24
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Pengukuran Waktu Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan mengunakan alat-alat yang telah disiapkan. Teknik pengumpulan waktu dibagi menjadi 2 bagian yaitu secara langsung dan tidak langsung. Teknik pengumpulan waktu secara langsung adalah pengukuran dimana dilakukan secara langsung yaitu ditempat dimana pekerjaan yang bersangkutan dijalankan. Cara yang termasuk ke dalam teknik pengumpulan data secara langsung yaitu dengan metode cara jam henti. Sedangkan
teknik
pengumpulan
tidak
langsung
melakukan
perhitungan waktu tanpa harus berada ditempat pekerjaan yaitu dengan membaca tabel-tabel yang tersedia dengan mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau gerakan. Untuk pengukuran waktu, penulis menggunakan teknik pengumpulan waktu secara langsung. Pengukuran waktu digunakan untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian pekerjaan yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seseorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik.
25
2.1.1
Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan Maksud dari dilakukannya pengukuran-pengukuran di atas adalah ingin mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena waktu penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnya maka harus diadakan pengukuran-pengukuran. Yang ideal tentunya dilakukan pengukuran-pengukuran yang sangat banyak (sampai tak terhingga kali, misalnya), karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tetapi hal ini jelas tidak mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga dan tentunya biaya. Namun sebaliknya jika dilakukan beberapa kali pengukuran saja, dapat diduga hasilnya sangat kasar. Sehingga yang diperlukan adalah jumlah pengukuran yang tidak membebankan waktu, tenaga dan biaya besar tetapi hasilnya dapat dipercaya. Dengan tidak dilakukannya pengukuran yang banyak sekali ini, pengukuran akan kehilangan sebagian kepastian akan ketetapan atau rata-rata waktu penyelesaian yang sebenarnya. Hal ini harus disadari oleh pengukuran; tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak. Tingkat ketelitian menunjukan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya, yang seharusnya dicari).
26
Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil penelitian yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tersebut dan dinyatakan pula dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 10% dan tingkat keyakinan 90% memberikan arti bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh 10% dari rata-rata sebenarnya dan kemungkinan berhasilnya sebesar 90%.
2.1.2
Konsep SLOVIN Rumus sederhana untuk penentuan ukuran sampel yang dikembangkan oleh Slovin dapat ditemui pada tulisan Husein Umar (2004) dalam bukunya yang berjudul “Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis” terbitan Raja Grafindo Persada.
Rumus ini sangat mudah dalam penggunaannya
karena pengguna tidak perlu lagi mengalami kesulitan dalam menghitung, sebab berdasarkan rumus itu, ukuran sampel (n’) bisa langsung diketahui hanya dengan mengetahui ukuran populasinya (N). Dalam banyak buku yang mencantumkan rumus untuk menentukan ukuran sampel yang dibuat Slovin, khususnya dalam buku-buku metodologi penelitian, sampai saat ini penulis belum bisa memperoleh keterangan yang lengkap mengenai konsep dasar yang dipakai membangun rumus tersebut. Rumus Slovin: ′
1
.
27
dimana: n’ = ukuran sampel N = ukuran populasi α = galat pendugaan
2.1.3
Keseragaman Data Pengukuran keseragaman data perlu dilakukan terlebih dahalu. Ketidakseragaman dapat datang tanpa disadari maka diperlukan suatu alat yang dapat ”mendeteksi”. Batas-batas kontrol yang dibentuk dari data merupakan batas seragam atau tidaknya suatu data. Data dikatakan seragam apabila berasal dari sistem sebab yang sama, bila berada diantara kedua batas kontrol. Sedangkan dikatakan tidak seragam apabila suatu data berasal dari sistem sebab yang berbeda, yaitu jika berada diluar batas kontrol. Dalam melakukan pengujian keseragaman data, terdapat 2 batas kontrol, yaitu BKA (batas kontrol atas) dan BKB (batas kontrol bawah) dengan rumus sebagai berikut: a. Menghitung rata-rata untuk tiap subgroup ( ) dengan rumus ∑
28
b. Menghitung rata-rata dari rata-rata tiap subgroup ( ), dengan rumus ∑
1
c. Menghitung standar deviasi sampel (s), dengan rumus ∑ 1 d. Menghitung standar error of mean ( ) √
e. Menghitung batas kontrol atas (BKA) 1.96 f. Menghitung batas kontrol bawah (BKB) 1.96
Dimana, α = 0.05 = 5% Maka nilai
2
1.96
29
2.1.4
Waktu Normal Setelah
pengukuran
berlangsung,
pengukur
harus
mengamati
kewajaran kerja yang ditunjukkan oleh operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja tanpa kesungguhan ataupun kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat waktu penyelesaiaan menjadi terlalu singkat ataupun terlalu lama. Hal ini jelas tidak diinginkan karena waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang baku yang diselesaikan secara wajar. Jika pengukur mendapatkan hasil yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya lagi dengan melakukan penyesuaian. Untuk memudahkan pemilihan konsep wajar, seorang pengukur dapat mempelajari bagaimana bekerjanya seorang operator yang dianggap normal, yaitu jika seorang operator yang berpengalaman bekerja tanpa usaha-usaha yang berlebihan sepanjang hari kerja, menguasai cara kerja yang ditetapkan, dan menunjukkan kesungguhan dalam menjalankan pekerjaannya. Disamping konsep di atas, terdapat juga konsep-konsep yang lebih terperinci yang dikemukakan oleh Lawry Maynard dan Stegemarten melalui cara penyesuaian Westinghouse. Mereka berpendapat bahwa ada empat faktor yang menyebabkan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja, dan konsistensi.
30
Keterampilan atau skill didefinisikan sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan. Secara psikologis, keterampilan merupakan aptitude untuk pekerjaan yang bersangkutan. Keterampilan juga dapat menurun yaitu bila telah terlampau lama tidak menangani pekerjaan tersebut, atau karena sebab-sebab lain seperti karena kesehatan yang terganggu, rasa fatique yang berlebihan dan sebagainya. Usaha atau effort adalah kesungguhan yang ditunjukkan operator ketika melakukan pekerjaannya. Dalam prakteknya banyak terjadi pekerja yang mempunyai keterampilan yang baik namun bekerja dengan usaha yang kurang. Sebaliknya, seseorang yang memiliki keterampilan yang rendah namun diimbangi dengan usaha yang sunguh-sunguh sehingga tampak berlebihan namun tidak banyak menghasilkan. Kondisi kerja pada cara westinghouse adalah kondisi fisik lingkungan seperti keadaan pencahayaan, temperatur, dan kebisingan ruangan. Bila tiga faktor lainnya yaitu keterampilan, usaha dan konsistensi merupakan apa yang dicerminkan operator, maka kondisi kerja merupakan sesuatu diluar operator yang diterima apa adanya oleh operator tanpa banyak kemampuan merubahnya. Oleh sebab itu, faktor kondisi sering disebut sebagai faktor manajemen, karena pihak inilah yang berhak dan mampu merubah atau memperbaikinya.
31
Faktor konsistensi perlu diperhatikan karena kenyataan bahwa pada setiap pengukuran waktu, angka-angka yang dicatat tidak akan sama. Waktu penyelesaian yang ditunjukkan pekerja selalu berubah-ubah dari satu siklus ke siklus lainnya. Selama masih dalam batas kewajaran masalah tidak timbul, tetapi jika variabilitasnya tinggi maka hal tersebut harus diperhatikan.
2.1.5
Waktu Baku Di dalam praktek banyak terjadi penentuan waktu baku dilakukan hanya dengan menjalankan beberapa kali pengukuran dan menghitung rataratanya. Selain data yang seragam, jumlah pengukuran yang cukup dan penyesuaian, satu hal yang juga penting dilakukan adalah menambahkan faktor kelonggaran atas waktu normal yang telah diperoleh. Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, namun selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung. Karenanya seusai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan. Yang termasuk dalam kebutuhan pribadi adalah hal-hal seperti minum, ke kamar kecil, bercakap-cakap ataupun sekedar untuk menghilangkan kejemuan dalam bekerja.
32
Rasa fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi, baik jumlah maupun kualitas. Jika rasa fatique datang dan pekerja harus bekerja untuk menghasilkan performa normalnya, maka usaha yang dikeluarkan akan lebih besar dari normal dan ini akan menambah rasa fatique tersebut. Bila hal ini berlanjut terus, maka akan terjadi fatique total. Hal demikian jarang terjadi karena biasanya pekerja dapat mengatur kecepatan kerjanya sedemikian rupa, sehingga lambatnya gerakan-gerakan kerja ditujukan untuk menghasilkan rasa fatique tersebut. Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari berbagai ”hambatan”. Ada hambatan yang bisa dihindarkan seperti mengobrol ataupun menganggur dengan sengaja, namun ada pula hambatan yang tidak dapat dihindarkan, seperti melakukan penyesuaian mesin, menerima petunjuk dan lainnya. Bagi hambatan yang pertama jelas tidak ada pilihan lain selain menghilangkannya, sedangkan hambatan yang terakhir walau diusahakan serendah mungkin, hambatan akan tetap ada dan karenanya harus diperhitungkan dalam perhitungan waktu baku. n
Waktu siklus Æ Ws =
∑X i =1
n
i
, X i = data pengamatan
Waktu normal Æ Wn = Ws × (1 + penyesuaian ) Waktu baku Æ Wb =
Wn × 100% 100% − %kelonggaran
33
2.2
Bill Of Materials (BOM) Dari hasil perencanaan produksi dan kondisi material atau komponen yang diketahui, dibuat Bill Of Material yang memuat tentang susunan atau struktur komponen yang akan diproduksi yang akan digunakaan sebagai dasar dalam menyusun MRP. Suatu produk yang akan di produksi menjadi barang jadi, pasti melalui beberapa tahapan proses dan terdiri dari beberapa komponen yang nantinya akan diolah menjadi barang jadi tersebut. Selain proses yang baik, pengadaan material yang baik juga menentukan terpenuhinya target produksi yang sesuai dengan yang direncanakan. Sebagai contoh, suatu produk membutuhkan beberapa material dan komponen seperti yang telah di rencanakan, apabila salah satu saja material atau komponen yang dibutuhkan ternyata tidak tersedia, maka produk tersebut tidak akan di proses menjadi barang jadi. Dari hasil perencanaan produksi dan kondisi material atau komponen yang diketahui, dibuat Bill Of Material yang memuat tentang susunan atau struktur komponen yang akan diproduksi yang akan digunakaan sebagai dasar dalam menyusun MRP. (INASEA, April 2005, p29) Bill Of Material ( BOM ) adalah sebuah tabel yang mendeskripsikan jumlah biaya material yang harus dikeluarkan dari sebuah produk serta jumlah dan daftar bahan, material atau komponen yang dibutuhkan untuk merakit sebuah produk akhir.
34
Fungsi secara spesifik dari Bill of Material tidak hanya berisi komposisi dari komponen penyusun produk, tetapi juga memuat langkahlangkah penyelesaian produk jadi. Bill of Material ini digunakan sebagai informasi dalam perencanaan dan pengendalian aktivitas produksi dan diterapkan dalam melaksanakan sistem MRP (Material Requirement Planning). Selain itu, tujuan dari Bill of Material adalah sebagai suatu network atau jaringan yang menggambarkan hubungan induk (parent product) sampai ke komponen.
Manfaat BOM dalam pembuatan perencanaan produksi: •
Sebagai alat pengendali produksi yang menspesifikasikan bahan-bahan kandungan yang penting dari suatu produk (bahan-bahan mentah komponen), pesanan yang harus digabungkan dan seberapa banyak yang dibutuhkan untuk membuat satu batch.
•
Untuk peramalan barang yang keluar masuk dari inventori maupun transaksi produksi dan bisa menghasilkan pesanan-pesanan produksi dari pesanan pelanggan
•
Menghitung
berapa
yang
dapat
diproduksi
berdasarkan
sagala
keterbatasan sumber daya yang ada pada kita saat ini. Apabila sumber daya tersebut tidak mencukupi, sistem dapat menghitung berapa lagi sumber daya yang diperlukan, sekaligus membantu kita dalam proses
35
pengadaannya. Ketika hendak mendistribusikan hasil produksi, sistem juga dapat menentukan cara pemuatan dan pengangkutan yang optimal kepada tujuan yang ditentukan pelanggan. Dalam proses ini, tentunya segala aspek yang berhubungan dengan keuangan akan tercatat dalam sistem tersebut termasuk menghitungkan berapa biaya produksi •
Bill of material juga menjamin bahwa jumlah bahan yang telah dikirm ke tempat yang tepat pada waktu yang tepat.
2.3
Master Production Schedule (MPS) Rencana produksi atau priority planning diperlukan untuk memenuhi permintaan produksi suatu produk. Perencanaan produksi berfungsi untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan jumlah produk. Setelah jumlah produksi yang direncanakan diperoleh, maka diperlukan jumlah kuantitas kebutuhan bahan baku yang dipakai untuk membuat suatu produk berdasarkan jumlah unit produk. (Jurnal Teknik Industri, februari 2009, Vol. 6, No. 1 : p.712) Ada 2 istilah tentang MPS yang digunakan secara bersamaan yaitu penjadwalan produksi induk (Master Production Scheduling = MPS) dan jadwal produksi induk (Master Production Scheduled = MPS). Pada dasarnya istilah MPS yang digunakan untuk jadwal produksi induk merupakan hasil dari aktivitas penjadwalan produksi induk. Jadwal produksi induk merupakan
36
suatu pernyataan tentang produk akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. MPS berkaitan dengan pernyataan tentang produksi dan sering didefinisikan sebagai anticipated build schedule untuk item-item yang disusun oleh perencana jadwal produksi induk ( Master Schedule ). Dalam membuat MPS (jadwal produksi) terdapat pertimbanganpertimbangan, yaitu: 1. Lingkungan manufaktur 2. Struktur produk 3. Horizon perencanaan, waktu tunggu produk dan production time fence. 4. Pemilihan item-item MPS Dalam penyusunan MPS, basis untuk perencanaan dan penjadwalan produksi untuk lingkungan manufaktur make to order menggunakan backlog (pesanan yang diterima tetapi belum dikirimkan). Pada lingkungan make to order, maka MPS sering didasarkan pada aktual order. Dari hasil perhitungan MPS dan sudah sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, selanjutnya kita menghitung
kebutuhan
bahan
baku
masing-masing
produk.
Dalam
perhitungan disini, ada beberapa istilah yaitu: kebutuhan kotor, persediaan awal, persediaan akhir, kebutuhan akhir, jumlah pesan dan rencana pesan
37
(waktu pemesanan). (Jurnal Teknik Industri, februari 2007, Vol. 8, No.1 : p.46-52) MPS (Master Production Scheduled) atau yang disebut juga dengan jadwal induk produksi memiliki 4 fungsi utama, yaitu: 1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas (material & capacity requirements planning). M&CRP merupakan aktivitas perencanaan level 3 dalam hierarki perencanaan prioritas dan perencanaan kapasitas pada sistem MRP II 2. Menjadwal pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk item-item MPS 3. Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas 4. Member basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk kepada pelanggan.
2.4
Material Requirement Planning (MRP) Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran dalam pelaksanaan suatu
proyek
konstruksi
adalah
aliran
material
saat
pelaksanaan.
Keterlambatan datangnya material konstruksi yang menyebabkan stockout persediaan material saat akan digunakan membuat pekerjaan menjadi
38
tertunda. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi total waktu pelaksanaan serta biaya proyek. (Arinda Yudhit Bandripta , 2009, p.1) Sistem persediaan adalah suatu mekanisme mengenai bagaimana mengelola masukan yang sehubungan dengan persediaan menjadi output, dan untuk itu diperlukan umpan balik agar output memenuhi standar tertentu. (INASEA, Oktober 2007, Vol. 8, No. 2 : p.101-111) Perencanaan bahan baku sangat penting dan bermanfaat bagi perusahaan, hal tersebut untuk mendukung kelancaran produksi sehingga tidak kan terjadi ketidaktepatan waktu dalam waktu produksi dan menghindari keterlambatan pengiriman barang pada konsumen. Untuk mencapai tujuan dalam merencanakan kebutuhan bahan baku dan waktu produksi, maka penulis menggunakan metode material requirement planning (MRP) untuk menghindari keterlambatan barang dalam proses produksi. Analisis yang digunakan adalah menggunakan perhitungan material requirement planning (MRP) dengan menentukan terlebih dahulu jadwal induk produksi, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode MRP untuk mengetahui perencanaan produksi dan kebutuhan baku dalam tiap komponen, dan menentukan lead time (waktu tunggu pemesanan). Dengan menggunakan metode MRP perusahaan dapat memproduksi suatu produk berdasarkan jadwal yang sesuai sehingga terhindar dari keterlambatan pengiriman barang. (Shidiq bayu susilo, 17 April 2010, p.1)
39
Metode MRP merupakan metode perencanaan dan pengendalian pesanan dan inventori untuk item-item dependent demand. Item-item yang termasuk dalam dependent demand adalah bahan baku (raw materials), parts, sub assemblies, dan assemblies, yang kesemuanya disebut manufacturing inventories. Moto dari MRP adalah memperoleh material yang tepat, dari sumber yang tepat, untuk penempatan yang tepat, pada waktu yang tepat. Berdasarkan kuantitas produk akhir yang dibutuhkan (gross requirement) yang diturunkan dari rencana produksi, suatu sistem MRP mengindentifikasi item apa yang harus dipesan, berapa banyak kuantitas item yang harus dipesan, dan bilamana waktu memesan item itu. Tujuan sistem MRP adalah untuk menghasilkan informasi yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pesanan, pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Berikut merupakan asumsi-asumsi dalam MRP: •
Semua item persediaan dalam satuan unit
•
Daftar material tersedia
•
Adanya catatan persediaan (status tiap item tersedia)
•
Kesatuan file data
40
•
Lead time tiap item diketahui
•
Tiap persediaan keluar – masuk gudang tercatat
•
Semua komponen yang akan dirakit dibutuhkan tepat pada waktunya
•
Pemakaian material bersifat diskrit
Berdasarkan cara untuk mengatasi perubahan maka sistem MRP dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sistem regeneratif Sistem regeneratif yaitu sistem yang dipakai bila perencanaan ulang prosedur MRP untuk semua item dilakukan secara periodik berdasarkan keadaan jadwal induk produksi terakhir mulai dari produk akhir sampai bahan mentah yang dibeli. Keuntungan dari sistem ini adalah dapat memaksimumkan pemrosesan data dan baik dipakai untuk suatu lingkungan yang stabil. Kerugiannya adalah tidak terlalu peka jika terjadi ketidakseimbangan antar kebutuhan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
2. Sistem net change Sistem net change yaitu sistem yang dilakukan jika perencanaan ulang dilakukan setiap kali ada perubahan data input. Keuntungan dari sistem ini adalah dapat memberikan catatan yang selalu up to date serta mampu
41
meningkatkan pelayanan kepada konsumen. Kerugian dari sistem ini adalah mahal karena pemrosesan data lebih sering. Sistem ini cocok dipakai untuk situasi dimana lingkungan sangat tidak menentu.
Empat tujuan utama sistem Material Requirement Planning (MRP) adalah sebagai berikut: 1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus diselesaikan atau material yang harus tersedia untuk memenuhi demand atas produk akhir yang sudah direncanakan dalam jadwal induk produksi. 2. Menentukan kebutuhan minimal tiap item Menentukan secara tepat sistem penjadwalan untuk memenuhi semua kebutuhan minimal tiap item. 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada pabrik sendiri.
42
4. Menentukan penjadwalan ulang Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat memberikan indikasi melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan realistik.
Dalam pelaksanaannya, terdapat prosedur utama dalam MRP, yaitu : 1. Netting (perhitungan kebutuhan bersih) Proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan bersih, yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan. Data yang diperlukan dalam proses perhitungan kebutuhan bersih ini adalah: •
Kebutuhan kotor untuk setiap periode
•
Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan
•
Rencana penerimaan untuk setiap periode perencanaan
2. Lotting (penentuan ukuran lot) Proses menetukan besarnya jumlah pesana optimal untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih yang dilakukan.
43
3. Offsetting (penetapan besarnya Lead time) Menentukan saat yang tepat untuk melakukan rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih. 4. Explosion (perhitungan untuk item level dibawahnya) Perhitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item atau komponen yang lebih bawah didasarkan pada rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Adapun output dari sistem Material Requirement Planning (MRP) adalah berupa rencana pemesanan atau rencana produksi yang dibuat atas lead time. Lead time dari suatu item yang dibeli adalah rentang waktu sejak pesanan dilakukan sampai barang diterima. Rencana pemesanan dan rencana produksi dari output sistem MRP selanjutnya akan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: 1. Memberikan catatan tentang pesanan dan rencana yang harus dilakukan baik dari pabrik sendiri atau pemasok. 2. Memberikan indikasi untuk penjadwalan ulang. 3. Memberikan indikasi untuk pembatalan pesanan. 4. Memberikan indikasi untuk keadaan persediaan.
44
Beberapa keuntungan dari penerapan sistem MRP adalah: 1. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen. 2. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja. 3. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik. 4. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar. 5. Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen.
45
2.4.1
Field Pada Material Requirement Planning (MRP) Tabel 2.1 MRP
Part No.
:
BOM UOM
:
Description
:
On hand
:
Lead time
:
Order Policy
Safety Stock
:
Lot size
Period
Past Due
1
2
3
4
: :
5
6
7
8
Gross Requirement Schedule receipts Beginning Inventory Net Requirement Planned Order Receipt Planned Order Released Ending Inventory
Berikut ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan format tampilan tabel MRP yang digunakan dalam perhitungan selanjutnya. 1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan diproses. 2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan diproses.
46
3. Description menyatakan diskripsi material secara umum. 4. Lead Time menyatakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP menyarankan suatu pesanan sampai item yang dipesan itu siap untuk digunakan. 5. On Hand menyatakan inventori atau kuantitas dari item yang secara fisik berada dalam stockroom. 6. Lot Size menyatakan kuantitas pesanan (order quantity) dari item yang memberitahukan MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan. 7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan atau teknik lot sizing apa yang digunakan untuk menentukan ukuran lot yang harus dipesan. 8. Safety Stock menyatakan stok pengaman yang ditetapkan oleh perencana MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan (demand). MRP merencanakan untuk mempertahankan tingkat stok pada level ini pada semua periode waktu. 9. Planning Horizon menyatakan banyaknya waktu kedepan yang tercakup dalam perencanaan. Dalam praktek, horizon perencanaan harus ditetapkan paling sedikit sepanjang waktu tunggu kumulatif dari sekumpulan item yang terlibat dalam proses manufakturing.
47
10. Gross Requirement menyatakan total dari semua kebutuhan, termasuk kebutuhan yang diantisipasi untuk setiap periode waktu. Gross requirement juga dinyatakan sebagai jumlah yang akan diproduksi atau dipakai pada setiap periode. Untuk komponen atau material bahan baku, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order Release induknya. 11. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada periode tertentu. 12. Beginning Inventory (BI) menyatakan kuantitas material yang ada ditangan sebagai persediaan pada awal periode. Beginning Inventory dapat dihitung dengan menambahkan material on hand pada periode sebelumnya
dengan
scheduled
receipts
pada
periode
itu
dan
menguranginya dengan gross requirement pada periode yang sama. BI = EIt-1 – Gross Requirementt + schedule Receiptst 13. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (net) dari setiap komponen yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya. Net requirement juga dinyatakan sebagai kekurangan material yang diproyeksikan untuk periode tersebut, sehingga perlu diambil tindakan kedalam perhitungan planned order receipts agar dapat menutupi kekurangan material pada periode tersebut.
48
Jika BI < Safety Stock → Net Req. = - BI t + Safety Stock Jika BI ≥ Safety Stock →Net Req. = 0 14. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pesanan pengisian kembali yang telah direncanakan oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi kebutuhan bersih (net requirement). Jika planned order dimodifikasi melalui kebijaksanaan lot sizing, maka planned orders dapat melebihi net requirements. 15. Planned Order Releases menyatakan kuantitas planned orders yang ditempatkan atau dikeluarkan dalam periode tertentu, agar item yang dipesan itu akan tersedia pada saat dibutuhkan. Item yang tersedia pada saat itu tidak lain adalah kuantitas planned order receipts yang ditetapkan menggunakan lead time offset. 16. Ending Inventory menyatakan kuantitas material yang ada ditangan sebagai persediaan pada akhir periode. Ending Inventory dapat dihitung dengan cara menambahkan Beginning Inventory dengan Planned Order Receipts. EIt = BIt + Planned Order Receiptst