BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Teori umum 2.1.1 Pengertian Sistem Untuk mempelajari suatu sistem akan lebih mengena bila terlebih dahulu mengetahui apakah suatu sistem itu. Pengertian tentang sistem pertama kali dapat diperoleh dari definisinya. Berikut ini adalah beberapa definisi sistem yang dikemukakan oleh beberapa pengarang: Menurut Stephen A. Moscove dan Mark G. Simkin yang dibahas oleh Jogiyanto H.M (1997, p1) mendefinisikan sistem sebagai berikut: “Suatu kesatuan yang terdiri dari interaksi subsistem yang berusaha untuk mencapai tujuan (goal) yang sama.” Menurut Raymond Mc Leod Jr. (1995, p13) sistem adalah: “A system is a group of elements that are integrated with the common purpose of achieving an objective.” Jadi Sistem adalah sekumpulan elemen-elemen yang saling behubungan dan berinteraksi dengan berbagai cara atau tanggapan untuk melaksanakan tujuan khusus (Woods dan Lawrence, 1997, p10).
4
5 2.1.2 Pengertian Simulasi Simulasi adalah teknik untuk menggambarkan dan mempelajari perilaku sebuah sistem dengan bantuan suatu model dari sistem tersebut.
2.1.3
Pengertian Pemodelan Dinamik Pemodelan dinamik adalah suatu model yang menggambarkan proses yang dipengaruhi oleh waktu atau berlangsung pada suatu rentang waktu (Woods dan Lawrence, 1997, pp15-16). Langkah-langkah dalam melakukan pemodelan suatu sistem dinamik : 1. Actual Dynamic Sytem Merupakan respon aktual dari sistem dinamik yang sebenarnya baik linier atau pun nolinier. 2. Engineer’s perception Merupakan cara engineer melihat suatu sistem mengenai linieritas dan karakteristik dinamik dari sistem yang akan dimodelkan. Dalam hal ini engineer dapat mengabaikan sifat nonlinier guna penyederhanaan. Oleh karena itu persepsi dari engineer mungkin tidak merepresentasikan actual dynamic system 3. Mathematical model Sistem direspresentasikan dengan persamaan diferensial untuk sistem yang tidak linier dan untuk sistem yang linier dapat langsung dimodelkan. 4. Calculated Response
6 Pada langkah ini akan dilihat perbandingan respon antara model matematik dengan sistem sebenarnya. 5. Analysis of the performance Merupakan
analisa
membicarakan
performance
frekuensi
dari
domain
dan
sistem.
Dalam
time
domain
menganalisanya.
Original Design
Actual Physical Dynamic System Determine Effects to be considered Modeler’s Perception of Dynamic System Write Component and System Equations Mathematical Representation
Clasical Differential Equations Transfer function State space Equations
Calculated Response
Performance Analysis
Analytic Solution Digital Simulation Analog Simulation Static Gain Disturbance Sensitivity Dynamic characteristics
Gambar 2.1 Langkah - langkah pemodelan
hal
ini
untuk
7 2.1.4 Motor DC
Rm
ia
Konstanta arus medan Lm
B ea
em
Rangkaian armatur
J
θ ,τ
Beban Mekanis
Gambar 2.2 Rangkaian Motor
Motor DC secara spesifik dirancang untuk digunakan pada sistem kontrol
simpal tertutup. Beberapa persamaan dasar untuk motor
diantaranya (Harbor dan Phillips, 1997, pp64-66) : • Tegangan em(t)
Tegangan em(t) merupakan tegangan yang timbul pada kumparan armatur karena adanya pergerakan pada kumparan didalam medan magnetik motor dan biasa disebut dengan EMF (electromotive force) balik.
dθ ..........................................................(2-1) dt Dengan K adalah parameter motor, φ adalah fluks medan dan θ em (t ) = Kφ
adalah sudut poros motor. Jadi dθ/dt adalah kecepatan sudutnya poros. Kita asumsikan bahwa fluks φ adalah konstan, sehingga : em (t ) = K m
dθ .........................................................(2-2) dt
8 • Tegangan ea(t)
ea(t) merupakan tegangan armatur yang dianggap sebagai masukan sistem, dengan persamaan sebagai berikut : dia (t ) + Rm ia (t ) + em (t ) .............................(2-3) dt Rm dan Lm merupakan resitansi dan induktansi rangkaian armatur. ea (t ) = Lm
• Torka pada motor τ(t)
Torka merupakan gaya yang ditimbulkan oleh benda yang berotasi. Persamaan untuk torka adalah τ (t) = Kτia(t).............................................................(2-4)
Kemudian dengan menurunkan penjumlahan dari torka-torka yang ada pada armatur motor dan juga momen inersia J yang meliputi semua inersia yang dihubungkan ke poros motor, serta B meliputi gesekan udara dan gesekan bantalan poros, sehingga persamaan torka menjadi d 2θ dθ ...............................................(2-5) +B 2 dt dt Dari persamaan (2 - 4) dan (2 - 5)
τ (t ) = J
d 2θ (t ) dθ (t ) +B 2 dt dt 2 d θ dθ (t ) J 2 = −B + Kτ ia (t ) dt dt d 2θ B dθ (t ) Kτ ia (t ) ...................................(2 - 6) =− + 2 J dt J dt
Kτ ia (t ) = J
9 ea (t) = tegangan jangkar (masukan) em (t) = tegangan yang timbul pada kumparan akibat kumparan berada pada medan magnetik motor i a (t) = arus jangkar τ(t) = torsi yang dibangkitkan θ(t) = sudut poros motor dθ(t) = ω(t) = kecepatan poros motor (keluaran) dt B = Koefisien redaman J = Momen inersia
Dalam suatu sistem pengaturan kecepatan, kecepatan poros motor ω(t) dikendalikan dengan mengubah-ubah tegangan jangkar ea(t). oleh karena itu ea(t) merupakan set point/masukkan dari sistem dan ω(t) merupakan keluaran dari sistem. Misal diambil state variabel :
x1 (t ) = ω (t ) = d 2θ (t ) dt 2 x2 (t ) = ia (t ) •
x1 (t ) = •
x2 (t ) =
dia (t ) dt
dθ (t ) dt
10
Dengan menggunakan persamaan (2-6)
d 2θ (t ) B dθ (t ) Kτ =− + ia (t ) 2 dt J dt J • K B x1 (t ) = − x1 (t ) + τ x2 (t ) J J Dari persamaan (2-2) dan (2-3)
dia (t ) + Rmia (t ) + em (t ) dt di (t ) dθ (t ) ea (t ) = Lm a + Rmia (t ) + K m dt dt di (t ) dθ (t ) + ea (t ) Lm a = − Rmia (t ) − K m dt dt dia (t ) R K dθ (t ) 1 = − m ia (t ) − m + ea (t ) dt Lm Lm dt Lm ea (t ) = Lm
dia (t ) • R K 1 = x2 (t ) = − m x2 (t ) − m x1 (t ) + ea (t ) dt Lm Lm Lm Dengan menggunakan : Persamaan masukannya ea (t ) = u (t ) Persamaan keluarannya y (t ) =
dθ (t ) = ω (t ) = x1 (t ) dt
Sehingga State spacenya adalah : B • − x1 (t ) = J • K m x2 (t ) − L m
Kτ J R − m Lm
x (t ) 0 1 + 1 x2 (t ) Lm
u (t )
x (t ) y (t ) = (1 0) 1 .................................................................(2 − 7) x2 (t )
11 2.1.5 Persamaan Garis Lurus
Persamaan garis lurus merupakan suatu fungsi linier, yang memiliki persamaan umum : ax + by + c = 0 (fungsi implisit) y = mx + c (fungsi eksplisit) Grafik garis lurus secara umum dapat digambarkan seperti di bawah ini : y
y
y
x
y
x
x
x
Didalam suatu persamaan garis lurus terdapat suatu gradien yang merupakan koefisien arah garis lurus yang memiliki kemiringan terhadap sumbu x positif. Secara geometri gradien dapat dirumuskan sebagai tangen sudut yang dibentuk oleh garis dengan sumbu x positif.
y g α) ∆x
Gradien garis g adalah m = tan α =
∆y x ∆y ..................................................(2–8) ∆x
Secara aljabar, gradien garis lurus dapat dirumuskan sebagai berikut : Untuk garis y = mx + c, maka gradien = m. Untuk garis ax + by + c = 0, maka gradien = −
a ...................................(2–9) b
12 Persamaan garis yang melalui titik (x1, y1) dengan gradien m memiliki persamaan umum y – y1 = m (x – x1). Untuk garis yang melalui P (x1, y1) dan Q (x2, y2) memiliki persamaan : y − y1 y − y1 x − x1 , dengan gradien m = 2 ...................................(2–10) = x 2 − x1 y 2 − y1 x 2 − x1
Bila terdapat dua buah garis didalam persamaan garis, yaitu misalkan garis g dan l, dengan garis
g : y = m1 x + n1 l : y = m2 x + n 2
Maka terdapat beberapa kemungkinan hubungan yang terjadi antara 2 garis tersebut : • Saling sejajar
Garis g sejajar garis l, bila m1 = m2 Garis g berimpit garis l, bila m1 = m2 dan n1 = n2 • Saling berpotongan tegak lurus
Garis g perpotongan tegak lurus dengan garis l, bila m1.m2 = -1 Persamaan garis melalui (x1, y1) dan tegak lurus dengan garis g : y = mx + n, x + my – (x1 + my1) = 0 • Garis saling berpotongan bebas
Dikatakan saling bebas bila perpotongan kedua garis membentuk sudut α, dengan gradien tgα =
m1 − m2 ........................................(2–11) 1 + m1 m2
Sudut α dipilih dari perpotongan kedua garis yang membentuk sudut paling kecil.
13 Bila titik P (x,y) merupakan perpotongan dari garis g dan l, maka persamaan untuk titik P (x,y) dapat dicari sebagai berikut x=
2.1.6
n1 − n2 m2 − m1
y=
m2 n1 − m1 n 2 ......................................................(2–12) m2 − m1
State Space
Pada intinya state space digunakan untuk menganalisis dan merancang sistem kontrol sebagai metode pengganti dari metode yang konvensional (root locus dan frekuensi respon). State Space digunakan dalam suatu sistem karena root locus sebagai metode yang konvensional hanya bisa digunakan untuk sistem invarian waktu linier yang mempunyai single input single output, sedangkan state space dapat digunakan untuk
menganalisa sistem kontrol dengan multiple input multiple output yang memerlukan suatu optimalisasi. State space juga memungkinkan engineer untuk merancangkan sistem kontrol dengan harapan agar dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Metode State Space ini juga memungkinkan engineer untuk mengikutsertakan initial condition didalam perancangan (Ogata, 1997, pp70-81). Dalam suatu state space terdapat suatu state variable yang merupakan variabel-variabel yang melengkapi suatu set terkecil dari variabel-variabel yang menentukan dari sistem dinamik. Jika suatu sistem adalah berorde n maka harus ada sedikitnya sejumlah n state variabel yang tidak saling tergantung satu sama lainnya. Dalam suatu state space,
14 variabel sistem yang utama (seperti posisi, kecepatan, tegangan, arus, gaya dan lain sebagainya) dipilih sebagai state variabelnya. Kegunaan dari model state variable atau model state space adalah untuk membangun suatu representasi yang mempertahankan hubungan antara keluaran dengan masukan (fungsi alih), yang dinyatakan dalam n buah persamaan diferensial berorde satu untuk sebuah sistem berorde n. Keuntungan dari n buah persamaan berorde satu adalah selain karakteristik keluaran masukan, karakteristik internal dari sistem juga dinyatakan. Ada beberapa alasan pengembangan suatu sistem dengan menggunakan model keadaan (state model), yaitu : 1. Perancangan dan analisis dengan menggunakan komputer dari modelmodel keadaan lebih mudah dikerjakan pada komputer digital untuk sistem–sistem orde yang lebih tinggi sedangkan pendekatan fungsi alih cenderung gagal untuk sisitem tersebut karena permasalahan numerik. 2. Dalam
prosedur–prosedur
perancangan
state
space,
kita
mengumpanbalikkan lebih banyak informasi (variabel internal) tentang kendali tersebut, karena itu kita dapat melakukan pengendalian yang lebih lengkap pada sistem tersebut daripada yang dimungkinkan dengan pendekatan fungsi alih. 3. Prosedur–prosedur perancangan yang menghasilkan pengendalian sistem yang terbaik hampir semuanya didasarkan pada model–model state space. Yang dimaksudkan dengan yang terbaik adalah bahwa
sistem tersebut telah dirancang dalam suatu cara yang sedemikian rupa
15 sehingga meminimalkan atau memaksimalkan suatu fungsi matematis yang mengekspresikan kriteria perancangan tersebut. 4. Model–model state variabel biasanya diperlukan untuk simulasi (solusi persamaan diferensial dengan digital komputer). Bentuk baku persamaan state space dari suatu sistem analog linier time invariant (LTI) sebagai berikut : •
x(t ) = Ax(t ) + Bu (t ) y (t ) = Cx (t ) + Du (t )
(2–13)
•
Dengan x(t ) merupakan turunan terhadap waktu dari vektor x(t). X(t) merupakan suatu vektor dari keadaan-keadaan suatu sistem orde n. A merupakan matriks sistem dengan dimensi (n x n). B merupakan matriks masukan dari suatu sistem. U(t) merupakan vektor masukan yang tersusun dari fungsi–fungsi masukan sistem. Y(t) merupakan vektor keluaran suatu sistem yang terbentuk dari keluaran–keluaran yang ditentukan. C merupakan matriks keluaran. Sedangkan D merupakan suatu matriks yang menunjukan kaitan langsung antara masukan dan keluaran. Dengan mengacu pada kedua persamaan matriks (2-13) sebagai persamaan–persamaan keadaan dari suatu sistem, persamaan pertama disebut persamaan keadaan dan persamaan kedua disebut persamaan keluaran. Persamaan pertama (persamaan keadaan) adalah sebuah persamaan diferensial matriks orde satu dan vektor keadaan x(t) adalah solusinya. Dengan diberikan data x(t) dan vektor masukan u(t), persamaan pengeluaran menghasilkan keluaran y(t).
16 Biasanya matriks D bernilai 0, karena dalam sistem fisis, dinamika muncul pada seluruh lintasan antara masukan dan keluaran. Harga tidak nol pada matriks D menunjukkan sekurang–kurangnya satu lintasan langsung antara masukan dan keluaran, dengan fungsi alih lintasan tersebut dapat dimodelkan sebagai suatu penguatan murni. Bentuk umum persamaan keadaan (2-13) di atas memungkinkan lebih dari satu masukan dan lebih dari satu keluaran. Sistem dengan lebih dari satu masukan dan/atau lebih dari satu keluaran disebut sistem variabel banyak (multi variabel). Sedangkan untuk kasus yang hanya memiliki satu masukan, matriks B menjadi sebuah vektor kolom dan vektor u(t) menjadi skalar. Dan untuk kasus yang hanya memiliki satu keluaran, vektor y(t) mejadi sebuah skalar dan matriks C menjadi sebuah vektor baris.
2.1.7
Runge Kutta orde 4
Runge kutta adalah salah satu metode yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan numerik dan mengetahui nilai suatu keadaan dalam interval waktu tertentu. Metode runge kutta ada bermacam-macam, runge kutta orde 1, 2, 3, 4, 5. Semakin tinggi ordenya maka hasilnya semakin akurat. Diantara metode tersebut, metode runge kutta orde 4 merupakan suatu metode yang paling populer dibandingkan dengan metode runge kutta yang lainnya. Metode ini secara luas digunakan dalam aplikasi engineering karena keakuratan dan kemudahannya untuk diaplikasikan.
Metode runge kutta ini tidak memerlukan solusi awal seperti metode
17 lainnya (Canale et al., 1994, pp233-248). Persamaan umumnya adalah sebagai berikut: Rumus dari metode runge kutta orde 4 :
yi + 1 = y i Dengan
+
1 ( k1 + 2 k 2 + 2 k3 + k 4 ) h.................(2 − 14) 6
k1 = f (x i , yi ) k 2 = f ( xi +
1 1 h, yi + k1h ) 2 2
k 3 = f ( xi +
1 1 h, yi + k 2 h ) 2 2
k 4 = f ( xi + h , y i + k 3 h )
Berikut ini merupakan rungge kutta orde 4 yang digunakan untuk mencari persamaan diferensial orde 2 : • a b x b x1 = 1 + 1 u • c d x b 2 2 x2 x1 (i ) = ax 1 + bx 2 + b1 u x 2 (i ) = cx 1 + dx 2 + b 2 u k 11 = ax 1 ( i ) + bx 2 ( i ) + b1 u k 12 = cx 1 ( i ) + dx 2 ( i ) + b 2 u k 21 = ( a ( x1 (i ) + k 22 = ( c ( x1 ( i ) + k 31 = ( a ( x1 ( i ) + k 32 = ( c ( x1 (i ) + k 41 = ( a ( x1 (i ) +
1 1 h.k 11 ) + b ( x 2 ( i ) + h.k 12 ) + b1 u ) 2 2 1 1 h.k 11 ) + d ( x 2 (i ) + h.k 12 ) + b 2 u ) 2 2 1 1 h.k 21 ) + b ( x 2 ( i ) + h.k 22 ) + b1 u ) 2 2 1 1 h.k 21 ) + d ( x 2 (i ) + h.k 22 ) + b 2 u ) 2 2 h.k 31 ) + b ( x 2 ( i ) + h.k 32 ) + b1 u )
k 42 = ( c ( x1 ( i ) + h.k 31 ) + d ( x 2 ( i ) + h.k 32 ) + b 2 u ) h ( k 11 + 2 k 21 + 2 k 31 + k 41 ) 6 h x 2 (i + 1) = x 2 (i ) + ( k 12 + 2 k 22 + 2 k 32 + k 42 ) 6 x1 ( i + 1) y ( i + 1) = [1 0 ] x 2 ( i + 1) x1 (i + 1) = x1 ( i ) +
18 2.1.8
Fluida
Fluida adalah sesuatu zat yang dapat mengalir. Fluida dapat berupa benda cair atau gas. Contohnya adalah air atau udara yang mengalir didalam sebuah pipa, gas yang mengalir pada selang kompor gas. Komponen pasif fluida terbagi menjadi tiga bagian yaitu resistance, capasitance dan inductance (Woods dan Lawrence, 1997, pp135-153). 1. Resistance
Suatu fluida resistance dapat menghilangkan kekuatan dan banyak jenisnya, seperti laminar flow resistance, orifice type or head loss resistance dan compressible flow resistance. Rumus umum fluida resistance adalah sebagai berikut : P1 - P2 = RQ......................................(2–15)
Dengan, P1, 2 = Pressure R
= Fluid resistance
Q = Volume flow rate 2. Capasitance
Fluida capasitance berhubungan dengan bagaimana energi fluida dapat disimpan oleh tekanan udara. Rumus umum fluida capasitance adalah sebagai berikut :
P1 = Dengan, P1 = Pressure C
= Fluid capasitace
1 Q........................................(2 - 16) CD
19 Q = Volume flow rate D = diferential operator (d/dt) 3. Inductance
Fluida indutance sering disebut juga fluida kelambanan, karena pengaruhnya terhadap suatu fluida yang bergerak. Rumus umum fluida inductance adalah sebagai berikut : P1 - P2 = LDQ...................................(2–17)
Dimana, P1,2 = Pressure L = Fluid inductance Q = Volume flow rate D = diferential operator (d/dt)
2.2
Teori Khusus 2.2.1 Bucket Elevator
Bucket elevator digunakan untuk pengangkutan material atau semen
secara vertikal terdiri dari rangkaian bucket yang ditumpuk pada suatu chain atau belt dan dua buah katrol yang terletak di atas dan di bawah yang
digerakkan menggunakan sebuah motor. Bucket elevator memungkinkan suatu material yang kasar atau berat dapat dibawa secara vertikal. Material yang diumpankan akan disimpan dalam bucket-bucket yang tersusun sedemikian rupa dengan interval jarak tertentu. Kemudian material tersebut akan diangkut secara vertikal menggunakan katrol yang digerakan dengan motor. Ketika bucket yang mengangkut material sudah sampai di
20 atas maka dilakukan proses pengosongan dengan menuang material ke suatu wadah. Kecepatan rata-rata dari bucket elevetor pada industri semen antara 1,2 dan 2 m/s. Bucket elevator juga dilengkapi dengan overspeed monitor yang dapat mengetahui keadaan bucket
elevator untuk
menghindari chain atau belt bucket elevator dari resiko kelebihan panas yang dapat menyebabkan slip pada chain atau belt tersebut (Duda, 1984, pp324-328). 2.2.2
Weight Feeder Material input
Weight Feeder
Material output
Gambar 2.3 Weight Feeder
Berfungsi sebagai proporsial mixing untuk mengatur komposisi clinker yang akan digiling dengan additive dan gypsum didalam tube mill.
Tugasnya adalah mensuplai aliran material secara konstan dari clinker silo ke tube mill persatuan waktu. Bagian utama dari weight feeder adalah belt conveyor yang pendek, weighting dan kontrol sistem.
21 Laju aliran material pada proses penggilingan akhir dikendalikan oleh sistem kontrol proses penggilingan akhir. Sistem kontrol proses tersebut mengendalikan persentase kandungan SO3 semen. Kandungan SO3 clinker dan gypsum menentukan persentase campuran clinker dan gypsum.
Berdasarkan setting value sistem kendali berupa jumlah produksi yang diinginkan, persentase campuran tersebut dikonversikan menjadi laju aliran masing-masing material umpan (clinker dan gypsum). Jumlah aliran masing-masing material umpan tersebut adalah setting point aliran sistem weightfeeder masing-masing material umpan. Sistem
kendali weightfeeder tersebut akan menjaga stabilitas aliran material tetap berada pada komposisi yang diinginkan (Duda, 1984, pp180-186). 2.2.3
Belt conveyor
Belt conveyor umumnya digunakan dalam industri semen untuk
mengangkut butiran-butiran material yang besar seperti raw mix dan semen. Belt conveyor umumnya digunakan untuk pengangkutan material secara
horizontal.
Gambar 2.4 Belt Conveyor
Belt conveyor terdiri dari tiga elemen dasar, supporting structure, idler, dan conveying belt. Conveying belt mempunyai kekuatan regangan cotton sebesar 60-100 kg/cm dari lebar belt. Kekuatan lapisan yang sangat
tinggi didapat dengan menyisipkan steel cable ke dalam rubber belt. Rubber belt cukup elastis dan tahan terhadap abrasi. Kekuatan tegangan
22 dari steel cable belt sampai 6000 kg/cm dari lebar belt. Karena kekuatan regangannya baik, maka steel cable memungkinkan belt conveyor untuk diperpanjang diameternya dan diperlebar sehingga kapasitas material yang diangkut lebih banyak. Dengan kecepatan belt lebih dari 5 m/s, menghasilkan kapasitas pengangkutan 20000 ton/jam, dengan power sebesar 3600 kW. Penggunaan steel belt memperbolehkan pemasangan dengan jarak 20 km. dengn belt width 1 m dan belt velocity 3.35 m/s, kapasitas pengangkutan didapat sebesar 800 t/h. Kecepatan normal belt conveyor yang digunakan pada industri semen berkisar 1.3-3 m/s, dengan belt width dari 500 sampai 200 mm dengan kapasitas pengangkutan dari 100 sampai 2000 t/h (Duda, 1984, pp321-322). 2.2.4
Tube mill / Ball Mill Input Material
Isapan Udara Water Spray
Output Material
Gambar 2.5 Tube Mill (Wicaksono, 1999, p26)
Tube mill berupa silinder yang terbuat dari baja diisi dengan grinding media (bola-bola baja dengan berbagai ukuran diameter) dan diputar
(biasanya oleh motor listrik). Proses penggilingan terjadi sebagai hasil tumbukan antara bahan baku dengan grinding media yang jatuh dari ketinggian tertentu saat mengikuti gerakan putaran tube. Putaran tube mill
23 akan mengangkat material bersama grinding media pada ketinggian optimum yang diperlukan untuk operasi grinding, sehingga kecepatan putaran merupakan salah satu parameter dari kinerja proses penggilingan. Proses penghalusan material terjadi karena tumbukan dan gesekan antar grinding media dan antara grinding media dengan lining mill (lapisan
material keras yang diletakkan mengelilingi dinding bagian dalam tube) dimana disela-sela ruang antar grinding media dan antara grinding media dengan lining mill akan selalu terdapat bahan baku. Selain itu bahan baku yang sudah relatif halus biasanya akan menempel pada grinding media dan liner sehingga akan terjadi penghalusan lanjutan saat keduanya saling bergesekan. Tube mill terbagi atas beberapa kompartemen yang dibatasi oleh
partisi berupa saringan untuk menahan tercampurnya grinding media berdiameter besar dengan dengan grinding media berdiameter kecil, dan juga sebagai saringan terhadap material. Masing-masing kompartemen biasanya menggunakan ukuran grinding media yang berbeda. Ukuran grinding media berbeda-beda disesuaikan dengan fungsi penggilingan. Grinding media berukuran besar berfungsi untuk memecah material besar
dan grinding media berukuran kecil berfungsi untuk menghaluskan material. Untuk mencegah terjadinya kerusakan dinding mill akibat tumbukan grinding media dan juga sebagai bantalan tumbukan grinding media, pada sekeliling dalam tube dipasang liner. Aliran material yang sudah cukup halus terjadi akibat adanya aliran udara pengering yang dimasukan ke dalam tube mill. Material yang terbawa oleh aliran udara ini
24 akan dipisahkan berdasarkan ukurannya dengan separator sentrifugal dan siklon. Produk pemisahan ini dikategorikan menjadi dua yaitu material halus (yang telah memenuhi ukuran butir dan kehalusan yang dipersyaratkan) sebagai produk dan material kasar (yang masih memerlukan penggilingan lagi) dan dikembalikan lagi ke dalam mill). Oleh sebab itu, tube ball ini biasanya dirangkai dengan separator dan siklon untuk memisahkan material kasar dan halus (Duda, 1985, pp168-185). 2.2.5
Separator
Produce Input Material
Input Udara
Input Udara
Material Kasar
Gambar 2.6 Separator (Wicaksono, 1999, p27)
Separator ini mirip impeler fan dan diputar oleh motor listrik. Main fan atau imepeler separator yang berputar akan menghasilkan sirkulasi
aliran udara melalui ruang antar sudut-sudut separator dan juga menghasilkan gaya sentrifugal bagi material yang berada di atas flat. Akibat gaya sentrifugal ini material kasar akan terlempar ke dinding separator dan jatuh pada konis tailing akibat adanya penurunan gaya
sentrifugal dan gaya gravitasi. Material kasar ini akan diumpankan kembali
25 ke dalam mill sedangkan material halus akan berada pada sumbu putar dan terbawa aliran udara oleh fan menuju cone bagian luar yang disebut konis dan akhirnya sampai di siklon untuk dipisahkan menjadi dua kategori yaitu material halus sekali sebagai produk bahan baku siap umpan dan yang masih kasar dikembalikan lagi ke separator bersama-sama material yang berasal dari mill. Laju aliran udara, volume aliran udara dan kecepatan putaran fan merupakan faktor penting dalam pemisahan partikel halus dari partikel kasar (Wicaksono, 1999, p26-27). 2.2.6
Cyclone
Siklon terdiri dari dua bagian yaitu bagian silinder dan konis. Udara yang tercampur debu material baku yang berasal dari separator masuk dengan kecepatan tertentu melalui lubang feed menyusuri dinding siklon. Karena dinding siklon berupa lingkaran maka partikel yang membelok menyusuri dinding tersebut akan mengalami gaya sentirifugal. Material yang kasar akan jatuh ke bawah karena beratnya sendiri menyusuri dinding siklon sedangkan material yang halus akan terangkat ke atas bersama aliran udara. Pada siklon ini parameter operasi yang perlu diperhatikan adalah kecepatan masuk gas, pressure drop, dan temperature gas (Duda, 1985, pp584-586).
26 2.2.7
Dust collector, Bag filter, Electrostatic precipitator Udara “bersih” ke Elektrostatic Precipitator
Flashing
Udara berasal dari conditioning Tower atau Raw Mill
Dust Bin
Gambar 2.7 Bag Filter
Sebelum udara yang berasal dari tube mill dibuang ke udara bebas, udara tersebut akan ditangkap oleh dust collector. Pembuangan udara tanpa melalui dust collector merupakan pemboroson sistem produksi dan juga mengakibatkan polusi bagi lingkungan. Sistem penangkap debu teridiri atas dua proses penangkapan. Sistem penangkap debu yang pertama menggunakan bag filter. Bag filter akan menyaring debu dalam ukuran tertentu sehingga tidak dapat menembus filter. Debu yang menempel pada filter akan menyebabkan adanya lapisan
tebal sehingga bag filter menjadi tidak berfungsi. Untuk itu bag filter dilengkapi system flashing. System flashing akan menembakkan udara ke filter, dan akan menghancurkan debu yang menempel sehingga debu
tersebut masuk ke dalam dust bin atau dust collector (Wicaksono, 1999, p14). Udara bersih dari bag filter akan masuk ke dalam sistem penangkap debu yang kedua yaitu electrostatic precipitator. Proses pemisahan debu ini
27 memanfaatkan medan listrik yang ditimbulkan oleh beda potensial yang tinggi antara kawat dan plat elektroda. Debu yang melewati kawat elektroda akan dimuati muatan negatif. Kemudian debu akan tertarik ke plat elektroda positif dan menempel pada plat tersebut. 2.2.8
Air Slide
Gambar 2.8 Air Slide
Dalam transportasi material selain dilakukan dengan cara mekanik juga dilakukan secara pneumatik (udara). Salah satu contohnya adalah air slide. Cara ini digunakan karena memiliki beberapa keuntungan antara lain,
ruangan yang dibutuhkan tidak besar, operasi yang bebas debu, tidak membutuhkan chain, dan belt. Selain itu pipa untuk pengangkutan secara pneumatik mudah dipasang dan dapat mengatasi kesulitan konstruksi. Air slide terdiri dari pipa persegi yang terbuat dari baja yang ringan.
Poros dari pipa ini membagi pipa menjadi dua bagian, ruangan atas dan ruangan bawah. Udara disuplai dari air blower ke ruangan bawah pipa. Udara yang mengalir ke bagian bawah ini akan melewati poros pipa dan mengalirkan semen yang ada di ruangan atas pipa. Pengaliran material diumpankan dan dikosongkon melalui satu ujung inlet dan outlet atau secara bersamaan melalui beberapa ujung. Udara harus disuplai pada setiap 50 m
28 panjang pipa. Umumnya kapasitas pengangkutan material lebih dari 1000 m3/jam. Konsumsi udara berkisar antara 0.25 – 1.25 m3/jam (Duda, 1984, pp332-334). 2.2.9 Semen
Semen merupakan perekat anorganik hidrolik, yang berarti bahwa senyawa-senyawa yang terkandung di dalam semen tersebut dapat bereaksi dengan air membentuk zat baru yang kuat dan kompak. Oksida silika yang terdapat di dalam komponen semen memberikan kekuatan dalam pemakaiannya. Bahan baku yang digunakan dalam industri semen dibedakan menjadi tiga, yaitu bahan baku utama, bahan korektif, dan bahan tambahan. Bahan baku utama ialah batu kapur (limestone) dan tanah liat (clay). Gabungan batu kapur dan tanah liat mengandung empat senyawa yang dibutuhkan dalam pembuatan semen, yaitu kalsium oksida dalam bentuk kalsium karbonat, aluminat, silikat dan ferrit. Keempat senyawa tersebut komposisinya tidak terlalu tetap karena lokasi penambangan yang berpindah-pindah. Untuk itu digunakan bahan baku korektif untuk menutupi kekurangan ini. Bahan baku korektif yang digunakan adalah pasir silika, pasir besi, dan kaolin. Bahan-bahan tersebut berfungsi untuk mengatur kadungan silikat, ferrit dan aluminat. Bahan
tambahan
yang
digunakan
adalah
gypsum.
Gypsum
ditambahkan pada clinker untuk memperlambat proses pengerasan semen. Gypsum merupakan sumber utama dari SO3. Kandungan sulfur dalam
campuran semen dibatasi 2.5% - 4%.
29 2.2.9.1
Macam – Macam Semen
Ada lima macam semen yakni Portland cement (terdiri dari 5 tipe), fly ash cement, white cement, oil well cement, dan blended cement (Duda, 1984, pp248-276).
1. Semen Portland (Portland Cement) Menurut American Society for Testing Material (ASTM), semen Portland terdiri dari lima tipe, yaitu : a. Semen tipe I (Ordinary Portland Cement) Semen tipe I paling banyak diproduksi. Pengerasan hingga kekuatan penuhnya selama 28 hari, dengan komposisi C3S 40-60%, C2S 10-30%, dan C3A 7-13%. Kegunaannya untuk konstruksi umum yang tidak memerlukan sifat khusus dan perkerjaan beton. b. Semen tipe II (Moderate Heat of Hardening) Komposisi semen tipe II mengandung lebih banyak C2S dan sedikit C3S. semen ini mempunyai panas hidrasi yang rendah dan kuat tekan yang tinggi. Kegunaannya untuk pembuatan jalan, bendungan, pelabuhan, dan pondasi raksasa. c. Semen tipe III (High Early Strength) Semen ini memiliki ukuran partikel lebih halus, kadar C3S lebih tinggi, sehingga pengerasannya dapat dalam tiga hari saja. Kandungan C3S lebih tinggi akan memberikan kekuatan awal yang besar. Kegunaan semen ini untuk
30 pembuatan beton pada musim dingin, konstruksi darurat, pembangunan gedung-gedung besar, dan produksi beton tekan dalam pabrik. d. Semen tipe IV (Low Heat of Hidration) Kandungan C3S dan C3A sangat rendah dan tahan terhadap sulfat. Semen ini membebaskan panas hidrasi yang rendah saat dicampur dengan air. Kegunaannya terutama untuk konstruksi yang masif. e. Semen tipe V (High Sulfate Resistance) Semen tipe ini memiliki kadar C3A dan C4AF agak tinggi. Semen ini mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap sulfat. Kegunaannya untuk konstruksi bawah tanah yang banyak mengandung senyawa sulfat, pengeboran minyak bumi, dan gas alam. 2. Semen Abu Terbang (Fly Ash Cement) Semen ini termasuk semen Portland pozzoland yang terdiri dari campuran semen Portland tipe I dan abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Semen tipe ini mempunyai panas hidrasi rendah dan tahan terhadap sulfat sehingga cocok digunakan untuk konstruksi bawah laut dan daerah yang mengandung kadar sulfat tinggi. 3. Semen Putih (White Cement) Semen ini merupakan semen Portland dengan kadar besi oksida yang rendah (0.3%). Selama proses produksi
31 berlangsung diperlukan pengawasan tambahan agar semen tidak terkontaminasi dengan Fe2O3. Penggunaan semen untuk beton cor dan barang-barang seni. 4. Semen Sumur Minyak (Oil Well Cement) Penyemenan sumur minyak merupakan proses pencampuran dan pengisian adukkan lumpur semen ke dalam selongsong pipa serta dibiarkan mengikat sehingga membentuk sumur. Semen sumur minyak mempunyai waktu pengikatan pada temperatur dan tekanan tinggi serta memiliki ketahanan terhadap sulfat. Kegunaan semen ini terutama dalam usaha pengeboran minyak bumi dan gas alam baik di pantai maupun lepas pantai. 5. Blended Cement
Semen ini hanya sedikit diproduksi karena mutunya yang rendah. Pembuatan semen ini memerlukan energi per unit volume yang rendah sehingga harganya murah. Semen ini digunakan untuk bangunan sederhana.
2.2.9.2
Tingkat Kehalusan Semen
Untuk mengatur tingkat kehalusan produk mill, pada kondisi umpan yang normal, ditentukan oleh faktor berikut : -
Jumlah dan distribusi ukuran grinding media yang ada di dalam mill, pada tube mill.
-
Pengaturan pada separator.
32 Untuk static grid separator dengan mengatur bukaan slot separator yang berbentuk blade. Pengaturan ini bertujuan untuk
menambah/mengurangi hambatan pada aliran udara bersama material. Semakin besar hambatannya maka energi kinetik material akan turun sehingga akan cenderung untuk jatuh. Untuk air separator yang dilengkapi dengan auxiliary fan yang bisa diatur kecepatannya, kehalusan produk diatur dengan mengatur kecepatan putarannya, yaitu jika putaran auxiliary fan semakin tinggi berarti mengurangi laju udara sirkulasi, sehingga material yang terangkat semakin halus dan sedikit sehingga dihasilkan produk yang semakin halus dengan material sirkulasi yang semakin banyak. Kualitas semen tergantung pada komposisi kimia semen itu sendiri. Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi komposisi kimia semen antara lain 1. Komposisi kimia raw mill yang diumpankan ke kiln dan komposisi kimia abu batubara. 2. Proses pembakaran yang dilakukan. 3. Komposisi pencampuran clinker, gypsum dan bahan additive yang diumpankan ke ball mill pada penggilingan akhir. 2.2.9.3
Proporsional Clinker
Komposisi pencampuran clinker, gypsum dan bahan additive yang diumpankan ke ball mill dapat ditentukan pada proses pencampuran
menggunakan weight feeder. Perbandingan
33 campuran tergantung komposisi kimia pada masing-masing material. Semen clinker biasanya terdiri dari mineral-mineral semen dan sejumlah kecil komponen kimia lainnya yang digiling bersama sekitar 5% gypsum untuk membentuk semen. Tujuan dari penggilingan ini yaitu : -
Membentuk permukaan reaktif yang lebih besar, agar mineral-mineral clinker dapat bereaksi dengan air.
-
Mengontrol pengaturan-pengaturan pada semen dengan penambahan gypsum
Peningkatan dehidrasi gypsum menghasilkan : -
Peningkatan kekuatan standar kekuatan semen
-
Aliran semen yang lebih baik saat dilakukan penyimpanan ke semen silo. Mekanisme pencampuran proporsional clinker material itu
sendiri memanfaatkan 4 buah weight feeder. Keempat weight feeder tersebut berfungsi untuk mengatur jumlah material yang
disuplai
ke ball mill. Jumlah aliran masing-masing material
merupakan setting point masing-masing sistem kontrol weight feeder. Sistem kontrol weight feeder menjaga jumlah aliran
material tetap stabil dan meminimalkan fluktuasi jumlah aliran material.