BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Gambaran Umum Pokok pembahasan pada tesis ini hanya akan difokuskan dalam rangka mengetahui bagaimana Janssen Cilag Indonesia dapat mencapai titik optimum di dalam manajemen persediaannya dan tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan oleh pihak Janssen Cilag Indonesia agar titik optimum tersebut dapat terus dicapai secara berkesinambungan. Persediaan adalah berbagai jenis sumber daya yang akan digunakan oleh suatu organisasi dalam rangka menghasilkan produknya (Chase, et. all., 2004, 504). Analisis terhadap persediaan dilakukan untuk menentukan waktu yang tepat untuk melakukan pemesanan sumber daya tersebut dan jumlah sumber daya yang harus dipesan agar perusahaan dapat memenuhi permintaan pasar dan tingkat persediaan tetap pada angka yang terbaik. Titik awal dalam menentukan sistem pengelolaan persediaan yang tepat untuk diterapkan dalam suatu perusahaan adalah dengan mengacu pada permintaan pelanggan karena salah satu alasan perusahaan mengadakan pengelolaan terhadap persediaan tersebut adalah untuk memenuhi permintaan pelanggan. Untuk dapat mengatur tingkat persediaan sehingga menjadi efektif dalam rangka menciptakan proses produksi yang efisien maka diperlukan suatu sistem persediaan.
Sistem persediaan adalah sekumpulan kebijaksanaan dan kontrol yang digunakan oleh perusahaan untuk memonitor tingkat persediaan, menentukan bagian yang harus mendapat perhatian ekstra pada saat persediaan mencapai titik pemesanan kembali, dan jumlah persediaan yang harus dipesan. Sistem persediaan ini mencakup peramalan terhadap penjualan, pembelian, penerimaan, penyimpanan, produksi, dan pengiriman. Macam-macam sistem persediaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Single-period Inventory Model (Chase, et. all., 2004, 547-548) Model ini digunakan apabila pembelian terhadap barang hanya dilakukan satu kali saja di mana jumlah barang yang dibeli tersebut ditujukan untuk memenuhi permintaan pada satu periode waktu yang tetap dan barang tersebut tidak akan dipesan ulang. 2. Multi-period Inventory Systems (Chase, et. all., 2004, 551) Model ini digunakan apabila pembelian terhadap barang dilakukan secara periodik di mana tingkat persediaan harus dijaga demi memenuhi permintaan pasar dan oleh karenanya barang tersebut harus digunakan sesuai dengan permintaan masyarakat. Secara umum, terdapat dua jenis model di dalam multi-period inventory systems ini, yaitu: a. Fixed-order Quantity Models (Chase, et. all., 2004, 552) Pada saat jumlah persediaan yang tersimpan mencapai titik pemesanan kembali, maka pembelian harus segera dilakukan demi menjaga jumlah barang yang ada dalam persediaan tetap dapat memenuhi permintaan pasar.
Dalam model ini, jumlah bahan baku yang dibeli tersebut adalah tetap, dengan
tujuan
untuk
meminimalkan
biaya
penyimpanan,
biaya
pemesanan, dan biaya yang muncul sebagai akibat tidak terpenuhinya permintaan pasar. Model ini dapat memberikan informasi yang akurat kepada manajemen perusahaan akan tetapi penerapannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pemanfaatan model ini adalah: (Chase, et. all., 2004, 552) •
Jumlah permintaan terhadap produk konstan;
•
Perbedaan waktu antara saat pemesanan barang dilakukan dan saat barang pesanan tersebut tiba di lokasi penerimaan konstan;
•
Harga produk konstan;
•
Biaya yang dibutuhkan untuk menyimpan persediaan dihitung berdasarkan rata-rata jumlah persediaan yang tersimpan di gudang;
•
Biaya pemesanan konstan;
•
Semua permintaan terhadap produk dapat dipenuhi.
b. Fixed-time Period Models (Chase, et. all., 2004, 558) Model ini menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap jumlah persediaan cukup dilakukan pada satu saat tertentu saja, misalnya akhir minggu atau akhir bulan. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut maka perusahaan dapat menentukan apakah jumlah persediaan sudah mencapai titik pemesanan kembali atau belum. Penerapan model ini tidak memerlukan
biaya yang besar, tetapi di sisi lain, penggunaan model ini akan mengakibatkan kontrol terhadap persediaan menjadi kurang. Macam-macam biaya yang terkait dengan manajemen persediaan adalah: (Taylor, 2002, 698-699) 1. Biaya penyimpanan (carrying/holding costs) Ini adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan selama perusahaan masih memiliki persediaan yang tersimpan di gudang. Besar kecil biaya ini bergantung pada jumlah dan lama waktu penyimpanan barang tersebut. Jadi, semakin banyak jumlah barang dan lama jangka waktu barang tersebut disimpan maka biaya ini akan semakin besar. 2. Biaya pemesanan (ordering costs) Ini adalah biaya yang muncul apabila perusahaan hendak menambah jumlah persediaan miliknya. Besar kecil biaya ini bergantung pada jumlah barang yang dipesan. Pergerakan biaya pemesanan ini berbanding terbalik dengan pergerakan biaya penyimpanan. 3. Biaya kekurangan barang (shortage/stockout costs) Biaya ini muncul pada saat jumlah persediaan yang dimiliki oleh perusahaan tidak mampu memenuhi permintaan dari masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan bagi pelanggan yang pada akhirnya akan mengakibatkan perusahaan kehilangan sejumlah keuntungan yang seharusnya dapat diperoleh dari penjualan tersebut dan untuk jangka panjang dapat merusak nama baik perusahaan itu sendiri.
Besarnya biaya ini tidak dapat diprediksi seperti halnya biaya penyimpanan dan biaya pemesanan sehingga umumnya ini ditetapkan hanya berdasarkan pada estimasi manajemen perusahaaan saja. Pergerakan biaya ini berbanding terbalik dengan pergerakan biaya penyimpanan.
2.2
Proses Pembelian Secara umum, proses pembelian dan pemanfaatan bahan baku yang diterapkan di sebagian besar perusahaan adalah sebagai berikut: (Hammer, et. all., 1994, 208209) 1. Untuk setiap jenis barang, bagian engineering akan menentukan routing dari barang tersebut, yaitu tahapan kegiatan yang harus dilakukan dalam proses operasi. Selain itu, bagian engineering juga akan menyiapkan bill of materials (BoM), yaitu daftar yang mencantumkan seluruh barang yang dibutuhkan untuk setiap langkah dalam tahapan kegiatan. 2. Anggaran produksi yang akan menampilkan rencana master yang menyajikan kebutuhan atas barang. 3. Daftar permintaan pembelian yang akan memberikan informasi yang berhubungan dengan jenis dan jumlah barang yang dibutuhkan kepada departemen pembelian. 4. Purchase order yaitu dokumen pemesanan atas suatu barang di mana pada dokumen ini tercantum seluruh informasi yang berkaitan dengan pemesanan barang yang dibutuhkan tersebut.
5. Laporan penerimaan yaitu dokumen yang akan mengklarifikasikan jumlah barang yang diterima oleh departemen penerimaan dan berisi laporan mengenai hasil inspeksi atas kualitas dari barang yang dipesan. 6. Daftar permintaan barang (materials requisition) yaitu dokumen yang disiapkan oleh departemen penjadwalan produksi yang mencantumkan spesifikasi pekerjaan, jenis, dan jumlah barang yang dibutuhkan dalam suatu proses produksi. Dokumen ini yang menjadi dasar bagi departemen penyimpanan untuk mengirimkan barang sesuai dengan jenis yang telah dispesifikasi tersebut kepada departemen tertentu pada waktu tertentu. 7. Kartu materials record yaitu dokumen yang berisi tentang jumlah dan harga dari masing-masing barang yang dipesan, di mana satu kartu berlaku hanya untuk satu jenis barang. Berikut ini adalah diagram mengenai tahap-tahap dalam procurement: (Hammer, et. all., 1994, 209)
Purchase Requisition
Accounting Dept.
Treasurer
Vendor Purchasing Dept. Receiving Dept.
Materials Ledger Clerk
Inspection Dept.
Materials Dept. Bagan 1. Flowchart of The Procurement Phase
Pembelian barang umumnya dilakukan oleh departemen pembelian. Tetapi, pada perusahaan-perusahaan tertentu, kepala suatu departemen atau seorang supervisor memiliki kewenangan untuk memesan barang yang dibutuhkan untuk menunjang suatu proses produksi. Prosedur pembelian ini umumnya dilakukan secara tertulis agar dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait dan dalam rangka menyediakan informasi tentang jumlah barang yang telah digunakan. Tugas dari departemen pembelian ini meliputi: (Hammer, et. all., 1994, 210) 1. Menerima permintaan untuk melakukan pembelian atas suatu barang tertentu dari departemen lain; 2. Menginformasikan kepada departemen terkait mengenai harga dan jadwal pengiriman barang yang dipesan; 3. Menyiapkan purchase order; dan 4. Menghubungkan departemen pembelian dengan departemen penerimaan dan departemen accounting untuk menghindari kesalahan yang mungkin terjadi sehubungan dengan proses pembelian suatu barang tertentu. Selain itu, departemen pembelian sering kali juga bertugas untuk memverifikasi dan menyetujui pembayaran atas tagihan yang diterima dari pemasok. Hal ini akan memberikan keuntungan kepada perusahaan karena departemen pembelian memiliki seluruh informasi yang berhubungan dengan pemesanan barang. Akan tetapi, itu juga akan mengurangi kontrol secara internal karena pihak yang menyetujui dilakukannya pembayaran atas tagihan adalah pihak yang sama dengan pihak yang melakukan pemesanan.
Oleh karena itu, pada beberapa perusahaan lain, pemeriksaan dan persetujuan atas tagihan adalah tugas dari departemen accounting, di mana semua informasi yang berhubungan dengan pemesanan barang dicantumkan dalam purchase order sehingga departemen accounting akan melakukan pemeriksaan, sebelum memverifikasi tagihan, berdasarkan purchase order tersebut. Khusus barang-barang yang bersifat standar bagi suatu perusahaan, maka daftar permintaan pembelian untuk barang-barang tersebut umumnya hanya mencantumkan jumlah persediaan dari barang tersebut. Langkah selanjutnya bergantung pada kebijaksanaan dan keputusan dari departemen pembelian. Sedangkan untuk barang yang tidak standar, maka daftar permintaan pembelian harus mencantumkan spesifikasi dari barang tersebut secara lengkap.
2.3
Proses Penerimaan Tugas dari departemen penerimaan di suatu perusahaan adalah: (Hammer, et. all., 1994, 211) 1. Membongkar barang pesanan yang telah tiba di lokasi penerimaan; 2. Membandingkan jumlah barang yang diterima dengan angka yang tertera pada dokumen pengiriman; 3. Menyesuaikan spesifikasi barang yang diterima dengan spesifikasi barang yang tercantum pada purchase order; 4. Menyiapkan dokumen penerimaan;
5. Memberitahu departemen pembelian apabila terdapat perbedaan antara barang yang diterima dengan barang yang dipesan dan/atau apabila ada barang pesanan yang mengalami kerusakan; 6. Mengatur pelaksanaan inspeksi terhadap barang (apabila diperlukan); 7. Mengatur pengiriman barang yang telah diterima ke departemen yang membutuhkan. Laporan penerimaan berisi informasi mengenai nomor purchase order, nama pemasok, informasi mengenai transportasi, jumlah, dan jenis barang yang diterima. Selain itu, terdapat kolom inspeksi yang mencantumkan persetujuan atas pengiriman barang maupun jumlah barang yang ditolak termasuk alasan penolakan tersebut. Apabila proses inspeksi terhadap barang tersebut tidak dilakukan pada saat yang bersamaan dengan saat barang itu diterima oleh departemen penerimaan, maka laporan penerimaan akan didistribusikan dengan jalur sebagai berikut: (Hammer, et. all., 1994, 211) 1. Departemen penerimaan akan menyimpan satu lembar fotokopi laporan penerimaan dan mengirimkan satu lembar fotokopi kepada departemen pembelian sebagai bukti bahwa barang pesanan telah diterima; 2. Satu lembar fotokopi laporan penerimaan yang lainnya akan dikirimkan kepada departemen inspeksi yang akan didistribusikan ke departemen selanjutnya setelah inspeksi terhadap barang pesanan selesai dilakukan; 3. Ketika inspeksi telah selesai dilakukan, maka fotokopi laporan penerimaan tersebut akan dikirimkan kepada departemen accounting. Kemudian,
departemen accounting akan menyesuaikan seluruh informasi yang tercantum dalam purchase order dengan tagihan yang berasal dari pemasok. Apabila seluruh informasi sudah sesuai, maka pembayaran atas tagihan tersebut akan segera dilakukan sesuai dengan syarat-syarat pembayaran yang telah disepakati antara departemen pembelian dan pemasok; 4. Setelah departemen accounting selesai melaksanakan tugasnya, maka fotokopi laporan penerimaan itu akan dikirimkan kepada departemen terkait, misalnya departemen pengontrolan barang dan perencanaan produksi; 5. Terakhir, fotokopi laporan penerimaan yang telah mendapat persetujuan dari berbagai
departemen
tersebut
akan
dikirimkan
kepada
departemen
penyimpanan disertai dengan penyerahan barang pesanan untuk disimpan.
2.4
Penyimpanan Barang Barang pesanan yang telah melewati berbagai prosedur di atas dan satu lembar fotokopi laporan penerimaan akan dikirimkan oleh departemen penerimaan atau departemen inspeksi kepada departemen penyimpanan. Departemen penyimpanan bertanggung jawab untuk menjaga barang, menyimpan barang tersebut pada tempat tertentu, dan memastikan bahwa jumlah barang yang keluar dari tempat penyimpanan adalah sesuai dengan kebutuhan (Hammer, et. all., 1994, 214-215). Dalam sistem produksi modern, penyimpanan dianggap sebagai pemborosan (waste) karena tidak memberikan nilai tambah pada produk. Oleh karena itu, muncul suatu konsep yang dikenal dengan nama sistem Just-in-Time (JIT) yaitu
sistem untuk menghasilkan produk dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, pada tempat dan waktu yang tepat, dengan menggunakan cara yang paling ekonomis (Gaspersz, 1998, 32). Tujuan utama sistem JIT ini adalah untuk mengurangi biaya penyimpanan dan meningkatkan arus perputaran modal. Pada dasarnya, sistem JIT mempunyai enam tujuan, yaitu: (Gaspersz, 1998, 38) 1. Mengintegrasikan dan mengoptimumkan setiap langkah dalam proses manufakturing; 2. Menghasilkan produk berkualitas sesuai keinginan pelanggan; 3. Menurunkan ongkos manufakturing secara terus-menerus; 4. Menghasilkan produk hanya berdasarkan permintaan pelanggan; 5. Mengembangkan fleksibilitas manufakturing; 6. Mempertahankan komitmen tinggi untuk bekerja sama dengan pemasok dan pelanggan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum sistem JIT diterapkan dalam manufakturing adalah: (Gaspersz, 1998, 45) 1. Komitmen dari manajemen puncak; 2. Pembentukan komite pengarah (steering committee) atau koordinator implementasi JIT; 3. Partisipasi total dari semua tingkatan manajemen; 4. Pendefinisian rantai proses bernilai tambah dan proses kerja dengan menggunakan diagram alir proses;
5. Pengembangan sistem belajar terus-menerus melalui pendidikan dan pelatihan; 6. Pengidentifikasian masalah dari setiap proses dan penyelesaiannya; 7. Penerapan sistem penjadwalan linear; 8. Pengembangan sistem jaminan kualitas dan produktivitas; 9. Pengembangan sistem audit.
2.5
Penggunaan Barang Setiap departemen yang membutuhkan barang-barang yang masih terdapat di dalam gudang penyimpanan harus membuat sebuah daftar permintaan barang. Dengan memanfaatkan BoM, maka akan menghemat waktu dan mengurangi kesalahan, di mana BoM ini akan menjadi master copy dari daftar permintaan barang untuk suatu produk. (Hammer, et. all., 1994, 216)
2.6
Waktu Pemesanan Dalam rangka menentukan waktu yang tepat bagi departemen pembelian untuk melakukan pemesanan barang, maka ada tiga faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan, yaitu: (Hammer, et. all., 1994, 221) 1. Waktu yang dibutuhkan oleh pemasok untuk mengantarkan barang pesanan (delivery time); 2. Tingkat penggunaan persediaan (rate of inventory usage); dan 3. Barang pengaman (safety stock), yaitu jumlah barang yang harus tersimpan dalam gudang persediaan untuk mencegah terjadinya kekosongan barang.
Dalam menentukan waktu yang tepat tersebut tidak terdapat rumus tertentu, tetapi ini dapat diketahui apabila prediksi mengenai tingkat penggunaan persediaan dan lead time, yaitu perbedaan waktu antara saat pemesanan barang dilakukan dengan saat barang tersedia di gudang, dapat diramalkan dengan tepat. Dalam melakukan prediksi terhadap kedua hal tersebut, pada umumnya, keadaan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: (Hammer, et. all., 1994, 221) 1. Jika lead time atau tingkat penggunaan persediaan yang terjadi pada kenyataannya di bawah prediksi, maka barang pesanan akan tiba sebelum barang yang tersimpan di dalam gudang habis digunakan; 2. Jika lead time atau tingkat penggunaan persediaan yang terjadi pada kenyataannya di atas prediksi, maka barang pesanan akan tiba setelah barang yang tersimpan di dalam gudang habis digunakan sehingga akan terjadi kekosongan barang persediaan (stockout); 3. Kekosongan barang persediaan dapat diprediksikan apabila waktu pemesanan ditentukan dengan menggunakan rata-rata lead time atau tingkat penggunaan persediaan. Sehubungan dengan itu, hal mendasar yang seringkali menjadi masalah bagi kebanyakan perusahaan adalah menentukan jumlah barang pengaman yang tepat dan sesuai kebutuhan. Jika jumlah barang pengaman lebih besar daripada yang dibutuhkan, maka biaya penyimpanan akan menjadi tinggi. Di sisi lain, apabila jumlah barang pengaman lebih kecil daripada yang dibutuhkan, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah kekosongan barang persediaan.
Nilai barang pengaman yang optimum akan terjadi pada saat jumlah barang yang tersedia di gudang penyimpanan menghasilkan biaya kekosongan barang persediaan dan biaya penyimpanan dari barang pengaman yang paling kecil. Artinya, jumlah barang pengaman yang tersedia akan mencapai nol pada saat barang yang sedang dipesan tiba di lokasi penerimaan.
2.7
Pengelolaan Barang Pengelolaan barang dapat dilakukan dengan baik apabila ada kerja sama antar tim yang terlibat dalam satu organisasi. Tujuan dari pengelolaan barang ini adalah menghasilkan kemampuan bagi perusahaan untuk memprediksi waktu pemesanan barang yang tepat dalam rangka mendapatkan jumlah barang yang diperlukan dengan harga dan kualitas yang sesuai. Dalam melakukan pengelolaan barang yang baik, terdapat dua faktor yang harus diperhatikan, di mana kedua faktor ini sebenarnya saling bertentangan, yaitu: (Hammer, et. all., 1994, 224) 1. Menjaga tingkat persediaan agar tetap berada pada angka yang cukup guna menghasilkan proses operasi yang efisien; dan 2. Menjaga tingkat persediaan agar secara keuangan tetap sesuai dengan keinginan perusahaan. Terdapat dua cara yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk melakukan pengendalian terhadap persediaan, yaitu mengelola jumlah barang yang tersimpan dalam persediaan dan mengelola keuangan. Kecenderungan yang terjadi di sebagian besar perusahaan adalah departemen pembelian dan departemen
produksi fokus pada pengelolaan terhadap jumlah barang yang tersimpan dalam persediaan sedangkan departemen manajemen fokus pada pengelolaan keuangan. Pengendalian persediaan ini akan berjalan dengan sukses jika penambahan atau pengurangan terhadap jumlah barang yang tersimpan dalam persediaan dilakukan dengan mengikuti pola yang terprediksi dan terhubung dengan jadwal penjualan dan produksi. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan agar pengendalian persediaan yang efektif dapat dicapai adalah: (Hammer, et. all., 1994, 224) 1. Jumlah barang yang tersedia harus sesuai dengan jumlah barang yang dibutuhkan demi mencapai proses operasi yang efisien dan tidak menghambat proses produksi; 2. Jumlah barang yang tersedia harus tetap dapat memenuhi permintaan masyarakat pada saat terjadi short supply dan mampu mengantisipasi terjadinya perubahan harga; 3. Penyimpanan barang dilakukan dengan biaya dan waktu yang minimal; 4. Tetap menyimpan barang yang sudah tidak digunakan secara aktif, barang yang persediaannya berlebihan, dan barang yang sudah kuno pada tingkat minimum dengan tetap memberikan laporan apabila terjadi perubahan yang akan mempengaruhi barang-barang tersebut; 5. Menjaga jumlah investasi pada persediaan agar tetap sesuai dengan rencana manajemen perusahaan. Sebagian besar perusahaan menghadapi masalah yang berhubungan dengan kelebihan persediaan barang dan persediaan barang yang sudah kuno. Untuk
menghadapi ini, manajemen harus memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menggunakan kebijaksanaan tentang prosedur pemesanan barang yang pada saat itu diterapkan. Selanjutnya, manajemen harus mengambil tindakan dalam rangka menghapus barang yang berlebihan dan barang yang sudah kuno tersebut dari persediaan.