5
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1.
Sistem Pendukung Keputusan
Menurut Turban, sistem pendukung keputusan (Decision Support System) merupakan suatu pendekatan untuk mendukung pengambilan keputusan. Sistem pendukung keputusan menggunakan data, memberikan antarmuka pengguna yang mudah dan dapat menggabungkan pemikiran pengambil keputusan. Selanjutnya Indrajit menyatakan bahwa sistem pendukung keputusan merupakan salah satu produk perangkat lunak yang dikembangkan secara khusus untuk membantu manajemen dalam proses pengambilan keputusan. Keberadaan sistem pendukung keputusan bukan untuk menggantikan tugas manager melainkan bertujuan untuk menjadi sarana penunjang bagi perusahaan. (Nasibu, 2009).
2.2.
Obesitas
2.2.1. Pengertian obesitas Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolism energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat menggangu kesehatan. (Sudoyo, et al, 2009). 2.2.2. Pengukuran antropometri sebagai screening obesitas Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara lain adalah pengukuran Indek Massa Tubuh (IMT), lingkar pinggang, lingkar
Universitas Sumatera Utara
6
panggul, lingkar leher serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul. (Caballero, 2005). Berikut penjelasan masing-masing metode pengukuran antropometri tubuh: a. Indek Massa Tubuh (IMT) Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter (Caballero, 2005). Keterbatasan IMT adalah tidak dapat digunakan bagi anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, wanita hamil dan orang yang sangat berotot, contohnya atlet. Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel 2.2.1 di bawah ini. Tabel 2.2.1. Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005) Kategori Underweight
IMT (kg/m2) < 18.5 kg/m2
Batas normal Overweight Pre-obese Obese I Obese II Obese III
18.5 – 24.9 kg/m2 > 25.0 kg/m2 25.0 – 29.9 kg/m2 30.0 – 34.9 kg/m2 35.0 – 39.9 kg/m2 > 40.0 kg/m2
Resiko Comorbiditas Rendah (tetapi resiko terhadap masalahmasalah klinis lain meningkat) Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya Sangat berbahaya
Contoh perhitungan IMT: Diketahui: Berat Badan (BB) seseorang = 60 kg dan Tinggi Badan (TB) =162 cm menjadi 1.62 meter. Ditanya: IMT? Penyelesaian: IMT = BB kg / TB m2 = 60 / 1.622 = 60 / 2.6244 = 22.86 (normal) b. Lingkar Pinggang Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang. Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cut of point setiap etnis terhadap IMT maupun lingkar pinggang. Sehingga International Diabetes Federation mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis. (Tjokroprawiro, 2006). Dapat dilihat pada tabel 2.2.2. berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
7
Tabel 2.2.2. Kriteria Ukuran Pinggang Berdasarkan Etnis Lingkar pinggang pada obesitas Pria Wanita > 94 cm > 80 cm > 94 cm > 80 cm > 102 cm > 88 cm > 102 cm > 88 cm > 90 cm > 80 cm > 90 cm > 80 cm > 85 cm > 90 cm > 85 cm > 80 cm > 94 cm > 80 cm > 94 cm > 80 cm > 90 cm > 80 cm
Negara/Grup Etnis Eropid Caucasian United States Canada Asian (including Japanese) Asian Japanese China Middle East, Mediterranean Sub-Sahara Africa Ethnic Central and South American c. Lingkar leher
Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untuk skreening individu dengan obesitas. Lingkar leher > 37 cm untuk laki-laki dan > 34 cm untuk wanita merupakan cut of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan IMT > 25 kg/m2, lingkar leher > 39.5 cm untuk laki-laki dan > 36.5 cm untuk wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan obesitas (IMT > 30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher memiliki sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk perempuan. Dapat dilihat pada tabel 2.2.3. berikut ini: (Liubov et al., 2001). Tabel 2.2.3. Nilai Perbandingan Lingkar Leher dan Lingkar Pinggang Pengukuran
Pria
Normal Lingkar leher 38-40 cm Lingkar pinggang 94-102 cm Perbandingan lingkar leher dan 0.39 lingkar pinggang
Wanita Besar Normal Besar > 40 cm 34-37 cm > 37 cm > 102 cm 80-88cm > 88 cm > 0.39 0.44 > 0.44
d. Lingkar Pinggang dan Perbandingan antara Lingkar Pinggang dengan Lingkar Panggul Salah satu metode pengukuran peringkat obesitas dan overweight adalah dengan menggunakan antropometri yaitu perbandingan Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP). Rasio lingkar pinggang terhadap panggul adalah indikator untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
8
obesitas abdominal yang diperoleh dengan cara menghitung perbandingan antara lingkar pinggang (cm) dan lingkar panggul (cm). World Health Organization (2000) secara garis besar menentukan kriteria obesitas berdasarkan rasio lingkar pinggang panggul jika rasio lingkar pinggang panggul pria > 0,90 dan pada wanita > 0,80. Nilai perbandingan antara lingkar pinggang dengan lingkar panggul dapat dilihat pada tabel 2.2.4 berikut: Tabel 2.2.4. Tabel Perbandingan antara Lingkar Pinggang - Panggul Pria Pengukuran
Resiko meningkat
Lingkar pinggang Perbandingan lingkar pinggang/lingkar panggul
> 94 cm
Wanita Resiko Resiko Resiko sangat meningka sangat meningkat t meningkat > 102 cm > 80 cm > 88 cm
0.9
1.0
0.8
0.9
Data yang diambil adalah data primer dengan melakukan wawancara langsung kepada responden. Data primer yang diambil identitas responden, berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, lingkar panggul dan lingkar leher. Jumlah responden diambil sebanyak 10 orang, wanita dengan usia 18-50 tahun kecuali ibu hamil dan atlet.
2.3.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pada dasarnya, proses pengambilan keputusan adalah memilih suatu alternatif. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Keberadaan hirarki memungkinkan dipecahkannya masalah kompleks atau terstruktur dalam sub-sub masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu bentuk hirarki. 2.3.1. Prinsip dasar analytical hierarchy process Dalam menyelesaikan permasalahan dengan AHP ada beberapa prinsip yang perlu dipahami, diantaranya sebagai berikut: 1. Decomposition (membuat hirarki) Sistem yang kompleks bisa dipahami dengan memecahkannya menjadi elemenelemen yang lebih kecil dan mudah dipahami.
Universitas Sumatera Utara
9
2. Comparative judgement (penilaian kriteria dan alternatif) Kriteria dan alternatif dilakukan dengan perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1988) untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat diukur menggunakan tabel analisis seperti pada tabel 2.3.1. berikut ini: Tabel 2.3.1. Tabel Analisis Intensitas Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 Kebalikan
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen launnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitsa j, maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan dengan i
3. Synthesis of priority (menentukan prioritas) Menentukan prioritas dari elemen-elemen kriteria dapat dipandang sebagai bobot/kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua elemen sehingga semua elemen yang ada tercakup. Prioritas ini ditentukan berdasarkan pandangan para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengambilan keputusan, baik secara langsung (diskusi) maupun secara tidak langsung (kuisioner). 4. Logical consistency (konsistensi logis) Konsistensi memiliki dua makna. Pertama, objek-objek yang serupa bisa dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut tingkat hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 2.3.2. Prosedur Analytical Hierarchy Process (AHP) Menurut Kusrini, secara umum langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan AHP untuk pemecahan suatu masalah adalah sebagai berikut: 1.
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, lalu menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
10
2.
Menentukan prioritas elemen a. Langkah pertama dalam menentukan prioritas elemen adalah membuat perbandingan pasangan, yaitu membandingkan elemen secara berpasangan sesuai kriteria yang diberikan. b. Matriks perbandingan berpasangan diisi menggunakan bilangan untuk mempresentasikan kepentingan relatif dari suatu elemen terhadap elemen yang lainnya.
3.
Sintesis Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini adalah: a. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks. b. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks. c. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.
4.
Mengukur konsistensi Dalam pembuatan keputusan, penting untuk mengetahui seberapa baik konsistensi yang ada karena kita tidak menginginkan keputusan berdasarkan pertimbangan dengan konsistensi yang rendah. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini adalah: a. Kalikan setiap nilai pada kolom pertama dengan prioritas relatif elemen pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif elemen kedua dan seterusnya. b. Jumlahkan setiap baris. c. Hasil dari penjumlahan baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang bersangkutan. d. Jumlahkan hasil bagi di atas dengan banyaknya elemen yang ada. Hasilnya di sebut maks.
5.
Hitung Consistency Index (CI).
6.
Hitung Rasio Konsistensi / Consistency Ratio (CR).
7.
Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10%, maka penilaian data judgement harus diperbaiki, berarti langkah kedua harus diulang kembali. Namun,
Universitas Sumatera Utara
11
jika rasio konsistensi (CI/IR) kurang atau sama dengan 0,1 maka hasil perhitungan bisa dinyatakan benar. (Kosasi & Sandy, 2002). Daftar indeks random konsisten (IR) dapat dilihat pada tabel 2.3.2. berikut ini: (Saaty, 1988). Tabel 2.3.2. Daftar Ratio Index (RI) N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0
0
0.58
0.90
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
1.51
1.48
1.56
1.57
1.59
2.4.
Metode Mamdani
Sistem inferensi fuzzy metode Mamdani dikenal juga dengan nama metode Max-Min. Metode Mamdani bekerja berdasarkan aturan-aturan linguistik. Metode ini diperkenalkan oleh Mamdani (1975). Untuk mendapatkan output (hasil), diperlukan 4 tahapan: 1.
Pembentukan himpunan fuzzy Menentukan semua variabel yang terkait dalam proses yang akan ditentukan.
Untuk masing-masing variabel input, tentukan suatu fungsi fuzzifikasi yang sesuai. Pada metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy. 2.
Aplikasi fungsi implikasi Menyusun basis aturan, yaitu aturan-aturan berupa implikasi-implikasi fuzzy
yang menyatakan relasi antara variabel input dengan variabel output. Pada metode Mamdani, fungsi implikasi yang digunakan adalah Min. 3.
Komposisi aturan Apabila sistem terdiri dari beberapa aturan, maka inferensi diperoleh dari
kumpulan dan kolerasi antar aturan. Ada 3 metode yang digunakan dalam melakukan inferensi sistem fuzzy, yaitu: a. Metode max (maximum) Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakan nilai tersebut untuk modifikasi daerah fuzzy dan mengaplikasikannya ke output dengan menggunakan operator OR (gabungan). Jika semua proporsi telah dievalusi, maka output akan berisi suatu himpunan fuzzy yang merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap proposisi.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Metode additive (sum) Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan penjumlahan terhadap semua output daerah fuzzy. c. Metode probabilistik OR (probor) Pada metode ini, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan cara melakukan perkalian terhadap semua output daerah fuzzy. (Wulandari, 2011). 4.
Defuzzyfikasi (penegasan) Penegasan (defuzzyfikasi) adalah proses mengolah suatu himpunan fuzzy yang
diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy untuk menghasilkan output berupa suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. (Kusumadewi et al., 2010). Menurut Kusumadewi, ada beberapa metode defuzzyfikasi pada komposisi aturan Mamdani, antara lain: a) Metode Centroid (Composite Moment) Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Secara umum dirumuskan:
…………………………. (2.1) Keterangan: Z
= nilai domain ke-i,
µ(z)
= derajat keanggotaan titik tersebut,
Z0
= nilai hasil penegasan (defuzzyfikasi)
…………….…………… (2.2) Keterangan: Z
= nilai hasil penegasan (defuzzyfikasi),
di
= nilai keluaran pada aturan ke-i,
UAi (di) = derajat keanggotaan nilai keluaran pada aturan ke-i, n
= banyaknya aturan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
13
b) Metode Bisektor Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan setengah dari jumlah total nilai keanggotaan pada daerah fuzzy. c) Metode Mean of Maximum (MOM) Pada metode ini, solusi crips diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. d) Metode Largest of Maximum (LOM) Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. e) Metode Smallest of Maximum (SOM) Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
Universitas Sumatera Utara