BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor yang semakin tinggi mengakibatkan individu semakin rentan mengalami berbagai gangguan baik fisik maupun psikologis. Gangguan psikologis seperti kecemasan, stress, frustasi, agresivitas, perilaku anarkis, dan gangguan emosi lain semakin meningkat (Mashar, 2011). Perilaku menyimpang pada anak, seperti berbagai kasus bunuh diri yang terjadi merupakan salah satu indikasi ketidaksiapan anak menyikapi kondisi lingkungan sekitarnya. Rasa kecewa, malu, amarah, dan perasaan-perasaan negatif lain yang bersifat destruktif bersumber pada ketidakmampuan anak mengenali dan mengelola emosi, serta memotivasi diri. Menurut Goleman (1995), kondisi ini merupakan cerminan kecerdasan emosi yang rendah. Menurut LaFreniere (2000), emosi merupakan sentral guna memahami respon adaptif terhadap lingkungan. Bagi manusia, emosi memainkan peranan pemandu yang selaras dengan insting pada binatang. Emosi juga memainkan peranan kritis dalam munculnya psikopatologi atau gangguan psikis pada individu. Sehingga para orang tua dan pendidik harus memberi perhatian yang ketat terhadap pengembangan stimulasi emosi anak. Di dalam penelitian ini, emosi akan diukur menggunakan skala likert yang hasil perhitungannya akan diproses menggunakan logika fuzzy. Logika fuzzy merupakan logika yang mempunyai konsep kebenaran sebagian, dimana logika fuzzy memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1. Sedangkan logika klasik menyatakan bahwa segala hal dapat di ekspresikan dalam nilai kebenaran 0 atau 1.
Universitas Sumatera Utara
9
Logika fuzzy juga sangat fleksibel artinya mampu beradaptasi dengan perubahanperubahan dan ketidakpastian yang menyertai permasalahan, serta mampu memodelkan fungsi non linier yang sangat kompleks dan dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman-pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan (Wulandari, 2011). Menurut Anastasi (1993), pengukuran yang baik perlu memenuhi syarat alat ukur yang baik pula, yaitu: valid (content validity, criterion validity, dan construct validity reliable (stabilitas dan ekuivalensi), standar, objektif, komprehensif, diskriminatif, mudah penggunaanya, dan murah. Banyak ahli emosi menyatakan bahwa tidak ada satu metode tunggal yang benar-benar mampu mengukur emosi secara tepat. Diperlukan beberapa teknik guna memperoleh fenomena emosi secara menyeluruh, karena tidak ada satu pun pengukuran emosi yang memberi standar emas dalam pengukuran emosi (Plutchik 2003). Ada perbedaan nilai EQ dan status EQ antara penggunaan logika fuzzy dengan logika tegas berdasarkan skala likert. Penggunaan logika fuzzy memungkinkan nilai EQ termasuk ke dalam tiga kategori. Sehingga untuk menentukan stastus EQnya, yaitu dengan mengambil derajat keanggotaan tertinggi dari nilai EQ tersebut. Penentuan status EQ dengan logika tegas mempunyai nilai – nilai kritis, dimana ada perubahan kecil pada nilai akan mengakibatkan perbedaan kategori. Perbedaan nilai EQ dan status EQ antara penggunaan logika fuzzy dengan logika tegas berdasarkan skala likert terjadi karena input yang digunakan dalam logika tegas adalah bilangan tegas. Sedangkan dalam logika fuzzy, variabel input adalah berupa interval. Penentuan status EQ menggunakan logika fuzzy akan memberikan proses yang lebih halus dari pada menggunakan logika tegas (Wulandari, 2011).
2.2 Landasan Teori
Landasan teori terdiri dari materi-materi yang berkaitan dengan sistem inferensi Fuzzy yang digunakan dalam penelitian ini.
2.2.1 Logika Fuzzy Lotfi Zadeh adalah orang yang mencetuskan konsep logika fuzzy, profesor dari University of California di Barkeley mempresentasikan fuzzy bukan sebagai
Universitas Sumatera Utara
10
metodologi kontrol, melainkan sebagai suatu cara pemrosesan data yang memperbolehkan anggota himpunan parsial dari pada anggota himpunan kosong atau non anggota. Kurangnya kemampuan komputer mini pada era 70-an membuat teori himpunan ini tidak diaplikasikan untuk mengontrol sistem. Pada saat itu professor Zadeh mempunyai alasan masyarakat masih belum butuh ketepatan, input informasi numeris dan ketidaksanggupan masyarakat dalam mengontrol adaptif yang tinggi. Implementasi akan menjadi lebih efektif dan efesien jika kontroler dapat diprogram untuk menerima noisy dan input yang tidak teliti. Berikut ini adalah Gambar 2.1 mengenai logika fuzzy secara umum.
Aturan/ Kaidah-Kaidah
Input
Fuzzifikasi
Penalaran
Defuzzifikasi
Output
Gambar 2.1 Proses Inferensi Fuzzy
2.2.2 Himpunan fuzzy Himpunan fuzzy memiliki fungsi keanggotaan µA(x) yang berada pada nilai antrar [0,1]. Pada dasarnya himpunan klasik hanya memiliki dua fungsi keanggotaan yaitu 0 dan 1, sedangkan pada himpunan fuzzy memiliki fungsi keanggotaan yang kontiniu dengan range [0,1].
2.2.3 Fungsi Keanggotaan Fungsi keanggotaan adalah pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya yang memiliki interval antara 0 sampai 1 yang direpresentasikan dalam bentuk kurva. Fungsi keanggotaan dihubungkan dengan pembobotan masingmasing input yang diproses, definisi pencocokan fungsi antar input dan penentuan respon keluar. Ada beberapa fungsi keanggotaan yang dapat digunakan dalam logika fuzzy, tetapi fungsi yang paling sering digunakan dalam pembangunan sistem pakar adalah representasi kurva trapesium.
Universitas Sumatera Utara
11
a.
Kurva Trapesium
Kurva trapesium mempunyai bentuk seperti segitiga, tetapi hanya beberapa titik yang memiliki nilai keanggotaan 1 seperti terlihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Representasi Kurva Trapesium
Fungsi keanggotaannya adalah :
(2.1)
b. Kurva bahu Daerah yang terletak ditengah-tengah suatu variabel yang direpresentasikan dalam bentuk segitiga, pada sisi kanan dan kirinya akan naik dan turun. Penggunaan himpunan fuzzy bahu berfungsi untuk mengakhiri variabel suatu daerah fuzzy. Bahu kiri dan bahu kanan akan begerak maju dari salah ke benar. Representasi Kurva bahu ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.3 Representasi Kurva Bahu
2.2.4 Fuzzy Inference System (FIS) Dalam penelitian ini akan digunakan metode penalaran dengan menggunakan metode mamdani. Metode ini ditemukan oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975. Pada penalaran mamdani implikasi menggunakan fungsi minimum dan fungsi agregasi menggunakan nilai maximum. Sehingga metode mamdani dikenal dengan metode max-min. Ada 4 tahapan untuk mendapatkan output dalam mamdani yaitu:
1. Pembentukan Himpunan Fuzzy Pembentukan himpunan fuzzy dalam mamdani, variabel input maupun variabel output dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy.
2. Aplikasi Fungsi Implikasi Fungsi implikasi yang digunakan dalam mamdani adalah fungsi min.
3. Komposisi aturan Ada 3 metode yang digunakan dalam melakukan inferensi sistem fuzzy yaitu: a. Metode max Pada metode ini penarikan solusi himpunan fuzzy
dilakukan dengan
mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya untuk memodifikasi daerah fuzzy dan mengaplikasikan ke output dengan operator OR. Secara umum dapat dituliskan : µsf[xi] = max (µsf[xi], µkf[xi]) dengan :
Universitas Sumatera Utara
13
µsf[xi] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan ke-i; µkf[xi] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan ke-i;
b. Metode additive Pada metode ini solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan me Secara umum dituliskan : µsf[xi] = min (1, µsf[xi] + µkf[xi]) dengan : µsf[xi] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan ke-i; µkf[xi] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan ke-i; lakukan bounded-sum terhadap semua output daerah fuzzy.
c. Metode probabilitas OR. Pada metode ini solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan melakukan product terhadap semua daerah output fuzzy. Secara umum dituliskan : µsf[xi] = (µsf[xi] + µkf[xi]) - (µsf[xi] * µkf[xi]) dengan : µsf[xi] = nilai keanggotaan solusi fuzzy sampai aturan ke-i; µkf[xi] = nilai keanggotaan konsekuen fuzzy aturan ke-i;
4. Penegasan (defuzzy) Input dalam proses defuzzy adalah suatu himpunan yang diperoleh dari komposisi aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy. Metode defuzzy yang bisa dipakai pada komposisi aturan mamdani:
a. Metode Centroid Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat (z*) daerah fuzzy. b. Metode Bisektor Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai pada domain fuzzy yang memiliki nilai keanggotaan separo dari jumlah total nilai keanggotaan pada daerah fuzzy.
Universitas Sumatera Utara
14
c. Metode Mean of Maximum (MOM) Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai rata-rata domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. d. Metode Largest of Maximum (LOM) Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terbesar dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum. e. Metode Smallest of Maximum (SOM) Pada metode ini, solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil nilai terkecil dari domain yang memiliki nilai keanggotaan maksimum.
2.2.5. Proses Inferensi Fuzzy Sistem inferensi fuzzy Metode Mamdani dikenal juga dengan nama metode Min-Max, yaitu dengan mencari nilai minimum dari setiap aturan dan nilai maksimum dari gabungan konsekuensi setiap aturan tersebut. Metode Mamdani cocok digunakan apabila input diterima dari manusia bukan mesin. Metode ini juga lebih diterima oleh banyak pihak dari pada metode Tsukamoto dan Takagi. Sugeno. Bagan Fuzzy mamdani Inference System dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Proses Inferensi Fuzzy Mamdani
Berdasarkan Gambar 2.4 diatas untuk memperoleh output fuzzy mamdani harus melalui 6 tahapan diantaranya : 1.
Menentukan pembentukan aturan fuzzy
2.
Fuzzyfikasi input ke dalam fungsi keanggotaan fuzzy
Universitas Sumatera Utara
15
3.
Menggabungkan input yang sudah difuzzyfikasi dengan aturan fuzzy untuk memperoleh rule strength
4.
Mencari consequence dari aturan dengan menggabungkan rule strength dengan output fungsi keanggotaan.
5.
Menggabungkan consequence dengan metode max untuk memperoleh output distribution
6.
Defuzzifikasi output distribution
2.3 Teknik Pengukuran Skala Psikologi
Teknik pengukuran skala psikologi terdiri dari karakteristik skala psikologi, tingkat pengukuran skala psikologi, skala likert, serta reliabilitas dan validitas pengukuran.
2.3.1 Karakteristik Skala Psikologi Skala psikologi digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian tertentu. Skala psikologi memiliki karakteristik khusus yang dapat membedakannya dari berbagai alat pengumpulan data yang lain seperti angket (questionnaire), daftar isian, inventori, dan lain-lainnya. Didalam percapakan sehari-hari istilah skala sering dikaitkan dengan istilah tes. Namun dalam pengembangan instrumen ukur, umumnya istilah tes digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan kognitif sedangkan istilah skala lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur aspek afektif.
Berikut adalah
karakteristik skala sebagi alat ukur psikologi (Azwar, 2010):
1.
Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.
2.
Dikarenakan atribut psikologis diungkapkan secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak item. Jawaban subjek terhadap satu aitem baru merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut yang diukur, sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat dicapai bila semua aitem telah direspon.
Universitas Sumatera Utara
16
3.
Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar dan salah. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda pula.
2.3.2 Tingkat Pengukuran Skala Psikologi Ada beberapa bentuk skala yang dapat digunakan dalam penelitian. Konseptualisasi skala tersebut didasarkan pada tiga karakteristik sebagai berikut:
1.
Urutan bilangan, yaitu sebuah bilangan lebih besar, lebih kecil, atau sama dengan bilangan lain.
2.
Urutan perbedaan antara bilangan, yaitu perbedaan antara sepasang bilangan bisa lebih besar, lebih kecil atau sama besar dengan perbedaan sepasang bilangan lainnya.
3.
Titik awal yang unik yang menunjukkan bilangan 0.
Tabel 2.1 menjelaskan kombinasi ketiga karakteristik tersebut yang mencakup urutan, perbedaan, titik awal, membentuk 4 klasifikasi skala pengukuran:
Tabel 2.1 Karakteristik Skala No Tipe Skala 1 2
Nominal Ordinal
3
Interval
4
Rasio
Karakteristik Skala
Operasi Empiris Dasar
Tidak ada urutan, atau titik awal Ada urutan tetapi tidak ada perbedaan dan titik awal Ada urutan dan perbedaan tetapi tidak ada titik awal Ada urutan, perbedaan, dan titik awal
Penentuan kesamaan Penentuan lebih besar atau lebih kecil Penentuan kesamaan interval atau perbedaan Penentuan kesamaan rasio
2.3.3 Skala Likert Dalam ilmu sosial, alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel sering tidak tersedia sehingga harus dirancang dan dikembangkan sendiri. Alat ukur harus bisa mebedakan
satuan
pengamatan
sesuai
dengan
karakteristik
yang
diamati
menggunakan teknik penskalaan tertentu. Dalam penelitian ini akan digunakan skala likert untuk mengukur EQ anak.
Universitas Sumatera Utara
17
Skala likert adalah metode pengukuran sikap yang banyak digunakan dalam penelitian sosial karena kesederhanaanya. Skala likert sangat bermanfaat untuk mebandingkan skor sikap seseorang dengan distribusi skala dari sekelompok orang lain, serta untuk melihat perkembangan atau perubahan sikap sebelum dan sesudah eksperimen atau kegiatan. Tahap-tahap perancangan skala liker adalah sebagai berikut:
1.
Menentukan secara tegas sikap terhadap topik yang diukur.
2.
Menentukan secara tegas dimensi yang menyusun sikap tersebut. Dimensi pada dasarnya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap yang menurut likert terdiri dari dimensi kognitif (tahu atau tidak tahu), afektif (perasaan terhadap sesuatu), dan konatif (kecenderungan untuk bertingkah laku).
3.
Susun pernyataan-pernyataan atau item yang merupakan alat pengukur dimensi yang menyusun sikap yang akan diukur sesuai dengan indikator. Banyaknya indikator biasanya antara 30-40 item untuk sebuah sikap tertentu. Item-item yang disusun tersebut harus terdiri dari item positif dan item negatif. AItem positif adalah pernyataan yang memberikan isyarat mendukung topik yang sedang diukur, sedangkan aitem negatif melawan topik yang sedang diukur. Item positif dan item negatif harus ditempatkan secara acak.
4.
Setiap aitem diberi pilihan respon yang bersifat tertutup. Banyaknya pilihan respon biasanya 3,5,7,9 dan 11.
2.3.4 Reliabilitas dan Validitas Pengukuran Hasil pengukuran yang reliable apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Relatif sama dimaksudkan tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Bila perbedaan sangat besar dari waktu ke waktu maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan sebagai tidak reliabel.
Universitas Sumatera Utara
18
Konsep reliabilitas alat ukur dan hasil ukur memiliki perbedaan didalam penggunaannya. Konsep reliabilitas sebagai alat ukur berkaitan dengan masalah error pengukuran. Error yang terjadi pada pengukuran dilihat pada sejauhmana inkonsistensi hasil pengukuran bila dilakukan pengukuran berulang-ulang pada subjek yang sama. Sedangkan konsep reliabilitas sebagai hasil ukur berkaitan pada kesalahan dalam pengambilan sampel dan menyebabkan inkonsistensi hasil ukur jika pengukuran dilakukan secara berulang-ulang pada kelompok individu yang berbeda. Validitas dalam pengertiannya yang paling umum adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Validitas memiliki kaitan yang erat dengan tujuan ukur, sehingga setiap skala hanya dapat menghasilkan data yang valid untuk satu tujuan ukur pula. Validitas merupakan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh setiap skala. Untuk membuat perancangan skala yang valid, maka harus diperhatikan faktor – faktor yang dapat melemahkannya (Azwar, 2010), diantaranya:
1. Identifikasi kawasan ukur yang tidak cukup jelas Untuk mengukur “sesuatu” maka sesuatu itu harus dikenali terlebih dahulu dengan baik. Apabila atribut psikologi sebagai tujuan ukur tidak diidentifikasikan dengan benar maka perancangan skala hanya memiliki gambaran yang kabur mengenai apa yang sebenarnya hendak diukurnya dan pada akhirnya aitem-aitem yang dihasilkan tidak mampu mengungkapkan respon yang diinginkan.
2.
Operasionalisasi konsep yang tidak tepat Kejelasan konsep mengenai atribut yang hendak diukur memungkinkan perumusan indikator-indikator perilaku yang menunjukkan ada tidaknya atribut yang bersangkutan. Rumusan indikator perilaku berangkat dari operasional konsep teoritik mengenai komponen-komponen atau dimensi-dimensi atribut yang bersangkutan menjadi rumusan yang terukur. Apabila perumusan ini tidak cukup operasional, atau masih menimbulkan penafsiran ganda mengenai bentuk perilaku yang diinginkan, atau sama sekali tidak mencerminkan konsep yang diukur, maka akan melahirkan aitem-aitem yang tidak valid.
3.
Penulisan aitem yang tidak mengikuti kaidah
Universitas Sumatera Utara
19
Aitem-aitem yang maksudnya sukar dimengerti oleh pihak responden karena terlalu atau kalimatnya tidak benar secara tata bahasa, yang mendorong responden untuk memilih jawaban tertentu saja, yang memancing reaksi negatif dari responden, yang mengandung muatan social desirability tinggi, dan yang memiliki cacat semacamnya dihasilkan dari proses penulisan aitem yang mengabaikan kaidah-kaidah standar. Aitem-aitem seperti itu tidak akan berfungsi sebagaimana diharapkan.
4.
Administrasi skala yang tidak berhati-hati Skala yang isinya telah dirancang dengan baik dan aitem-aitemnya sudah ditulis dengan cara yang benar namun disajikan atau diadministrasikan pada responden dengan sembarangan tidak dapat menghasilkan data yang tidak valid mengenai responden.
5.
Pemberian skor yang tidak cermat Sekalipun disediakan kunci skoring, kadang-kadang terjadi kesalahan dari pihak pemberi skor karena cara penggunaan kunci yang keliru atau karena salah dalam penjumlahan skor. Pada beberapa skala yang menggunakan konversi skor, dapat terjadi kesalahan sewaktu mengubah skor mentah menjadi skor derivasi karena salah lihat pada tabel konversi.
6.
Interpretasi yang keliru Penafsiran hasil ukur skala merupakan bagian dari proses diagnosis psikolog yang teramat
penting.
Bagaimana
pun
baiknya
fungsi
ukur
skala
apabila
diinterpretasikan secara tidak benar tentu akan sia-sia. Kesimpulan mengenai individu atau kelompok individu akan tidak tepat.
2.4 Kecerdasan Emosi Anak Usia Dini
2.4.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah, dan mengontrol emosi agar anak merespons secara positif setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi ini (Mashar, 2011)
Universitas Sumatera Utara
20
Anak yang tidak diberi ruang untuk berkembang secara emosi dapat tumbuh menjadi pribadi yang sulit. Hal tersebut dapat terbawa terus hingga memasuki masa dewasanya. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan fisik yang harmonis menjadi cikal bakal pribadi anak yang sehat. Sehingga saat mereka dewasa nanti mereka menjadi pribadi yang dibutuhkan dalam masyarakat. Orang tua sangat berperan penting dalam mengontrol emosi anak mereka. Orang tua dapat mengajari anak cara mengolah emosi dan membina hubungan sosial dengan orang lain, agar anak menjadi lebih mampu untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul selama proses perkembangannya menuju manusia dewasa. Dan dengan bekal ini pula, anak nantinya dapat mengatasi berbagai tantangan emosional dalam kehidupan modern. Dalam bidang psikologi anak, para peneliti telah membuktikan bahwa kesuksesan anak disekolah bergantung pada tingkat kecerdasan emosi yang dimilikinya. Anak yang memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, mereka akan terlihat bahagia, percaya diri, populer, dan lebih sukses di sekolahnya. Karena mereka mampu menguasai gejolak emosi, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dapat mengelola stress, dan memiliki kesehatan mental yang baik. Ciri – ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi sebagai berikut (Goleman, 1995): 1.
Mampu memotivasi diri sendiri.
2.
Mampu bertahan menghadapi frustasi.
3.
Lebih cakap untuk menjalankan jaringan informal/nonverbal (memiliki tiga variasi yaitu jaringan komunikasi, jaringan keahlian, dan jaringan kepercayaan).
4.
Mampu mengendalikan dorongan lain.
5.
Cukup luwes untuk menemukan cara/alternatif agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula sulit dijangkau.
6.
Tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatu akan beres ketika menghadapi tahap sulit.
7.
Memiliki empati yang tinggi.
8.
Mempunyai keberanian untuk memecahkan tugas yang berat menjadi tugas kecil yang mudah ditangani.
9.
Merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara dalam meraih tujuan.
Universitas Sumatera Utara
21
Syamsu Yusuf (dalam Nugraha dan Rachmawati, 2004) menjabarkan kelima aspek emosi ini dalam pemetaan yang sistematis berdasarkan aspek/unsur dan ciri – ciri kecerdasan emosi, yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2
Tabel 2.2 Aspek emosi dan karakteristik perilakunya Aspek 1. Kesadaran diri
Karakteristik Perilaku a. Mengenal dan merasakan emosi diri sendiri b. Memahami penyebab perasaan yang timbul c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
2. Mengelola emosi
a. Bersikap toleran terhadap frustasi dan mampu mengelola amanah secara baik b. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi ketegangan jiwa (stres) f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas dalam pergaulan
3. Memanfaatkan emosi secara produktif
a. Memiliki rasa tanggung jawab b. Mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan c. Mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat implusif
4. Empati
a. Mampu menerima sudut pandang orang lain b. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain c. Mampu mendengarkan orang lain
5. Membina hubungan
a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menganalisis hubungan dengan orang lain b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain c. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang lain d. Memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan teman sebaya e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian terhadap orang lain f. Memerhatikan kepentingan sosial (senang menolong orang lain) dan dapat hidup selaras dengan kelompok g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama
Universitas Sumatera Utara
22
h. Bersikap demokratis dalam bergaul dengan orang lain
Menurut W.T. Grant Consortium (dalam Goleman, 1995), kecerdasan emosional meliputi mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan, mengungkapkan perasaan, menilai intensitas perasaan, mengelola perasaan, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, mengurangi stress, dan mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan. Berdasarkan berbagai uraian tentang kecerdasan emosi, dapat dirangkum aspek emosi yang mengacu pada pendapat Goleman dan Salovey-Mayer, dalam 5 ciri yaitu: 1.
Kemampuan mengenali emosi diri.
2.
Kemampuan mengelola dan mengekspresikan emosi.
3.
Kemampuan memotivasi diri.
4.
Kemampuan mengenali emosi orang lain/empati.
5.
Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.
Pemahaman mengenai karakteristik emosi anak akan sangat membatu orang tua dan pendidik dalam memberikan stimulasi atau rangsangan emosi yang tepat bagi anak. Keterbatasan pemahaman emosi anak sering kali menimbulkan ketidaktepatan orang dewasa dalam merespons emosi anak. Kondisi ini dapat mengakibatkan munculnya permasalahan baru dalam aspek emosi. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi anak meliputi kesadaran diri, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif, empati, membina hubungan. Untuk selanjutnya di dalam penelitian ini kelima aspek tersebut dijadikan alat ukur untuk kecerdasan emosi anak.
Universitas Sumatera Utara
23
2.4.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (Goleman, 1995):
1. Faktor otak Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan walaupun individu mempunyai kecenderungan emosi ketika lahir, tetapi rangkaian otak mereka tidak akan kaku pada tingkat tertentu, sehingga mereka dapat mempelajari keterampilan emosional dan sosial baru yang akan menciptakan jalur – jalur baru seta pola biokimia yang lebih adaptif. Arsitektur otak memberi tempat istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu membajak otak. Amigdala berfungsi sebagai semacam gedung ingatan emosional. Demikian makna emosional itu sendiri hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. 2. Lingkungan keluarga Khusunya orang tua memegang peranan penting terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk mempelajari emosi. Dari keluargalah seorang anak mengenal emosi dan yang paling utama adalah bagaimana cara orang tua mengasuh dan memperlakukan anak dan itu merupakan tahap awal yang diterima oleh anak dalam mengenal kehidupan ini. 3. Lingkungan sekolah Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi anak melalui teknik, gaya kepemimpinan dan metode mengajarnya sehingga kecerdasan emosi berkembang secara maksimal. Lingkungan sekolah mengajarkan anak sebagai individu untuk mengembangkan keintelektual dan besosial dengan sebayanya, sehingga anak dapat berekspresi secara bebas tanpa terlalu banyak diatur dan diawasi secara ketat. 4.
Lingkungan dan dukungan sosial Dukungan dapat berupa perhatian, penghargaan, pujian, nasihat atau penerimaan masyarakat yang semua itu memberikan dukungan prakits bagi individu. Dukungan sosial diartikan sebagai hubungan interpersonal yang didalamnya satu atau lebih bantuan dalam bentuk fisik atau instrumental, informasi dan pujian.
Universitas Sumatera Utara
24
2.4.3 Stimulasi Kecerdasan Emosi Pada umumnya perkembangan fisik dan kemampuan kognitif anak menjadi perhatian yang sangat besar bagi orang tua dan pendidik, sehingga perhatian terhadap kecerdasan emosi anak menjadi kurang diperhatikan. Diperlukan keseriusan dalam mengasah kecerdasan emosi anak dan menempatkannya sebagai prioritas utama dalam tugas pengasuhan. Dengan pola asuh yang tepat akan tercapai tujuan orang tua dan pendidik dalam membentuk kecerdasan emosi anak yang tinggi. Pemberian rangsangan-rangsangan yang sesuai dapat meningkatkan kecerdasan emosi anak, sehingga anak dapat mempelajari keterampilan-keterampilan emosi dan sosial yang baru. Beberapa cara yang dapat dilakukan orang tua (Mashar,2011), diantaranya: 1.
Orang tua perlu memeriksa kembali cara pengasuhan yang selama ini dilakukan, jika perlu besedia bertindak dengan cara – cara yang berlawanan dengan kebiasaan cara pengasuhan selama ini, seperti : a. Tidak terlalu melindungi. b.
Membiarkan anak mengalami kekecawaan.
c.
Tidak terlalu cepat membantu.
d.
Mendukung anak untuk mengatasi masalah.
e.
Menunjukkan empati.
f.
Menetapkan aturan-aturan tegas dan konsisten.
2.
Memberi perhatian pada tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi.
3.
Melatih anak untuk mengenali emosi dan mengelolanya dengan baik.
Kecerdasan emosi perlu diasah sejak dini, karena kecerdasan emosi merupakan salah satu poros keberhasilan individu dalam berbagai aspek kehidupan. Kemampuan yang dimiliki anak dalam mengembangkan kecerdasan emosinya, mempunyai korelasi positif dengan keberhasilan akademis, sosial, dan kesehatan mentalnya. Anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi identik dengan anak yang bahagia, bermotivasi tinggi, dan mampu bertahan dalam menjalani berbagai kondisi stres yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
25
Sehingga pemberian stimulasi kecerdasan emosi kepada anak merupakan peran penting yang harus dilakukan orang tua.
2.5 Teori Prakiraan Secara
umum
pengertian
prakiraan
adalah
tafsiran.
Namun
dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu maka peramalan bukan hanya sekedar tafsiran. Ada beberapa definisi tentang peramalan, diantaranya: a. Prakiraan atau forecasting diartikan sebagai penggunaan teknik-teknik statistik dalam bentuk gambaran masa depan berdasarkan pengolahan angka-angka historis (Buffa, 1996). b. Prakiraan merupakan bagian integral dari kegiatan pengambilan keputusan manajemen (Makridakis, 1999) c. Prakiraan adalah prediksi, rencana, atau estimasi kejadian masa depan yang tidak pasti. Selain itu peramalan juga dapat diartikan sebagai penggunaan teknik-teknik statistik dalam membentuk gambaran masa depan berdasarkan pengolahan angka-angka historis.
Metode prakiraan merupakan cara memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa depan secara sistematis dan pragmatis atas dasar data yang relevan pada masa yang lalu, sehingga dengan demikian metode peramalan diharapkan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar. Selain itu m etode peramalan dapat memberikan cara pengerjaan yang teratur dan terarah, dengan demikian dapat dimungkinkannya penggunaan teknik penganalisaan yang lebih maju. Dengan penggunaan teknik-teknik tersebut maka diharapkan dapat memberikan tingkat kepercayaan dan keyakinan yang lebih besar, karena dapat diuji penyimpangan atau deviasi yang terjadi secara ilmiah (Makridakis, 1999).
2.4.4
Jenis-jenis Prakiraan
Berdasarkan sifatnya, peramalan dibedakan atas dua macam yaitu:
a. Prakiraan Kualitatif
Universitas Sumatera Utara
26
Prakiraan kualitatif adalah prakiraan yang didasarkan atas pendapat suatu pihak, dan datanya tidak bisa direpresentasikan secara tegas menjadi suatu angka atau nilai. Hasil prakiraan yang dibuat sangat bergantung pada orang yang menyusunnya. Hal ini penting karena hasil prakiraan tersebut ditentukan berdasarkan pemikiran yang instuisi, pendapat dan pengetahuan serta pengalaman penyusunnya.
b. Prakiraan Kuantitatif Prakiraan kuantitatif adalah prakiraan yang didasarkan atas data kuantitatif masa lalu (data historis) dan dapat dibuat dalam bentuk angka yang biasa disebut sebagai data time series (Jumingan, 2009).
Hasil prakiraan yang dibuat sangat bergantung pada metode yang dipergunakan
dalam
prakiraan
tersebut.
Baik
tidaknya
metode
yang
dipergunakan ditentukan oleh perbedaan atau penyimpangan antara hasil prakiraan dengan kenyataan yang terjadi. Semakin penyimpangan antara hasil prakiraan dengan kenyataan yang akan terjadi maka semakin baik pula metode yang digunakan. Jangka waktu perkiraan terbagi atas tiga kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Jangka waktu prakiraan dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu (Heizer, 1996): Prakiraan jangka pendek, peramalan untuk jangka waktu kurang dari tiga bulan. 2. Prakiraan jangka menengah, peramalan untuk jangka waktu antara tiga bulan sampai tiga tahun. 3. Prakiraan jangka panjang, peramalan untuk jangka waktu lebih dari tiga tahun.
2.4.5 Pengukuran Prakiraan Teknik Prakiraan tidak selamanya selalu tepat karena teknik prakiraan yang digunakan belum tentu sesuai dengan sifat datan ya, atau disebabkan oleh kondisi di luar bisnis yang mengharuskan bisnis itu menyesuaikan diri. Oleh karena itu, perlu diadakan pengawasan prakiraan sehingga dapat diketahui
Universitas Sumatera Utara
27
sesuai atau tidaknya teknik prakiraan yang digunakan. Sehingga dapat dipilih dan ditentukan teknik prakiraan yang lebih sesuai dengan cara menentukan batas toleransi peramalan atas penyimpangan yang terjadi. Pada
prinsipnya,
pengawasan
prakiraan
dilakukan
dengan
membandingkan hasil prakiraan dengan kenyataan yang terjadi. Penggunaan teknik prakiraan yang menghasilkan penyimpangan terkecil adalah teknik prakiraan yang paling sesuai untuk digunakan. Besarnya error peramalan dihitung dengan mengurangi data riil dengan besarnya ramalan. Error (E) = Xt - Ft Keterangan: Xt = Data riil periode ke-t Ft = Ramalan periode ke-t Dalam menghitung error peramalan digunakan MAPE (Means Absolute Percentage Error) Mean Absolute Percentage Error (MAPE) merupakan nilai tengah kesalahan persentase absolute dari suatu peramalan.
MAPE =
Keterangan: Xt = Nilai data periode ke-t Ft = Ramalan periode ke-t n = Banyaknya data
Jika MAPE < 25% maka hasil simulasi dapat diterima secara memuaskan, sebaliknya jika MAPE > 25% maka hasil simulasi kurang memuaskan (Oktafri, 2001).
Universitas Sumatera Utara