BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Manajemen Persediaan Manajemen persediaan berhubungan dengan pembuatan keputusan dalam
bidang pembelian, distribusi, dan logistik. Lebih spesifik lagi manajemen persediaan mengatur kapan harus melakukan pemesanan dan jumlahnya berapa. Persediaan dalam berbagai hal merupakan sesuatu yang penting. Seperti persediaan terhadap bahan baku dan barang setengah jadi berguna untuk membantu kelangsungan proses produksi dalam manufaktur. Lalu, persediaan terhadap barang jadi berguna untuk mengantisipasi segala sesuatu yang terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen (end user). Selain itu, persediaan terhadap material penunjang produksi seperti spare part mesin produksi berguna untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tidak terduga (misal mesin rusak) dalam proses produksi. Tidak hanya perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur yang memerlukan persediaan (inventory), namun perusahaan jasa seperti bank, rumah sakit, hotel, restoran, dan sekolah juga memiliki persediaan dalam perusahaannya. Sebagai contoh rumah sakit memerlukan manajemen terhadap persediaan darah, jarum suntik, perban, dll. Oleh karena itu, manajemen persediaan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan. Pengaturan terhadap persediaan aset perusahaan yang baik akan berdampak baik pula bagi kinerja sebuah perusahaan. Bagi para analis, manajer, konsultan, dan wiraswasta, kesempatan untuk menambah nilai dari proses manufaktur dan
17
logistik merupakan hal yang besar. Berdasarkan penelitian para ahli didapatkan hasil bahwa sebagian besar perusahaan tidak mengerti dengan benar mengenai inventory management and production planning and scheduling. Padahal dalam kehidupan nyata, manajemen persediaan ini begitu penting pengelolaannya. Tujuan akhir dari manajemen persediaan adalah tidak lain untuk meningkatkan service level perusahaan kepada konsumen sebagai end user. Oleh karena itu, pembenahan perlu dilakukan terhadap perusahaan yang tidak mementingkan manajemen persediaan. Persediaan adalah material dan suplai yang di dalam bisnis digunakan sebagai input atau penyokong terhadap proses produksi atau dapat juga berupa produk siap jual. Setiap bidang bisnis memerlukan persediaan dalam menjalankan usahanya. Manajemen persediaan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Aliran dan jenis persediaan yang dibutuhkan. 2. Supply and demand patterns. 3. Fungsi dari persediaan, yaitu menyelaraskan antara suplai dan permintaan. 4. Tujuan dari persediaan, yaitu memaksimalkan customer service, meminimalkan biaya produksi, dan investasi inventory yang rendah. 5. Biaya persediaan. Dalam batch manufacturing, persediaan merupakan penyokong (buffer) antara: 1. Suplai dan permintaan. 2. Permintaan pelanggan dan produk. 3. Produk dan ketersediaan komponen. 4. Permintaan suatu proses produksi dan output dari proses sebelumnya.
18
5. Material untuk memulai produksi dan suplai dari material tersebut.
2.2
Keanekaragaman Stock Keeping Unit Dalam Perusahaan Setiap barang diproduksi disimpan dengan cara yang berbeda-beda.
Perbedaan ini dapat terletak pada biayanya, berat, volum, warna, bentuk, dll. Penyimpanan dapat dilakukan dengan meletakkannya pada kotak, kerat, lemari, dalam bentuk pallet, atau dalam ruangan penyimpanan khusus seperti temperature controlled-rooms. Selain itu, permintaan terhadap suatu barang pun berbeda-beda. Dapat diambil satu per satu atau dalam jumlah banyak, untuk barang jadi dapat diambil oleh konsumen atau diantar oleh perusahaan, dll. Terdapat juga barang yang dapat digantikan oleh barang lainnya yang berfungsi sama apabila terjadi stock out. Lalu,
setiap
barang
memiliki
supplier
yang
berbeda-beda,
cara
pengantarannya serta lama pengantaran juga berbeda, dan jumlah minimum pembeliannya pun terkadang berbeda. Dalam beberapa kasus, barang yang diterima dalam kondisi rusak. Dari gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuatan keputusan dalam manajemen persediaan serta perencanaan produksi merupakan sebuah permasalahan dengan menyatukan faktor internal maupun faktor eksternal perusahaan dalam jumlah banyak serta keanekaragaman dengan tingkat yang tinggi.
19
Tiga pertanyaan dasar yang harus dapat dijawab oleh manajemen persediaan sebagai berikut: 1. Seberapa sering status persediaan harus dikontrol 2. Kapan pemesanan harus dilakukan 3. Berapa jumlah yang harus dipesan Pembuat keputusan dalam manajemen persediaan dan perencanaan produksi biasanya melakukan pendekatan yang tergolong simpel. Kemampuan manusia untuk mengolah seluruh faktor yang bersangkutan dalam membuat keputusan sangatlah terbatas sehingga diperlukan bantuan dari karyawan-karyawannya. Keputusan yang dibuat memang dikategorikan kompleks dan seluruhnya bergantung pada kekuatan intuisi dari pembuat keputusan. Pengontrolan sebaiknya dilakukan secara simultan dan dilakukan dari sudut pandang barang per individunya. Karena kemampuan manusia terbatas dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan seluruh faktor yang terlibat maka sistem dan peraturan seharusnya didisain untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Tentunya sistem dan peraturan ini ditetapkan oleh top management dan melibatkan seluruh karyawan yang bersangkutan agar segala sesuatunya terkoordinasikan dengan baik. Koordinasi ini menjadi penting sehingga karyawan tidak hanya melakukan tugasnya, namun juga mengerti apa yang sedang ia lakukan dan bagaimana dampaknya bagi perusahaan sehingga setiap individu dalam perusahaan memiliki perasaan ”cinta” terhadap perusahaannya.
20
2.2.1
Petunjuk Dalam Membuat Keputusan Untuk Mengatur Persediaan Yang Beraneka Ragam
2.2.1.1 Petunjuk Secara Konseptual Berikut ini adalah petunjuk secara konseptual dalam membuat keputusan: 1. Keputusan dalam sebuah perusahaan dapat dianggap sebagai hirarki, yaitu strategic planning (jangka panjang), tactical planning (jangka menengah), dan operational control (jangka pendek). 2. Pada hirarki jangka panjang ditentukan tipe sistem pengontrolan, kemudian pilihlah parameter secara spesifik untuk sistem yang telah ditentukan. 3. Sejumlah besar barang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori yang memiliki beberapa kesamaan. 4. Kerumitan dalam membuat keputusan dapat dikurangi dengan identifikasi setiap barang dan hanya faktor-faktor penting saja yang dapat diperhitungkan secara eksplisit seperti ordering cost dan demand rates.
2.2.1.2 Petunjuk Fisik Berikut ini adalah petunjuk fisik dalam membuat keputusan: 1. Pembuat keputusan dapat menggunakan software komputer dan tentunya pemasukan data harus dilakukan dengan hati-hati. 2. Pembuatan keputusan berdasarkan software sebaiknya diperhatikan oleh pihak yang bertanggung jawab terutama pada peristiwa-peristiwa tertentu.
21
2.3
Kerangka Kerja Manajemen Persediaan
2.3.1
Kategori Umum Dalam Pengontrolan Aggregate Inventories Terdapat 6 kategori umum untuk mengontrol aggregate inventories, yaitu:
1. Cycle stock Jika perusahaan memproduksi 1000 unit barang dan permintaannya sejumlah 800 unit barang maka cycle stock yang dimiliki perusahaan sebesar selisih produksi dan permintaan yaitu 200 unit barang. 2. Congestion stock Stok pada kategori ini bertujuan untuk memberikan tambahan stok agar proses produksi berjalan lancar. Ketika suatu mesin memerlukan perbaikan maka proses secara langsung maupun tidak langsung dapat terganggu. Dengan adanya congestion stock maka proses dapat tetap berjalan dengan semestinya. 3. Safety Stock Safety stock adalah sejumlah barang yang disediakan oleh perusahaan dalam rangka menghadapi ketidakpastian permintaan dan ketidakpastian pengantaran barang dari supplier. Apabila permintaan di masa yang akan datang pada sebuah perusahaan bersifat stabil maka perhitungan safety stock tidak diperlukan lagi. 4. Anticipation inventory Anticipation inventory adalah stok yang berguna untuk menghadapi waktu-waktu tertentu. Misalnya liburan, lebaran atau peak season lainnya.
22
Selain itu dapat juga mengantisipasi hal-hal lainnya seperti pada saat terjadi perang, pemogokan karyawan pabrik, dll. 5. Pipeline inventories atau Work in process inventories Kategori ini meliputi stok-stok yang terdapat dalam transit misalnya antara tingkat sistem distribusi atau antara work station di dalam pabrik itu sendiri. 6. Decoupling stock Kategori ini biasanya dilakukan untuk mengatasi situasi yang terjadi pada tingkat sistem distribusi sehingga setiap tingkat dalam sistem distribusi dapat mengambil keputusan secara terpisah. Misalnya stok yang terdapat diantara supplier dan konsumen. Sebaiknya manajemen perusahaan dapat menghitung berapa jumlah setiap unitnya di dalam masing-masing kategori di atas. Penentuan ini akan membantu manajemen perusahaan dalam mengontrol persediaan barangnya
2.3.2
ABC Classification Keputusan manajemen dalam mengelola persediaan seharusnya dibuat
sesuai dengan produknya masing-masing. Stok yang telah dikelompokkan secara spesifik untuk dikontrol disebut stock keeping unit, dimana SKU akan dikelompokkan berdasarkan fungsi, ukuran warna, karakteristik, lokasi, style, dll. Sebagai contoh adalah terdapat dua sepatu dengan bentuk yang sama namun berbeda warna, maka kedua benda ini akan diletakkan pada SKU yang berbeda pula.
23
Dari banyak penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 20% pemesanan barang merupakan 80% penggunaan dari total uang yang disediakan. Oleh karena itu, para ahli menyarankan untuk tidak semua SKU yang terdapat di dalam gudang diperlakukan dengan tindakan yang sama. Nilai SKU dapat diperoleh dengan mengalikan nilai per unit dengan jumlah permintaan tahunan dari masing-masing SKU.
Gambar 2.1 Distribusi Nilai SKU Dengan adanya konsep di atas maka para ahli menganjurkan menggunakan ABC classification dalam rangka mengontrol persediaan perusahaan dengan benar. ABC classification menggunakan pengelompokkan benda sesuai dengan jenisnya, yaitu: 1. A items Benda pada kategori ini merupakan benda yang paling penting. Sejumlah 20% barang mengakibatkan 80% dari total pengeluaran inventory.
24
2. B items Sejumlah 30% barang mengakibatkan 15% dari total pengeluaran inventory. 3. C items Sejumlah 50% barang mengakibatkan 5% dari total pengeluaran inventory. Untuk kategori ini dapat dilakukan pengambilan keputusan sesederhana mungkin. Benda-benda yang tergolong di dalam kategori ini biasanya berdasarkan tingkat penggunaan yang tinggi, mudah didapatkan dimanamana, memiliki konsumen yang sama, lead times tidak lama, dll.
Dalam pengaplikasiannya nilai presentase di atas tidak perlu digunakan secara mutlak, cukup hanya dalam jangkauan mendekati persentase di atas. Metode di atas dapat membantu dalam pengklasifikasian material. Dengan menggunakan pendekatan ABC classification, maka terdapat dua peraturan umum, yaitu: 1. Memiliki sejumlah besar C items. C items mewakili 50% dari seluruh inventory namun hanya memerlukan 5% dari total nilai inventory. Oleh karena itu, sebaiknya buatlah safety stock dalam jumlah besar. 2. Melakukan pengontrolan dengan benar terhadap A items. Sebaiknya untuk material A items dilakukan pengontrolan dalam frekuensi yang sering karena A items memerlukan sekitar 80% dari jumlah total nilai inventory yang ada.
25
2.3.3
Spesifikasi Bill of material Bill of material adalah sebuah daftar jumlah komponen, campuran bahan
dan bahan baku yang diperlukan untuk membuat suatu produk. Sebuah resep dapur yang menspesifikasikan campuran bahan dan jumlah maupun kumpulan bahan. Produk yang berbeda di atas segala tingkatan dinamakan induk, sedangkan yang berbeda dibawah tingkatan disebut komponen atau anak. Suatu Bill-ofmaterial memberikan struktur bagi produk itu. Bill of material tidak hanya menspesifikasikan kebutuhaan produksi, tapi juga berguna untuk pembebanan biaya dan dapat dipakai sebagai daftar bahan yang harus dikeluarkan untuk karyawan produksi atau perakita. Bila bill-ofmaterial digunakan dengan cara ini biasanya dinamakan daftar pilih. Adapun spesifikasi dari bill-of-material adalah sebagai berikut : 1. Bill of material yang berupa modul (Modular Bills) Bill of material yang diatur seputar modul produk. Modul bukan merupakan produk akhir yang akan dijual, tapi merupakan komponen yang dapat diproduksi dan dirakit menjadi satu unit produk.Modulmodul ini mungkin merupakan komponen inti dari suatu produk akhir atau pilih produk.Bill of material untuk modul-modul tersebut disebut modular bill. 2. Bill untuk perencanaan dan PHANTOM BILLS Bill untuk perencanan diciptakan agar dapat menugaskan induk buatan kepada bill of materialnya. Bill untuk perencanaan mungkin juga dikenal dengan sebutan pseudo bill atau angka peralatan. Phamtom bill of
26
material adalah bill of material untuk komponen, biasanya sub-sub perakitan yang hanya ada untuk sementara waktu. Bill ini langsung bergerak ke perakitan lainnya. Sehingg, bill ini diberi kode agar diperlakukan secara khusus, lead time-nya nol, dan ditangani sebagai bagian integral dari bahan induknya. Phantom bill tidak pernah dimasukan kedalam persediaan. 3. Pemberian kode tingkat rendah Pemberian kode tingkat rendah akan suatu bahan dalam bill of material diperlukan bila ada produk-produk yang serupa satu sama lainnya si bill of material . Pemberian kode tingkat rendah berarti suatu produk diberi kode tingkat rendah dimana produk itu ada. Pemberian kode tngkat rendah memungkinkan untuk menghitung dengan mudah kebutuhaan suatu bahan.
2.3.4
Variabel-variabel lainnya Variabel lainnya yang berpengaruh pada manajemen persediaan adalah
replenishment lead time. Replenishment lead time adalah waktu yang dibutuhkan dari pemesanan dilakukan sampai barang yang dipesan tiba. Lead time dari setiap barang harus diketahui agar kekurangan barang dapat dihindari oleh perusahaan. Pemesanan barang tentunya dilakukan pada saat titik minimum barang telah tercapai, dengan diketahuinya lead time setiap barangnya maka perusahaan dapat memperkirakan berapa permintaan barang tersebut pada saat dilakukan pemesanan tersebut sehingga stockout dapat terhindarkan.
27
Terdapat
lima
komponen
yang
termasuk
di
dalam
perhitungan
replenishment lead time, sebagai berikut: 1. Order preparation time Order preparation time merupakan waktu ketika perusahaan memutuskan untuk memesan barang sampai pemesanan dilakukan. 2. Transit time dalam mencapai supplier 3. Waktu pada saat di supplier 4. Transit time ketika barang diterima 5. Waktu ketika barang telah tiba sampai barang telah ditempatkan di gudang penyimpanan. Pada kategori ini waktu biasanya diabaikan padahal terkadang memakan waktu yang lama seperti waktu penginspeksian. Tabel berikut ini menampilkan variabel-variabel lainnya yang termasuk di dalam manajemen persediaan.
28
Tabel 2.1 Inventory Planning Decision Variables SERVICE REQUIREMENT Customer expectation Competitive practices Customer promise time required Order completeness required Ability to influence and control customer Special requirements for large customer
CUSTOMER ORDERING CHARACTERISTIC Order timing Order size Advance information for large orders Extent of open or standing orders Delay in order processing
DEMAND PATTERNS Variability Seasonability Extent of deals and promotions Ability to forecast Any dependent demand Subsitution
SUPPLY SITUATION Lead times Reliability Flexibility Ability to expedite Minimum orders Discounts (volume, freight) Availability Production versus non-production
COST FACTORS Stockout Carrying cost Expediting Write-off Space Spoilage
NATURE OF PRODUCT Consumable Perishable Recoverable/Repairable
OTHER ISSUES ABC pattern Timing and quality of information Number of stocking location Who bears the cost of inventory
(Sumber: Buku Inventory Management and Production Planning and Scheduling)
2.4 2.4.1
Pengontrolan Persediaan (Inventory Perusahaan) Metode Pengontrolan Cara pengontrolan material dapat dilakukan dengan continous review atau
periodic review. Penjelasan terhadap dua macam metode tersebut sebagai berikut:
29
1. Continous Review Metode ini melakukan pengontrolan material secara terus menerus sehingga memiliki kelebihan sedikitnya jumlah safety stock. Namun, biaya pengamatan akan lebih tinggi dibandingkan periodic cost serta jumlah tenaga kerja yang diperlukan sewaktu-waktu dapat berubah karena tergantung dari kebutuhan material tersebut. 2. Periodic Review Pada metode ini inventory selalu diamati stock-nya pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh manajemen, misalnya sebulan sekali. Keuntungannya adalah konstan baik dalam segi supplier, waktu, harga, waktu tiba material sehingga menimbulkan koordinasi yang baik. Selain itu, pekerja yang terlibat pun dapat diprediksi dengan baik dan biaya pengamatan
serta
error
dapat
berkurang.
Kerugiaannya
adalah
diperlukannya safety stock dalam jumlah yang banyak.
2.4.2
Macam-Macam Tipe Sistem Pengontrolan
2.4.2.1 Order Point, Order Quantity (s,Q) System Kategori ini merupakan bagian dari continous review dikarenakan setiap waktu jumlah persediaan di gudang telah mencapai order point atau bahkan lebih rendah lagi maka dilakukan pemesanan sejumlah order quantity. Jumlah dari order quantity adalah sama setiap saatnya. Keuntungannya adalah mudah untuk diterapkan karena sangatlah simpel dan mudah dimengerti oleh karyawan perusahaan. Sedangkan kerugiannya adalah pada saat terjadi permintaan yang
30
sangat besar maka terkadang persediaan di dalam kurang memadai karena jumlah order quantity selalu sama. Tentu saja hal ini akan membahayakan di masa yang akan datang apabila terjadi lonjakan permintaan dalam waktu yang berturut-turut. Sebaiknya digunakan untuk B,C items.
Gambar 2.2 Order Point, Order Quantity (s,Q) System
2.4.2.2 Order Point, Order Up To Level (s,S) System Kategori ini juga merupakan sistem pengontrolan dalam continous review. Berbeda dengan sistem di atas. Dalam sistem ini order quantity tidak tetap. Pemesanan barang akan selalu dilakukan sampai persediaan di gudang mencapai titik maksimum. Nilai S didapatkan dari penambahan order point dan order quantity (dalam kondisi normal). Keuntungannya adalah persediaan akan selalu tersedia sehingga permintaan pun akan selalu terpenuhi. Namun, apabila menggunakan sistem ini supplier seringkali salah karena pemesanan selalu dilakukan dengan jumlah yang berbeda-beda. Sebaiknya digunakan untuk A items.
31
Gambar 2.3 Order Point, Order Up To Level (s,S) System
2.4.2.3 Periodic-Review, Order Up To Level (R,S) System Kategori ini merupakan periodic review. Setiap kali terjadi pengurangan persediaan di gudang maka pada waktunya akan dilakukan pemesanan sampai jumlah maksimal yang telah ditetapkan. Penerapan sistem ini akan berdampak inventory carrying cost yang tinggi. Sebaiknya digunakan untuk B,C items.
Gambar 2.4 Periodic-Review, Order Up To Level (R,S) System
32
2.4.2.4 Periodic-Review, Order Point, Order Up To Level (R,s,S) System Sistem ini merupakan gabungan dari (s,S) system dan (R,S) system. Sistem ini agak susah untuk diterapkan dan ada kemungkinan terjadinya kekurangan barang. Sebaiknya digunakan untuk A items.
Gambar 2.5 Periodic-Review, Order Point, Order Up To Level (R,s,S) System Pemilihan sistem kontrol perusahaan merupakan kebijakan top management. Selain itu, berdasarkan karakteristik produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Kesemua hal ini sebaiknya dilakukan secara hati-hati.
2.5 2.5.1
PERHITUNGAN Perhitungan Safety Stock Sebelum memasuki tahap perhitungan safety stock, ada baiknya jika penulis
menjabarkan beberapa istilah dari stock level sebagai berikut:
33
1. On-hand stock On-hand stock merupakan stok barang yang secara fisik terlihat atau dapat ditemukan di gudang. 2. Net stock
Net stock = On-hand stock - Backorders
Jumlah dari stok ini dapat menembus angka negative apabila jumlah backorders lebih tinggi dibandingkan jumlah on-hand stock. Backorders merupakan sejumlah barang pesanan konsumen yang tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan dengan tepat waktu. 3. Inventory Position
Inventory position = On-hand stock + On-orders – Backorders - Comitted
Inventory position merupakan kunci kapan perusahaan sebaiknya memesan. 4. Safety stock Untuk mengatasi ketidakpastian dalam menangani permintaan barang, biasanya perusahaan menggunakan metode safety stock. Safety stock digunakan untuk mengatasi ketidakpastian suplai dan permintaan. Ketidakpastian ini dapat terjadi dalam dua hal, yaitu ketidakpastian jumlah dan ketidakpastian waktu. Terdapat dua cara dalam menangani kedua masalah di atas. Cara tersebut adalah
34
safety stock dan safety lead time. Safety lead time digunakan untuk mengatasi ketidakpastian dalam hal waktu dengan merencanakan order release dan order receipt lebih cepat dari yang seharusnya. Perhitungan safety stock memerlukan perhitungan standard deviation (sigma). Standard deviation merupakan nilai statistik yang mengukur seberapa jauh penyimpangan yang terjadi terhadap rata-rata (penggunaan barang) dalam satu waktu.
Safety Stock = Standard Deviation x Safety Factor
Nilai dari safety factor didapatkan berdasarkan service level yang ditetapkan oleh manajemen perusahaan. Service level merupakan pernyataan persentase dalam menangani permintaan akan suatu barang.
2.5.2
Perhitungan Maximum Level Inventory dan Order Quantity Dalam Periodic Review
T = D (R+L) + Safety Stock
T= Maximum Level Inventory D= Demand per unit time L= Lead time R= Review period
35
Sedangkan order quantity dihitung dengan menggunakan rumus: Order Quantity = Maximum Level Inventory – Inventory On Hand
2.5.3
Perhitungan Economic Order Quantity
Economic order quantity merupakan perhitungan jumlah order quantity yang optimum dengan mempertimbangkan faktor ekonomi. Perhitungan EOQ (Economic Order Quantity) memiliki asumsi sebagai berikut: 1. Permintaan relatif konstan dan telah diketahui. 2. Produk dibeli dalam batch dan tidak secara kontinu. 3. Biaya pemesanan dan inventory carrying cost adalah konstan dan telah diketahui. 4. Hanya untuk sekali pengantaran.
Carrying cost = Ordering cost
QIC AS = 2 Q Maka, didapat:
Q=
Q= Economic order quantity
2 AS ic
36
A= Annual demand S= Ordering Cost i= carrying cost c= unit cost
Perhitungan EOQ meliputi pengolahan data mengenai informasi-informasi yang berkaitan dengan permintaan tahunan rata-rata, biaya tetap per sekali order, dan inventory carrying cost.
Gambar 2.6 EOQ Model
Permintaan tahunan rata-rata merupakan kisaran jumlah yang diorder terhadap suatu barang dari tahun ke tahun. Sedangkan ordering cost mencakup biaya-biaya yang sudah pasti akan muncul dalam setiap kali order, berapa pun kuantitas barang yang dipesan. Di dalam perhitungan ordering cost terdapat pula komponen biaya inspeksi atau pada perusahaan tertentu biaya inspeksi ini adalah biaya quality control.
37
Secara umum QC cost diklasifikasikan ke dalam empat tipe sebagai berikut: 1. Appraisal costs Appraisal costs merupakan biaya inspeksi, tes dan pekerjaan lainnya untuk menjamin bahwa produk/ proses dapat diterima. 2. Prevention costs Prevention costs merupakan komponen biaya untuk menghindari cacat, seperti: biaya identifikasi penyebab kerusakan, biaya implementasi aktivitas perbaikan, pelatihan personel, mendesain ulang sistem baru dan membeli modifikasi peralatan baru. 3. Internal Failure Costs Internal Failure Costs yaitu biaya untuk kerusakan yang terjadi di dalam sistem. 4. External failure Costs Yang terakhir adalah External failure Costs yang merupakan biaya kerusakan yang berhasil melewati sistem seperti garansi konsumen, penangangan komplain dan perbaikan produk.
38
Tabel 2.2 Quality Cost Report Quality Cost Report Prevention Cost Quality training Reliability consulting Pilot production runs System development Appraisal Cost Materials inspection Supplies inspection Reliability testing Laboratory testing Internal Failure Cost Scrap Repair Rework Downtime External Failure Cost Warranty cost Out-of-warranty repairs and replacement Customer complaints Product liability Transportation losses
1(Sumber: Buku Operation Management for Competitive Advantage)
Inventory carrying cost adalah biaya untuk menjaga rata-rata investasi inventory dalam gudang atau lokasi lain dimana bahan mentah atau barang jadi disimpan. Biasanya biaya holding inventory berkisar 15%-43% dari total nilai inventory yang ada. Dalam keadaan nyata tidaklah mudah menerapkan teori di dalam
dunia
yang
sebenarnya.
Sebagai
jalan
tengah,
para
manajer
mengalokasikan inventory carrying cost kepada setiap kelompok-kelompok produk yang memiliki persamaan dalam hal komponen-komponen biaya.
39
Tabel 2.3 Komponen Inventory Carrying Cost Komponen-komponen dari Inventory Carrying Cost Costs Percentage Item 8-22% Cost of capital atau Opportunity cost 1-3% Cost of Space (Heating, Lighting, Depreciation, etc ) 1-3% Handling Cost 1-3% Stock Obsolescence 3-10% Spoilage, Palverage, Inventory Damage, etc. 1-4% Insurance Total 15-43%
(Sumber: http://www.gcrl.ca/english)
Penentuan inventory carrying cost sebaiknya melibatkan langsung top management. Hal ini dikarenakan keputusan yang berhubungan inventory carrying cost akan berdampak terhadap seluruh proses baik langsung maupun tidak langsung. Koordinasi antara manajemen dan karyawan sangatlah penting agar penentuan inventory carrying cost
tidak melesat jauh dari keadaan
sebenarnya. Perhitungan inventory carrying cost tidaklah mudah. Oleh sebab itu, apabila perusahaan telah mendapatkan gambaran kasarnya maka sudah tergolong bagus. Jarang sekali terdapat perusahaan yang menghitung inventory carrying cost secara detil. Jadi, kebanyakan perusahaan hanya mengambil angka yang kira-kira mendekati keadaan perusahaannya
40
2.5.4
Perencanaan Agregat
Perencanaan Agregat adalah : ” perencanaan yang dibuat untuk menentukan total permintaan dari seluruh elemen produksi dan jumlah tenaga kerja yang diperlukan” (David D. Bedworth,etc). Perencanaan Agregat adalah : ” proses perencanaan kuantitas dan pengaturan waktu keluaran selama periode waktu tertentu (3 bulan sampai 1 tahun) melalui penyesuaian variabel-variabel tingkat produksi karyawan, persediaan, variabel yang dapat dikendalikan lainnya ” (T. Hani Handoko) Perencanaan Agregat merupakan perencanaan produksi jangka menengah. Horizon perencanaannya biasanya berkisar antara 1-24 bulan atau bisa bervariasi dari 1-3 tahun. Horizon tersebut tergantung pada karakteristik produk dan jangka waktu produksi. Periode perencanaan disesuaikan dengan periode peramalan, biasanya 1 bulan. Tujuan perencanaan produksi adalah menyusun suatu rencana produksi untuk memenuhi permintaan pada waktu yang tepat dengan menggunakan sumber-sumber atau alternatif-alternatif yang tersedia dengan biaya yang paling minimum keseluruhan produk. Perencanaan agregat ini merupakan langkah awal aktivitas perencanaan produksi yang dipakai sebagai pedoman untuk langkah selanjutnya, yaitu penyusunan jadwal induk produksi (JIP). Perencanaan agregat adalah suatu langkah pendahuluan perencanaan kapasitas secara terperinci. Perencanaan agregat merupakan dasar untuk membuat jadwal induk produksi (JIP). JIP menyajikan rencana produksi detail untuk setiap produk akhir. Proses penyusunan JIP untuk perusahaan yang ‘Make to Stock’ akan
41
berbeda dengan perusahaan yang ‘Make to Order’. Hal ini dikarenakan sumber informasi permintaan atau kebutuhan yang berbeda. Bagi perusahaan yang ‘ Make to Stock’, informasi permintaan didapat dari hasil peramalan. Bagi perusahaan yang ‘Make to Order’, informasi permintaan diperoleh dari order-order (pesanan) yang diterima dari pelanggan. Asumsi metode transportasi adalah sebagai berikut : 1.
Kapasitas produksi dan permintaan dinyatakan dalam satuan yang sama
2.
Total kapasitas sama dengan total permintaan dalam Horizon yang sama. Jika keadaan ini tidak terpenuhi, maka harus dibuat kapasitas atau permintaan buatan atau dummy dengan biaya nol per unit, sehingga sistem jadi seimbang.
3.
Semua hubungan biaya linear.
Sasarannya metode transportasi adalah meminimumkan biaya total (produksi reguler, subkontrak, lembur, menganggur, dan penyimpanan). Metode matematis untuk menyelesaikan masalah transportasi ini ada banyak,diantaranya metode North West Corner Rule (NWCR), metode Vogel’s approximated methods (VAM), metode Least Cost, dan lain-lain. Diantara ketiga metode tersebut yang akan dibahas adalah metode Least Cost dan Aproksimasi Vogel. Hal ini dikarenakan diantara ketiga metode tersebut yang dapat dikatakan baik adalah metode Least Cost dan metode Aproksimasi Vogel. Pada umumnya metode Least Cost akan memberikan solusi awal lebih baik (biaya lebih rendah) dibandingkan metode North West Corner, karena metode Least Cost menggunakan biaya per unit sebagai kriteria lokasi sementara metode North West tidak. Akibatnya banyak
42
metode North West Corner, karena metode Least Cost menggunakan biaya per unit sebagai kriteria lokasi sementara metode North West tidak. Akibatnya banyak iterasi tambahan yang diperlukan untuk mencapai solusi optimum lebih sedikit. Namun, dapat terjadi meskipun jarang, dimana solusi awal yang sama atau lebih baik dicapai melalui metode North West Corner. Sedangkan metode Aproksimasi Vogel atau sering disebut juga VAM selalu memberikan suatu solusi awal yang lebih baik dibanding metode North West Corner dan seringkali lebih baik daripada metode Least Cost. Kenyataannya, pada beberapa kasus, solusi awal yang diperoleh melalui VAM akan menjadi optimum. VAM melakukan alokasi dalam suatu cara yang akan meminimumkan penalty (opportunity cost) dalam memilih kotak yang salah untuk suatu alokasi .
2.5.4.1 Alasan Aggregat Inventory Investment Berfluktuasi Terdapat fakta bahwa ekonomi perusahaan merupakan sebuah perputaran (business cycle) dan persediaan memegang peranan penting dalam perputaran ini.
Gambar 2.7 Business Cycle
43
Pada titik A, keadaan ekonomi tampak bagus, produk dan para manajer optimis dalam melakukan penjualan di masa yang akan datang. Dikarenakan terlalu optimis, produksi yang dilakukan terlalu banyak dan tidak dapat terjual. Surplus produksi ini meningkatkan persediaan sehingga perusahaan menurunkan tingkat produksi. Seiring berjalannya waktu, penjualan pun akan melebihi tingkat produksi. Perputaran ini akan terjadi terus menerus. Berdasarkan business cycle di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjalankan suatu perusahaan diperlukan kemampuan dari pembuat keputusan (manajemen) untuk bereaksi secara cepat dan berubah secara tepat. Dengan adanya kemampuan ini dapat dipastikan perusahaan dapat bertahan di dalam dunia persaingan yang semakin kompetitif ini. Pemahaman terhadap manajemen persediaan dan perencanaan produksi oleh para manajer akan mendukung terciptanya kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan penting.
2.5.5
Tabel Transportasi
Karena bentuk masalah transportasi yang khas, ia dapat ditempatkan dalam suatu bentuk tabel khusus yang dinamakan tabel transportasi. Ada beberapa metode yang digunakan dalam model transportasi diantaranya : a. Metode North – West Corner Metode ini adalah metode yang paling sederhana diantara tiga metode-metode yang lain untuk mencarai solusi awal. Langkah – langkahnya diringkas seperti berikut:
44
1) Mulai pada pojok barat laut tabel dan alokasikan sebanyak mungkin pada X
11
tanpa menyimpang dari kendala penawaran atau permintaan ( artinya
X 11 ditetapkan sama dengan yang terkecil diantara nilai S1dan D1 ) 2) Ini akan menghabiskan penawaran pada sumber 1 dan atau permintaan pada tujuan 1. Akibatnya, tidak ada lagi barang yang dapat dialokasikan kekolom atau baris yang telah dihabiskan dan kemudian baris atau kolom itu dihilangkan. Kemudian dialokasikan sebanyak mungkin kekotak didekatnya pada baris atau atau kolom yang tak dihilangkan. Jika baik kolom maupun baris telah dihabiskan, pindahlah secara diagonal kekotak berikutnya. 3) Lanjutkan dengan cara yang sama sampai semua penawaran telah dihabiskan dan keperluaan permintaan telah dipenuhi. b. Metode Least - Cost Metode Least – Cost berusaha mencapai tujuan minimasi biaya dengan alokasi sistematik kepada kotak – kotak sesuai dengan besarnya biaya transpor per unit. Prosedur ini adalah: 1) Pilih varible Xij ( kotak ) dengan biaya transpor ( Cij ) terkecil dan dialokasikan sebanyak mungkin. Untuk Cij terkecil, Xij = minimum | Si , Dj |. Ini akan menghabiskan baris i atau kolom j. 2) Dari kotak – kotak sisanya yang layak ( yaitu yang tidak tersisi atau tidak dihilangkan ), pilih nilai terkecil Cij tekecil dan alokasikan sebanyak mungkin. 3) Lanjutkan proses sampai semua penawaran dan permintaan terpenuhi.
45
c. Metode Aproksimasi Vogel ( VAM ) VAM selalu memberikan suatu sousi awal yang lebih baik dibanding metode North- West Corner dan sering kali lebih baik daripada metode Least – Cost. Kenyataan pada beberapa kasus, solusi awal yang diproleh melalui VAM akan menjadi optimum. VAM melakukan alokasi dalam suatu cara yang akan meminimumkan penalty ( opportunitty cost ) dalam memilih kotak yang salah untuk satu alokasi. Proses VAM dapat diringkas sebagai berikut: 1) Hitung opportunitty cost untuk setiap baris dan kolom. Opportunity cost untuk setiap baris i dihitung dengan mengurangkan nilai Cij satu tingkat yang lebih besar pada baris yang sama. Opportunity cost kolom diproleh dengan cara yang serupa. Biaya – biaya ini adalah penalty karena tidak memilih kotak dengan biaya minimum. 2) Pilih baris atau kolom dengan opportunity cost terbesar ( jika terdapat nilai kembar, pilih secara sembarang ). Alokasikan sebanyak mungkin ke kotak dengan nilai Cij minimum pada baris atau kolom yang dipilih. Untuk Cij terkecil Xij = minimum | Si , Dj |. Artinya penalty terbesar dihindari. 3) Sesuai penawaran dan permintaan untuk menunjukan alokasi yang sudah dilakukan. Hilangkan semua baris dan koom dimana penawaran dan permintaan telah dihabiskan. 4) Jika semua penawaran dan permintaan belum dipenuhi, kembali ke
langkah 1 dan hitung lagi opprtunity cost yang baru. Jika penawaran dan permintaan, solusi awal telah diproleh.
46
2.5.6
Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)
Sistem MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk produksi menjadi “kebutuhan bersih” untuk semua item. Sistem MRP dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependent secara lebih baik dan efisien. Disamping itu, sistem MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir. Sistem MRP juga dikenal sebagai perencanaan kebutuhan berdasarkan tahapan waktu (time phase requirements planning). Sistem MRP mampu memperbaiki metode perencanaan dan pengendalian persediaan dengan memperhatikan untuk saling tergantung dan pola lumpy dari item-item persediaan sehingga asumsi-asumsi yang tidak realistis dalam model persediaan tradisional dapat dihilangkan. Sistem MRP bila diterapkan secara benar akan mengurangi jumlah persediaan barang dan memperbaiki pelayanan pengiriman. Persediaan yang terlalu banyak akan menyebabkan modal tertanam pada persediaan padahal seharusnya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan lain yang akan memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan oleh mekanisme atau prosedur dalam sistem MRP yang memungkinkan kondisi-kondisi nyata yang dalam model tradisional diasumsikan dapat dimasukkan dalam perhitungan.
47
Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan informasi yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pesanan, pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Ada 4 tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP, yaitu sebagai berikut : 1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai atau material harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan dalam jadwal induk produksi. 2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item. 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada pabrik sendiri. 4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan. Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pemesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat
48
memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistik. Ada tiga input yang di butuhkan oleh sistem MRP. Ketiga input itu adalah sebagai berikut : a. Jadwal induk produksi b. Catatan kesehatan Persediaan c. Struktur Produk Jadwal induk produksi dibuat berdasarkan permintaan (yang diperoleh dari daftar pesanan atau peramalan) terhadap semua produk jadi yang di buat. Hasil peramalan (sebagai perencanaan jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi agregat (sebagai perencanaan jangka menengah), yang pada akhirnya dibuat rencana jangka panjang, yaitu menentukan jumlah produksi yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta periode waktunya untuk suatu jangka perencanaan. Perencanaan jadwal induk produksi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan besarnya kapasitas atau kecepatan operasi yang diinginkan. Perencanaan ini biasanya dilakukan pada tingkat agregat (dengan meminimalkan total biaya produksi untuk keseluruhan produk yang dibuat) sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Tahap kedua perencanaan adalah menentukan jumlah total tenaga kerja yang dibutuhkan di setiap periode, jumlah mesin, dan jumlah shift kerja yang diperlukan untuk penjadwalan. Output dari sistem MRP adalah berupa rencana pemesanan atau rencana produksi yang dibuat atas dasar lead time. Lead time dari suatu item yang dibeli adalah rentang waktu sejak
49
pesanan dilakukan sampai barang diterima. Lead time item yang dibuat adalah rentang waktu sejak perintah pembuatan sampai dengan item selesai diproses. Sistem MRP memiliki suatu prosedur tertentu. Agar prosedur ini dapat diterapkan dengan hasil yang tepat, maka ada beberapa prinsip dan persyaratan yang harus disertakan dalam penerapan sistem MRP. Sistem MRP memiliki empat langkah utama yang selanjutnya keempat langkah ini harus diterapkan satu per satu pada periode perencanaan dan pada setiap item. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: •
Lotting : Penentuan ukuran lot.
•
Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
•
Offsetting : Penetapan besarnya lead time.
•
Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk item level di bawahnya.
Dalam sistem MRP terdapat lima faktor yang menyebabkan kesulitan dalam proses perhitungan. Kelima proses tersebut adalah sebagai berikut :
Struktur Produk Struktur Produk merupakan sesuatu yang mutlak harus ada untuk dapat diterapkan sistem MRP. Struktur produk yang rumit dan banyak levelnya akan membuat perhitungan semakin kompleks terutama dalam proses explosion. Proses explosion merupakan suatu prosedur untuk menghitung jumlah kebutuhan kotor dalam tingkat yang lebih bawah setelah dilakukan proses offsetting pada item produknya.
Ukuran lot
50
Dalam sistem MRP dikenal berbagai macam teknik penentuan lot. Berdasar tingkatannya, teknik penentuan lot dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas. b. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas. c. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak terbatas. d. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas. Teknik penetapan ukuran lot dalam satu tingkat dengan asumsi kapasitas tak terbatas dapat diklarifikasikan lagi ke dalam empat cara sebagai berikut : a. Fixed Order Quantity (FOQ) Salah satu cirinya adalah ukuran lotnya selalu tetap, tetapi periode pemesannya selalu berubah. b. Economic Order Point (EOQ) Metode ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun sebesar 12 bulan. Metode ini baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan dan simpan sangat besar. c. Lot For Lot (LFL) Teknik ini digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan per unit sangat mahal. Di samping itu, teknik ini sering
51
digunakan pada sistem prduksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanen pada proses produksinya. d. Fixed Period Requirement (FPR) Dalam metode FPR penentuan ukuran lot didasarkan pada periode waktu tertentu saja.
Lead Time yang berbeda-beda Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time, dimana lead time akan mempengaruhi offsetting. Lead time produksi juga akan tergantung pada berapa banyak jumlah yang diproduksi.
Kebutuhan yang berubah Sistem MRP dirancang untuk menjadi sistem yang fleksibel terhadap perubahan-perubahan, baik perubahan dari luar (permintaan) maupun dari dalam (kapasitas). Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya berpengaruh pada penentuan rencana pemesanan (timing) namun mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang diinginkan.
Komponen Umum Komponen umum berarti kompnen tersebut dibutuhkan oleh lebih baik satu induk item-nya.
Keterangan untuk tabel MRP adalah sebagai berikut : 1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan dirakit.
52
3. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau memanufaktur suatu komponen. 4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang. 5. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 6. On Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang. 8. Lot size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang. 9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan di produksi atau dipakai pada setiap periode. Untuk end item (finished product), kuantitas gross requirement sama dengan Master Production Scheduled (MPS). Untuk komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order Release induknya. 10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada periode tertentu. 11. Projected Available Balance 1 (PAB 1) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. Projected Available Balance 1 dapat dihitung dengan menambahkan material on hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu dan menguranginya dengan Gross Requirement pada periode yang sama. Atau jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut :
53
PAB1 = (PAB 2)t −1 − (Gross Re quirement )t + (Scheduled Re ceipts )t 12. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk memenuhi Master Production Scheduled. Net Requirement = 0 jika PAB1 ≥ 0 dan Net Re quirement = (− )PAB1 jika PAB1 ≤ 0 .
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat yang sama dengan Net Requirement, akan tetapi ukuran pemesanannya (lot sizing) bergantung kepada order policy-nya. Selain itu juga harus mempertimbangkan Safety Stock juga. 14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus direlease atau dimanufaktur sehingga komponen itu tersedia ketika dibutuhkan oleh induk item-nya. Kapan suatu order harus di-release ditetapkan dengan sebelum dibutuhkan. 15. Projected Available Balance 2 (PAB2) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. Projected Available Balance 2 dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned Order
Receipts
pada
Net
Requirements.
PAB 2 = (PAB )t −1 + (Scheduled Re ceipts )t − (Gross Re quirement )t
+ (PlannedOrder Re ceipt )t
atau dapat disingkat : PAB 2 = (PAB1)t + (PlannedOrder Re ceipt )t 16. Teknik Lotting EOQ (Economic Order Quantity) adalah
54
Q∗ =
2 DS H
Di mana : D = pemakaian selama periode perencanaan S = biaya pemesanan H = biaya penyimpanan per unit per periode perencanaa