BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Dasar-Dasar Perpajakan
2.1.1 Definisi Pajak Sumber pendapatan negara adalah dari warga negaranya sendiri. Pajak adalah iuran wajib dari warga negara Indonesia. Pajak kemudian digunakan oleh negara untuk membayar iuran pembangunan. Menurut Undang Undang KUP Nomor 16 Pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan definisi pajak menurut beberapa para ahli adalah: 1.
Definisi pajak yang dikemukakan Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam buku Perpajakan: Teori dan Kasus (Siti Resmi, 2013): “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
2.
Definsi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Perpajakan Indonesia (Waluyo, 2012): “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi – kembali yang langsung dapat ditunjukkan dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
3.
Pengertian pajak menurut Prof. MJH. Smeets dalam buku De Economische Betekenis Belastingen (terjemahan): “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya.tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”
7
8 2.1.2 Pengelompokan Pajak Menurut
Supramono
(2010),
Di
Indonesia
jenis-jenis
pajak
dapat
dikelompokan menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya. Jenis-jenis pajak dapat dikelompokan sebagai berikut: 1. Jenis Pajak Menurut Golongannya a. Pajak Langsung Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung karena pengenaan pajaknya adalah langsung kepada Wajib Pajak yang menerima penghasilan, tidak dapat dilimpahkan kepada Wajib Pajak lain. b. Pajak Tak Langsung Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contohnnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak tak langsung karena yang menjadi Wajib Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seharusnya adalah penjualnya. Dalam hal ini, penjualnyalah yang mengakibatkan adanya pertambahan nilai, tetapi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat digeser kepada pembeli (pihak lain). 2. Jenis Pajak Menurut Sifatnya a. Pajak Subyektif Pajak yang didasarkan pada keadaan subyeknya, memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang selanjutnya dicari syarat obyektifnya (memperhatikan keadaan Wajib Pajak). Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak subyektif karena pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang menerima penghasilan. b. Pajak Obyektif Pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan diri Wajib Pajak. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Pertambahan Nilai merupakan peningkatan nilai dari suatu barang, bukan penjual yang meningkatkan nilai barang. Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap keadaan dari tanah dan bangunan, bukan dari keadaan pemiliknya.
9 3. Jenis Pajak Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat (Negara) Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan (BPHTB). b. Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah diatur dalam PP No. 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan PP No. 34 Tahun 2000. Pajak daerah dibedakan menjadi dua, antara lain: 1. Pajak Provinsi Contohnya, Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak Kabupaten/Kota Contohnya, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan. Selain pengelompokan tersebut, pajak juga dapat dibedakan menjadi dua, antara lain: 1. Pajak Final Pajak final berarti pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan tidak dapat dikreditkan atau dikurangkan pada total Pajak Penghasilan (PPh) yang terhutang pada akhir tahun saat pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). Contoh dari pajak final adalah sebagai berikut: a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, serta bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi pribadi. b. Penghasilan berupa hadiah undian. c. Penghasilan dari transaksi saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
10 d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, serta persewaan tanah dan/atau bangunan. 2. Pajak Tidak Final Sebagian besar pajak yang berlaku di Indonesia adalah pajak tidak final. Pajak tidak final adalah pajak yang telah dibayarkan oleh Wajib Pajak melalui pemungutan atau pemotongan pihak lain dalam tahun berjalan dan dapat dikreditkan pada total Pajak Penghasilan (PPh) yang terhutang pada akhir tahun saat pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). Contohnya, Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan 24, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2.1.3 Fungsi Pajak Pajak memiliki dua macam fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulerend (Nurmantu, 2005): 1. Fungsi Budgetair (Anggaran/Penerimaan) Fungsi Budgetair disebut dungsi utama pajak, atau fungsi fiscal (fiscal function) yaitu suatu fungsi dalam nama pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah yang membutuhkan dana untuk membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan memungut pajak dari penduduknya. 2. Fungsi Regulerend (Pengatur) Fungsi Regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yakni fungsi budgetair. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai sebagai alat kebijaksanaan. Contohnya adalah pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras.
11 Pajak sendiri terdiri dari empat unsur (Supramono, 2010): 1. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak adalah negara, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran yang dibayarkan berupa uang, bukan barang. 2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Sifat pemungutan pajak adalah dipaksakan kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang beserta aturan pelaksanannya. 3. Tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam pembayaran pajak. 4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak Dalam pemungutan pajak, setiap negara pasti memiliki sistemnya masingmasing. Menurut Judisseno (1996), sistem pemungutan pajak di Indonesia dibagi menjadi tiga, sebagai berikut: 1. Penerapan Official Assessment System Dalam sistem ini wewenang pemungutan pajak pada fiscus. Fiscus berhak menentukan besarnya utang pajak orang pribadi maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak, yang merupakan bukti timbulnya suatu utang pajak. Jadi dalam sistem ini, para Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu ketetapan fiscus mengenai utang pajaknya. 2. Penerapan Withholding System Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga dan bukan fiscus maupun oleh Wajib Pajak itu sendiri. Pada masa tersebut besarnya angsuran pajak ditentukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan oleh pihak ketiga berdasarkan satu anggapan, sedangkan besarnya pajak terutang yang sesungguhnya akan ditetapkan kemudian oleh fiscus. 3. Penerapan Full Self Assessment System Sistem pembayaran pajak yang berlaku saat ini dilandasi oleh sistem pemungutan dimana Wajib Pajak menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Sistem ini dikenal dengan sebutan Full Self Assessment System. Dari pengertian ini jelas penekanannya adalah Wajib Pajak
12 harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan dari fiscus.
2.1.5 Surat Pemberitahuan (SPT) Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibidang perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) baik masa maupun tahunan, terkait hasil perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang. Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) harus dilaksanakan sebelum jatuh tempo pelaporan pajak, sedangkan pembayaran pajak harus dilaksanakan sebelum jatuh tempo pembayaran. Menurut Undang-undang Nomor 16 tahun 2009 Pasal 1 ayat 11 Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Surat Pemberitahuan dibagi menjadi dua macam, yaitu Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) untuk suatu Masa Pajak dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. Menurut Gustiawan (2007), fungsi Surat Pemberitahuan dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Fungsi SPT bagi Wajib Pajak PPh Fungsi SPT bagi Wajib Pajak PPh adalah: a. Sebagai
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. b. Untuk melaporkan tentang: 1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak. 2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak. 3. Harta dan kewajiban. 4. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 masa pajak, ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (UU PPh 1984). 2. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), sebagai berikut:
13 a. Sebagai
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan
perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang. b. Untuk melaporkan tentang: 1. Pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran. 2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilakukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku (UU PPN 1984). 3. Fungsi SPT bagi Pemungut PPN Fungsi SPT bagi pemungut PPN adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang telah dipungut dan disetorkan.
2.2
Bea Masuk
2.2.1 Definisi Bea Masuk Bea Masuk merupakan pajak tidak langsung dan dipungut kepada pemakai akhir dari suatu produk, pada dasarnya bea masuk dibayar oleh para pemakai produk, dibayar lebih dahulu oleh importer, yaitu saat barang akan dikeluarkan dari kawasan pabean. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1995 yang sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 15 Tentang Kepabeanan, Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Barang yang diimpor ke Indonesia wajib membayar bea masuk sebelum dikeluarkan dari kawasan pabean, kecuali dalam beberapa hal tertentu yang diatur dalam undang-undang. Bea Masuk ditetapkan dengan menggunakan Dasar Penghitungan Bea Masuk (DPBM) yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang tujuannya adalah untuk kepastian penghitungan dan memperlancar pengajuan pemberitahuan pabean oleh importir.
2.2.2 Dasar Hukum Bea Masuk Bea Masuk diatur dibawah keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Selain itu terdapat juga
14 dalam Salinan Menteri Keuangan No. 114/PMK.04/2007 tentang nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan an pembayaran Bea Masuk.
2.2.3 Konsep Tarif Bea Masuk Dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undangundang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, istilah tarif didefinisikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. Terdapat dua muatan utama dalam pengertian tarif, yang pertama adalah klasifikasi barang, yang kedua adalah besarnya pembebanan bea masuk atau bea keluar yang dinyatakan dalam persentase (%) tertentu atau dalam rupiah tertentu. Menurut Jafar (2014), cara pengenaan tarif Bea Masuk ditentukan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: 1. Tarif Advalorum (Persentase) Pada model tarif advalorum, Bea Masuk dikenakan dengan menentukan persentase (%) tertentu dari nilai pabean atas barang yang diimpor. Untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, harus diketahui berapa nilai pabean atas barang tersebut, selanjutnya tarif dikalikan dengan nilai pabean. 2. Tarif Spesifik Pada tarif spesifik, bea masuk dikenakan dengan menentukan besaran bea masuk setiap satuan barang yang diimpor. Untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, cukup mengalikan besarnya tarif persatuan barang dengan jumlah barang. 3. Gabungan Advalorum dan Spesifik. Pada
model
gabungan
ini,
bea
masuk
dikenakan
dengan
mengkombinasikan tarif persentase dan tarif spesifik sekaligus pada suatu barang impor. Pada praktiknya saat ini Indonesia hanya menerapkan tarif advalorum (persentase) dan tarif spesifik saja. Tarif spesifik pun hanya diterapkan untuk beberapa jenis barang impor, sehingga mayoritas barang impor saat ini menggunakan tarif advalorum.
15 2.3
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2.3.1 Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa inggis Pajak Pertambahan Nilai disebut Value Added Tax (VAT). Pajak Pertambaha Nilai termasuk jenis pajak tidak langsung. Menurut Undang-undang No. 42 tahun 2009, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Dasar hukum yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, diubah lagi dengan Undang-Undang No. 18 ahun 2000, dan terakhir Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 (Siti Resmi, 2013).
2.3.2 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Menurut Siti Resmi (2013), Pajak Pertambahan Nilai memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Pajak Tidak Langsung Secara ekonomis beban Pajak Pertambahan Nilai dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung jawan pembayaran pajak yang terutang berada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak). 2. Pajak Objektif Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak dipertimbangkan. 3. Multistage Tax Pajak Pertambahan Nilai dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (dari Pabrikan sampai ke peritel). 4. Nonkumulatif Pajak Pertambahan Nilai tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki karakteristik multistage tax karena Pajak Pertambahan Nilai mengenal adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena
16 itu, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang atau jasa. 5. Tarif Tunggal Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single tariff), yaitu 10% (sepuluh persen) untuk penyerahan dalam negeri dan 0% (nol persen) untuk ekspor Barang Kena Pajak. 6. Credit Method/Invoice Mathod Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan barang atau jasa yang disebut Pajak Keluaran (output tax) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa yang disebut Pajak Masukan. 7. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri Atas impor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sedangkan atas ekspor Barang Kena Pajak tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle), yaitu pajak dikenakan ditempat barang atau jasa akan dikonsumsi. 8. Consumption Type Value Added Tax (VAT) Dalam Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).
2.3.3 Tarif Pajak Pertambahan Nilai Tarif Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 pasal 7 ayat 1 dan 2 adalah: 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) Tarif 10% dikenakan atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean/impor Barang Kena Pajak/Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean/pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Berdasarkan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak
17 Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tunggal. 2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) Tarif 0% (nol persen) dikenakan atas ekspor Barang Kena Pajak berwujud/ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud/ekspor Jasa Kena Pajak. Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian pajak yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
2.4
Pajak Penghasilan Pasal 22
2.4.1 Definisi Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak
Penghasilan
Pasal
22
merupakan
pajak
yang
dipungut oleh
bendaharawan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang atau kegiatan di bidang impor. Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.
2.4.2 Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menetapkan (Resmi 2013): 1. Bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang. 2. Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. 3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, dirubah jadi224/PMK.011/2012, l 75/ PMK.011/ 2013, 107/PMK.010/2015 pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang. 2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Anggaran (KPA) sebagai pemungut.
18 3. Bendahara pengeIuaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekariisme uang persediaan (UP). 4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yangdiberi delegasi oIeh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS). 5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri. 6. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri. 7. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan peIumas, atas penjualan bahan bakar, minyak, bahan bakar gas, dan peIumas. 8. Industri dan eksportir yang bergerak daiam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
2.4.3 Objek Pajak Penghasilan Pasal 22 Kegiatan yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah sebagai berikut: 1. Impor barang. 2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pemerintah Daerah, instansi, atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. 3. Pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). 4. Pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan oleh bendahara pengeluaran. 5. Penjualan hasil industry dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KKPP). 6.
Penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas oleh produsen atau importer bahan bakar minyak, gas dan pelumas.
19 7. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KKPP).
2.4.4 Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 22 Kegiatan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah sebagai berikut: 1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan. 2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai. 3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. 4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak yang jumlah pembayarannya paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. 6. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG). 7. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor. 8. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
2.4.5 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor : a. Untuk pengusaha yang memiliki Angka Pengenal Importir (API), tarifnya sebesar 2,5% dari nilai impor. b. Untuk pengusaha yang tidak memiliki API, tarifnya sebesar 7,5% dari nilai impor. c. Untuk yang tidak dikuasai, tarifnya sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
20 2.5
Impor Terlepas dari hubungan antar negara yang dilakukan pemerintah, perusahaan
pun melakukan hubungan antar negara dengan perusahaan di negara lain. Di zaman modern ini, istilah ekspor dan impor sudah tidak asing lagi di dunia ekonomi. Dari sudut pandang bahasa Indonesia, ekspor adalah perbuatan mengirimkan barang ke luar negeri dari Indonesia. Sedangkan impor adalah pengiriman barang dari luar negeri ke dalam Indonesia (Sutedi, 2014). Dalam penelitian ini, penulis hanya fokus terhadap impor. Menurut UU Nomor 17 Tahun 2006, impor adalah kegiatan memasukan barang ke daerah pabean. Di dalam undang-undang yang sama, dijelaskan bahwa daerah pabean adalah wilayah republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang- Undang kepabeanan. Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor yang terutang bea masuk. Terdapat dua jenis impor, yaitu impor yang dipakai dan impor sementara: 1. Impor yang dipakai adalah kegiatan pengiriman barang dari luar negeri ke dalam Indonesia dengan tujuan untuk digunakan, dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. 2. Impor sementara adalah kegiatan pengiriman barang dari luar negeri ke dalam indonesia dengan tujuan untuk di ekspor kembali paling lama tiga tahun, dan keberadaannya diawasai oleh pabean. Impor sementara diberi keringanan bea masuk.
2.6
Selisih Kurs
2.6.1 Definisi Kurs dan Selisih Kurs Menurut Floyd A. Beams dalam buku Akuntansi Keuangan di Indonesia 2 (Amir Abadi Jusuf, 2000) ”Kurs adalah nisbah antara satu unit mata uang dengan jumlah mata uang lain yang setara dengan mata uang tersebut pada suatu waktu.” Sedangkan menurut PSAK No. 10 Kurs adalah adalah rasio pertukaran dua mata uang asing. Selisih Kurs sendiri menurut PSAK No. 10 adalah selisih yang dihasilkan dari pelaporan jumlah unit mata uang asing yang sama dalam mata uang pelaporan pada kurs yang berbeda. Selisih kurs dapat timbul apabila terdapat perubahan kurs antara tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian (settlement date)
21 pos moneter yang timbul dari transaksi dalam mata uang asing. Mata uang asing adalah mata uang selain mata uang pelaporan suatu perusahaan.
2.6.2 Sistem Kurs Menurut Jose Rizal Joesoef (2008), ada dua macam sistem kurs yang sering disebut-sebut, yaitu sistem kurs tetap (fixed exchange rate system) dan sistem kurs mengambang (floating exchange rate system), sebagai berikut: a. Kurs tetap (fixed rate) adalah sistem kurs (yang diadopsi oleh Bank Sentral) di mana nilai tukar dari setiap mata uang asing dikunci pada sejumlah tertentu mata uang domestik. b. Kurs mengambang (floating rate) adalah sistem kurs (yang diadopsi oleh Bank Sentral) di mana nilai tukar dari setiap mata uang asing dibolehkan untuk bervariasi terhadap sejumlah mata uang domestik.
2.7
Penelitian Terdahulu Adapun beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini,
sebagai berikut: 1.
Mattheus Reza Sondakh (2013), Evaluasi Perhitungan dan Pelaporan Pajak PPH 22 atas Import Barang. Mattheus Reza Sondakh (2013), melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi
Perhitungan dan Pelaporan Pajak PPH 22 atas Import Barang”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prosedur perhitungan pajak penghasilan pasal 22 atas barang impor pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Manado. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif. Data tersebut berupa daftar jumlah barang impor yang masuk ke daerah pabean, hasil pemungutan pajak dari barang impor kena pajak untuk periode tertentu yang dilakukan oleh kantor bead an cukai, dan lain sebagainya. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik analisis deskriptif studi kasus.
22 2.
Steffi Medianawahyu L (2015), Analisis Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor Pada PT. Bangun Sarana Baja. Steffi Medianawahyu L (2015), melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor Pada PT. Bangun Sarana Baja”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis akuntansi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor terhadap Aliran Kas. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dengan sumber data berupa data primer dan sekunder. Data tersebut berupa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor yang diambil dari tahun 2011-2013. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif.
3.
David HM Hasibuan dan Nopryannus (2013), Analisis Selisih Kurs dan Pengaruhnya Terhadap Laba Rugi Perusahaan. David HM Hasibuan dan Nopryannus (2013), melakukan penelitian dengan
judul “Analisis Selisih Kurs dan Pengaruhnya Terhadap Laba Rugi Perusahaan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan akuntansi selisih kurs, penyajian selisih kurs di dalam laporan laba rugi dan kesesuaian penerapan akuntansi selisih kurs dan penyajian selisih kurs di dalam laporan laba rugi PT. Cantika Hair International dengan standar akuntansi yang berlaku. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif dengan sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.
4.
Yunita Anwar and Martin Surya Mulyadi (2011), Income tax incentives on renewable energy industry: Case of geothermal industry in USA and Indonesia. Yunita Anwar and Martin Surya Mulyadi (2011), melakukan penelitian yang
berjudul “Income tax incentives on renewable energy industry: Case of geothermal industry in USA and Indonesia”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pendapatan insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah, antara Amerika Serikat dengan Indonesia. Salah satu insentif pajak tersebut adalah pajak atas impor barang.