Bab 2 Landasan Teori
2.1 Konsep Masyarakat Jepang yang Berhubungan dengan Hikikomori Dalam sistem kerja tradisional di Jepang yang mencerminkan sikap umum orang Jepang terhadap kualifikasi pendidikan, kemampuan seseorang secara langsung dan sederhana diterjemahkan melalui kualifikasi pendidikannya. Baik lamanya pendidikan maupun mutu pendidikan itu merupakan kriteria yang relevan. Dengan adanya patokan seperti itu, orang yang kualifikasinya hanya sampai tingkat menengah tidak akan dapat bersaing dengan seorang lulusan universitas dalam memperoleh pekerjaan, apapun kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya (Nakane, 1981:156). Pendidikan di sekolah-sekolah Jepang lebih banyak persaingan-persaingan tajamnya daripada di kebanyakan masyarakat lainnya. Kenyataan ini memberi penjelasan tentang berulang kembalinya setiap tahun berita koran yang tragis tentang peristiwa bunuh diri dari satu atau dua calon mahasiswa setelah gagal dalam ujian masuk Universitas Tokyo. Sekalipun ada kemungkinan bahwa calon mahasiswa itu kurang normal, namun peristiwa semacam ini senantiasa masih ditafsirkan sebagai lambang beratnya tekanan sosial yang dipikirkan para pemuda (Nakane, 1981:160). Pada sepuluh tahun terakhir, dikarenakan tekanan ekonomi, suatu ujian masuk sekolah menjadi sangat penting yang pada akhirnya menjadikan banyaknya remaja mengalami stress. Seringnya stress menjadikan remaja tidak sanggup bersosialisasi dengan dunia luar, dan mereka menyerah untuk kemudian menjadi seorang hikikomori (Murakami, 2000).
8
Perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat suatu negara selalu disebabkan oleh tekanan. Jadi, suatu tindakan pengasingan diri anak-anak di Jepang kemungkinan adalah suatu kejadian baru yang disebabkan oleh perubahan besar yang dialami negara beberapa waktu belakangan ini (Murakami, 2000).
2.2 Konsep Hikikomori Bila dilihat dari asal katanya, hikikomori (引き篭もり) terdiri atas kata hiki dan komori. Hiki atau hiku (引く) berarti ‘menarik’, sedangkan komori atau komoru (篭も る ) berarti ‘menutup diri atau mengurung diri’. Secara singkat, hikikomori dapat didefinisikan sebagai ‘seseorang yang menutup diri dan mengurung diri dari lingkungan sekitarnya’. Istilah hikikomori ditemukan oleh seorang psikolog Jepang, yang didefinisikan sebagai berikut. 引き籠もりとは、人がある程度狭い生活空間の中から社会に出ない事を 言う。具体的には、自分の部屋でほとんどの時間を過ごし、学校や会社 には行かない状態、あるいはそのような人を引きこもりと呼ぶ(Tamaki, 2006)。 Terjemahan: Yang dimaksud hikikomori adalah seorang individu yang dalam keadaan tidak keluar dari ruang hidupnya yang sempit untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Sebagai contoh konkretnya adalah orang-orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam kamar pribadinya, tidak bersekolah maupun bekerja, orang-orang semacam itulah yang disebut hikikomori.
9
Dari definisi hikikomori tersebut di atas didapat dua unsur, yaitu sebagai berikut: 1. Unsur pertama adalah ‘keadaan’, yaitu keadaan seseorang yang tidak keluar rumah, mengurung diri dalam sebuah kamar, dan tidak mau bersosialisasi. Bila seseorang bekerja atau sekolah, ia dalam keadaan tidak aktif dari kegiatan sehari-harinya. 2. Unsur kedua adalah ‘waktu’, yaitu waktu mengurung diri yang lebih dari enam bulan, bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Menteri Kesehatan Jepang mengartikan hikikomori sebagai individu-individu yang tidak mau meninggalkan rumah orang tua mereka, lalu mengasingkan diri mereka dari pergaulan di masyarakat maupun keluarga di dalam sebuah kamar sampai lebih dari enam bulan. Ketika mengalami permasalahan yang sangat rumit dalam hidup mereka, beberapa remaja mengasingkan diri dalam jangka waktu beberapa tahun, atau bahkan lebih dari sepuluh tahun (Dziesinski, 2003). Tamaki dalam Janti (2006) menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan melalui jajak pendapat, ada sekitar satu juta pelaku hikikomori di seluruh Jepang dewasa ini. Penghitungan ini agak sulit dilakukan karena biasanya pelaku hikikomori tidak mengaku mengalami hikikomori, sehingga biasanya anggota keluarga yang melapor. Namun, setelah NHK membuka homepage “Kampanye Membantu Hikikomori” (sejak bulan April 2003), semakin banyak pelaku hikikomori yang mau membuka diri dan berkonsultasi melalui internet. Ada sekitar empat ribu kasus berkonsultasi mengenai hikikomori, dengan 65% dilakukan sendiri oleh pelaku hikikomori, sedangkan sisanya, yaitu 35% dilaporkan oleh orang yang berada di lingkungan para pelaku hikikomori.
10
2.2.1 Gejala Hikikomori Berbagai hal dapat menjadi penyebab hikikomori, namun pada tahap remaja, jika seorang anak masih bersekolah, ada gejala yang dapat dilihat sebelum mereka melakukan hikikomori. Menurut Wikipedia The Free Encyclopedia (2006), gejala-gejala tersebut antara lain sebagai berikut: a. Hikikomori terjadi tidak secara drastis, melainkan secara bertahap sebelum akhirnya pelaku mengunci pintu kamar sama sekali. b. Pelaku hikikomori sebelumnya sering terlihat tidak bahagia, kehilangan kawan, merasa tidak aman, malu, dan berdiam diri. c. Kadang-kadang mereka menjadi bahan ejekan dari kawan-kawan di sekolah, jika keadaan sudah memuncak, ejekan tersebut menjadi pemicu pengurungan dirinya. Bila pelaku hikikomori masih bersekolah, biasanya ia akan melakukan toukoukyohi (menolak pergi ke sekolah disebabkan oleh suatu alasan tertentu) terlebih dulu. Hal ini terutama disebabkan tekanan yang dialaminya dari kawan-kawan di sekolah sehingga ia tidak merasa nyaman lagi untuk pergi ke sekolah. Para pelaku hikikomori yang kurang berinteraksi dengan masyarakat, biasanya kehilangan kemampuan untuk bersosialisasi. Mereka terbiasa untuk mengurung diri dengan membaca manga, menonton televisi atau bermain komputer, sehingga menyebabkan mereka tidak memiliki contoh lain dalam bergaul, selain dari apa yang mereka lihat atau baca (Janti, 2006:193).
2.2.2 Penyebab Hikikomori Hikikomori, yang dalam bahasa Inggris disebut social withdrawl (penarikan diri dari lingkungan sosial), dapat ditimbulkan oleh berbagai macam permasalahan sosial 11
dalam masyarakat Jepang yang merupakan penyebab terjadinya hikikomori. Dengan demikian, hikikomori tidak hanya disebabkan oleh satu hal, melainkan oleh banyak hal. Sebagaimana tergambar pada bagan yang dibuat oleh Dziesinski (2003) di bawah ini:
Gambar 2.1 Latar Belakang Timbulnya Hikikomori
Kemewahan keluarga Korban mampu untuk tinggal dirumah
Ketidak jelasan peran pria Tidak yakin akan masa depan
Ijime Tekanan untuk penyesuaian diri
Kamar anak Suatu hal penting dalam rumah keluarga Jepang
Toukoukyohi Menolak pergi ke sekolah
Anak kesayangan
Ujian
Hubungan ketergantungan dalam budaya Jepang
Kegagalan
Hikikomori 引き篭もり Gogatsu Byo Penyakit di bulan Mei, tidak yakin untuk menjalani hidup setelah ujian
Hitorikko Anak tunggal
Harapan Orangtua
Depresi
Sekolah, karir, ujian
Sekolah, penyakit
Ketersediaan media Mudah di akses, para korban jadi lebih serius
Institusiinstitusi sosial Organisasi tidak tersusun dengan baik
Para tetangga Keluarga takut para tetangga mengetahui
Sumber: Dziesinski (2003:16)
12
a. Penyebab Hikikomori yang Berhubungan Dengan Generasi Mapan (Kemewahan Keluarga, Kamar Anak, dan Ketersediaan Media). Pelaku hikikomori adalah individu yang disebut generasi mapan. Generasi yang mapan tidak perlu bersusah payah mencari nafkah untuk kelangsungan hidup mereka. Seorang anak diusahakan oleh orangtuanya untuk memiliki kamar sendiri dengan berbagai fasilitas, dengan harapan agar anak dapat belajar dan beristirahat dengan tenang (Janti, 2006).
b. Penyebab Hikikomori yang Berhubungan Dengan Keluarga (Anak Kesayangan, Hitorikko, Harapan Orangtua, Ketidakjelasan Peran Pria). Hal ini dapat terlihat dari hubungan yang dekat antara ibu dan anak. Sayangnya, kedekatan ini menimbulkan ketergantungan seorang anak terhadap ibunya (konsep amae). Para ibu sadar bahwa di Jepang, riwayat pendidikan seseorang sangat berpengaruh untuk mendapatkan pekerjaan di tempat yang baik (gakureki shakai). Namun, tidak semua tujuan seorang ibu ini memiliki pengaruh yang baik terhadap seorang anak (Janti, 2006). Menurut Janti (2006), bila sang anak tidak mampu untuk mewujudkan harapan orang tuanya tersebut, maka harapan itu menjadi suatu tekanan terhadap pribadinya. Karena itu, muncul pula istilah kyooiku mama, yang berarti para ibu menaruh harapan dalam pendidikan putra-putri mereka. Seorang anak yang merupakan hitorikko (anak tunggal) biasanya dimanjakan oleh orang tuanya. Karena hanya seorang diri dalam keluarga, ia tidak terbiasa untuk bersaing dengan adik atau kakak. Semua perhatian tercurah
13
pada hitorikko ini. Belum lagi kesibukan orangtuanya dalam bekerja, seringkali menjadikan kurang adanya komunikasi dengan anak (Janti, 2006).
c. Penyebab
Hikikomori
yang
Berhubungan
Dengan
Sekolah
(Ijime,
Toukoukyohi, Ujian, Gogatsu Byo, Depresi). Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, ijime (memperdaya, menganiaya dan melecehkan anak yang dianggap memiliki keanehan dibanding kawankawannya) sering terjadi pada seorang anak yang dianggap berbeda dari anakanak lain di sekolah. Anak-anak yang mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari temannya, kebanyakan tidak mau melaporkan hal tersebut kepada orang tua atau gurunya. Komunikasi dengan orang-orang disekitarnya bisa terhambat karena si anak merasa bahwa ada sesuatu yang salah yang terjadi dengan dirinya, tetapi ia tidak mengetahui apakah hal tersebut. Akhirnya, si anak akan melakukan toukoukyohi (menolak untuk pergi ke sekolah disebabkan oleh suatu alasan tertentu) karena ia merasa tidak nyaman dan tidak diterima di sekolah. Si anak akan lebih nyaman bila tinggal di rumah dan berada di dalam kamarnya sendiri. Bila timbul rasa percaya dirinya kembali, ia akan mau pergi ke sekolah kembali, tapi bila tidak muncul rasa percaya diri itu, ia akan melakukan hikikomori (Janti, 2006). Ujian-ujian yang cukup berat juga menimbulkan perasaan tertekan pada anak. Ia harus dapat menguasai pelajaran yang diberikan di sekolah. Bila tidak dapat, maka ia akan di berikan pelajaran tambahan oleh ibunya, yaitu dengan memasukkannya ke juku.
14
Gogatsu byo merupakan keadaan yang dihadapi oleh mereka yang telah selesai mengikuti ujian masuk, baik ke SMP, SMA, maupun Universitas. Sejak akhir tahun sebelumnya sampai dengan awal tahun, dibulan-bulan Januari dan Februari, para siswa harus berjuang keras mempelajari pelajaran yang akan diujikan pada ujian masuk ke tingkat berikutnya. Pada bulan April, sekolah akan dimulai kembali setelah sebelumnya diinformasikan siapa yang berhasil lulus ujian masuk. Maka, pada bulan Mei (gogatsu) mereka akan merasakan suatu kelelahan dan ketidakberdayaan, seolah-olah tenaga telah habis terkuras untuk menghadapi ujian yang telah dilaluinya. Hal inilah yang disebut gogatsu byo (Janti, 2006). Dari berbagai macam permasalahan yang berhubungan dengan hikikomori tersebut, tekanan sekolah merupakan salah satu penyebab hikikomori yang paling banyak terjadi di Jepang. Remaja laki-laki kota di Jepang seolah-olah berubah menjadi orang-orang pertapa modern, yang tidak pernah meninggalkan kamar tidur mereka. Tekanan dari sekolah dan ketidakmampuan untuk bercerita pada keluarga mereka adalah penyebabnya (Rees, 2002).
Tekanan biasanya dirasakan para remaja pada saat akan menempuh ujian masuk sekolah yang biasa disebut “juken jigoku” (neraka ujian), disebut demikian karena mereka harus berusaha sekuat tenaga agar dapat berhasil dalam menempuh ujian masuk ke sekolah atau universitas terbaik (Janti, 2006). Menurut Murakami (2000), tekanan cukup berat yang dihadapi oleh para remaja di Jepang dalam menghadapi persaingan di dunia pendidikan ini dapat menimbulkan berbagai penyimpangan sosial, seperti:
15
1. Ijime, yang artinya memperdaya, menganiaya dan melecehkan anak yang dianggap memiliki keanehan dibanding kawan-kawannya. 2. Toukoukyohi, yaitu istilah yang ditujukan kepada anak-anak yang menolak untuk pergi ke sekolah disebabkan oleh suatu alasan tertentu. 3. Konsep taijin kyofusho, yaitu gejala ketika seseorang merasa takut bila berhadapan dengan orang lain. 4. Otakuzoku, yaitu terobsesi oleh anime (kartun) dan fans dari manga. 5. Hikikomori. Dalam Hikikomori: Homicidal Teens in Japan (2000), Oniki memandang tindak kriminal pada remaja dan meningkatnya hikikomori sebagai bukti dari kesalahan serius dalam sistem pendidikan Jepang. Oniki menjelaskan bahwa orang tua dan para pengajar di Jepang terlalu keras untuk mendidik, sehingga menyebabkan tekanan yang juga dialami beberapa remaja di Jepang. Tekanan sekolah lebih jauh dapat menimbulkan rasa cemas, dan dimungkinkan mengalami fobia sekolah atau suatu bentuk kecemasan yang lebih umum.
2.3 Teori Psikologi Dalam sub bab ini penulis akan menjelaskan tentang teori psikologi yang mendukung penjelasan mengenai terjadinya hikikomori di dalam masyarakat Jepang.
2.3.1 Fobia Sekolah Fobia merupakan bentuk ketakutan, seperti takut terhadap ketinggian, keramaian, ruang yang bersekat-sekat, atau terhadap binatang-binatang tertentu (Fanu, 2006:328).
16
Fobia sekolah merupakan bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan. Fobia sekolah biasa dialami ketika seseorang mulai bersekolah di sekolah baru, menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapi suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya (Rini, 2002).
2.3.2 Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat, yaitu: a. Initial school refusal behavior Adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu sangat singkat (seketika) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan. b. Substantial school refusal behavior Adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal dua minggu. c. Acute school refusal behavior Adalah sikap penolakan yang dapat berlangsung dua minggu hingga satu tahun, dan selama siswa tersebut mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah. d. Chronic school refusal behavior Adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama siswa tersebut bersekolah di tempat itu (Rini, 2002).
Menurut Rini (2002), ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal, antara lain:
17
a. Separation anxiety Ini merupakan bentuk kecemasan yang dialami para siswa ketika mereka akan meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk bergabung dengan teman-temannya di sekolah yang mereka anggap sebagai orang asing. Namun, sejalan dengan perkembangan kognisinya, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena siswa mulai bisa berpikir logis dan realistis. b. Social anxiety Ini merupakan bentuk kecemasan yang lebih serius, para siswa yang menderita social anxiety mengalami ketakutan pada orang lain dan tidak dapat menjalin pertemanan dengan siapapun (Fanu, 2006:327). c. Pengalaman negatif Siswa yang menolak ke sekolah bisa juga dikarenakan dirinya merasa kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan, ataupun dianiaya teman-temannya di sekolah. Atau merasa rendah diri karena tidak cantik, tidak kaya, gemuk, kurus, hitam, atau karena gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Disamping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak membuat siswa menjadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. d. Problem dalam keluarga Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara kedua orangtuanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu (Rini, 2002).
18
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti masalah tekanan sekolah yang dialami para pelaku hikikomori dalam kaitannya dengan teori fobia sekolah.
19