 3. Threat of Substitute Products or Sevices Produk atau jasa pengganti menjadi salah satu ancaman karena pada produk pengganti harga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan barang utama. Seperti contohnya penggunaan fruktosa untuk menggantikan gula, banyaknya barang atau jasa pengganti yang bermunculan dikarenakan bahan baku yang digunakan lebih murah dan sumber daya yang digunakan untuk membuat barang atau jasa sangat terbatas. Sehingga hal ini menjadi ancaman kurangnya keuntungan yang didapat perusahaan. 4. Bargaining Power of Buyers Pembeli merupakan salah satu alasan bagi industri untuk menurunkan harga jual, dan akan terjadi tawar – menawar terhadap harga jual barang. Pembeli memiliki banyak pilihan sehingga memaksa perusahaan untuk mengurangi profitabilitas perusahaan dengan menurunkan harga jual dan meningkatkan kualitas produk atau jasa yang ditawarkan. 5. Bargaining Powers of Supplier Pemasok memiliki kekuatan atau hak untuk menaikkan harga jual bahan atau mengurangi kualitas dari produk atau jasa yang mereka jual. Sehingga hal ini dapat mengurangi profitabilitas dari perusahaan karena apabila pemasok menaikkan harga jual produknya, maka perusahaan juga tidak bisa langsung melakukan kenaikan harga terhadap produk yang dijualnya karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
28 2.2.5.2 Value Shop Menurut Peppard and Ward (2002:266) value shop digunakan untuk perusahaan yang menyediakan solusi bagi klien mereka atau yang bergerak di bidang jasa dengan karakteristik memiliki pertukaran informasi yang intens dan luas pada saat melakukan transaksi bisnis dan menyampaikan solusi. Contohnya adalah perusahaan eksplorasi minyak, konsultan manajemen, asuransi, iklan, dan lain – lain. Rantainya melibatkan dua arus untuk menentukan kebutuhan klien dan merancang lalu mengimplementasikan solusi yang dapat memunuhi kebutuhan klien. Hal ini dapat menjadi sangat sederhana atau menjadi sangat kompleks. Informasi yang cukup dibutuhkan dalam pertukaran, dan SI / TI menawarkan peluang untung meningkatkan efisiensi pada pertukaran informasi, mengurangi waktu dan meningkatkan akurasi pertukaran informasi.
Gambar 2.10 Value chain: service business (Value Shop) Sumber: “Strategic Planning of Information Systems”(Peppard and Ward,2002:266)
2.2.5.3 Analisis SWOT Menurut Rangkuti (2014:20) analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan dan digunakan untuk membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strength), dan kelemahan (weaknesses)
29
Gambar 2.11 Analisis SWOT Sumber: “Teknik Membedah Kasus Bisnis:Analisis SWOT” (Rangkuti,2014:20) Kuadran 1: Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy). Kuadran 2: Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/pasar). Kuadran 3: Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di pihak lain, perusahaan menghadapi beberapa kendala / kelemahan internal. Kondisi bisnis pada kuadran 3 ini mirip dengan Question Mark pada BCG Matrix. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah – masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. Kuadran 4: Merupakan sebuah situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Menurut David (2006:204), matrix SWOT diperlukan sebagai alat untuk membantu manajer perusahaan dalam mengembangkan 4 jenis strategi, yaitu : 1. Strategi Strengths-Opportunities Strategi ini menggunakan kekuatan internal organisasi untuk mendapatkan keunggulan atas peluang yang ada di luar. Dengan strategi ini, saat perusahaan melihat adanya kelemahan maka akan segera berusaha mengatasi kelemahan tersebut sehingga menjadi kekuatan perusahaan dan apabila adanya ancaman,
30 perusahaan cenderung menghindarinya dan mencari peluang lain. 2. Strategi Weaknesses-Opportunities Strategi ini memfokuskan kepada peningkatan kelemahan internal dengan mengambil keuntungan dari peluang yang ada di luar. Sehingga adanya peluang yang terdapat diluar tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan karena adanya kelemahan internal perusahaan. 3. Strategi Strength-Threats Strategi ini menggunakan kekuatan perusahaan untuk meminimalisasi dampak ancaman luar terhadap perusahaan. 4. Strategi Weaknesses-Threats Strategi ini termasuk strategi defensive yang diarahkan kepada penurunan kelemahan internal dan menghindari ancaman luar. Perusahaan yang menghadapi berbagai ancaman dan memiliki kelemahan internal berada di dalam posisi yang mengkhawatirkan.
31
2.2.6 Kerangka Pikir Langkah – langkah yang digunakan dalam penulisan ini adalah :
Gambar 2.12 Kerangka Pikir
32
Gambar 2.13 Kerangka Pikir (2)