BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Teori Umum
2.1.1
Teori Komunikasi Massa a. Pengertian Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak. Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat. Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum, jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja. Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak. Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi
12
13 massa dalam proses pengkomunikasiannya menggunakan suatu medium (media massa) – baik media cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi, dan film), sekarang bahkan sudah ada media cyber / online yakni internet. Komunikasi massa relative memakan biaya yang lebih mahal karena kompleksnya peralatan yang dibutuhkan untuk membiayai medianya. Selain itu biasanya media massa dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang delembagakan, dan ditujukan kepada sejumlah besar otang yang tersebar di banyak tempat, anonym, dan heterogen.6 Adapun secara sederhana fungsi komunikasi massa sendiri adalah; 1. To inform (menginformasikan) 2. To entertaint (memberi hiburan) 3. To educate (mendidik) 4. To persuade (membujuk) 5. transmission of the culture (transmisi budaya) Menurut McQuail terdapat beberapa asumsi pokok yang menyangkut akan arti penting media massa7 beberapa asumsi tersebut adalah: 1. Media merupakan asumsi yang berkembang dan kerap kali mengalami perubahan. Media juga telah berkembang menjadi suatu industri sendiri yang memiliki peraturan serta norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.
6
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Rosda, 2008), hlm. 83. 7 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 35.
14 2. Media massa merupakan alat control, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat. 3. Media massa merupakan sarana untuk menampilkan pristiwa-peristiwa dalam masyarakat. 4. Media kerap kali berperan sebagai penunjang pengembang kebudayaan. Dan tidak hanya pengembangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma. 5. Media telah menjadi sumber dominan bagi masyarakat untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial.
b. Ciri-ciri Komunikasi Massa Adapun jika disimpulkan dari penjelasan pada sub-bab sebelumnya, dapat diuraikan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-ciri sebagai berikut: -
Komunikator dalam komunikasi massa melembaga
-
Komunikan dalam media massa bersifat heterogen
-
Pesannya bersifat umum
-
Komunikasinya berlangsung satu arah
-
Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
-
Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper
Dari ciri-ciri diatas dapat kita simpulkan bahwa tidak semua komunikasi satu arah yang dilakukan di khalayak ramai dapat dikategorikan sebagai komunikasi massa.
15 c. Dimensi Komunikasi Massa Dalam analisis media massa dikenal adanya dua jenis dimensi komunikasi), yaitu8: -
Dimensi pertama
Dimensi yang memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan media dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, agama, seni, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan dengan media. Pendekatan ini merupaka dimensi makro dari teori komunikasi massa. -
Dimensi kedua Dimensi ini melihat kepada hubungan antara media dengan audiens, baik secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai hubungan antar media dan audiens, terutama menekankan pada individu-individu dan kelompok sebagai hasil
interaksi dengan media. Pendekatan ini disebut
sebagai dimensi mikro dari teori komunikasi massa.
8
Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 161.
16 d. Pengaruh Media Massa Komunikasi massa harus bisa menjelaskan berbagai fenomena yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia. Karena itu media massa merupakan alat utama dalam komunikasi massa. Media massa berperan penting dalam proses komunikasi massa dan berpengaruh dalam membangun opini rakyat. Hal ini serupa dengan pendapat McDevitt yang menyatakan bahwa; “Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Dan Lindsey yang berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat”9 Contoh sederhana dari pengaruh media massa ini adalah misalnya ketika ada pemberitaan mengenai bencana kelaparan di Afrika, secara emosional tanpa disadari
audiens telah dipengaruhi. Mereka yang menyaksikan pemberitaan
tersebut kerap kali merasa iba dan terenyuh melihat kondisi anak-anak Afrika yang menderita kekurangan gizi, padahal audiens tidak menyaksikan kejadian tersebut secara langsung melainkan melalui media televisi atau mungkin koran. Berdasarkan hal tersebut dapat kita lihat bahwa media seringkali dimanfaatkan sebagai media pencitraan. Lembaga-lembaga atau oknum-oknum tertentu bahkan memanfaatkan kekuatan media yang satu ini untuk menampilkan image atau sosok mereka yang berbeda untuk dikenal oleh masyarakat. Seperti misalnya pada masa kampanye untuk pemilihan umum, banyak kita dapati tokoh-tokoh masyarakta yang ikut serta sebagai calon
9
Sumber: http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/2007/05/02/media-massa; 08.34; 20 Maret 2012.
17 presiden melakukan berbagai wawancara ekslusif di televisi. Padahal mungkin jika tidak sedang dalam rangka pemilu, jarang untuk melihat penampilan tokoh tersebut di televisi secara eksklusif. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa dipengaruh dan mempengaruhi lingkungan sosial masyarakat.
2.1.2. Film a. Pengertian Berdasarkan undang-undang perfilman tahun 2009 disebutkan bahwa film merupakan karya seni budaya yang termasuk pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan ketentuan sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan (dipertontonkan kepada khalayak banyak). Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki 3 makna, yaitu: 1) film sebagai karya seni dan budaya; 2) film sebagai pranata sosial; dan 3) film sebagai media komunikasi massa. Film yang dimaksudkan dalam undang-undang itu adalah film yang berupa cerita dan non-cerita. Film cerita adalah semua jenis film yang mengandung cerita termasuk film eksperimental dan animasi yang pada umumnya bersifat fiksi (rekaan). Sedangkan film non-cerita adalah film yang berisi penyampaian informasi, termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film
18 eksperimental (abstrak), film seni, film pendidikan, dan film documenter (nyata).10 Sebenarnya film mempunyai banyak pengertian yang dapat dijelaskan secara lebih mendalam. Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang menggabungkan antara aspek audio dan visua, meskipun pada awalnya film sendiri tidak mengandung unsure audio (film bisu). Sekilas sama seperti televisi, namun yang menjadi perbedaan antara film dan televisi adalah, televisi cenderung menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui program yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan. Film sendiri lebih terfokus kepada satu inti atau tema sebuah cerita, yang baik secara tersirat maupun tersurat mencerminkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat film itu diciptakan. Bahkan dalam film fiksi ilmiah atau kartun animasi, tetap ada nilai-nilai yang berasal dari realita yang dimasukan. Hanya saja banyak sedikit porsinya, berbeda-beda di setiap film.
b. Asas Film Film kini sudah menjadi sebuah industri besar, yang mengutamakan pada eksistensi para bintangnya serta daya tarik ceritanya sendiri yang mampu menarik perhatian banyak orang. Dan meskipun sama seperti buku dan sinetron yang juga menyajikan cerita, film memiliki nilai esensi serta asasnya sendiri, yakni:
10
Anwar Arifin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hlm. 155.
19
1. Asas Industri Jika dilihat dari sisi industrial film mempunyai asas industri, karena pada dasarnya meskipun film diproduksi untuk menyampaikan suatu pesan atau cerita tertentu, namun ada juga harapan agar dapat mencetak suatu kesuksesan dalam bentuk nilai material. Lagipula terkadang apabila kita jeli dalam menyaksikan sebuah film, secara tersirat akan nampak produk-produk sponsor tertentu yang ditampilkan secara sepintas di film, hal ini dikenal dengan istilah ‘build in’. 2. Asas Sinematografi Asas lain juga yang ada dalam film yang membedakan film dengan cerita lain adalah asas sinematografi. Asas sinematografi sendiri merupakan asas yang identik dengan film, karena asas ini sangat berkaitan dengan pembuatan film. Asas sinematografi sendiri memiliki acuan berdasarkan scenario dan bersangkutan dengan bagaimana tata letak kamera dan pengambilan gambar dalam film, tata artistik, serta peraturan pembuatan film lainnya
c. Unsur Pembentukan Film Dalam film terdapat dua unsur utama, yakni; Unsur Naratif dan Unsur Semantik.11
Unsur naratif adalah materi atau bahan olahan. Dalam film cerita
yang dimaksud dengan unsur naratif itu adalah penceritaannya, mencacakup 11
Bambang Supriadi, Unsur-unsur Pembentuk Film, (Jakarta: IKJ, 2010)
20 unsure intrinsik film seperti: latar, alur, penokohan, naskah, dan jalan cerita. Sementara yang dimaksud dengan unsur sinematik adalah cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap. Unsur Sinematik sendiri terdiri dari beberapa aspek : -
Mise en scene atau secara sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di depan kamera (artistic, tata cahaya, kostum, pergerakan aktor)
-
Sinematografi (Pengambilan gambar)
-
Editing
-
Suara
d. Genre Film Genre film adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk menggolaongkan film pada criteria-kriteria tertentu. Namun sebenarnya todak ada peraturan yang baku atau tertulis sebagai kriteria untuk menggolongkan genre film. Semuanya itu berdasarkan pendapat penonton, dan sedangkan pendapat penonton itu kadang labil dan berubah-ubah. Maka dari itu genre dari suatu film pun sebenarnya dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan penonton. Namun demikian tetap saja suatu film digolongkan kedalam genre tertentu untuk membantu penonton dalam mengetahui gambaran umung tentang film apa yang akan dia saksikan. Tidak ada kategori tertentu yang dapat dipakai untuk membuat definisi dan batasan genre film secara memuaskan. Hal itu pulalah yang membuat Yvone Tasker berpendapat bahwa genre pada dasarnya
21 adalah suatu kategori yang selalu berubah dan batasan-batasan kemurnian yang umum tidak dapat dibuat dalam suatu konteks industry yang selalu berkembang yang pada gilirannya mempengaruhi bentuk-bentuk narasi popular.12 Menurut Haider genre film Indonesia berbeda dengan genre film Hollywood. Genre dalam film Indonesia didefinisikan sebagai jenis film yang dapat dikenali melalui standardisasi latar, periode waktu, alur, dan ada atau tidaknya unsur kekerasan atau seksualitas dan supernatural. Genre film Indonesia biasanya digolongkan menjadi: genre legenda, genre kompeni, genre jaman jepang, genre perjuangan, genre sentimental dan genre horror.13 Sedangkan film Hollywood cenderung memiliki genre thriller, drama, action, sci-fi, horror, dan komedi. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan genre suatu film, yakni: 1. Formula Setiap genre sudah memiliki formula atau pakem sendiri yang satu sama lain tidak memiliki kesamaan, dan kalaupun ada paling hanya sedikit saja. 2. Kritikus film Sebuah film yang dianggap bagus oleh kritikus film akan dianggap memiliki banyak elemen yang memungkinkan dikelompokan ke dalam genre kombinasi yang kompleks. Sebaliknya jika film itu kurang bagus, film tersebut hanya akan memiliki satu genre. 3. Unsur Cerita 12
Ida Rochani Adi, Mitos di Balik Film Laga Amerika, (Yogyakarta: UGM Press, 2008), hlm. 63. 13 Ibid. hlm. 61
22 Menentukan genre berdasarkan unsur cerita merupakan proses penentuan genre yang sederhana. Biasanya unsure cerita yang dipakai adalah tokoh. Misalnya apabila ada tokoh dari cerita yang berupa alien atau makhluk asing, genre film tersebut diasumsikan sebagai film sci-fi. Meskipun demikian kadang hal ini kurang akurat karena sebenarnya seluruh elemen harus diperhatikan. 4. Sekuel dan Pengulangan Penciptaan genre sebuah film juga berhubunga erat dengan pengulangan. Ketika sebuah film pernah mengalami sukses besar, ada kecenderungan untuk membuat film yang serupa. Jika pengulangan itu sangat kuat sehingga formulanya mudah dikenali, maka pengulangan tersebut telah menciptakan sub-genre dan bahkan genre film tersendiri.
e. Kajian Film Laga Action atau laga adalah salah satu genre umum yang ada dalam pembagian kategori genre film. Film laga identik denggan adegan yang sarat dengan perkelahian dan konflik yang menampilkan aksi yang menarik. Yang dimaksudkan dengan aksi disini adalah adegan perkelahian ful-body contact ataupun yang menggunakan persenjataan cangggih. Suatu film digolongkan sebagai film laga apabila mayoritas adegan yang ditampilkan di film menampilkan adegan aksi laga antara pemeran utama protagonist dengan antagonis.
23 Intinya disini adalah alur utama film laga / action adalah pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Formula ini sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru karena pada abad pertengahan bentuk-bentuk cerita seperti ini telah menjadi tradisi dalam karya sastra pada masa itu. Ketika menjalankan misinya, biasanya sosok pahlawan (hero) dalam film laga harus memiliki motif tertentu, misalnya menjaga perdamaian dunia, menyelesaikan permasalah tertentu, atau mungkin motif pribadi seperti balas dendam atau menyelamatkan seseorang yang berarti. Settingan tempat untuk film laga juga biasanya adalah tempattempat yang dramatis, dan bukan sekedar ruangan biasanya, bisa berupa alam terbuka, gedung-gedung pencakar langit, atau mungkin lingkungan kumuh. Pokoknya merupakan tempat-tempat dramatis yang tidak biasa.
f. Film Action (Laga) Amerika Karena dalam skripsi ini akan membahas mengenai film Amerika maka akan dijelaskan mengenai film Amerika. Film action di Amerika mulai berkembang sejak tahum 1980-an dan 1990-an. Dan meskipun banyak ditonton oleh perempuan, sebenarnya target audiens dari film laga ana adalah penonton laki-laki yang berusia antara 13 – 30 tahun. Hal ini bisa dilihat dari kebanyakan tokoh utama dalam film laga adalah pria. Namun di masa sekarang juga bisa kita jumpai tokoh utama wanita, contohnya pada film “Tomb Rider”, “Wanted”, dan “Cat Women”. Film laga pada umumnya mudah ditebak, dimana pada akhir cerita kita semua tahu bahwa kebaikan pasti menang melawan kejahatan. Dan pihak yang
24 jahat biasanya akan menerima ganjarannya di akhir film. Tentunya hal ini membuat film laga menjadi tontonan yang membosankan bagi penonton jika formula yang sama berulang-ulang kali ditawaekan. Oleh karena itu film laga biasanya dikombinasikan dengan genre yang lain seperti drama, thriller, sci-fi, dan sebagainya, agar film laga dapat dikemas menjadi suatu tontonan yang menarik. Di Amerika sendiri terdapat banyak kombinasi film laga dengan genre film lain.
2.1.3. Teori Konstruksi Sosial Media Massa Gagasan teori ini adalah untuk mengoreksi teori konstruksi sosial atas realitas yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann seperti yang dijabarkan dalam buku Burhan Bungin yang berjudul Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarrakat . Substansi dari teori konstruksi sosial Berger dan Luckman adalah pada proses stimultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam komunitas primer dan semi sekunder. Dasar dari teori ini adalah dari pengamatan yang dilakukan pada tahun 1960-an pada masa transisi-era-modern di Amerika, dimana pada saat itu media massa belum begitu terkenal dan menjadi suatu industri yang besar dan berpengaruh. Kemudian seiring dengan perkembangan jaman dan media massa menjadi sangat substantive dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi, teori konstriksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman ini kemudian direvisi dan dikenal sebagai ‘teori konstruksi sosial media massa’.
25 Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi.14 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3. Tahap
pembentukan
berlangsung
konstruksi
realitas.
Pembentukan
konstruksi
melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua
kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi. Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas,
14
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, ( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189
26 memantapkan realitas itu berdasarkan suyektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.15
2.1.3.1. Representasi Melalui Media a. Pengertian Menurut Graeme Burton (2012) kata representasi merujuk kepada penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi dibaliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia. Adakalanya representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa disadari bentukbentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu ‘kebenaran’ dalam realitas. Jika digambarkan hubungannya akan menjadi seperti ini:
REPRESENTASI Penampilan
Perilaku MAKNA
Mitos-mitos
Kekuasaan
Gambar 2.1 Representasi dikaitkan dengan makna
15
Ibid, hlm. 189.
27 Berdasarkan gambar diatas, dapat kita lihat bahawa representasi diwujudkan dalam bentuk penampilan dan perilaku yang mengandung suatu makna tertentu. Adapun makna dari representasi tersebut berkaitan dengan mitos-mitos ataupun motif kekuasaan.
b. Sudut Pandang Representasi dalam media visual dikonstruksikan dari sudut pandang tertentu. Menurut Burton (2012) sudut pandang ini memiliki 2 makna; 1. Sudut pandang yang merujuk pada pandangan harafiah, yaitu sudut pandang yang digambarkan dalam media. Misalnya dalam suatu frame gambar, baik itu foto maupun film, sudut pandang yang tinggi pada suatu jarak objek memiliki efek berupa menjauhkan kita dari objek tersebut, sehingga menjadikan kita sebagai pengamt objek dan bukannya subjek partisipan. 2. Pemahaman lainnya tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media. Stuart Hall mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi yang dapat diringkas sebagai berikut16: 1. Reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah di mana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita. 2. Intensional; yang menaruh perhatian terhadap pandangan creator / produser representasi tersebut.
16
Greame Burton, Media dan Budaya Populer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 141
28 3. Konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual.
Adapun
dalam
menginterpretasikan
suatu
representasi
tertentu
memungkin adanya interpretasi yang beragam dan tidak menutup kemungkinan bahwa representasi tersebut akan saling berseberangan.17
c. Pandangan Representasi Terdapat dua pandangan yang cukup menonjol tentang
bagaimana
media bekerja dengan representasi yakni; determinisme dan fungsionalisme. Untuk penjelasannya dapat kita lihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Pandangan tentang bagaimana media bekerja dengan representasi Pandangan
REPRESENTASI Pengkonstruksian
DETERMINISME
pandangan tentang apa yang terjadi di luar sana
Merefleksikan
Realitas Sosial
pandangan
FUNGSIONALISME apa yang terjadi di luar sana
17
Akun, Surga Dalam Nimesis: Representasi Surga Dalam Cerpen ‘Sang Pendeta dan Kekasihnya’ Karya yukio Mishima, Jurnal Humaniora, vol. 1, no.2, Oktober 2010, hlm. 400.
29
Berdasarkan penjelasan dari tabel dapat kita lihat bahwa representasi dalam media sendiri terdiri atas dua konsep, yang pertama jika dilihat berdasarkan pandangan determinisme, representasi berupa gambaran akan realita yang dikonstrukikan atau diatur. Sedangkan yang kedua, yaitu pandangan fungsionalisme, representasi yang merefleksikan apa yang terjadi dalam realita sosial sesungguhnya
2.2.
Teori Khusus
2.2.1. Pemahaman Amerika Sebagai Negara Adikuasa a. Pengertian Adikuasa atau ‘Superpower’. Negara adikuasa atau negara didaya yang dalam bahasa inggris disebut dengan istilah ‘superpower’. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata kuasa memiliki pengertian; (1) Kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); (2) Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb). Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa kuasa itu sendiri merupakan suatu posisi ‘istimewa’ karena memiliki kewenangan untuk mengatur bahkan memerintah sesuatu, namun demikian kewenangan tersebut tidak serta-merta muncul begitu saja, tapi juga disertai dengan kesanggupan dan kemampuan untuk mengemban kewenangan itu sendiri.
30 Seperti apa yang dikatakan oleh John Rothgeb18: ‘‘power is found only when members of the international system interact with one another”, maksudnya disini adalah kekuasaan ditemukan hanya ketika anggota dari sistem internasional berinteraksi satu sama lain. Jadi kekuasaan itu sendiri didapatkan ketika terjadi adanya interaksi yang terjadi secara internasional. Dengan adanya interaksi tersebut, tentunya pihak yang memiliki kapabilitas lebih tinggi akan dapat menyatakan dirinya secara terbuka dan mendapatkan pandangan atau ‘pengakuan’ dari pihak lain. Konsep adikuasa pertama kali menyebar yakni pada masa perang dingin. Konsep ini dikemukakan oleh sarjanawan Amerika William T. R. Fox dalam bukunya yang terbit pada tahun 1944. Adapun Fox tidak menemukan konsep ini seorang diri, terlebih dulu pada tahun 1936 kata adikuasa ini telah digunakan oleh seorang Amerika juga yang bernama John Dos Passos. Dos Passos mengartributkan konteks adikuasa kepada seorang pengusaha Amerika yang sangat berkuasa di sekitar akhir abad ke-19 memasuki awal abad ke-20. Dos Passos meggunakan kata adikuasa untuk mendeskripsikin kerajaan bisnis pengusaha tersebut yang berbasis pada monopoli usaha gas dan listrik. Meskipun tidak menemukan konteks adikuasa itu sendiri, bagaimanapun William Fox dapat diklaim sebagai orang yang pertama kali menerapkan konsep adikuasa tersebut secara spesifik untuk relasi internasional.
18
Ken Aldred & Martin A. Smith, Superpowers in the Post-Cold War Era, (Great Britain: 1999, MacMillan Press Ltd.), hlm. 1.
31 Menurut Fox, adikuasa internasional lebih dari sekedar kepemilikan suatu negara terhadap artibut kekuasaan: militer, ekonomi, politik, dan ideologi. Status adikuasa, dengan kata lain, diperoleh bukan hanya berdasarkan apa yang dimiliki oleh suatu negara, tetapi apa yang telah dilakukan atau telah dipersiapkan untuk dilakukan. Fox kemudian menambahkan; kekuatan besar ditambah dengan mobilitas kekuatan yang besar, itulah yang menggambarkan ‘superpower’.
b. Unsur Negara Adikuasa Seperti apa yang telah apa dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kekuatan suatu negara dapat dilihat dari tiga unsure, yakni: ekonomi, militer, dan politik. Dari ketiga unsur tersebut Hans J. Morgenthau dalam bukunya
Politics Amoung Nations menyebutkan lagi secara sperifik bahwa
kekuatan negara memiliki sembilan unsur, yaitu: (1) Geografi; (2) Sumber pendapatan alami untuk makanan dan bahan mentah; (3) Kemampuan industri; (4) Military preparedness seperti teknologi, kepemimpinan, kualitas, dan kuantitas angkatan perang, (5) populasi yang terdiri dari persebaran dan kualitasnya, (6) karakter nasional; (7) moral nasional; (8) kualitas diplomasi; dan (9) kualitas pemerintahan.19
19
Sumber: http://newzeanando.wordpree.com/2008/06/12/potensi-selandia-barusebagai-negara-adikuasa; 3.47; 28 Mei 2012.
32 c. Amerika Sebagai Adikuasa Cikal bakal Amerika muncul sebagai negara adikuasa berawal ketika masa perang dunia II. Ketika itu terdapat dua negara adikuasa yang muncul sebagai negara pemenang perang yang berhasil mengalahkan blok fasis (Jepang, Jerman, dan Italia), yakni Amerika dan Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki pandangan yang berbeda secara ideologis, Amerika Serikat yang berideologi kapitalis-liberal dengan Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis. Kedua negara itupun kemudian bersitegang dan berkompetisi secara politik dan militer Akibatnya dunia terpecah menjadi dau antara blok barat (Amerika Serikat) dan blok timur (Uni Soviet). Inilah yang menyebabkan adanya perang dingin. Baru kemudian pada tahun 1991 Uni Soviet terpecah dan banyak negara-negara yang tergabung dengannya memerdekan diri, membuat Amerika Serikat yang masih bertahan keluar sebagai pemenang perang dan tetap memikul predikat sebagai negara adikuasa. Sejak saat itu Amerika menjadi satu-satunya negara adikuasa yang melibatkan diri di begitu banyak peristiwa internasional. Baik untuk misi perdamaian, maupun misi-misi kemanusiaan, dan hak asasi, serta kegiatan internasional lainnya Pada masa sekarang ini meskipun telah terjadi begitu banyak perkembangan dunia baik dari segi ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan sebagainya, banyak negara-negara yang tadinya berkembang kini muncul sebagai competitor Amerika. Salah satu negara yang nampak mencolok pertumbuhannya adalah Cina. Cina bahkan disebut-sebut sebagai calaon negara
33 adikuasa berikutnya. Namun setelah sekian lama memegang predikat negara adikuasa, Amerika terlihat masih tetap bisa bertahan. Meskipun tidak diketahui sampai berapa lama lagi.
2.2.2. Semiotika Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, ‘semeion’ yang berarti tanda, atau ‘seme’ yang berarti penafsir tanda.20 Secara sederhana semiotik dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkajii tanda. Sampai sekarang kajian semiotik dibedakan menjadi dua, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan kepada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam berkomunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan. Sedangkan yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu21. Berikut adalah rumusan istilah semiotik:
S ( s, i, e, r, c ) S = Semiotic Relation (hubungan semiotik) s = Sign (tanda) i = Interpreter (penafsir) e = Effect (pengaruh) 20 21
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 16. Ibid, hlm. 15.
34 r = Reference (rujukan) c = Context (konteks)
Berdasarkan rumusan diatas dapat diartikan bahwa relasi atau hubungan semiotika dari suatu subjek tertentu harus melihat atau mempertimbangkan tanda, tafsiran atau makna, efek atau kira-kira pengaruh apa yang ditimbulkan, rujukan atau referensi atau landasan penafsiran suatu makna dan pengaruhnya, yang berdasarkan konteks tertentu (diciptakan atau dikonstruksikan). Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic). 1. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda menurut
yang
menerapkan
tanda
tersebut
dan
bagi
yang
menginterpretasikannya, serta makna atau efek tanda tersebut bagi yang menginterpretasikan makna tanda terebut. 2. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotic. Jadi semiotik ini mengabaikan perngaruh atau tidak memperhatikan dampak yang dialami oleh subyek yang menginterpretasikan tanda tersebut.
35 3. Semiotik Semantik (semiotic semantic) Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan oleh tanda itu sendiri. Sehingga semiotik ini bersefat objektif jika dibandingkan dengan dua kategori semiotik lainnya yang telah dijabarkan sebelumnya.
2.2.2.1. Teori Semiotika Roland Barthes Ada sederet nama tokoh dan pakar yang telah menyumbangkan pikiran mereka dalam meneliti dan menghasilkan perkembangan teori semiotika, sebut saja Charles Sanders Pierce, Louse Hjemslev, Saussure, dan masih banyak lagi nama-nama lainnya. Namun pada skripsi ini, penulis hanya akan menjelaskan dan menjabarkan mengenai teori semiotik menurut Roland Barthes. Sebab untuk penyusunan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori semiotik Roland Barthes sebagai landasan teori untuk mengkaji dan menganalisa permasalahan dalam skripsi ini, yang berkaitan tentang representasi Amerika sebagai negara adikuasa dalam film Transformers: Revenge of The Fallen. Adapun teori Roland Barthes yang dipakai karena dirasa teori ini sesuai dan mendukung penulis untuk melakukan kajian ini. Meskipun pada awalnya semiotika diterapkan kepada ilmu linguistic modern, yakni ilmu yang mempelajari tentang bahasa baik tulis maupun lisan, tapi menurut Roland Barthes, semiotika juga dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mempelajari ‘other than language’. Dalam konteks inilah Barthes akhirnya menyeyogiakan, bahwa dalam mempelajari semiotika
36 hendaknya jangan berhenti hanya pada bahasa semata, melainkan semiotika harus menjadi ‘general science of sign’ (Sunardi: 2007). Adapun berdasarkan pernyataan Barthes tersebut maka dapat dikatakan bahwa unit analisa semiotik sendiri mencakup: literature, film, iklan, majalah, koran, tv/radio, yang sarat dengan tanda dan pemaknaan.
a. Denotasi dan Konotasi Dalam teorinya Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan tentang hubungan penanda dan petanda terhadap realitas, dan menghasilkan makna eksplisit atau makna sebenarnya yang langsung dan pasti. Sedangkan konotasi menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya mengandung makna yang tersirat atau tidak langsung. Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherboug dan dibesarkan di Bayonne, barat daya Perancis, adalah seorang intelektual dan dikenal sebagai kritikus sasstra Perancis, sehingga dapat dikatakan pengembangan teori semiotikanya banyak diaplikasikan untuk melakukan kajian sastra. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkanasumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam wantu tertentu. Roland Barthes sendiri adalah seorang pemikir struturalis yang getol mempraktekan model liguistik dan semiologi Saussarean, maka dari itu teori semiotik Barthes ini merupakan pengembangan dari teori semiotika Ferdinand
37 De Saussure. Teori yang dikemukan Saussure cenderung mengemukakan tentang cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat dalam menentukan suatu makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda berdesarkan interpretasi orang yang berada dalam situasi yang berbeda. Pemikiran inilah yang kemudian dikemukakan oleh Roland Barthes dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami personal dan cultural orang yang menginterpretasikannya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order of Signification”, yang mencakup denotasi (makna sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang timbul dari pengalama cultural dan personal). Inilah yang menjadi perbedaan Saussure dan Barthes. Sepanjang hidupnya Barthes telah menulis banyak buku, berikut adalah beberapa buku karangannya yang membahas mengenai pandangannya dalam bidang semiotika; pada tahun 1964 ia menerbitkan buku berjudul Elements of Semiology (Unsur Semiologi), dalam bukunya ini ia menjabarkan tentang prinsip-prinsip linguistic dan relevansinya dalam bidang-bidang lain, kemudian pada tahung 1967 terbit bukunya yang berjudul The Fashion System (Sistem Mode), buku ini merupakan suatu uji coba untuk merapkan analisa structural atas mode pakaian wanita. Barthes menunjukan bahwa dibalik mode pakaian wanita terdapat suatu sistem. Ia menyelidiki artikel-artikel tentang mode dalam majalah dari tahun 1958 – 1959. Dari situ ia menafsirkan bahwa mode merupakan suatu ‘bahasa’ dan ada sesuatu yang ingin ‘dibicarakan’ oleh suatu
38 mode tertentu terhadap apa yang tengah terjadi saat itu. Dari sini kemudian orang-orang mulai mengembangkan teori Roland Barthes untuk dipakai dalam kajian semiotika dalam berbagai bidang, salah satunya perfilman. Terdapat lima kode yang ditinjau oleh Barthes dalam kajian semiotiknya, yakni22: -
Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan audiens untuk mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi tradisional.
-
Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, yang timbul atau dibangun oleh audiens dalam proses menyusun teks atau informasi yang dijabarkan.
-
Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas karena menampilkan symbol-simbol tertentu untuk merepresentasikan suatu hal yang khas.
-
Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan, menurut Barthes semua lakuan dapat dikodifikasi dan memiliki makna tertentu.
-
Kode gnomik atau kode cultural, kode ini merupakan acuan teks ke benda0benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi terhadap suatu budaya tertentu Tujuan dari analisis Barthes ini menurut Lechte23, bukan hanya untuk
membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun
22 23
Ibid, hlm. 65. Ibid, hlm. 66.
39 lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan, dan bukan tiruan dari yang nyata. Salah satu hal penting yang dikaji oleh Barthes dalam studinya mengenai sistem tanda ini adalah peran pembaca atau audiens. Dikatakan bahwa konotasi membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Ia kemudian menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Berikut ini gambar peta yang dibuat oleh Barhes untuk menjelaskan bagaimana
suatu
tanda
bekerja,
berdasarkan
pemahaman
teori
dikemukakannya:
2. Signified (petanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotatif Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Gambar 2.2. Peta Tanda Roland Barthes
yang
40 Dari peta diatas dapat dilihat tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Namun demikian pada saat yang bersamaan tanda denotative juga adalah penanda konotatif (4). Hal inilah yang menjadi sumbangan Barthes dalam kajian semiotik, dimana makna konotasi tidak sekedar merupakan makna tambahan (lain) tapi juga mengandung makna denotasi yang melandasi keberadaannya. Jadi pada dasarnya pengertian makna denotasi dan konotasi secara umum agak berbeda dengan pemahaman Barthes. Jika menurut pandangan umum denotasi merupakan makna harafiah atau makna sebenarnya sedang konotasi merupakan makna tersirat, menurut anggapan Barthes denotasi sendiri merupakan proses signifikasi tahap pertama, dan konotasi adalah signifikasi tahap kedua. Sehingga oleh Barthes denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna, mungkin ini dikarenakan orang cenderung berhenti pada tahap signifikasi pertama tanpa mau repot-repot memikirkan makna konotasi tertentu dibalik suatu tanda.
b. Mitos Dalam kajain semiotik ini, Barthes juga melihat aspek lain yang ada dalam proses signifikasi tanda, yakni ‘mitos’ yang menandai suatu masyarakat. Menurut Barthes, mitos terjadi pada tingkat kedua sistem penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki peranda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi intinya adalah tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
41 berkembang jadi denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.24 Contohnya; pohon beringin yang lebat kerap menimbulkan konotasi ‘keramat’ karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi keramat ini lalu berkembang dan menjadi asumsi umum dan melekat pada symbol pohon beringin. Sehingga image pohon beringin itu keramat bukan lagi suatu konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tahap dua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya menjadi suatu mitos. , sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
2.2.2.2. Semiotika Film Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis semiotika. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh van Zoest (Sobur, 2009:128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda itu termasuk berbagai sitem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Ini tentunya berbeda dengan gambar fotografi yang statis, rangkaian gambar dalam film cenderung mengasilkan imajinasi yang sarat dengan penandaan. Van Zoest menjelaskan: Di sini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya) dan music film yang mengiringiny. Suara tipe pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan 24
Sumber: http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html; 01.28; 5 Mei 2012
42 gambar-gambarnya. Suara, sama seperti gambar, merupakan unsure dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan, dan dianalisis, dengan cara yang juga sebanding. Suara, sebagai tanda, terjalin sangat erat hubungannya dengan tanda gambar. Suara bersama tanda gambar membuat tanda-tanda yang kompleks. Tanda-tanda kompleks ini memang ikonis, tapi kekuatan keberadaannya pada akhirnya diperoleh dari indeksikalitas. Karena realitas yang ditampilkan seluruhnya atau sebagian, tidak hanya mirip, tapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita.25 Oleh karena itu menurut Alex Sobur dalam bukunya yang berjudul Semiotika Komunikasi, gambar yang dinamis dalam film merupakan ikoniis bagi realitas yang dinotasikannya. Sobur juga mengatakan bahwa film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda. Film juga pada dasarnya melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang sedang disampaikan. Metafora visual seringkali menyinggung objek-objek dan simbol-dimbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial budaya. Jadi dalam mengkaji tanda-tanda dalam film melalui kajian semiotika, kita dapat menelaah lebih jau makna suatu film lebih daripada jalan ceritanya. Dalam film kita dapat melihat aspek-aspek idelogi, kultur, nilai-nilai, ataupun fenomena yang terjadi dalam realita. Seringkali tanda-tanda dalam film ini menjadi agak bias dikarenakan pengemasan film yang sangat mendukung, sehingga fokus penonton sering kali tertuju kepada jalan cerita film tersebut daripada makna-makan yang tergambar dibalik simbol-simbol yang ditampilkan dalam sepanjang pemutaran film. Simbol-simbol inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun realitas dalam film yang meskipun bertolak dari relita dunia nyata, namun 25
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2009), hlm. 129
43 dipilah-pilah sedemikianrupa sehingga menjadi realitas film tersendiri, disesuaikan dengan tujuan pembuatan film tersebut. Perhatikan tabel berikut: Tabel 2.2 Tanda Dalam Film
Entitas
Objek
Konkarya
Karya
Visual / Tulisan
Visual / Tulisan
Tulisan
Elemen tanda yang
Tanda linguistik
memeberikan (atau
yang berfungsi
diberikan) konkarya
memperjelas dan
dan makna pada
memberikan
Elemen tanda yang Fungsi
mempresentasikan objek atau pesan yang difilmkan
objek yang difilmkan makna (anchoring)
Elemen
Signifier / Signified
Signifier / Signified
Signified
Tanda
Tanda semiotik
Tanda semiotik
Tanda li nguistik
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa film seutuhnya terdiri dari tandatanda yang didasarkan pada ketiga elemen diatas: Objek (objek yang difilmkan), Konkarya (konteks atau dasar ruang film), dan Karya (berupa tulisan untuk memperkuat makna). Ketiga hal itu saling berkaitan dalam membangun sebuah film menjadi suatu jalinan yang utuh, meskipun yang terakhir tidak selalu ada. Jadi bisa dikatakan yang membangun sistem tanda secara dominan dalam film adalah objek dan konkarya. Berdasarkan unsure pembentukan film, khususnya unsure naratif yang telah dijelaskan pada sub-bab teori film, penulis menyimpulkan bahwa untuk menganalisa semiotika film dapat dilihat dari unsur:
44 a. Setting •
Ruang atau tempat gambar diambil,
•
Kegiatan yang dilakukan oleh pemain,
•
Simbol-simbol yang ditonjolkan,
•
Fungsi serta maknanya
b. Casting •
Karakter pemain,
c. Captions •
Peggunaan bahasa dalam dialog maupun
•
Voice over dan
•
Visualisasi yang ditonjolkan dalam film tersebut
Dalam penerapannya dewasa ini, semiotik Roland Barthes memang kerap kali digunakan oleh peneliti dalam menganalisa iklan dan film, salah satunya adalah penelitian tentang film ‘Biola Tak Berdawai” produksi Kalyana Shira Film (bekerjasama dengan Cinekom) tahun 2002, yang dilakukan oleh Aditia Sonyaruri Hapsari (2005). Pada penelitian ini Hapsari menggunakan analisis semiotik Roland Barthes untuk meneliti lambang-lambang yang terdapat dalam film tersebut. Hapsari memperoleh kesan ini sarat dengan pesan-pesan moral, terutama cinta-kasih dengan konteks yang bervariasi. Selain nilai cinta-kasih, film berdurasi 90 menit ini juga membawa pesan moral lain, yakni ketegaran dan kejujuran. Hal demikian ditunjukan lewat tokoh Renjani yang walaupun sebenarnya ia seorang perempuan korban pemerkosaan
45 dan melakukan aborsi, tetap tegar menjalani hidup dengan tindakan terpuji, yakni mendirikan panti asuhan yang menampung anak-anak cacat yang dibuang oleh orang tuanya
2.3.
Kerangka Berpikir Film Transformers Revenge of The Fallen
Representasi Adikuasa Film Frame Dialog
Teori Semiotik
Analisa Semiotika Roland Barthes
Denotasi
Konotasi
Mitos
Representasi Amerika sebagai Negara Adikuasa Dalam Film Transformers Revenge of The Fallen Gambar 2.3. Kerangka Berpikir